AKSES
TANGGAL 23/11/2016
Perkiraan para pakar jelas: jika jumlah penduduk bumi semakin meningkat, kebutuhan akan
pangan pada tahun-tahun mendatang sampai 2030 akan melonjak hingga 35 persen. Dampaknya
akan terlihat jelas di negara yang juga kekurangan energi dan air bersih. "Pertumbuhan ekonomi
global menimbulkan perubahan pola makan. Konsum daging dan produk susu meningkat. Tapi
untuk memproduksi daging diperlukan sepuluh kali lipat jumlah air ketimbang bagi tanaman
gandum", ujar Bettina Rudloff dari yayasan Ilmu Pengetahuan dan Politik (SWP).
Ilmuwan ini adalah salah satu peneliti mengenai kaitan krisis air, pangan dan energi yang baru-
baru ini menerbitkan hasil studinya itu. "Kaitannya juga terlihat pada perkembangan harga,
misalnya dari produk agrar dan minyak bumi. Tren harga dan fluktuasinya sangat mirip." Jadi,
haruskan kita ke depan memutuskan pilihan antara peningkatan air bersih, pengurangan bahaya
kelaparan atau perbaikan penyediaan energi"
Franz-Josef Batz dari Yayasan Kerjasama Internasional (GIZ) menjelaskan sebuah contoh
"dampak yang tidak diinginkan" dari India: Pemerintah negara itu mensubsidi pemakaian energi
di sektor pertanian. Akibatnya, para petani kemudian menggunakan pompa air yang banyak
memakai energi. Permukaan air tanah menurun dan ujungnya, produksi menurun. "Kita harus
memikirkan, bagaimana tepatnya kita mau menggunakan air. Akses terhadap air bersih memang
merupakan hak asasi manusia, tetapi perekonomian juga memerlukan air dan energi demi
pertumbuhan."
Perdebatan umum yang cukup ramai mengenai hubungan antara pangan, air bersih dan energi
terdengar sejak dua tahun ini. Pada forum ekonomi dunia di Davos 2011, tema itu merupakan
fokus laporan risiko. Pemerintah di Berlin bahkan mengangkat tema ini dalam sebuah konferensi
tersendiri di Jerman. Namun menurut Bettina Rudloff, langkah nyata secara politis sulit
dilaksanakan. Jerman dan juga negara lainnya membahas tema air, energi dan pangan di dalam
kementrian terpisah dan di tatanan politik yang berbeda. Kebijakan pertanian terutama dipegang
Uni Eropa di Brussel, sementara energi di bawah wewenang negara-negara anggotanya.
Bettina Rudloff, pakar SWP
Tetapi kemajuan pertama terlihat bergerak menuju "pemikiran yang menjaring": Subsidi
pertanian semakin sering dikaitkan dengan persyaratan tertentu yang relevan bagi penyediaan air.
Misalnya larangan penggunaan pupuk dan pestisida tertentu. Rudloff juga menyebut kebijakan
bahan energi ramah lingkungan UE sebagai contoh. Tidak ada lagi target tinggi bagi penggunaan
produk tanaman berkelanjutan, setelah dipastikan bahwa banyak lahan yang diperlukan bagi
produksi pangan.
Pemikiran yang menjaring juga memasuki sektor bantuan pembangunan Jerman, apakah itu di
India ataupun di Yordania. GIZ berupaya membuat pemerintah dan rakyat mengerti keterkaitan
antara kebijakan energi dan produksi pertanian serta penyediaan air minum. "Target kami di
Yordania adalah efisiensi pompa air. Dalam tiga sampai empat tahun ke depan kami akan dapat
memperlihatkan bahwa penghematan bisa mencapai 30 persen", demikian disampaikan Franz-
Josef Batz kepada DW. Dia mengharapkan dukungan dari perusahaan swasta besar ketimbang
mitra yang kuat, karena perusahaan seperti Coca-Cola juga dikatakan mempunyai minat besar
pada upaya pengamanan air minum.
Christina Ruta
Laporan Pilihan
Tanggal 17.06.2013
Penulis Christina Ruta
Kata Kunci krisis air, energi, pangan, lahan pangan, produk ramah lingkungan, tanaman
berkelanjutan
Bagi artikel Facebook Twitter google+ lainnya
Feedback: Tulislah kepada kami!
Cetak Cetak halaman ini
Permalink http://dw.com/p/18rC5
Artikel lainnya
Tanggal 17.06.2013
Penulis Christina Ruta
Kata Kunci krisis air, energi, pangan, lahan pangan, produk ramah lingkungan, tanaman
berkelanjutan
Bagi artikel Facebook Twitter google+ lainnya
Kirim Feedback
Cetak Cetak halaman ini
Permalink http://dw.com/p/18rC5
RUBRIK
Dunia
Iptek
Olahraga
Sosbud
Inovator
MEDIA CENTER
Live TV
Semua konten media
BELAJAR B. JERMAN
Kursus B. Jerman
Deutsch XXL
Community D
Deutsch unterrichten
EXPLORE DW
Mobile
RSS