Ternyata perubahan suhu yang memicu perubahan iklim ini juga memicu
mutasi perubahan virus dan bakteri menjadi lebih cepat dan variatif. Pandemi
akan menjadi hal sering terjadi, manusia dituntut untuk bisa terus menciptakan
obat dan vaksin baru dalam waktu yang cepat (dilansir dari The Unhabitable
Earth, Life After Warming dalam Narasi tv). Padahal untuk membuat vaksin
Covid-19 saja dibutuhkan waktu 2 tahun dan 1 tahun lebih untuk bisa memvaksin
seleruh masyarakat dunia. Apabila mutasi virus dan bakteri terjadi lebih cepat,
variatif, dan massif, maka akan kewalahan atau bahkan tidak bisa mengejar target
vaksin atau pun obat untuk mengatasinya.
Usia bumi sudah mencapai ribuan miliar dan terus bertambah. Segala
sumber daya yang ada di bumi dipakai terus menerus untuk kehidupan manusia.
Sehingga di era sekarang, sumber daya alam yang ada di bumi terus tergerus,
karena tidak adanya pembaharuan lagi. Selama ini pemakaian SDA dilakukan
dengan cara eksploitatif sehingga menimbulkan permasalahan baru di bidang
lingkungan yang juga berdampak pada perekonomian. Sistem ekonomi yang
eksploitatif, saat ini sudah tidak relevan untuk digunakan. Jika sistem ekonomi
eksploitatif terus saja digunakan, kehidupan makhluk hidup di bumi akan
terganggu. Seperti adanya kegiatan pengerukan sumber daya alam berlebihan
yang berakibat pada terjadinya bencana, ditambah dengan adanya perubahan iklim
yang akan terus menimbulkan masalah seperti yang sudah dijelaskan d atas. Dari
Green Economy atau ekonomi hijau merupakan salah satu agenda bahasan
dalam KTT G20 di Bali. Ekonomi hijau berawal dari keprihatinan atas
konsekuensi sistem ekonomi yang kian merusak lingkungan. Mengutip
keterangan di laman resmi United Nations Environment Programe (UNEP),
ekonomi hijau didefinisikan sebagai ekonomi yang rendah karbon, hemat sumber
daya dan inklusif secara sosial.
Berikut peta yang menyajikan skor empat dimensi pertumbuhan hijau pada
tahun 2019 berdasarkan Green Growth Index Technical Report no. 16 Desember
2020. Di antara keempat dimensi tersebut, skor dalam dimensi peluang ekonomi
hijau adalah yang terendah di semua wilayah dan memiliki varian yang besar
antar negara, Tidak ada negara yang mencapai skor sangat tinggi dan hanya empat
negara memiliki skor tinggi, yang semuanya berada di Eropa (misalnya Swedia,
Denmark, Republik Ceko, dan Jerman). Dari 124 negara dengan ketakutan untuk
dimensi ini, 44% dan 29% masing-masing memiliki skor sangat rendah dan
rendah. Ini adalah sejumlah besar negara, yang sesuai dengan sekitar 7461 juta m
dari luas daratan global. Tiga puluh negara memiliki skor sedang antara 40 dan
60.
Contoh lain dari praktik ekonomi hijau adalah menggunakan bahan bakar
non fosil yang tak menghasilkan banyak zat karbon. Pada 2030, Swedia
menargetkan bebas bahan bakar fosil di sektor transportasi. Lalu, pada 2045,
Dari besarnya semua potensi itu, saat ini pemanfaatan energi hijau itu baru
mencapai 11 GW atau 3% dari total potensi yang ada. Sehingga Ditjen EBTKE
menilai bahwa ini menjadi tantangan bagi Indonesia untuk mengejar netral karbon
atau net zero emission (NZE) yang ditargetkan pada tahun 2060.
Oleh karena itu, strategi pengembangan EBT yang pentahelix tadi menjadi
penting agar berjalan dengan baik, sehingga target RUEN (Rencana Umum Energi
Nasional) dan RUED (Rencana Umum Energi Daerah) bisa terwujud dan tentunya
memerlukan kewenangan yang lebih besar dan perlu kesiapan dari daerah.
Saat ini sudah 22 provinsi dari 32 provinsi yang ada di Indonesia, telah
menyusun RUED yang secara substansial disusun dengan mengacu pada RUEN.
RUED merupakan dokumen rencana pembangunan jangka panjang daerah di
sektor energi berdimensi waktu hingga tahun 2050 yang legalitasnya ditetapkan
dengan peraturan daerah. Melalui kewenangan ini diharapkan pemerintah daerah
dapat memberikan dukungan yang lebih optimal dalam upaya pencapaian target
pembangunan nasional di sektor energy terbarukan.
Riset menyatakan 100.000 ton hidrogen hijau yang setara 335 juta liter
solar, mampu mengurangi emisi karbon sebesar 880.000 ton CO2e. Apabila
hidrogen hijau digunakan sebagai sumber energi, hasil akhirnya hanyalah air.
Oleh sebab itu, hidrogen hijau adalah energi yang selama ini menjadi harapan
seluruh masyarakat dunia. Hidrogen hijau berpotensi untuk merevolusi tata cara
dunia menggunakan energi dan mengurangi ketergantungan industri-industri berat
terhadap bahan bakar fosil. (dilansir dari Katadata.co.id)
Oleh karena itu, pemerintah juga segera melakukan diskusi dan negosiasi
dengan Fortescue Future Industries (FFI) dan sudah melakukan teken kontrak
dengan Mitsubishi Cosporation melalui PT Pertamina (Persero), PT Pupuk
Indonesia (Persero) sepakat untuk mengembangkan bisnis Green Hydrogen dan
Green Ammonia Value Chain serta Carbon Capture Utilization and Storage
(CCUS).
EHD bisa dipandang sebagai kemunculan model bisnis dan solusi peluang
bisnis yang berkaitan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG).
Transisi menuju ekonomi hijau menyangkut perubahan institusional atau rules of
the game, yakni perubahan aturan informal (seperti norma dan tradisi) dan formal
(seperti regulasi dan kebijakan) yang memfasilitasi interaksi sosial ekonomi dan
Dalam hal ini keberlanjutan menjadi suatu hal yang harus dan disertai
serangkaian kebijakan dan regulasi terkait, termasuk dekarbonisasi. Teknologi
digital ini dapat melibatkan blockchain, artificial intelligence (AI) beserta
machine learning (ML) atau deep neural networks (DNN), jejaring antar obyek
fisik atau internet of things (IoT), big data, cloud computing, dan digital twin
yang merupakan bagian dari Revolusi Industri 4.0. Kolaborasi antara teknologi ini
dan teknologi lainnya, seperti sensor, robot, satelit, drone, GPS, dan bahkan
smartphone, menyediakan kapabilitas yang lebih besar lagi untuk mendukung
percepatan peralihan menuju ekonomi hijau melalui berbagai platform digital.
Dalam hal ini, pengawasan kualitas udara dan lingkungan dengan IoT low-
power wide area network (LPWAN) dapat menjadi solusi untuk memantau
kualitas udara dalam kawasan yang relatif luas. LPWAN menghadirkan solusi
yang efisien, terjangkau, dan mudah dalam penerapannya untuk jejaring IoT
berskala masif dengan aplikasi yang ber-bandwidth rendah dan muatan data relatif
kecil-kecil.
Pada sektor energi, terutama energi baru dan terbarukan (EBT), seperti
yang sudah dilakukan oleh Swedia, data produksi dan konsumsi listrik dapat
dicatat secara real time melalui pemanfaatan sensor dan IoTs. Utilitas EBT
(seperti meteran pintar dari listrik yang dipasok dari pembangkit berbasis EBT)
dengan para prosumen (produsen sekaligus konsumen) dapat di-set untuk saling
terkoneksi satu dengan lainnya dan terintegrasi membentuk korporasi listrik
secara virtual, yakni dengan transmisi data dan komputasi awan.
Pasalnya, ekonomi hijau yang inklusif itu tak dapat berlangsung dengan
sendirinya mengikuti mekanisme pasar yang telah ada. Investasi hijau, keuangan
hijau, dekarbonisasi, hilirisasi batubara, penerapan pajak karbon, dan penguatan
inklusi sosial dalam green growth merupakan contoh-contoh kebijakan intervensi
tersebut. Sementara dari sisi digital antara lain adalah kebijakan percepatan dan
perluasan transformasi digital.
Selain itu, kendatipun demikian, besarnya potensi dari ekonomi hijau ini
tidak serta-merta langsung menarik minat investor. Risiko yang tinggi dan proses
yang panjang menjadi salah satu faktor pemberat bagi investor untuk masuk ke
sana. Ditambah lagi, proyeksi keuntungan yang masih belum bisa dipastikan.
Jelas tak mungkin investor mau rugi terus menerus dalam suatu investasi.
Maka diperlukan pemikiran jangka panjang yang sistematis dan konferhensif
untuk memprediksi apakah proyek green economy ini akan mendatangkan
Sumber Utama
L.A. Acosta, S. Zabrocki, J.R. Eugenio, R. Sabado Jr., S.P. Gerrard, M. Nazareth,
and H.G.H. Luchtenbelt, (2020) Green Growth Index 2020 –
Measuring performance in achieving SDG targets, GGGI Technical
Report No. 16, Green Growth Performance Measurement Program,
Global Green Growth Institute (GGGI), Seoul, South Korea
[Contributors: A. Sharma, A. Bhatt, A. Izmestiev, B. Liu, C. Hopkins,
C. Krug, D. Eaton, F. Eboli, F. Tubiello, F. Sheng, G. Lafortune, H.
Rankine, J. Vause, J. John-Norville, J. Maughan, J.G. Pineda, L.
Farnia, M. Astralaga, N. Cantore, N. Nierhoff, N.G. Esambe, R.
Hogeboom, R. Hamwey, R. Lasco, R. Cavatassi, R.G. Carmenates, S.
Fekadu, S. Chonabayashi, S. Felix, S. Liu, T. Arndt, U.A. Iftikhar, V.
Todorov, Z. Zarnic, Nera Mariz Puyo, Sarena Grace Quiñones, and
DervinJohnValencia]
https://greengrowthindex.gggi.org/wp-content/uploads/2021/03/2020-
Green-Growth-Index.pdf (diakses pada 26/06/2022)
Tarsudi. 2022. Potensi Besar Indonesia pada Ekonomi Hijau dan Digital. 10 Mei
2022. https://diginomi.sumutprov.go.id/2022/05/10/potensi-besar-
indonesia-pada-ekonomi-hijau-dan-digital/ (diakses pada 26/06/2022)
Sumber Tambahan
Ferdian, Habib Allbi. Fikrie, Muhammad. 2022. Ini Negara dan Kota yang Bakal
Tenggelam di 2050 Jakarta Paling Terancam. Kumparan.com. 28
Maret 2022. https://kumparan.com/kumparansains/ini-negara-dan-
kota-yang-bakal-tenggelam-di-2050-jakarta-paling-terancam-
1xlr7Hu8xFf/full (diakses pada 26/06/2022)