Anda di halaman 1dari 20

Green Economy and Digital Economy: Indonesia Sampai Mana?

Bumi berada bada fase percepatan pergantian iklim yang memicu


perubahan besar pada kerusakan alam. Setidaknya, sejumlah ilmuwan telah
memperingatkan bakal terjadi "kiamat kecil", jika manusia tidak segera
memperbaiki lingkungan. Kata ‘kecil’ disini tidak bisa dianggap remeh, karena
walau kecil dampaknya akan sangat menyengsengsarakan kehidupan manusia di
bumi. Bahkan, ada kelompok ilmuwan yang sudah menghitung kapan jadwal
kiamat tiba (2050) dan akan seperti apa gambarannya. Pertengahan 2019,
Breakthrough National Centre for Climate Restoration mengungkap riset tentang
kiamat 2050. Riset yang diterbitkan Dailymail, 15 Juni 2019, menyatakan bumi
akan terdampak perubahan iklim yang cukup signifikan. Akibatnya manusia
menjadi sulit beradaptasi dan musnah.

By Nathanael Argo Wijaya Kusnardi/F0219104/UAS Penganggaran Perusahaan B


Gambar di atas (dilansir dari Breakthrough - National Centre for Climate
Restoration 2019 dalam Narasi tv) mengilustrasikan bagaimana kondisi bumi jika
setelah tahun 2050 dengan kondisi perubahan panas suhu bumi yang secara
konstan naik, dikarenakan tidak adanya tindakan pengereman naiknya suhu ini,
dimana industri dan kegiatan manusia yang terus-menerus tidak berbasis hijau.
Akan banyak daratan yang tenggelam terendam air oleh lapisan es dari kutub
utara dan selatan yang mencair, termasuk negara kita Indonesia.

Berdasarkan riset oleh Union of Concerned Scientists (UCS), Maladewa,


dengan 1.200 pulau dan dengan 540.000 orang adalah negara pertama di Bumi
yang terancam tenggelam. Jika Maladewa mengalami kenaikan permukaan laut 45
sentimeter, maka negara itu akan kehilangan 77 persen daratannya pada 2100.
Negara lainnya adalah Kiribati. Pulau kecil di tengah samudera Pasifik dengan
populasi kurang lebih 120.000 orang. Kiribati bisa kehilangan dua pertiga
daratannya jika permukaan laut naik 91 centimeter. Negara-negara besar dengan
pesisir pantai juga akan segara terancam tenggelam di tahun 2050, seperti Cina,
Vietnam, Thailand, Filipina, Amerika, Rusia, Bangladesh, dan Nigeria. Dan akan
terus bertambah jumlah wilayah pesisir yang akan terendam jika tidak segera
diatasi (dilansir dari Kumparan.com).

Ternyata perubahan suhu yang memicu perubahan iklim ini juga memicu
mutasi perubahan virus dan bakteri menjadi lebih cepat dan variatif. Pandemi
akan menjadi hal sering terjadi, manusia dituntut untuk bisa terus menciptakan
obat dan vaksin baru dalam waktu yang cepat (dilansir dari The Unhabitable
Earth, Life After Warming dalam Narasi tv). Padahal untuk membuat vaksin
Covid-19 saja dibutuhkan waktu 2 tahun dan 1 tahun lebih untuk bisa memvaksin
seleruh masyarakat dunia. Apabila mutasi virus dan bakteri terjadi lebih cepat,
variatif, dan massif, maka akan kewalahan atau bahkan tidak bisa mengejar target
vaksin atau pun obat untuk mengatasinya.

Jumlah penduduk yang diproyeksikan akan terus meningkat juga akan


menambah masalah berupa kelaparan massal dan kekurangan air bersih untuk
setiap orang di dunia. PBB dalam The World Population Prospect (dalam Narasi
tv) menyatakan pada 2050 angka jumlah penduduk akan menjadi 9,8 miliar dari

By Nathanael Argo Wijaya Kusnardi/F0219104/UAS Penganggaran Perusahaan B


7,6 miliar di tahun 2020. Pertambahan penduduk yang tidak diiringi oleh lahan
pertanian yang memadahi serta masalah perubahan iklim yang menghambat
produksi pertanian menjadikan masalah populasi ini semakin rumit, belum
ancaman hilangnya sebagian besar daratan karena mencairnya es di kutub.

Masalah-masalah yang akan timbul di atas, tentu akan menjadi pemicu


adanya perang perebutan kekuasaan wilayah yang dapat terjadi antar negara.
Dominasi negara dengan kekuatan militer yang kuat akan menguasi negara
dengan kekuatan militer yang lemah untuk bisa melanjutkan kehidupan
masyarakatnya masing-masing yang semakin terdesak karena masalah yang
timbul diakibatkan perubahaan iklim. Perang nuklir bisa saja terjadi pada masa-
masa dimana jika masalah yang ditimbulkan oleh perubahan iklim dan kerusakan
alam di atas muncul. Ego negara semakin terlihat jelas dalam kondisi demikian.

Indonesia juga menjadi penyumbang kerusakan bagi bumi, Nur selaku


Direktur Eksekutif Walhi dalam sebuah diskusi Dosa Oligarki (29/1/20)
mengatakan bahwa Indonesia menyumbang pemanasan global karena sering
melakukan penggundulan hutan, menghancurkan lahan gambut yang
menyebabkan emisi gas rumah kaca dan juga kebakaran hutan. Maraknya
pertambangan batu bata dan pembakarannya untuk PLTU-PLTU juga menjadi
salah satu unsur penyumbang dari pemanasan global itu sendiri, serta penggunaan
kendaraan bermotor pribadi yang massif di Indonesia (dilansir dari Suara.com)

Usia bumi sudah mencapai ribuan miliar dan terus bertambah. Segala
sumber daya yang ada di bumi dipakai terus menerus untuk kehidupan manusia.
Sehingga di era sekarang, sumber daya alam yang ada di bumi terus tergerus,
karena tidak adanya pembaharuan lagi. Selama ini pemakaian SDA dilakukan
dengan cara eksploitatif sehingga menimbulkan permasalahan baru di bidang
lingkungan yang juga berdampak pada perekonomian. Sistem ekonomi yang
eksploitatif, saat ini sudah tidak relevan untuk digunakan. Jika sistem ekonomi
eksploitatif terus saja digunakan, kehidupan makhluk hidup di bumi akan
terganggu. Seperti adanya kegiatan pengerukan sumber daya alam berlebihan
yang berakibat pada terjadinya bencana, ditambah dengan adanya perubahan iklim
yang akan terus menimbulkan masalah seperti yang sudah dijelaskan d atas. Dari

By Nathanael Argo Wijaya Kusnardi/F0219104/UAS Penganggaran Perusahaan B


hasil pemikiran tersebut, maka timbul sebuah konsep green economy atau
ekonomi hijau.

Green Economy atau ekonomi hijau merupakan salah satu agenda bahasan
dalam KTT G20 di Bali. Ekonomi hijau berawal dari keprihatinan atas
konsekuensi sistem ekonomi yang kian merusak lingkungan. Mengutip
keterangan di laman resmi United Nations Environment Programe (UNEP),
ekonomi hijau didefinisikan sebagai ekonomi yang rendah karbon, hemat sumber
daya dan inklusif secara sosial.

Dalam ekonomi hijau, pertumbuhan lapangan kerja dan pendapatan bisa


dicapai lewat investasi dari swata ataupun publik. Caranya, dengan menggunakan
infrastruktur dan aset yang dapat memangkas emisi karbon dan polusi,
meningkatkan efisiensi energi dan sumber daya, serta pencegahan hilangnya
keanekaragaman hayati dalam ekosistem.

Dengan kata lain, menurut Armand Kasztelan (2017), pertumbuhan


ekonomi dengan konsep ekonomi hijau diharapkan bisa sejalur dengan tujuan
pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Hal ini tak terlepas dari
pertumbuhan penduduk yang cepat dan berdampak langsung pada pertumbuhan
ekonomi serta konsumsi SDA.

Berikut peta yang menyajikan skor empat dimensi pertumbuhan hijau pada
tahun 2019 berdasarkan Green Growth Index Technical Report no. 16 Desember
2020. Di antara keempat dimensi tersebut, skor dalam dimensi peluang ekonomi
hijau adalah yang terendah di semua wilayah dan memiliki varian yang besar
antar negara, Tidak ada negara yang mencapai skor sangat tinggi dan hanya empat
negara memiliki skor tinggi, yang semuanya berada di Eropa (misalnya Swedia,
Denmark, Republik Ceko, dan Jerman). Dari 124 negara dengan ketakutan untuk
dimensi ini, 44% dan 29% masing-masing memiliki skor sangat rendah dan
rendah. Ini adalah sejumlah besar negara, yang sesuai dengan sekitar 7461 juta m
dari luas daratan global. Tiga puluh negara memiliki skor sedang antara 40 dan
60.

By Nathanael Argo Wijaya Kusnardi/F0219104/UAS Penganggaran Perusahaan B


By Nathanael Argo Wijaya Kusnardi/F0219104/UAS Penganggaran Perusahaan B
By Nathanael Argo Wijaya Kusnardi/F0219104/UAS Penganggaran Perusahaan B
Peta skor untuk penggunaan sumber daya yang efisien dan berkelanjutan
dan perlindungan modal alam memiliki beberapa kesamaan, dengan sebagian
besar negara memiliki skor tinggi. Dimensi ini memiliki hampir jumlah negara
yang sama dengan skor sedang, 52 dan 59 untuk penggunaan sumber daya yang
efisien dan berkelanjutan dan perlindungan modal alam, masing-masing, yang
keduanya sesuai dengan sekitar 70,28 juta m2 luas daratan dunia. Luas daratan
yang dicakup oleh negara-negara dengan tidak hanya sedang, tetapi yang lebih
penting adalah skor tinggi dan sangat tingg. sangat relevan karena dimensi ini
berhubungan dengan keberlanjutan pemanfaatan dan perlindungan efektif sumber
daya alam. Untuk efisien dan penggunaan sumber daya berkelanjutan, dari 148
negara dengan skor untuk dimensi ini, 49% dan 5% memiliki skor tinggi dan
sangat tinggi, masing-masing. Perlindungan modal alam, yang merupakan
dimensi dengan jumlah negara dengan skor tertinggi, memiliki sedikit lebih tinggi
skor negara dari penggunaan sumber daya yang efisien dan berkelanjutan. Keluar
dari 194 negara dengan skor untuk dimensi ini, 58% memiliki skor tinggi skor
dan, seperti dimensi lainnya, dengan tambahan 5% memiliki juga skor yang
sangat tinggi. Negara-negara ini mencakup wilayah daratan gabungan cakupan
57,33 juta meter persegi.

Swedia merupakan negara pertama yang mengesahkan undang-undang


perlindungan lingkungan sejak 1967. Negara Skandinavia itu mengelola
ekonominya secara substansial sembari mengikis emisi karbon dan polusi. Saat
ini, lebih dari setengah pasokan energi nasional Swedia berasal dari energi
terbarukan. Di perkotaan, Stockholm yang merupakan Ibukota Swedia, telah
mengalami perkembangan jumlah populasi yang signifikan. Pada 1950-an kota itu
sudah padat penduduk, sementara jutaan orang perlu disuplai dengan air, udara
dan energi bersih. Stockhlom juga mendirikan taman nasional di perkotaan untuk
melindungi ruang hijau. Ini merupakan yang pertama di dunia.

Contoh lain dari praktik ekonomi hijau adalah menggunakan bahan bakar
non fosil yang tak menghasilkan banyak zat karbon. Pada 2030, Swedia
menargetkan bebas bahan bakar fosil di sektor transportasi. Lalu, pada 2045,

By Nathanael Argo Wijaya Kusnardi/F0219104/UAS Penganggaran Perusahaan B


negara itu berharap benar-benar lepas dari penggunaan bahan bakar fosil serta
mewujudkan keseimbangan iklim.

Penelitian GGGI 2020, dijelaskan pada sebuah studi kasus di negara-


negara termasuk Hongaria, Meksiko, dan Uzbekistan. Dalam studi ini
disimpulkan, skenario kebijakan dan investasi harus dibuat untuk berbagai sektor,
yang meliputi:

 Energi – mengurangi produksi batubara, meningkatkan energi terbarukan


pasokan (misalnya, matahari, angin)
 Transportasi – meningkatkan kendaraan listrik, dengan penggunaan yang
efisien teknologi transportasi
 Air – menerapkan kebijakan harga air, meningkatkan efisiensi teknologi
irigasi
 Pertanian – mengurangi kerugian produksi, mengurangi pupuk
menggunakan
 Kehutanan – meningkatkan reboisasi atau mengurangi menerapkan
kebijakan deforestasi kehutanan cerdas iklim
 Limbah – meningkatkan tingkat daur ulang, mengurangi limbah makanan

Lalu bagaimana dengan Indonesia? Indonesia mempunyai potensi yang


sangat besar dalam ekonomi hijau. Oleh karena itu, pemerintah perlu mulai
menata ekonomi hijau tersebut karena di masa depan banyak negara mulai
meninggalkan barang-barang yang berbahanbakarkan fosil. Potensi kemampuan
energi hidro (hydro power) yang dimiliki oleh Sungai Kayan diprediksi bisa
memproduksi 11-13 ribu megawatt. Selain Sungai Kayan, Indonesia juga punya
lebih dari 4.400 sungai sedang dan sungai besar yang juga memiliki potensi untuk
menghasilkan energi hijau. Sungai Mamberamo juga memiliki potensi untuk
menghasilkan energi listrik sebesar 24 ribu megawatt. Masih banyak lagi sungai
yang dapat menjadi potensi sumber energi terbarukan di Kalimantan. Selain itu,
tak hanya lewat energi hidro, Indonesia juga memiliki energi hijau lain dalam
bentuk geotermal atau energi panas bumi dengan potensi energi 29 ribu megawatt.
Selain itu, Indonesia juga masih memiliki potensi energi dari angin dan arus
bawah laut (dilansir dari diginomi.sumutprov.go.id).

By Nathanael Argo Wijaya Kusnardi/F0219104/UAS Penganggaran Perusahaan B


Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi
(EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat,
bahwa Indonesia ternyata memiliki potensi energi baru terbarukan atau energi
hijau mencapai total 3.685 Giga Watt (GW).

Dari besarnya semua potensi itu, saat ini pemanfaatan energi hijau itu baru
mencapai 11 GW atau 3% dari total potensi yang ada. Sehingga Ditjen EBTKE
menilai bahwa ini menjadi tantangan bagi Indonesia untuk mengejar netral karbon
atau net zero emission (NZE) yang ditargetkan pada tahun 2060.

Oleh karena itu, strategi pengembangan EBT yang pentahelix tadi menjadi
penting agar berjalan dengan baik, sehingga target RUEN (Rencana Umum Energi
Nasional) dan RUED (Rencana Umum Energi Daerah) bisa terwujud dan tentunya
memerlukan kewenangan yang lebih besar dan perlu kesiapan dari daerah.

Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Bina Pembangunan Daerah


Kementerian Dalam Negeri, Sugeng Haryono mengungkapkan pentingnya peran
unsur penyelenggara Pemerintah Daerah dalam mendukung pencapaian target
kebijakan pembangunan yang sudah ditetapkan secara nasional terutama dalam
dokumen RPJMN dalam konteks mendukung transisi energi.

Pemerintah daerah perlu melakukan mitigasi sejak dini. "Upaya terus


menerus perlu dilakukan untuk memastikan bentuk peran Pemerintah Daerah
untuk mendukung percepatan pencapaian target kebijakan transisi energi nasional.
Mengingat dampak serius yang ditimbulkan, perlu disikapi secara sungguh-
sungguh melalui upaya strategi dalam rangka mitigisi," tandas Sugeng (dilansir
dari cnbcindonesia.com)

Saat ini sudah 22 provinsi dari 32 provinsi yang ada di Indonesia, telah
menyusun RUED yang secara substansial disusun dengan mengacu pada RUEN.
RUED merupakan dokumen rencana pembangunan jangka panjang daerah di
sektor energi berdimensi waktu hingga tahun 2050 yang legalitasnya ditetapkan
dengan peraturan daerah. Melalui kewenangan ini diharapkan pemerintah daerah
dapat memberikan dukungan yang lebih optimal dalam upaya pencapaian target
pembangunan nasional di sektor energy terbarukan.

By Nathanael Argo Wijaya Kusnardi/F0219104/UAS Penganggaran Perusahaan B


Selain itu, Indonesia juga memiliki salah satu bahan bakar dari transisi
energi yang sudah ada di depan mata yakni hidrogen hijau dan amoniak hijau.
Keduanya akan diproduksi di Indonesia dan diperkirakan akan diserap oleh
industri-industri berpolusi tinggi seperti transportasi, perkapalan, dan sektor
industri berat lainnya. Hidrogen hijau adalah bahan bakar tanpa emisi karbon. Hal
ini bisa terjadi karena proses pemecahan air menjadi hidrogen hijau dan oksigen
dilakukan dengan menggunakan listrik dari energi terbarukan sehingga emisinya
hanyalah oksigen yang dilepas ke udara.

Riset menyatakan 100.000 ton hidrogen hijau yang setara 335 juta liter
solar, mampu mengurangi emisi karbon sebesar 880.000 ton CO2e. Apabila
hidrogen hijau digunakan sebagai sumber energi, hasil akhirnya hanyalah air.
Oleh sebab itu, hidrogen hijau adalah energi yang selama ini menjadi harapan
seluruh masyarakat dunia. Hidrogen hijau berpotensi untuk merevolusi tata cara
dunia menggunakan energi dan mengurangi ketergantungan industri-industri berat
terhadap bahan bakar fosil. (dilansir dari Katadata.co.id)

Sedangkan amonia juga berpotensi menjadi bahan bakar alternatif untuk


industri di masa depan. Indonesia sebagai satu dari lima besar negara di dunia
yang memproduksi amonia punya peluang besar dengan potensi itu. Amoniak
memiliki peran untuk membantu mewujudkan terciptanya industri hijau,
mengingat kandungan amoniak yang merupakan gas alam senyawa nitrogen dan
hidrogen. Amoniak juga tidak mengandung senyawa karbon, sehingga tidak
mengeluarkan CO2 (karbon dioksida) saat digunakan untuk bahan bakar. Hal ini
berpotensi menciptakan emisi karbon yang jauh lebih kecil, meski saat ini masih
harus diberikan aditif bahan bakar pilot tambahan untuk dapat membakar
amoniak.

Oleh karena itu, pemerintah juga segera melakukan diskusi dan negosiasi
dengan Fortescue Future Industries (FFI) dan sudah melakukan teken kontrak
dengan Mitsubishi Cosporation melalui PT Pertamina (Persero), PT Pupuk
Indonesia (Persero) sepakat untuk mengembangkan bisnis Green Hydrogen dan
Green Ammonia Value Chain serta Carbon Capture Utilization and Storage
(CCUS).

By Nathanael Argo Wijaya Kusnardi/F0219104/UAS Penganggaran Perusahaan B


Mengutip website resmi Kementrian LHK, terkait dengan semangat green
growth itu serta pemanfaatan potensi energy hijau yang ada, pemerintah terus
melakukan penyesuaian, sebagaimana kebutuhan sosiologis masyarakat, lokal,
nasional maupun internasional, dengan arah dan aktualisasi secara nyata untuk
green economy. Unsur-unsur penting dalam ekonomi hijau, meliputi green
technology, green energy, green industries, green products, green life, low
carbon, green growth, dan green management.

Green technology mengurangi emisi gas rumah kaca atau carbon


equivalent diantaranya dengan menggunakan energi secara efisien dalam berbagai
kegiatan masyarakat. Teknologi hijau juga berhubungan dengan segala segala
peralatan yang kita pakai sehari-hari, seperti kendaraan bermotor, lift kantor,
handphone, pompa air, dll. Dalam hal kendaraan bermotor Indonesia juga
berkomitmen untuk mengurasi gas emisi karbon dengan turut menjadi anggota
Konfrensi Paris. Indonesa juga mempersiapkan diri sebagai produsen baterai
mobil yang akan diprakarsai oleh perusahaan besar seperti Hyundai. Terdapat
wacana pula bahwa Tesla juga akan membangun markasnya di Indonesia untuk
pengolahan nikel menjadi lithium untuk produksi baterai mobil listrik.

Begitupun green industries dan green energy, berkenaan dengan industri


dengan efisiensi energi dan penggunaan sumberdaya serta meningkatkan kualitas
lingkungan. Hal tersebut mengarah pada economy growth yang ramah lingkungan
atau green economy, dan aktualisasi dengan gaya hidup green life.

Green life juga memerlukan green management, artinya pengelolaan


dimana tanggung jawab sosial masyarakat dimana masyarakat secara sadar
melakukan segala kegiatan dengan menghemat energy dan mengatur
penggunaannya sebaik mungkin.

Dan untuk itu, manajemen dalam kehidupan keseharian, bermasyarakat,


dan dalam berpemerintahan serta bernegara sekalipun, menjadi sudah sangat perlu
untuk dapat dan diaktualisasikan prinsip-prinsip ramah lingkungan atau orientasi
green. Dalam situasi itu, maka kepemimpinan masyarakat, dunia usaha,
organisasi, kelembagaan, dan komunitas-komunitas diperlukan untuk bisa

By Nathanael Argo Wijaya Kusnardi/F0219104/UAS Penganggaran Perusahaan B


membina masyarakat menuju kehidupan hijau. Karena langkah besar yang
diambil pemerintah pusat dalam mengusahakan energy hijau, industry hijau,
ekonomi hijau, pembangunan hijau, akan sia-sia jika dari masyarakat sendiri tidak
paham pentingnya, manfaat, dan langkah-langkah kecil hidup hijau.

Green leadership merupakan kepemimpinan berwawasan lingkungan,


bersemangat, proaktif, penuh inisiatif dan kreatif terhadap kepentingan orang
banyak dan alam semesta. Mereka memiliki visi keseimbangan antara daya topang
ekologi serta sistem sosial dan pembangunan, baik fisik maupun non fisik.

Pada sisi lain, kepemimpinan green ini juga mengedepankan kepentingan


rakyat dalam mengakses sumber daya yang ada, dan selanjutnya akan
memformulasi kebijakan ramah lingkungan, berpihak pada kepentingan rakyat,
yang berlangsung secara berkelanjutan. Peran cabang kekuasaan pemerintahan
eksekutif yaitu Gubernur, Bupati dan Walikota maupun peran cabang kekuasaan
pemerintahan legislatif, DPRD, sangat diperlukan untuk menjamin kelestarian
lingkungan hidup di Daerah.

Dalam rangka mewujudkan ekonomi hijau dan melaksanakan unsur-


unsurnya pemerintah pusat juga telah melakukan perencanaan inisiatif
Pembangunan Rendah Karbon (PRK) dalam mencapai NZE. Dalam
implementasinya, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional Republik
Indonesia/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Kementerian
PPN/Bappenas) telah didukung oleh UN Partnership for Action on Green
Economy (UN-PAGE) Indonesia melalui United Nations Institute for Research
and Training (UNITAR) telah melaksanakan studi Green Economy Learning
Assessment (GELA) di Indonesia. Studi ini memiliki tujuan yaitu
mengembangkan program pelatihan tentang ekonomi hijau, khususnya dalam
kerangka implementasi PRK yang komprehensif (dilansir dari
ppsdmaparatur.esdm.go.id)

Selain itu, Bappenas telah meluncurkan Indonesia Climate Change


Sectoral Roadmap (ICCSR). ICCSR ini memuat strategi sembilan sektor, yaitu
kehutanan, energi, industri, transportasi, limbah, pertanian, kelautan dan

By Nathanael Argo Wijaya Kusnardi/F0219104/UAS Penganggaran Perusahaan B


perikanan, sumber daya air, dan kesehatan dalam menghadapi tantangan
perubahan iklim hingga tahun 2030 ke depan, sejalan dengan studi yang dilakukan
oleh GGGI 2020. Untuk itu kebijakan fiskal ke depan akan diarahkan untuk
mendorong pengembangan energi panas bumi dan energi terbarukan,
memperbaiki hasil hutan dan mengakses pasar karbon REDD dan isu terkait
dengan pendapatan dari sektor kehutanan, serta mekanisme insentif kehutanan
daerah.

Dilansir dari pressrelease.kontan.co.id, Provinsi Jawa Barat telah memulai


langkah-langkah sustainability dalam pembangunan dan industri manufaktur.
“Bisnis dan industri kami telah mengarah pada sustainable. Kami sedang
melakukan transformasi terhadap lima pabrik plastik untuk menjadi pabrik solar,
menggunakan sampah kota menjadi bahan pembakaran pengganti batu bara yang
sedang dibangun di kawasan Bogor dan beberapa daerah di Jawa Barat,” jelas
Gubernur Provinsi Jawa Barat, Ridwan Kamil. Selain itu, (Bappenas) telah
mengidentifikasi pembangunan rendah karbon dapat menghasilkan Produk
Domestik Bruto (PDB) lebih dari enam persen dalam setahun, dari sekarang
hingga 2045.

Bicara mengenai semua hal tentang ekonomi hijau di atas, maka


diperlukan pula kesiapan support system, yaitu ekonomi digital. Ekonomi hijau
dan digital merupakan dua hal yang mengubah arah perkembangan ekonomi dunia
dengan mekanisme pasar baru dan model-model bisnis baru. Narasi ekonomi
digital dan ekonomi hijau bukanlah sebuah narasi baru, tetapi dengan adanya
pandemi telah meningkatkan urgensi dan memicu akselerasi keduanya. Jika
diintegrasikan, dua megatren ini menjadi digital green economy atau ekonomi
hijau digital (EHD).

EHD bisa dipandang sebagai kemunculan model bisnis dan solusi peluang
bisnis yang berkaitan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG).
Transisi menuju ekonomi hijau menyangkut perubahan institusional atau rules of
the game, yakni perubahan aturan informal (seperti norma dan tradisi) dan formal
(seperti regulasi dan kebijakan) yang memfasilitasi interaksi sosial ekonomi dan

By Nathanael Argo Wijaya Kusnardi/F0219104/UAS Penganggaran Perusahaan B


path of development. Dalam hal ini keberlanjutan menjadi norma baru disertai
serangkaian kebijakan dan regulasi terkait, termasuk dekarbonisasi.

Sebagaimana ekonomi digital, EHD ditopang oleh faktor penggerak-nya,


yakni teknologi digital yang dapat berbentuk peralatan elektronik, sistem otomasi,
peranti dan sumber daya teknologi, yang dapat menciptakan, memproses, dan
menyimpan informasi. Maka, EHD mau tidak mau harus berkaitan dengan
teknologi digital.

Dalam hal ini keberlanjutan menjadi suatu hal yang harus dan disertai
serangkaian kebijakan dan regulasi terkait, termasuk dekarbonisasi. Teknologi
digital ini dapat melibatkan blockchain, artificial intelligence (AI) beserta
machine learning (ML) atau deep neural networks (DNN), jejaring antar obyek
fisik atau internet of things (IoT), big data, cloud computing, dan digital twin
yang merupakan bagian dari Revolusi Industri 4.0. Kolaborasi antara teknologi ini
dan teknologi lainnya, seperti sensor, robot, satelit, drone, GPS, dan bahkan
smartphone, menyediakan kapabilitas yang lebih besar lagi untuk mendukung
percepatan peralihan menuju ekonomi hijau melalui berbagai platform digital.

Berikut adalah alasan-alasan mengapa teknologi digital dan ekonomi hijau


saling terkait. Pertama, untuk mencapai tujuan ekonomi rendah karbon atau
rendah limbah, dibutuhkan alat-alat ukur, pantau, dan kontrol tingkat emisi/polusi
udara dari kawasan emisi secara otomatis, real time, dan saling terhubung secara
online, termasuk dengan pusat-pusat data, setidaknya dari tingkat industri hingga
kota-kota.

Dalam hal ini, pengawasan kualitas udara dan lingkungan dengan IoT low-
power wide area network (LPWAN) dapat menjadi solusi untuk memantau
kualitas udara dalam kawasan yang relatif luas. LPWAN menghadirkan solusi
yang efisien, terjangkau, dan mudah dalam penerapannya untuk jejaring IoT
berskala masif dengan aplikasi yang ber-bandwidth rendah dan muatan data relatif
kecil-kecil.

Kedua, sejalan dengan tujuan mengurangi emisi karbon dan limbah,


efisiensi penggunaan sumber daya harus dijalankan. Teknologi revolusi industri

By Nathanael Argo Wijaya Kusnardi/F0219104/UAS Penganggaran Perusahaan B


4.0 untuk membuat sumber daya efisien dan minimalisir limbah juga telah
diterapkan di berbagai bidang, seperti pertanian, industri manufaktur, transportasi,
energi. Dalam sistem pertanian hidroponik berbasis IoT dan DNN, sistem dapat
menangkap dan melihat parameter-parameter, seperti pH, temperatur, intensitas
sinar, dan kelembaban udara. Parameter-parameter dipantau dan dianalisis
menggunakan DNN untuk memperkirakan tindakan pengendalian yang tepat
(irigasi, pupuk, dan lainnya). IoT mengirim data dengan cloud untuk dianalisis.
Data yang diperoleh beserta labelling tindakan yang tepat kemudian disimpan
dalam cloud itu. IoT memungkinkan interaksi machine to machine dan
mengontrol sistem hidroponik secara otonom dan pintar. Sejauh mana kelayakan
ekonominya, perlu dikaji lebih lanjut, karena terkait skala bisnis.

Pada sektor industri manufaktur, dukungan perangkat IoT berteknologi


tinggi pada smart factory akan meningkatkan produktivitas dan kualitas.
Penggantian model-model bisnis inspeksi manual ke pengawasan visual berbasis
AI dapat mengurangi kesalahan proses manufaktur serta menghemat biaya dan
waktu. Dengan investasi minimal, personel kontrol kualitas dapat men-set up
telepon pintar untuk terkoneksi dengan cloud guna memantau proses-proses
manufaktur secara virtual dari mana pun. Melalui aplikasi algoritma machine
learning, pabrikan dapat mendeteksi kesalahan-kesalahan secara cepat dan tepat.

Pada sektor energi, terutama energi baru dan terbarukan (EBT), seperti
yang sudah dilakukan oleh Swedia, data produksi dan konsumsi listrik dapat
dicatat secara real time melalui pemanfaatan sensor dan IoTs. Utilitas EBT
(seperti meteran pintar dari listrik yang dipasok dari pembangkit berbasis EBT)
dengan para prosumen (produsen sekaligus konsumen) dapat di-set untuk saling
terkoneksi satu dengan lainnya dan terintegrasi membentuk korporasi listrik
secara virtual, yakni dengan transmisi data dan komputasi awan.

Didukung kapasitas penyimpanan data dan keunggulan komputasi dari


pusat data, AI, dan big data, maka produksi, penyimpanan, dan konsumsi listrik
dipercerdas dengan system energy grid (smart grid) yang efisien dan berketahanan
(terhadap kemungkinan blackout), dan menghasilkan pasokan listrik yang stabil

By Nathanael Argo Wijaya Kusnardi/F0219104/UAS Penganggaran Perusahaan B


bagi pengguna. Arus data ini membantu mencapai keberhasilan kinerja dari pasar
EBT yang mengotomasi transaksi barang dan jasa dengan platform digital itu.

Dalam transisi menuju ekonomi sirkular, AI dapat mengakselerasi dengan


memperluas dan memungkinkan inovasi di seluruh industri terkait. Dalam hal ini
AI membantu pengembangan produk, komponen, dan material yang sesuai
dengan ekonomi sirkular melalui proses desain yang dibantu machine learning
secara iteratif. Selain itu, AI dapat memperkuat daya kompetitif dari model bisnis
ekonomi sirkular dengan mengombinasikan data historis dan realtime. AI dapat
membantu meningkatkan perputaran sirkulasi produk dan utilisasi aset melalui
penetapan harga dan prediksi demand, serta manajemen smart inventory. AI dapat
membantu memperbaiki proses-proses sortasi dan disassembly produk,
meremanufaktur komponen, dan mendaur ulang material.

Ketiga, ekonomi hijau digital memerlukan sistem yang dapat menangani


data berjumlah besar (di atas 100 terrabytes per hari) untuk menjalankan proses
pengambilan keputusan dan kebijakan secara tepat dan cepat, serta untuk
memantau progres ke arah SDGs dari perspektif ekonomi hijau, terutama pada
tingkat nasional dan global.

Pengelolaan dan pengolahan data berjumlah besar memerlukan kecepatan,


proses analisis, otomasi, konektivitas internet, dan lainnya. Dalam hal ini
teknologi big data yang berkaitan dengan volume, velocity, variety, bersama-sama
AI dan cloud computing dapat menjadi solusi. Dengan catatan bahwa terdapat
industri yang juga perlu menangani data berjumlah besar. Industri otomotif
berskala besar, misalnya, perlu menangani miliaran komponen secara bersamaan
sehingga untuk efisiensi dan presisi dibutuhkan sistem pabrik pintar.

AI bisa memperbaiki proses sortasi dan assassembly produk,


meremanufaktur komponen, dan mendaur ulang material. Pada tingkat
teritori/negara dan global, platform digital seperti Global Green Economy Index
(GGEI) digunakan untuk menilai kemajuan pencapaian keberlanjutan dari
perspektif ekonomi hijau. Sejak 2010, GGEI melingkupi 160 negara dengan 18
indikator untuk mengukur baik progres atas indikator-indikator tersebut pada

By Nathanael Argo Wijaya Kusnardi/F0219104/UAS Penganggaran Perusahaan B


tingkat negara sejak 2005 (baseline) maupun jarak tiap-tiap indikator dengan
target yang ditetapkan secara global.

GGEI mengelompokan 18 indikator itu ke dalam empat dimensi, yakni


perubahan iklim dan keadilan sosial, dekarbonisasi sektor, pasar dan investasi, dan
kesehatan lingkungan. Namun, bukan hanya kecanggihan platform digital atau
teknologi digital yang menjadi faktor enabler ekonomi hijau digital. Regulasi,
kebijakan, dan fasilitasi tentu saja ikut campur tangan dan bahkan berperan
penting dalam pencapaian keberlanjutan dan transisi menuju ekonomi hijau.

Pasalnya, ekonomi hijau yang inklusif itu tak dapat berlangsung dengan
sendirinya mengikuti mekanisme pasar yang telah ada. Investasi hijau, keuangan
hijau, dekarbonisasi, hilirisasi batubara, penerapan pajak karbon, dan penguatan
inklusi sosial dalam green growth merupakan contoh-contoh kebijakan intervensi
tersebut. Sementara dari sisi digital antara lain adalah kebijakan percepatan dan
perluasan transformasi digital.

Selain itu, kendatipun demikian, besarnya potensi dari ekonomi hijau ini
tidak serta-merta langsung menarik minat investor. Risiko yang tinggi dan proses
yang panjang menjadi salah satu faktor pemberat bagi investor untuk masuk ke
sana. Ditambah lagi, proyeksi keuntungan yang masih belum bisa dipastikan.

Executive Chairman Yayasan Inisiatif Dagang Hijau, Fitrian Ardiansyah


memaparkan durability dalam sebuah ekonomi hijau menjadi sangat penting
terutama dari sisi investasi. “Pasalnya, tidak akan ada investor jika usaha tersebut
tidak bertahan lama atau bahkan tidak memberikan keuntungan ataupun
menyebabkan masalah baru. Profit berkaitan dengan produktivitas, berkaitan
dengan kesehatan dan keberlanjutan. Model bisnis yang dicari investor adalah
model bisnis yang selalu bisa mendorong produktivitas sekaligus menjamin
keberlangsungan dan memberikan manfaat bagi lingkungan dan masyarakat,”
ungkapnya pada jurnalis Kontan (20/7/20).

Jelas tak mungkin investor mau rugi terus menerus dalam suatu investasi.
Maka diperlukan pemikiran jangka panjang yang sistematis dan konferhensif
untuk memprediksi apakah proyek green economy ini akan mendatangkan

By Nathanael Argo Wijaya Kusnardi/F0219104/UAS Penganggaran Perusahaan B


keuntungan atau tidak, berapa lama payback periodnya, berapa besaran ROInya,
dengan laju inflasi yang ada berapa besaran NPVnya.

Tentu dibandingkan dengan negara-negara lain, Indonesia belum


melakukan pencapaian yang signifikan dan potensi yang sangat menggiurkan bagi
investor. Apalagi jika melihat pemetaan skor yang ada di atas tadi. Namun tidak
menutup kemungkinan bahwa Indonesia juga mampu melaksanakan green
economy, asalkan jika seluruh unsur-unsur ekonomi hijau berserta seluruh support
system-nya dapat diimplementasikan di setiap kebijakan secara konsisten dan
konferhensif, sehingga investor juga tidak dirugikan, kemakmuran masyarakat
juga dapat tercapai, bumi yang lebih sehat, lingkungan yang lebih habitable dapat
terwujud secara bersamaan. Dengan demikian, green economy for prosper world
and habitable earth bukan menjadi sekedar wacana, serta ancaman yang sudah
disebutkan di atas bagi keberlangsungan hidup umat manusia dapat ditepis.

By Nathanael Argo Wijaya Kusnardi/F0219104/UAS Penganggaran Perusahaan B


Daftar Pustaka

Sumber Utama

Anonym. 2022. Sweden and Sustainability (Lowering emissions is key to saving


the climate. Find out how Sweden does it). Sweden.se. 2 Juni 2022
https://sweden.se/climate/sustainability/sweden-and-sustainability
(diakses pada 26/06/2022)

Anugrah, Nunu. 2021. Kesiapan Green Economy Daerah dengan Green


Leadership. KemenLHK. 15Juni2021.
https://www.menlhk.go.id/site/single_post/4109/kesiapan-green-
economy-daerah-dengan-green-leadership (diakses pada 27/06/2022)

Kasztelan, Armand. 2017. Green Growth, Green Economy and Sustainable


Development: Terminological and Relational Discourse. Prague
Economic Papers, 26 (4), 487-499, https://doi.org/10.18267/j.pep.626
(diakses pada 26/06/2022)

L.A. Acosta, S. Zabrocki, J.R. Eugenio, R. Sabado Jr., S.P. Gerrard, M. Nazareth,
and H.G.H. Luchtenbelt, (2020) Green Growth Index 2020 –
Measuring performance in achieving SDG targets, GGGI Technical
Report No. 16, Green Growth Performance Measurement Program,
Global Green Growth Institute (GGGI), Seoul, South Korea
[Contributors: A. Sharma, A. Bhatt, A. Izmestiev, B. Liu, C. Hopkins,
C. Krug, D. Eaton, F. Eboli, F. Tubiello, F. Sheng, G. Lafortune, H.
Rankine, J. Vause, J. John-Norville, J. Maughan, J.G. Pineda, L.
Farnia, M. Astralaga, N. Cantore, N. Nierhoff, N.G. Esambe, R.
Hogeboom, R. Hamwey, R. Lasco, R. Cavatassi, R.G. Carmenates, S.
Fekadu, S. Chonabayashi, S. Felix, S. Liu, T. Arndt, U.A. Iftikhar, V.
Todorov, Z. Zarnic, Nera Mariz Puyo, Sarena Grace Quiñones, and
DervinJohnValencia]
https://greengrowthindex.gggi.org/wp-content/uploads/2021/03/2020-
Green-Growth-Index.pdf (diakses pada 26/06/2022)

Tarsudi. 2022. Potensi Besar Indonesia pada Ekonomi Hijau dan Digital. 10 Mei
2022. https://diginomi.sumutprov.go.id/2022/05/10/potensi-besar-
indonesia-pada-ekonomi-hijau-dan-digital/ (diakses pada 26/06/2022)

By Nathanael Argo Wijaya Kusnardi/F0219104/UAS Penganggaran Perusahaan B


Guitarra, Pratama. 2022. Sayang! Potensi Energi Hijau Jumbo, Pemanfaatannya
Baru 3%. 15 Februari 2022.
https://www.cnbcindonesia.com/news/20220215150527-4-315573/say
ang-potensi-energi-hijau-jumbo-pemanfaatannya-baru-3 (diakses pada
26/06/2022)

Shuttleworth, Julie. 2022. Indonesia Berpotensi Jadi Negara Adidaya Energi


Hijau. 15Maret2022.
https://katadata.co.id/rezzaaji/indepth/62300be251d87/indonesia-
berpotensi-jadi-negara-adidaya-energi-hijau (diakses pada
26/06/2022)

Mahadi, Tendi. 2022. Pertamina, Pupuk Indonesia dan Mitsubishi Kembangkan


Green Hydrogen dan Green Ammonia. 4 Maret 2022.
https://industri.kontan.co.id/news/pertamina-pupuk-indonesia-dan-
mitsubishi-kembangkan-green-hydrogen-dan-green-ammonia (diakses
pada 26/06/2022)

Sumber Tambahan

Ferdian, Habib Allbi. Fikrie, Muhammad. 2022. Ini Negara dan Kota yang Bakal
Tenggelam di 2050 Jakarta Paling Terancam. Kumparan.com. 28
Maret 2022. https://kumparan.com/kumparansains/ini-negara-dan-
kota-yang-bakal-tenggelam-di-2050-jakarta-paling-terancam-
1xlr7Hu8xFf/full (diakses pada 26/06/2022)

Anonym. 2020. Kesiapan Indonesia dalam Menerapkan Ekonomi Hijau. 20 Juli


2020.
https://pressrelease.kontan.co.id/release/kesiapan-indonesia-terapkan-
ekonomi-hijau?page=all (diakses pada 27/06/2020)

By Nathanael Argo Wijaya Kusnardi/F0219104/UAS Penganggaran Perusahaan B

Anda mungkin juga menyukai