Anda di halaman 1dari 32

MAKALAH

“Ad-Dhararu Yuzalu dan Al-Aadah Muhakkamah”

Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas Ushul Fiqh dengan dosen pengampu
M. Agus Safrudi, S.Pd.I., M.Pd.

Disusun Oleh Kelompok 6

Alfi Khaira Afdhalli 190101120518

Heldi Firdaus 190101120671

Mahfuzatun Nofus 190101120959

Ratna Safitriani 190101120539

Rita Octari Dewi 190101120654

Riza Firdaus 190101120540

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN

JURUSAN ILMU PERPUSTAKAAN DAN INFORMASI ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ANTASARI BANJARMASIN

2020
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahhirobbil‟alamin puji syukur kehadirat Allah SWT atas


limpahan berkat, rahmat dan karunia-Nya kami dapat membuat makalah ini.
Shalawat dan salam semoga selalu tercurahkan kepada baginda tercinta kita yakni
Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam, Nabi akhir zaman.

Makalah ini disusun agar pembaca dapat memperluas ilmu tentang “Ad-
Dhararu Yuzalu dan Al-Aadah Muhakkamah”. Makalah ini disusun oleh
penyusun dengan berbagai rintangan. Baik itu yang datang dari diri penyusun
maupun yang datang dari luar. Namun dengan penuh kesabaran dan terutama
pertolongan dari Allah SWT akhirnya makalah ini dapat terselesaikan.

Melalui kata pengantar ini penyusun terlebih dahulu meminta maaf dan
memohon pemakluman apabila terdapat kekurangan, karena makalah ini masih
jauh dari kata sempurna baik dari segi penyusunan, bahasa, ataupun penulisannya.
Oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun
dari pembaca, khususnya dari dosen agar menjadi acuan dalam bekal pengalaman
bagi penyusun untuk lebih baik lagi di kemudian hari.

Akhir kata semoga makalah ini dapat bermanfaat dan berguna bagi semua
pembaca.

Barabai, Mei 2020

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .......................................................................................... i

DAFTAR ISI ....................................................................................................... ii

BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................... 2
C. Tujuan Penulisan ............................................................................. 2

BAB II : PEMBAHASAN
A. Pengertian Ad-Dhararu Yuzalu dan Al-Aadah Muhakkamah ........... 3
1. Ad-Dhararu Yuzalu ..................................................................... 3
2. Al-Aadah Muhakkamah .............................................................. 4
B. Sumber Pembentukan Kaidah Ad-Dhararu Yuzalu .......................... 6
1. Al-Qur‟an ................................................................................... 6
2. Hadits ......................................................................................... 7
C. Dasar-Dasar Kaidah Al-Aadah Muhakkamah ................................ 10
1. Al-Qur‟an ................................................................................. 10
2. Hadits ....................................................................................... 11
D. Uraian Kaidah Ad-Dhararu Yuzalu ................................................ 11
E. Makna Kaidah Al-Aadah Muhakkamah ......................................... 14
F. Cabang-Cabang Kaidah ................................................................. 16
1. Ad-Dhararu Yuzalu ................................................................... 16
2. Al-Aadah Muhakkamah ............................................................ 22

BAB III : PENUTUP


A. Simpulan ....................................................................................... 27
B. Saran ............................................................................................. 27

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 28

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ushul fiqh merupakan ilmu yang membahas tentang dasar hukum
islam. Dalam ushul figh terdapat kaidah-kaidah fiqhiyah salah satunya
kaidah Al-dharar yuzalu. Kaidah ini juga mempunyai cabang-cabang,
Namun kebanyakan orang bahkan mahasiswa belum tahu tentang cabang-
cabang dari kaidah ini. Oleh karena itu kami pemakalah menyusun makalah
ini dengan tema cabang-cabang Al-dharara yuzalu. Kaidah asasiyyah

yaitu kaidah yang membahas tentang kemudaratan itu memang

harus dilihangkan, terlebih dalam kondisi darurat, maka yang diharamkan


pun boleh dilakukan. Yang mana maksud dari keadaan darurat itu bisa
berakibat fatal bila mana tidak diatasi dengan cara-cara seperti itu. Oleh
karena itu hukum Islam membolehkan untuk meninggalkan ketentuan-
ketentuan wajib bila mana sudah dalam keadaan yang sangat darurat.
Qawaidul fiqhiyah (kaidah-kaidah fiqih) adalah suatu hukum kully
(menyeluruh) yang mencakup intisari hukum-hukum fiqih. Qawa‟id
fiqhiyah mempunyai beberapa kaidah, diantaranya adalah seperti
pembahasan dalam makalah ini yaitu al-„adah al-muhakkamah (adat atau
kebiasaan itu bisa menjadi dasar dalam menetapkan suatu hukum) yang
diambil dari kebiasaan-kebiasaan baik yang tumbuh dan berkembang di
dalam masyarakat sehingga dapat dijadikan dasar dalam menetapkan suatu
hukum sesuai dengan nilai-nilai yang berkembang di dalam masyarakat.
Dengan menguasai kaidah-kaidah fiqih kita akan mengetahui segala
permasalahan fiqih, karena kaidah fiqih menjadi titik temu dari masalah-
masalah fiqih sehingga dapat dengan bijak dalam menerapkan hukum fiqih
dalam waktu, tepat, situasi dan kondisi yang seringkali berubah-ubah.
Dan dengan memahami kaidah fiqih, kita akan lebih bijak di dalam
menyikapi masalah-masalah sosial, ekonomi, politik, dan lebih khususnya
budaya (adat atau kebiasaan) serta lebih mudah mencari solusi terhadap
masalah-masalah yang terus muncul dan berkembang dalam masyarakat.

1
Didasari itulah pemakalah merasa tertarik untuk mengkaji salah satu kaidah
fiqih khususnya berkaitan dengan kehidupan kita sehari-hari atau yang
sering kita jumpai yaitu tentang adat (kebiasaan) dengan kaidah, al-„adah al-
muhakkamah dengan arti adat atau kebiasaan itu bisa menjadi dasar dalam
menetapkan suatu hukum.
B. Rumusan Masalah
1. Apa itu ad-Dhararu yuzalu dan al-Aadah Muhakkamah ?
2. Apa saja sumber pembentukan kaidah ad-Dhararu Yuzalu ?
3. Apa saja dasar kaidah al-Aadah Muhakkamah ?
4. Bagaimana uraian kaidah ad-Dhararu Yuzalu ?
5. Bagaimana makna kaidah al-Aadah Muhakkamah ?
6. Apa saja cabang-cabang kaidah ad-Dhararu Yuzalu dan al-Aadah
Muhakkamah ?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk memahami apa itu ad-Dhararu yuzalu dan al-Aadah
Muhakkamah
2. Untuk mengetahui sumber pembentukan kaidah ad-Dhararu Yuzalu
3. Untuk mengetahui dasar kaidah al-Aadah Muhakkamah
4. Untuk memahami uraian kaidah ad-Dhararu Yuzalu
5. Untuk memahami makna kaidah al-Aadah Muhakkamah
6. Untuk mengetahui cabang-cabang kaidah ad-Dhararu Yuzalu dan al-
Aadah Muhakkamah

2
BAB II

ISI

A. Pengertian Ad-Dhararu Yuzalu dan Al-Aadah Muhakkamah


1. Ad-Dhararu Yuzalu
Arti dari kaidah “ad-dhararu yuzalu” adalah kemudharatan/
kesulitan harus dihilangkan. Jadi konsepsi kaidah ini memberikan
pengertian bahwa manusia harus dijauhkan dari idhrar (tindak
menyakiti), baik oleh dirinya maupun orang lain, dan tidak semestinya
ia menimbulkan bahaya (menyakiti) pada orang lain. 1
Namun Dharar (Dharar) secara etimologi adalah berasal dari
kalimat "adh Dharar" yang berarti sesuatu yang turun tanpa ada yang
dapat menahannya. Sedangkan Dharar secara terminologi menurut para
ulama ada beberapa pengertian diantaranya adalah:
a. Dharar ialah posisi seseorang pada suatu batas dimana kalau tidak
mau melanggar sesuatu yang dilarang maka bisa mati atau nyaris
mati. Nah hal seperti ini memperbolehkan ia melanggarkan
sesuatu yang diharamkan dengan batas batas tertentu.
b. Abu Bakar Al Jashas, mengatakan “Makna Dharar disini adalah
ketakutan seseorang pada bahaya yang mengancam nyawanya
atau sebagian anggota badannya karena ia tidak makan”.
c. Menurut Ad Dardiri, “Dharar ialah menjaga diri dari kematian
atau dari kesusahan yang teramat sangat”.
d. Menurut sebagian ulama dari Madzhab Maliki, “Dharar ialah
mengkhawatirkan diri dari kematian berdasarkan keyakinan atau
hanya sekedar dugaan”.
e. Menurut Asy Suyuti, “Dharar adalah posisi seseorang pada
sebuah batas dimana kalau ia tidak mengkonsumsi sesuatu yang
dilarang maka ia akan binasa atau nyaris binasa.2

1
Nashr Farid Muhammad Washil, Qawa‟id Fiqhiyyah, (Jakarta: Amzah, 2016), hal. 17.
2
Kewin Harahap, “Addharuroh Yujalu”,(https://www.slideshare.net/KewinHarahap/addharuroh-
yujalu, diakses pada 5 Maret 2020 pukul 20.15).

3
Jadi, dharar disini menjaga jiwa dari kehancuran atau posisi yang
sangat mudharat sekali, maka dalam keadaan seperti ini kemudaratan
itu membolehkan sesuatu yang dilarang.
Berdasarkan pendapat para ulama di atas dapat diambil
kesimpulan bahwa Dharar adalah kesulitan yang sangat menentukan
eksistensi manusia, karena jika ia tidak diselesaikan maka akan
mengancam agama, jiwa, nasab, harta serta kehormatan manusia. 3
Menurut Abdul Qadir Audah seorang tokoh Ihwanul Muslimin
dan seorang qadi Mesir, dharar bisa diperhitungkan bila mempunyai ciri
sebagai berikut:
a. Dikhawatirkan membahayakan jiwa, raga, agama seseorang.
b. Dalam keadaan serius hingga tidak bisa ditunda.
c. Tidak ada jalan lain.
d. Dilakukan seperlunya saja. 4
2. Al-Aadah Muhakkamah
Secara bahasa, al-„aadah diambil dari kata al-„awud (‫ )الع د‬atau
al-mu‟awadah ‫ال مع‬ ) yang artinya berulang-ulang (‫)ال ت كرار‬.5Adapun
definisi al-aadah menurut Ibnu Nuzhaim adalah:

‫ض يّ انؼى ْز املزكسزاملمت نٌذ ػُد انغججغ انعهًُذ‬


ْ ‫ػجت زح ػًت َعزمس ىف انُف‬
“Sesuatu ungkapan dari apa yang terpendam dalam diri perkara
yang berulang-ulang yang bisa diterima oleh tabi‟at (perangai) yang
sehat.”6
Abdul Karim Zaidan mendefinisikan al-„aadah sebagai
pengulangan sesuatu dan kebiasaan yang dilakukan berulang-ulang
hingga dia melekat dan diterima dalam benak orang-orang.7

3
Nur Alim, “Ad-Dhararu Yuzalu”, (http://noeraliem.blogspot.com ad-dhararu-
yuzalukemudharatan-itu.html, diakses pada 05 Maret 2020 pukul 16.07).
4
Musbik Imam, Qawa‟id al- Fiqhiyah, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2001), hal. 70.
5
A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2007), hal. 79.
6
Ibid, hal. 80.
7
Abdul Karim Zaidan dan Al-Wajiz, 100 Kaidah Fikih dalam Kehidupan Sehari-hari, (Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar, 2013), hal. 164.

4
Dalam pengertian dan substansi yang sama, terdapat istilah lain
dari al-„aadah, yaitu al-„urf, yang secara harfiyah berarti suatu keadaan,
ucapan, perbuatan, atau ketentuan yang dikenal manusia dan telah
menjadi tradisi untuk melaksanakannya atau meninggalkannya. 8

‫انؼسف ي يت رؼت زف ػهُى انُجط اًػزدِ ىف اق اٌنُى اًفؼجهُى دىت صرب ذانك‬

‫يغسدا ا غًت نجت‬


‟Urf adalah apa yang dikenal oleh manusia dan mengulang-
ngulangnya dalam ucapannya dan perbuatannya sampai hal tersebut
menjadi biasa dan berlaku umum”.
Sedangkan arti “muhakkamah” adalah putusan hakim dalam
pengadilan dalam menyelesaikan sengketa, artinya adat juga bisa
menjadi rujukan hakim dalam memutus persoalan sengketa yang
diajukan ke meja hijau.9
Jadi maksud kaidah ini bahwa sebuah tradisi baik umum atau
yang khusus itu dapat menjadi sebuah hukum untuk menetapkan hukum
syariat islam (hujjah) terutama oleh seorang hakim dalam sebuah
pengadilan, selama tidak atau belum ditemukan dalil nash yang secara
khusus melarang adat itu, atau mungkin ditemukan dalil nash tetapi
dalil itu terlalu umum, sehingga tidak bisa mematahkan sebuah adat.
Namun bukan berarti setiap adat kebiasaan dapat diterima begitu
saja, karena suatu adat bisa diterima jika memenuhi syarat-syarat
sebagai berikut:
a. Tidak bertentangan dengan syari'at.
b. Tidak menyebabkan kemafsadatan dan tidak menghilangkan
kemashlahatan.
c. Telah berlaku pada umumnya orang muslim.
d. Tidak berlaku dalam ibadah mahdah

8
Rachmat Syafe'I, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung: Pustaka Setia, 2007), hal. 128.
9
Abbas dan Arfan, Kaidah-kaidah Fiqh Muamalah dan Aplikasinya dalam Ekonomi Islam dan
Perbankan Syariah,(Jakarta: Direktorat Pendidikan Tinggi Islam dan Direktorat Jenderal
Pendidikan Islam Kementerian Agama RI, 2012), hal. 204.

5
e. Urf tersebut sudah memasyarakat ketika akan ditetapkan
hukumnya. 10
Tradisi atau adat sangat berperan dalam pembentukan dan
pengembangan hukum Islam. Adanya berbagai aliran hukum dalam
sejarah, sesungguhnya juga karena andil adat istiadat masyarakat
setempat. Imam Abu Hanifah banyak mempertimbangkan adat atau
kebiasaan masyarakat Irak dalam menetapkan hukumnya. Imam Malik
banyak dipengaruhi oleh tradisi atau adat ulama-ulama Madinah. Imam
as-Syafi‟i memiliki qaul qadim (ketika ia berada di Baghdad) dan qaul
jadid (ketika berada di Mesir), disebabkan perbedaan adat atau tradisi
kedua negara atau wilayah tersebut.
Banyak sekali aturan hukum Islam atau fiqih yang ditetapkan
dengan mempertimbangkan adat kebiasaan ini. Umpamanya, jual beli
ta‟athi (mengambil barang atau benda, kemudian memberikan sejumlah
uang atau alat tukar lainnya yang telah diketahui), penemplean atau
pelabelan harga barang seperti yang sering dilakukan di mall-mall atau
super market, atau pengumuman melalui lisan atau tulisan. 11
B. Sumber Pembentukan Kaidah Ad-Dhararu Yuzalu
1. Al-Qur’an
a. Ayat Pertama
‫َسدُىُْ ٍٖ ثِ ًَؼِسُوفٕ ٓ وَنَب‬
ِّ ‫ٱنُعَبٓءَ فَجََهغٍَِ أَجَهَهُ ٍٖ فََأيِعِكُىٍُْٖ ثًَِؼِسُوفٕ أَ ِو ظ‬
ِّ ُ‫وَإِذَا عََّهمْزُى‬

ٓ...........‫رًُِعِكُىٍُْٖ ضٔسَازّا نَِّزؼِزَدُوا‬

“Dan apabila kamu menceraikan istri-istrimu, lalu sampai


akhir iddahnya, maka tahanlah mereka dengan cara yang baik,
atau ceraikanlah mereka dengan cara yang baik pula. Dan
janganlah kamu tahan mereka dengan maksud jahat untuk
menzalimi mereka……” Q.S Al-Baqarah [2]: 231.

10
Usman Muchlis, Kaidah-Kaidah Istinbath Hukum Islam (Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan
Fiqhiyah), (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hal. 210.
11
Duski Ibrahim, Al-Qawa‟id Al-Fiqhiyah (Kaidah-Kaidah Fiqih), (Palembang: Amanah, 2019),
hal. 92.

6
b. Ayat Kedua

....ِٔٔ‫َنب رُضَبٓ ٖز َٰوَنٔدَحٌٓ ثِ َىنَدَْٔب وَنَب يَ ِىنُىدْ َّن ُۥّ ثِ َىنَد‬


“…Janganlah seorang ibu menderita karena anaknya, dan
jangan pula seorang ayah menderita karena anaknya…..” Q.S
Al-Baqarah [2]: 233.
c. Ayat Ketiga

ٍ....‫صًَٰ ثِهَبٓ أَوِ دٍٍََِ غَُِسَ يُضَبٓ ٓز‬


َ ‫ثَؼِدٔ وَصُٖٔخٕ َُى‬...
“…setelah dipenuhi wasiat yang dibuatnya atau (dan
setelah dibayar) utangnya dengan tidak menyusahkan (kepada
ahli waris)…” Q.S Al-Nisa [4]: 12.12
d. Ayat Keempat

.....‫َونَب رُفْعِدُوآ فًٔ ٱنْأَ ِزضِ ثَؼِدَ إِصِهََٰذٔهَب‬


“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi,
sesudah (Allah) memperbaikinya..” Q.S Al-A‟raf [7]: 56.
2. Hadits
a. Hadist Ibnu Abbas

‫الضسز وال ضساز‬

“Tidak boleh membahayakan dan tidak boleh pula saling


membahayakan (membalas perbuatan bahaya).”

Para ulama menganggap hadist ini sebagai jawami‟ kalim,


kemudian hadist ini oleh sebagian ulama lebih dipilih sebagai
redaksi qaidah fiqhiyyah kulliyah dibanding redaksi awal yang

telah kami jelaskan (‫انضسز‬ ‫)َصال‬.


Diantara alasannya adalah:

12
Wildan Jauhari, Kaidah Fikih: Adh-Dhararu Yuzal, (Jakarta: Rumah Fiqih Publishing, 2018),
hal. 9.

7
Pertama, karena redaksi ini (‫)ال ضسز و ال ضساز‬ adalah

redaksi langsung yang terucap dari lisan Nabi Muhammad SAW,


sehingga akan lebih berdampak di hati jika digunakan.
Kedua, karena maknanya yang lebih luas yaitu mencakup
pencegahan madharat sebelum terjadi dan kewajiban
menghilangnya setelah terjadi.

Berbeda dengan kaidah (‫)َصال انضسز‬ yang hanya berarti

menghilangkan kemudharatan setelah terjadi. 13


Meskipun tidak menutup kemungkinan bahwa sebagian

ulama justru memaknai sebaliknya, yaitu dipilihnya redaksi ( ‫َصال‬

‫ )انضسز‬karena ia mengandung arti bahwa suatu kemudharatan atau


marabahaya itu wajib untuk dihilangkan bahkan sebelum
terjadinya.
Sehingga maknanya lebih luas karena mengandung makna
preventif dan represif. Redaksi ini juga dinilai lebih singkat dan
padat.

Adapun makna al-dharar (‫)انضسز‬ dan al-dhirar (‫)انضساز‬


sebagian ulama menyamakan pengertian antara keduanya.

Tetapi menurut sebagian yang lain, al-dharar (‫ )انضسز‬adalah

membahayakan orang lain secara mutlak, sedangkan al-dhirar

(‫ )انضساز‬adalah membahayakan orang lain dengan cara yang tidak


disyariatkan.
Menurut al-Khusyani, al-dharar adalah sesuatu yang
bermanfaat bagi diri sendiri, tetapi membahayakan orang lain.

13
Muslim bin Muhammad al-Dusury, Al-Mumti‟ fi al-Qawaid al-Fiqhiyyah, (Riyadh: Dar Zidni,
2007), hal. 223.

8
Sedangkan al-dhirar adalah sesuatu yang tidak bermanfaat bagi
diri sendiri dan membahayakan orang lain.
Menurut ulama lain, al-dharar dan al-dhirar seperti bentuk
al-qatl dan al-qital; al-dharar adalah membahayakan orang lain
yang tidak membahayakan kita, sedangkan al-dhirar adalah
membahayakan orang lain yang telah membahayakan kita dengan
cara yang tidak disyariatkan, seperti harus seimbang dalam
rangka menegakkan kebenaran (al-intishar bi al-haq).14
b. Hadits Samurah bin Jundub
Diriwayatkan bahwa Samurah memiliki pohon kurma yang
rantingnya masuk ke rumah tetangganya.
Merasa terganggu dengan ranting pohon kurma itu, maka ia
meminta Samurah untuk menjual pohon itu atau memangkas
sebagiannya. Samurah tidak mengindahkan sama sekali usulan
tetangganya yang terganggu itu.

Maka kejadian ini dilaporkan kepada Nabi Muhammad


SAW. Di hadapan Nabi SAW, Samurah tetap bergeming dan
menolak untuk menjual atau memangkas pohon kurmanya itu.
Bahkan ia tetap menolak setelah Nabi SAW mengiming-
iminginya dengan halini dan itu. Nabi SAW berkata mengenai
Samurah;

ّ‫ اذْت فبخهغ خُه‬: ٌ‫ يش لبل زظىل ْهال ألنُصبز‬،‫أَذ يضبز‬

“Kamu ini menyusahkan orang lain, kemudian Nabi SAW


berkata kepada si tetangga itu, “pulanglah, dan tebang ranting
kurmanya Samurah!”15

14
Athiyah Adlan Athiyah Ramadhan, Mausuah al-Qawaid al-Fiqhiyyah, (Iskandariyah: Dar al-
Aiman, 2007), hal. 48.
15
Wildan Jauhari, Op.Cit., hal. 13.

9
Dari ayat-ayat dan hadist serta pendapat para ulama yang telah
disebutkan di atas, menunjukkan bahwa menghilangkan sesuatu yang
membahayakan hukumnya wajib, sesuai dengan bunyi kaidah, yaitu:

‫انضسز َصال‬
“Kemudharatan (bahaya) itu wajib dihilangkan.”

C. Dasar-Dasar Kaidah Al-Aadah Muhakkamah


1. Al-Qur’an
a. Al-Quran Surat Al-Baqarah [2] Ayat 233

ٖ‫وَانْىَانٔدَادُ َُسِضٔؼٍَِ أَ ِونَبدٍَُْٖ دَ ِىنٍَُِِ كَبئهٍَُِِ ۖ نًٍَِٔ أَزَادَ أٌَْ َُزٔى‬

ْ‫انسٖضَبػَخَ ۖ وَػَهًَ انًَْ ِىنُىدٔ نَُّ زِشِلُهٍُٖ وَكٔعِىَرُهٍُٖ ثِبنًَْ ِؼسُوفٔ ۖ نَب ُركَهَّفُ َفْط‬

ُ‫إِنَّب ُوظِؼَهَب ۖ نَب رُضَبزٖ وَانٔدَحٌ ثِ َىنَدَْٔب َونَب يَ ِىنُىدْ نَُّ ثِ َىنَدِٔٔ ۖ وَػَهًَ انْىَازِسٔ ئثْم‬

ٌِْ‫َٰذَنٔكَ ۖ فَإٌِْ أَزَادَا فٔصَبنًب ػٍَِ َرسَاضٍ ئُِهًَُب َورَشَبوُزٍ فَهَب جَُُبحَ ػَهَُِهًَِب ۖ وَإ‬

ِ‫أَ َزدِرُىِ أٌَْ رَعَِزسِضٔؼُىا أَ ِونَبدَكُىِ فَهَب جَُُبحَ ػَهَُِكُىِ ِإذَا ظَهًَِّزُىِ يَب آرَُِزُى‬

ْ‫ثِبنًَْؼِسُوفٔ ۖ وَارٖمُىا انهََّّ وَاػِهًَُىا أٌََّ انهََّّ ثًَِب رَؼًَِهُىٌَ َثصٔري‬

“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama


dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan
penyusuan. dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian
kepada para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani
melainkan menurut kadar kesanggupannya. janganlah seorang
ibu menderita kesengsaraan Karena anaknya dan seorang ayah
karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila
keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan
keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas
keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang
lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan

10
pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah
dan Ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu
kerjakan.”
b. Al-Quran Surat Al-A‟raaf [7] ayat 199

َ‫خُرٔ انْؼَفْىَ وَأْ ُيسِ ثِبنْ ُؼسِفٔ وَأَ ِػ ِسضِ ػٍَِ انْجَبْٔهٔني‬

“Jadilah Engkau pema'af dan suruhlah orang mengerjakan


yang ma'ruf, serta berpalinglah daripada orang-orang yang
bodoh.”
2. Hadits

‫يَب زَءَاُِ اْملُعِهًُٔىٌَِ دَعَُّب فَهُىَ ػُِٔدَ اهللِ دَعٍَْ وَيَب زَءَاُِ املُعِهًُٔىٌَِ ظَُِئًب‬

ٌ‫فَهُىَ ػُِٔدَااهللِ َظٍِء‬

“Apa yang dipandang baik oleh orang-orang Islam maka baik


pula di sisi Allah, dan apa saja yang dipandang buruk oleh orang Islam
maka menurut Allah pun digolongkan sebagai perkara yang buruk”
(HR. Ahmad, Bazar, Thabrani dalam Kitab Al-Kabiir dari Ibnu
Mas'ud).16
D. Uraian Kaidah Ad-Dhararu Yuzalu
Islam tidak menghendaki adanya kemudaratan bagi pemeluknya, maka
harus dihilangkan jika ada. Kaedah ini sering diungkapakan melalui hadis
rasulullah:
َ ‫رَض ار ا اللا‬
‫رَض ارَ ا‬ ‫لا ا‬
“Tidak boleh memberi memudaratkan dan membalas kemudaratan.”17
Para ulama berbeda pendapat tentang perkataan dharar dan dhirar
yaitu:

16
Rachmat Syafe'I, Op.Cit., hal. 292.
17
Abdul hamid hakim, as-sullam, ( Jakarta: Maktabah as-sa‟diyah Putra, tt), hal. 132.

11
1. Al-Husaini mengartikan al-dharar dengan “bagimu ada manfaat tapi
bagi tetanggamu ada mudarat”. Sedangkan al-dhirar diartikan dengan
“bagimu tidak ada manfaatnya dan bagi orang lain memudaratkan”.
2. Ulama lain mengartikan al-dharar dengan “ membuat kemudaratan” dan
al-dhirar diartikan membawa kemudaratan diluar ketentuan syari‟ah.
Contoh, jika seseorang tetangga membuat saluran air untuk rumahnya
yang menyebabkan kerapuhan tembok (dinding) rumah tetangganya
sehingga dapat membuatnya roboh, maka pembuatan saluran air ini
tidak diperbolehkan karena alasan ini dan mengingat bahaya yang
begitu jelas di dalamnya.
Dari sini para ahli hukum dalam menetapkan asas hukum umum dalam
perhubungan bertetangga rumah, bahwa kebebasan tetangga dalam
menjalankan hak kepemilikannya dibatasi dengan keharusan tidak
mendatangkan bahaya dan kerusakan yang nyata pada hak tetangganya.
Dalam segala kondisi, seseorang tidak dapat dipaksa untuk
menghilangkan haknya yang berpotensi menyebabkan kemudaratan bagi
orang lain (tetangganya) jika memang ia lebih dahulu ada sebelum Si
tetangga. Misalnya, jika seseorang menempati atau membangun rumah
disamping pabrik roti yang telah berdiri sebelum ia menempati atau
membangun rumah tersebut, maka ia tidak berhak menuntut penutupan
pabrik tersebut dengan alasan efek negatif yang diterima dirinya. Hal itu
dikarenakan ia sendiri yang memasuki wilayah bahaya dengan keinginan
dan pilihannya sendiri.
“Diambil mudarat yang lebih ringan diantara dua mudarat” artinya,
apabila suatu perkara atau tindakan menyebabkan suatu bahaya yang tidak
dapat dihilangkan kecuali dengan satu tindakan bahaya lainnya yang salah
satu dari kedua bahaya tersebut lebih besar dari pada yang lainnya, maka
bahaya yang lebih besar dihilangkan dengan yang lebih kecil. Namun,
apabila tindakan tersebut mendatangkan akibat yang lebih besar, maka tidak
boleh dilakukan.18

18
Nashr Farid Muhammad Washil, Op. Cit., hal. 18.

12
Jika terkait dengan kemudartan umum (bahaya sosial), maka tidak lagi
dilihat apakah penyebab bahaya tersebut terlebih dahulu ada atau baru,
tetapi dalam keadaan apapun bahaya ini harus dihilangkan. Contohnya
barang siapa yang membangun tenda besar ditengah jalan umum atau
membangun jembatan yang mempersulit arus lalu lintas, maka ia dapat
diperintahkan untuk menghancurkannya, meskipun memakan waktu yang
lama. 19
Ada juga contoh lainnya mengenai kaidah ad-dhararu yuzalu antara
lain:
1. Larangan menimbun barang-barang kebutuhan pokok masyarakat
karena perbuatan tersebut mengakibatkan kemudaratan bagi rakyat.
2. Larangan menghancurkan pohon-pohon, membunuh anak kecil, orang
tua, wanita, dan orang-orang yang tidak terlibat peperangan dan pendeta
agama lain adalah untuk menghilangkan kemudaratan.
3. Kewajiban berobat dan larangan membunuh diri juga untuk
menghilangkan kemudaratan.
4. Larangan murtad dari agama islam dan larangan mabuk-mabukan juga
untuk menghilangkan kemudaratan. 20
5. Si pembeli itu boleh khiyar (memilih mengembalikan atau tidak)
dengan adanya cacat benda yang telah dibelinya.
6. Bagi suami istri itu boleh fasakh (bubar) nikah dengan adanya beberapa
cacat.21
7. Jika seseorang berhutang makanan, kemudian orang yang menghutangi
makanan tersebut menagih utang di Mekkah misalnya, sedangkan harga
makanan yang dihutangkan itu mahal, atau murah di sana. Menurut
Abu Yusuf, orang yang berhutang itu hanya wajib membayar sesuai
dengan nilai uang waktu berhutang dari orang yang menghutanginya di

19
Ibid, hal. 19.
20
Djuzuli, Kaidah-Kaidah Fikih, (Jakarta: Kencana, 2007), hal. 68.
21
Sukanan dan Khairudin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Sa‟adiyah Putra, 1927), hal. 42.

13
negaranya. Hal ini untuk menghilangkan madharat bagi yang
menghutangi dan yang berhutang.22
Kaidah ini sangat berperan dalam pembinaan hukum Islam, terutama
untuk menghindari berbagai kemudharatan dalam kehidupan masyarakat.
Oleh karena itu, hukum Islam membolehkan pengembalian barang yang
telah dibeli karena cacat, mengajarkan khiyar dalam jual beli, mengajarkan
perwalian untuk membantu orang yang tidak cakap, mengajarkan hak
syuf‟ah bagi tetangga. Hukum Islam mengajarkan adanya hukum qishash,
hudud, kaffarat, ganti rugi atau diyat, membolehkan penguasa memerangi
kaum bughat (pemberontak) dan lain-lain. Hukum Islam juga mengajarkan
kebolehan perceraian ketika sangat diperlukan. Umpamanya terjadi syiqaq
yang tidak dapat lagi untuk didamaikan dan lain-lain. 23
G. Makna Kaidah Al-Aadah Muhakkamah
Berdasarkan dalil di atas (bagian dasar-dasar kaidah) kita menemukan
dua kata kunci yakni Al-„Aadah dan Al-„Urf. Para ulama ushul fikih
(ushuliyyun) menggunakan dua kata ini secara bergantian untuk
menjelaskan kebiasaan. Al-„aadah (adat) di definisikan suatu perbuatan
24
yang dikerjakan secara berulang tanpa hubungan rasional . Sedangkan al-
„urf didefinisikan sebagai kebiasaan mayoritas umat, baik dalam perkataan
maupun perbuatan. Jadi makna kaidah al-„aadah wa al-„urf itu sesuatu
yang telah biasa berlaku, diterima dan dianggap baik oleh masyarakat.
Al-„aadah dan al-„urf yang menjadi salah satu aspek penting dalam
penetapan hukum Islam itu bukan merupakan perilaku individual tetapi
sudah berlaku pada kebanyakan masyarakat di daerah tertentu. Misalnya di
daerah tertentu dalam menetapkan keperluan rumah tangga, diambil dari
mahar yang diberikan suami. Jika kebiasaan ini sudah menjadi bagian dari
cara kehidupan masyarakat tertentu maka kebiasaan seperti ini dapat
dijadikan sebagai kaidah untuk menetapkan kebolehan penggunaan mahar
yang seharusnya milik istri.

22
Ahmad Muhammad al-Zarqa. Syarh al-Qawaid al—Fiqhiyyah, (Damaskus: Dar al-Qolam,
1989), hal. 180
23
Duski Ibrahim, Op. CIt., hal. 81.
24
Musthafa Ahmad Al-Zaqra, Makhdal al-Fiqh Al-„Am, (Beirut: Dar al-Fikr, 1978), hal. 839.

14
Misalnya :
1. Berjual beli dengan memuthlakan bahasa singkat, maka ketentuannya
adalah sesuai dengan mata uang yang berlaku.
2. Mu‟amalah dalam jenis barang-barang atau macam-macam jenisnya
yang lain itu pada dasarnya berlaku harga yang sesuai dengan mata
uang yang berlaku.
3. Dalam hal menggunakan kamar mandi dan makan makanan yang
disuguhkan kepada tamu dengan tidak ada lafadz/ucapan apapun, maka
hukumnya tergantung adat yang berlaku, apakah itu gratis (cuma-cuma)
atau tidak.
4. Dalam hitungan haidh, sedikitnya haid, nifas dan suci, serta kebiasaan
dan paling banyaknya itu tergantung kebiasaan yang berlaku.
5. Untuk memberikan upah pada tukang jahit dan tukang tenun, menurut
imam Rafi‟i rahimahullah sebaiknya bersandar pada kebiasaan yang
berlaku.25
Untuk mengetahui masalah kedudukan „adah atau „urf sebagai salah
satu patokan hukum, fuqohah‟ beragam pendapat dalam memeganginya
sebagai dalil hukum, yaitu sebagai berikut:
1. Abu Hanifah : Al-Qur‟an, sunnah, ijma‟, qiyas, istihsan, dan „urf
masyarakat.
2. Imam Malik : Al-Qur‟an, sunnah, ijma‟, qiyas, istihsan, istishhab,
maslahah mursalah, syadduzdharai‟ dan „urf.
3. Malikiyyah, membagi „adah kebiasaan atau „urf menjadi tiga, yaitu:
a. Yang dapat ditetapkan sebagai hukum lantaran nash
menunjukkan,
b. Jika mengamalkannya berarti mengamalkan yang dilarang atau
mengabaikan syara‟.
c. Yang tidak dilarang dan tidak diterima dan tidak diterima lantaran
tidak ada larangan.
4. Imam Syafi‟i tidak mempergunakan „urf atau „adah sebagai dalil,
karena beliau berpegang pada al-Qur‟an, sunnah, ijma‟, dan ijtihad yang

25
Sukanan dan Khairudin, Op.Cit, hal. 48.

15
hanya dibatasi dengan qiyas saja. Karena itulah keputusan yang telah
diambil oleh imam syafi‟i dalam wujud “qaul jadid” itu merupakan
suatu imbangan terhadap penetapan hukumnya di bagdad dalam wujud
“qaul qadim.”26
F. Cabang-Cabang Kaidah
1. Ad-Dhararu Yuzalu
Sebagai kaidah pokok, ada beberapa kaidah yang menginduk
pada kaidah ini, yaitu:
a. Kaidah pertama

‫انضسوزاد رجُخ احملظىزاد‬


"Kemudharatan itu membolehkan larangan-larangan."
Dasar nash dari kaidah di atas adalah firman Allah:

ُّ‫ولد فصم نكى يب دسو ػهُكى االيباضغسزمت ان‬


Artinya: “Dan sesunguhnya Allah telah menjelaskan
kepadamu apa yang diharamkan-Nya atasmu kecuali apa yang
terpaksa kamu memakannya”(.QS. al-An‟am:119)

ُّ‫فًٍ اضغس غري ثبؽ وال ػبد فال امث ػه‬


Artinya: “Maka barangsiapa dalam keadaan terpaksa
(memakannya) sedangkan ia tidak menginginkannya, serta tidak
melampaui batas maka tiada dosa baginya” (QS. Al-
Baqarah:173)
Melihat ayat di atas, tidak semua keterpaksaan itu
memperbolehkan yang haram, namun keterpaksaan itu dibatasi
dengan keterpaksaan yang benar-benar tidak ada jalan lain
kecuali hanya melakukan itu, dalam kondisi ini maka yang haram
dapat diperbolehkan memakainya. Misalnya seseorang di hutan
tiada menemukan makanan sama sekali kecuali babi hutan dan

26
Tamrin Dahlan, Kaidah-Kaidah Hukum Islam (Kulliyah al-Khamsah), (Malang: UIN Maliki
Press, 2010), hal. 246.

16
bila ia tidak memakannya akan mati, maka babi hutan itu dapat
dimakan sebatas keperluannya.
Batasan kemadharatan adalah suatu hal yang mengancam
eksistensi manusia, yang terkait dengan panca tujuan yaitu:
memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara akal,
memelihara keturunan, dan memelihara kehormatan atau harta
benda.
b. Kaidah kedua

‫يباثُخ نهضسوزح َمدَّز ثمدزْب‬


“Sesuatu yang dibolehkan karena darurat, diukur sesuai
dengan kadar kemudharatannya”.27
Contoh kaidah di atas adalah: kebolehan memakan bangkai
bagi seseorang hanya sekadar dalam ukuran untuk
mempertahankan hidup, tidak boleh melebihi. Sebab manakala ia
telah kenyang maka alasan kebolehan memakan yang haram itu
tidak ada lagi. Contoh lain pengunaan vaksin imunisasi yang
bercampur benda najis boleh dilakukan oleh dokter karena sangat
penting untuk kesehatan, selama belum ada atau kesulitan
mencari yang tidak bercampur benda najis. Demikian juga halnya,
seorang dokter laki-laki yang karena darurat yang harus
mengobati pasien perempuan, maka tidak diperbolehkan meneliti
anggota tubuh yang tidak perlu diobati. Kaidah di atas, dengan
demikian, sejalan dengan kaidah. 28
c. Kaidah ketiga

ّ‫يبجبش نؼرز ثغم ثصوان‬


“Apa yang diizinkan karena adanya udzur, maka keizinan
itu hilang manakala udzurnya hilang.”29

27
Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Asybah wan Nadha‟ir, (Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyyah, tt), hal.
60.
28
Duski Ibrahim, Op.Cit., hal. 83.
29
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam wa Adillatuhu, (Jakarta: Gema Insani, 1982), hal. 245.

17
Misalnya kebolehan tayammum bagi seseorang yang lagi
sakit, maka ketika sudah sembuh kebolehan tayammum itu hilang
atau tidak perlaku lagi.
d. Kaidah keempat

‫االضغساز ال َجغم دك انغري‬


“Keterpaksaan itu tidak dapat membatalkan hak orang
lain”30
Keterpaksaan yang menimpa pada diri seseorang tidak
dapat menjadi alasan dihapusnya dosa dan menjadi sebab
dimaafkannya dari suatu hukuman atas pelanggaran hak orang
lain. Atau dengan kata lain, keterpaksaan tidak boleh sampai
membatalkan hak orang lain. 31
Misalnya seseorang dalam keadaan lapar, dan dia akan mati
jika ia tidak makan, dan jalan satu-satunya mendapat makanan
adalah mencuri, maka ia tidak boleh melakukannya, karena
pengguguran terhadap keterpaksaan ini mengganggu hak orang
lain, maka jalan keluar orang tersebut adalah boleh makan
makanan yang haram seperti babi, bangkai dan sebagainya.
e. Kaidah kelima
‫َلضرَ ليزَل بالضر‬
“Kemadharatan itu tidak bisa dihilangkan dengan
kemadhratan yang lain”32
Kaedah ini semakna dengan kaedah:
‫َْل ا‬
ْ ‫ض ار ُ لايُزا َ ُل ابم‬
‫َثل َۖ َه‬
“Kemudharatan tidak boleh dihilangkan dengan
kemudharatan yang sebanding”
Maksud kaedah itu adalah kemudharatan tidak boleh
dihilangkan dengan cara melakukan kemudharatan lain yang

30
Wahbah Az-Zuhaili, Op.CIt., hal. 259.
31
Asmuni Abdurrahman, Qawa‟id Fiqhiyyah: Arti,Sejarah dan Beberapa Qa‟idah Kulliyah,
(Yogyakarta : Suara Muhammadiyah, 2003), hal. 46.
32
Jalaluddin As-Suyuthi, Op. Cit., hal. 61.

18
sebanding keadaannya. Misalnya, seseorang debitor tidak mau
membayar utangnya padahal waktu pembayaran sudah habis.
Maka dalam hal ini tidak boleh kreditor mencuri barang debitor
sebagai pelunasan terhadap hutangnya.
Contoh lain seseorang yang terpaksa, umpamanya sangat
butuh dengan makanan, tidak boleh makan makanan milik orang
lain yang juga terpaksa atau sangat butuh dengan makanan itu.
Juga tidak dibenarkan seseorang yang ingin menyelamatkan diri
dengan menyelamatkan diri dengan mengambil alat milik
seseorang yang juga ingin menyalamatkan diri. 33
f. Kaidah keenam

‫املُعىز الَعمظ ثبملؼعىز‬


“Kemudahan itu tidak dapat digugurkan dengan
kesulitan.”34
Kaidah tersebut menurut Ibnu Subki diambil dari sabda nabi
SAW:

‫اذاايسركى ثبيس فأرىا يُّ يباظزغؼزى‬

“Apabila aku perintahkan kalian dengan suatu perintah


maka lakukanlah perintah itu semampu kalian”
Misalnya seorang yang buntung tangan atau kakinya maka
cara wudhunya cukup membasuh yang ada, kalau tidak ada sama
sekali maka cukup membasuh anggota yang paling ujung sendiri.
g. Kaidah ketujuh

‫دزءاملفبظد اوىل يٍ جهت املصبحل فبذارؼبزض ممفعدح ويصهذخ لدو‬

‫دفغ املفعدح غبنجب‬

33
Duski Ibrahim, Op.Cit., hal. 84.
34
Wahbah Az-Zuhaili, Op. Cit., hal. 257.

19
“Menolak kerusakan lebih diutamakan daripada
mendapatkan kemaslahatan, dan apabila berlawanan antara
mafsadah dan maslahah maka yang didahulukan adalah menolak
mafsadahnya”35
Kaidah tersebut diilhami oleh hadits nabi SAW:

‫اذاايسركى ثبيسفأ رىا يباظزغؼزى واذاهنُزكى ػٍ شئ فبجزُجى‬


“Apabila aku telah memerinahkanmu dengan suatu
perintah maka kerjakanlah perintah itu semampumu, tetapi jika
aku telah melarang padamu tentang sesuatu maka jauhilah”.
(HR. Bukhari-Muslim dari Abu Hurairah)
Dari kaidah ini dipahami bahwa manakala terjadi
pertentangan antara kemafsadatan dan kemaslahatan, maka segi
kemafsadatannya (kerusakannya atau larangannya) harus
didahulukan untuk dihindari.
Umpamanya berkumur-kumur (madhmadhah) ketika
sedang berpuasa. Satu segi mengandung kemaslahatan untuk
membersihkan mulut, tetapi di sisi lain mengandung kerusakan
yaitu membahayakan atau membatalkan ibadah puasa. Maka
berdasarkan kaidah ini, yang yang terbaik untuk dilakukan adalah
tidak berkumur-kumur, untuk menghindari batalnya puasa.
h. Kaidah kedelapan

‫اذا رؼبزض يفعدربٌ زوػً اػظًهًب ضسزا ثبزركبة اخفِّٔهًب‬


“Apabila dua mafsadah (kerusakan) bertentangan, maka
perhatikan mana yang lebih besar madharatnya dengan memilih
yang lebih ringan dari keduanya”36
Kaidah ini, menjelaskan bahwa manakala ada sesuatu
perbuatan yang mengandung dua kemafsadatan atau kerusakan,
maka hendaklah dipilih mana yang lebih ringan. Atas dasar
kaidah ini maka pembedahan perut mayat perempuan hamil dapat

35
Jalaluddin As-Suyuthi, Op. Cit., hal. 62.
36
Abdul Hamid Hakim, Mabadi Awaliyah, (Jakarta: Sa‟adiyah Putra, 1956), hal. 82.

20
dilakukan,manakala diyakini bahwa bayi yang masih dalam perut
tersebut hidup. Dalam hal ini, kemudharatan yang paling ringan
37
yang dilakukan dari dua kemudharatan: membedah perut mayat
dan membiarkan bayi dalam perut meninggal dunia.
i. Kaidah kesembilan
‫َلحاجة َلعا مة َلَلخاصة تنزل منزلة َلضرل ة‬
“Kebutuhan umum atau khusus dapat menduduki tempat
Dharar”38
Kaidah ini menjelaskan bahwa hajat (kebutuhan mendesak)
dapat disamakan dengan keadaan darurat. Atas dasar kaidah ini,
maka seseorang laki-laki boleh berhadapan dengan perempuan
ajnabiyah (bukan mahram) dalam pergaulan hidup sehari-hari,
umpamanya dalam jual beli, proses belajar-mengajar, bekerja di
kantor. Karena semua ini adalah kebutuhan yang diperlukan
dalam pelayanaan dan pembinaan masyarakat.
Atas dasar ini pula, maka pemerintah dibenarkan untuk
melakukan pembongkaran bangunan penduduk atau rakyat untuk
pelebaran jalan atau untuk kebutuhan umum lainnya, dengan tetap
memperhatikan kesejahteraannya.
Atas dasar kaidah ini pula, untuk menghindari spekulasi
kaum pedagang, maka pemerintah dibenarkan membatasi atau
menetapkan harga yang diperjual belikan, sekalipun merugikan
pihak-pihak tertentu. Hal ini karena untuk memelihara kebutuhan
masyarakat banyak.
Demikian juga, seorang 39 perempuan dibolehkan memilih
dokter ahli dari lakilaki untuk mengobati penyakitnya, karena
hajat (kebutuhan mendesak).
j. Kaidah kesepuluh

‫ََذْزًََمُ انضَّسَزُ انﺨَبﺹِ الَجَمِ انضَّسَزِ انؼَبو‬

37
Duski Ibrahim, Op.Cit., hal. 85.
38
Wahbah Az-Zuhaili, Op. Cit., hal. 261.
39
Duski Ibrahim, Op.Cit., hal. 86.

21
Dari kaidah ini dipahami bahwa suatu tindakan, sekalipun
dalam keadaan mendesak atau dianggap sangat penting, kalau
sifatnya khusus, haruslah dihindari apabila dengan tindakan
tersebut akan memunculkan dampak negatif yang lebih besar atau
lebih luas. Atas dasar kaidah ini, maka:

1) Penguasa boleh menetapkan harga pasar terhadap komoditi


yang menjadi kebutuhan masyarakat umum, manakala
ditengarai ada atau akan ada orang-orang tertentu secara
sewenang-wenang menetapkan harga untuk kepentingannya
sendiri.
2) Penguasa boleh membuat aturan hukum kebolehan membeli
secara paksa bahan komoditi yang ditimbun oleh sebagian
pedagang, padahal barang tersebut dibutuhkan oleh
masyarakat umum.
3) Tindakan terorisme yang sifatnya khusus atau untuk
kepentingan kecil tidak boleh dilakukan sekalipun40 diklaim
sebagai hal yang darurat atau penting dilakukan. Sebab,
tindakan terorisme akan mengakibatkan kerusakan yang
lebih umum atau yang lebih luas, berupa kerusakan dan
ketakutan masyarakat umum dari semua golongan termasuk
yang sama agamanya atau ideologi dengan pelaku teror.41
2. Al-Aadah Muhakkamah
Pada dasarnya al-„aadah muhakkamah termasuk salah satu dari
kaidah asasi yang jumlahnya 5 (lima) kaidah, atau menurut jumhur
ulama al-Syafi'i disebut al-qowa'idul khomsah, yaitu: i) Al-umur bi
maqaashidiha; ii) Al-yaqin la yuzalu bis-syaak; iii) Al-masyaqah tajlibu
al-taisyir; iv) Al-dlararu yuzalu; dan v) Al-„aadah muhakkamah.
Kaidah cabang adalah kaidah turunan yang lebih sepesifik dari
pada kaidah asasi yang lebih umum.

40
Ibid, hal. 87.
41
Ibid, hal. 88.

22
‫املَ ِؼسُوِفُ ُػسِفَب كَبنًَْشِسُ ِوطٔ َشسِعًب‬

“Semua yang telah dikenal karena urf seperti yang disyaratkan


karena suatu syarat”

Maksudnya adat kebiasaan dalam bermu‟amalah mempunyai


daya ikat seperti suatu syarat yang dibuat, meskipun tidak secara tegas
dinyatakan, dan sesuatu yang telah dikenal (masyhur) secara „urf (adat)
dalam sebuah komunitas masyarakat adalah menempati posisi
(hukumnya) sama dengan sebuah syarat yang disyaratkan (disebutkan
dengan jelas), walau sesuatu itu tidak disebut dalam sebuah akad
(tsansaksi) atau ucapan, sehingga sesuatu itu harus diposisikan
(dihukumi) ada, sebagaimana sebuah syarat yang telah disebut dalam
sebuah akad haruslah ada atau dilakukan. Namun dengan syarat
sesuatu yang makruf atau masyhur itu tidak bertentangan dengan syariat
Islam. 42

Contoh: jika menurut kebiasaan umum seorang penjual AC


bertanggung jawab atas pemasangannya dan dianggap sebagai syarat
dalam kontrak jual beli, maka itu merupakan tanggung jawabnnya
walaupun tak ada dalam kontrak. Contoh selanjutnya yaitu kasus
menjual buah dipohon, menurut qiyas, hukumnya tidak boleh dan tidak
sah, karena jumlahnya tidak jelas (majhul), tetapi karena sudah menjadi
kebiasaan yang umum dilakukan ditengan masyarakat , maka ulama
membolehkannya. 43

‫كم يب وزد ثّ انشسع يغبلب وال ضبثظ نّ فُّ وال انهغخ َسجغ فُّ اىل انؼسف‬

42
A. Dzazuli, Kaidah-Kaidah Fikih (Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan
Masalah-Masalah yang Praktis), (Jakarta: Kencana, 2007), hal. 86.
43
Dahlan dan Tamrin, Op. Cit., hal. 241.

23
Artinya: Setiap ketentuan yang dikeluarkan oleh syara‟ secara
mutlak dan tidak ada pembatasannya dalam syara‟ dan dalam
ketentuan bahasa, dikembalikan kepada „urf. 44

Dari kaidah ini dipahami bahwa:


a. Menurut kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat, bahwa
makanan atau minuman yang disuguhkan kepada tamu boleh
dimakan, tanpa harus membayar. Tetapi, kalau ada ketentuan lain
hendaklah diberitahu melalui pengumuman, petunjuk atau isyarat
yang menunjukan bahwa yang disajikan itu mesti dibayar.
b. Menurut kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat bahwa
manakala seorang mahasiswa hendak menggandakan naskah
skripsinya maka kertasnya disediakan oleh pihak pemilik photo
copy, kecuali memang ada ketentuan lain sesuai dengan
kesepakatan.
c. Seandainya ada seseorang meminta tolong kepada seorang
makelar untuk menjualkan kendaraan bermotornya tanpa
menyebutkan upahnya. Apabila kendaraannya itu terjual, maka
seseorang itu harus memberikan komisi kepada makelar tersebut
sesuai dengan kebiasaan yang berlaku, umpamnya dua setengah
persen dari harga penjualannya, kecuali ada kesepakatan lain.
d. Atas dasar kaidah di atas, karena sudah menjadi kebiasaan, maka
dibolehkan transaksi pemesanan barang (istishna‟ atau indent)
dengan pembayaran uang muka setengah harganya dan sisanya
akan dibayar setelah barang pesanan selesai. 45

ِ‫انًَْ ِؼسُوِفُ ثٍََُِ رُجَّبزِ كَبنًَْشِسُ ِوطٔ ثََُُِهُى‬

“Sesuatu yang telah dikenal di antara pedagang berlaku sebagai


syarat di antara mereka”

44
Mukhtar Yahya dan Fatchur Rahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami,
(Bandung: Alma‟arif, 1986), hal. 518.
45
Duski Ibrahim, Op.Cit., hal. 94.

24
Maksud kaidah ini yaitu sesuatu yang menjadi adat di antara
pedagang, seperti disyaratkan dalam transaksi. 46 Kaidah ini lebih
mengkhususkan adat atau „urf yang ada (terbiasa) diantara para
pedagang saja, dimasukan disini dikarenakan masih dalam kaitannya
dengan kaidah al-aadah muhakkamah. Sehingga maksud kaidah ini
adalah segala sesuatu yang sudah umum (biasa) dikenal dikalangan para
pedagang, maka posisi (status hukum) sesuatu ini adalah sama dengan
seperti sebuah ketetapan syarat yang berlaku diantara mereka, walau
sesuatu itu tidak disebutkan dengan jelas dalam sebuah akad atau
ucapan.

Namun aplikasi kaidah ini tidak hanya berlaku untuk transaksi


antara sesama pedagang saja, akan tetapi juga berlaku antara pedagang
dan pembeli, selama terkait dalam bidang perdagangan, sekalipun
bukan jual beli. Contoh lainnya yaitu antara pedagang dan pembeli
seperti biaya pengiriman barang menurut kebiasaan perdagangan di
Indonesia adalah menjadi tanggung jawab pembeli, sehingga walaupun
dalam akad pembelian meubel misalnya, tidak disebutkan biaya
(ongkos) pengiriman, maka hukumnya tetap ada dan menjadi
tanggungjawab penjual.

Redaksi kaidah ini dalam sebagian referensi sedikit berbeda,


namun arti dan maksudnya tetap sama, yaitu kata ta‟yin (ketentuan)
diganti dengan kata thabit (ketetapan), sehingga berbunyi al-thabit bi al-
„urf ka al-thabit bi al-nas. Maksud kaidah ini tidak jauh berbeda dengan
kaidah sebelumnya, hanya saja kaidah ini lebih memperkuat aspek
legalitasnya. Artinya posisi sebuah hukum yang didasarkan pada adat
(tradisi) dengan beberapa ketentuannya itu bisa sejajar kekuatan
legalitas hukumnya dengan nash syariat. Alhasil, sebuah ketetapan
hukum atas dasar adat itu sama seperti ketentuan hukum atas dasar nash
syariat Islam. Sehinggga tidak ada alasan bagi siapapun untuk

46
Mubarok Jaih, Kaidah Fiqh (Sejarah dan Kaidah-Kaidah Asasi), (Jakarta: Rajagrafindo
Persada, 2002), hal. 157.

25
menolaknya, terlebih jika telah diputuskan hakim dalam sebuah
sengketa misalnya perdata. Kaidah ini mirip atau searti dengan kaidah
Tasbitu al-Ma‟ruf berikut:

ٓ‫ا نزٓب ثذ ثب ملؼسوف كب نزٓب ثذ ثب نُٓص‬


“Yang ditetapkan oleh (adat) „urf sama dengan yang ditetapkan
oleh nash”.

Contoh lainnya dalam kaidah ini yaitu, apabila orang memelihara


sapi orang lain, maka upah memeliharanya adalah anak dari sapi itu
dengan perhitungan, anak pertama untuk yang memelihara dan anak
yang kedua utuk yang punya, begitulah selanjutnya secara beganti-
ganti.47

47
Dahlan dan Tamrin, Op.Cit., hal. 240.

26
BAB III

PENUTUP

A. Simpulan
Dari hasil pembahasan di atas dapat kami simpulkan bahwa Arti dari
kaidah “ad-dhararu yuzalu” adalah kemudharatan/ kesulitan harus
dihilangkan. Jadi konsepsi kaidah ini memberikan pengertian bahwa
manusia harus dijauhkan dari idhrar (tindak menyakiti), baik oleh dirinya
maupun orang lain, dan tidak semestinya ia menimbulkan bahaya
(menyakiti) pada orang lain.
maksud kaidah “al-aadah muhakkamah” adalah sebuah tradisi baik
umum atau yang khusus itu dapat menjadi sebuah hukum untuk menetapkan
hukum syariat islam (hujjah) terutama oleh seorang hakim dalam sebuah
pengadilan, selama tidak atau belum ditemukan dalil nash yang secara
khusus melarang adat itu, atau mungkin ditemukan dalil nash tetapi dalil itu
terlalu umum, sehingga tidak bisa mematahkan sebuah adat.
Sumber pembentukan kaidah ad-dhararu yuzalu terdapat dalam Q.S Al-
Baqarah [2]: 231 dan hadist Ibnu Abbas, sedangkan dasar-dasar Kaidah al-
aadah muhakkamah dalam Al-Quran Surat Al-Baqarah [2] Ayat 233 dan
HR. Ahmad, Bazar, Thabrani dalam Kitab Al-Kabiir dari Ibnu Mas'ud.
Kaidah ad-dhararu yuzalu sangat berperan dalam pembinaan hukum
Islam, terutama untuk menghindari berbagai kemudharatan dalam
kehidupan masyarakat, sedangkan Al-„aadah dan al-„urf yang menjadi salah
satu aspek penting dalam penetapan hukum Islam itu bukan merupakan
perilaku individual tetapi sudah berlaku pada kebanyakan masyarakat di
daerah tertentu.
Cabang-cabang kaidah ad-dhararu yuzalu terdiri dari sepuluh cabang
dan kaidah al-aadatu muhakkamah dalam makalah ini hanya ada tiga
cabang.
B. Saran
Dari makalah yang dibuat ini, penulis sangat mengharapkan tanggapan,
baik kritik maupun saran dari Bapak/Ibu dan teman-teman agar penulis bisa
membuat makalah dengan lebih baik kedepannya.

27
DAFTAR PUSTAKA

Abbas dan Arfan. 2012. Kaidah-kaidah Fiqh Muamalah dan Aplikasinya dalam
Ekonomi Islam dan Perbankan Syariah. Jakarta: Direktorat Pendidikan
Tinggi Islam dan Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama
RI.
Abdurrahman, Asmuni. 2003. Qawa‟id Fiqhiyyah: Arti,Sejarah dan Beberapa
Qa‟idah Kulliyah. Yogyakarta: Suara Muhammadiyah.
Al-Dusury, Muslim bin Muhammad. 2007. Al-Mumti‟ fi al-Qawaid al-Fiqhiyyah.
Riyadh: Dar Zidni.
Alim, Nur. 2010. “Ad-Dhararu Yuzalu”, http://noeraliem.blogspot.com ad-
dhararu-yuzalukemudharatan-itu.html, diakses pada 05 Maret 2020 pukul
16.07.
As-Suyuthi, Jalaluddin. Tt. Al-Asybah wan Nadha‟ir. Beirut: Darul Kutub Al-
Ilmiyyah.
Al-Zaqra, Musthafa Ahmad. 1978. Makhdal al-Fiqh Al-„Am. Beirut: Dar al-Fikr.
Al-Zarqa, Ahmad Muhammad. 1989. Syarh al-Qawaid al—Fiqhiyyah. Damaskus:
dar al-Qolam.
Az-Zuhaili. 1982. Fiqih Islam wa Adillatuhu. Jakarta: Gema Insani.
Dahlan, Tamrin. 2010. Kaidah-Kaidah Hukum Islam (Kulliyah al-Khamsah).
Malang: UIN Maliki Press.
Djazuli, A. 2007. Kaidah-Kaidah FIkih. Jakarta: Kencana Prenada Media.
Djuzuli. 2007. Kaidah-Kaidah Fikih. Jakarta: Kencana.
Dzazuli, A. 2007. Kaidah-Kaidah Fikih (Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam
Menyelesaikan Masalah-Masalah yang Praktis). Jakarta: Kencana.
Hakim, Abdul hamid. 1956. Mabadi Awaliyah. Jakarta: Sa‟adiyah Putra.
Hakim, Abdul Hamid. Tt. As-Sullam. Jakarta: Maktabah as-sa‟diyah Putra.
Harahap, Kewin. 2020. “Addharuroh Yujalu” https://www.slideshare.net/
KewinHarahap/ addharuroh-yujalu, diakses pada 5 Maret 2020 pukul 20.15.
Ibrahim, Duski. 2019. Al-Qawa‟id Al-Fiqhiyah (Kaidah-Kaidah Fiqih).
Palembang: Amanah.
Imam, Musbik. 2001. Qawa‟id al- Fiqhiyah. Jakarta: Rajagrafindo Persada.

28
Jaih, Mubarok. 2002. Kaidah Fiqh (Sejarah dan Kaidah-Kaidah Asasi). Jakarta:
Rajagrafindo Persada.
Jauhari, Wildan. 2018. Kaidah Fikih: Adh-Dhararu Yuzal. Jakarta: Rumah Fiqih
Publishing.
Muchlis, Usman. 2002. Kaidah-Kaidah Istinbath Hukum Islam (Kaidah-Kaidah
Ushuliyah dan Fiqhiyah). Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Ramadhan, Athiyah Adlan Athiyah. 2007. Mausuah al-Qawaid al-Fiqhiyyah.
Iskandariyah: Dar al-Aiman.
Sukanan dan Khairudin. 1927. Ushul Fiqh. Jakarta: Sa‟diyah Putra.
Syafe‟I, Rachmat. 2007. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung: Pustaka Setia.
Washil, Nashr Farid Muhammad. 2016. Qawa‟id Fiqhiyyah. Jakarta: Amzah.
Yahya, Mukhtar dan Fatchur Rahman. 1986. Dasar-Dasar Pembinaan Hukum
Fiqh Islami. Bandung: Alma‟arif.
Zaidan, Abdul Karim dan Al-Wajiz. 2013. 100 Kaidah Fikih dalam Kehidupan
Sehari-hari. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.

29

Anda mungkin juga menyukai