Oleh :
JAMIL HANDY
147005085
(Pararel B)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sumber daya alam dan lingkungan memegang peranan penting bagi
pembangunan ekonomi khususnya di negara berkembang seperti di indonesia.
Sumber daya alam, selain menyediakan barang dan jasa, juga menjadi backbone
dari perumbuhan ekonomi dan sumber penghasilan masyarakat serta sebagai aset
bangsa yang penting. Oleh karena itu, ketersediaan dan kesinambungan
(sustainability) dari sumber daya alam ini menjadi sangat penting bagi
kelangsungan pembangunan ekonomi dan akan sangat tergantung dari
pengelolaan yang baik oleh setiap stakeholder yakni masyarakat dan
pemerintah..
Dalam menyelesaikan permasalahan lingkungan haruslah holistik dan
lintas disiplin ilmu, termasuk melalui pendekatan ilmu ekonomi. Setidaknya,
Ada dua metode untuk melakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan
yang berkelanjutan melalui mekanis ekonomi yaitu melalui pendekatan
pengaturan langsung berdasarkan baku mutu lingkungan yang diterapkan dengan
mekanisme perundang-undangan tanpa bantuan mekanisme pasar (command
and control) dan pendekatan insentif ekonomi berdasarkan mekanisme pasar
(market based incentive).
Para ekonom sudah lama berargumentasi bahwa sistem insentif
berdasarkan mekanisme pasar lebih efisien daripada sistem pengaturan langsung
berdasarkan perundang-undangan. Hal ini didasarkan asumsi bahwa sistem
pengaturan langsung memiliki kelemahan diantaranya ialah bahwa sistem ini
memerlukan pembiayaan yang besar karena para pelaksana pemerintahan harus
mengumpulkan informasi yang sebenarnya informasi tersebut sudah dimiliki
oleh para pencemar lingkungan, dan sistem pengaturan langsung menghendaki
diterapkannya sistem baku mutu yang harus dipenuhi oleh setiap pencemar
lingkungan sehingga menimbulkan biaya yang besar bagi para pencemar yang
bersangkutan.
Karena ada kelemahan dalam sistem pengaturan langsung (command and
control), maka para ekonom lebih menyukai untuk diterapkannya sistem insentif
BAB II
PEMBAHASAN
A. Prinsip Pencemar Membayar (Polluter Pays Principle)
Untuk mencagah terjadinya eksploitasi sumber daya alam dan
lingkungan secara berlebihan, maka diterapkanlah prinsip Polluter pays principle
atau Prinsip pencemar membayar (PPM) Prinsip ini mencoba menetralkan
kelemahan dari mekanisme pasar yang menimbulkan kegagalan pasar dalam
mengakomodasi biaya eksternal atau biaya lingkungan. Prinsip pencemar harus
membayar, memberi dua interprtasi :
a) Pada dasarnya, menurut prinsip tersebut, pencemar harus menanggung biaya
yang timbul karena pencemaran sedemikian rupa sehingga limbah yang
dibuang sesuai dengan baku mutu yang ditentukan. Ini berarti bahwa PPM
memberikan suatu hak untuk membuang limbah ke dalam lingkungan sampai
jumlah tertentu bebas dari pungutan. Interpretasi demikian ini merupakan
interpretasi dasar dan sempit.
b) Perkembangan terhadap interpretasi PPM, yaitu bahwa pencemar tidak lagi
diizinkan membuang limbah sampai batas tertentu tanpa bayaran, tetapi ia
diharuskan membayar disamping biaya pengendalian juga biaya kerusakan
lingkungan. interpretasi ini menghendaki adanya pajak atau pungutan sebagai
suatu insentif, yaitu mengaharuskan pencemar membayar nilai bersih limbah
buangan yang diizinkan. Hal ini dapat memotivasi para pencemar agar
mengurangi volume pencemarannya.
Kenyataan yang harus diakui adalah bahwa kemakmuran material
dalam masyarakat modern sekarang ini mau tidak mau, harus pula dihadapkan
dengan pencemaran lingkungan, sehingga kalau kita ingin mengurangi derajat
pencemaran lingkungan, maka harus juga mengurangi produksi fisik. Sehingga
untuk mencapai keseimbangan yang tepat antara kedua hal tersebut adalah
pemerintah harus menerapkan pendekatan berjaga-jaga.
Dalam pendekatan ini, dianut pengertian bahwa banyak ketidakpastian
dalam pengendalian pencemaran, maka perhatian harus lebih diberikan pada
awal dan selama proses produksi dan bukan pada akhir proses produksi.
b. Mengubah secara tidak langsung harga dan biaya melalui kebijakan fiskal
dan moneter. Mekanisme in dapat dilakukan dengan memberi subsidi,
pinjaman lunak, ataupun dengan kebijakan fiskal yang semuanya itu
mendorong untuk digunakannya teknologi bersih, dan denda terhadap
ketidakpatuhan pada peraturan juga dapat dikategorikan pengubahan harga
tidak langsung.
c. Menciptakan pasar bagi barang-barang lingkungan. Mekanisme ini dapat
dilakukan dengan memperdagangkan hak atau kuota untuk membuang
limbah tertentu.pelelangan hak dalam hal pembatasan emisi, pembatasan
penangkapan ikan di wilayah tertentu, dan sebagainya.
Pungutan atau pajak lingkungan merupakan instrumen yang langsung
menentukan nilai atau harga terhadap penggunaan lingkungan. Bentuk pungutan
lingkungan ini bermacam-macam, diantaranya adalah :
a. Pungutan emisi (emission charge). Pungutan ini dikenakan terhadap
pembuangan pencemar ke udara, ke badan air, ataupun ke dalam tanah,
termasuk penciptaan kebisingan. Pungutan itu dikaitkan dengan kuantitas
maupun kualitas pencemarnya dan biaya kerusakan yang ditimbulkan pada
lingkungan.
b. Pungutan atas penggunaan (user charges). Pungutan terhadap penggunaan
sumber daya alam dan lingkungan ini mempunyai fungsi untuk
meningkatkan pendapatan negara atau pendapatan daerah yang dikaitkan
dengan biaya pengolahan, pengumpulan, dan pembuangan limbah.
Pungutan ini tidak langsung dihubungkan dengan kerusakan lingkungan.
c. Pungutan atas dasar produk (produk charges). Pungutan atas dasar produk
ini dikenakan pada proyek yang merusak lingkungan, yaitu bila pproduk itu
digunakan dalam proses produksi. atau dikonsumsi dan dibuang kedalam
lingkungan. Tinggi rendahnya pungutan tergantung pada kadar atau derajat
a.
b.
manfaat sosial bersih yang optimal yaitu pada jumlah produksi Qs yaitu pada
saat pajak yang dikenakan persis sama dengan biaya kerusakan yang
ditimbulkan oleh pencemaran yang dihasilkan oleh perusahaan atau pabrik
tersebut (BEM). Pajak atas pencemaran itu (pigovian tax)ditunjukan oleh garis
putus-putus t yaitu untuk setiap unit pencemaran pengusaha harus membayar
pajak kepada pemerintah setinggi t.
lingkungan
(insentif)
sekaligus
untuk
mencegah
dan
perlu
dicermati
adalah
rencana
(plans)
dan
program
sebagai
pengejawantahan dari tujuan yang telah ditetapkan sehingga nantinya konsep ini
dapat diaplikasikan dan tidak memiliki potensi menimbulkan beban bagi dunia
industri maupun konsumen. Dari sisi rencana (plans) dan program dalam konsep
pajak lingkungan harus ditunjukkan kejelasan terhadap subyek, obyek dan
tarifnya.
Salah satu ciri pajak adalah bersifat memaksa, dimana instrumen pajak
ini diharapkan dapat memaksa perusahaan mengurangi dampak kerusakan
lingkungan yang ditimbulkannya. Pada rancangan penerapan Pajak Lingkungan
tahun 2006 konsep yang ditawarkan terkesan masih kasar terutama yang
berkaitan dengan subyek, tarif dan
dalam
menjalankan
usahanya,
sehingga
perlu
diatur
10
Dari sisi tarif pajak lingkungan, ha-rus ada ukuran yang jelas terhadap besaran
prosentase pajak lingkungan tersebut. Tarif 0,5% dari total biaya produksi dinilai
ter-lalu tinggi sehingga dikhawatirkan nantinya memberatkan dunia usaha. Hal
ini didasari suatu alasan bahwa rata-rata keuntungan bersih perusahaan hanya
sekitar 1%-4% dari total omzet, terlebih lagi adanya perlakuan diskriminatif dan
pungutan liar terhadap pengusaha yang terjadi di daerah-daerah akan
memperbesar cost production yang dikeluarkan. Dengan tidak adanya ukuran
dan pengaturan yang jelas tentang tarif ini dikhawatirkan pada akhirnya
perusahaan akan mengalihkan beban pajak lingkungan yang menjadi
kewajibannya kepada kon-sumen. Menurut narasumber dari Gree-nomic, dalam
konsep pajak lingkungan ini seharusnya pendekatan omzet ditinggalkan karena
mengandung impresi bahwa penerap an pajak lingkungan tersebut hanya untuk
kepentingan fiskal semata. Pajak lingkung an dengan pendekatan skala dampak
harus menjadi prioritas karena lebih memperkuat akuntabilitas perusahaan dalam
mengelola dampak lingkungan yang ditimbulkannya.
Dari sisi budget earmarking-nya, belum ada penjelasan lebih lanjut penggunaan
dan pengalokasian hasil pajak pajak ling-kungan secara spesifik. Contoh dari
sistem earmarking tax ada di negara-negara Eropa seperti halnya Jerman.
Sebagian uang hasil pajak lingkungan (Pajak BBM) digunakan untuk
mengembangkan sumber daya energi yang dapat diperbaharui, sebagian lagi untuk mengurangi ekonomi biaya tinggi yang ditimbulkan oleh tingginya biaya
jaminan keamanan sosial. Dilihat dari tujuannya, konsep pajak lingkungan yang
diusulkan Pemerintah sebenarnya sudah mengandung sistem earmarking atau
penggunaan hasil pajak untuk tujuan tertentu. Hal ini diperte-gas oleh Menteri
Keuangan Sri Mulyani Indrawati yang menyatakan bahwa hasil penerimaan
pajak sebagian atau seluruhnya digunakan untuk membiayai kegiatan-ke giatan
yang berkaitan dengan pengendalian dan pemeliharaan lingkungan. Hanya saja
diperlukan pengaturan yang tegas terhadap sistem earmarking pajak lingkungan
se-hingga nantinya tidak overlapping dengan pungutan pajak dan retribusi
lainnya, misal-nya saja cukai rokok dan pajak lingkungan harus ada perbedaan
dalam pengalokasian hasil penerimaan dari masing-masing sektor tersebut.
11
12
Sebelum
ada pajak,
produsen
menghasilkan
polusi
udara
yang
meningkatkan
aktifitas
karbondioksida dalam udara, maka oleh produsen, pajak itu akan dibebankan
kepada konsumen produk tersebut dengan cara menaikkan harga produk sebesar
nilai pajak dari pemerintah, sebesar t. Hal ini akan berdampak pada
berkurangnya permintaan konsumen akibat kenaikan harga produk menjadi P1.
Namun dapat juga dijelaskan bahwa besar kecilnya penggeseran beban
pajak tergantung pada elastisitas permintaan dan penawaran akan produk
tersebut. apabila permintaan terhadap produk perusahaan tersebut semakin
inelastis, maka beban pajak akan cenderung lebih digeser kepada konsumen,
sedangkan apabila permintaan akan produk bersifat elastis, maka penggeseran
beban pajak pada konsumen akan lebih kecil dan sebagian besar pajak akan
dipikul produsen sendiri.
13
14
15
UKL-UPL
16
17
18
BAB III
PENUTUP
19
hasil uang pajak lingkungan tersebut nantinya agar tidak terjadi overlapping
dengan penggunaan hasil pajak dan retribusi yang hampir serupa.
Kedua, pada dasarnya, konsep pajak lingkungan tersebut menawarkan suatu
solusi efektif yang dapat digunakan sebagai instrumen perlindungan dan
pengelolaan lingkungan. Namun, untuk saat ini masih sepertinya instrumen
perlindungan dan pengelolaan yang dapat diandalkan antara lain CSR,
Performance Bonds, AMDAL dan UKL-UPL meskipun sebenarnya ada
kelemahan-kelemahan yang melekat pada keempat kebijakan tersebut.
20
DAFTAR PUSTAKA