Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH

AKSIOLOGI PEMASARAN SYARIAH


Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah
“Manajemen Pemasaran Syariah”
Dosen Pengampu : Vida Maria Ulfa, M.M.

Disusun oleh :
Kelompok 2 kelas ES 6B
1. Fina Setyaningsih (126402201057)
2. Fitria Nur Anggraini (126402201058)
3. Resti Andini (126402201059)
4. Ida Fitriani (126402201060)
5. Muhammad Zaidan D. A (126402201061)
6. Ervi Apriliyawati (126402201062)

PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SAYYID ALI RAHMATULLAH
TULUNGAGUNG
MARET 2023
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr.Wb
Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT karena telah
memberikan kelancaran terhadap kami, sehingga dapat menyelesaikan tugas mata
kuliah “Manajemen Pemasaran Syariah” dalam bentuk makalah.
Sholawat serta salam semoga senantiasa terlimpahkan kepada junjungan kita
Nabiyullah Muhammad SAW yang telah membimbing dan membawa kita dari
zaman kejahiliyahan ke zaman yang penuh cahaya ilahi.
Dengan terselesainya pembuatan makalah ini penyusun tidak lupa
mengucapakan terima kasih kepada :
1. Prof. Dr. Maftukhin, M.Ag. selaku Rektor Universitas Islam Negeri
Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung.
2. Vida Maria Ulfa, M.M. selaku dosen pengampu mata kuliah Manajemen
Pemasaran Syariah.
3. Orang tua yang mendukung dalam proses pembelajaran pembuatan
makalah ini.
4. Teman-teman Ekonomi Syariah kelas 6B.
Dalam penulisan makalah ini, kami menyadari bahwa sesuai dengan
kemampuan dan pengetahuan yang terbatas, maka makalah yang berjudul
“Aksiologi Pemasaran Syariah” ini masih jauh dari kata sempurna. Untuk itu
kritik dan saran dari semua pihak sangat kami harapkan demi penyempurnaan
pembuatan makalah ini. Kami berharap dari makalah yang kami susun ini dapat
bermanfaat dan menambah wawasan bagi kami maupun pembaca. Amin.
Wassalamualaikum Wr.Wb

Tulungagung, 12 Maret 2023

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................... ii


DAFTAR ISI ................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ..................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................ 2
C. Tujuan Pembahasan ............................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Aksiologi Pemasaran Syariah: Nilai .................................................... 3
1. Nilai Pelanggan (Customer Value)................................................. 3
2. Maqashid Syariah dan Manajemen Pemasaran .............................. 5
3. Riba ................................................................................................ 9
4. Prinsip Pemasaran Syariah ............................................................. 11
B. Aksiologi Pemasaran Syariah: Etika .................................................... 14
1. Etika Bisnis Konvensioanl ............................................................. 14
2. Prinsip Etika Bisnis Konvensioanl ................................................. 16
3. Sistem Etika Dalam Islam .............................................................. 18
C. Studi Kasus dan Analisisnya ................................................................ 21
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan .......................................................................................... 23
B. Saran ..................................................................................................... 24
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 25

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Setiap menjalankan dunia usaha, manajemen pemasaran merupakan
kunci serta ujung tombak dari bisnis itu sendiri. Manajemen pemasaran tidak
hanya berurusan dengan perusahaan saja akan tetapi juga berurusan dengan
citra dan cara bagaimana bisa mengambil hati dan menarik pelanggan. Dunia
usaha di dalam sebuah perusahaan akan berjalan lancar apabila manajemen
pemasarannya dikelola dengan baik dan bisa membaca peluang yang ada.
Tingkat persaingan dalam dunia bisnis menuntut setiap perusahaan untuk bisa
mengunggulkan segala kemampuannya dalam memasarkan produk dan jasa
yang di tawarkan. Buchari Alma dalam Faizatul Fitriyah di jurnalnya
menjelaskan bahwa kegiatan dalam sebuah usaha memerlukan suatu konsep
pemasaran yang mendasar agar efektif dan efisien sesuai dengan orientasi
perusahaan terhadap pasar. Tentunya konsep pemasaran yang direncanakan
harus dipikirkan secara matang agar rencana dan penerapan pemasaran
berjalan sesuai yang diharapkan.
Pemasaran dapat diartikan sebagai sebuah disiplin bisnis strategis yang
mengarahkan pada proses penciptaan, penawaran dan perubahan nilai dari
satu inisiator kepada stakeholdernya. Kegiatan pemasaran sebenarnya
merupakan suatu kegiatan yang sangat mulia karena pada kegiatan tersebut
selalu memunculkan ide dan kreativitas untuk melakukan approach, inovatif,
perubahan dan pembaharuan dalam banyak hal. Namun, ketika kegiatan
tersebut mengalami disorientasi dan cenderung mengejar keuntungan yang
instan, maka terkadang kegiatan pemasaran yang mulia dan penuh etika itu
telah berubah dengan penipuan dan manipulasi. Fenomena itulah yang
seringkali ditemui di lapangan. Apabila fenomena ini terus dipertahankan
maka akan merusak dunia peradaban pemasaran.1

1
Faizatul Fitriyah, “Filsafat Manajemen Pemasaran Syari’ah (Dalam Kajian Ontologi,
Epistimologi Dan Aksiologi),” KARATON: Jurnal Pembangunan Sumenep Vol. 1, No. 1 (2021):
67–68, file:///C:/Users/ACER/Downloads/67-83.pdf.

1
Berdasarkan dari permasalahan diatas, maka dalam makalah ini penulis
akan membahas beberapa hal yang berkaitan dengan “Aksiologi Pemasaran
Syariah” yakni aksiologi pemasaran syariah: nilai, aksiologi pemasaran
syariah: etika, dan studi kasus beserta analisisnya.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka rumusan
masalah dalam penulisan ini adalah :
1. Bagaimana konsep dari nilai pelanggan (customer value)?
2. Bagaimana konsep maqashid syariah dan manajemen pemasaran?
3. Apa yang dimaksud dengan riba?
4. Bagaimana prinsip pemasaran syariah?
5. Apa yang dimaksud dengan etika bisnis konvensioanl?
6. Bagaimana prinsip etika dari bisnis konvensional?
7. Bagaimana sistem etika dalam bisnis konvensioanl?
8. Bagaimana studi kasus dan analisisnya yang berkaitan dengan aksiologi
pemasaran syariah?

C. Tujuan Pembahasan
Tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan ini adalah :
1. Menjelaskan tentang konsep dari nilai pelanggan (customer value).
2. Menjelaskan tentang maqashid syariah dan manajemen pemasaran.
3. Menjelaskan tentang riba.
4. Menjelaskan tentang prinsip pemasaran syariah.
5. Menjelaskan tentang etika bisnis konvensioanl.
6. Menjelaskan tentang prinsip etika bisnis konvensional.
7. Menjelaskan tentang sistem etika dalam bisnis konvensioanl.
8. Menjelaskan tentang studi kasus dan analisisnya yang berkaitan dengan
aksiologi pemasaran syariah.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Aksiologi Pemasaran Syariah: Nilai


1. Nilai Pelanggan (Customer Value)
Konsep nilai semakin banyak digunakan dalam pemasaran saat
ini. Buktinya dapat kita lihat dari defisini pemasaran yang diberikan oleh
para ahli. Kalau kita bicara definisi pemasaran, maka patokan paling
banyak digunakan adalah definisi dari American Marketing Association
(AMA) yang bermarkas di Chicago, Amerika Serikat. Defisini pemasaran
terbaru dari lembaga ini, yang dibuat tahun 2007 adalah:

“Marketing is the activity, set of institutions, and processes for


creating, communicating, delivering, and exchanging offerings that
have value for customers, clients, partners, and society at large”.

Dengan terjemahan bebas, definisi tersebut menyatakan bahwa


pemasaran adalah kegiatan, seperangkat institusi, dan proses untuk
menciptakan, mengomunikasikan, mengantarkan, dan mempertukarkan
tawaran yang memiliki nilai bagi pelanggan, klien, mitra dan masyarakat
secara luas. Tujuan pemasaran adalah menciptakan, mengantarkan dan
mempertukarkan nilai dengan konsumen. Dari definisi di atas terlihat
peran penting “nilai‟ dalam pemasaran. Permasalahannya adalah: apa
pengertian nilai itu? Banyak istilah tentang nilai yang dapat dijumpai
dalam pemasaran. Sebagian ahli (misalnya Day, 2002; Vargo dan Lusch,
2004; 2008) menggunakan istilah “nilai‟, sebagian menggunakan istilah
customer value (Lam, Shankar, Erramilli dan Murty, 2004; Khalifa,
2004), value for the customer (Woodall, 2003), customer perceived value
(Eggert dan Ulaga, 2002), consumer value (SánchezFernández dan
Iniesta-Bonillo, 2006).

3
Menurut Scanchez-Fernandea dan Iniesta-Bonillo (2006)2, konsep
nilai pelanggan yang berbeda-beda tersebut dapat dikelompokkan ke
dalam empat kategori, yaitu: (1) nilai sebagai harga rendah (value as low
price), (2) nilai sebagai apa saja yang diinginkan konsumen pada suatu
produk (value as whatever the consumer wants in a product), (3) nilai
sebagai kualitas yang diperoleh konsumen sebagai imbalan atas harga
yang dibayarkan (value as the quality the consumer gets for the price
she/he pays) dan (4) nilai sebagai apa yang diperoleh konsumen untuk apa
yang telah mereka berikan (value as what the consumer gets for what
he/she gives). Untuk lebih singkatnya, ada dua dimensi yang terkait
dengan nilai, yaitu apa yang diperoleh konsumen (GET) dan apa yang
dikorbankan konsumen (GIVE). Kategori pertama yang mengasosiasikan
nilai sebagai harga rendah tentunya fokus pada GIVE. Kategori kedua
yang menganggap nilai sebagai ”apa saja yang diinginkan konsumen pada
produk (value as whatever the consumer wants in a product)” fokus pada
GET. Kategori ketiga yang menganggap nilai sebagai ”kualitas yang
diperoleh konsumen sebagai imbalan atas harga yang dibayarkan (value
as the quality the consumer gets for the price she/he pays)”, fokus pada
perbandingan antara GET dan GIVE. Kategori keempat, yang
menganggap nilai sebagai ”apa saja yang diperoleh konsumen untuk apa
yang telah mereka berikan (value as what the consumer gets for what
he/she gives)”, juga membandingkan GET versus GIVE, namun lebih
lengkap dari kategori ketiga.
Nilai dalam pemasaran berbeda dengan nilai dalam ilmu pasti.
Dalam ilmu pasti, nilai dari 1+1 itu sudah pasti 2, jika dijawab 3 maka
salah. Sedangkan dalam pemasaran, nilai disini bersifat perseptual yang
sangat bergantung pada persepsi konsumen. Nilai suatu produk bisa tinggi
atau rendah tidak bisa ditentukan dengan pasti. Bisa jadi ada suatu produk
yang rasanya enak tapi tidak lebih laku dari produk yang rasanya relatif
tidak enak. Bisa jadi juga ada produk yang harganya murah namun tidak

2
Sánchez-Fernández, R., & Iniesta-Bonillo, M. A. 2006. Consumer Perception of Value:
Literature Review and a New Conceptual Framework. Journal of Consumer Satisfaction,
Dissatisfaction and Complaining Behavior, 19, 40-58.

4
lebih laris dari produk yang harganya lebih mahal. Mengapa bisa seperti
itu? Jawabanya karena semua bergantung dari persepsi konsumen.
Maka, kalau dirumuskan nilai yang dipersepsikan konsumen itu
adalah persepsi manfaat dari suatu produk dikurangi dengan persepsi
biaya yang dibebankan kepada konsumen. Maknanya, suatu produk dapat
dikatakan bernilai jika konsumen mempersepsikan manfaat dari produk
tersebut lebih besar dibanding dengan biayanya. Sehingga, jika ada
makanan yang rasanya enak tapi tidak lebih laku dibanding makanan yang
tidak enak, hal tersebut bisa saja terjadi karena makanan yang relatif tidak
enak menawarkan nilai yang lebih. Oleh karenanya, konsumen pun akan
mempersepsikan manfaat yang lebih dibanding makanan yang relatif
lebih enak.3
2. Maqashid Syariah dan Manajemen Pemasaran
Setiap aturan baik berupa anjura maupun larangan di dalam
agama Islam pasti memiliki tujuan dan maksud. Tujuan dan maksud dari
adanya aturan dalam hukum tersebut diistilahkan dengan Maqashid
Syariah, yang kemudian menjadikan islam dapat diterapkan dan berlaku
secara universal kepada seluruh makhluk hidup tanpa memandang latar
belakang.
Maqashid al-syari'ah terdiri dari dua kata, maqashid dan syari'ah.
Kata maqashid merupakan bentuk jama' dari maqshad yang berarti
maksud dan tujuan, sedangkan syari'ah mempunyai pengertian hukum-
hukum Allah yang ditetapkan untuk manusia agar dipedomani untuk
mencapai kebahagiaan hidup di dunia maupun di akhirat. Maka dengan
demikian, maqashid al-syari'ah berarti kandungan nilai yang menjadi
tujuan pensyariatan hukum. Maka dengan demikian, maqashid al-syari'ah
adalah tujuan-tujuan yang hendak dicapai dari suatu penetapan hukum.4
Wahbah al-Zuhaili mendefinisikan maqashid syari'ah dengan
makna-makna dan tujuan-tujuan yang dipelihara oleh syara' dalam seluruh

3
Hendy Mustiko Aji, Manajemen Pemasaran Syariah, Yogyakarta, UPP STIM YKPN, 2019, hal.
88.
4
Asafri Jaya, Konsep Maqashid al-Syari'ah Menurut al-Syathibi, Jakarta: Raja Grafindo Persada,
1996. hal.5.

5
hukumnya atau sebagian besar hukumnya, atau tujuan akhir dari syari'at
dan rahasia-rahasia yang diletakkan oleh syara' pada setiap hukumnya.5
Menurut Yusuf Qardhawi Salah satu tujuan dari syariah (maqasid syariah)
adalah adanya keadilan. Keadilan ini dalam artian si konsumen tidak
dieksplotasi oleh suatu perusahaan dan perusahaan membuat produk yang
menguntungkan buat konsumen. Sehingga antara perusahaan dan
konsumen bisa saling menguntungkan.
Sedangkan pengertian Manajemen pemasaran Menurut Kotler dan
Armstrong terdiri dari dua kata yaitu Pemasaran dan manajemen.
pemasaran adalah analisis, perencanaan, implementasi, dan pengendalian
dari program-program yang dirancang untuk menciptakan, membangun,
dan memelihara pertukaran yang menguntungkan dengan pembeli sasaran
untuk mencapai tujuan perusahaan. Sedangkan manajemen adalah proses
perencanaan (Planning), pengorganisasian (organizing) penggerakan
(Actuating) dan pengawasan. Jadi dapat diartikan bahwa Manajemen
Pemasaran Menurut Kotler dan Armstrong adalah sebagai analisis,
perencanaan, penerapan, dan pengendalian program yang dirancang untuk
menciptakan, membangun, dan mempertahankan pertukaran yang
menguntungkan dengan pasar sasaran dengan maksud untuk mencapai
tujuantujuan organisasi.6
Hukum-hukum dalam syariat Islam dapat dikategorikan menjadi 3 (tiga)
kelompok besar (Alserhan, 2011):
1. Halal
Kata Halal diambil dari bahasa arab yang artinya dibolehkan.
Sesuatu yang dihalalkan maknanya adalah sesuatu yang secara syariat
(aturan agama Islam) dibolehkan dengan mempertimbangkan dalil
dari Al-Quran dan Hadits shahih (valid). Istilah Halal juga dapat
disematkan pada pemasaran sehingga menjadi Manajemen Pemasaran
Halal, namun karena pertimbangan standardisasi, maka menggunakan
istilah Manajemen Pemasaran Islami. Halal itu sendiri dapat

5
Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, Beirut: Dar al-Fikr, 1986, hal.1017.
6
https://ciku.typepad.com/blog/2009/12/definisi-pemasaran-dan-manajemen-pemasaran.htmli
(Diakses pada Minggu 12 Maret 2023 Pukul 16.11)

6
diklasifikasikan kembali menjadi 3 (tiga) tingkat berdasarkan
tingkatan terendah sampai tertinggi, yaitu:
a. Makruh
Makruh secara bahasa artinya adalah dibenci, tidak
diinginkan, tidak dianjurkan dalam agama. Sesuatu yang bersifat
makruh harus dijadikan sebagai opsi paling akhir dalam
pengambilan keputusan. Meskipun mengerjakan sesuatu yang
makruh dibenci, tidak diinginkan dan juga tidak dianjurkan dalam
agama, namun tidak mengakibatkan pelakunya mendapat dosa.
Contoh paling umum dalam masalah ini adalah perceraian.
Didalam islam, hukum asal dari perceraian adalah makruh karena
perbuatan tersebut disukai oleh iblis dan bala tentaranya. Seperti
pada hadits Rasulullah Shallahu'aliahi wa sallam:
Sesungguhnya Iblis meletakkan singgasananya di atas air
kemudian mengirim pasukannya (ke berbagai penjuru). Pihak yang
terdekat kedudukannya dari Iblis adalah yang paling besar
menimbulkan fitnah. Salah satu dari mereka datang (menghadap
Iblis) dan menyatakan: Aku berbuat demikian dan demikian. Iblis
menyatakan: engkau belum berbuat apa- apa. Kemudian datang
satu lagi (melaporkan): Aku tidak tinggalkan ia (manusia) hingga
aku pisahkan ia dengan istrinya. Kemudian Iblis mendekatkan
kedudukannya dan mengatakan: bagus engkau. [HR. Muslim]
b. Mandub
Mandub artinya adalah disukai namun tidak diwajibkan,
atau dapat juga diartikan sebagai segala sesuatu yang diperintahkan
oleh syariah secara tidak tegas. Dengan demikian, jika seseorang
tidak mengerjakan sesuatu yang bersifat Mandub maka tidak
mendapatkan dosa. Perkara Mandub dapat disebut juga sebagai
pelengkap Halal (Alserhan, 2011). Maka, sebagai implikasinya
perkara yang bersifat Mandub boleh dikerjakan boleh tidak, namun
jika dikerjakan tentu lebih baik. Contohnya adalah bersiwak,
memakai parfum ke masjid, sholat rawatib dan lain sebagainya.

7
c. Wajib.
Tingkat paling tinggi dari halal adalah Wajib. Secara
bahasa, wajib bermakna kewajiban atau tindakan yang harus
dikerjakan. Berbeda dengan kedua klasifikasi halal sebelumnya,
pada perkara wajib, jika seseorang tidak mengerjakannya maka
akan mendapatkan dosa. Inilah inti dari Halall Tanpa inti ini suatu
perusahaan tidak dapat dikatakan sebagai perusahaan yang
mengikuti syariah. Sebagai konsekuensinya, perusahaan harus
melakukan perkara yang wajib dalam aktivitasnya seperti
mengedepankan kejujuran, transparans keadilan, dan seterusnya.
2. Musytabih
Musytabih maksudnya adalah perkara yang masih meragukan.
Hal yang diragukan adalah status Halal atau Haram nya. Oleh karena
sifatnya yang masih meragukan tersebut, maka setiap individu harus
menghindari untuk mengerjakan sesuatu yang musytabih Secara lebih
luas, perusahaan harus menghindari diri agar tidak mengerjakan
sesuatu yang musytabih. Misalnya, perkara perkara yang berkaitan
dengan keuangan. Perusahaan tidak boleh bermudah-mudahan
didalamnya. Seringnya sesuatu yang berkaitan dengan keuangan erat
berkaitan dengan kedzoliman Pada bab kedepan akan dijelaskan
pembahasan tentang Riba yang berkaitan dengan praktik kedzoliman
pada konteks keuangan
3. Haram
Secara bahasa, haram artinya adalah tidak diperbolehkan,
seluruh perkara yang dilarang dalam agama Islam. Mengerjaan
perkara haram akan mengakibatkan pelakunya mendapat dosa. Besar
kecilnya dosa tergantung dari jenis perkara haram yang dilakukan.
Dosa paling besar dalam agama Isam adalah melakukan kesyirikan
atau menyekutukan Allah ta'ala dengan sesuatu apapun. Dosa ini
dapat mengakibatkan pelakunya keluar dari Agama Islam. Maka
dalam konteks bisnis, perusahaan harus menjaga diri dari setiap
aktivitas yang mengarah kepada kesyirikan.

8
Ketiga klasifikasi hukum dalam syariah ini berdampak signifikan
pada praktik dalam suatu perusahaan, terkhusus dalam kaitannnya dengan
pemasaran kepada konsumen beragama Islam. Perusahaan, meskipun
bukan berlatar belakang Islami harus memperhatikan status produk yang
ingin dijual kepada konsumen Muslim, status tempat transaksi berjualan,
penetapan harga yang diberikan serta cara-cara dalam melakukan promosi
kepada konsumen Muslim.
Konsumen beragama Islam sangat memperhatikan status hukum
(halal/musytabih/haram) dari suatu produk atau jasa. Produk yang haram
tidak akan mendapat tempat pada pasar Muslim. Sebaliknya, jika
perusahaan menjual produk yang halal, sebuah produk tidak hanya akan
mendapat tempat pada pasar Muslim namun juga pasar non-Muslim. Di
Malaysia, sebuah penelitian yang dilakukan oleh Rezai, Mohamed dan
Shamsudin (2012) menunjukkan bahwa non-Muslim memahami bahwa
produk-produk dengan label halal berkaitan dengan kesehatan produk dan
keramahan terhadap lingkungan. Maknanya, bagi non-Muslim di Malaysia
produk halal adalah produk yang sehat dan ramah lingkungan (hijau).7
3. Riba
Istilah Riba belakangan ini menjadi populer. Namun banyak juga
terjadi kesalahpahaman tentang riba ditengah masyarakat karena mereka
belum paham hakikat dari Riba. Riba secara bahasa maknanya adlaah “az-
ziyadah” yang berarti penambahan atau pertumbuhan. Adapun secara
istilah Riba bermakna tambahan secara khusus. Sedangkan yang dimaksut
tambahan secara khusus adalah tambahan yang diharamkan oleh syariat
islam, baik yang diperoleh dengan cara penjualan atau penukaran atau
peminjaman yang berkenaan dengan barang ribawi.8
Dengan demikian, dapat diketahui bahwa secara umum terdapat
benang merah antara pengertian secara bahasa dan secara istilah bahwa
Riba merupakan pengambilan tambahan dakam suatu akad transaksi
tertentu dimana pengambilan tambahan tersebut tanpa disertai imbangan

7
Hendy Mustiko Aji, Manajemen Pemasaran Syariah, Yogyakarta, UPP STIM YKPN, 2019, hal.
91-93.
8
Ibid., hal. 94.

9
tertentu. Dengan bahasa lain riba adalah pengambilan tambahan dari harta
pokok tanpa transaksi pengganti yang meligitimasi adanya penambahan
tersebut.9
Dari definisi diatas, maka riba dapat dipisahkan menjadi dua yaitu
Riba pada transaksi jual-beli (Riba Buyu’) dan transaksi hutang piutang
(Riba Dayn). 10Riba Buyu’ merupakan pertukaran dua barang ribawi yang
sejenis atau tidak sejenis dalam klasifikasi yang sama, dengan adanya
penangguhan. Sedangkan Riba Dayn merupakan riba yang seperti halnya
kelakuan arab jahiliyah dimana mereka ketika memberi hutang kepada
seseorang mensyaratkan untuk melunasinya dengan tambahan bunga dan
juga jika pengutang terlambat melunasinya maka akan dikenakan denda
atau pihak pembeli sendiri yang menyatakan syarat untuk bayar denda.
Sehingga jika kedua belah pihak masuk kedalam akad hutang piutang ,
maka keduanya tidak boleh mensyaratkan adanya manfaat atau
keuntungan baik berupa manfaat keuangan maupun non keuangan. Begitu
pula jika kedua belah pihak masuk pada akad jual-beli maka agar tidak
terjatuh kedalam riba harus paham betul terkait dengan jual beli dengan
unsur perundaan (barang maupun uang) dan jual beli yang melibatkan
barang-barang Ribawi.
Konsekuensinya dalam praktek pemasaran adalah tidak boleh
menukarkan dua uang dengan nilai dan jumlah yang berbeda. Uang yang
ditukarkan dengan nilai dan jumlah yang berbeda maka termasuk kedalam
riba, yaitu riba Fadhl. Praktek ini banyak terjadi menjelang idul fitri
disekitar kita. Konsekuensi lainya adalah semua transaksi antar uang atau
matauang harus dilakukan secara kontan tanpa adanya sesuatu yang
tertunda. Maka dalam berbisnis penukaran valuta asing, transaksi harus
dilakukan secara kontan dengan satu nilai yang berlaku pada hari
terjadinya transaksi.11

9
Abdul Ghofur, Konsep Riba Dalam Al-Quran, Economica Vol.7 No.1, 2016 hal.6
10
Hendy Mustiko Aji, Manajemen Pemasaran Syariah, Yogyakarta, UPP STIM YKPN, 2019, hal.
95.
11
Ibid., Hal.96

10
4. Prinsip Pemasaran Syariah
Sebuah sistem tidak akan dapat berjalan efektif tanpa kontrol
orang yang menjalankan sistem tersebut. Agar seseorang dapat
mengkontrol sistem, dibutuhkan prinsip-prinsip yang melandasi sebuah
sistem tadi. Alserhan (2011) menuliskan enam prinsip yang mengatur
sistem etika Islami, yaitu:
1. Prinsip Kesatuan
Ini adalah prinsip paling utama dan mendasar yang
membedakan antara sistem etika Islam dan etika sekulerisme. Dalam
sistem etika sekulerisme, moral ditentukan dengan tanpa standar yang
sama. Standar moral bersifat kontekstual bergantung pada berbagai
macam faktor, seperti rasionalitas, perasaan dan budaya. Agama tidak
boleh dijadikan sumber keputusan karena sekulerisme adalah paham
yang meyakini bahwa kehidupan harus dipisahkan dari nilai agama.
Maka tidak heran jika standar moral (benar atau salah) dalam
perspektif sekulerisme berbeda-beda.
Termasuk pada prinsip kesatuan di dalam agama Islam adalah
tidak diperbolehkannya perlakuan diskriminatif antar sesama pelaku
pasar. Tidak boleh membeda-bedakan dalam suku, wama kulit, jenis
kelamin bahkan agama, dalam hal perlakuan yang berkaitan dengan
kejujuran. Maknanya, dalam berbisnis kejujuran dan kejujuran harus
diterapkan kepada seluruh pelaku pasar tanpa pandang latar belakang.
Perbedaan latar belakang adalah suatu keniscayaan, sehingga tidak
boleh membeda-bedakan dalam urusan bisnis pada konteks tersebut.
2. Keimanan
Keimanan adalah salah satu prinsip dan motivasi yang utama
dalam mengatur sistem etika Islami Tanpa adanya keimanan, tidak
mungkin seseorang mau tunduk untuk menjalankan sistem etika Islam
yang menimbang setiap masalah berdasarkan Al-Quran, Al- Hadits
(Rasulullah shalallahu'allahi wa sallam dan Shahabatnyal serta Ijma'
para ulama. Orang dengan keimanan yang lemah akan lebih mengikuti
hawa nafsunya dibanding dalil. Tanpa adanya prinsip keimanan juga

11
tidak mungkin seorang pelaku bisnis mau menghindari diri godaan
dan kesulitan. Sesua dengan sifat naluriahnya, manusia akan lebih
suka dengan sesuatu yang dekat kepada hawa nafsu Maknanya,
manusia akan lebih suka dan lebih mudah mengerjakan sesuatu yang
mudah dan menggoda. Oleh karena sifat naluriah manusia yang
seperti itu, maka untuk terlepas dari sifat naluriah tersebut dibutuhkan
keimanan yang kuat.
3. Kewalian
Prinsip selanjutnya yang harus ada agar sistem etika Islam da
berjalan adalah prinsip kewalian atau trusteeship/khilafah mungkin
terdengar asing bagi telinga masyarakat kita. Trusteeship asal katanya
adalah trustee yang bermakna seseorang atau yang dipercaya untuk
memegang wewenang terkait apapu didistribusikan manfaatnya
kepada masyarakat. Bahasa kita mungkin dapat didefinisikan
seseorang yang dipercaya menjadi wali bagi masyarakat. Wali ini
memiliki wewenang untuk mendistribusikan sesuatu yang dititipkan
padanya (berupa sumberdaya) kepada masyarakat luas sesuai dengan
ilmu syariah (Al-Quran dan Al-Hadits).
Istilah lain selain kewalian yang mungkin dapat digunakan
adalah kepemimpinan. Namun permasalahnnya, pemimpin belum
tentu dapat menjalankan peran sebagai wali. Sebaliknya, wali yang
baik sudah pasti seorang pemimpin, Tanpa prinsip kewalian, praktek
ekonomi yang berdasarkan pada sistem etika islam sulit dijalankan
Diperlukan seseorang yang memiliki ilmu agama Islam untuk dapat
dipercayakan sebagal wali dalam konteks ini.
4. Keseimbangan
Prinsip keseimbangan yang dimaksud dalam hal ini adalah
prinsip pertengahan, yaitu prinsip untuk tidak bermudah-mudahan
(tafrith) dan juga tidak ekstrim (frath Islam bukan agama yang
melarang seorang Muslim untuk menjadi kaya atau mengambil
keuntungan dari perniagaan. Pelarangan seorang Muslim untuk
menjadi kaya atau mengambil keuntungan dapat dikatakan sebagai

12
tindakan yang ekstrim (frath). Para shahabat Rasulullah
shalallahu’alaihi wa sallam juga ada beberapa yang kaya raya,
misalnya Abdurrahman bin ‘Auf-semoga Allah meridhoinya.
Islam tidak melarang seorang pebisnis untuk mengambil
keuntungan dalam perniagaan. Namun hal tersebut tidak boleh
dijadikan motivasi paling utama dalam berbisnis. Motivasi utama
dalam berbisnis yang harus dimiliki adalah motivasi untuk
memberikan manfaat kepada masyarakat. Dengan demikian, tanpa
prinsip keseimbangan, sistem etika Islam juga akan sulit
diimplementasikan. Ketiadaan prinsip ini membuat seseorang
berlebih-lebihan atau bermudah-mudahan dalam mengerjakan sesuatu.
5. Keadilan
Prinsip selanjutnya yang dibutuhkan sebagai kontrol sistem etika
Islami adalah prinsip keadilan. Keadilan adalah tema utama dalam
agama Islam (Alserhan, 2011). Seorang yang ber-iman diperintahkan
oleh Allah ta’ala untuk selalu berlaku adil. Prinsip keadilan di dalam
agama Islam berlaku kepada seluruh manusia tanpa memandang
latarbelakang apapun, termasuk agama Seorang muslim tidak
diperbolehkan berlaku tidak adil kepada rekan bisnisnya yang non-
Muslim. Jika kepada non-Muslim saja diperintahkan berlaku adil,
maka terlebih lagi kepada sesama Musilm.
Prinsip ini berlaku pada semua konteks aktivitas, terkhusu
ekonomi. Dalam penentuan harga suatu barang misalnya, m sekuler
melalui ekonomi konvensionalnya sepakat bahwa harga yang adil
adalah harga yang terbentuk dari interaksi antar permintaan dan
penawaran. Semakin tinggi permintaan dengan kondisi penawaran
yang sedikit akan mengakibatkan harga prod menjadi mahal,
begitupula sebaliknya.
6. Kebebasan
Prinsip yang terakhir adalah prinsip kebebasan. Seorang Muslim
bebas melakukan apapun sebagai kholifah di muka bumi ini. Namun
kebebasan yang dimaksudkan bukanlah kebebasan seperti hewan di

13
dalam hutan yang tidak memiliki aturan, Kebebasan yang
dimaksudkan adalah kebasan dalam koridor aturan syariah.
Seorang pebisnis atau pemasar Decas mesaxuxan atau membuat
keputusan apapun dalam bisnis selama tidak melanggar aturan
syariah. Islam tidak pernah melarang seorang Muslim untuk berbisnis
dengan orang kafir. Agama Islam adalah agama yang mudah dan
aturannya dapat diterima secara rasional oleh semua kalangan,
meskipun oleh kalangan non-Muslim. Dengan mengimplementasikan
aturan Allah ta’ala, seseorang tidak akan kehilangan kebebasannya,
namun justru aturan Allah ta’ala akan mengurangi keegoisannya dan
meningkat motivasinya untuk memberikan manfaat kepada banyak
orang (Alserhan, 2011). Setiap kebebasan selalu berkaitan dengan
akuntabilitas. Apapun yang dikerjakan seseorang nanti akan
dipertanggungjawabkan di akhirat di hadapan Allah subhanahu wa
ta’ala.
Keenam prinsip di atas berfungsi sebagai kontrol atas sistem etika
Islami. Prinsip-prinsip diatas tidak hanya berlaku bagi Muslim saja tetapi
juga non-Muslim. Dari keenam prinsip diatas saja kita dapat memahami
dengan mudah bahwa prinsip-prinsip Islam membawa hal yang baik bagi
seluruh kalangan. Jika diterapkan pada ekonomi atau pemasaran pada
khususnya niscaya pasar yang bermoral akan tercipta. Dari prinsip ini
saja dapat disimpulkan bahwa nilai-nilai Islam adalah nilai-nilai kebaikan
yang bersifat universal. 12

B. Aksiologi Pemasaran Syariah: Etika


1. Etika Bisnis Konvensional
Definisi etika menurut KBII. Dalam KBBI, etika didefinisikan
dengan “ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak
dan kewajiban moral (akhlak).” Jadi secara bahasa etika artinya adalah
ilmu atau kajian tentang apa yang baik dan tidak baik, yang benar dan
yang salah. Sesuatu yang baik dan tidak baik, benar dan salah dapat juga

12
Ibid., hal. 97-102.

14
dikatakan sebagai moral Singkatnya etika adalah suatu kajian atau ilmu
yang mempelajari moral Ferret Fraedrich, dan Ferrell (2011)
menambahkan bahwa yang dikaji dalam etika bukan hanya moral namun
juga aturan dan standar moralnya.13
Dapat dikatakan bahwa definisi yang difahami oleh mayoritas
orang tentang etika kurang tepat, karena etika tidak sama dengan moral.
Etika adalah ilmu yang mengkaji prinsip moralitas yang mencakup aturan
dan juga standar tentang apa yang benar dan salah, baik dan buruk
menurut seseorang atau sekelompok orang (Velasquez, 1998).14
Secara etimologi, bisnis berarti keadaan dimana seseorang atau
sekelompok orang sibuk melakukan pekerjaan yang menghasilkan
keuntungan. Kata “bisnis” sendiri memiliki tiga penggunaan, tergantung
skupnya — penggunaan singular kata bisnis dapat merujuk pada badan
usaha, yaitu kesatuan yuridis (hukum), teknis, dan ekonomis yang
bertujuan mencari laba atau keuntungan. Penggunaan yang lebih luas
dapat merujuk pada sektor pasar tertentu, misalnya “bisnis pertelevisian.”
Penggunaan yang paling luas merujuk pada seluruh aktivitas yang
dilakukan oleh komunitas penyedia barang dan jasa.
Sebutan konvesional adalah untuk menyatakan segala sesuatu
kegiatan atau tindakan berdasarkan konvensi. Artinya setiap konsep yang
akan dikerjakan pelaksanaannya harus berdasarkan ketentuan-ketentuan
yang telah disepakati. Biasanya setiap orang yang terkait dengannya telah
memahaminya, sehingga proses dapat berjalan dengan baik.
Konvensi atau sebuah kesepakatan dalam masyarakat bertujuan
untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan manusia, fungsi pokoknya adalah,
pertama memberikan pedoman pada anggota masyarakat bagaimana
mereka harus bertingkah laku atau bersikap dalam menghadapi masalah-
masalah dalam masyarakat, terutama menyangkut kebutuhan-kebutuhan
yang bersangkutan. Kedua menjaga keutuhan dari masyarakat
bersangkutan. Ketiga memberikan pegangan pada anggota masyarakat

13
Ibid., hal. 104.
14
Ibid., hal. 105.

15
(orang yang bersepakat) untuk mengadakan sistem kontrol sosial, artinya
sebagai alat kontrol terhadap tingkah laku anggota yang bersepakat
(masyarakat).15
Dalam menciptakan etika bisnis, ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan antara lain yaitu pengendalian diri, pengembangan tanggung
jawab sosial, mempertahankan jati diri, menciptakan persaingan yang
sehat, menerapkan konsep pembangunan tanggung jawab sosial,
mempertahankan jati diri, menciptakan persaingan yang sehat,
menerapkan konsep pembangunan yang berkelanjutan, menghindari sikap
5K (Katabelece, Kongkalikong, Koneksi, Kolusi, dan Komisi) mampu
mengatakan yang benar itu benar, dan lain-lain.16
2. Prinsip Etika Bisnis Konvensional
Perspektif sekuler atau konvensional menimbang standar moral
berdasarkan tiga perspektif umum, yaitu:
a. Etika Berdasarkan Prinsip Utilitarian
Menurut perspektif utilitarian, untuk menentukan benar atau
salah ditimbang berdasarkan mana yang lebih menguntungkan dan
tidak menguntungkan. Seperti ditulis oleh Velazques bahwa tindakan
dapat dikatakan benar

“...if and only if the sum total of utilities produced by that act is
greater than the sum total of utilities produced by any other act the
agent could have performed in its place..”

Atau dapat diterjemahkan, suatu kegiatan dapat dikatakan benar jika


total utilitas (manfaat/keuntungan) yang dihasilkan oleh suatu
kegiatan lebih besar dibanding yang dihasilkan oleh kegiatan.
b. Etika Berdasarkan Prinsip Hak (Rights)
Menurut perspekfit Hak atau Rights, untuk menentukan benar
atau salah ditimbang berdasarkan apa yang menjadi hak seseorang.
Hak itu sendiri dapat berupa hak negatif atau positif. Hak negatif
adalah hak seseorang untuk tidak diganggu oleh orang lain sedangkan

15
Etika Bisnis Konvensional, www.academia.edu
16
Arujanto, Agus, Etika bisnis bagi pelaku bisnis, (Jakarta: PT. Raja Pindo Persada, 2011), hlm. 1.

16
hak positif adalah hak seseorang untuk mendapatkan sesuatu dari
orang lain. Konsekuensinya, suatu tindakan dapat dikatakan benar
menurut teori hak negatif adalah jika ia tidak diinterfensi oleh orang
lain untuk mengerjakan sesuatu yang diinginkannya. Misalnya jika
seseorang ingin minum alkohol, maka tindakan yang benar menurut
prinsip ini adalah untuk tidak melarangnya.
Menurut teori hak positif, suatu tindakan dapat dikatakan benar
jika ia mendapatkan sesuatu yang sudah seharusnya dimilikinya.
Misalnya, jika ia ingin kuliah maka tindakan yang benar adalah
memberikannya kesempatan untuk kuliah meskipun orangtuanya tidak
memiliki biaya atau misal kemampuan intelektualnya tidak
mencukupi.
c. Etika Berdasarkan Prinsip Keadilan (Justice and Fairness)
Menurut prinsip keadilan, untuk menentukan mana yang benar
dan salah harus ditimbang berdasarkan tiga teori keadilan, yaitu 1)
keadilan distributif, 2) retributif dan 3) kompensatif. Dalam teori
keadilan distributif ternyata memiliki berbagai pemahaman lagi yaitu:
a. Keadilan berdasarkan persamaan (Egalitarianisme)
Menurut pemahaman egalitarianisme, benar atau salah adil
atau dzolim itu harus ditimbang berdasarkan prinsip persamaan.
Pemahaman ini meyakini bahwa setiap orang harus diberikan
manfaat dan beban yang persis sama tanpa boleh dibedakan atas
dasar apapun. Maka, terhitung tidak etis menurut pemahaman ini
jika laki-laki lebih diutamakan dibanding wanita, atau jika laki-laki
diberi beban yang lebih dibanding wanita.
b. Keadilan berdasarkan kontribusi (Kapitalisme)
Menurut pemahaman kapitalisme, benar atau salah, adil atau
dzolim itu harus ditimbang berdasarkan besaran nilai kontribusi
yang diberikan oleh seseorang. Konsekuensi etika dari pemahaman
ini yaitu seseorang yang mempunyai kontribusi paling besar, maka
harus mendapatkan mansalah yang paling besar dibanding yang
lain. Prinsip kapitalisme ini yang kemudian menciptakan celah

17
yang besar antara orang kaya dan miskin. Dengan implementasi
prinsip ini, maka orang kaya akan semakin kaya (karena memiliki
kontribusi modal lebih banyak) sedangkan orang miskin akan
semakin miskin (karena tidak memiliki kontribusi modal).
c. Keadilan berdasarkan kebutuhan dan kemampuan (Sosialisme)
Menurut pemahaman sosialisme, benar atau salah, adil atau
dzolim itu harus ditimbang berdasarkan tingkat kebutuhan dan
kemampuan seseorang. Menurut pemahaman sosialisme, beban
kerja harus didistribusikan berdasarkan kemampuan seseorang, dan
manfaat harus didistribusikan berdasarkan kebutuhan. Maka,
berdasarkan pemahaman sosialisme akan sangat tidak adil jika
beban pekerjaan diberikan kepada orang yang tidak mampu, dan
sangat tidak adil jika manfaat (kesejahteraan) diberikan melebihi
kebutuhan seseorang.
d. Keadilan bedasarkan kebebasan (Liberalisme)
Menurut pemahaman liberalisme, benar atau salah, adil atau
dzolim itu bermakna freedom from the coercion of the others
(bebas dari paksaan orang lain). Dengan kata lain, sesuatu yang etis
menurut orang-orag liberal adalah sesuatu yang harus ditimbang
berdasarkan nilai kebebasan yang dimiliki setiap manusia.
Maka, sebagai konsekuensi logis menurut paham liberalisme
ini yaitu sangat tidak etis bagi orang tua untuk melarang-larang
anaknya berzina, sangat tidak etis melarang larang maling untuk
mencuri, sangat tidak etis untuk melarang larang perusahaan
menjual produk yang haram. Etis menurut mereka adalah bebas
dari paksaan orang lain.17
3. Sistem Etika Dalam Islam
Etika adalah sebuah kajian atau ilmu yang menjelaskan tentang
moral. Moral adalah sebuah standar tentang apa yang dibolehkan dan
tidak dibolehkan. Etika dan moral adalah dua hal yang tidak dapat

17
Hendy Mustiko Aji, Manajemen Pemasaran Syariah, Yogyakarta, UPP STIM YKPN, 2019, hal.
105-107.

18
dipisahkan. Untuk menentukan standar moral dalam suatu masyarakat,
maka harus dilakukan kajian etika. Standar moral tentang apa yang
dibolehkan dan yang tidak dibolehkan dalam pemasaran bergantung pada
sistem etika yang mengaturnya. Sistem etika yang dimaksud disini adalah
sistem etika islam. Ada empat sumber utama dalam sistem etika agama
islam mulai dari yang paling tinggi hingga paling rendah :
a. Al-Qur’an
b. Hadits shahih
c. Perbuatan para shahabat Rasulullah SAW
d. Kesepakatan para ulama dalam memahami dalil Al-Qur’an dan hadits
yang bersifat global
Permasalahan Sistem Sudah Kesimpulan
etika jelas di moral
islami sebutkan
Apakah x Al-Qur’an Boleh/Tidak
diperbolehkan
Belum
jelas/rinci
disebutkan
Hadits Boleh/Tidak
Shahih
Belum
jelas/rinci
disebutkan
Perbuatan Boleh/Tidak
para
sahabat
rasulullah
Konteks
pada
zaman
shahabat
tidak
sesuai
dengan
konteks
zaman
sekarang
Ijma’ para Boleh/Tidak
ulama

19
Sistem yang menekankan pada pentingnya kehidupan manusia
persausaraan religious, keadilan sosial ekonomi dan keseimbangan
kepuasan antara materi dan spiritual.
Tabel diatas menggambarkan bagaimana sistem etika islam
diterapkan dalam menyelesaikan permasalahan sehingga membentuk satu
kesimpulan moral. Suatu hal dapat dibolehkan atau tidak dibolehkan
dalam agama islam harus ditimbang dari keterangan yang tertulis dalam
Al-Qur’an. Jika didalam Al-Qur’an sudah dikatakan bahwa tidak
dibolehkan maka hal itu sudah mutlak tidak dibolehkan, tetapi didalam
Al-Qur’an bersifat sangat umum sehingga belum cukup di jadikan
landasan kesimpulan maka statusnya di cari lebih lanjut dalam hadits
Rasulullah, karena hadits adalah pelengkap keterangan dari Al-Qur’an.
Jika di dalam Al-Quran dan hadits belum menjawab secara rinci
maka permasalahan ditimbang berdasarkan perbuatan dari para sahabat
Rasulullah yang semoga ALLAH meridhoi mereka semua, kepada
merekalah ayat Al-Qur’an diajarkan, sehingga merekalah orang yang
paham atas isi dari ayat Al-Qur’an maupun hadits dari Rasulullah. Jika
masih belum juga menjawab permasalahan maka dicari jalan terakhir
dengan cara ijma’ para ulama dengan kesepakatan Bersama dan tidak
menyimpang dari ketiga sumber sebelumnya.
Jika ditarik pada konteks bisnis dan ekonomi, sistem etika islam
dapat dikaitkan dengan beberapa variable seperti perpajakan, bunga,
perputaran uang, perdagangan dan konsumsi. Sistem etika ini menjadi
sesuatu yang harus dipegang oleh setiap pelaku didalam pasar atau
industri. Seseorang tidak boleh masuk kedalam pasar (berbisnis) jika
belum mengetahui ilmu (etika) nya. Pasar menjadi tidak berkeadilan dan
rusak jika diisi oleh orang-orang yang tidak mengetahui etika islam.
Didalam agama islam tujuan dan parameter sukses dalam berbisnis
tidak semata-mata dilihat dari nominal yang berhasil didapatkan, namun
dari dampak yang di timbulkan kepada masyarakat sosial. Jika
mendapatkan untung maka harus juga memberi manfaat positif bagi
masyarakat. Seorang pebisnis dan pemasar muslim akan di uji dengan

20
dua hal, yaitu godaan dan kesulitan (Alserhan, 2011). Dua godaan ini
menjadi pembuktian keimanan seorang pebisnis dan pemasar muslim
kepada ALLAH SWT dengan godaan melalui riba dan dzolim.
Mereka akan di goda untuk mengumpulkan uang sebanyak
banyaknya dengan riba dan dzolim, mengurangi takaran serta berdusta,
dan juga digoda untuk menjual barang yang menghasilkan banyak
keuntungan akan tetapi yang mendatangkan dampak yang buruk dan
dampaknya dapat merusak. Kesulitan yang di hadapi juga tidaklah
mudah yaitu tidak mengambil pinjaman pada bank, dan sebuah usaha
akan sulit berkembang karena kendala modal. Untuk menjalankan sistem
etika islami ini diperlukan prinsip-prinsip ketat yang mengatur dan
mengontrol pelaksananya. Prinsip-prisnip inilah yang perlu dipelajari dan
dipegang kuat oleh para pemasar dan pebisnis dalam memasarkan produk
mereka.18

C. Studi Kasus dan Analisisnya


Budi adalah seorang pengusaha dealer motor. Motor yang dijual Budi
kisaran harga Rp12 juta sampai 40 juta-an. Sebagal pengusaha, Budi paham
betul bahwa banyak orang yang ingin memiliki motor, namun
permasalahannya banyak juga yang merasa berat untuk mengeluarkan uang
12 juta sampai 40 juta dalam sekali transaksi. Untuk mengatasi masalah
tersebut, Budi pun menawarkan pembelian motor dengan cara angsuran,
sebutnya saja merek motornya HOYAMAKA. Untuk membawa pulang
motor merek HOYAMAKA seharga Rp12 juta, konsumen tidak harus
membayar Rp12 juta secara tunai, melainkan bisa dicicil dengan biaya awal
sebesar 30% dari harga jual. Dengan demikian, konsumen hanya perlu
mengeluarkan Rp3.600.000 (30% x Rp12 juta) untuk membawa pulang satu
unit motor HOYAMAKA seharga Rp12 juta. Konsumen dapat mengangsur
pembelian motor HOYAMAKA dengan pilihan tenor waktu Setiap pilihan
tenor waktu memiliki konsekuensi blaya (bunga yang berbeda-beda. Semakin

18
Ibid., hal. 109-114.

21
lama tenor waktu mengangsumya, maka harga motor akan semakin mahal
pada akhirnya karena bunganya semakin besar.
Misal, konsumen memilih untuk mengangsur setiap bulannya sebesar
Rp800,000 dengan jangka waktu satu tahun dengan bunga sebesar 10%.
Sehingga jika ditotal, jumlah uang yang harus dikeluarkan konsumen untuk
satu buah motor HOYAMAKA adalah sebesar Rp13.200.000. Dalam
transaksi ini, Budi mendapatkan keuntungan sebesar 10% atau sebesar
Rp1.200.000 dan konsumen mendapatkan satu unit motor HOYAMAKA
dengan angsuran yang ringan. Keduanya sama-sama diuntungkan. Menurut
Anda, apakah transaksi bisnis seperti ini beretika? Mengapa?19
Untuk Kasus 1, jawaban etis atau tidak perlu ditimbang dari perspektif
mana kita melihatnya. Jika yang menjadi standard etika adalah pemahaman
kapitalisme, maka praktek yang dilakukan Budi dapat dikatakan etis.
Pemahaman kapital meyakini bahwa mereka yang memiliki capital (modal
atau dana lebih diuntungkan dibanding yang tidak memilikinya. Kalau kita
timbang berdasarkan pemahaman liberal, maka yang dilakukan Budi juga
dapat dikatakan etis. Dalam pemahaman liberal, seseorang harus dibiarkan
bebas tanpa paksaan orang lain. Justru melarang larang Budi berjualan seperti
itu dapat dikatakan tidak etis. Akan tetapi, konteks pembahasan disini adalah
dalam perspektif Islam yang sudah standar dan baku menurut Quran dan
Sunnah. Apa yang dilakukan Budi pada kasus 1 dapat dikatakan tidak etis,
alasan karena praktik tersebut bertentangan dengan Al- Quran dan Sunnah
Praktik yang dilakukan Budi termasuk kedalam praktik Riba.20

19
Ibid., hal. 89-90.
20
Ibid., hal. 108.

22
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Kesimpulan dari pembahasan di atas mengenai aksiologi pemasaran
syariah adalah sebagai berikut :
1. Nilai yang dipersepsikan konsumen (pelanggan) itu adalah persepsi
manfaat dari suatu produk dikurangi dengan persepsi biaya yang
dibebankan kepada konsumen. Maknanya, suatu produk dapat dikatakan
bernilai jika konsumen mempersepsikan manfaat dari produk tersebut
lebih besar dibanding dengan biayanya.
2. Maqashid al-syari'ah adalah tujuan-tujuan yang hendak dicapai dari suatu
penetapan hukum. Konsumen beragama Islam sangat memperhatikan
status hukum (halal/musytabih/haram) dari suatu produk atau jasa. Produk
yang haram tidak akan mendapat tempat pada pasar Muslim. Sebaliknya,
jika perusahaan menjual produk yang halal, sebuah produk tidak hanya
akan mendapat tempat pada pasar Muslim namun juga pasar non-Muslim.
3. Riba dipersepsikan banyak mengandung manfaat bagi produsen, namun
menurut etika syariah riba adalah perilaku dzolim kepada konsumen dan
dapat merusak moral pasar.
4. Sebuah sistem tidak akan dapat berjalan efektif tanpa kontrol orang yang
menjalankan sistem tersebut. Agar seseorang dapat mengkontrol sistem,
dibutuhkan prinsip-prinsip yang melandasi sebuah sistem tadi. Alserhan
(2011) menuliskan enam prinsip yang mengatur sistem etika Islami, yaitu:
kesatuan, keimanan, kewalian, keseimbangan, keadilan, dan kebebasan.
5. Dalam KBBI, etika didefinisikan dengan “ilmu tentang apa yang baik dan
apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak).” Secara
etimologi, bisnis berarti keadaan dimana seseorang atau sekelompok
orang sibuk melakukan pekerjaan yang menghasilkan keuntungan.
Sedangkan konvesional adalah untuk menyatakan segala sesuatu kegiatan
atau tindakan berdasarkan konvensi. Artinya setiap konsep yang akan

23
dikerjakan pelaksanaannya harus berdasarkan ketentuan-ketentuan yang
telah disepakati.
6. Perspektif sekuler atau konvensional menimbang standar moral
berdasarkan tiga perspektif umum, yaitu perspektif: 1) utilitarian; 2) hak
(rights); dan 3) keadilan (justice and fairness).
7. Jika ditarik pada konteks pemasaran Islami, standar moral tentang apa
yang dibolehakn dan tidak dibolehkan dalam pemasaran tergantung pada
sistem etika yang mengaturnya. Sistem etika yang dimaksud adalah
sistem etika Islami.
8. Studi kasus ini akan berkaitan erat dengan konsep Maqashid Syariah.
Agama Islam memiliki ketentuan dan sistem etika tersendiri untuk
menentukan apakah suatu hal diperbolehkan atau dilarang. Telah
dipaparkan juga beberapa prinsip pemasaran syariah yang maksud dan
tujuannya adalah untuk kebaikan umat manusia.

B. Saran
Dari uraian makalah di atas, penulis menyatakan bahwa pembahasan
dalam makalah masih sangat singkat, jika pembaca kurang puas dengan
materi ini dan ingin mendalami lagi, bisa mencari materi dari referensi atau
rujukan dari beberapa buku lainnya dengan sumber yang terpercaya.
Demikian makalah ini kami susun dan semoga bermanfaat untuk menambah
khazanah keilmuan kita khususnya dalam memahami tentang “Aksiologi
Pemasaran Syariah”.

24
DAFTAR PUSTAKA

Aji, Hendy Mustiko. 2019. Manajemen Pemasaran Syariah. Yogyakarta: UPP


STIM YKPN.

Al-Zuhaili, Wahbah. 1986. Ushul al-Fiqh al-Islami. Beirut: Dar al-Fikr.

Arujanto, Agus. 2011. Etika bisnis bagi pelaku bisnis. Jakarta: PT. Raja Pindo
Persada.

Etika Bisnis Konvensional, www.academia.edu

Fitriyah, Faizatul. “Filsafat Manajemen Pemasaran Syari’ah (Dalam Kajian


Ontologi, Epistimologi Dan Aksiologi).” KARATON: Jurnal Pembangunan
Sumenep Vol. 1, No. 1 (2021): 67–68. file:///C:/Users/ACER/Downloads/67-
83.pdf.

Ghofur, Abdul. 2016. Konsep Riba Dalam Al-Quran, Economica Vol.7 No.1.

Jaya, Asafri. 1996. Konsep Maqashid al-Syari'ah Menurut al-Syathibi, Jakarta:


Raja Grafindo Persada,

Sánchez-Fernández, R., & Iniesta-Bonillo, M. A. 2006. Consumer Perception of


Value: Literature Review and a New Conceptual Framework. Journal of
Consumer Satisfaction, Dissatisfaction and Complaining Behavior.

https://ciku.typepad.com/blog/2009/12/definisi-pemasaran-dan-manajemen-
pemasaran.htmli (Diakses pada Minggu 12 Maret 2023 Pukul 16.11)

25

Anda mungkin juga menyukai