Anda di halaman 1dari 22

PENGENAAN PAJAK LINGKUNGAN DALAM

PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP


(Tugas Mata Kuliah Hukum Tata Lingkungan)
Dosen : Prof. Dr. Suhaidi, S.H., M.Hum.

Oleh :

JAMIL HANDY
147005085
(Pararel B)

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2015

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sumber daya alam dan lingkungan memegang peranan penting bagi
pembangunan ekonomi khususnya di negara berkembang seperti di indonesia.
Sumber daya alam, selain menyediakan barang dan jasa, juga menjadi backbone
dari perumbuhan ekonomi dan sumber penghasilan masyarakat serta sebagai aset
bangsa yang penting. Oleh karena itu, ketersediaan dan kesinambungan
(sustainability) dari sumber daya alam ini menjadi sangat penting bagi
kelangsungan pembangunan ekonomi dan akan sangat tergantung dari
pengelolaan yang baik oleh setiap stakeholder yakni masyarakat dan
pemerintah..
Dalam menyelesaikan permasalahan lingkungan haruslah holistik dan
lintas disiplin ilmu, termasuk melalui pendekatan ilmu ekonomi. Setidaknya,
Ada dua metode untuk melakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan
yang berkelanjutan melalui mekanis ekonomi yaitu melalui pendekatan
pengaturan langsung berdasarkan baku mutu lingkungan yang diterapkan dengan
mekanisme perundang-undangan tanpa bantuan mekanisme pasar (command
and control) dan pendekatan insentif ekonomi berdasarkan mekanisme pasar
(market based incentive).
Para ekonom sudah lama berargumentasi bahwa sistem insentif
berdasarkan mekanisme pasar lebih efisien daripada sistem pengaturan langsung
berdasarkan perundang-undangan. Hal ini didasarkan asumsi bahwa sistem
pengaturan langsung memiliki kelemahan diantaranya ialah bahwa sistem ini
memerlukan pembiayaan yang besar karena para pelaksana pemerintahan harus
mengumpulkan informasi yang sebenarnya informasi tersebut sudah dimiliki
oleh para pencemar lingkungan, dan sistem pengaturan langsung menghendaki
diterapkannya sistem baku mutu yang harus dipenuhi oleh setiap pencemar
lingkungan sehingga menimbulkan biaya yang besar bagi para pencemar yang
bersangkutan.
Karena ada kelemahan dalam sistem pengaturan langsung (command and
control), maka para ekonom lebih menyukai untuk diterapkannya sistem insentif

ekonomi guna mengendalikan pencemaran. Dengan sistem insentif ekonomi atau


pungutan pajak maka:
a. Produsen yang mencemari lingkungan memiliki pilihan dalam menyesuaikan
kegiatannya terhadap baku mutu kualitas lingkungan melalui sistem insentif
ekonomi. Seorang produsen yang mencemari lingkungan akan lebih senang
dan memilih membayar pajak bila ia sangat mencemari lingkungan dan biaya
untuk menanggulanginya sangat mahal. Atau produsen yang tak terlalu
mencemari lingkungan akan memilih untuk memasang alat pengolah limbah
dari pada harus membayar pungutan pajak yang mahal.
b. Penerimaan dari pungutan pajak, merupakan sumber pendapatan pemerintah,
sehingga dapat digunakan untuk membiayai pengurangan limbah dan
pengelolaan lingkungan. Dalam praktiknya, kedua sistem pengelolaan
lingkungan tersebut, baik pengaturan langsung melalui baku mutu maupun
melalui insentif ekonomi dipakai bersama-sama dan saling melengkapi.
Melalui instrumen pajak dapat ditekankan pengenaan pajak untuk
kegiatan pengelolaan sumber daya alam yang menyangkut harkat hidup orang
banyak dengan memperhitungkan social and environmental cost yang
ditimbulkan oleh suatu industri. Peningkatan pengenaan pajak ini akan merubah
perilaku pelaku bisnis. Sebagai contoh apabila pelaku bisnis di sektor kelapa
sawit akan membangun perkebunan kelapa sawit dari lahan-lahan tidur atau
rusak. Karena biaya yang dikeluarkan akan sangat mahal jika mengkonversi
hutan menjadi lahan kelapa sawit. Penerapan pajak ini sudah dilakukan di
negara-negara maju seperti Amerika, Jepang dan negara-negara yang tergabung
dalam Uni Eropa.
B. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, yang menjadi permasalahan
yang akan dibahas dalam makalah ini antara lain:
1. Bagaimanakah konsep pajak lingkungan dalam perspektif pengelolaan
lingkungan hidup?
2. Apakah konsep pajak lingkungan tersebut merupakan pilihan tepat untuk
digunakan sebagai instrumen perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup?

BAB II
PEMBAHASAN
A. Prinsip Pencemar Membayar (Polluter Pays Principle)
Untuk mencagah terjadinya eksploitasi sumber daya alam dan
lingkungan secara berlebihan, maka diterapkanlah prinsip Polluter pays principle
atau Prinsip pencemar membayar (PPM) Prinsip ini mencoba menetralkan
kelemahan dari mekanisme pasar yang menimbulkan kegagalan pasar dalam
mengakomodasi biaya eksternal atau biaya lingkungan. Prinsip pencemar harus
membayar, memberi dua interprtasi :
a) Pada dasarnya, menurut prinsip tersebut, pencemar harus menanggung biaya
yang timbul karena pencemaran sedemikian rupa sehingga limbah yang
dibuang sesuai dengan baku mutu yang ditentukan. Ini berarti bahwa PPM
memberikan suatu hak untuk membuang limbah ke dalam lingkungan sampai
jumlah tertentu bebas dari pungutan. Interpretasi demikian ini merupakan
interpretasi dasar dan sempit.
b) Perkembangan terhadap interpretasi PPM, yaitu bahwa pencemar tidak lagi
diizinkan membuang limbah sampai batas tertentu tanpa bayaran, tetapi ia
diharuskan membayar disamping biaya pengendalian juga biaya kerusakan
lingkungan. interpretasi ini menghendaki adanya pajak atau pungutan sebagai
suatu insentif, yaitu mengaharuskan pencemar membayar nilai bersih limbah
buangan yang diizinkan. Hal ini dapat memotivasi para pencemar agar
mengurangi volume pencemarannya.
Kenyataan yang harus diakui adalah bahwa kemakmuran material
dalam masyarakat modern sekarang ini mau tidak mau, harus pula dihadapkan
dengan pencemaran lingkungan, sehingga kalau kita ingin mengurangi derajat
pencemaran lingkungan, maka harus juga mengurangi produksi fisik. Sehingga
untuk mencapai keseimbangan yang tepat antara kedua hal tersebut adalah
pemerintah harus menerapkan pendekatan berjaga-jaga.
Dalam pendekatan ini, dianut pengertian bahwa banyak ketidakpastian
dalam pengendalian pencemaran, maka perhatian harus lebih diberikan pada
awal dan selama proses produksi dan bukan pada akhir proses produksi.

Pengendalian pencemaran pada akhir proses produksi bisa dilakukan dengan


pemasangan alat pengolah limbah atau pemasangan alat penyaring debu dan
sebagainya. Dalam hal ini karena ada ketidakpastian dalam pengendalian
pencemaran maka terdapat resiko yaitu zat pencemar terakumulasi dalam
lingkungan dan akhirnya mengurangi kemampuan asimilasi lingkungan tersebut.
untuk menghindari hal tersebut maka pemerintah menerapkan peraturan
perundangan secara langsung dengan menentukan baku mutu emisi atau baku
mutu limbah cemaran.
B. Pajak Terhadap Pemanfaatan Lingkungan
1) Penerapan Pajak Pencemaran
Untuk menangani kondisi yang disebabkan oleh perubahan iklim,
sebagai contoh, pemerintah dapat menerapkan pajak atas emisi dan bahan bakar
yang berasal dari fosil. Kebijakan ini dikenal sebagai pajak karbon (carbon
taxes). Tujuan dari kebijakan ini adalah untuk mengurangi emisi gas yang dibuat
oleh perusahaan-perusahaan dalam proses produksinya, dan juga untuk
mengurangi jumlah bahan bakar fosil yang digunakan individu maupun
perusahaan-perusahaan. Dengan menerapkan pajak-pajak tersebut, diharapkan
perusahaan-perusahaan akan berupaya untuk berinovasi dan membangun
manajemen limbahnya dengan baik, sehingga dapat mengurangi pembayaran
pajak yang tentunya akan menaikkan ongkos produksi.
Sejalan dengan hal tersebut, pajak atas bahan bakar fosil akan memicun
peningkatan harga bahan bakar tersebut. Secara teori, seseorang akan
mengurangi pemakaian bahan bakar ketika harganya naik. Dengan kata lain,
pemerintah dapat menyelamakan lingkungannya dengan menerapkan fitur pajak
tersebut. Dalam pendekatan pengendalian pencemaran untuk memelihara
lingkungan ada beberapa instrumen yang dapat diterapkan diantaranya :
a. Mengubah secara langsung tingkat harga atau biaya produksi. pengubahan
tingkat harga dan biaya secara langsung terjadi bila pungutan atau pajak
lingkungan dikenakan terhadap produk atau terhadap proses pengolahan
produk seperti pungutan pencemaran ataupun sistem deposit yang
digunakan bila terjadi kerusakan lingkungan dan dikembalikan jika tidak
terjadi kerusakan lingkungan

b. Mengubah secara tidak langsung harga dan biaya melalui kebijakan fiskal
dan moneter. Mekanisme in dapat dilakukan dengan memberi subsidi,
pinjaman lunak, ataupun dengan kebijakan fiskal yang semuanya itu
mendorong untuk digunakannya teknologi bersih, dan denda terhadap
ketidakpatuhan pada peraturan juga dapat dikategorikan pengubahan harga
tidak langsung.
c. Menciptakan pasar bagi barang-barang lingkungan. Mekanisme ini dapat
dilakukan dengan memperdagangkan hak atau kuota untuk membuang
limbah tertentu.pelelangan hak dalam hal pembatasan emisi, pembatasan
penangkapan ikan di wilayah tertentu, dan sebagainya.
Pungutan atau pajak lingkungan merupakan instrumen yang langsung
menentukan nilai atau harga terhadap penggunaan lingkungan. Bentuk pungutan
lingkungan ini bermacam-macam, diantaranya adalah :
a. Pungutan emisi (emission charge). Pungutan ini dikenakan terhadap
pembuangan pencemar ke udara, ke badan air, ataupun ke dalam tanah,
termasuk penciptaan kebisingan. Pungutan itu dikaitkan dengan kuantitas
maupun kualitas pencemarnya dan biaya kerusakan yang ditimbulkan pada
lingkungan.
b. Pungutan atas penggunaan (user charges). Pungutan terhadap penggunaan
sumber daya alam dan lingkungan ini mempunyai fungsi untuk
meningkatkan pendapatan negara atau pendapatan daerah yang dikaitkan
dengan biaya pengolahan, pengumpulan, dan pembuangan limbah.
Pungutan ini tidak langsung dihubungkan dengan kerusakan lingkungan.
c. Pungutan atas dasar produk (produk charges). Pungutan atas dasar produk
ini dikenakan pada proyek yang merusak lingkungan, yaitu bila pproduk itu
digunakan dalam proses produksi. atau dikonsumsi dan dibuang kedalam
lingkungan. Tinggi rendahnya pungutan tergantung pada kadar atau derajat
a.

kerusakan yang ditimbulkannya.


Perdagangan izin. Sistem ini terjadi bila terdapat sistem kuota lingkungan
atau batas atas dari pencemaran lingkungan yang diizinkan. Pada awalnya
alokasi perizinan dikaitkan dengan target lingkungan ambien, tetapi setelah

b.

itu perizinan boleh diperdagangkan sesuai dengan peraturan yang berlaku.


Sistem deposit. Sistem ini diterapkan pada produk-produk yang mempunyai
potensi mencemari lingkungan. Kalau produk tersebut dikembalikan ke
pihak yang diberi wewenang untuk mengumpulkannya setelah digunakan
5

dan menghindari terjadinya pencemaran, maka ia dapat diberikan


[pembayaran kembali. Tetapi jika produk yang dihasilkan tetap mencemari
lingkungan, maka dana deposit yang dibayarkan tadi akan digunakan untuk
menanggulangi pencemaran lingkungan yang ditimbulkan oleh produk
tersebut.

2) Pajak Yang Optimal Terhadap Pencemaran


Dalam penerapan pajak lingkungan ada kelompok yang bersepakat
dengan diberlakukannya mekanisme prinsip tersebut namun ada pula yang tidak
sepakat dengan prinsip tersebut dengan beberapa alasan tertentu yang akan
dibahas didepan. Professor A.C. SPigou adalah orang pertama yang
mengusulkan dikenakannya pajak terhadap pencemaran lingkungan dan pajak
tersebut harus dibayar oleh orang atau lembaga yang menimbulkan pencemaran
tersebut. sistem pajak tersebut disebut sebagai Pigovian Taxes. untuk
memahaminya, perhatikan gambar
Gambar menunjukan bahwa produksi harus dikurangi sampai pada titik

manfaat sosial bersih yang optimal yaitu pada jumlah produksi Qs yaitu pada
saat pajak yang dikenakan persis sama dengan biaya kerusakan yang
ditimbulkan oleh pencemaran yang dihasilkan oleh perusahaan atau pabrik
tersebut (BEM). Pajak atas pencemaran itu (pigovian tax)ditunjukan oleh garis
putus-putus t yaitu untuk setiap unit pencemaran pengusaha harus membayar
pajak kepada pemerintah setinggi t.

Dari gambar dapat dimengerti bahwa seorang produsen akan mendapat


keuntungan bersih yang maksimum dengan memproduksi barang atau produk
sampai titik Qm. Namun demikian apabila biaya kerusakan lingkungan akibat
pencemaran harus dipertimbangkan oleh produsen, maka produksi akan tidak
dilaksanakan apabila keuntungan bersih marginal lebih rendah daripada biaya
eksternal marginal. Oleh karena itu, produksi akan berhenti pada titik Qs dan
berakibat mengurangi pencemaran dari volume sebesar Wm menjadi Ws. Pajak
atas pencemaran ini memberikan manfaat yang lebih besar dibanding dengan
sistem pengaturan langsung yang disertai denda karena tidak mematuhi baku
mutu atau standar pencemaran.
Penentuan baku mutu seringkali tidak berkaitan dengan nilai produk
yang dihasilkan oleh perusahaan. Seandainya baku mutu limbah ditentukan lebih
tinggi dari volume Ws, ini berarti produsen masih akan menghasilkan produk
yang memberikan nilai manfaat bersih lebih rendah dari pada biaya ekternal
yang dipikul oleh masyarakat. Jadi, terlalu banyak produk dan juga pencemaran
yang dihasilkan. Sekarang bagaimana kalau baku mutu limbah itu ditentukan
lebih rendah daripada volume Ws yaitu setinggi Wf. Kebijakan demikian
sungguh akan merugikan masyarakat secara keseluruhan. Dengan penentuan
baku mutu setinggi Wf, ini berarti bahwa masyarakat akan mengalami
penurunan manfaat sosial atau keuntungan bersih sebesar luas area Qf,QsAB dan
penurunan biaya eksternal seluas QfQsAD.
Selanjutnya bila pemerintah mengenakan denda setinggi garis yang
diberi tanda denda, maka produsen akan cenderung menghasilkan output
setinggi Qp karena produksi setinggi itu masih memberikan tambahan
keuntungan bersih yang lebih tinggi daripada denda yang dikenakan. Dalam hal
ini, produsen akan menyumbang pada pembentukan pencemaran setinggi Wp
yang lebih tinggi dari pada bila produsen dikenai pajak setinggi t. Ini berarti
bahwa pengaturan langsung dengan baku mutu dan denda yang relatif rendah
tersebut, kurang memberikan dorongan kepada produsen untuk mengurangi
pencemaran. Dengan kata lain, produsen lebih senang membayar denda daripada
mengurangi produksi atau pencemaran yang diciptakannya.
Keuntungan lain dari pendekatan dengan pajak atas pencemaran
dibanding dengan pengaturan langsung adalah bahwa pengenaan pajak atas

pencemaran tidak terlalu banyak dihindari dibanding dengan sistem pengawasan


oleh polisi. Pengenaan pajak atas pencemaran akan mendorong produsen untuk
mengurangi pencemaran karena dengan semakin sedikit jumlah pencemaran
yang diciptakannya akan berarti semakin sedikit jumlah pajak yang harus
dibayarnya. Selanjutnya dengan pembayaran pajak pencemaran itu, dana akan
terbentuk yang dapat digunakan untuk pengembangan penelitian guna
mengembangkan teknologi penanggulangan pencemaran atau mengembangkan
teknologi bersih yang sedikit menghasilkan limbah pencemar. Dan juga,
pengenaan pajak itu memberikan isyarat baik kepada produsen maupun kepada
konsumen bahwa ada kerusakan lingkungan sehingga mereka mau mengurangi
konsumsi (bagi konsumen) maupun produksi (bagi produsen) akan barang
tersebut dan beralih ke jenis produksi lain yang tidak merusak lingkungan
sehingga tingkat pajak akan rendah dan dengan sendirinya harga barang yang
bersangkutan akan rendah pula.
C. Rancangan Konsep Pajak Lingkungan di Indonesia
Konsep pajak lingkungan itu sendiri sebenarnya sudah lama
diperkenalkan di negara negara Eropa seperti Denmark, Jerman, Norwegia,
maupun Inggris. Pajak lingkungan atau green taxes diartikan sebagai an
expression in policy of the polluter-pays principle: whoever causes pollution
should pay for it. Pajak lingkungan mulai dipertimbangkan untuk diterapkan di
Indonesia sekitar tahun 2006 sebagai salah satu instrumen dalam mengendalikan
negative externalites terhadap lingkungan. Dalam Penjelasan Pasal 8 UU Nomor
4 Tahun 1982 disebutkan bahwa UU ini memberikan wewenang kepada
pemerintah untuk mengambil langkah-langkah tertentu misalnya dalam bidang
perpajakan sebagai insentif dan disinsentif terhadap lingkungan hidup. Artinya,
pajak lingkungan dapat digunakan sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan
pemeliharaan

lingkungan

(insentif)

sekaligus

untuk

mencegah

dan

menanggulangi perusakan dan pencemaran lingkungan (disinsentif). Meskipun


kemudian UU Lingkungan Hidup ini diubah dengan UU Pengelolaan
Lingkungan Hidup, namun pemerintah tetap dapat menjadikan kebijakan

perpajakan sebagai salah satu instrumen pengendalian dampak negatif suatu


aktivitas terhadap lingkungan.
Dengan demikian, UU Pengelolaan Lingkungan Hidup memberikan
dasar sekaligus pilihan kepada pemerintah Indonesia untuk mempergunakan atau
tidak mempergunakan instrumen ekonomi yang berupa pajak dalam pengelolaan
lingkungan hidup. Selain itu, UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah menyatakan bahwa lingkungan merupakan salah satu sektor atau bidang
yang diserahkan kepada daerah untuk dikelola sebaik-baiknya. Terlebih lagi, UU
Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah membuka
peluang bagi daerah untuk memungut pajak maupun retribusi yang sesuai
dengan potensi masing-masing daerah. Ditinjau dari segi hukum, kebijakan
perpajakan akan dapat diaplikasikan dengan baik jika dirumuskan secara jelas,
pasti, terarah dan terukur. Oleh karenanya, suatu kebijakan harus mengandung
unsur-unsur penting seperti tujuan (goals), proposal (plans), program, keputusan
dan efek. Selanjutnya, pajak dari kajian kebijakan publik sesungguhnya sudah
memenuhi unsur-unsur kebijakan terebut karena pajak mengemban fungsi
budgeter dan regulerend.
Meskipun pajak lingkungan ini baru dalam tahap rencana untuk
diterapkan di Indonesia, konsep yang ditawarkan pemerintah Indonesia tersebut
paling tidak harus mengandung beberapa unsur-unsur esensiil yang ada dalam
suatu kebijakan seperti goals, plans, maupun programs. Selain itu, konsep pajak
lingkungan tersebut juga harus mengandung prinsip-prinsip perpajakan terutama
prinsip certainty dimana harus secara jelas mengemukakan subyek, obyek, dan
tarif pajaknya. Tujuan yang ingin dicapai dengan adanya rencana penerapan
pajak lingkungan adalah untuk mengendalikan kerusakan dan pencemaran
lingkungan yang ada karena dalam pajak lingkungan terkandung dua asas
penting yaitu insentif dan disinsentif. Penerapan pajak lingkungan untuk
perusahaan merupakan salah satu bentuk pertanggungjawaban perusahaan
terhadap kondisi lingkungan yang semakin lama semakin menurun sebagai
akibat aktivitas produksi perusahaan tersebut.
Apabila dilihat dari tujuan (goals) yang diharapkan, konsep pajak
lingkungan tersebut sudah mencerminkan keinginan dari pemerintah untuk

mengendalikan kerusakan lingkungan sebagai akibat aktivitas produksi dengan


menggunakan pajak sebagai instrumen pengendalinya. Tujuan ini tidak berbeda
dengan tujuan environmental taxes yang diterapkan di negara-negara Eropa yaitu
perlindungan lingkungan hidup dari perusakan dan pencemaran. Hanya saja
yang

perlu

dicermati

adalah

rencana

(plans)

dan

program

sebagai

pengejawantahan dari tujuan yang telah ditetapkan sehingga nantinya konsep ini
dapat diaplikasikan dan tidak memiliki potensi menimbulkan beban bagi dunia
industri maupun konsumen. Dari sisi rencana (plans) dan program dalam konsep
pajak lingkungan harus ditunjukkan kejelasan terhadap subyek, obyek dan
tarifnya.
Salah satu ciri pajak adalah bersifat memaksa, dimana instrumen pajak
ini diharapkan dapat memaksa perusahaan mengurangi dampak kerusakan
lingkungan yang ditimbulkannya. Pada rancangan penerapan Pajak Lingkungan
tahun 2006 konsep yang ditawarkan terkesan masih kasar terutama yang
berkaitan dengan subyek, tarif dan

budget earmarking nya, sehingga perlu

direview kembali secara komprehensif agar aplikatif dan tidak menimbulkan


beban berlebih bagi dunia usaha di Indonesia. Dari sisi subyek pajaknya dapat
dikatakan bahwa penentuan kriteria sebagai subyek pajak lingkungan ini tidak
jelas. Dalam hal ini tidak ada penjelasan lebih lanjut keterkaitan omzet
perusahaan lebih dari 300 juta rupiah pertahun dengan masalah lingkungan. Ada
kemungkinan perusahaan dengan omzet kurang dari 300 juta rupiah pertahun
juga melakukan pencemaran terhadap lingkungan, bahkan kemungkinan proses
produksinya lebih bersifat mencemari daripada perusahaan yang beromzet lebih
dari 300 juta rupiah/tahun.
Hal ini tentunya akan menimbulkan ketidakadilan karena perusahaan
tersebut tidak termasuk menjadi subyek pajak lingkungan. Sebaliknya,
penentuan subyek pajak lingkungan yang didasarkan pada omzet sebesar lebih
dari 300 juta rupiah akan memungkinkan kelompok Usaha Kecil Menengah
(UKM) masuk pada kriteria yang diusulkan tadi. Padahal kelompok UKM
merupakan kelompok pengusaha yang perlu mendapat fasilitas-fasilitas dari
Pemerintah

dalam

menjalankan

usahanya,

sehingga

perlu

diatur

pengecualiannya sebagai subyek pajak lingkungan.

10

Dari sisi tarif pajak lingkungan, ha-rus ada ukuran yang jelas terhadap besaran
prosentase pajak lingkungan tersebut. Tarif 0,5% dari total biaya produksi dinilai
ter-lalu tinggi sehingga dikhawatirkan nantinya memberatkan dunia usaha. Hal
ini didasari suatu alasan bahwa rata-rata keuntungan bersih perusahaan hanya
sekitar 1%-4% dari total omzet, terlebih lagi adanya perlakuan diskriminatif dan
pungutan liar terhadap pengusaha yang terjadi di daerah-daerah akan
memperbesar cost production yang dikeluarkan. Dengan tidak adanya ukuran
dan pengaturan yang jelas tentang tarif ini dikhawatirkan pada akhirnya
perusahaan akan mengalihkan beban pajak lingkungan yang menjadi
kewajibannya kepada kon-sumen. Menurut narasumber dari Gree-nomic, dalam
konsep pajak lingkungan ini seharusnya pendekatan omzet ditinggalkan karena
mengandung impresi bahwa penerap an pajak lingkungan tersebut hanya untuk
kepentingan fiskal semata. Pajak lingkung an dengan pendekatan skala dampak
harus menjadi prioritas karena lebih memperkuat akuntabilitas perusahaan dalam
mengelola dampak lingkungan yang ditimbulkannya.
Dari sisi budget earmarking-nya, belum ada penjelasan lebih lanjut penggunaan
dan pengalokasian hasil pajak pajak ling-kungan secara spesifik. Contoh dari
sistem earmarking tax ada di negara-negara Eropa seperti halnya Jerman.
Sebagian uang hasil pajak lingkungan (Pajak BBM) digunakan untuk
mengembangkan sumber daya energi yang dapat diperbaharui, sebagian lagi untuk mengurangi ekonomi biaya tinggi yang ditimbulkan oleh tingginya biaya
jaminan keamanan sosial. Dilihat dari tujuannya, konsep pajak lingkungan yang
diusulkan Pemerintah sebenarnya sudah mengandung sistem earmarking atau
penggunaan hasil pajak untuk tujuan tertentu. Hal ini diperte-gas oleh Menteri
Keuangan Sri Mulyani Indrawati yang menyatakan bahwa hasil penerimaan
pajak sebagian atau seluruhnya digunakan untuk membiayai kegiatan-ke giatan
yang berkaitan dengan pengendalian dan pemeliharaan lingkungan. Hanya saja
diperlukan pengaturan yang tegas terhadap sistem earmarking pajak lingkungan
se-hingga nantinya tidak overlapping dengan pungutan pajak dan retribusi
lainnya, misal-nya saja cukai rokok dan pajak lingkungan harus ada perbedaan
dalam pengalokasian hasil penerimaan dari masing-masing sektor tersebut.

Masalah Terkait Penerapan Pajak Lingkungan


Masalah Penentuan Tarif Pajak
Dari uraian diatas tampaknya sistem pungutan pajak lingkungan mempunyai
beberapa kelebihan dibanding sistem pengaturan lingkungan secara lingkungan.
Namun demikian dalam praktiknya pajak lingkungan (pigovian tax) cukup
sulit dilaksanakan karena adanya alasan yang sangat mendasar yaitu adanya

11

ketidakpastian dalam biaya kerusakan lingkungan akibat dari suatu pencemar.


Penentuan BEM (biaya eksternal marginal) merupakan dasar bagi penentuan
pajak lingkungan yang memerlukan informasi dan data yang jelas berkaitan
dengan beberapa faktor berikut :
a. Pengetahuan tentang macam dan jumlah produk (output) yang dihasilkan oleh
suatu perusahaan
b. Banyaknya (dosis) pencemar yang dihasilkan perusahaan sebagai produk
samping yang tidak diinginkan,
c. Sifat akumulasi pencemar dalam jangka panjang,
d. Apakah pencemar itu dihadapkan langsung dan terus menerus pada manusia
(human exposure),
e. Timbulnya kerusakan akibat dari pencemar tersebut,
f. Penilaian dalam rupiah terhadap biaya kerusakan akibat pencemaran tersebut.
Dalam praktik, tampak bahwa perhitungan yang teliti mengenai tingkat
pajak lingkungan yang tepat sulit untuk direalisasikan. Misalnya pajak yang
dikenakan terhadap penggunaan batubara yang menimbulkan polusi karbon
dioksida diudara, harus lebih tinggi dari pada pajak yang dikenakan terhadap
bahan gas alam yang hanya menghasilkan 60% volume karbon dioksida jika
dibandingkan dengan penggunaan batu bara. Penggunaan gas alam dipandang
lebih ramah lingkungan, jadi sebaiknya tidak sama.

Pergeseran Beban Pajak Ke Konsumen


Selanjutnya yang harus dipikirkan adalah siapa yang sebenarnya
membayar pajak lingkungan atau pajak pencemaran tersebut. jika menggunakan
prinsip pigovian tax, maka pencemaran harus dibayar oleh pencemar (pulluter
pays principle). Namun, dengan tingginya pajak lingkungan maka otomatis,
produksi berkurang dan volume pencemar pun bisa ditekan kebatas normal.
Namun hal ini dari perspektif produsen, dianggap merugikan karena keuntungan
dari jumlah produksi harus dibatasi karena tingginya biaya eksternal (BEM)
yang ditimbulkan pajak lingkungan, sehingga ada kecenderungan untuk
menggeser beban pajak ke konsumen.
Dalam teori perpajakan, dikenal konsep penggeseran beban pajak yaitu
bahwa beban pajak sesungguhnya dapat digesarkan ke depan ataupun ke
belakang. Dengan kata lain, pembayar pajak tidak harus ditanggung oleh

12

pencemar saja. Melainkan konsumen juga harus menanggungnya kerana barang


dari proses produksi itu juga dinikmati oleh masyarakat selaku konsumen.

Sebelum
ada pajak,

produsen

menghasilkan produk setinggi Qo yang ditunjukkan oleh perpotongan antara


kurva permintaan D dan kurva penawaran So pada titik Eo. Kalau seandainya
pemerintah mengenakan pajak per unit (specific tax) terhadap produk karena
prosesnya

menghasilkan

polusi

udara

yang

meningkatkan

aktifitas

karbondioksida dalam udara, maka oleh produsen, pajak itu akan dibebankan
kepada konsumen produk tersebut dengan cara menaikkan harga produk sebesar
nilai pajak dari pemerintah, sebesar t. Hal ini akan berdampak pada
berkurangnya permintaan konsumen akibat kenaikan harga produk menjadi P1.
Namun dapat juga dijelaskan bahwa besar kecilnya penggeseran beban
pajak tergantung pada elastisitas permintaan dan penawaran akan produk
tersebut. apabila permintaan terhadap produk perusahaan tersebut semakin
inelastis, maka beban pajak akan cenderung lebih digeser kepada konsumen,
sedangkan apabila permintaan akan produk bersifat elastis, maka penggeseran
beban pajak pada konsumen akan lebih kecil dan sebagian besar pajak akan
dipikul produsen sendiri.

Kebijakan/Program Lain sebagai Pengendali Dampak Lingkungan di


Indonesia

13

Kebijakan/program lain selain konsep pajak yang diterapkan pemerintah


Indonesia, dibatasi pada 4 (empat) jenis program saja, yaitu: CSR (Corporate
Social Responsibilities), Performance Bonds, AM-DAL dan UKL-UPL.
CSR (Corporate Social Responsibilities)
CSR merupakan suatu konsep bahwa perusahaan memiliki suatu tanggung jawab
terhadap konsumen, karyawan, pemegang saham, komunitas dan lingkungan
dalam segala aspek operasional perusahaan. Konsep CSR tersebut mulai
diadopsi pada tahun 2007 dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas. Dalam UUPT tersebut hanya satu pasal yang mengatur
tentang konsep CSR, yaitu Pasal 74 dimana CSR bukan lagi kewajiban moral
tetapi sudah ditetapkan sebagai kewajiban hukum. Oleh karenanya perseroan
yang menjalankan kegiatan usahanya dibidang dan atau yang berkaitan dengan
sumber daya alam wajib melaksanakan konsep tersebut.
Apabila perseroan tersebut tidak melak-sanakan kewajiban CSR maka terhadap
pelanggaran tersebut akan dikenai sanksi. Hanya saja bentuk sanksi terhadap
pelang-garan tersebut tidak ditentukan secara spe-sifik dalam UUPT. Dari sisi
pendanaan bagi pelaksanaan konsep CSR, perseroan dapat menganggarkannya
dan kemudian diperhi-tungkan sebagai biaya perseroan sehingga nantinya dapat
digunakan sebagai pengurang beban pajak. Namun permasalahannya, besaran
prosentase atau besaran nominal dana untuk kewajiban CSR ini belum
ditentukan secara jelas. Oleh karenanya, yang perlu di-pertanyakan selanjutnya
adalah apakah dana yang disediakan oleh perseroan yang wajib CSR tersebut
nantinya mencukupi untuk ke-giatan-kegiatan yang berbasis lingkungan. Selain
itu belum diaturnya mekanisme tax deductible sebagai tax incentives bagi kegiatan-kegiatan yang dilakukan perseroan dalam rangka CSR dapat
mengakibatkan keengganan perseroan menyisihkan seba-gian besar dananya
untuk lingkungan.
Kewajiban CSR pada pasal 74 UUPT tersebut hanya dibatasi terhadap badan
usaha yang berbentuk PT (Perseroan Terbatas). Pembatasan kewajiban CSR
tersebut dirasa sangat sempit karena sebagian besar bentuk usaha di Indonesia
adalah bentuk usaha di luar PT, contohnya CV dan Firma. Padahal apabila
dicermati tujuan utama yang melatar belakangi adanya kewajiban CSR adalah
untuk menanggulangi dampak negatif dari suatu aktifitas produksi terhadap
lingkungan atau fungsi kemampuan pada sumber daya alam, sehingga
pembatasan tersebut dirasa tidak sesuai dengan sasaran yang akan dituju. Bukan
hanya PT saja yang berpeluang besar melakukan pencemaran lingkungan akan
tetapi bentuk usaha diluar PT juga me-miliki peluang menimbulkan dampak
yang cukup besar bagi lingkungan sekitar sebagai akibat proses produksinya.

14

Apalagi bentuk usaha diluar PT mendominasi sebagian be-sar bentuk usaha di


Indonesia, padahal CSR bagi bentuk usaha di luar perseroan bukan merupakan
suatu kewajiban artinya boleh dilaksanakan maupun tidak dilaksanakan sehingga
sangat tergantung pada kesadaran pihak pengusaha. Ini berarti CSR hanya mengcover sebagian kecil saja dari perma-salahan pencemaran lingkungan yang disebabkan dari aktifitas produksi yang ada di Indonesia.
Dari segi tujuan CSR, pelaksanaan CSR selama ini dirasa tidak tepat sasaran
bahkan terlihat CSR ini hanya digunakan sebagai sarana untuk ajang promosi
guna menarik simpati publik terhadap citra perusahaan yang melakukan CSR.
Harusnya pelaksa-naan CSR ditujukan terhadap pemulihan lingkungan akibat
pencemaran terutama ha-rus difokuskan pada lingkungan di sekitar aktifitas
produksi yang terkena dampak baik langsung maupun tidak langsung.
Performance Bonds
Performance Bonds atau Dana Jaminan Kinerja diatur dalam Pasal 35 UndangUn-dang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Dalam pasal tersebut
ditetapkan bah-wa setiap pemegang ijin usaha pemanfaatan hutan dikenakan
dana jaminan kinerja. Dana ini digunakan sebagai jaminan atas pelaksanaan ijin
usahanya yang dapat dicairkan kembali oleh pemegang ijin apabila kegiatan
usahanya dinilai memenuhi ketentuan usaha pemanfaatan hutan secara lestari.
Pendekatan dana jaminan kinerja ini ditengarai dapat meredam kerusakan
lingkungan terutama yang diakibatkan oleh kegiatan pemanfaatan dan
pengusahaan hutan. Namun demikian sektor kehutanan sepertinya belum
menerapkan ketentuan performance bonds terse-but demikian halnya dengan
sektor pertambangan.
Pembicaraan mengenai dana yang dijaminkan perusahaan yang bergerak pada
sektor kehutanan, sampai saat ini belum jelas pengaturan tentang besaran
nominal atau besaran prosentase yang di jaminkan. Penentuan besarnya dana
jaminan ini memiliki posisi yang sangat penting bagi upaya penanggulangan
pencemaran lingkungan karena ketika terjadi pencemaran, dana yang dijaminkan
harus bisa mencukupi semua biaya pemulihan lingkungan sehingga harus ada
kriteria-kriteria yang jelas tentang penentuan besarnya dana jaminan tersebut.
Apabila kelemahan pengaturan dari segi dana ini diperbaiki maka performance
bonds ini dapat digunakan sebagai instrumen efektif untuk mencegah degradasi
lingkungan. Bahkan tidak hanya pada sektor kehutanan dan pertambangan saja,
namun dapat diadopsi pengaturannya pada perusahaan yang bergerak di sektor
lain yang berpotensi me nimbulkan dampak terhadap lingkungan.
AMDAL

15

AMDAL merupakan singkatan dari Analisis Mengenai Dampak Lingkungan


yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No.27 Tahun 1999. AMDAL itu sendiri
didefinisikan sebagai kajian mengenai dampak besar dan penting untuk
pengambilan keputusan suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncakan pada
lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang
penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan. Dalam hal ini AMDAL merupakan
salah satu syarat perijinan dimana para pengambil keputusan wajib
mempertimbangkan hasil studi AMDAL sebelum memberikan ijin usaha atau
kegiatan. Pihak-pihak yang terlibat dalam proses AMDAL adalah komisi penilai
AMDAL, pemrakarsa dan masyarakat yang berkepentingan.
Komisi penilai AMDAL ditingkat pusat perkedudukan di Kementerian
Lingkungan Hidup. Ditingkat provinsi berkedudukan di bapedalda provinsi, dan
di tingkat kabupa ten/kota berkedudukan di Bapedalda kabupaten/kota.
Pemrakarsa adalah orang/badan hukum yang bertanggung jawab atas suatu
rencana usaha dan/atau kegiatan yang akan dilaksanakan, sedangkan masyarakat
yang berkepentingan adalah masyarakat yang terpengaruh atas segala bentuk
keputusan dalam proses AMDAL.
Apabila dicermati sebenarnya terdapat kemungkinan adanya unsur subyektifitas
dalam penentuan kriteria-kriteria dampak besar dan penting suatu usaha/kegiatan
tersebut karena yang berwenang menetapkan adalah Kepala Instansi. Hal ini
tentunya berpotensi mengabaikan tujuan utama dari AMDAL sebagai sarana
antisipasi terhadap pencemaran lingkungan. AMDAL ini hanya sebagai sarana
analisis terhadap potensi pencemaran tetapi tidak memberikan solusi pendanaan
pemulihan kualitas lingkungan ketika terjadi pencemaran.
Selain itu, AMDAL merupakan langkah pertama dan hanya dilakukan satu kali
pada saat akan dimulainya kegiatan/didirikannya suatu usaha tanpa ada kontrol
periodik. Na-mun, ada kemungkinan usaha yang telah ber-jalan berkembang
sehingga tidak sesuai lagi dengan AMDAL yang telah dibuat, jika hal ini terjadi
maka sarana audit lingkungan bisa digunakan untuk menilai apakah perkembangan dari aktifitas usaha masih sesuai atau tidak dengan AMDAL. Jika
terbukti oleh tim audit lingkungan bahwa perkembangan usaha ini menyalahi
AMDAL maka bisa dikenai sanksi baik pencabutan ijin, sanksi administrasi dan
sanksi pidana. Sampai saat ini belum ada pengaturan yang jelas upaya apa saja
yang dilakukan oleh pemerintah ketika jumlah sanksi berupa denda tidak
mencukupi untuk pemulihan kualitas lingkungan.

UKL-UPL

16

Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup (UKL) dan Upaya Pemantauan


Lingkungan Hidup (UPL) adalah upaya yang dilakukan dalam pengelolaan dan
pemantauan lingkungan hidup oleh penanggung jawab dan/atau kegiatan yang
tidak wajib melakukan AMDAL. Kewajiban UKL/UPL diber-lakukan bagi
kegiatan yang tidak diwajibkan menyusun AMDAL dan dampak kegiatan mudah
dikelola dengan teknologi yang tersedia. Dalam hal ini UKL/UPL merupakan
dasar untuk menerbitkan ijin melakukan usaha dan/atau kegiatan. Proses dan
prose-dur UKL/UPL tidak seperti AMDALl yang menggunakan beberapa
dokumen dalam UKL/UPL hanya menggunakan formulir yang berisi identitas
pemrakarsa, rencana usaha dan/atau kegiatan, dampak lingkungan yang akan
terjadi, program pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup serta tanda
tangan dan cap.
Seperti halnya AMDAL, UKL dan UPL ini belum memberikan solusi tentang
mekanisme pendanaan jika terjadi pencemaran lingkungan dan ini bisa
menimbulkan ketidakpastian bagi upaya pemulihan lingkungan. Ketidakjelasan
pendanaan ini bisa dipastikan menghambat upaya perlindungan terhadap
lingkungan. Dana yang dipungut dari UKL dan UPL terkait dengan proses
pengurusan ijin yang masuk dalam kategori pungutan retribusi sehingga dana ini
tidak dapat gunakan untuk menanggulangi pencemaran lingkungan. Dari sisi
teknologi yang bisa digunakan untuk menanggulangi dampak negatif, yang perlu
mendapat perhatian disini adalah kesiapan daerah masing-masing untuk
menyediakan teknologi penanggulangan pencemaran yang memadai.
Dari paparan dan analisis diatas dapat diketahui bahwa masih terdapat
kelemahan-kelemahan yang melekat pada keempat kebijakan/program yang saat
ini digunakan di Indonesia sebagai pengendali perusakan dan pencemaran
lingkungan terutama yang disebabkan oleh proses produksi yang dilakukan oleh
perusahaan/industri. Kelemahan yang menonjol sebenarnya terdapat dalam
aspek pendanaan untuk pemulihan kualitas ling-kungan yang rusak dan
tercemari. Apabila dibandingkan dengan konsep pajak ling-kungan, konsep
tersebut sebenarnya merupakan instrumen yang efektif untuk memi-nimalisasi
pencemaran. Bahkan tidak hanya mengurangi pencemaran, tetapi juga dapat
menekan biaya penanggulangannya. Hal ini disebabkan dalam konsep tersebut
melekat 3 (tiga) fungsi utama pungutan pencemaran, yaitu optimasi, efisiensi
dan redistribusi.
Fungsi optimasi menekankan bahwa pencemar akan membatasi emisi pada
tingkat yang optimal, apabila pungutan pencemaran ditetapkan pada titik dimana
keuntungan marginal penanggulangan pencemaran adalah sama dengan ongkos
marginalnya, sedangkan fungsi efisiensi menyatakan bahwa dalam pungutan
harus terdapat pemberian insentif yang memadai dimana nantinya akan berimbas
pada pengurangan emisi oleh pencemar. Fungsi terakhir yang harus ada pada

17

pungutan pencemaran adalah fungsi redistribusi dimana nantinya dana yang


terkumpul melalui pungutan dapat diinvestasikan kembali dalam
penanggulangan pencemaran.
Apabila dicermati ketiga fungsi tersebut mensyaratkan penghitungan yang tepat
pada pungutan pencemaran sehingga pun-gutan tersebut nantinya akan
mendorong tanggung jawab dari para pencemar untuk mengurangi emisi dan
pada akhirnya biaya penanggulangannya akan lebih murah daripada membayar
tuntutan ganti kerugian akibat pencemaran. Oleh karenanya, pajak lingkungan
yang diusulkan oleh Pemerintah Indonesia perlu diperhitungkan secara tepat
dengan ukuran-ukuran yang jelas agar mencapai tujuan yang diharapkan.
Dengan demikian, konsep pajak lingkungan tersebut dapat mendorong
akuntabilitas dari pihak industri terhadap dampak lingkungan yang
ditimbulkannya.
Namun demikian yang perlu diingat bahwa pajak lingkungan bukan merupakan
pengatur lingkungan hidup yang utama. Pajak lingkungan dalam pelaksanaannya
selalu dikombinasikan dengan pengendalian langsung (direct control), yaitu
peraturan-peraturan tentang pencemaran. Dalam usulan penerapan konsep pajak
lingkungan tersebut terdapat janji pemerintah untuk menghapus pungutanpungutan yang sejenis yang terkait dengan kegiatan usaha, lalu lintas barang dan
jasa. Ditengarai terdapat sekitar 250 jenis pungutan retribusi yang rencananya
akan dihapuskan termasuk pemeriksaan AMDAL dan retribusi ijin industri. Hal
ini tentunya memberikan angin segar bagi dunia industri dan investasi karena
apabila janji tersebut benar maka perusahaan yang ada di daerah nantinya hanya
akan terkena satu jenis pungutan saja yaitu pajak lingkungan. Hanya saja yang
menjadi pertanyaan bagaimana nantinya dengan bentuk kebijakan lain seperti
CSR maupun performance bonds yang sudah diatur tersendiri dan menjadi
kewajiban bagi perusahaan tertentu untuk melaksanakannya. Dalam hal ini,
perlu adanya penyisiran terhadap kebijakan-kebijakan yang mengatur penyisihan
dana perusahaan untuk pengelolaan lingkungan sehingga nantinya double
charges dapat dihindari.
Konsep pajak lingkungan perlu diformulasikan dan dirumuskan kembali secara
tepat sehingga tidak terkesan hanya untuk memobilisasi penerimaan pajak dalam
rangka meningkatkan pendapatan daerah. Dalam hal pengendalian terhadap
perusakan dan pencemaran lingkungan yang terjadi saat ini, pemerintah masih
dapat mengandal-kan keempat kebijakan yang telah dibahas diatas dengan
pengawasan yang diperketat. Dengan demikian, penyimpangan-penyimpangan
yang terjadi dapat diminimalisir. Yang lebih penting lagi, pemerintah harus lebih
memperkuat penempatan aspek ekologi dalam setiap kebijakan yang
dikeluarkannya.

18

BAB III
PENUTUP

Berdasarkan permasalahan dan pembahasan dalam yang dipaparkan


dalam makalah ini, maka dapat disimpulkan beberapa hal. Pertama, konsep
pajak lingkungan harus memuat secara jelas mengenai tujuan, subyek, obyek
dan tarif pajak. Dalam hal ini perlu ada kualifikasi atau kriteria yang jelas
terhadap subyek pajaknya dan tidak semata-mata menjustifikasi hanya terbatas
pada perusahaan tertentu dengan omset tertentu juga. Dari sisi tarif, ukuran
prosentase harus diperjelas kembali agar tidak membebani dunia industri,
sedangkan dari sisi budget earmarking harus diatur secara jelas penggunaan

19

hasil uang pajak lingkungan tersebut nantinya agar tidak terjadi overlapping
dengan penggunaan hasil pajak dan retribusi yang hampir serupa.
Kedua, pada dasarnya, konsep pajak lingkungan tersebut menawarkan suatu
solusi efektif yang dapat digunakan sebagai instrumen perlindungan dan
pengelolaan lingkungan. Namun, untuk saat ini masih sepertinya instrumen
perlindungan dan pengelolaan yang dapat diandalkan antara lain CSR,
Performance Bonds, AMDAL dan UKL-UPL meskipun sebenarnya ada
kelemahan-kelemahan yang melekat pada keempat kebijakan tersebut.

20

DAFTAR PUSTAKA

Hasan, Dahliana, dan Dinarjati Eka Puspitasari, Tinjauan Terhadap Rencana


Penerapan pajak lingkungan sebagai instrumen perlindungan lingkungan
hidup di Indonesia
http://mimbar.hukum.ugm.ac.id/index.php/jmh/article/viewfile/253/108,
diakses pada tanggal 19 Juni 2015.
R., Dhany, Pajak dan Pencemaran Lingkungan
http://dhanyvironment.blogspot.com/2014/02/pajak-dan-pencemaranlingkungan , diakses pada tanggal 19 Juni 2015.
Muniriyanto, Buyung, Pajak Tepat Negara Sehat
http://www.pajak.go.id/content/article/pajak-tepat-negara-sehat, diakses
pada tanggal 19 Juni 2015

Anda mungkin juga menyukai