Anda di halaman 1dari 28

Polluter Pays Principle

di dunia internasional
Oleh: Dr. Jelly Leviza, S.H., M. Hum

Makalah disampaikan dalam “Lokakarya Kompensasi


Ekonomi Terhadap Pelanggaran Baku Mutu Lingkungan “,
Diselenggarakan oleh Badan Lingkungan Hidup
Provinsi Sumatera Utara, 06 s/d 07 Juli 2011
Hotel Bahari, Parapat
Pengantar
• ”If you make a mess, it's your duty to clean it up”.
• “People should be held responsible for their
actions”.
• “Those who cause damage or harm to other people
should ‘pay’ for that damage”.

Polluter Pays
Principle
• Ungkapan-ungkapan di atas berkaitan
langsung dengan rasa keadilan dari setiap
orang.

• Dengan alasan seperti itu maka "The ‘polluter


pays principle’ (prinsip pencemar membayar)
menyatakan:“…whoever is responsible for
damage to the environment should bear the
costs associated with it." (Taking Action, The United
Nations Environmental Programme.)
Hukum lingkungan internasional memiliki beberapa
macam prinsip diantaranya adalah sbb:
Sustainable development principle (prinsip
pembangunan berkelanjutan) ;
Prevention principle (prinsip pencegahan);
Precautionary principle (prinsip kehati-hatian);
Common but differentiated principle (prinsip
kebersamaan dengan tanggungjawab yang berbeda);
Polluter Pays Principle (prinsip pencemar
membayar) dll.

•Polluter Pays Principle (PPP) berkedudukan sebagai


suatu prinsip dalam hukum lingkungan internasional yang
mewajibkan pencemar untuk membayar kerusakan yang
telah terjadi atas lingkungan.
A. Sejarah dan Pengertian
PPM juga dikenal sebagai Extended Polluter
Responsibility (EPR). EPR merupakan suatu konsep yang
mungkin pertama kali digambarkan Pemerintah Swedia
(1975).

EPR mengalihkan tanggung jawab dalam persoalan


limbah, dari pemerintah, pembayar pajak dan masyarakat
luas menjadi tanggung jawab entitas (pihak) yang
melakukan produksi.

EPR menginternalisasikan biaya pengelolaan limbah


menjadi biaya produksi (the cost of the product). Secara
teoritis ini berarti produsen akan memperbaiki profil
limbah dari produk mereka, kemudian menurunkan limbah
dan meningkatkan kemungkinan untuk penggunaan ulang
dan daur ulang
• PPP pertama kali muncul dalam konteks hukum saat dimuat dalam
dokumen yang dipersiapkan oleh OECD: Guiding Principles
Concerning International Economic Aspects of Environmental
Policies, 1972. Dokumen OECD tsb memberikan pengertian PPP sbb:

• “The principle to be used for allocating costs of pollution


prevention and control measures to encourage rational use
of scarce environmental resources and to avoid distortions
in international trade and investment is the so-called
‘Polluter Pays principle’. This principle means that the
polluter should bear the expenses of carrying out the
above mentioned measures decided by public authorities to
ensure that the environment is in an acceptable state. In
other words, the cost of these measures should be reflected
in the costs of goods and services which cause pollution in
production and/or consumption. Such measures should not
be accompanied by subsidies that would create significant
distortions in international trade and investment”.
• Pengakuan PPP sebagai sumber hukum
lingkungan internasional a/l ditegaskan
oleh International Maritime Organization
(IMO) yang pada tahun 1990 dalam
International Convention on Oil Pollution
Preparedness, Response and Co-
operation, menyatakan bahwa prinsip
pencemar membayar adalah: "...general
principle of international environmental
law."
• Pada tahun 1992 United Nations Conference
on the Environment and Development (KTT
Bumi) dalam Deklarasi Rio, Prinsip 16
menyatakan bahwa: “…national authorities
should endeavour to promote the
internalization of environmental costs and
the use of economic instruments, taking into
account the approach that the polluter
should, in principle, bear the cost of
pollution, with due regard to the public
interest and without distorting
• Perkembangan PPP mulai terjadi tahun 1989 dimana OECD
mencakupkan dalam PPP biaya-biaya yang berkaitan dengan
accidental pollution; dimana Rekomendasi OECD menyatakan
bahwa: "In matters of accidental pollution risks, the Polluter-Pays
Principle implies that the operator of a hazardous installation
should bear the cost of reasonable measures to prevent and control
accidental pollution from that installation ...".

• Selanjutnya tahun 2001, OECD Joint Working Party on Agriculture


and Environment, menyatakan bentuk PPP yang baru dimana harus
memuat: "... the polluter should be held responsible for
environmental damage caused and bear the expenses of carrying
out pollution prevention measures or paying for damaging the state
of the environment where the consumptive or productive activities
causing the environmental damage are not covered by property
rights.“

• Bentuk baru PPP itu hendak mencakup biaya untuk accident


prevention (pencegahan kecelakaan) dan untuk
menginternalisasikan biaya-biaya lingkungan yang disebabkan oleh
kecelakaan tsb.
• PPP tersirat dalam Pasal 174 (2) dalam Treaty
Establishing the European Union (the “EC
Treaty”) yang menyatakan bahwa;

“Union policy on the environment shall aim at a


high level of protection taking into account the
diversity of situations in the various regions of the
Union. It shall be based on the precautionary
principle and on the principles that preventive
action should be taken, that environmental
damage should as a priority be rectified at source
and that the polluter should pay”.
B. Kritik atas Prinsip Pencemar Membayar

Sekalipun PPP merupakan asas yang ditetapkan


secara internasional, namun terdapat banyak kritik atas
penerapannya terutama yang berkaitan dengan 4
pertanyaan dasar berikut:
•What constitutes pollution?
•Who are the polluters?
•How much must the polluters pay?
•To whom they must make the payment?
 Tidak ada kesepakatan mengenai pengertian
the polluter (pencemar). Siapakah yang
tergolong sebagai pencemar berdasarkan
PPP?. Hal ini bergantung pada konteks
pengaturannya dalam bentuk
norma/kaidah hukum.

 Terkait dengan masalah “siapa si pencemar”,


laporan OECD mengenai the Polluter Pays
Principle (1975) mengemukakan pemikiran
tentang “Who Pays for What?”.
Dalam laporan OECD di atas dibahas mengenai hubungan pencemaran
dengan pertanggungjawaban; serta hubungan antara pencemaran dengan
kekuasaan.
 Hubungan pencemaran dengan pertanggungjawaban.
Pencemar tidak selalu bertanggung jawab terhadap
pencemaran yang ditimbulkannya. Misalnya seorang
pengendara sepeda motor yang mencemarkan dan berbuat
bising tidak bertanggung jawab sendiri, tetapi secara kolektif
bersama produsennya.
Jelaslah bahwa menentukan siapa pencemar mungkin tidak
sulit, tetapi kadang keliru untuk membebankan biaya semata-
mata kepada physical polluters (pencemar secara fisik).
 Hubungan pencemaran dan kekuasaan.
Dalam arti menemukan siapa pihak yang secara
ekonomis dan teknis mempunyai daya kekuasaan
untuk mencegah, mengendalikan, atau
menanggulangi pencemaran.

 Pengusaha mempunyai kemampuan membuat


produksinya bebas pencemaran dengan cara
memasang alat pencegahan pencemaran.

 Dengan demikian, sebenarnya PPM berbeda


hasilnya, tergantung dari penerapan terhadap
produsen atau konsumen.
 Kritik lain terkait dengan penerapan PPM adalah keberatan
sebagaimana berikut:

“…Some environmentalist have opposed proposals for pollution


charges on moral grounds, claiming that they involve a ‘licence
to pollute’ ,…

Tafsiran di atas dikenal dengan ungkapan the right to pollute,


licence to pollute, paying to pollute dan de betaler vervuilt.

(Siti Sundari Rangkuti, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional,


Airlangga University Press, Surabaya, 2005, hal. 256-257).
C. Penerapan PPP di Beberapa Negara

Beberapa negara di Eropa berdasarkan prinsip


pencemar membayar telah menerapkan iuran
pembuangan limbah yang dihitung berdasarkan
jumlah limbah yang dibuang.

Tujuan iuran pembuangan limbah sebenarnya adalah


untuk mendorong industri agar mengolah limbahnya.
Dana pembayaran iuran pembuangan dapat
digunakan untuk memberikan subsidi bagi industri
yang akan memasang IPAL baru dan teknologi
produksi bersih.
(http://www.terranet.or.id/tulisandetil.php?id=1414)
Belanda

Sebagai salah satu anggota OECD secara tegas


menetapkan prinsip pencemar membayar dalam
peraturan perundang-undangan lingkungan terutama
melalui sarana keuangan.

Perhitungan biaya pencegahan dan penanggulangan


pencemaran udara dan air menumbuhkan ketentuan
hukum bahwa biaya pencemaran tidak diambil dari dana
umum, tetapi ditarik dari sumber yang bersifat khusus.
(
Jerman
• Sejak EC Treaty memuat secara tegas PPP
(Verursacherprinzip) sebagai bagian dari kebijakan
lingkungan maka prinsip tsb telah menjadi bagian dari hukum
Jerman.
• Saat ini PPP secara tegas diatur dalam sejumlah perundang-
undangan di Jerman, a/l seperti: Bundesbodenschutzgesetz –
BBodSchG) of 17 March 1998 atau Federal Soil Protection
Act.
• Persoalan dalam konteks lingkungan adalah seringkali sangat
sulit bahkan kadang tidak mungkin untuk membangun
hubungan kausal antara suatu kegiatan tertentu dengan
dampak negatifnya bagi lingkungan. Oleh karena itu dalam
hukum lingkungan Jerman PPP dalam arti luas cenderung
sebagai guiding line ketimbang menjadi prinsip yang ketat.
India

India telah menerapkan prinsip pencemar membayar


dalam peraturan perundang-undangannya. Hal tersebut
sebenarnya mendorong upaya pemulihan lingkungan,
hanya sayang tidak diimplementasikan selayaknya.

Dalam beberapa kasus yang diputuskan pengadilan


terlihat bahwa dana pemulihan lingkungan yang harus
dikeluarkan oleh perusahaan-perusahaan besar sangat
tidak sebanding dengan besarnya keuntungan yang
mereka peroleh. Misalnya dalam the Vellore Citizens
case, sangat mengejutkan bagaimana 10,000 rupees bisa
menjustifikasi pencemaran yang begitu menyebar.
D. Beberapa Kendala dalam Penerapan PPP di Sejumlah
Negara

Pertama, masih adanya ambiguity dalam menentukan 'who is a polluter'.


Dalam terminologi hukum, “pencemar” adalah seseorang yang secara
langsung atau tidak langsung merusak lingkungan atau yang
menciptakan kondisi yang berkaitan dengan kerusakan lingkungan.
Jelaslah bahwa definisi ini terlalu luas sehingga menjadi tidak
mendukung dalam banyak situasi.

Kedua, sejumlah besar rumahtangga yang miskin, perusahaan di sektor


informal, dan para petani tidak mampu menanggung biaya tambahan
apapun untuk pengelolaan limbah.
Ke tiga, perusahaan menengah ke bawah dari sektor formal,
yang melayani kebutuhan rumahtangga, merasa kesulitan
untuk melewati biaya yang lebih tinggi terhadap pengguna
produk mereka.

Keempat, eksportir di negara-negara berkembang biasanya


tidak bisa menanggung biaya internalisasi pada pelanggan
asing berkaitan dengan permintaan yang elastic.

(Interpretation of Polluter Pays Principle (PPP) In India http://www.legalserviceindia.com/article/l54-


Interpretation-of-Polluter-Pays-Principle.html)
E. Pengaturan Hukum Nasional tentang PPM

 Secara normatif UUPLH mengatur penerapan PPM dalam


Penjelasan Pasal 34 ayat (1): " Ayat ini merupakan realisasi
asas yang ada dalam hukum lingkungan hidup yang disebut
asas pencemar membayar...”.

 Selain kewajiban untuk membayar ganti, pencemar dan/atau


perusak lingkungan hidup dapat pula dibebani oleh hakim
untuk melakukan tindakan hukum ttt, misalnya perintah utk:
 memasang atau memperbaiki UPL sehingga limbah
sesuai dengan baku mutu lingkungan hidup yang ditentukan;
 Memulihkan fungsi lingkungan hidup;
 Menghilangkan atau memusnahkan penyebab timbulnya
pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.
Selain diharuskan membayar ganti rugi,
pencemardan/atau perusak lingkungan hidup dapat pula
dibebani oleh hakim untuk melakukan tindakan hukum
tertentu, misalnya perintah untuk:
a. memasang atau memperbaiki unit pengolahan
limbah sehingga limbah sesuai dengan baku mutu
lingkungan hidup yang ditentukan;

b. memulihkan fungsi lingkungan hidup; dan/atau

c. menghilangkan atau memusnahkan penyebab


timbulnya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan
hidup.
G. Beberapa Persoalan dalam Penerapan PPM
dalam Hukum Nasional

 Penjabaran PPM yang disebutkan dalam Penjelasan Pasal 34


ayat (1) UUPLH tsb, secara substantif kurang tepat karena
PPM sebenarnya bukan hanya bersifat represif namun juga
bersifat preventif (berupa pajak lingkungan atau pungutan
pencemaran).

 Indonesia tidak menganut PPM secara murni sebab prinsip


tsb hanya bersifat tersirat tidak tersurat dari bunyi pasal-
pasalnya, misalnya Pasal 10 ayat (3) c dan Penjelasan Pasal 8
UULH yang malah sudah tidak ada pengaturannya dalam
UUPLH .
 Dalam UULH ada semacam pengecualian atas PPM.
Penjelasan Pasal 16 UULH menyatakan: pemerintah dapat
membantu golongan ekonomi lemah, yang bidang usahanya
diperkirakan menimbulkan dampak penting, untuk
melaksanakan Amdal.

 Ketentuan di atas selanjutnya dijabarkan dalam PP No.


29/1986 dan PP No. 27/1999 tentang Amdal (tidak dalam PP
No. 51/1993).

 Ketentuan hukum dalam UULH, walau tidak dirumuskan


secara tegas, lebih mencerminkan penerapan PPM. Misalnya:
- ketentuan Pasal 10 ayat (3) c tentang pajak dan retribusi
lingkungan.
- Penjelasan Pasal 8 yang mengatur tentang
langkah-langkah instrumen ekonomik yang dapat ditempuh
pemerintah, misalnya dalam bidang perpajakan.
 Keberadaan PPM dan asas subsidiaritas dalam penjelasan
UUPLH, sangat bertentangan dengan teori hukum yang
menyebutkan bahwa keberadaan bagian penjelasan dalam
undang-undang (peraturan) adalah untuk memperjelas pasal-
pasal yang dianggap sulit dimengerti dan tidak untuk
melahirkan ketentuan baru.

Kenyataannya keberadaan asas subsidiaritas dan prinsip


pencemar membayar dalam penjelasan UUPLH telah
melahirkan ketentuan baru diluar ketentuan yang terdapat
dalam isi UUPLH tersebut, terjadi apa yang disebut dengan
contratrio indeterminis. Ini bisa menyebabkan
ketidakpastian hukum.

Hari Dermanto (Himpunan Mahasiswa Program Studi Hukum Fakultas Hukum UNIBA)
http://www.grasatya.blogspot.com http://groups.yahoo.com/group/apksa/message/12391
 Prinsip Pencemar Membayar belum dapat diterapkan secara
murni dalam suasana hukum nasional karena beberapa
kendala:

 Golongan ekonomi lemah yang eksistensinya diakui dalam


UULH dan PP No. 27/1999 tentang Amdal;

 Keterbatasan pendapatan anggota masyarakat sendiri;

 Kritik tentang “si pembayar mencemarkan” yang


melemahkan PPM.

(Siti Sundari Rangkuti, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional,


Airlangga University Press, Surabaya, 2005, hal. 256-257).
Daftar Pustaka
• Roy E. Cordato, “The Polluter Pays Principle: A Proper Guide
for Environmental Policy”, Institute for Research on the
Economics of Taxation. Studies in Social Cost, Regulation,
and the Environment: No. 6
• Ulrich Magnus, “The Polluter Pays Principle in Germany”,
Hamburg.
• Interpretation of Polluter Pays Principle (PPP) In India
http://www.legalserviceindia.com/article/l54-Interpretation-of-
Polluter-Pays-Principle.html)
• Siti Sundari Rangkuti, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan
Lingkungan Nasional, Airlangga University Press, Surabaya,
2005
• Muhammad Djafar Saidi, Fakultas Hukum Universitas
Hasanuddin,http://www.duniaesai.com/lingkungan/lingkungan
22.html)

Anda mungkin juga menyukai