Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sumber daya alam dan lingkungan memegang peranan penting bagi

pembangunan ekonomi khususnya di negara berkembang seperti di indonesia.

Sumber daya alam, selain menyediakan barang dan jasa, juga menjadi

backbone dari perumbuhan ekonomi dan sumber penghasilan masyarakat

serta sebagai aset bangsa yang penting. Oleh karena itu, ketersediaan dan

kesinambungan (sustainability) dari sumber daya alam ini menjadi sangat

penting bagi kelangsungan pembangunan ekonomi dan akan sangat

tergantung dari pengelolaan yang baik oleh setiap stakeholder yakni

masyarakat dan pemerintah.

Dalam menyelesaikan permasalahan lingkungan haruslah holistik dan

lintas disiplin ilmu, termasuk melalui pendekatan ilmu ekonomi. Setidaknya,

Ada dua metode untuk melakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan

yang berkelanjutan melalui mekanis ekonomi yaitu melalui pendekatan

pengaturan langsung berdasarkan baku mutu lingkungan yang diterapkan

dengan mekanisme perundang-undangan tanpa bantuan mekanisme pasar

(command and control) dan pendekatan insentif ekonomi berdasarkan

mekanisme pasar (market based incentive).

Para ekonom sudah lama berargumentasi bahwa sistem insentif

berdasarkan mekanisme pasar lebih efisien daripada sistem pengaturan

langsung berdasarkan perundang-undangan. Hal ini didasarkan asumsi bahwa

Makalah Ekonomi Lingkungan :


Kebijakan Pajak Pencemaran dan Pemberian Subsisi bagi Pelaku Industri dalam Mengurangi
1 Lingkungan
Pencemaran
sistem pengaturan langsung memiliki kelemahan diantaranya ialah bahwa

sistem ini memerlukan pembiayaan yang besar karena para pelaksana

pemerintahan harus mengumpulkan informasi yang sebenarnya informasi

tersebut sudah dimiliki oleh para pencemar lingkungan, dan sistem

pengaturan langsung menghendaki diterapkannya sistem baku mutu yang

harus dipenuhi oleh setiap pencemar lingkungan sehingga menimbulkan

biaya yang besar bagi para pencemar yang bersangkutan.

Karena ada kelemahan dalam sistem pengaturan langsung (command

and control), maka para ekonom lebih menyukai untuk diterapkannya sistem

insentif ekonomi guna mengendalikan pencemaran. Dengan sistem insentif

ekonomi atau pungutan pajak maka:

1. Produsen yang mencemari lingkungan memiliki pilihan dalam

menyesuaikan kegiatannya terhadap baku mutu kualitas lingkungan

melalui sistem insentif ekonomi. Seorang produsen yang mencemari

lingkungan akan lebih senang dan memilih membayar pajak bila ia sangat

mencemari lingkungan dan biaya untuk menanggulanginya sangat mahal.

Atau produsen yang tak terlalu mencemari lingkungan akan memilih untuk

memasang alat pengolah limbah dari pada harus membayar pungutan

pajak yang mahal.

2. Penerimaan dari pungutan pajak, merupakan sumber pendapatan

pemerintah, sehingga dapat digunakan untuk membiayai pengurangan

limbah dan pengelolaan lingkungan. Dalam praktiknya, kedua sistem

pengelolaan lingkungan tersebut, baik pengaturan langsung melalui baku

Makalah Ekonomi Lingkungan :


Kebijakan Pajak Pencemaran dan Pemberian Subsisi bagi Pelaku Industri dalam Mengurangi
2 Lingkungan
Pencemaran
mutu maupun melalui insentif ekonomi dipakai bersama-sama dan saling

melengkapi.

B. Pembatasan Masalah

Rumusan masalah dari makalah ini adalah :

1. Apa yang dimaksud dengan Prinsip pencemar membayar

(Polluter Pays Principle)?

2.   Bagaimana penerapan Pajak terhadap pemanfaatan lingkungan?

3.   Berapa besarnya Pajak yang optimal terhadap pencemaran?

4.   Apa saja masalah penentuan tingkat pajak ?

5. Apa manfaat subsidi lingkungan?

C. Tujuan Penulisan

Di harapkan para pembaca dapat mengetahui upaya-upaya yang dapat

dilakukan untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup terutama yang

mencakup kebijakan pajak dan susidi bagi perusahaan yang dapat mengurangi

pencearan yang dihasilkan dari kegiatan produksi suatu perusahaan.

Makalah Ekonomi Lingkungan :


Kebijakan Pajak Pencemaran dan Pemberian Subsisi bagi Pelaku Industri dalam Mengurangi
3 Lingkungan
Pencemaran
BAB II
PEMBAHASAN

A. Prinsip pencemar membayar (Polluter Pays Principle)

Untuk mencagah terjadinya eksploitasi sumber daya alam dan

lingkungan secara berlebihan, maka diterapkanlah prinsip Polluter pays

principle atau Prinsip pencemar membayar (PPM) Prinsip ini mencoba

menetralkan kelemahan dari mekanisme pasar yang menimbulkan kegagalan

pasar dalam mengakomodasi biaya eksternal atau biaya lingkungan. Prinsip

pencemar harus membayar, memberi dua interprtasi :

1. Pada dasarnya, menurut prinsip tersebut, pencemar harus menanggung

biaya yang timbul karena pencemaran sedemikian rupa sehingga limbah

yang dibuang sesuai dengan baku mutu yang ditentukan. Ini berarti

bahwa PPM memberikan suatu hak untuk membuang limbah ke dalam

lingkungan sampai jumlah tertentu bebas dari pungutan. Interpretasi

demikian ini merupakan interpretasi dasar dan sempit.

2. Perkembangan terhadap interpretasi PPM, yaitu bahwa pencemar tidak

lagi diizinkan membuang limbah sampai batas tertentu tanpa bayaran,

tetapi ia diharuskan membayar disamping biaya pengendalian juga biaya

kerusakan lingkungan. interpretasi ini menghendaki adanya pajak atau

pungutan sebagai suatu insentif, yaitu mengaharuskan pencemar

membayar nilai bersih limbah buangan yang diizinkan. Hal ini dapat

memotivasi para pencemar agar mengurangi volume pencemarannya.

Makalah Ekonomi Lingkungan :


Kebijakan Pajak Pencemaran dan Pemberian Subsisi bagi Pelaku Industri dalam Mengurangi
4 Lingkungan
Pencemaran
Kenyataan yang harus diakui adalah bahwa kemakmuran material dalam

masyarakat modern sekarang ini mau tidak mau, harus pula dihadapkan

dengan pencemaran lingkungan, sehingga kalau kita ingin mengurangi derajat

pencemaran lingkungan, maka harus juga mengurangi produksi fisik.

Sehingga untuk mencapai keseimbangan yang tepat antara kedua hal tersebut

adalah pemerintah harus menerapkan pendekatan berjaga-jaga.

Dalam pendekatan ini, dianut pengertian bahwa banyak ketidakpastian

dalam pengendalian pencemaran, maka perhatian harus lebih diberikan pada

awal dan selama proses produksi dan bukan pada akhir proses produksi.

Pengendalian pencemaran pada akhir proses produksi bisa dilakukan dengan

pemasangan alat pengolah limbah atau pemasangan alat penyaring debu dan

sebagainya. Dalam hal ini karena ada ketidakpastian dalam pengendalian

pencemaran maka terdapat resiko yaitu zat pencemar terakumulasi dalam

lingkungan dan akhirnya mengurangi kemampuan asimilasi lingkungan

tersebut. untuk menghindari hal tersebut maka pemerintah menerapkan

peraturan perundangan secara langsung dengan menentukan baku mutu emisi

atau baku mutu limbah cemaran.

B. Pajak terhadap pemanfaatan lingkungan

1. Penerapan pajak pencemaran

Untuk menangani kondisi yang disebabkan oleh perubahan iklim,

sebagai contoh, pemerintah dapat menerapkan pajak atas emisi dan bahan

bakar yang berasal dari fosil. Kebijakan ini dikenal sebagai pajak karbon

(carbon taxes). Tujuan dari kebijakan ini adalah untuk mengurangi emisi

Makalah Ekonomi Lingkungan :


Kebijakan Pajak Pencemaran dan Pemberian Subsisi bagi Pelaku Industri dalam Mengurangi
5 Lingkungan
Pencemaran
gas yang dibuat oleh perusahaan-perusahaan dalam proses produksinya,

dan juga untuk mengurangi jumlah bahan bakar fosil yang digunakan

individu maupun perusahaan-perusahaan. Dengan menerapkan pajak-pajak

tersebut, diharapkan perusahaan-perusahaan akan berupaya untuk

berinovasi dan membangun manajemen limbahnya dengan baik, sehingga

dapat mengurangi pembayaran pajak yang tentunya akan menaikkan

ongkos produksi.

Sejalan dengan hal tersebut, pajak atas bahan bakar fosil akan

memicun peningkatan harga bahan bakar tersebut. Secara teori, seseorang

akan mengurangi pemakaian bahan bakar ketika harganya naik. Dengan

kata lain, pemerintah dapat menyelamakan lingkungannya dengan

menerapkan fitur pajak tersebut. Dalam pendekatan pengendalian

pencemaran untuk memelihara lingkungan ada beberapa instrumen yang

dapat diterapkan diantaranya :

a. Mengubah secara langsung tingkat harga atau biaya produksi.

pengubahan tingkat harga dan biaya secara langsung terjadi bila

pungutan atau pajak lingkungan dikenakan terhadap produk atau

terhadap proses pengolahan produk seperti pungutan pencemaran

ataupun sistem deposit yang digunakan bila terjadi kerusakan

lingkungan dan dikembalikan jika tidak terjadi kerusakan lingkungan

b. Mengubah secara tidak langsung harga dan biaya melalui kebijakan

fiskal dan moneter. Mekanisme in dapat dilakukan dengan memberi

subsidi, pinjaman lunak, ataupun dengan kebijakan fiskal yang

semuanya itu mendorong untuk digunakannya teknologi bersih, dan

Makalah Ekonomi Lingkungan :


Kebijakan Pajak Pencemaran dan Pemberian Subsisi bagi Pelaku Industri dalam Mengurangi
6 Lingkungan
Pencemaran
denda terhadap ketidakpatuhan pada peraturan juga dapat

dikategorikan pengubahan harga tidak langsung.

c. Menciptakan pasar bagi barang-barang lingkungan. Mekanisme ini

dapat dilakukan dengan memperdagangkan hak atau kuota untuk

membuang limbah tertentu.pelelangan hak dalam hal pembatasan

emisi, pembatasan penangkapan ikan di wilayah tertentu, dan

sebagainya.

Pungutan atau pajak lingkungan merupakan instrumen yang langsung

menentukan nilai atau harga terhadap penggunaan lingkungan. Bentuk

pungutan lingkungan ini bermacam-macam, diantaranya adalah :

a. Pungutan emisi (emission charge). Pungutan ini dikenakan terhadap

pembuangan pencemar ke udara, ke badan air, ataupun ke dalam tanah,

termasuk penciptaan kebisingan. Pungutan itu dikaitkan dengan

kuantitas maupun kualitas pencemarnya dan biaya kerusakan yang

ditimbulkan pada lingkungan.

b. Pungutan atas penggunaan (user charges). Pungutan terhadap

penggunaan sumber daya alam dan lingkungan ini mempunyai fungsi

untuk meningkatkan pendapatan negara atau pendapatan daerah yang

dikaitkan dengan biaya pengolahan, pengumpulan, dan pembuangan

limbah. Pungutan ini tidak langsung dihubungkan dengan kerusakan

lingkungan.

c. Pungutan atas dasar produk (produk charges). Pungutan atas dasar

produk ini dikenakan pada proyek yang merusak lingkungan, yaitu bila

pproduk itu digunakan dalam proses produksi. atau dikonsumsi dan

Makalah Ekonomi Lingkungan :


Kebijakan Pajak Pencemaran dan Pemberian Subsisi bagi Pelaku Industri dalam Mengurangi
7 Lingkungan
Pencemaran
dibuang kedalam lingkungan. Tinggi rendahnya pungutan tergantung

pada kadar atau derajat kerusakan yang ditimbulkannya.

d. Perdagangan izin. Sistem ini terjadi bila terdapat sistem kuota

lingkungan atau batas atas dari pencemaran lingkungan yang

diizinkan. Pada awalnya alokasi perizinan dikaitkan dengan target

lingkungan ambien, tetapi setelah itu perizinan boleh diperdagangkan

sesuai dengan peraturan yang berlaku.

e. Sistem deposit. Sistem ini diterapkan pada produk-produk yang

mempunyai potensi mencemari lingkungan. Kalau produk tersebut

dikembalikan ke pihak yang diberi wewenang untuk

mengumpulkannya setelah digunakan dan menghindari terjadinya

pencemaran, maka ia dapat diberikan [pembayaran kembali. Tetapi

jika produk yang dihasilkan tetap mencemari lingkungan, maka dana

deposit yang dibayarkan tadi akan digunakan untuk menanggulangi

pencemaran lingkungan yang ditimbulkan oleh produk tersebut.

C. Pajak yang optimal terhadap pencemaran

Dalam penerapan pajak lingkungan ada kelompok yang bersepakat

dengan diberlakukannya mekanisme prinsip tersebut namun ada pula yang

tidak sepakat dengan prinsip tersebut dengan beberapa alasan tertentu yang

akan dibahas didepan. Professor A.C. SPigou adalah orang pertama yang

mengusulkan dikenakannya pajak terhadap pencemaran lingkungan dan

pajak tersebut harus dibayar oleh orang atau lembaga yang menimbulkan

Makalah Ekonomi Lingkungan :


Kebijakan Pajak Pencemaran dan Pemberian Subsisi bagi Pelaku Industri dalam Mengurangi
8 Lingkungan
Pencemaran
pencemaran tersebut. sistem pajak tersebut disebut sebagai “Pigovian

Taxes”. untuk memahaminya, perhatikan gambar

 Gambar menunjukan bahwa produksi harus dikurangi sampai pada

titik manfaat sosial bersih yang optimal yaitu pada jumlah produksi Qs

yaitu pada saat pajak yang dikenakan persis sama dengan biaya kerusakan

yang ditimbulkan oleh pencemaran yang dihasilkan oleh perusahaan atau

pabrik tersebut (BEM). Pajak atas pencemaran itu (“pigovian

tax”)ditunjukan oleh garis putus-putus t yaitu untuk setiap satu unit

pencemaran pengusaha membayar pajak kepada pemerintah setinggi t.

Dari gambar dapat dimengerti bahwa seorang produsen akan

mendapat keuntungan bersih yang maksimum dengan memproduksi

barang atau produk sampai titik Qm. Namun demikian apabila biaya

kerusakan lingkungan akibat pencemaran harus dipertimbangkan oleh

produsen, maka produksi akan tidak dilaksanakan apabila keuntungan

bersih marginal lebih rendah daripada biaya eksternal marginal. Oleh

karena itu, produksi akan berhenti pada titik Qs dan berakibat mengurangi

pencemaran dari volume sebesar Wm menjadi Ws. Pajak atas pencemaran

Makalah Ekonomi Lingkungan :


Kebijakan Pajak Pencemaran dan Pemberian Subsisi bagi Pelaku Industri dalam Mengurangi
9 Lingkungan
Pencemaran
ini memberikan manfaat yang lebih besar dibanding dengan sistem

pengaturan langsung yang disertai denda karena tidak mematuhi baku

mutu atau standar pencemaran.

Penentuan baku mutu seringkali tidak berkaitan dengan nilai produk

yang dihasilkan oleh perusahaan. Seandainya baku mutu limbah

ditentukan lebih tinggi dari volume Ws, ini berarti produsen masih akan

menghasilkan produk yang memberikan nilai manfaat bersih lebih rendah

dari pada biaya ekternal yang dipikul oleh masyarakat. Jadi, terlalu banyak

produk dan juga pencemaran yang dihasilkan. Sekarang bagaimana kalau

baku mutu limbah itu ditentukan lebih rendah daripada volume Ws yaitu

setinggi Wf. Kebijakan demikian sungguh akan merugikan masyarakat

secara keseluruhan. Dengan penentuan baku mutu setinggi Wf, ini berarti

bahwa masyarakat akan mengalami penurunan manfaat sosial atau

keuntungan bersih sebesar luas area Qf,QsAB dan penurunan biaya

eksternal seluas QfQsAD.

Selanjutnya bila pemerintah mengenakan denda setinggi garis yang

diberi tanda “denda”, maka produsen akan cenderung menghasilkan output

setinggi Qp karena produksi setinggi itu masih memberikan tambahan

keuntungan bersih yang lebih tinggi daripada denda yang dikenakan.

Dalam hal ini, produsen akan menyumbang pada pembentukan

pencemaran setinggi Wp yang lebih tinggi dari pada bila produsen dikenai

pajak setinggi t. Ini berarti bahwa pengaturan langsung dengan baku mutu

dan denda yang relatif rendah tersebut, kurang memberikan dorongan

kepada produsen untuk mengurangi pencemaran. Dengan kata lain,

Makalah Ekonomi Lingkungan :


Kebijakan Pajak Pencemaran dan Pemberian Subsisi bagi Pelaku Industri dalam Mengurangi
10 Lingkungan
Pencemaran
produsen lebih senang membayar denda daripada mengurangi produksi

atau pencemaran yang diciptakannya.

Keuntungan lain dari pendekatan dengan pajak atas pencemaran

dibanding dengan pengaturan langsung adalah bahwa pengenaan pajak

atas pencemaran tidak terlalu banyak dihindari dibanding dengan sistem

pengawasan oleh polisi. Pengenaan pajak atas pencemaran akan

mendorong produsen untuk mengurangi pencemaran karena dengan

semakin sedikit jumlah pencemaran yang diciptakannya akan berarti

semakin sedikit jumlah pajak yang harus dibayarnya. Selanjutnya dengan

pembayaran pajak pencemaran itu, dana akan terbentuk yang dapat

digunakan untuk pengembangan penelitian guna mengembangkan

teknologi penanggulangan pencemaran atau mengembangkan teknologi

bersih yang sedikit menghasilkan limbah pencemar. Dan juga, pengenaan

pajak itu memberikan isyarat baik kepada produsen maupun kepada

konsumen bahwa ada kerusakan lingkungan sehingga mereka mau

mengurangi konsumsi (bagi konsumen) maupun produksi (bagi produsen)

akan barang tersebut dan beralih ke jenis produksi lain yang tidak merusak

lingkungan sehingga tingkat pajak akan rendah dan dengan sendirinya

harga barang yang bersangkutan akan rendah pula.

Makalah Ekonomi Lingkungan :


Kebijakan Pajak Pencemaran dan Pemberian Subsisi bagi Pelaku Industri dalam Mengurangi
11 Lingkungan
Pencemaran
D. Masalah penentuan tingkat pajak

Dari uraian diatas tampaknya sistem pungutan pajak lingkungan

mempunyai beberapa kelebihan dibanding sistem pengaturan lingkungan

secara lingkungan. Namun demikian dalam praktiknya pajak lingkungan

(“pigovian tax”) cukup sulit dilaksanakan karena adanya alasan yang

sangat mendasar yaitu adanya ketidakpastian dalam biaya kerusakan

lingkungan akibat dari suatu pencemar. Penentuan BEM (biaya eksternal

marginal) merupakan dasar bagi penentuan pajak lingkungan yang

memerlukan informasi dan data yang jelas berkaitan dengan beberapa

faktor berikut :

1. Pengetahuan tentang macam dan jumlah produk (output) yang

dihasilkan oleh suatu perusahaan

2. Banyaknya (dosis) pencemar yang dihasilkan perusahaan sebagai

produk samping yang tidak diinginkan,

3. Sifat akumulasi pencemar dalam jangka panjang,

4. Apakah pencemar itu dihadapkan langsung dan terus menerus pada

manusia (human exposure),

5. Timbulnya kerusakan akibat dari pencemar tersebut,

6. Penilaian dalam rupiah terhadap biaya kerusakan akibat pencemaran

tersebut.

Dalam praktik, tampak bahwa perhitungan yang teliti mengenai

tingkat pajak lingkungan yang tepat sulit untuk direalisasikan. Misalnya

pajak yang dikenakan terhadap penggunaan batubara yang menimbulkan

polusi karbon dioksida diudara, harus lebih tinggi dari pada pajak yang

Makalah Ekonomi Lingkungan :


Kebijakan Pajak Pencemaran dan Pemberian Subsisi bagi Pelaku Industri dalam Mengurangi
12 Lingkungan
Pencemaran
dikenakan terhadap bahan gas alam yang hanya menghasilkan 60%

volume karbon dioksida jika dibandingkan dengan penggunaan batu bara.

Penggunaan gas alam dipandang lebih ramah lingkungan, jadi sebaiknya

tidak sama. 

1. Penggeseran beban pajak ke konsumen

Selanjutnya yang harus dipikirkan adalah siapa yang

sebenarnya membayar pajak lingkungan atau pajak pencemaran

tersebut. jika menggunakan prinsip “pigovian tax”, maka

pencemaran harus dibayar oleh pencemar (pulluter pays principle).

Namun, dengan tingginya pajak lingkungan maka otomatis,

produksi berkurang dan volume pencemar pun bisa ditekan kebatas

normal. Namun hal ini dari perspektif produsen, dianggap

merugikan karena keuntungan dari jumlah produksi harus dibatasi

karena tingginya biaya eksternal (BEM) yang ditimbulkan pajak

lingkungan, sehingga ada kecenderungan untuk menggeser beban

pajak ke konsumen.

Dalam teori perpajakan, dikenal konsep penggeseran beban

pajak yaitu bahwa beban pajak sesungguhnya dapat digesarkan ke

depan ataupun ke belakang. Dengan kata lain, pembayar pajak

tidak harus ditanggung oleh pencemar saja. Melainkan konsumen

juga harus menanggungnya kerana barang dari proses produksi itu

juga dinikmati oleh masyarakat selaku konsumen.

Makalah Ekonomi Lingkungan :


Kebijakan Pajak Pencemaran dan Pemberian Subsisi bagi Pelaku Industri dalam Mengurangi
13 Lingkungan
Pencemaran
Sebelum ada pajak, produsen menghasilkan produk setinggi

Qo yang ditunjukkan oleh perpotongan antara kurva permintaan D

dan kurva penawaran So pada titik Eo. Kalau seandainya

pemerintah mengenakan pajak per unit (specific tax) terhadap

produk karena prosesnya menghasilkan polusi udara yang

meningkatkan aktifitas karbondioksida dalam udara, maka oleh

produsen, pajak itu akan dibebankan kepada konsumen produk

tersebut dengan cara menaikkan harga produk sebesar nilai pajak

dari pemerintah, sebesar t. Hal ini akan berdampak pada

berkurangnya permintaan konsumen akibat kenaikan harga produk

menjadi P1.

Namun dapat juga dijelaskan bahwa besar kecilnya

penggeseran beban pajak tergantung pada elastisitas permintaan

dan penawaran akan produk tersebut. apabila permintaan terhadap

produk perusahaan tersebut semakin inelastis, maka beban pajak

akan cenderung lebih digeser kepada konsumen, sedangkan apabila

permintaan akan produk bersifat elastis, maka penggeseran beban

Makalah Ekonomi Lingkungan :


Kebijakan Pajak Pencemaran dan Pemberian Subsisi bagi Pelaku Industri dalam Mengurangi
14 Lingkungan
Pencemaran
pajak pada konsumen akan lebih kecil dan sebagian besar pajak

akan dipikul produsen sendiri.

2. Prinsip Polluter Pays Principle

Berdasarkan analisa tersebut, apakah sudah tepat jika produsen

pencemar lingkungan diharuskan membayar pajak atas pencemaran

seperti pada prinsip polluter pays principles. Namun kenyataan

yang terjadi adalah produsen menggeser beban pajak pada

konsumen. Secara teoritis, penggeseran beban pajak dapat diterima

karena yang menikmati haasil produksi selain produsen adalah

konsumen juga. 

 Kembali kita lihat grafik ini, karena diberlakukannya pajak

pencemar, maka produsen tidak mencapai keuntungan bersih

maksimalnya yaitu pada Qm. Produsen harus mengurangi

produksinya dari Qm menjadi Qs. Ini menunjukan penurunan yang

sangat drastis dari keuntungan produsen dan bahkan juga

masyarakat (social Loss) karena produksi berkurang dan harga

meningkat. Oleh karena itu, penganut paham ini merasa pantas jika

Makalah Ekonomi Lingkungan :


Kebijakan Pajak Pencemaran dan Pemberian Subsisi bagi Pelaku Industri dalam Mengurangi
15 Lingkungan
Pencemaran
perusahaan sebaiknya tidak dikenai pajak atau pungutan atas

pencemaran karena memproduksi emisi, polusi atau limbah

lainnya.

Disamping itu, dapat juga diajukan argumen bahwa jika setiap

produsen dibatasi jumlah produk dan volume pencemarnya pada

titik Qs dan Ws maka keseimbangan lingkungan akan terjadi

dengan asumsi Qs dan Ws adalah baku mutu produksi yang harus

dipertahankan sehingga tak perlu lagi ada biaya pencemar yang

harus dibayar karena lingkungan masih dapat mengasimilasi

pencemar yang dihasilkan produsen. Maka kelompok dengan

argumen ini, lebih menyukai pengaturan langsung yang dapat

memaksa produsen membatasi pencemar sampati pada titik Ws

tanpa ada pajak tambahan lagi.

Inilah alasan mengapa para pembuat kebijakan seringkali

belum menerapkan sistem pajak lingkungan atau insentif ekonomi

lingkungan dan lebih memilih menerapkan prinsip pengaturan

langsung dengan baku mutu pencemaran lingkungan. Sehingga

dapat disimpulkan secara sederhana bahwa penetapan baku mutu

lingkungan saat ini, masih berlandaskan pada kepentingan ekonomi

dimana terjadi tarik menawar kepentingan antara pemerintah selaku

pembuat kebijakan dengan pihak produsen.

Sistem pungutan pajak ini juga dinilai regresif dalam

penerapannya dimana kurang memihak pada keadilan atau

pemerataan. Kelompok kecil yang berpendapatan rendah akan lebih

Makalah Ekonomi Lingkungan :


Kebijakan Pajak Pencemaran dan Pemberian Subsisi bagi Pelaku Industri dalam Mengurangi
16 Lingkungan
Pencemaran
menderita dibanding kelompok kaya karena beban pungutan pajak

tersebut akan digeserkan kepada konsumen tanpa memperhatikan

tingkat pendapatan konsumen. Maka, untuk menanggulangi

masalah tersebut, harus dicari jalan keluar agar penerapan pajak

lingkungan tersebut dapat digunakan untuk menanggulangi

kerusakan akibat pencemaran lingkungan juga memperhatikan

keadilan dan pemerataan kebutuhan pada kelompok kecil.

Salah satu cara adalah pemerintah menggunakan pendapatan

dari hasil pajak pencemaran lingkungan itu untuk menyediakan

barang dan jasa dengan subsidi kepada para penerima pendapatan

rendah, seperti misalnya pemerintah memberikan subsidi harga

bagi konsumen dengan pendapatan rendah juga misalnya dengan

membangun sistem sanitasi yang baik di perumahan-perumahan

kumuh dan padat penduduk. Dalam hal ini diartikan bahwa

pengenaan pajak lingkungan bukan dimaksudkan untuk mencari

keuntungan, melainkan untuk mempengaruhi tingkah laku

konsumen maupun produsen ke arah pengurangan tindakan yang

mencemari lingkungan.

E. Subsidi Lingkungan

1. Subsidi bagi pelaku Industri

Selain menerapkan regulasi, untuk mengatasi eksternalitas,

pemerintah juga dapat menerapkan kebijakan-kebijakan yang didasarkan

pada pendekatan pasar, yang dapat memadukan insentif pribadi/swasta

Makalah Ekonomi Lingkungan :


Kebijakan Pajak Pencemaran dan Pemberian Subsisi bagi Pelaku Industri dalam Mengurangi
17 Lingkungan
Pencemaran
dengan efisiensi sosial. Sebagai contoh, seperti telah disinggung diatas

pemerintah dapat menginternalisasikan eksternalitas dengan

menggunakan pajak terhadap kegiatan-kegiatan yang menimbulkan

eksternalitas negatif, dan sebaliknya memberi subsidi untuk kegiatan-

kegiatan yang memunculkan eksternalitas positif. Pajak yang khusus

diterapkan untuk mengoreksi dampak dari suatu eksternalitas negatif

lazim disebut sebagai Pajak Pigovian (Pigovian tax), mengambil nama

ekonom pertama yang merumuskan dan menganjurkannya, yakni Arthur

Pigou (1877-1959).

Para ekonom umumnya lebih menyukai pajak Pigovian dari pada

regulasi sebagai cara untuk mengendalikan polusi, karena biaya

penerapan pajak itu lebih murah bagi masyarakat secara keseluruhan.

Andaikan ada dua pabrik-pabrik baja dan pabrik kertas-yang masing-

masing membuang limbah sebanyak 500 ton per tahun ke sungai. EPA

menilai limbah itu terlalu banyak, dan berniat menguranginya. Ada dua

pilihan solusi baginya, yakni :

a. Regulasi : EPA mewajibkan semua pabrik untuk mengurangi

limbahnya hingga 300 ton per tahun.

b. Pajak Pigovian : EPA mengenakan pajak sebesar $50.000 untuk

setiap ton limbah yang dibuang oleh setiap pabrik.

Regulasi itu langsung membatasi ambang polusi, sedangkan pajak

Pigovian memberikan insentif kepada para pemilik pabrik untuk

sebanyak mungkin mengurangi polusinya. Menurut pendapat Anda,

Makalah Ekonomi Lingkungan :


Kebijakan Pajak Pencemaran dan Pemberian Subsisi bagi Pelaku Industri dalam Mengurangi
18 Lingkungan
Pencemaran
solusi manakah yang lebih baik ?Para ekonom lebih meyukai penerapan

pajak. Mereka yakin penerapan pajak itu sama sekali tidak kalah

efektifnya dalam menurunkan polusi. Untuk mencapai ambang polusi

tertentu, EPA tinggal menghitung tingkat pajak yang paling tepat untuk

diterapkannya. Semakin tinggi tingkat pajaknya, akan semakin banyak

penurunan polusi yang akan terjadi. Namun EPA juga harus hati-hati,

karena pajaknya terlalu tinggi, polusi akan hilang, karena semua pabrik

bangkrut atau memilih tidak beroperasi.Alasan utama para ekonom itu

memilih penerapan pajak, adalah karena cara ini lebih efektif

menurunkan polusi.

Regulasi mewajibkan semua pabrik mengurangi polusinya dalam

jumlah yang sama, padahal penurunan sama rata, bukan merupakan cara

termurah menurunkan polusi. Ini dikarenakan kapasitas dan keperluan

setiap pabrik untuk berpolusi berbeda-beda. Besar kemungkinan salah

satu pabrik (misalkan pabrik kertas), lebih mampu (biayanya lebih

murah) untuk menurunkan polusi dibanding pabrik lain (pabrik baja).

Jika keduanya dipaksa menurunkan polusi sama rata, maka operasi

pabrik baja akan terganggu. Namun melalui penerapan pajak, maka

pabrik kertas akan segera mengurangi polusinya, karena hal itu lebih

murah dan lebih mudah dilakukan dari pada membayar pajak, sedangkan

pabrik baja, yang biaya penurunan polusinya lebih mahal, akan memilih

membayar pajak saja.Pada dasarnya, pajak Pigovian secara langsung

menetapkan harga atas hak berpolusi. Sama halnya dengan kerja pasar

yang mengalokasikan berbagai barang ke pembeli, yang memberikan

Makalah Ekonomi Lingkungan :


Kebijakan Pajak Pencemaran dan Pemberian Subsisi bagi Pelaku Industri dalam Mengurangi
19 Lingkungan
Pencemaran
penilaian paling tinggi pajak Pigovian ini juga mengalokasikan hak

berpolusi kepada perusahaan atau pabrik, yang paling sulit menurunkan

polusinya atau yang dihadapkan pada biaya paling tinggi untuk

menurunkan polusi (misalkan karena biaya alat penyaring polusinya

sangat mahal). Berapapun target penurunan polusi yang diinginkan EPA

akan dapat mencapainya dengan biaya termurah melalui penerapan pajak

ini.

Para ekonom juga berkeyakinan bahwa penerapan pajak Pigovian,

merupakan cara terbaik untuk menurunkan polusi. Pendekatan komando

dan kontrol tidak akan memberikan alasan atau insentif bagi pabrik-

pabrik pencipta polusi untuk berusaha mengatasi polusi semaksimal

mungkin. Seandainya saja polusinya sudah berada dibawah ambang

maksimal (misalkan 300 ton per tahun), maka perusahaan itu tidak akan

membuang biaya lebih banyak agar polusinya dapat ditekan lebih rendah

lagi. Sebaliknya, pajak akan memberikan insentif kepada pabrik-pabrik

itu untuk terus mengembangkan teknologi yang ramah terhadap

lingkungan. Mereka akan terus terdorong menurunkan polusi, karena

semakin sedikit polusi yang mereka ciptakan, akan semakin sedikit pula

pajak yang harus mereka bayar.

Pajak Pigovian tidaklah sama dengan pajak-pajak lain, dimana kita

mengetahui bahwa pajak pada umumnya akan mendistorsikan insentif

dan mendorong alokasi sumber daya menjauhi titik optimum sosialnya.

Pajak umumnya juga menimbulkan beban baku berupa penurunan

kesejahteraan ekonomis (turunnya surplus produsen dan surplus

Makalah Ekonomi Lingkungan :


Kebijakan Pajak Pencemaran dan Pemberian Subsisi bagi Pelaku Industri dalam Mengurangi
20 Lingkungan
Pencemaran
konsumen), yang nilainya lebih besar dari pada pendapatan yang

diperoleh pemerintah dari pajak tersebut. Pajak Pigovian tidak seperti itu

karena pajak ini memang khusus diterapkan untuk mengatasi masalah

eksternalitas. Akibat adanya eksternalitas, masyarakat harus

memperhitungkan kesejahteraan pihak lain. Pajak Pigovian diterapkan

untuk mengoreksi insentif ditengah adanya eksternalitas, sehingga tidak

seperti pajak-pajak lainnya, pajak Pigovian itu justru mendorong alokasi

sumber daya mendekati titik optimum sosial. Jadi, selain memberi

pendapatan tambahan pada pemerintah, pajak Pigovian ini juga

meningkatkan efisiensi ekonomi.

F. IZIN POLUSI YANG DAPAT DIPERJUALBELIKAN

Andaikan EPA mengesampingkan saran para ekonom, dan

menerapkan pendekatan formal. EPA mengeluarkan peraturan yang

mengharuskan setiap pabrik, untuk menurunkan limbahnya hingga 300

ton per tahun. Namun, hanya sehari setelah peraturan itu diumumkan,

pimpinan dua perusahaan, yang satu dari pabrik baja dan yang lain dari

pabrik kertas, datang ke kantor EPA untuk mengajukan suatu usulan.

Pabrik baja perlu menaikkan ambang polusinya 100 ton per tahun. Agar

polusi total tidak bertambah, pengelola pabrik kertas bersedia

menurunkan polusinya sebanyak itu, asalkan si pemilik pabrik baja

memberikan kompensasi $5 juta, dan permintaan ini sudah disanggupi

oleh pemilik pabrik baja. Haruskan EPA mengizinkan kedua pabrik itu

melakukan jual-beli hak berpolusi sendiri?

Makalah Ekonomi Lingkungan :


Kebijakan Pajak Pencemaran dan Pemberian Subsisi bagi Pelaku Industri dalam Mengurangi
21 Lingkungan
Pencemaran
Dari sudut pandang efisiensi ekonomi pemberian izin bagi kedua

pabrik tersebut akan menjadi kebijakan yang baik. Kesepakatan antara

kedua pabrik itu akan menguntungkan keduanya, karena mereka secara

sukarela menyetujuinya. Di samping itu, kesepakatan itu tidak akan

mengakibatkan dampak eksternal apa pun, karena batas polusi total tidak

dilanggar. Jadi, kesejahteraan total akan meningkat kalau EPA

mengizinkan kedua pabrik itu melakukan jual-beli hak berpolusi.

Logika yang sama yang berlaku untuk setiap transfer hak berpolusi

secara sukarela, dari satu perusahaan ke perusahaan lain. Jika kemudian

EPA memangmengizinkan hal itu, maka sesungguhnya EPA telah

menciptakan sumber daya langka yang baru, yakni hak berpolusi. Pasar

yang memperdagangkan hak berpolusi ini selanjutnya pasti akan tumbuh

dan berkembang, dan pada gilirannya, pasar ini akan tunduk pada

kekuatan-kekuatan penawaran dan permintaan. Perusahaan-perusahaan

yang dihadapkan pada biaya yang sangat tinggi untuk berpolusi, pasti

akan aktif dipasar itu, karena bagi mereka, membeli hak berpolusi lebih

murah dibanding melakukan investasi baru untuk menurunkan polusi

pabrik-pabrik mereka. Sebaliknya, perusahaan-perusahaan yang tidak

dihadapkan pada kendala yang berat untuk menurunkan polusi, pasti

akan senang hati menjual haknya berpolusi karena hal itu akan

meberinya pendapatan Cuma-Cuma.

Satu keuntungan dari berkembangnya pasar hak berpolusi ini, adalah

alokasi/pembagian awal izin berpolusi dikalangan perusahaan tidak akan

menjadi masalah, jika ditinjau dari sudut pandang efisien ekonomi.

Makalah Ekonomi Lingkungan :


Kebijakan Pajak Pencemaran dan Pemberian Subsisi bagi Pelaku Industri dalam Mengurangi
22 Lingkungan
Pencemaran
Logika yang melatarbelakangi kesimpulan tersebut mirip dengan

mendasari teorema Coase. Perusahaan-perusahaan yang paling mampu

menurunkan polusi akan menjual haknya berpolusi, sedangkan

perusahaan yang harus mengeluarkan biaya besar untuk menurunkan

polusi, akan menjadi pembelinya. Selama pasar hak berpolusi ini

dibiarkan bekerja dengan bebas, maka alokasi akhirnya akan lebih efisien

dibanding alokasi awalnya, terlepas dari sebaik apa pun alokasi awal

tersebut.

Meskipun penurunan polusi melalui pemberlakuan izin polusi

nampak berbeda kasusnya dari penerapan pajak Pigovian, sesungguhnya

dampak akhir dari kedua kebijakan ini akan sama  saja. Dalam kedua

kasus ini, perusahaan tetap harus membayar atas polusi yang

ditimbulkannya. Dalam kasus pajak Pigovian, perusahaan pencipta polusi

harus membayar pajak atau semacam denda kepada pemerintah, atas

polusi yang ditimbulkannya itu, sedangkan pada kasus izin polusi,

perusahaan harus membeli izin itu dari pemerintah. (Bahkan perusahaan-

perusahaan yang sudah memiliki izin polusi tetap harus membayar dalam

bentuk lain, yakni biaya oportunitas berpolusi berupa pendapatan yang

akan mereka peroleh seandainya mereka menjual izin polusi itu dalam

sebuah pasar terbuka). Dengan demikian, penerapan pajak Pigovian

maupun izin polusi, sama-sama dapat menginternalisasikan eksternalitas,

dengan memaksa perusahaan menanggung ongkos tertentu untuk

berpolusi.

Makalah Ekonomi Lingkungan :


Kebijakan Pajak Pencemaran dan Pemberian Subsisi bagi Pelaku Industri dalam Mengurangi
23 Lingkungan
Pencemaran
Kemiripan antara kedua kebijakan itu dapat dilihat secara jelas di

pasar polusi. Kedua panel yang terdapat pada gambar dibawah ini sama-

sama menunjukkan kurva permintaan atas hak berpolusi. Kurva

permintaan ini memperlihatkan bahwa semakin rendah biaya atau harga

polusi, akan semakin tinggi permintaan polusi (artinya perusahaan-

perusahaan akan lebih leluasa berpolusi, karena biayanya relatif rendah).

Selanjutnya pada panel (a) diperlihatkan EPA, dalam rangka mengurangi

polusi, langsung menetapkan harga polusi dengan cara memberlakukan

pajak Pigovian. Dalam kasus ini, kurva penawaran hak berpolusi bersifat

elastis sempurna (karena perusahaan-perusahaan dapat berpolusi

sebanyak pajak yang mereka bayarkan). Disini, kurva permintaan akan

menentukan kuantitas polusi. Sedangkan pada panel (b) EPA secara

langsung membatasi kuantitas polusi dengan cara menerbitkan sejumlah

izin polusi terbatas. Dalam kasus ini, kurva penawaran hak berpolusi

bersifat inelastis sempurna (Karena perusahaan-perusahaan langsung

dijatah kuantitas polusinya, sebanyak izin polusi yang ada). Di sini,

posisi kurva permintaan akan menentukan harga polusi.

Makalah Ekonomi Lingkungan :


Kebijakan Pajak Pencemaran dan Pemberian Subsisi bagi Pelaku Industri dalam Mengurangi
24 Lingkungan
Pencemaran
Dalam kedua kasus ini, terlepas dari posisi kurva permintaannya,

EPA dapat mencapai sembarang titik pada kurva itu, dengan menetapkan

harga polusi melalui pajak Pigovian, atau dengan secara langsung

membatasi kuantitas polusi melalui penerbitan izin polusi

terbatas.Namun dalam beberapa hal, penjualan izin polusi bisa lebih baik

dari itu pada penerapan pajak Pigovian. Umpamakan saja EPA suatu

ketika ingin membatasi limbah yang dibuang di sungai tidak lebih dari

600 ton. Tetapi karena EPA tidak mengetahui kurva permintaan polusi,

maka ia tidak akan dapat memastikan berapa besar pajak yang harus

diterapkan untuk mencapai target tersebut. Dalam kasus ini, pemecahan

akan diperoleh dengan melelang izin polusi sebanyak 600 ton limbah.

Hasil lelang ini akan memberi pendapatan seperti halnya pajak Pigovian.

Pendekatan pasar yang lain untuk mengurangi kerusakan lingkungan

adalah dengan membayar subsidi kepada perusahaan sumber polusi

untuk tidak menimbulkan polusi. Karena subsidi adalah pajak ‘negatif’,ia

mempunyai mekanisme rangsangan yang sama dengan pajak

polusi,dimana mereka memberikan reward karena tidak melakukan

polusi, yang berlawanan dengan mengenakan hukuman karena terlibat

dalam aktivitas polusi. Dalam praktek, subsidi pengurangan polusi dapat

diberikan dalam bentuk bantuan, pinjaman dengan bunga murah, atau

pembebasan pajak investasi, semuanya memberikan rangsangan kepada

perusahaan sumber polusi untuk menanamkan sebagian modalnya dalam

teknologi pengurangan polusi. Apabila subsidi diberikan untuk

Makalah Ekonomi Lingkungan :


Kebijakan Pajak Pencemaran dan Pemberian Subsisi bagi Pelaku Industri dalam Mengurangi
25 Lingkungan
Pencemaran
memasang alat pengurangan polusi khusus, seperti scrubbers (mesin

pembersih udara).

Kebijakan subsidi dalam bentuk lain yang mungkin dapat menjadi

solusi adalah dengan mengalokasikan subsidi bagi penelitian dan

pengembangan upaya ramah lingkungan (climate-friendly research and

development). Tujuan dari subsidi ini adalah untuk mengajak dan

merangsang orang untuk mencari temuan atau teknologi baru bagi

pembangunan proses produksi yang bersih. Sebagai contoh, pemerintah

memberikan subsidi bagi pengembangan teknologi untuk mengurangi

polusi udara, atau bagi pencarian sumber energy terbarukan. Subsidi ini

juga dapat menjadi solusi bagi terbukanya peluang-peluang untuk

mengembangkan teknologi yang ramah lingkungan sekaligus murah

diaplikasikan dalam proses produksi. 

2. Subsidi bagi Konsumen, Kasus pemberlakuan Subsidi BBM di

Indonesia

Subsidi sebagai salah satu instrumen distribusi pendapatan

(khususnya dari sisi alokasi) kepada pihak yang berhak menerimanya,

yang diambil dari dana yang dapat dikumpulkan negara, antara lain

melalui pajak. Pemerintah kemudian bertindak sebagai distributor untuk

memberikan subsidi kepada masyarakat dalam bentuk bantuan-bantuan

dan pembangunan infrastruktur. Berdasarkan data dari Kementerian

Energi dan Sumber Daya Mineral, ternyata subsidi BBM dinikmati oleh

sebagian besar masyarakat menengah-atas. Data Kementerian ESDM

Makalah Ekonomi Lingkungan :


Kebijakan Pajak Pencemaran dan Pemberian Subsisi bagi Pelaku Industri dalam Mengurangi
26 Lingkungan
Pencemaran
2010 menunjukkan 89 persen pengguna BBM bersubsidi adalah

transportasi darat. Sementara itu, 59 persen pengguna BBM bersubsidi

berada di Jawa-Bali, yang 30 persen berada di Jawa dan 18 persen di

Jabodetabek. Yang mengejutkan, penikmat BBM bersubsidi ternyata 53

persen pemilik mobil pribadi, 40 persen pengguna sepeda motor, serta

hanya 4 persen pemilik mobil barang dan 3 persen kendaraan umum.

Sementara dari sisi alokasi, tampaknya banyak hal yang perlu

diperbaiki pada APBN kita. Dimana komposisinya belum mencerminkan

"keseimbangan" yang tepat. Sebagai ilustrasi, pada APBN 2012,

anggaran kemiskinan Rp 99,2 triliun dan anggaran kesehatan Rp 48

triliun. Anggaran pertanian (baik pusat maupun transfer ke daerah,

termasuk subsidi pangan) hanya Rp 53,9 triliun, dan anggaran

infrastruktur Rp 161,5 triliun. Adapun subsidi BBM mencapai Rp 123,6

triliun.

Kebijakan subsidi BBM yang berlebihan tentunya tidak

menguntungkan bagi perekonomian. Bagi pemerintah, pembengkakan

subsidi BBM pasti akan membebani belanja APBN. Tidak hanya itu,

subsidi BBM juga telah menciptakan ketidakadilan, karena penikmat

subsidi BBM adalah kelompok masyarakat menengah ke atas (individu

pemilik kendaraan bermotor, terutama mobil, di perkotaan). Di sisi lain,

alokasi subsidi BBM yang besar menyebabkan anggaran belanja untuk

sektor lainnya (termasuk bagi kelompok miskin) menjadi kecil.

Kebijakan subsidi BBM yang berlebihan juga menimbulkan efek

negatif lainnya yang tak kalah berat. BBM bersubsidi telah menimbulkan

Makalah Ekonomi Lingkungan :


Kebijakan Pajak Pencemaran dan Pemberian Subsisi bagi Pelaku Industri dalam Mengurangi
27 Lingkungan
Pencemaran
pemborosan dalam hal konsumsi energi tak terbarukan. Kondisi ini

sejatinya sama saja mempercepat proses terjadinya kelangkaan energi.

BBM bersubsidi juga berdampak pada semakin meningkatkan masalah

kemacetan dan polusi diudara seiring meningkatnya jumlah pemilik

kendaraan pribadi. Saat ini Indonesia tercatat sebagai pengimpor neto

BBM. Karena itu, mempertahankan subsidi BBM berlebihan sama saja

dengan memberikan subsidi bagi kilang minyak di luar negeri, yang

sudah pasti dampak multiplier-nya terhadap ekonomi kita akan negatif.

Hal yang berbeda bila subsidi dialihkan ke anggaran kemiskinan,

infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan, yang pasti akan memberikan

dampak multiplier positif.

Untuk itu, kebijakan pengurangan subsidi BBM (apakah melalui

pembatasan penggunaan BBM bersubsidi atau kenaikan harga BBM

bersubsidi) semestinya direalisasi secara konsisten. Tujuannya agar

terjadi alokasi subsidi yang tepat sasaran. Hasil pengurangan subsidi

BBM ini kemudian dialihkan untuk memperbesar subsidi bagi program

jaring pengaman sosial, ketahanan pangan, pendidikan, kesehatan, dan

kebutuhan dasar lainnya yang diperlukan masyarakat. Termasuk pula

untuk memperbesar anggaran bagi pembangunan infrastruktur

transportasi dan infrastruktur migas. Kebijakan pengurangan subsidi

BBM juga merupakan langkah yang bijak untuk menjaga ketahanan

energi di masa mendatang.

Makalah Ekonomi Lingkungan :


Kebijakan Pajak Pencemaran dan Pemberian Subsisi bagi Pelaku Industri dalam Mengurangi
28 Lingkungan
Pencemaran
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Adapun kesipulan makalah ini adalah:

a. Perlu adanya usaha yang dilakukan untuk mengurangi pemcemaran

lingkungan yang terjadi akibat kegiatan produksi.

b. Dalam penerapannya terdapat kendala dalam penentuaan tarif pajak

yang sesuai untuk dapat mencapat efisiensi pencemaran.

c. Pajak yang diberlakukan langsung kepada perusahaan yang

melakukan pencemaran dan pemberian subsidi bagi perusahaan yang

mau mengurangi pencemarannya terhadap lingkungan jauh lebih baik

dibandingkan dengan Regulasi yang dilakukan pemerintah.

B. Saran

Adapun saran dari penulis adalah:

1. Perlu adanya usaha keras dalam rangka pencapaian pengurangan

pencemaran lingkungan.

2. Perlu adanya pengawasan yang memadai untuk melihat sejauh mana

pembangunan ekonomi terealisasi dan adanya upaya pelsetarian

lingkungan.

3. Pemberian subsidi sebagai upaya mengurangi pencemaran lingkungan

sudah bagus, tetapi pemberian subsisdi di BBM sangattidak tepat.

4. Perlu adanya ramalan yang tepat mengenai besarnya pajak yang harus

dibayarkan produsen atas limbah industri yang dihasilkan perusahaan

tersebut.

Makalah Ekonomi Lingkungan :


Kebijakan Pajak Pencemaran dan Pemberian Subsisi bagi Pelaku Industri dalam Mengurangi
29 Lingkungan
Pencemaran
DAFTAR PUSTAKA

Koesworo, W Heru, Ekawati euis, ekonomi lingkungan untuk pendayagunaan


sumber daya alam dan lingkungan hidup, 2002, jakarta

Suparmoko, M, Ekonomika Lingkungan,edisi pertama, BPFE 2000: Yogyakarta.

Tjahja. D. Surna, Hendriani Y,Famiola M, Ekonomi Hijau (Green


Economy),rekayasa sains, 2011, Bandung.

Budi. 2012. http://budisansblog.blogspot.com/2012/03/pajak-subsidi-bbm-dan-


kebijakan-energi.html http://www.pksi.depkeu.go.id/pub.asp?id=14.
Diakses 10 Oktober 2015

Tarumingkeng, Rudy C 2001. Introduction To Philosophy Of Science. IPB


Graduate Program. CD ROM, Bogor.
Myles, Gareth D. 1997. Public Economics. University of Exeter. Cambridge
University Press.
Pogue, Thomas F. and Sgontz L.G. 1978. Government And Economic Choice
And Introduction to Public Finance. Houghton Mifflin Company,
Boston.Frank, Robert H. 1989. Microeconomics and Behavior, Forth
Edition. Irwin Mc. Graw Hills, New York.Guritno M. 1991. Ekonomi
Publik, Edis Ketiga. BPFE Yogyakarta.Yakin, Addinul. 1997. Ekonomi
Sumberdaya Dan Lingkungan. Akademika Presindo.

Simarmata, Dj.A. 1994. Ekonomi Publik & External LPFE Universitas Indonesia.

Cullis, John and Jones, Philip. 1992. Public Finance – Public Choice. Mc. Graw
Hills, New York.

Makalah Ekonomi Lingkungan :


Kebijakan Pajak Pencemaran dan Pemberian Subsisi bagi Pelaku Industri dalam Mengurangi
30 Lingkungan
Pencemaran

Anda mungkin juga menyukai