Anda di halaman 1dari 9

IMPLEMENTASI CARBON TAX DI INDONESIA

SEBAGAI UPAYA PENURUNAN EMISI GAS RUMAH KACA GLOBAL


Edwina Dwinanda - Greenship Associate Training Batch #7

Isu Perubahan Iklim Global


Tahun demi tahun Indonesia menghadapi masalah defisit anggaran negara di mana salah
satu penyebab utamanya adalah angka subsidi bahan bakar fosil yang tinggi. Indonesia
kesulitan menjaga defisit tersebut di bawah ambang batas yang secara hukum legal di bawah
3% dari GDP. Langkah untuk menekan defisit anggaran melalui pinjaman internasional perlu
dihindari sebab hal itu akan menyebabkan penumpukan hutang negara.
Bahan bakar fosil merupakan sumber utama anthropogenic greenhouse gases emission,
atau emisi rumah kaca yang disebabkan oleh penggunaan energi untuk memenuhi kebutuhan
hidup manusia, sebagai pelaku utama pemanasan global. Pemberian subsidi terhadap bahan
bakar fosil tidak dapat dijustifikasi sebab dapat menjadi batu sandungan terbesar bagi
perkembangan berbasis reneable energy yang mana merupakan jawaban dari tantangan
perubahan iklim.
Ketergantungan terhadap bahan bakar fosil di beberapa negara berhubungan kuat dengan
revolusi industri. Menurut sejarah, penggunaan bahan bakar fosil secara masif terjadi pada
masa revolusi industri yang ditandai dengan terciptanya mesin uap. Pada saat itu, batu bara
menjadi bahan baku populer di dunia yang dapat mengidupkan segalanya, mulai dari
transportasi kereta hingga kapal. Selanjutnya, minyak dan gas juga diperkenalkan sebagai
tipe energi fosil lainnya. Seiring dengan perkembangan teknologi, efisiensi penggunaan
minyak dan gas semikin meningkat dan saat ini menjadi komoditas energi dunia yang utama
(Margenta, 2020).
Namun, pemanfaatan bahan bakar fosil secara masif menyebabkan eksternalitas negatif
pada bumi, seperti polusi udara dan global warming. Sejak revolusi industri, temperatur bumi
meningkat secara signifikan yang didominasi oleh emisi karbon dari bahan bakar fosil.
Kesadaran akan isu perubahan iklim mulai muncul dan komitmen untuk mengurangi emisi
karbon dihasilkan pada Earth Summit di Rio de Janeiro pada 1992. Komitmen tersebut
diimplementasikan melalui Protokol Kyoto yang disetujui oleh 160 negara pada 1997.
Implementasi yang terjadi mengalami jalan yang berat akibat isu ekonomi dan politik.
Baru-baru ini, komitmen global terhadap isu perubahan iklim diperkuat melalui Paris
Agreement 2016, yaitu sebuah persetujuan di dalam the United Nations Framework
Convention on Climate Change (UNFCCC), yang membahas mengenai emisi gas rumah kaca,
mitigasi, adaptasi, dan finansial. Kesepakatan ini ditandatangani oleh 196 negara, di mana
Indonesia merupakan salah satunya.
Perubahan iklim sendiri adalah isu yang penting mengingat bahwa dampak terhadap
lingkungan global semakin dapat dirasakan, salah satunya dengan banyaknya bencana alam
yang semakin sering terjadi (Yusuf et al., 2015). Pertumbuhan penduduk diiringi dengan
meningkatnya penggunaan energi yang meghasilkan emisi gas rumah kaca yang semakin
berbahaya. Kyoto Protocol, Paris Agreement, dan United National Framework Convention
on Climate Change merupakan acuan kebijakan iklim di dunia. Terdapat perdebatan
mengenai prosedur dan mekanisme yang spesifik untuk pengurangan gas rumah kaca.
Pendekatan institusional untuk memfasilitasi berbagai instrumen pengontrol polusi
diketegorikan sebagi berikut ini:
1. Regulation Instrument: command and control mechanism
: menentukan arah dan menetapkan target nasional. Mekanisme ini memungkinkan
para penghasil polusi lebih fleksibel dalam mengurangi polusi namun tidak selalu
layak dan diinginkan untuk diterapkan seragam pada setiap kondisi serta dianggap
kurang efektif karena tidak mempertimbangkan efektivitas biaya dari pengukuran
penurunan emisi sehingga total biayanya dapat menjadi sangat tinggi.
2. Market-based Instrument: price-based dan quantity-based
- Price-based dinilai lebih efektif untuk diterapkan. Hasil studi menujukkan bahwa
kesejahteraan yang diperkirakan akan diperoleh dari kebijakan price-based/carbon
tax yang optimal adalah lima kali lebih tinggi daripada kebijakan quantity-based
yang optimal (Pizer dalam Ayu, 2018).
- Walaupun penerapan kebijakan price-based lebih efisien, namun hingga saat ini
tetap masih ada perdebatan megenai mekanisme yang paling efisien.
Indonesia sebagai salah satu penghasil emisi terbesar di dunia memiliki peran penting dalam
pergerakan untuk menyelamatkan bumi. Sebaliknya, sebagai negara berkembang, Indonesia
perlu menyadari bahwa ada keperluan meningkatkan energy production untuk memenuhi
energy demand, yang akan semakin meningkat di kemudian hari. Oleh karena itu, Indonesia
perlu menyusun strategi rencana energi yang selaras dengan upaya meminimalisasi emisi
karbon di sektor energi. Fakta mengenai Indonesia terhadap isu lingkungan global:
- Peringkat ke-4 negara dengan populasi penduduk terbesar di dunia, yaitu 3.52% dari
populasi dunia (World Bank, 2020).
- Perngkat ke-8 greenhouse gases emmiters terbesar, yaitu terutama dari sektor energi,
agrikultur, dan transportasi (World Resources Institute, 2020)
- Peringkat ke-13 negara penghasil emisi CO2 dari pembakaran bahan bakar fosil (World
Population Review, 2015)
- Peringkat ke-9 negara dengan polusi udara tertinggi PM2.5 (IQAir, 2020)

Konsep Carbon Pricing


Pada Conference of Parties (COP) ke 21 yang diselenggaraakan oleh the United National
Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) di Paris pada 30 November - 13
Desember 2015 yang lalu, Presiden Indonesia menyatakan untuk menurunkan emisi gas
rumah kaca dengan target 29% pada kondisi no-action (Business as Usual) di 2030. Sebagai
tambahan, dengan adanya bantuan internasional, Indonesia mempunyai target pengurangan
emisi hingga 41%.
Penurunan emisi karbon dapat dilakukan dengan meningkatkan “carbon pricing” atau
terif emisi karbon. Pemberian harga pada karbon kini telah menjadi populer seiring dengan
momentum yang tumbuh di antara negara-negara dan pelaku bisnis sebagai cara untuk
menurunkan emisi dan mendorong investasi ke opsi yang lebih bersih. Terdapat beberapa
jalan yang dapat diambil pemerintah untuk menentukan harga karbon. Proses dimulai dengan
mengidentifikasi biaya eksternal emisi karbon, yaitu biaya yang terbebankan ke masyarakat
dengan bentuk lain, seperti kerusakan tanaman dan biaya perawatan kesehatan akibat
gelombang panas dan kekeringan, kerusakan properti akibat banjir, dan sebagainya sebagai
imbas dari aktivitas industri maupun sektor-sektor penghasil emisi karbon lainnya
(www.worldbank.org).
Tarif emisi karbon membantu mengalihkan beban kerusakan untuk dikembalikan kepada
pihak-pihak yang bertanggung jawab dan kemudian dapat menuntut untuk dapat
menguranginya. Metode ini memberikan sinyal ekonomi sehingga pencemar perlu
memutuskan apakah akan menghentikan aktivitas pencemaran mereka, mengurangi emisi,
atau melanjutkan pencemaran dan membayarnya. Dengan cara ini, tujuan lingkungan secara
keseluruhan dicapai dengan cara yang paling fleksibel. Tarif emisi karbon juga diharapkan
mampu merangsang teknologi bersih dan inovasi pasar, mendorong pendorong pertumbuhan
ekonomi baru yang rendah karbon.
Terdapat dua jenis utama penetapan tarif emisi karbon (www.worldbank.org):
- Emission Trading Scheme (ETS)
atau disebut juga sebagai sistem cap-and-trade adalah membatasi tingkat total emisi gas
rumah kaca dan memungkinkan industri-industri dengan emisi rendah untuk menjual kuota
ekstra mereka kepada penghasil emisi yang lebih besar. Dengan menciptakan penawaran
dan permintaan untuk kuota emisi, ETS menetapkan harga pasar untuk emisi gas rumah
kaca. Batas tersebut membantu memastikan bahwa pengurangan emisi yang diperlukan
akan dilakukan untuk menjaga penghasil emisi dalam anggaran karbon yang telah
dialokasikan sebelumnya.
- Carbon Tax atau Pajak Karbon
Pajak karbon secara langsung menetapkan harga karbon dengan menetapkan tarif pajak
atas emisi gas rumah kaca atau pada kandungan karbon bahan bakar fosil. Ini berbeda
dengan ETS karena hasil pengurangan emisi dari pajak karbon tidak ditentukan
sebelumnya tetapi harga karbonnya.
Dibandingkan ETS, pajak karbon dapat menjamin kepastian harga karena nilainya
ditentukan oleh pemerintah. Selain itu, penerapan pajak karbon lebih mudah diakses karena
dapat dibangun pada infrastruktur perpajakan yang telah ada. Pilihan instrumen akan
tergantung pada keadaan ekonomi masing-masing negara. Ada juga cara yang lebih tidak
langsung untuk menentukan harga karbon secara lebih akurat, seperti melalui pajak bahan
bakar, penghapusan subsidi bahan bakar fosil, dan peraturan yang mungkin memasukkan
“biaya sosial karbon”. Emisi gas rumah kaca juga dapat dinilai melalui pembayaran untuk
pengurangan emisi. Pihak swasta maupun pemerintah dapat membeli pengurangan emisi
untuk mengkompensasi emisi mereka sendiri (disebut offset) atau untuk mendukung kegiatan
mitigasi melalui pembiayaan berbasis hasil.

Carbon Tax sebagai Solusi Eksternalitas Negatif


Eksternalitas adalah biaya yang harus ditanggung atau manfaat tidak langsung yang
diberikan dari suatu pihak akibat aktivitas ekonomi (Buchanan dan Stubblebine dalam Selvi,
2020). Pengertian lain ekternalitas menurut Rosen (dalam Selvi, 2020) adalah kondisi yang
terjadi ketika suatu kesatuan mempengaruhi kesejahteraan suatu kesatuan yang lain yang
terjadi di luar mekanisme pasar. Sehubungan dengan adanya dampak negatif dari suatu
kegiatan ekonomi sehingga perlu dilakukan suatu intervensi pemerintah (Verhoef dan
Nijkamp dalam Selvi dkk, 2020), pemerintah dapat menerapkan suatu pajak atas
eksternalitasi negatif yang ditimbulkan. Pajak ini dikenal dengan sebutan Pajak Pigovian
yang diperkenalkan oleh Arthur C. Pigou pada tahun 1920. Menurut Rosen (dalam Selvi,
2020) pajak Pigovian adalah suatu pungutan pajak atas setiap unit keluaran dari sumber
pencemar ke dalam jumlah yang sebanding dengan efek kerusakan marjinal yang
ditimbulkannya dengan membebankannya ke dalam output yang efisien. Pajak Pigovian
memiliki kaitan yang erat dengan pajak karbon, di mana ditetapkan atas bahan-bahan
berkonten karbon yang berujung pada emisi karbon yang merupakan eksternalitas negatif.
Pajak karbon merupakan salah satu pajak tidak langsung, yaitu pajak yang dikenakan atas
transaksi. Baranzini dan Carattini (dalam Selvi, 2020) menyebutkan bahwa pajak karbon
merupakan instrumen harga (price-based intrument) dalam kaitannya dengan kebijakan iklim.
Hal ini dikarenakan adanya penetapan harga tertentu atas jumlah emisi karbon. Terdapat tiga
pilihan dasar pengenaan atas pajak karbon, yaitu:
1. Tax applied directly to measure GHG emissions
→ pajak dikenakan pada emisi karbon yang dikeluarkan. Namun perhitungan pengenaan
pajak atas output emisi sangat kompleks
2. Fossil fuel input tax on coal, crude oil, and natural gases, based on their carbon content.
→ pajak dikenakan atas input bahan bakar fosil yang digunakan, tergantung besarnya
konten karbon di dalamnya di mana alternatif ini memerlukan proses manufaktur reaksi
kimia.
3. Tax levied on energy outputs
→ pajak dikenakan atas energi yang dihasilkan seperti listrik
Tujuan utama penerapan pajak karbon ialah untuk mengurangi emisi CO2. Penurunan
produksi emisi CO2 tidak lepas dari adanya peralihan penggunaan sumber energi yang
semula berbahan bakar fosil menjadi sumber energi berbahan bakar ramah lingkungan akibat
mahalnya bahan bakar fosil yang dikenakan pajak karbon.
Mengutip pada artikel Harian Kontan mengenai carbon tax, implementasi carbon tax
memerlukan beberapa pertimbangan, antara lain:
- Pemerintah perlu mendesain dan memetakan secara tepat guna menyasar pada sektor,
aktivitas, atau barang yang jelas menimbulkan polusi (polluter pays principle).
karena sektor-sektor tersebut adalah pihak yang bertanggung jawab terhadap pencemaran
lingkungan dan patut dibebani pungutan karbon. Pajak karbon berorientasi pada mitigasi
perubahan iklim dan menjadi instrumen untuk melindungi lingkungan. Sifatnya yang
mengurangi eksternalitasi negatif akan selaras dengan prinsip pembangunan yang
berkelanjutan.
- Skema pemungutan seperti apa yang akan dikenakan kepada sektor-sektor penghasil polusi.
Skema tersebut dapat berupa jenis pajak baru ataupun mengacu pada pungutan pajak
yang telah ada. Demikian juga pertimbangan dasar pengenaan pajak atau tarifnya.
- Pungutan pajak karbon perlu mendasar pada prinsip keadilan.
Pajak karbon terbukti telah menurunkan polusi dan emisi pada beberapa negara yang
menerapkannya, serta menambah pernerimaan negara. Hal ini perlu menjadi
pertimbangan penyesuaian terhadap kondisi perekonomian negara.
- Bagaimana regulasi implementasi carbon tax
Pertimbangan ini menjadi penting karena menyangkut proses persiapan, verifikasi, dan
pengukuran target pada objek yang akan disasar. Implementasi carbon tax dapat
dilakukan sekaligus melanjutkan agenda reformasi perpajakan.
Metode carbon tax telah diterapkan di berbagai negara. Menurut data World Bank (2021),
carbon tax telah diterapkan di 27 negara di seluruh dunia. Berikut ini merupakan contoh
penerapan di negara-negara tersebut:
- Finlandia
Merupakan negara pertama di dunia yang menerapkan pajak karbon di tahun 1990. Tarif
pajak karbon di Finlandia saat ini mencapai US$68 per ton emisi karbon dan menjadi
tarif pajak karbon tertinggai ke-3 di Eropa.
- Swedia
Menerapkan pajak karbon sejak 1991. Saat ini tarif karbon dikenakan US$119 per ton
emisi karbon atau tertinggi di kawasan Eropa.
- Singapura
Menjadi negara pertama di Asia Tenggara yang mengenakan pajak karbon sejak 1
Januari 2019. Tarif ditetapkan US$4 per ton emisi gas rumah kaca dari industri dan
sektor listrik dengan pengecualian untuk sektor tertentu.
- Australia
Pemerintah Australia pada 2012 menerapkan pajak karbon setelah mengalami perdebatan
selama bertahun-tahun. Pajak emisi yang diterapkan Australia ini jauh lebih tinggi dari
pajak serupa di sejumlah negara misalnya Uni Eropa yaitu antara US$8,7 sampai US$12
per ton emisi karbon. Namun pada 2013 kebijakan ini dicabut oleh Perdana Menteri
terpilih, Kevin Rudd, dengan pertimbangan beban masyarakat.
Carbon Tax di Indonesia - Dampak Positif
Kebijakan-kebijakan di Indonesia dalam menyikapi isu perubahan lingkungan dianggap
masih ambigu. Penilaian ini tercermin dari sikap atau pendirian Indonesia yang ambisius
pada Paris Agreement yang secara voluntir (Nationally Determined Contribution - NDC)
menetapkan target pengurangan emisi gas rumah kaca sebesar 29% pada 2030 dan dengan
tambahan 15% melalui bantuan internasional, dengan basis tahun yang diproyeksikan adalah
2010. Sementara di sisi lain, Indonesia masih menghabiskan banyak anggaran untuk subsidi
bahan bakar fosil dan listrik. Mengingat pentingnya isu perubahan iklim dan kondisi
lingkungan negara saat ini, Indonesia mempertimbangkan menerapkan carbon tax. Diskusi
mengenai penerapan carbon tax telah dimulai dari 2009, namun belum memasuki ranah
publik dikarenakan adanya prioritas-prioritas lain serta pertimbangan analisa mengenai
dampak ekonomi dan lingkungan . Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Keuangan
pada tahun 2009 telah mengajukan tarif carbon tax awal sebesar Rp 80,000 per ton CO2 dan
meningkat 5% setiap tahunnya. Tarif awal tersebut lebih rendah daripada negara-negara
lainnya seperti Finlandia, Denmark, dan Swedia. Hasil dari perhitungan dengan tarif tersebut,
emisi karbon dapat berkurang hingga 10%, masih belum mencapai target NDC (Margenta,
2020). Baru-baru ini, pemerintah Indonesia mempertimbangkan rencana pengenaan pajak
karbon yang terungkap dalam dokumen Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-pokok
Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) 2022 yang disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani ke
DPR. Tarif yang diusulkan adalah sebesar Rp 75,000 per ton CO2 yang diestimasikan dapat
meningkatkan penerimaan negara sebesar 32 triliun rupiah dan menurunkan emisi sebesar
17% di akhir 2030 (Bloomberg, 2021)
Metode carbon tax dapat mendukung target Indonesia pada NDC dengan disertai oleh
usaha dan sistem ekonomi yang baik. Analisis mengenai implementasi carbon tax di
Indonesia dapat terlihat dalam diagram di bawah ini.

Gambar 1. Analisis SWOT pada Implementasi Carbon Tax di Indonesia


(Hindarto dalam Margenta, 2020)
Mengenakan tarif emisi karbon merupakan sebuah kebijakan yang perlu
diimplementasikan di Indonesia dengan alasan:
- sebagai strategi mitigasi perubahan iklim yang efektif
- memberikan pendapatan negara secara signifikan yang dapat menjadi solusi bagi defisit
anggaran negara
- dapat dilakukan bersamaan dengan pencabutan subsidi bahan bakar fosil sekaligus
mendorong penggunakan renewable energy, sehingga kemudian tercipta sebuah
ekonomi rendah karbon yang berkelanjutan.

Pasca Paris Agreement 2016, Indonesia melakukan ratifikasi berupa UU No 16 tahun


2016 dengan berbagai sasaran yang akan digunakan untuk menghitung potensi penerimaan
cukai bagi pemerintah Indonesia. Perhitungan potensi cukai menggunakan kriteria tidak ada
penurunan emisi, penurunan emisi karbon pada tingkat 29% dan 41%. Pehitungan
menggunakan best practice tarif internasional yang kemudian dikonversi menjadi rupiah
(Saputra, 2021).
Apabila skenario perhitungan adalah tarif tunggal cukai, maka potensi penerimaan
negara yang diperoleh dari tarif carbon tax (cukai) US$6 tanpa pengurangan emisi adalah
sebesar 87 triliun rupiah. Namun, jika terjadi penurunan emisi sebanyak 29%, maka akan
terjadi penurunan penerimaan negara secara proporsional menjadi 62 triliun rupiah.
Sedangkan pada tingkat penurunan 41%, potensi penerimaan negara menurun menjadi 51.6
triliun rupiah. Nilai tersebut berpotensi dari tahun ke tahun karena emisi karbon di Indonesia
hampir sama setiap tahun.
Implementasi carbon tax tidak hanya dilakukan pada skala industri, namun juga pada
skala rumah tangga. Pengenaan pajak pada sektor industri, di mana jumlah subjek pajak lebih
sedikit daripada rumah tangga, dapat mengalami kemudahan dalam pengumpulannya.
Sementara itu, pengenaan pajak skala rumah tangga yang menyasar secara langsung pada
individu konsumen memerlukan biaya administrasi yang tinggi. Oleh karena itu, carbon tax
harus diterapkan terlebih dahulu pada sektor industri, lalu secara perlahan diimplementasikan
pada sektor rumah tangga.
Gambar 2. Isu Pajak Karbon pada Artikel Media Massa dan Karya Ilmiah di Indonesia
(dikumpulkan oleh penulis)

Carbon Tax di Indonesia - Dampak Negatif


Pengenaan pajak karbon pada dasarnya akan memunculkan berbagai polemik karena
berpotensi dapat menurunkan pertumbuhan ekonomi, mengurangi kesejahteraan sosial,
bahkan dapat merusak daya saing industri. Hal ini disebabkan pajak karbon secara langsung
akan mempengaruhi sejumlah sektor industri seperti pertambangan, pabrik konstruksi, dan
perusahaan energi. Biaya produksi menjadi lebih tinggi, harga listrik dan transportasi akan
lebih mahal karena dibebani pajak. Pada akhirnya berdampak pada masyarakat umum sebagai
rantai transaksi terakhir.
Dengan dikenakannya pajak karbon, maka terjadi kenaikan harga bahan bakar fosil
sehingga berdampak juga pada harga pokok produksi beberapa sektor ekonomi yang
menggunakan bahan baku tersebut. Kenaikan harga pokok produksi ini menyebabkan harga
jual barang mengalami kenaikan. Inflasi yang terjadi di beberapa sektor ekonomi pada
akhirnya akan berdampak baik secara langsung maupun tidak langsung pada tingkat
kesejahteraan masyarakat khususnya pada masyarakat golongan marjinal. Smith (dalam Selvi,
2020) dalam hasil penelitiannya menujukkan bahwa pengenaan pajak karbon di UK lebih
membebani masyarakat miskin dibandingkan masyarakat golongan menengah ke atas yang
pada akhirnya menyebabkan kesenjangan ekonomi yang semakin melebar.
Inflasi juga akan mempengaruhi sektor investasi. Harga pokok produksi yang
melambung tinggi sedangkan daya beli masyarakat semakin rendah akibat kenaikan harga
bahan bakar fosil akan menyebabkan penurunan permintaan atas barang yang diproduksi.
Poterba (dalam Selvi, 2020) menyebutkan bahwa kenaikan biaya hidup akan berdampak pada
unemployement. Permintaan barang yang diproduksi menurun, cost bertambah, maka
perusahaan cenderung akan menghemat biaya pengeluaran utnuk tenaga kerja yang
menyebabkan terjadinya pengangguran. Pengangguran menyebabkan hilangnya penghasilan
seseorang, kemudia berdampak pada pendapatan pajak penghasilan dari pekerjaan
(employment income tax).
Untuk hal yang menyangkut daya saing (competitiveness), produk yang ditawarkan
antarperusahaan baik di dalam negeri maupun di dunia internasional turut terkena dampak
kenaikan harga pokok produksi (Zang & Baranzini, dalam Selvi, 2020). Semakin besar
ketergantungan suatu perusahaan dalam memproduksi suatu barang dengan menggunakan
bahan bakar fosil, maka semakin besar pula dampak pengenaan pajak karbon. Apabila
perusahaan dalam memproduksi barang tidak tergantung pada bahan bakar fosil, maka
pengenaan pajak karbon tidak memiliki dampak signifikan terhadap aktivitas perusahaan.
Selain dampak-dampak yang telah dijabarkan sebelumnya, terdapat pula sebuah studi
mengenai pengaruh carbon tax terhadap Gross Domestic Product (GDP). Ayu (2018) dalam
penelitiannya GDP, government household demand, dan private household demand dengan
skenario penerapan besaran tiga tarif carbon tax mengacu pada tarif pada tiga negara yang
memiliki kesamaan karakter dengan Indonesia, yaitu carbon tax sebesar US$ 20/ton CO2,
US$ 10/ton CO2, dan US$1,60/ton CO2 melalui simulasi model ekonomi CGE dengan
GTAP-E. Didapatkan hasil bahwa semakin besar penerapan pajak karbon, semakin besar
penurunan nilai GDP.

Gambar 3. Contoh Polemik Australia dalam Implementasi Pajak Karbon


(dikumpulkan oleh penulis)
Studi Pustaka

2021. Carbon Tax, Siapa Diuntungkan? Harian Kontan.


https://analisis.kontan.co.id/news/carbon-tax-siapa-diuntungkan (diakses pada 22 September
2021)

Ayu, Putri. 2018. The Impact of Carbon Tax Application on the Economy and Environment of
Indonesia. European Journal of Economics and Business Studies.

IQAir. 2020. World's most polluted countries 2020 (PM2.5).


https://www.iqair.com/world-most-polluted-countries (diakses pada 24 September 2021)

Margenta, I D M Raditya. 2020. Carbon Tax Implementation in Indonesia. The Purnomo


Yusgiantoro Center.

Saputra, Agustinus Imam. 2021. Pajak Karbon sebagai Sumber Penerimaan Negara dan
Sistem Pemungutannya. Jurnal Anggaran dan Keuangan Negara Indonesia Vol. 3 No.1

Selvi dkk. 2020. Urgensi Penerapan Pajak Karbon di Indonesia. Jurnal Reformasi
Administrasi Vol. 7 No.1. STIAMI.

World Bank. Pricing Carbon. https://www.worldbank.org/en/programs/pricing-carbon


(diakses pada 24 September 2021).

World Bank. 2021. World Total Population.


https://data.worldbank.org/indicator/SP.POP.TOTL?most_recent_value_desc=true. (diakses
pada 24 September 2021)

World Population Review. 2021. Carbon Footprint By Country 2021.


https://worldpopulationreview.com/country-rankings/carbon-footprint-by-country. (diakses
pada 24 September 2021)

World Resources Institute. 2020. This Interactive Chart Shows Changes in the World's Top
10 Emitters.
https://www.wri.org/insights/interactive-chart-shows-changes-worlds-top-10-emitters
(diakses pada 24 September 2021)

Anda mungkin juga menyukai