Anda di halaman 1dari 2

PENCEMARAN SEBAGAI KASUS MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA

MILIK UMUM

Lingkungan, udara dan air yang luas (lautan, danau) serta pemandangan merupakan
sumber daya alam milik umum yang sering dipakai sebagai tempat membuang limbah.
Biasanya semua pihak boleh membuang asap pabrik maupun bau busuk ke udara, air limbah
dibuang ke sungai atau danau dan lautan, serta rusaknya pemandangan karena munculnya
bangunan-bangunan pencakar langit. Namun penggunaan lingkungan ini telah dibatasi
dengan aturan-aturan yang resmi dari Pemerintah, hanya saja peraturan perundang-undangan
itu sering masih terlalu sempit. Dengan ratusan orang atau perusahaan yang menimbulkan
pencemaran, bagaimana menentukan pencemaran tertentu oleh orang atau perusahaan
tertentu? Demikian pula apabila terjadi konflik antar-penyebab pencemaran, mana yang akan
dimenangkan?

Dalam hal kesesakan, konflik terjadi antar para pemakai fasilitas publik. Informasi
mengenai dampak keputusan mereka merupakan umpan balik bagi para pemakai fasilitas itu
melalui pasar. Umpan balik ini cenderung membatasi penggunaan yang berlebihan sampai
pada suatu titik di mana tidak ada manfaat lagi bagi masyarakat. Dalam hal pencemaran, akan
timbul suatu kerugian sosial neto dari penggunaan sumber daya alam tersebut.

Ada dua cara di mana jasa lingkungan dapat masuk ke sistem pasar dengan lebih
efektif, yaitu dengan membatasi kebebasan mendapatkan jasa lingkungan melalui pungutan
atau bayaran tertentu, dan dengan memberikan nilai pada lingkungan, kemudian memasukkan
nilai tersebut ke dalam harga barang dan jasa akhir. Sekali lagi pendekatan ini disebut sebagai
pendekatan atas dasar mekanisme pasar (market based incentive) yang dilawankan terhadap
pendekatan atas dasar peraturan (regulatory = command and control). Pendekatan atas dasar
peraturan ini biasanya menggunakan “baku mutu lingkungan” atau “baku mutu kualitas
udara” ataupun “baku mutu kualitas air” misalnya. Baku mutu ini didukung oleh peraturan
perundang-undangan, tanpa mekanisme pasar.

Para ekonom sudah lama menyatakan bahwa pendekatan mekanisme pasar jauh lebih
efisien dari pada sistem pengawasan dan komando, namun kenyataannya banyak negara yang
masih menganut sistem pengawasan dan komando tersebut. Sistem pengawasan dan
komando memiliki kelemahan di antaranya akan memerlukan biaya yang mahal untuk
mengumpulkan informasi dari para produsen.
Sebagai kesimpulan pengelolaan sumber daya alam yang pulih dapat dinyatakan
bahwa produsen selalu berusaha mengambil barang sumber daya alam untuk
memaksimumkan keuntungan/manfaat yaitu menyamakan harga dengan biaya pengambilan
ditambah royalty. Biaya pengambilan barang sumber daya alam juga dipengaruhi oleh
banyaknya produksi barang sumber daya alam dan besarnya cadangan atau populasi sumber
daya alam tersebut. Besarnya cadangan atau populasi berkembang secara alami, sehingga
untuk sumber daya alam jenis ini akan tercipta baik keuntungan kapital (capital gain)
maupun dividen karena menunda pengambilan barang sumber daya tersebut.

Di bawah pemilikan pribadi, pengambilan sumber daya alam akan optimum bila biaya
marginal (MC) sama dengan penerimaan marginal (MR). Pada berbagai jumlah cadangan
(populasi) akan diperoleh tingkat pengambilan optimum tertentu, sehingga akan dapat
diperoleh lokasi penangkapan (cath location). Lokasi penangkapan untuk sumber daya alam
milik umum terletak lebih ke kiri daripada untuk sumber daya alam milik pribadi, sehingga di
bawah pemilikan umum sumber daya alam pulih ini akan cenderung diambil secara
berlebihan. Hal ini benar karena orang atau perusahaan tidak memperhatikan biaya alternatif
dalam menunda pengambilan barang sumber daya alam milik umum.

DAFTAR PUSTAKA

Fisher, Antony C., Natural Resources and Environmental Economics,


Cambridge University Press, London.

Anda mungkin juga menyukai