Anda di halaman 1dari 12

TUGAS 1

EKONOMI LINGKUNGAN
PRINSIP PENCEMAR MEMBAYAR
(POLLUTER PAYS PRINCIPLE)

Dosen Pembimbing
Miggie Handayani S.Pt., M.Si

DISUSUN OLEH :

Bahrul Ulum Habiba


23020320140096

PROGAM STUDI S-1 AGRIBISNIS


FAKULTAS PETERNAKAN DAN PERTANIAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2021/2022
BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sumber daya alam sebagai unsur lingkungan hidup diperlukan oleh manusia
dalam kehidupan sehari-hari. Sumber daya alam sangat diperlukan oleh manusia
untuk dikelola serta dikonsumsi guna memenuhi kebutuhan. Ketergatungan
manusia akan sumber daya alam semakin meningkat sejalan dengan laju
pertumbuhan penduduk serta semakin tinggi dan beragamnya tingkat kebutuhan.
Manusia dalam pencapaian semua kebutuhan tidak bisa terlepas dari alam sebagai
penyedia sumber daya yang menyediakan pemenuhan kebutuhan manusia.
Manusia berkembang dengan kemampuannya mampu menciptakan teknologi dan
industrialisasi yang menjadikan segala persoalan menjadi mudah. Hubungan
timbal balik yang baik seharusnya tetap terjaga agar tercipta keseimbangan yang
sehat dan dinamis antara manusia dengan alam yang menyediakan sumber
pemenuhan kebutuhan.
Lingkungan hidup yang telah dikaruniakan Tuhan Yang Maha Kuasa telah
membuka jalan kemakmuran dan kesejahteraan kepada rakyat dan bangsa
Indonesia. Lingkungan hidup yang terganggu keseimbangannya perlu
dikembalikan fungsinya sebagai kehidupan dan memberikan manfaat bagi
kesejahteraan masyarakat dan keadilan antar generasi dengan cara meningkatkan
pembinaan dan penegakan hukum. Penegakan hukum lingkungan berkaitan erat
dengan kemampuan tiga bidang hukum yaitu administratif, pidana dan perdata.
Dengan demikian penegakan hukum lingkungan merupakan upaya untuk
mencapai ketaatan terhadap peraturan dan persyaratan dalam ketentuan hukum
yang berlaku secara umum dan individual, melalui pengawasan dan penerapan
(atau ancaman) sarana administratif, kepidanaan dan keperdataan.
Pertumbuhan tata pengaturan secara hukum lingkungan modern diawali
setelah lahirnya deklarasi tentang lingkungan hidup tahun 1972 sebagai hasil dari
konferensi PBB tentang lingkungan hidup manusia di Stockholm yang merupakan
wujud nyata dari pembangunan kesadaran umat manusia terhadap masalah
lingkungan hidup. Deklarasi Stockholm yang menghasilkan asas-asas pelestarian
dan pengembangan lingkungan hidup bukan merupakan suatu asas-asas yang
harus ada dalam hukum lingkungan Negara Indonesia. Untuk dapat
mengembangkannya menjadi asas-asas hukum lingkungan nasional maka
pengaturan kebijakan dalam asas-asas pelestarian dan pengembangan lingkungan
hidup tersebut perlu diolah terlebih dahulu untuk kemudian dapat dituangkan ke
dalam asas hukum lingkungan Indonesia. Oleh karena itu, deklarasi Stockholm
hanya menjadi referensi bagi pengembangan hukum lingkungan dan tata
pengaturannya.
Penegakan hukum administratif ditujukan untuk upaya pencegahan
terjadinya pencemaran dan perusakan lingkungan serta bertujuan untuk
menghukum pelaku pencemaran dan perusakan lingkungan secara administrasi.
Menurut penelitian Siregar (2020) bahwa penegakan hukum perdata merupakan
sarana penegakan hukum yang bertujuan untuk meminta ganti kerugian oleh
korban kepada pelaku pencemar dan perusak lingkungan. Upaya hukum perdata
merupakan upaya hukum yang membantu meringankan tugas negara artinya
negara tidak perlu mengeluarkan biaya penegakan hukum (law enforcement cost)
karena penegakan hukum perdata dilakukan oleh masyarakat, dan otomatis
biayanya ditanggung oleh masyarakat.
Penegakan hukum pidana dipandang sebagai ultimum remedium atau upaya
hukum terkahir karena penegakan hukum disini bertujuan untuk menjatuhkan
pidana penjara atau denda kepada pelaku pencemaran dan/atau perusak
lingkungan hidup. Jadi penegakan hukum pidana tidak berfungsi untuk
memperbaiki lingkungan yang tercemar. Namun demikian, menurut Siregar
(2020) bahwa penegakan hukum pidana ini dapat menimbulkan faktor penjera
(deterrant factor) yang sangat efektif. Oleh karena itu dalam praktiknya
penegakan hukum pidana selalu diterapkan secara selektif.
Dalam proses produksi, produsen tidak memperhitungkan biaya
pembuangan limbah dalam biaya produksi mereka, tetapi dibebankan kepada
pengguna lingkungan laut lainnya. Dalam literatur ekonomi, biaya ekonomi yang
dikeluarkan dari proses ekonomi pasar disebut sebagai external economy, atau
externality. Keadaan ini karena adanya anggapan tradisional yang menyatakan
bahwa air, misalnya, adalah barang bebas dan terbuka bagi siapa saja yang
memanfaatkannya sehingga para produser berpikir bahwa keuntungan yang
timbul atau biaya untuk mengendalikan pencemaran dibiarkan di luar proses
produksi.

1.2 Tujuan Penulisan Makalah


Dari permasalahan tersebut, makalah ini dilakukan dengan tujuan untuk
mengetahui apakah pelaksanaan prinsip pencemar membayar, mengetahui fungsi
dari prinsip-prinsip pencemar membayar, dan untuk mengetahui implementasi
prinsip pencemar membayar pada suatu usaha.
BAB 2 PEMBAHASAN

2.1 Prinsip Pencemar Membayar


Secara prinsip, barangsiapa yang menimbulkan kerugian diwajibkan untuk
membayar kerugian tersebut. Hal ini senada United Nations Environmental
Programme (UNEP) (1992) dengan prinsip pencemar membayar (the Polluter
Pays Principle): whoever is responsible for damage to the environment should
bear the costs associated with it. Namun demikian, beberapa orang tidak setuju
dengan dalil yang menyatakan bahwa orang-orang yang menyebabkan kerusakan
atau merugikan orang lain harus membayar untuk kerusakan yang ditimbulkan
tersebut. Memaksa pencemar untuk membayar biaya kerusakan, secara efisiensi
ekonomi dapat dikatakan adil. Menurut penelitian Sugianto et al. (2020)
Kebijakan berdasarkan Prinsip Pencemar Membayar diterapkan untuk melindungi
lingkungan tanpa mengorbankan efisiensi dari sistem ekonomi pasar bebas.
Prinsip pencemar membayar merupakan salah satu prinsip yang penting
dalam pengelolaan lingkungan, selain prinsip the sustainable development, the
prevention principle, the precautionary principle, and the proximity principle.
Asas ini pertama-tama tercantum dalam beberapa rekomendasi The Organization
for Economic Cooperation and Development (OECD) pada tahun 70-an yang
pada dasarnya menyatakan bahwa asas pencemar membayar mewajibkan para
pencemar untuk memikul biaya-biaya yang diperlukan dalam rangka upaya-upaya
yang diambil oleh pejabat publik untuk menjaga agar kondisi lingkungan berada
pada kondisi yang dapat diterima. Namun demikian, muncul penentangan dengan
alasan menurut Malvin Edi Darma dan Ahamad Redi (2018) diantaranya;
Pemulihan lingkungan tidak ada artinya dalam hal terjadinya kerusakan hebat
yang dampaknya tidak dapat diselesaikan dengan ganti kerugian murni;
Pemulihan kerusakan mengandung banyak kesulitan misalnya dampak jangka
panjang dan penemuan dampak tidak langsung; dan Perkiraan biaya kerusakan
terhadap biaya pemulihan perbaikan kerusakan seringkali sia sia dai segi ekonomi.
Dalam Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
(UUPPLH), ketentuan pertanggunjawaban atas pencemaran lingkungan hidup,
diatur dalam pasal 87 ayat 1, dimana setiap penanggung jawab usaha dan/atau
kegiatan yang melakukan perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran
dan/atau perusakan lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada orang
lain atau lingkungan hidup wajib membayar ganti rugi dan/atau melakukan
tindakan tertentu. Jika kita simak penjelasan pasal 87 ayat 1 yang mengatakan
bahwa ayat ini merupakan realisasi asas dalam yang ada dalam hukun lingkungan
hidup yang disebut juga sebagai pencemar membayar, maka dapat disimpulkan
bahwa rumusan ketentuan pasal ini merpakan bagian dari polutter pay priciple
(PPP), yang dimana tidak hanya menyangkut aspek preventif, tetapi dapat pula
dikaitkan dengan aspek represif.
Secara teoritis, menurut Syarif et al. (2018) Prinsip Pencemar Membayar
pada dasarnya merupakan sebuah kebijakan ekonomi dalam rangka pengalokasian
biaya-biaya bagi pencemaran dan kerusakan lingkungan, tetapi kemudian
memiliki implikasi bagi perkembangan hukum lingkungan internasional dan
nasional, yaitu dalam hal terkait dengan masalah tanggung jawab ganti kerugian
atau dengan biaya-biaya lingkungan yang harus dipikul oleh pejabat publik.
Menurut OECD, upaya pengendalian pencemar melibatkan biaya seperti biaya
alternatif penerapan kebijaksanaan anti pencemaran, biaya pengukuran dan
pemantauan pengelolaan, biaya riset, pengembangan teknologi unit-unit pengelola
pencemaran, dan perawatan instalasi unit- unit pengelolaan limbah. Menurut
Siahaan (2014) prinsip-prinsip yang diterapkan oleh OECD tercakup dalam 7
kebijaksanaan yang diambil yaitu: a. Pengendalian langsung; b. Perpajakan; c.
Pembayaran; d. Subsidi; e. Macam-macam kebijakan yang bersifat intensif seperti
keuntungan pajak, fasilitas kredit, dan amortasi atau pelunasan hutang yang di
percepat; f. Pelelangan hak-hak pencemaran; dan g. Pungutan-pungutan.

2.2 Fungsi Pencemar Membayar


Fungsi Polluter Pays Principle (Prinsip Pencemar Membayar), sebagai
pengendalian pencemaran lingkungan hidup, prinsip pencemar membayar
menunjuk pada suatu kewajiban membayar kerugian yang dialami korban atau
lingkungan. Menurut Purwendah dan Erowati (2021) sebagai sanksi dalam rangka
menertibkan pencemaran lingkungan, prinsip negligence dan prinsip strict
liability maksud dari prinsip ini tersirat pada pasal 99 ayat (1) dan pasal 88
Undang-undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengeloaan
Lingkungan Hidup (UUPLH) yang berbunyi “setiap orang yang karena
kelalaiannya mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu
air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun
dan denda paling sedikit Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling
banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah)”.
Prinsip strict liability pada pasal 88 yang berbunyi “setiap orang yang
tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan
dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius
terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi
tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan”. Fungsi dari Polluter Pays Principle ini
menjadi sebuah cara bagaimana pengendalian pencemaran itu dapat dilakukan,
pada tulisan ini adalah melalui cara iuran sampah/retribusi sampah. Berdasarkan
uraian di atas, tulisan ini fokus untuk mengetahui bagaimana cara kerja polluter
pays principle atau prinsip pencemar membayarlewat iuran sampah dan
mengetahui bagaimana polluter pays principle menjadi penegas di dalam
pembayaran iuran sampah yang menjadi sebuah kewajiban untuk masyarakat.

2.3 Implementasi Prinsip Pencemar Membayar


Salah satu kasus pencemaran limbah yang terjadi adalah kasus PT PRIA,
pencemaran dilakukan dengan cara menimbun limbah secara terus menerus
sehingga mengakibatkan kerusakan lingkungan, seperti pencemaran sumber air
yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan akan air oleh warga Lakardowo,
kemudian menurunnya kualitas udara yang dihirup oleh warga desa Lakarladowo,
serta kerusakan lingkungan lainnya yang diakibatkan oleh beroprerasinya PT
Putra Restu Ibu Abadi (PT PRIA). Konflik berkepanjangan anatara PT Putra
Restu Ibu Abadi (PRIA) di Desa Lakardowo Kecamatan Jetis Kabupaten
Mojokerto dengan masyarakat Lakardowo yang berlangsung sejak 2010 hingga
saat ini juga belum menemukan titik terang dalam rilis WALHI Provinsi Jawa
Timur disebut bahwa warga mengeluhkan aktifitas PT. PRIA, masyarakat
Lakordowo menuntut kehidupan yang sehat dan lingkungan yang tidak terganggu
oleh pencemaran lingkungan. Beberapa dampak negatif yang dirasakan langsung
oleh masyarakat diantaranya adalah penyakit gatal-gatal, sesak nafas, dan dampak
lingkungan lainnya.
Selama enam tahun sudah warga Lakardowo harus menikmati pencemaran
yang dilakukan oleh PT. PRIA, yakni timbunan limbah B3 yang sangat beracun.
Kondisi tersebut turut mempengaruhi kehidupan warga, terutama berkaitan
dengan hajat hidup. Limbah B3 berupa limbah fly ash, bottom ash, sludge kertas,
sludge industri, limbah media dan bahan makanan olahan kadaluarsa, yang
ditimbun oleh PT. PRIA dengan dalih pembuatan batako, telah menyebabkan air
tanah warga Lakardowo tercemar. Hal ini dikarenakan limbah tersebut ditimbun
di tanah, lalu menyebar dan meresap ke celah-celah tanah, sehingga mencemari
sumur-sumur dan tanah warga di sekitar pabrik. Air yang dahulu bisa dinikmati
dan dipergunakan untuk kebutuhan sehari-hari, kini tak bisa dirasakan lagi
keberkahannya. Air mereka tercemar oleh limbah B3 yang ditimbun oleh PT.
PRIA. Selain berdampak pada air, timbunan limbah B3 juga turut mencemari
tanah pertanian. Beberapa warga mengeluhkan hasil pertanian tidak maksimal,
semenjak wilayahnya dijadikan timbunan limbah B3. Komoditas seperti padi yang
jikalau panen bisa empat kali selama satu tahun, pasca ada penimbunan limbah B3
oleh PT. PRIA, hanya menjadi dua kali saja dalam satu tahun. Memang
dampaknya tidak terasa dalam satu tahun atau dua tahun, tetapi berakumulasi dan
dirasakan bertahun-tahun kemudian.
PT Putra Restu Ibu Abadi (PRIA) merupakan perusahaan pengelolaan dan
pemanfaatan limbah B3 maupun non-B3. Limbah-limbah hasil dari perusahaan di
Jawa Timur diserahkan dan ditampung oleh PT PRIA untuk selanjutnya dikelola
dalam hal pemnafaatan limbah bahan berbahaya utuk dijadikan bahan baku
pembuatan batako, kertas low grade dan distilasi solvent. Pengelolaan limbah B3
diatur dalam Pasal 1 Angka 11 Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2014
bahwa pengelolaan limbah B3 adalah kegitan yang meliputi pengurangan,
pengangkutan, penyimpanan, pengumpulan, pengelolaan dan/atau penimbunan.
Pengeloaan dalam hal penimbunan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Angka 24
PP No. 101 tahun 2004 merupakan kegiatan menempatkan Limbah B3 pada
fasilitas penimbunan dengan maksud tidak membahayakan kesehatan mnusia dan
lingkungan hidup. Adanya dugaan aktivitas penimbunan limbah B3 yang
dilakukan oleh PT PRIA mengancam fungsi lingkungan hidup yang berpotensi
berdapampak buruk bagi kesehatan masyarakat karena terancamnya sumber air
yang ada di dalam tanah.
Dampak kerusakan lingkungan yang dilakukan oleh PT. PRIA diketahui
setelah adanya penelitian yang dilakukan ECOTON (Ecological Observation and
Wetland Conservation). Menurut Budianto (2019) Dampak yang telihat langsung
yaitu air tanah yang digunakan mandi menyebabkan kulit gatal, selain itu lahan
pertanian menjadi tidak produktif serta menimbulkan bau yang menyengat.
Terdapat 61 jenis limbah yang menurut warga telah ditimbun di Gudang PT PRIA
dan beberapa titik yang kini telah ditutup oleh pemukiman warga diatasnya. Jenis
limbah B3 yang dijadikan bahan urukan yang diyakini telah mencemari
lingkungan khususnya berdampak pada rusaknya air sumur warga adalah dari sisa
pembakaran (fly ash dan bottom ash), limbah medis, limbah cair, dan produk
kadaluarsa (Inilohmojokerto.com 2019a). Menurut hasil penelitian dari Source
International (SI) Asnawi (2020) tentang dampak ligkungan dan kesehatan dari
PT PRIA menyatakan bahwa seluruh tanah di daerah sekitar pabrik berada dalm
kondisi tercemar dan menimbulkan dampak di area pertanian, beras yang dipanen
di dekat PT PRIA memiliki konsentrasi logam berat(Timbal dan Kromium) yang
jauh lebih tinggi daripada sampel kontrol.
Dalam hal ini menurut Putusan Nomor : 4/Pdt.G/LH /2020//PN.Mjk yang
mengdili perkara perdata antara Perkumpulan Warga Lakardowo dengan nama
Pendowo Bangkit sebagai penggugat yang menggunakan Hak gugat Organisasi
Lingkungan Hidup melawan PT Putra Restu Ibu Abadi (PRIA) sebagai tergugat
menerangkan bahwa perilaku PT PRIA atas penimbunan Limbah B3 di
DesaLakardowo telah melanggarPasal 88 Undang-Undang No. 32 Tahun 2009
Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup karena dengan adanya
penimbunan tersebut berdampak pada pencemaran dan melanggar Pasal 67 UU
No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
dan berdasarkan bagian ketiga “Larangan” yang dimaksudkan dalam pasal 69
huruf (e dan f) Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan
danPengelolaanLingkungan Hidupditegaskan; “(e) membuang limbah ke media
lingkungan hidup dan (f) membuang limbah B3 ke media lingkungan hidup”.
Yang mana hal tersebut media lingkungan sebagai tempat pembungan limbah
yang dilakukanoleh PT PRIA adalah air dan tanah masyarakat. Tanggapan
petinggi PT PRIA tekait pertanggungjawaban atas indikasi pencemaran
lingkungan dengan penimbunan bahan beracun dan berbahaya (B3) di Desa
Lakardowo sudah menjdi tanggung jawab pemerintah. General Affair Manager
PT PRIA Rudi Kurniawan menjelaskan bahwa pihaknya sudah melakukan
mendiasi pada tanggal 12 Februari 2019 dengan Kementrian Lingkungan Hidup
dan Kehutanan dan menemui kata sepakat dalam penanganan limbah B3 yang
tertimbun dengan pembongkaran dan pembersihan (clean up). Menurut Rudi,
Pertanggungjawaban yang telah dilakukan oleh PT. PRIA hanya membantu
pengangkutan dan pengolahan limbah yang sifatnya bantuan sosial
saja(Inilohmojokerto.com 2019).
Dalam hal ini Corporate social responsibility perlu dibebankan kepada PT
PRIA karena dalam fakta, tidak terhindari bahwa kehadiran perusahaan tersebut
dalam pengeloaan penimbunan Limbah B3 memiliki dampak kepada lingkungan
dan sumber daya alam, dan memberikan gangguan dan berbagai pengorbanan atas
masyarakat dan lingkungan hidup. Pertanggungjawaban tersebut sejalan dengan
ketentuan UUPPLH yang mengatur tentang sistem pencemar membayar (polluter
pays principle) yang merupakan bagian dari dimensi tanggungjawab korporasi
dalam pengelolaan lingkungan. Selain diharuskan membayar ganti kerugian,
pencemar dan atau perusak lingkungan hidup dapat pula dibebani oleh hakim
untuk melakukan tindakan hukum tertentu, misalnya dalam hal pencemaran yang
telah dilakukan PT PRIA untuk memasang atau memperbaiki unit pengelola
limbah sehingga limbah sesuai dengan baku mutu lingkungan hidup yang
ditentukan; memulihkan penimbunan limbah B3 di Desa Lakardowo;
menghilangkan atau memusnahkan penyebab timbulnya pencemaran dan atau
perusakan lingkungan hidup; memberi perintah untuk taat menjalankan dokumen
AMDAL; merehabilitasi lingkungan hidup akibat penimbunan limbah B3 dan
membayar biaya rehabilitasi; pembebanan pembayaran uang paksa (dwangsom)
atas setiap hari keterlambatan pelaksanaan perintah pengadilan untuk
melaksanakan tindakan tertentu demi pelestarian fungsi lingkungan hidup.
BAB 3 PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Prinsip-prinsip pencemar membayar yaitu pengendalian langsung,
perpajakan, pembayaran, subsidi, macam-macam kebijakan yang bersifat intensif,
pelelangan hak-hak pencemaran, dan pungutan-pungutan. Fungsi polluter pays
principle sebagai pengendalian pencemaran lingkungan hidup, prinsip pencemar
membayarmenunjuk pada suatu kewajiban membayar kerugian yang dialami
korban atau lingkungan. Penerapan prinsip pencemar membayar perlu dilakukan
kepada PT PRIA sebagai perusahaan pengelolaan limbah B3 yang melakukan
penimbunan dan menimbulkan pencemaran lingkungan warga Desa Lakardowo
sebagai bentuk pertanggungjawaban mutlak tanpa harus dibuktikan adanya unsur
kesalahan, ganti kerugian langsung berupa pemulihan lingkungan dan/atau biaya
rehabilitasi yang dikenai setelah perbuatan pencemaran , hal tersebut diterapkan
sesuai dengan Pasal 88 Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 Tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

3.2 Saran
Ketidaksesuaian pertanggungjawaban yang telah dilakukan oleh PT PRIA
yaitu berperan dalam membantu pengangkutan dan pengolahan limbah yang
sifatnya bantuan sosial yang seharusnya PT PRIA secara penuh bertanggung
jawab dalam upaya rehabilitasi lingkungan dan pengembalian biaya ganti rugi atas
pencemaran lingkungan bagi warga desa Lakardowo patut diberi sanksi sanksi
administrasi yang dapat diterapkan dalam pengendalian pencemaran lingkungan
hidup di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA

Asnawi. 2020. Nasib warga lakardowo, satu dasawarsa hidup dengan limbah
berbahaya. mongabay.co.id.
Budianto, Enggran. 2019. Warga Mojokerto Tuntut Pabrik Pengolahan Limbah
Berbahaya Dibongkar. DetikNews.
Indonesia. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
Cetakan keenam, (Jakarta: Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal
Mahkamah Konstitusi RI, 2016).
Malvin Edi Darma dan Ahamad Redi. 2018. Penerapan asas polluter pay principle
dan strict liability terhadap pelaku pembakaran hutan. Jurnal Hukum
Adigama, 7.
Purwendah, E. K., dan Erowati, E. M. 2021. Prinsip pencemar membayar
(polluter pays principle) dalam sistem hukum Indonesia. J. Pendidikan
Kewarganegaraan Undiksha, 9(2): 340-355.
Siahaan, N. 2014. Hukum Lingkungan dan ekologi pembangunan. Edisi kedua.
Jakarta: Erlangga.
Siregar, L. 2020. Penerapan asas pencemar membayar dalam perkara perdata
lingkungan hidup (studi putusan pengadilan tinggi riau nomor
79/pdt./2014/ptr). J. Mercatoria, 13(2): 143-156.
Sugianto, F., Agustian, S. L., dan Basti, N. P. 2020. Eksistensi prinsip pencemar
membayar dalam sistem penegakan hukum agrarian. Tanjungpura Law
Journal, 4(1): 1-21.
Syarif, L.M., Andri, G., dan Wibisana. 2018. Hukum Lingkungan Teori, Legislasi
dan Studi Kasus, (Jakarta: USAID).

Anda mungkin juga menyukai