Anda di halaman 1dari 3

Langkah Menuju Transformasi Ekonomi Hijau

Pandemi Covid-19 memberikan perubahan luar biasa terhadap perekonomian serta


berbagai tatanan kehidupan masyarakat dunia. Menurut OECD, pandemi telah memicu resesi
ekonomi terparah dalam seabad terakhir dan mengakibatkan kerusakan besar pada sektor
kesehatan, pekerjaan dan kesejahteraan manusia. Perubahan besar tersebut tak terkecuali juga
terjadi pada Indonesia yang sempat mengalami kontraksi ekonomi. Meski demikian, ddi balik
kesulitan tersebut nyatanya pandemi memberikan kesempatan bagi beberapa sektor di
Indonesia untuk semakin tumbuh, salah satunya dengan transformasi ekonomi hijau. Pandemi
Covid-19 telah berhasil memberikan dampak pada tujuan berkelanjutan atau Sustainable
Development Goals. Isu berkelanjutan atau sustainability kian gencar digaungkan pasca
pandemi. Pandemi mampu menjadi momentum Indonesia untuk mempercepat transformasi
menuju ekonomi hijau. Artinya, pandemi mutlak telah berhasil mereposisi kembali berbagai
langkah ke depan dengan mengutamakan prinsip-prinsip keberlanjutan dalam pembangunan
Indonesia.
Pasca pandemi, ekonomi akan menuju pada pemulihan hijau dengan ekonomi sirkular
yang akan menjadi langkah penting untuk menuju siklus yang lebih baik. Ekonomi di masa
yang akan datang perlu berevolusi, mengingat selama ini ekonomi linear menunjukan adanya
raw materials. Barang diproduksi, digunakan, lalu dibuang, sehingga tak ada barang yang
didaur ulang. Oleh sebab itu, ekonomi linear tersebut perlu dikurangi sehingga dapat
bertransisi menuju ekonomi sirkular. Kondisi tersebut akan menyeimbangkan antara
keuntungan ekonomi, lingkungan sosial dan sumber daya, tapi juga meminimalkan waste
atau limbah yang dapat mencemari lingkungan. Sehingga, apapun yang digunakan akan dapat
diolah dan digunakan kembali sebagai input produksi.
Pemulihan ekonomi pasca pandemi dapat menjadi momentum pemerintah untuk
menerapkan aspek yang sejalan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan (Sustainable
Development Goals/SDGs). SDGs merupakan kesepakatan pembangunan global pada 2015
yang fokus pada agenda pembangunan berkelanjutan berdasarkan hak asasi manusia dan
kesetaraan, serta bertujuan mengurangi kemiskinan, kesenjangan dan melindungi lingkungan.
Penerapan prinsip pembangunan berkelanjutan akan mengurangi dampak bagi lingkungan,
mewujudkan ekonomi lebih tangguh, setara dan berkeadilan, serta memperluas lapangan
kerja baru.
Dilema Pembangunan dan Peningkatan Emisi
Perubahan iklim merupakan ancaman besar bagi kehidupan dan pembangunan global
dimana salah satu pemicunya adalah emisi Gas Rumah Kaca (GRK). Beragam aktivitas
manusia menyebabkan peningkatan konsentrasi GRK di atmosfer bumi. Pada prinsipnya,
efek rumah kaca sama dengan kondisi yang terjadi pada rumah kaca, di mana panas matahari
terjebak di atmosfer bumi dan menyebabkan suhu bumi menjadi hangat. Gas-gas di atmosfer
yang dapat menangkap panas matahari disebut gas rumah kaca. Secara alamiah, gas rumah
kaca dihasilkan dari kegiatan manusia sehari-hari, namun sejak tahun 1950-an emisi gas CO2
meningkat secara drastis yang disebabkan oleh semakin majunya peradaban dunia yang
berbanding lurus dengan konsumsi energi.
Dilema dihadapkan antara pembangunan dan isu lingkungan. Upaya negara-negara
untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dengan fokus pada pembangunan infrastruktur
dan sektor industri bagai pisau bermata dua. Di satu sisi, peningkatan kegiatan ekonomi akan
memperbaiki kesejahteraan, tetapi di sisi lain meningkatkan emisi karbon yang memicu
pemanasan global. Roda perekonomian yang berputar kencang memunculkan dampak
negatif. Hal itu terjadi baik di negara berkembang maupun negara maju. Peningkatan
konsumsi energi tak terbarukan untuk pembangunan akan meningkatkan pula emisi karbon.
Di sinilah letak dilema pembangunan infrastruktur dan industri dalam upaya menahan laju
pemanasan global.
China merupakan penyumbang emisi CO2 terbesar di dunia sebesar 10.175 juta metrik
ton CO2 dengan pertumbuhan ekonomi tahun 2019 sebesar 5,9% (sebelum pandemi).
Selanjutnya negara yang memberi sumbangan emisi terbesar kedua adalah Amerika Serikat
(5.285 juta Mt CO2) dengan pertumbuhan ekonomi 2,2%. Sementara Indonesia dengan
pertumbuhan tahun 2019 sebesar 5,02% berada di urutan ke-8 penghasil emisi CO 2 terbesar
(618 juta Mt CO2). Peningkatan aktivitas ekonomi domestik sebesar 1% akan menimbulkan
emisi karbon hampir dua kali lipat. Kondisi ini menunjukkan betapa aktivitas ekonomi
Indonesia menyebabkan potensi degradasi lingkungan yang tinggi.
Data IPCC (2021) menunjukkan bahwa emisi GRK, termasuk karbon dioksida (CO 2),
merupakan pendorong utama perubahan iklim yang menyebabkan reaksi berantai seperti
cuaca ekstrim, peningkatan permukaan air laut, dan bencana alam seperti kekeringan serta
banjir. Emisi GRK global yang telah meningkat sebesar 43% dalam dua dekade terakhir, atau
di tahun 2018 setara 51,8 miliar ton CO2 ekuivalen, di mana 31% dihasilkan dalam produksi
baja, semen, dan platik, lalu 27% dihasilkan oleh penggunaan listrik, 19% dihasilkan oleh
sektor peternakan dan pertanian, 16% dihasilkan oleh mobilisasi menggunakan transportasi,
selanjutnya 7% sisanya dihasilkan oleh barang penghangat dan pendingin, yang seluruhnya
mengindikasikan kemungkinan krisis iklim yang lebih buruk akan terjadi lebih cepat.
Konsumsi makanan diperkirakan bertanggung jawab atas 28% emisi global di semua
sektor, dengan kontribusi konsumsi produk hewani sebesar 62% atau sekitar 6,1–10,9
GtCO2eq dari jumlah total emisi GRK dari makanan. Estimasi tersebut mencakup semua
kegiatan produksi makanan, mulai dari pertanian, energi yang digunakan, produksi bahan
kimia dan mineral, penggunaan lahan dan alih fungsi lahan dan hutan, hingga sampah yang
dihasilkan dalam proses produksi bahan makanan, sekaligus emisi GRK dari distribusi bahan
makanan tersebut. Emisi GRK dari makanan akan terus meningkat seiring dengan
meningkatnya populasi manusia.
Sebagian besar sumber energi listrik dunia masih bergantung pada pembakaran bahan
bakar fosil mulai dari batu bara, minyak, dan gas. Seiring dengan peningkatan populasi,
kebutuhan energi listrik diprediksi akan terus meningkat dari tahun ke tahun, sehingga emisi
CO2 yang dihasilkan dari sektor ini juga terus meningkat. Padahal, sektor konsumsi listrik
saat ini telah menyumbang hampir dua pertiga dari pertumbuhan emisi CO 2. Bahkan, pada
tahun 2018, emisi CO2 dari energi meningkat sebesar 1,7% dan menjadi kenaikan emisi CO2
dari sektor energi tertinggi dalam sejarah, yaitu mencapai 33,1 Gt CO2 setara dengan 44 kali
emisi negara Jerman. Penggunaan batu bara untuk pembangkit listrik saja telah melampaui 10
Gt CO2, sebagian besar di Asia termasuk Indonesia.
Sama seperti makanan, produksi pakaian juga menghasilkan emisi GRK dalam setiap
tahapan produksinya, mulai dari ekstraksi bahan baku, pembuatan pakaian, hingga penjualan
pakaian tersebut. Industri pakaian bertanggung jawab atas 10% emisi karbon global tahunan,
atau setara dengan gabungan semua penerbangan internasional dan pelayaran laut per tahun.
Dengan laju pembelian pakaian saat ini, emisi GRK dari industri pakaian dapat melonjak
menjadi 50% pada tahun 2030.

Upaya Menuju Transformasi Ekonomi Hijau


Pembangunan rendah karbon merupakan salah satu strategi transisi menuju ekonomi
hijau dan pembangunan berkelanjutan, Pembangunan rendah karbon juga menjadi tulang
punggung menuju ekonomi hijau untuk mencapai visi Indonesia maju 2045 dan mencapai nol
emisi pada 2060. Transformasi ekonomi Indonesia menjadi ekonomi hijau merupakan salah
satu strategi agar Indonesia dapat keluar dari “middle income trap”. Ekonomi hijau dan
pembangunan rendah karbon akan mendorong pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan
kesejahteraan sosial dengan tetap menjaga kualitas lingkungan.
Pembangunan infrastruktur dan kegiatan industri tidak bisa dibendung untuk
mewujudkan kesejahteraan. Akan tetapi, perlu berbagai inovasi untuk mereduksi berbagai
dampak negatifnya terhadap lingkungan. Oleh sebab itu, langkah efisiensi dan konservasi
energi di sektor industri mutlak harus dilakukan. Kementerian Perindustrian RI
memperkirakan bahwa sektor industri mampu melakukan penghematan konsumsi energinya
hingga 30%. Salah satu langkah efisiensi tersebut adalah melalui pengembangan industri
hijau.
Transformasi ekonomi ramah lingkungan merupakan keniscayaan yang harus
dilakukan. Dukungan melalui seluruh instrumen kebijakan fiskal pun juga diperlukan untuk
memastikan transformasi berjalan mulus. Pada sisi fiskal, sebagai upaya dukungan
pemerintah terhadap trasnformasi ekonomi hijau, salah satunya adalah melalui penerapan
pajak karbon. Pemerintah, melalui Kementerian Keuangan berencana untuk menerapkan
pajak karbon. Pengenaan pajak karbon merupakan upaya Indonesia untuk mengatasi
perubahan iklim dan efek gas rumah kaca. Langkah penerapan pajak karbon ini sejalan
dengan tujuan Indonesia membawa ekonomi hijau dengan mengurangi emisi karbon 1,02
miliar ton pada 2030 mendatang. Meski demikian, pengenaan pajak karbon tetap akan
dilakukan secara berharap dan hati-hati menunggu kesiapan dunia industri, keselarasan
dengan penerapan perdagangan karbon dan juga pemulihan ekonomi pasca pandemi.
Tindakan manusia dapat menentukan arah iklim di masa depan. Hal ini tentunya
memberi secercah harapan bahwa setiap tindakan, aksi, dan langkah yang diambil oleh setiap
individu berperan penting untuk mengurangi emisi CO 2 dan menentukan arah perubahan
iklim ke depan. Oleh sebab itu, sekaligus dalam rangka menjaga momentum pertumbuhan
ekonomi, Indonesia perlu bergegas melaksanakan transisi ekonomi hijau yang
memprioritaskan pembangunan rendah karbon yang inklusif dan berkeadilan demi menjaga
kelestarian bangsa. Semoga.

Anda mungkin juga menyukai