Anda di halaman 1dari 5

NAMA: LALU AMI OSALAN

NIM: A1A020125
KELAS: 4 C IESP

1. Menurut ahli ekonomi


a) Emil Salim : Yang dimaksud dengan pembangunan berkelanjutan atau suistainable development
adalah suatu proses pembangunan yang mengoptimalkan manfaat dari sumber daya alam sumber daya
manusia dengan menyerasikan sumber alam dengan manusia dalam pembangunan (yayasan SPES, 1992 :
3)
b) Ignas Kleden : Pembangunan berkelanjutan di sini untuk sementara di definisikan sebagai jenis
pembangunan yang di satu pihak mengacu pada pemanfaatan sumber-sumber alam maupun sumber daya
manusia secara optimal dan di lain pihak serta pada saat yang sama memelihara keseimbangan optimal di
antara berbagai tuntutan yang saling bertentangan terhadap sumber daya tersebut (yayasan SPES,
1992:XV).
c) Sofyan Effendi : Pembangunan berkelanjutan adalah suatu proses pembangunan yang pemanfaatan
sumber dayanya, arah invesinya, orientasi pengembangan teknologinya dan perubahan kelembagaannya
dilakukan secara harmonis dan dengan amat memperhatikan potensi pada saat ini dan masa depan dalam
pemenuhan kebutuhan dan aspirasi masyarakat (Wibawa, 1991 : 14).

Menurut ekologi

a) Menurut Murid Aristoteles yang bernama Theophrastus, kemudian mengamati dan menjelaskan
hubungan antara organisme dan lingkungannya. Ia memusatkan perhatian pada alasan spesies tertentu lebih
menyukai lingkungan tertentu.
b) Pada awal abad ke-19 M, Alexander von Humboldt menjelaskan korelasi antara asosiasi tumbuhan
(seperti padang rumput, hutan hujan, dan tundra) dengan faktor lingkungan (seperti suhu, curah hujan, dan
topografi) untuk memahami jumlah dan persebaran spesies hewan dan tumbuhan.
c) Haeckel mendefinisikan ekologi sebagai seluruh ilmu tentang hubungan organisme dengan dunia
luar di sekitarnya serta hubungan yang dapat diperhitungkan dalam arti yang lebih luas pada semua kondisi
keberadaan. Hal ini sebagian bersifat organik, sebagian lagi bersifat anorganik.

d) Para ahli memandang definisi ekologi yang disampaikan oleh Haeckel sebagai bagian dari fisiologi.
Charles Krebs kemudian memisahkan ekologi dari kajian fisiologi. Ia menberikan penjelasan bahwa
ekologi merupakan ilmu yang mengkaji interaksi mahluk hidup yang menjelaskan tentang distribusi dan
keragaman mahluk hidup. Dalam interaksi lingkungan, ekologi tetap tidak terpisahkan dengan fisiologi.
Definisi ekologi Krebs kemudian dijadikan inti dari kajian ekologi.

e) George Evelyn Hutchinson (1903–1991) disebut sebagai bapak limnologi dan bapak ekologi
modern. Ia secara komprehensif mengamati dan mengukur secara empiris faktor-faktor organik dan
lingkungan yang dapat memengaruhi biota suatu danau, serta meletakkan dasar-dasar relung ekologi.

2. Barang publik adalah yang klaim kepemilikannya berada ditangan pemerintah, tidak ada hak kepemilikan
yang diserahkan. Masyarakat mempunyai akses terhadap sumber daya ini dan orang yang paling kuat
memiliki kesempatan yang lebih besar dalam mengakses sumber daya tersebut. Syarat kepelikannya ada
dua yaituformal dan informal, formal yaitu hukum dan peraturan negara, informal yaitu adat kebiasaan
masyarakat dan hak kepemilikan asli masyarakat. Contohnya yaitu lampu lalu lintas, saluran air, papan
marka jalan, dan lain lain.

Sedangkan barang milik bersama adalah barang yang setiap orang memiliki hak untuk menggunakan/
memanfaatkan sumber daya (milik bersama) dan dalam penggunaannya para pengguna saling bersaing.
Kerugian ekonomi dari kepemilikan bersama adalah kurangnya insentif untuk berinvestasi pada kegiatan
produksi barang milik bersama (common property). Setiap orang yang memiliki akses terhadap SD
memiliki insentif untuk mengeksploitasi SD tsb dan mengabaikan efek dari tindakannya terhadap
produktifitas sumber daya tsb. Contohnya memancing di perairan, dan lain lain.

3. A. Command
- Regulasi
Regulasi adalah tindakan mengendalikan perilaku manusia atau masyarakat dengan aturan atau pembatasan.
Dengan regulasi pemerintah dapat melarang atau mewajibkan perilaku atau tindakan, mana yang boleh dan
mana yang tidak boleh untuk dilakukan pihak- pihak tertentu dalam rangka mengatasi eksternalitas.
Dengan adanya regulasi memaksa penghasil polusi untuk mengurangi polusi yang dihasilkan industri
karena polusi tersebut merupakan tanggung jawab pihak yang menghasilkan polusi.
Contohnya pemerintah membuat aturan bahwa membuang limbah pabrik ke dalam sungai merupakan
tindakan kriminal dan akan dikenakan sanksi yang tegas bagi pelakunya, karena kita tahu biaya sosial
membuang limbah pabrik ke dalam sungai lebih besar daripada keuntungan yang didapatkan pihak-pihak
melakukannya
Tetapi dalam kenyataannya regulasi ini sulit untuk diterapakan karena pada kenyataannya masalah polusi
yang terjadi tidaklah selalu sederhana. Karena polusi merupakan efek sampingan yang tak terelakkan dari
kegiatan produksi industri. Kita tidak dapat menghapus polusi secara total. Kita hanya bisa membatasi
jumlah polusi hingga ambang tertentu. Sehingga tidak akan terlalu merusak lingkungan namun tidak juga
menghalangi kegiatan produksi. Kita ambil saja contohnya kendaraan bermotor. Seperti kita ketahui gas
yang dikeluarkan kendaraaan bermotor merupakan salah satu bentuk polusi. Jika kita ingin menghapus
polusi secara total maka tidak boleh menggunakan kendaraan bermotor. Dan itu tidak mungkin untuk
dilakukan, karena kendaraan bermotor sedikit dapat membantu memperlancar proses produksi.
Regulasi ini memiliki kelemahan yaitu mewajibkan semua pabrik mengurangi polusinya dalam jumlah
yang sama, padahal penurunan sama rata, bukan merupakan cara termurah menurunkan polusi. Ini
dikarenakan kapasitas dan keperluan setiap pabrik untuk berpolusi berbeda-beda. Besar kemungkinan salah
satu pabrik misalkan pabrik kertas, lebih mampu karena biayanya lebih murah untuk menurunkan polusi
dibanding pabrik lain seperti pabrik baja. Jika keduanya dipaksa menurunkan polusi sama rata, maka
operasi pabrik baja akan terganggu.
Peraturan memaksa penghasil polusi untuk mengurangi polusi dengan menggunakan metode yang sama
seperti yg mereka gunakan dan mereka harus membayar harga untuk biaya eksternalitas yang mereka
hasilkan sebagai tanggung jawab mereka

-Internalisasi
Untuk mengontrol eksternalitas pertama kali dibahas oleh David dan Whinston. David dan Whinston
menganjurkan internalisasi untuk mengatasi eksternalitas sehingga biaya privat sama dengan biaya
sosialnya. Inti dari internalisasi adalah misalnya jika ada perusahaan A menyebabkan eksternalitas negatif
hanya kepada perusahaan B maka perusahaan A dan perusahaan B bersama-sama menghitung dampak dari
eksternalitas. Dengan ini, efisiensi tidak akan muncul.
Melakukan internalisasi merupakan hal yang sulit. Ambil saja contoh suatu industri suatu perusahaan
menyebabkan eksternalitas bagi industri perusahaan lain. Dalam situasi ini internalisas
menyarankan perusahaan menjadi monopoli tunggal. Jika hal ini terjadi maka akanmenyebabkan
kesejahteraan menjadi berkurang atau mungkin hilang. Internalisasi biasanya secara tidak alngsung
membangun agen ekonomi yang lebih besar dan konsekuensi bertambahnya kekuatan pasar.
Singkatnya internalisasi akan menghilangkan konsekuensi dari eksternalitas dengan cara memastikan
bahwa biaya pribadi dengan biaya social disamakan. Masalah internalisasi bukanlah solusi yang praktis
ketika konstribusi agen ekonomi secara terpisah ke dalam eksternalitas total dan memiliki kelemahan yang
mengarah ke kuatan pasar meningkat.

B. Contol
- Pajak pigouvian
Pajak pguvian merupakan salah satu solusi yang dapat dilakukan untuk mengatasi eksternalitas. Konsumen
atau perusahaan yang menyebabkan eksternalitas harus membayar pajak samadengan dampak marjinal dari
eksternalitas yang dibuat. Dengan itu membuat konsumen atau perusahaan memperhitungkan berapa
banyak manfaat dan dampak dari jumlah barang yang diproduksi atau dikonsumsi perusahaan ataupun
konsumen. Artinya dengan diterapakannya pajak akan memberikan insentif kepada para pemilik pabrik
untuk sebanyak- banyaknya mengurangi polusinya. Semakin tinggi tingkat pajak yang dikenakan maka
semakin banyak penurunan polusi yang terjadi.
Eksternalitas menyebabkan perbedaan antara manfaat privat dan biaya social yang menyebabkan tidak
tercapainya kondisi pareto optimal. Pemerintah harus campur tangan untuk mengatasi eksternalitas negatif.
Ekonom Pigou menyarankan metode untuk mengatasi eksternalitas yaitu pajak pigovian. Ketika biaya
marginal social melebihi biaya marginal pribadi pajak harus dikenakan kepada produsen. Dengan
diwajibkannya pajak maka menyebabkan
19

Value
peningkatan harga dari komoditi yang diproduksi sehingga jumlah komoditi yang diminta menjadi
berkurang. Sehinggaa produsen mengalami kerugian sehingga biaya marjinal social samadengan biaya
marginal privat.
Dalam beberapa kasus pemberlakuan pajak tidak tepat karena sulitnya menghitung biaya eksternalitas. Hal
ini dikarenakan dibutuhkan waktu yang lama untuk mempelajari biaya akibat eksternalitas.. Sementara
keadaan sudah berubah sehingga diperlukan studi lagi dan tentu akan memerlukan waktu yang lama lagi.

- Subsidi
Ketika manfaat social melebihi manfaat pribadi maka subsidi harus diberikan kepada konsumen atau
produsen. Subsidi mengarah pada penurunan dalam harga komoditi. Pemerintah dapat mensubsidi produsen
untuk mengurangi dampak eksternalitas.
Keuntungan produsen didapat dari subsidi pemerintah dan keuntungan masyarakat dalam hal pengurangan
kerusakan dari dampak eksternalitas yang ditimbulkan perusahaan..
Kelemahan dari subsidi adalah perusahaan-perusahaan condong untuk melakukan eksternalitas karena
dengan melakukan eksternalitas mereka akan mendapat subsidi dari pemerintah.
4. Dutch Disease, merupakan istilah yang diperkenalkan oleh The Economist pada tahun 1977 untuk
menggambarkan pelemahan sektor manufaktur di Belanda, setelah ditemukan cadangan gas di Groningen,
yang merupakan cadangan gas terbesar di Eropa. Secara mudah, Dutch Disease dapat dijelaskan bahwa
pertumbuhan di sektor tertentu (booming sector), yang biasanya bersumber dari ekstraksi sumber daya alam
atau produksi tanaman komoditas, dapat menyebabkan melemahnya sektor lain (lagging sector), seperti
sektor manufaktur atau pertanian.
Sebagai contoh adalah yang saat ini terjadi di Venezuela. Sejak jatuhnya harga minyak di tahun 2014,
pendapatan ekspor minyak Venezuela menurun, padahal ekspor minyak mencapai sekitar 98 persen dari
total pendapatan ekspor negara tersebut.

Produksi minyaknya pun terus menurun sejak 2014, disinyalir karena PDVSA (perusahaan migas nasional
Venezuela) kesulitan likuiditas yang berakibat terganggunya produksi dan tidak adanya investasi untuk
mempertahankan serta meningkatkan produksi minyak. Bahkan PDVSA dalam posisi gagal bayar (default)
dengan total pinjaman sebesar US$34,6 milyar. Pertumbuhan ekonomi Venezuela telah mengalami
menurunan sejak tahun 2013. Sejak harga minyak turun, ekonomi negara itu berkontraksi bahkan mencapai
-16,5% di 2016. Banyak yang mengecam pemerintahan yang otoriter, yang salah dalam mengelola ekonomi
dengan memberikan banyak subsidi dan memberikan bantuan produk minyak kepada negara sekutunya.

Istilah Natural Resource Curse atau kutukan sumber daya alam (SDA) adalah sebuah istilah paradoks dari
blessing yang biasanya melekat dengan kepemilikan SDA. Mengapa demikian? Ini terkait dengan
fenomena dimana negara yang kaya akan SDA tidak serta merta menjadi negara yang makmur. Namun
sebaliknya, justru bisa menjadikan kutukan bagi pemiliknya. Kekayaan alam yang dieksploitasi dan
diharapkan memberikan manfaat bagi masyarakatnya, kadangkala ternyata tidak sebanding dengan dampak
negatif yang diakibatkan dalam proses ekploitasinya. Diantaranya, kerusakan alam dan lingkungan secara
masif yang berakibat pada menurunnya kualitas lingkungan hidup yang menjadi sumber penghidupan
manusia seperti pencemaran air, tanah, dan udara. Selain dampak terhadap lingkungan, tidak jarang
kekayaan SDA ini juga memicu adanya konflik sosial, seperti konflik lahan dengan masyarakat sekitar,
serta dampak lain seperti adanya kesenjangan pembangunan ekonomi dan ketimpangan. Dalam berbagai
studi, Resource Curse terjadi akibat buruknya tata kelola SDA, termasuk diantaranya berkaitan dengan
praktek korupsi.
Indonesia dikenal sebagai negara dengan kekayaan SDA yang melimpah. Namun, secara ekonomi dan
kesejahteraan, masih relatif tertinggal dari negara-negara maju yang kaya SDA lainnya. Timbul sebuah
pertanyaan, apakah Indonesia terindikasi sebagai negara yang terkena kutukan SDA? Untuk menjawab
pertanyaan tersebut, Publish What You Pay (PWYP) Indonesia menyelenggarakan PWYP Knowledge
Forum (PKF) bertajuk “Resources Curse, Korupsi dan Tata Kelola SDA (Indeks Resourse Curse Daerah
Kaya SDA Sektor Pertambangan Mineral dan Batubara di Indonesia) pada 6 Agustus 2020. PKF adalah
forum diskusi dan berbagi pengetahuan yang diselenggarakan secara rutin oleh koalisi PWYP Indonesia,
dengan tujuan untuk meningkatkan pemahaman dan kapasitas pengetahuan, serta mengembangkan
kesadaran dan diskursus publik terkait isu-isu dan kebijakan terkini (dan relatif baru) yang sedang menjadi
sorotan publik.
PKF yang dilakukan secara daring ini, menghadirkan Dr. Hania Rahma, pemerhati isu SDA sekaligus
akademisi dari Universitas Indonesia yang mengupas disertasi studi doktoral beliau di Institut Pertanian
Bogor (IPB) terkait fenomena Natural Resource Curse (NRC) dalam pembangunan wilayah di Indonesia”.
Fokus disertasi beliau terutama di sektor SDA, khususnya sektor minyak dan gas bumi, serta pertambangan
mineral dan batubara yang memiliki andil cukup besar sebagai sumber penerimaan negara. Menariknya,
disertasi beliau tidak hanya sebatas menjawab apakah Indonesia terjerumus dalam jurang kutukan SDA,
tetapi juga berusaha menjawab seberapa besar kutukannya, yang dituangkan dalam indeks Regional
Resource Curce Indonesia (RRCI) untuk mengukur derajat kutukan SDA di 33 provinsi di Indonesia.
Indeks tersebut didapat dengan mengukur terlebih dahulu indeks ketergantungan SDA atau Natural
Resource Dependency Index (NRDI) yang mengambil indikator diantaranya Dana Bagi Hasil (DBH) dan
Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Kemudian indeks pembangunan berkelanjutan atau Regional
Sustainability Development Index (RSDI) di tingkat daerah/provinsi di antaranya diukur dari Indeks
Pembangunan Manusia (IPM), tingkat pengangguran, kualitas lingkungan hidup, dan lain-lain.
Hasil penelitiannya mengungkapkan bahwa fenomena NRC terjadi di tingkat lokal atau provinsi di
Indonesia. Hal tersebut dihubungkan dengan variabel tingkat ketergantungan daerah terhadap SDA dan
variabel pembangunan berkelanjutan, ditemukan 4 (empat) hal. Pertama, besarnya penerimaan daerah
penghasil tambang tidak menjamin terwujudnya pembangunan yang berkelanjutan yang masif. Kedua
daerah yang melakukan ekstraksi SDA rentan terkena fenomena kutukan SDA. Ketiga, daerah yang
mengandalkan minyak dan gas bumi ternyata lebih rentan terkena NRC dibandingkan daerah penghasil
mineral dan batubara. Keempat, skor daerah dengan skor keberlanjutan yang tinggi memiliki
kecenderungan kecil atau jauh dari fenomena NRC.
Penelitian tersebut menemukan (5) lima provinsi utama yang mengalami NRC, yaitu: Kalimantan Timur,
Papua Barat, Papua, Riau, dan Aceh. Sementara provinsi yang memiliki tingkat keberlanjutan yang paling
tinggi adalah Bali.
Kondisi-Kondisi kausal yang bisa menjelaskan terjadinya fenomea NRC diantaranya PDRB (Produk
Domestik Regional Bruto) tambang yang dominan dibandingkan yang non-tambang; korupsi di area
pemerintahan; integritas kepala daerah; izin usaha yang mengantongi status clean and clear sedikit; alokasi
dana untuk pendidikan, kesehatan, dan belanja ekonomi rendah.
Tidak hanya itu, penelitian ini juga menemukan variabel mana yang memiliki pengaruh kuat dan variabel
pengaruhnya bersifat tidak langsung. Variabel yang paling kuat adalah integritas kepala daerah, oligarki
tambang, integritas birokrasi pemerintahan dan tingkat korupsi, sementara pengaruh integritas kepala
daerah terhadap kualitas lingkungan hidup memiliki pengaruh sangat kuat dan integritas kepala daerah
terhadap reklamasi dan royalti yang dilaporkan memiliki pengaruh kuat dalam mempengaruhi suatu daerah
yang mengalami NRC.
Korupsi juga menjadi penyebab utama mengapa fenomena NRC dapat terjadi. Bentuknya adalah suap dan
gratifikasi, konflik kepentingan, dan aset SDA yang tidak pernah dianggap sebagai kekayaan milik negara.
Data lain yang tidak kalah mengejutkan ternyata banyak kepala daerah yang menyandang status koruptor
berada di provinsi dengan indeks NRC yang tinggi seperti di Aceh, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kep.
Riau, NTB, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah, Sulawesi
Tenggara, Malaku Utara, dan Papua.
Sejumlah rekomendasi dihasilkan untuk perbaikan tata kelola SDA. Diantaranya, pemanfaatan SDA perlu
dilakukan secara efisien dan berkelanjutan. Agar kepentingan antar-stakeholder dapat sinergis, perlu
dibangunnya sebuah framework tata kelola SDA termasuk natural resouce fund di masa depan. Selain itu,
perlu penekanan agar kita tidak berorientasi terus menerus pada PDB (Produk Domestik Bruto) dalam
mengukur kemajuan ekonomi. Namun perlu berorientasi pada pemenuhan kebutuhan hak manusia melalui
social foundation dan ecological ceiling sebagaimana yang dimaksud dalam pendekatan Doughnut
Economic. (Wicitra/Ary)

Anda mungkin juga menyukai