Anda di halaman 1dari 71

KORELASI RENDAHNYA PENDIDIKAN IKLIM TERHADAP

PENERAPAN 5R (REDUCE, REUSE, RECYCLE, REPLACE,


REPLANT) OLEH PELAJAR SMA NEGERI 2 PAINAN

Disusun Oleh:
1. SYIFA SUCI FITRIANI
2. ADINDA KHAIRANI NURSYAF
3. RIZKA LAILATUL VIDLY
4. INDAH PERMATA SARI
5. AMELZA
6. ZHARA FEBRYANTI
7. PANDU MASKA BHAYANGKARA
8. RADIP FEBRIAN
9. VICKRAM OLVIANDRO

Guru Pembimbing:
PUTRI ANINDA, S.Pd

SMA NEGERI 2 PAINAN


TAHUN AJARAN 2022/2023

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Atas semua
kehendaknya, kami berhasil menyelesaikan laporan penelitian dengan tepat waktu
yang berjudul “Korelasi Rendahnya Pendidikan Iklim Terhadap Penerapan 5R
(Reduce, Reuse, Recycle, Replace, Replant) oleh Pelajar SMA Negeri 2 Painan”.
Kami ucapkan terimakasih kepada guru pembimbing, narasumber, rekan-rekan
sekelompok serta pihak-pihak lain yang telah mau ikut serta berkontribusi dalam
pembuatan laporan penelitian ini.
Penyusunan laporan penelitian ini ditulis berdasarkan pengamatan langsung
dan wawancara serta studi literatur terkait judul yang kami angkat. Kami
berharap, pemaparan dalam isi penelitian sederhana ini bisa mempermudah
pembaca untuk memahami perubahan iklim, pendidikan iklim, penerapan konsep
Reduce, Reuse, Recycle, Replant, dan Replace. Juga diharapkan dapat berguna
bagi semua kalangan.
Kami menyadari bahwa hasil penelitian yang dibuat masih jauh dari kata
sempurna, dan memiliki kekurangan dari berbagai aspek. Untuk itu, kami
menerima kritik dan saran yang bersifat membangun demi perbaikan laporan
penelitian ini.

Pesisir Selatan, 5 Juni 2023

Syifa, dkk

2
DAFTAR ISI

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Salah satu isu kontemporer dan krusial yang saat ini sangat penting
dan diduga akan mempengaruhi kehidupan masyarakat dan pembangunan
di masa yang akan datang adalah perubahan iklim. Sejumlah dokumen
penelitian yang dilakukan oleh panel internasional, lembaga dunia, dan
akademisi di berbagai belahan dunia memperkuat dugaan tersebut
(UNEP,2009; World Institute, 2009; Yuen and Kong, 2009; Satterthwaite,
2008; UNFCC, 2007; PEACE,2007).
World Meteorogical Organization (WMO) melaporkan bahwa suhu
rata-rata bumi saat ini telah mencapai 1,2 derajat Celcius. Angka ini
berpotensi akan terus meningkat hingga 1,5 derajat Celcius. Perubahan
iklim sebagai fenomena global merupakan tantangan lingkungan terbesar
yang dihadapi dunia saat ini. Isu global ini menjadi topik perbincangan
sejak diadakannya Konferensi Tingkat Tinggi Bumi di Rio de Janeiro,
Brazil dua puluh tahun lalu sampai dengan KTT Rio +20 tahun 2012.
Konferensi internasional terkait isu perubahan iklim ini terus berlangsung
dari waktu ke waktu. Tahun 2012 lalu sudah mencapai penyelenggaraan
Conference of the Parties (COP) 18th to the United Naitons Framework
Convention on Climate Change di Doha, Afrika Selatan, yang pada
dasarnya mencari berbagai upaya terbaik dalam mengurangi emisi karbon
untuk mengurangi dampak perubahan iklim yang setiap waktunya semakin
meningkat.
Dilansir dari Science Alert, Google Earth mengembangkan
kemampuannya agar dapat melihat dampak perubahan iklim di dunia sejak
tahun 1984. Penampakan Google Earth memberikan gambaran perubahan
iklim mengubah wajah bumi di seluruh selama 37 tahun terakhir.

4
Suhu rata-rata di Asia lebih dingin daripada suhu terhangat tahun 2020
sebelumnya, tetapi masih antara tahun terhangat ke-5 dan ke-7 dengan
perkiraan suhu 0,86 °C di atas rata-rata tahun 1981-2010. Benua ini
memanas lebih cepat dari rata-rata global. Dalam dua sub-periode terakhir
(1961--1990 dan 1991--2020), tren pemanasan di Asia, yang merupakan
benua dengan daratan terluas yang membentang hingga ke wilayah kutub,
telah melampaui nilai rata-rata global (State of the Climate in Asia, 2021).
Hal tersebut menjadi bukti bahwa perubahan iklim adalah
permasalahan yang nyata dan mendesak. Ancaman dari krisis iklim tidak
dapat disepelekan karena menyangkut keberlangsungan dan kesejahteraan
hidup. Dampaknya sudah dirasakan oleh sebagian orang. Suhu naik dua
kali lebih cepat di Asia daripada rata-rata global, yang terkait dengan
peningkatan frekuensi dan tingkat keparahan bencana alam terkait cuaca.
Pada tahun 2019 saja, India dilanda gelombang panas yang parah yang
menyebabkan kelangkaan air di beberapa bagian negara. Hujan deras di
Asia Selatan menyebabkan perpindahan penduduk dalam skala besar,
sementara ketinggian air di Delta Mekong turun ke titik terendah yang
belum pernah terjadi sebelumnya karena cuaca kering yang intens.
Australia menghadapi kebakaran hutan bersejarah yang dipicu oleh musim
kemarau yang sangat keras. Dan lebih dari 25 siklon tropis menimbulkan
kerusakan di pesisir Samudra Pasifik dan Hindia. Ancaman iklim seperti
itu diproyeksikan akan meningkat pada periode mendatang.
Naiknya permukaan air laut akibat pemanasan global mengikis lahan
subur di zona pesisir dataran rendah, menimbulkan risiko parah bagi
pendapatan pedesaan, ketahanan pangan, dan ekspor komoditas. Pada
pertengahan abad, naiknya air akan berdampak pada hampir satu miliar
orang di kawasan Asia-Pasifik. Kota-kota besar seperti Mumbai, Dhaka,
Bangkok, Kota Ho Chi Minh, Jakarta, dan Shanghai berisiko terendam.
Indonesia sudah berencana untuk memindahkan ibu kotanya yang
berpenduduk padat, Jakarta, ke pulau Kalimantan untuk melindungi
penduduknya dari banjir yang berbahaya. Untuk negara-negara pulau kecil

5
di Pasifik seperti Kiribati, Kepulauan Marshall, dan Tuvalu, naiknya
permukaan laut menimbulkan ancaman eksistensial.
Selain itu perubahan iklim juga mengancam ekonomi dan sistem
keuanagan (Sri Mulyani, 2022). Merujuk penelitian yang di terbitkan oleh
lembaga riset asal Swiss tahun 2021, Menkeu menjelaskan perubahan
iklim juga dapat memberikan kerugian yang besar bagi perekonomian,
yaitu kehilangan mencapai lebih dari 10 persen dari total nilai ekonominya
apabila kesepakatan Paris 2050 tidak terpenuhi.
Ekosistem juga berpotensi rusak karena adanya perubahan iklim ini.
Indonesia yang disebut sebagai negara dengan keanekaragaman hayati
terbanyak di dunia juga akan mengalami berkurangnya kuantitas flora dan
fauna endemik karena mengalami kepunahan disebabkan ekosistem yang
tidak mendukung. Kesehatan manusia juga menjadi taruhan, peningkatan
suhu dan polusi udara dapat menyebabkan peningkatan penyakit
pernapasan, masalah kardiovaskular, dan kondisi kesehatan lainnya.
Dengan banyaknya ancaman yang ditimbulkan oleh perubahan iklim
ini, sudah seharusnya semua kalangan berupaya untuk menanggulangi
masalah yang sudah sampai pada level darurat ini.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk menanggulangi krisis
iklim adalah dengan waste management atau pengelolaan sampah. Sektor
limbah terutama sampah memberikan kontribusi besar terhadap emisi gas
rumah kaca dalam bentuk emisi metana (CH4) dan karbondioksida (CO2).
Dengan jumlah dan pertumbuhan penduduk Indonesia yang besar, serta
pola konsumsi masyarakat seperti sekarang ini, akan menyebabkan jumlah
timbulan sampah dan limbah domestik semakin meningkat dari waktu ke
waktu. Pola konsumsi masyarakat juga akan mempengaruhi komposisi
material kandungan sampah dan limbahnya, antara lain kandungan
material yang sulit diurai secara alami, dan kandungan material yang
membahayakan kesehatan manusia dan lingkungan.
Proses produksi, konsumsi, hingga pembuangan sampah plastik juga
menghasilkan emisi karbon yang tinggi sehingga berkontribusi terhadap

6
perubahan iklim karena kondisi bumi semakin memanas. Semakin tinggi
emisi karbon yang dihasilkan, maka semakin tinggi konsentrasi gas-gas
rumah kaca yang ada di atmosfer. Limbah menyumbang 1484 juta ton
emisi gas rumah kaca global pada tahun 2013, dan meningkat menjadi
1,606 juta ton emisi pada tahun 2018 (Climate Watch, 2018).
Karena itulah penerapan konsep pengelolaan sampah Reduce, Reuse,
Recycle, Replant dan Replace harus diterapkan untuk menanggulangi
krisis iklim. Namun kesadaran dan pengetahuan masyarakat yang rendah
menghambat penerapan konsep 5R tersebut. Oleh sebab itu diperlukan
adanya edukasi untuk meningkatkan kesadaran dan pengetahuan
masyarakat terkait krisis iklim. Hal tersebut dapat direalisasikan dengan
adanya pendidikan iklim.
Urgensi pendidikan iklim di Indonesia dapat dibuktikan dengan petisi
yang diajukan oleh Fridays for Future chapter Indonesia yang mempetisi
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, Riset dan Teknologi serta
Kementrian Agama untuk memasukan pendidikan iklim ke dalam
kurikulum sekolah. Petisi tersebut diajukan sejak 18 Agustus 2021 dan
sudah ditandatangani oleh 17.007 orang hingga laporan penelitian ini
ditulis.
Namun petisi tersebut belum juga ditindaklanjuti sehingga upaya-upaya
untuk menanggulangi krisis iklim seperti waste management dengan
konsep 5R hanya diterapkan oleh segelintir masyarakat di Indonesia. Salah
satu elemen masyarakat yang paling mendominasi adalah generasi muda
dengan persentase mencapai 56% dari total jumlah penduduk di Indonesia
(BPS, 2020).
Sifat generasi muda yang suka praktis ditambah dengan rendahnya
kesadaran dan pengetahuan masyarakat terkait pengelolaan limbah dan
perubahan iklim, berpotensi mengakibatkan tingginya angka tumpukan
limbah di Indonesia yang akan menghasilkan emisi dan memperparah
krisis iklim.

7
Dari latar belakang diatas, peneliti tertarik melakukan penelitian
dengan judul “Korelasi Rendahnya Pendidikan Iklim Terhadap Penerapan
5R (Reduce, Reuse, Recycle, Replace, Replant) oleh Pelajar SMA Negeri
2 Painan”.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang di atas, dapat diidentfikasi beberapa
permasalahan antara lain:
1. Bagaimana perubahan iklim di Indonesia?
2. Bagaimana urgensi pendidikan iklim?
3. Bagaimana penerapan konsep 5R oleh pelajar SMA Negeri 2
Painan?
4. Bagaimana korelasi antara rendahnya pendidikan iklim dengan
penerapan konsep 5R di SMA Negeri 2 Painan?

1.3 Tujuan Penelitian


Berdasarkan rumusan masalah di atas tujuan penelitian yang ingin
dicapai ialah sebagai berikut:
1. Untuk mendeskripsikan pendidikan iklim dan penerapan 5R
2. Untuk mengetahui keadaan dan urgensi krisis iklim di Indonesia
3. Untuk mengetahui urgensi penerapan pendidikan iklim di
Indonesia
4. Untuk mengetahui penerapan konsep 5R (Reduce, Reuse, Recycle,
Replant, Replace)
5. Untuk mengetahui korelasi antara rendahnya pendidikan iklim
dengan penerapan konsep 5R (Reduce, Reuse, Recycle, Replant,
Replace)

1.4 Manfaat Penelitian


 Manfaat Teoriritis

8
Hasil penelitian diharapkan dapat berguna sebagai sumber
pembelajaran untuk di bidang ilmu pengetahuan sosiologi dan
psikologi serta ilmu lain yang terkait, juga diharapkan dapat
menambah teori mengenai pendidikan iklim dan penerapan konsep
Reduce, Reuse, Recycle, Replant, dan Replace.

 Manfaat Praktis
a) Bagi Penulis
Sebagai sarana untuk menambah wawasan,
pengetahuan, serta pengalaman terkait pendidikan iklim
dan penerapan konsep Reduce, Reuse, Recycle, Replant,
Replace.

b) Bagi Pembaca
Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai acuan
oleh pembaca khususnya pelajar dalam mengelola
sampah dan dijadikan panduan bagi tenaga pendidik
untuk melakukan bimbingan kepada peserta didiknya.
Serta diharapkan dapat menjadi salah satu pertimbangan
bagi pihak pimpinan untuk membuat kebijakan.

9
BAB II
KAJIAN TEORI

2.1 Definisi Iklim


Iklim adalah kebiasaan cuaca yang terjadi di suatu tempat atau daerah.
Definisi lain, iklim merupakan karakter kecuacaan suatu tempat atau
daerah dan bukan hanya merupakan cuaca rata-rata (BMKG, 2013).
Kurun waktu yang sering digunakan untuk menentukan iklim rata-rata
sekitar 30 tahun. Iklim memiliki unsur yang sama dengan cuaca.
Iklim adalah keadaan keseluruhan dari suatu atmosfer dalam jangka
waktu panjang dan tempat yang luas. Seringkali dikemukakan sebagai
rata-rata dari cuaca, bahkan lebih luas lagi, diartikan sebagai keadaan-
keadaan ekstrem dari tiap-tiap unsur cuaca seperti suhu maksimum dan
minimum, kelembapan maksimum dan minimum, dan sebagainya.
Iklim mengacu pada cuaca, variabilitas cuaca, dan variabilitas dari
kondisi cuaca melalui suatu kurun waktu tertentu yang berkemampuan
mempengaruhi erosi secara langsung maupun tidak langsung.
Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) 2001
mendefinisikan iklim dalam arti sempit sebagai "cuaca rata-rata," atau
lebih tepatnya, sebagai deskripsi statistik dalam hal rata-rata dan
variabilitas jumlah yang relevan selama periode mulai dari berbulan-

10
bulan hingga ribuan atau jutaan tahun. Periode klasik adalah 30 tahun,
sebagaimana didefinisikan oleh World Meteorological Organization
(WMO). Kuantitas variabel permukaan yang paling sering digunakan
seperti suhu, curah hujan, dan angin. Iklim dalam arti yang lebih luas
adalah negara, termasuk deskripsi statistik, dari sistem iklim.
Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) menjelaskan iklim "normal"
sebagai "titik acuan" yang digunakan oleh pakar iklim untuk
membandingkan perkembangan iklim saat ini dengan masa lalu atau yang
dianggap 'normal'. Sebuah iklim normal didefinisikan sebagai rata-rata
aritmatika dari elemen iklim (misalnya suhu) selama periode 30 tahun.
Periode 30 tahun digunakan karena cukup lama untuk menyaring variasi
anomali antar anomali, tetapi juga cukup pendek untuk dapat
menunjukkan perkembangan iklim yang lebih lama. WMO yang
membentuk komisi teknis untuk klimatologi pada tahun 1929. Pada tahun
1934, Wiesbaden memenuhi komisi teknis yang menetapkan periode tiga
puluh tahun dari 1901 hingga 1930 sebagai referensi waktu untuk normals
standar klimatologis. Pada tahun 1982 WMO setuju untuk memperbarui
normals iklim, dan ini kemudian diselesaikan berdasarkan data iklim dari
1 Januari 1961 hingga 31 Desember 1990.
Iklim adalah jalannya suatu keadaan cuaca atau keseluruhan dari
gejala-gejala cuaca di daerah tertentu sepanjang tahun dan dari tahun ke
tahun (Daldjoeni, 1986).
Iklim adalah rata-rata cuaca dalam periode yang panjang dalam bulan
atau tahun (Achmadi,2005). Sintesis kejadian cuaca selama kurun waktu
yang panjang, yang secara statistik dapat dipakai untuk menunjukkan
nilai statistik yang berbeda dengan keadaan pada setiap saatnya (World
Climate Conference, 1979)
Perbedaan antara iklim dan cuaca diringkas dengan kalimat populer
"Iklim adalah apa yang Anda harapkan, cuaca adalah apa yang Anda
dapatkan.". Selama rentang waktu sejarah ada sejumlah variabel yang
hampir konstan menentukan iklim, termasuk lintang, ketinggian, proporsi

11
tanah ke air, dan jarak antara laut dengan pegunungan. Variabel-variabel
tersebut hanya berubah selama jutaan tahun karena proses seperti
lempeng tektonik. Faktor penentu iklim lainnya lebih dinamis seperti
sirkulasi termohalin laut menyebabkan pemanasan 5 °C (9 °F) di Samudra
Atlantik utara dibandingkan dengan cekungan laut lainnya. Arus
samudera lainnya mendistribusikan kembali panas antara tanah dan air
pada skala yang lebih regional.
Kepadatan dan jenis tutupan vegetasi mempengaruhi penyerapan
panas matahari, retensi air, dan curah hujan di tingkat regional. Perubahan
kuantitas gas rumah kaca di atmosfer menentukan jumlah energi matahari
yang disimpan oleh planet ini, yang menyebabkan pemanasan global atau
pendinginan global. Variabel-variabel yang menentukan iklim sangat
banyak dan interaksinya kompleks, tetapi ada kesepakatan umum bahwa
standardisasi penggunaan variabel iklim memerlukan pemahaman garis
besar, minimal menyangkut faktor penentu perubahan iklim historis.
Menurut Word Climate Conference menyatakan bahwa iklim adalah
suatu Sintesis kejadian suatu cuaca selama jangka waktu yang lama atau
panjang, yang secara statistik cukup untuk digunakan sebagai
menunjukkan suatu nilai statistik yang berbeda dengan sebuah keadaan
disetiap saatnya.
Menurut Word Climate Conference (1979) menyatakan bahwa iklim
adalah suatu sintesis kejadian suatu cuaca selama jangka waktu yang lama
atau panjang, yang secara statistik cukup untuk digunakan sebagai
menunjukkan suatu nilai statistik yang berbeda dengan sebuah keadaan
disetiap saatnya.
Menurut Glenn T. Trewartha (1980) mengungkapkan bahwa iklim
adalah suatu Konsep abstrak yang meny atakan suatu kebiasaan cuaca dan
juga sebuah unsur-unsur atmosfer pada sebuah daerah selama jangka
waktu yang lama. Menurut Gibbs (1978) mengungkapkan bahwa iklim
merupakan suatu peluang statistik dalam berbagai keadaan atmosfer,
antara lain yaitu suhu, tekanan, angin kelembaban, yang terjadi pada suatu

12
daerah selama dalam jangka waktu yang panjang. Iklim di setiap negara
banyak dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya lokasi negara,
kedudukan matahari, luas darat dan luas laut, topografi, dan lain-lain.
Faktor-faktor itu biasa disebut pengendali iklim.
Klasifikasi Iklim merupakan usaha untuk mengidentifikasi dan
mencirikan perbedaan iklim yang terdapat di bumi. Akibat perbedaan
latitudo (posisi relatif terhadap khatulistiwa, garis lintang), letak geografi,
dan kondisi topografi, suatu tempat memiliki kekhasan iklim. Klasifikasi
iklim biasanya terkait dengan bioma atau provinsi floristik karena iklim
mempengaruhi vegetasi asli yang tumbuh di suatu kawasan. Klasifikasi
iklim yang paling umum dikenal adalah klasifikasi Koeppen dan Geiger.
Klasifikasi ini berlaku untuk seluruh dunia sehingga sering dirujuk
untuk kajian-kajian geologis dan ekologi. Beberapa negara
mengembangkan klasifikasi iklim sendiri untuk mengatasi variasi iklim
tempatan yang beragam. Indonesia, misalnya, lebih sering menggunakan
sistem klasifikasi Schmidt dan Ferguson (SF), yang ternyata disukai
untuk kajian-kajian kehutanan dan pertanian. Sistem SF didasarkan pada
klasifikasi yang terlebih dahulu disusun oleh Mohr, namun diperhalus
kriterianya. Secara garis besar tipe klasifikasi iklim di bumi dapat
dikelompokan menjadi dua, pertama secara genetik yaitu dibedakan
berdasarkan aliran massa udara, arah angin, letak topografi dan perbedaan
sinar matahari. Kedua secara empirik yaitu berdasarkan pada metode
penelitian dan pengamatan ilmiah terhadap unsur-unsur pembentuk iklim.

2.2 Perubahan Iklim

2.2.1 Definisi Perubahan Iklim

Menurut Kementrian Lingkungan Hidup, perubahan iklim adalah


berubahnya kondisi fisik atmosfer bumi antara lain suhu dan distribusi
curah hujan yang membawa dampak luas terhadap berbagai sektor

13
kehidupan manusia. Perubahan fisik ini tidak hanya terjadi sesaat tetapi
dalam kurun waktu yang panjang.
Perubahan iklim juga dapat dipahami sebagai proses berubahnya pola
dan intentitas unsur iklim pada periode waktu yang dapat dibandingkan,
biasanya dalam kurun waktu rata-rata 30 tahun. Perubahan iklim
merupakan perubahan dalam kondisi cuaca rata-rata atau perubahan
dalam distribusi kejadian cuaca terhadap rata-rata (Elvin, A dkk, 2011).
LAPAN (2020) mendefinisikan perubahan iklim adalah perubahan rata-
rata salah satu atau lebih elemen cuaca pada suatu daerah tertentu.
Sedangkan istilah perubahan iklim skala global adalah perubahan iklim
dengan acuan wilayah bumi secara keseluruhan. IPPC (2001) menyatakan
bahwa perubahan iklim merujuk pada variasi rata-rata kondisi iklim suatu
tempat atau pada variabilitasnya yang nyata secara statistik untuk jangka
waktu yang panjang (decade atau lebih).
Menurut Enviromental Protection Agency, perubahan iklim adalah
perubahan dasar dalam curah hujan, suhu, dan pola angin, di antara
sejumlah efek lain yang terjadi dalam jangka waktu beberapa dekade
bahkan lebih. Sedangkan perserikatan bangsa-bangsa (PBB) menyatakan
bahwa perubahan iklim ialah peristiwa yang disebabkan oleh manusia,
baik secara langsung maupun tidak sehingga mengubah susunan atmosfer
global serta variabilitas iklim alami di jangka waktu yang bisa
diperbandingkan.

Undang-undang Nomor 31 Tahun 2009 menyatakan perubahan iklim


sebagai berubahnya iklim yang disebabkan baik secara langsung mauoun
tidak langsung oleh kegiatan manusia yang menyababkan perubahan
tatanan atmosfer secara gobal dan perubahan variabilitas iklim alamiah
yang bisa diamati dalam jangka waktu yang bisa dibandingkan.

Perubahan iklim yaitu perubahan sejumlah unsur iklim menuju tren


tertentu dan menyimpang dari keadaan rata-rata dalam jangka panjang

14
yang merupakan akibat dari terjadinya pemanasan gobal (Badan Litbang,
2007).

2.2.2 Unsur-unsur yang Mempengruhi Perubahan Iklim

a. Suhu atau Temperatur Udara


Suhu atau temperatur udara adalah derajat panas dari aktivitas
molekul dalam atmosfer. Alat untuk mengukur suhu atau
temperature udara atau derajat panas disebut thermometer.
Biasanya pengukuran suhu atau temperature udara dinyatakan
dalam skala Celcius, Reanur, Fahrenaheit, dan Kelvin. Timbul
karena adanya radiasi panas matahari yang diterima bumi.
b. Tekanan Udara
Tekanan udara adalah suatu gaya yang timbul akibat adanya berat
dari lapisan udara. Biasanya tekanan udara pada setiap tempat
dapat berubah-ubah. Makin tinggi suatu tempat dari permukaan
laut, makin rendah tekanan udaranya. Hal ini disebabkan karena
makin berkurangnya udara yang menekan. Umumnya tekanan
udara diukur dengan barometer dan dinyatakan dengan milibar
(mb).
c. Angin
Angin merupakan salah satu unsur cuaca dan iklim. Angina adalah
udara yang bergerak dari daerah bertekanan udara tinggi ke daerah
bertekanan udara rendah. Kecepatan angin dapat diukur dengan
Anemometer. Sedangkan kekuatan angin ditentukan oleh
kecepatannya, makin cepat angina bertiup maka makin tinggi atau
besar kekuatannya.
d. Kelembaban
Kelembaban udara adalah banyaknya uap air yang terkandung
dalam massa udara pada saat dan tempat tertentu. Alat untuk
mengukur kelembaban udara disebut psychrometer atau

15
hygrometer. Dibedakan menjadi kelembaban udara mutlak atau
absolut dan kelembaban udara nisbi atau relatif.
e. Curah Hujan
Curah hujan adalah jumlah air hujan yang turun pada suatu daerah
dalam waktu tertentu. Alat untuk mengukur banyaknya curah hujan
disebut Rain Gauge. Diukur dalam harian, bulanan, dan tahunan.
Curah hujan yang jatuh di wilayah Indonesia dipengaruhi oleh; 1)
bentuk medan atau topografi, 2) arah lereng medan, 3) arah angin
yang sejajar dengan garis pantai, 4) jarak perjalanan angina di atas
medan datar.

2.2.3 Faktor Penyebab Perubahan Iklim


Perubahan iklim tidak semata-mata terjadi karena faktor alam,
melainkan juga karena adanya ulah manusia. Dengan begitu,
perubahan iklim dapat menyebabkan terjadinya ancaman banjir,
kemarau, longsor, rob, dan berbagai bencana alam lainnya.
(Kumalasari, 2014).
Kecenderungan perubahan iklim biasanya dipengaruhi dari dua
faktor yakni karena aktivitas alam dan aktivitas manusia. Aktivitas
alam yang berpengaruh terhadap dampak dari perubahan iklim
seperti letusan gunung berapi, peristiwa El Nino dan La Nina,
pergeseran lempengan kontinen, dan noda matahari. Sedangkan
aktivitas manusia yang berpengaruh pada perubahan iklim seperti
meningkatnya urbanisasi, deforestasi, pembukaan lahan gambut
ilegal, reklamasi pantai, industrialisasi, pengolahan limbah yang
tidak tepat, dan sebagainya. Aktivitas tersebut sangat berpengaruh
kompleks pada setiap aspek kehidupan, seperti sektor pertanian,
ekonomi, bahkan pada psikologis manusia.

a. Peningkatan gas rumah kaca

16
Gas rumah kaca utama yang terus meningkat adalah
karbondioksida. Gas ini adalah salah satu gas yang secara alamiah
keluar ketika manusia menghembuskan napas, pembakaran batu
bara, penggunaan kendaraan berbahan bakar bensin atau solar.
Sebagian dari karbondioksida ini dapat diserap kembali, antara lain
melalui proses fotosintesis yang merupakan bagian dari proses
pertumbuhan tanaman atau pohon. Namun, kini kebanyakan negara
memproduksi karbondioksida secara jauh lebih cepat ketimbang
kecepatan penyerapannya oleh tanaman atau pohon, sehingga
konsentrasinya di atmosfer meningkat secara bertahap.
Selain itu juga ada gas metana yang dapat dihasilkan dari lahan
rawa atau sawah serta dari tumpukan sampah dan kotoran ternak.
Gas-gas rumah kaca lainnya seperti nitrogen dioksida dan sulfur
heksaflorida juga ikut berkontribusi terhadap emisi gas rumah
kaca. Negara-negara di seluruh dunia tanpa henti membuang gas-
gas ini dalam jumlah besar ke atmosfer. Negara maju bahkan
mengeluarkan gas emisi lebih banyak (UNDP Indonesia, 2007).
Gas rumah kaca yang dipercaya dapat mempengaruhi
konsentrasi gas di atmosfer diantaranya hidrogen (H2O), karbon
dioksida (CO2), methane (CH4), dinitrogen oksida (N2O), dan
halokarbon (kelompok gas yang mengandung florine, klorin dan
bromin).
Berdasarkan hasil penelitian, konsentrasi karbon dioksida pada
atmosfer bertambah mendekati 30%, konsentrasi methane lebih
dari dua kali, konsentrasi asam nitrat bertambah 15%. Penambahan
tersebut telah meningkatkan kemampuan menjaring panas pada
atmosfer bumi.

b. Berkurangnya lahan yang dapat menyerap karbondioksida


Masalahnya menjadi lebih parah karena kita sudah banyak
kehilangan pohon yang dapat menyerap karbon dioksida. Brazil,

17
Indonesia, dan banyak negara lain sudah menggunduli jutaan
hektar hutan dan merusak lahan rawa. Tindakan ini tidak saja
menghasilkan karbon dioksida dengan terbakarnya pohon dan
vegetasi lain atau dengan mengeringnya gambut di daerah rawa,
tetapi juga mengurangi jumlah pohon dan tanaman yang
menggunakan karbon dioksida dalam fotosintesis, yang dapat
berfungsi sebagai ‘rosotan’ (sinks) karbon, suatu proses yang
disebut sebagai ‘penyerapan’ (sequestration).
Kehancuran hutan Indonesia berlangsung makin cepat saja,
yaitu dari 600.000 hektar per tahun pada tahun 1980an menjadi
sekitar 1.6 juta hektar per tahun di penghujung tahun 1990an.
Akibatnya, tutupan hutan menurun secara tajam, dari 129 juta
hektar pada tahun 1990 menjadi 82 juta di tahun 2000, dan
diproyeksikan menjadi 68 juta hektar di tahun 2008, sehingga kini
setiap tahun Indonesia semakin mengalami penurunan daya serap
karbon dioksida.
Dengan meningkatnya emisi dan berkurangnya penyerapan,
tingkat gas rumah kaca di atmosfer kini menjadi lebih tinggi
ketimbang yang pernah terjadi di dalam catatan sejarah. Badan
dunia yang bertugas memonitor isu ini Intergovernmental Panel on
Climate Change (IPCC) telah memperkirakan bahwa antara tahun
1750 dan 2005 konsentrasi karbon dioksida di atmosfer meningkat
dari sekitar 280 ppm (parts per million) menjadi 379 ppm per tahun
dan sejak itu terus meningkat dengan kecepatan 1,9 ppm per tahun.
Akibatnya, pada tahun 2100 nanti suhu global dapat naik antara 1,8
hingga 2,9 derajat (UNDP Indonesia, 2007).
c. Limbah
Saat ini, dunia menghasilkan sampah sekitar 2 milyar ton per
tahun. Sebagian besar dari jumlah tersebut tidak didaur ulang, yang
kemudian menyebabkan kerusakan lingkungan. Tidak hanya itu,

18
timbunan sampah padat yang tidak didaur ulang juga menyebabkan
emisi karbon yang besar.
Menurut World Health Organization (WHO), pada tahun 2050
jumlah sampah secara global diperkirakan akan mencapai 3,4
miliar ton. Sampah sebanyak itu akan menghasilkan gas rumah
kaca berbahaya yang berkontribusi pada perubahan iklim.
Dalam mengendalikan “produksi” gas rumah kaca dari
aktifitas manusia, Perjanjian Paris mengamanatkan pelaksanaan
Nationally Determined Contribution (NDC) yang berisi rencana
mitigasi dan adaptasi perubahan iklim di setiap negara anggota,
termasuk Indonesia. Target Indonesia di dalam NDC adalah
menurunkan emisi GRK sebesar 29% sampai 41% dengan bantuan
internasional. Dalam NDC Indonesia ada lima sektor utama yang
telah dihitung bersama target penurunan emisinya yaitu hutan dan
laha (17,20%), energi (11%), limbah (0,38%), industrial process
and product use/IPPU (0,10%), dan pertanian (0,32%).
Sektor limbah terutama sampah memberikan kontribusi besar
terhadap emisi gas rumah kaca dalam bentuk emisi metana (CH4)
dan karbondioksida (CO2). Dengan jumlah dan pertumbuhan
penduduk Indonesia yang besar, serta pola konsumsi masyarakat
seperti sekarang ini, akan menyebabkan jumlah timbulan sampah
dan limbah domestik semakin meningkat dari waktu ke waktu.
Pola konsumsi masyarakat juga akan mempengaruhi komposisi
material kandungan sampah dan limbahnya, antara lain kandungan
material yang sulit diurai secara alami, dan kandungan material
yang membahayakan kesehatan manusia dan lingkungan.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengemban
amanat kebijakan konstitusional untuk mewujudkan lingkungan
hidup yang baik dan sehat, serta untuk melestarikan peran
lingkungan hidup dalam pembangunan nasional, yaitu sebagai
modal pembangunan dan juga sebagai penopang sistem kehidupan.

19
Sebagian amanat tersebut merupakan ranah bidang tugas dan
fungsi Direktorat Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah, dan
Bahan Berbahaya Beracun (B3), yaitu dalam sektor pengelolaan
sampah, pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun (B3), dan
pengelolaan limbah B3, serta pemulihan lahan terkontaminasi
sampah dan limbah.

d. Sistem kapitalisme
World Meteorological Organization (WMO) melaporkan bahwa
suhu rata-rata bumi saat ini telah mencapai 1,2 derajat Celcius.
Angka ini berpotensi akan terus meningkat hingga 1,5 derajat
Celcius. Sistem kapitalisme yang membuat negara dan perusahaan
swasta kecanduan terhadap energi fosil, sehingga suhu bumi terus
meningkat dan krisis iklim semakin tidak terkendali. Apabila
pemimpin dunia tidak menepati Perjanjian Paris untuk menahan
kenaikan suhu global, maka kehidupan manusia di bumi terancam
berakhir.
Sistem kapitalisme mengeksploitasi sumber daya alam secara
besar-besaran demi meraih keuntungan segelintir pihak tanpa
memandang dampak buruk yang akan melanda manusia di seluruh
dunia. Kapitalisme yang terus menuhankan produksi dan
keuntungan ini hanya membuat janji pengurangan emisi global
menjadi retorika kosong.
Karl Marx (1818-1883), seorang Bapak Sosialis dunia meyakini
bahwa sistem kapitalisme yang menuhankan pertumbuhan
ekonomi dan pengeksploitasian alam tanpa henti merupakan
penyebab utama dari krisis iklim yang sudah dan sedang terjadi.
Menurut pemikirannya, produksi seharusnya disesuaikan dengan
kebutuhan manusia dan mempertimbangkan generasi di masa
mendatang. Oleh karena itu perubahan sistem ekonomi perlu
dilakukan untuk menghadapi masalah krisis iklim yang kkompleks

20
2.2.4 Indikator Perubahan Iklim di Indonesia
Ditingkat nasional, menurut Edvin, A dkk (2011), meskipun
ketersediaan data parameter perubahan iklim dalam rentang waktu
30 tahun belum memadai di Indonesia, para ahli di Indonesia telah
berupaya menjelaskan adanya perubahan iklim yang terjadi di
Indonesia dengan empat indikator berikut:
1. Perubahan suhu daratan, menggambarkan perubahan situasi
lokal yang meliputi suhu maksimum, suhu minimum, dan
suhu rata-rata baik harian maupun bulanan. Pengamatan
yang dilakukan menunjukkan bahwa di Indonesia terjadi
perubahan suhu udara di beberapa tempat yang diamati
antara lain di Padang, Jakarta, Cilacap, Biak, Jayapura
mengalami kenaikan suhu minimum sementara di Sibolga,
Manado, Ambon, Wamena dll mengalami penurunan.
Khusus di Jakarta selama kurun waktu pengamatan dari
tahun 1956-2001, suhu udara rata-rata mengalami
peningkatan sebesar 0.070C pertahun.

2. Peningkatan curah hujan esktrim, perubahan iklim


merupakan perubahan energi dan siklus air yang
menyebabkan terjadinya pola curah hujan berubah ekstrim
(melebihi ambang batas statistik) yang disebabkan oleh
fenomena cuaca seperti banjir, kekeringan, berkurangnya
jumlah hari hujan, serta penambahan periode hari hujan
secara berturut-turut..

3. Maju mundurnya musim; di Indonesia yang dikenal sebagai


negara agraris, informasi yang paling penting bagi
pertanian adalah informasi awal datangnya musim kemarau

21
dan musim hujan. Pengamatan yang dilakukan oleh BMKG
di beberapa wilayah Sumatera, Jawa dan Sulawesi Selatan
selama 30 tahun (1971-2000) dan periode 2001-2010 telah
terrjadi pergeseran musim, misalkan awal musim kemarau
di Jawa Barat mengalami pergeseran maju (lebih cepat
datang) sekitar 20 hari dibanding 30 tahun lalu.

4. Perubahan jumlah volume hujan; informasi akumulasi


curah hujan harian, bulanan dan tahunan menjadi catatan
penting yang menunjukan potensi kapasitas sumber daya
air tercurah, informasi ini penting untuk pengelolaan
sumber daya air jangka panjang. Secara global, hasil kajian
IPCC (2007) menunjukkan bahwa sejak tahun 1850 tercatat
adanya 12 tahun terpanas berdasarkan data temperatur
permukaan global. Sebelas dari dua belas tahun terpanas
tersebut terjadi dalam waktu 12 tahun terakhir ini.
Kenaikan temperatur total dari tahun 1850-1899 sampai
dengan tahun 2001-2005 adalah 0,76Ëš. Permukaan aiir
laut rata-rata global telah meningkat dengan laju rata-rata
1.8 mm per-tahun dalam rentang waktu antara lain antara
tahun 1961-2003. Kenaikan total permukaan air laut yang
berhasil dicatat pada abad ke-20 diperkirakan 0,17 m.
Laporan IPCC juga menyatakan bahwa kegiatan manusia
ikut berperan dalam pemanasan global sejak pertengahan
abad ke-20. Pemanasan global akan terus meningkat
dengan percepatan yang lebih tinggi pada abad ke-21
apabila tidak ada upaya menanggulanginya.

2.2.5 Sejarah Kebijakan Perubahan Iklim

22
Tahun 1988, Organisasi Meteorologi Dunia (The World
Meteorological Organization) dengan UNEP (United Nations
Environmental Program) atau Program Lingkungan Hidup
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) bersama-sama mendirikan
panel antar pemerintah tentang perubahan iklim
(Intergovernmental Panel on Climate Change/IPCC). Panel
tersebut bersifat ad hoc tanpa batas waktu, lembaga ini menjadi
wadah diskusi tingkat Internasional yang khusus membahas
tentang perubahan iklim dunia, terdiri dari para ilmuwan dari
seluruh dunia. IPCC secara periodik mengkaji dan melaporkan
tentang permasalahan iklim yang terjadi dari berbagai belahan
dunia.
Pada tahun 1990, IPCC menerbitkan laporan pertamanya yang
dikenal dengan First Assessment Report yang menyimpulkan suhu
meningkat sekitar 0,3-0,6° C dalam satu abad terakhir. Laporan
tersebut menjelaskan emisi yang dihasilkan manusia tela
menambah Gas Rumah Kaca (GRK) alami dan penambahan itu
akan menyebabkan kenaikan suhu. Oleh karena itu, IPCC
menyerukan pentingnya sebuah kesepakatan global untuk
menanggulangi masalah tersebut. Pada tahun yang sama, Majelis
Umum PBB akhirnya menanggapi seruan IPCC untuk mengatasi
masalah perubahan iklim secara global dengan meluncurkan
negosiasi mengenai kerangka konvensi perubahan iklim dan
dengan membentuk Komite Negosiasi Antar pemerintah
(Intergovernmental Negotiating Committee-INC) untuk
pelaksanaan negosiasi tersebut. Akhirnya, padaa bulan Mei 1992,
INC menyepakati Kerangka Konvensi PBB mengenai Perubahan
Iklim (United Nations Framework Convention on Climate Change
– UNFCCC). Konvensi ini bertujuan untuk melakukan stabilisasi
konsentrasi GRK dalam atmosfer pada tingkat yang aman dan
memungkinkan terjadinya adaptasi ekosistem, sehingga dapat

23
menjamin ketersediaan pangan dan pembangunan berkelanjutan.
Konvensi ini menekankan kesetaraan dan kehati-hatian
(precautionary principle) sebagai dasar semua kebijakan. Pada
konvensi ini juga, dikenal adanya prinsip “common but
differentiated responsibilities”, dimana setiap negara memiliki
tanggung jawab yang sama tetapi dengan peran yang berbeda-beda,
dalam upayanya menekan laju peningkatan emisi GRK di negara
masing-masing. Konvensi ini sendiri tak membatasi emisi GRK
bagi negara-negara, dan tak memiliki daya paksa apapun. Forum
pengambilan keputusan tertinggi dalam kerangka UNFCCC adalah
Conference of Parties (COP).

UNFCCC mulai ditandatangani pada 9 Mei 1992, serta mulai


diterapkan pada 21 Maret 1994. Pada tahun 1994, Indonesia baru
meratifikasi UNFCCC melalui Undang-Undang No. 6 tahun 1994,
dengan meratifikasi UNFCCC tersebut, Indonesia berkewajiban
mengkomunikasikan berbagai upaya yang dilakukan dalam rangka
mengurangi dampak pemanasan global akibat terjadinya perubahan
iklim global.

Setelah diadakan Konferensi Tingkat Tinggi Bumi (Earth


Summit) yang diselenggarakan tahun 1992 di Rio de Janeiro,
Brazil, dimana menekankan pentingnya semangat kebersamaan
(multilaterisme) untuk mengatasi berbagai masalah yang
ditimbulkan dari upaya-upaya melaksanakan pembangunan dan
upaya-upaya melestarikan lingkungan. Selanjutnya
diselenggarakanlah beberapa Konferensi Para Pihak (COP-
Conference of the Parties), salah satu yang penting terkait dengan
isu perubahan iklim adalah COP III di Kyoto, Jepang yang
diselenggarakan pada bulan Desember 1997, menghasilkan
Protokol Kyoto yang mulai berlaku pada 16 Februari 2005.

24
Perbedaan utama antara Konvensi dan Protokol yaitu Konvensi
akan mendorong negara–negara industri untuk menstabilkan emisi
GRK, sedangkan protokol membuat negara-negara berkomitmen
untuk melakukannya. Bagi negara yang menandatangani dan
meratifikasinya, Protokol Kyoto akan mengikat secara hukum.
Protokol Kyoto memiliki masa komitmen yang berakhir tahun
2012. Negara-negara penandatangan UNFCCC masih berada
dalam proses perumusan perjanjian baru yang akan meneruskan
atau menggantikan Protokol Kyoto setelah masa komitmen
pertama berakhir. Untuk itu pada tahun 2007 telah dihasilkan peta
jalan Bali (Bali Roadmap) yang melandasi perundingan
internasional dalam mencapai hal tersebut. Bali Roadmap
membahas antara lain dana adaptasi, transfer teknologi dari negara
maju. Melalui skema investasi, skema pengurangan emisi dari
deforestasi dan degradasi hutan (REDD-Reducing Emission from
Deforestation and Forest Degradation) dan mekanisme
pembangunan bersih (CDM-Clean Developmen Mechanism).

2.2.6 Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim


a. Adaptasi perubahan iklim
Beradaptasi terhadap perubahan iklim merupakan prioritas
mendesak bagi seluruh masyarakat dunia, termasuk Indonesia.
Adaptasi dipahami sebagai suatu respon terhadap stimllus atau
pengaruh iklim nyata atau perkiraan yang dapat meringankan
dampak buruknya atau memanfaatkan peluang-peluangnya
yang menguntungkan. Pada manusia, adaptasi dapat bersifat
antisipatif atau reaktif dan dapat dilaksanakan oleh berbagai
sektor. Menurut UNFCCC (United Nation Framework for
Climate Change Convention), adaptasi merupakan upaya
menemukan dan menerapkan cara-cara penyesuaian terhadap
perubahan iklim. UNFCCC sebagai salah satu lembaga

25
internasional terus mencari upaya-upaya dan tindakan untuk
menanggapi dampak perubahan besar yang membawa dampak
besar terhadap masyarakat dunia dan sumber kehidupannya,
serta menggalang dukungan untuk mengatasi perubahan iklim.
Di Indonesia, ditingkat pemerintah upaya adaptasi sudah
menjadi bagian dari rencana pembangunan jangka pendek,
menengah dan panjang yang dikenal dengan pengarusutamaan
adaptasi perubahan iklim, ditekankan bahwa adaptasi
perubahan iklim bukan hanya menjadi tanggungjawab
Kementerian Lingkungan Hidup, namun menjadi
tanggungjawab seluruh Kementerian termasuk Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan.

b. Mitigasi perubahan iklim


Mitigasi perubahan iklim didefinisikan sebagai upaya
stabilisasi konsentrasi GRK dalam atmosfer pada tingkat yang
akan mencegah campur tangan manusia (antropegenik) yang
berbahaya terhadap sistem iklim, tingkat tersebut harus dicapai
dalam kerangka waktu yang memadai sehingga ekosistem
dapat melakukan adaptasi secara alami terhadap perubahan
iklim untuk memastikan bahwa produksi makanan tidak
terancam da pembangunan ekonomi dapat berjalan secara
berkelanjutan (Pasal 2 UNFCCC).
Tindakan mitigasi harus dilakukan sesegara mungkin
karena proses adaptasi alamiah lebih lambat dibanding proses
perubahan iklim yang saat ini terjadi, demikian juga secara
analisa ekonomi menurut pakar Inggris – Stern bahwa biaya
untuk mencegah perubahan iklim lebih murah dibanding biaya
yang harus dikeluarkan untuk mengatasi kerusakan akibat
perubahan iklim.

26
2.3 Pendidikan Iklim

2.3.1 Definisi pendidikan iklim

Pendidikan perubahan iklim adalah istilah umum untuk membangun


masa depan yang berkelanjutan melalui tindakan positif yang
menginspirasi dan membangun keterampilan. Topik ini terkait dengan
begitu banyak masalah lain yang kita hadapi saat ini, termasuk hak asasi
manusia dan kesehatan mental dan fisik publik, yang semuanya juga
dapat dimasukkan dalam ruang kelas.
Tanpa itu, generasi masa depan tidak akan dipersenjatai dengan
pengetahuan yang mereka butuhkan untuk mengatasi konsekuensi jangka
panjang dari perubahan iklim, dan penduduk planet kita saat ini tidak
akan memahami bagaimana mereka dapat menggunakan tindakan
individu maupun korporasi untuk memperlambat proses atau dalam
skenario terbaik.
Pendidikan perubahan iklim adalah bagian penting dari pendidikan
lingkungan, pendidikan untuk pembangunan berkelanjutan dan
kompetensi eko-sosial. Terkait erat adalah kewarganegaraan, hak asasi
manusia dan pendidikan media, dan pendidikan tentang isu-isu global dan
masa depan.
Tujuan utama pendidikan iklim termasuk membangun masa depan
yang berkelanjutan, tindakan yang menginspirasi dan melatih
keterampilan mempengaruhi di tingkat sosial dan pribadi. Sangat penting
tidak hanya untuk belajar memahami perubahan iklim secara mendalam
tetapi juga untuk mengubah perilaku dan tindakan seseorang. Dalam
konteks ini, perilaku mengacu pada tindakan yang diambil orang untuk
mengatasi perubahan iklim. Selain warga yang aktif, banyak lembaga
sosial sedang mengembangkan teknik mitigasi dan adaptasi, dan

27
pendidikan iklim harus memberikan setidaknya informasi dasar tentang
agen-agen ini.
Pendidikan perubahan iklim adalah proses di mana berbagai isu yang
berkaitan dengan perubahan iklim dimasukkan dalam proses
pembelajaran menggunakan pendekatan pedagogis yang beragam dalam
program pendidikan informal, nonformal dan formal. Ini meningkatkan
kesadaran akan pemanasan global dan pentingnya menjalani kehidupan
yang berkelanjutan. Ini membantu orang memahami dan mengatasi
dampak krisis iklim, memberdayakan mereka dengan pengetahuan,
keterampilan, nilai, dan sikap yang diperlukan untuk bertindak sebagai
agen perubahan.
Pendidikan perubahan iklim (Climate Change Education) adalah
pendidikan yang bertujuan untuk mengatasi dan mengembangkan
tanggapan yang efektif terhadap perubahan iklim. Pendidikan iklim
adalah cara untuk membangun masa depan yang berkelanjutan,
menginspirasi mereka untuk bertindak dan mempraktikkan keterampilan
yang diperlukan untuk proses adaptasi terhadap kondisi kehidupan dan
pekerjaan ramah lingkungan di masa depan.

2.3.2 Manfaat Pendidikan Iklim


a. Meningkatkan kesadaran dan pengetahuan
Menurut Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC),
pendidikan iklim dapat meningkatkan kesadaran masyarakat
tentang perubahan iklim dan dampaknya. Dengan pemahaman
yang lebih baik tentang sifat perubahan iklim dan kontribusi
manusia terhadapnya, individu dapat mengambil tindakan yang
lebih efektif.
b. Peningkatan kapasitas adaptasi
Pendidikan iklim dapat membantu masyarakat dan komunitas
mengembangkan kapasitas adaptasi terhadap perubahan iklim. Ini
termasuk pemahaman tentang risiko yang dihadapi, pengetahuan

28
tentang strategi adaptasi yang tepat, dan keterampilan untuk
mengimplementasikannya.
c. Mendorong perilaku berkelanjutan
Pendidikan iklim dapat merangsang perubahan perilaku yang
berkelanjutan. Menurut UNESCO, pendidikan iklim dapat
membantu mengubah pola konsumsi dan produksi yang tidak
berkelanjutan dengan mendorong gaya hidup ramah lingkungan,
seperti penggunaan energi terbarukan, transportasi berkelanjutan,
dan pengurangan limbah.
d. Mendorong partisipasi dan tindakan kolaboratif
Pendidikan iklim dapat memfasilitasi partisipasi aktif
masyarakat dalam upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.
Dengan memberikan pengetahuan dan keterampilan yang tepat,
pendidikan iklim mendorong individu dan kelompok untuk terlibat
dalam kegiatan berbasis komunitas, kampanye advokasi, dan
inisiatif kolaboratif.
e. Pengembangan keterampilan inovatif
Menurut United Nations Framework Convention on Climate
Change (UNFCCC), pendidikan iklim dapat merangsang
pengembangan keterampilan inovatif untuk menghadapi tantangan
perubahan iklim. Ini melibatkan pengembangan teknologi bersih,
energi terbarukan, pertanian berkelanjutan, dan adaptasi inovatif
dalam sektor-sektor terkait.
f. Menghadapi kesenjangan sosial
Pendidikan iklim dapat membantu mengurangi kesenjangan
sosial dalam menghadapi perubahan iklim. Hal ini melibatkan
memberikan kesempatan pendidikan yang sama kepada semua
orang, memastikan akses informasi yang adil, dan melibatkan
komunitas yang terpinggirkan dalam proses pengambilan
keputusan terkait perubahan iklim.
g. Meningkat kebersihan lingkungan

29
Dengan adanya pendidikan tentang iklim, otomatis kebiasaan
membuang sampah sembarangan akan berkurang dan masyarakat
akan lebih peduli terhadap keberlanjutan lingkungan, sehingga
setiap negara memiliki kualitas kebersihan yang lebih baik (Daffa,
2023).
h. Mengubah pola hidup
Masyarakat yang umumnya memiliki pola hidup konsumtif dapat
berubah menjadi pola hidup yang lebih berkelanjutan, karena
mereka mengetahui dan menyadari akibat jangka pendek maupun
jangka panjang dari pola hidup konsumtif tersebut (Daffa, 2023).
2.3.3 Hak Pendidikan Iklim
a) Keadilan ekologis bagi seluruh lapisan masyarakat
Keadilan ekologis adalah konsep yang menekankan pentingnya
memastikan perlakuan yang adil dan setara terhadap semua
masyarakat dalam kaitannya dengan lingkungan hidup. Prinsip
dasarnya adalah bahwa setiap individu, kelompok, atau komunitas
memiliki hak yang sama untuk mengakses dan mendapatkan
manfaat dari sumber daya alam dan lingkungan hidup, tanpa
diskriminasi atau ketimpangan yang tidak adil.
b) Kontribusi masyarakat untuk menciptakan kehidupan yang
berkelanjutan
Masyarakat dapat mengadopsi gaya hidup yang lebih
berkelanjutan dengan memilih produk yang ramah lingkungan,
seperti membeli barang-barang yang tahan lama, mengurangi
konsumsi daging dan produk hewani, dan mengurangi pemborosan
makanan. Selain itu Masyarakat dapat mengurangi jejak ekologis
mereka dengan mengadopsi praktik berkelanjutan dalam kehidupan
sehari-hari. Ini termasuk menghemat energi dengan mematikan
peralatan listrik yang tidak digunakan, menggunakan transportasi
berkelanjutan seperti berjalan kaki, bersepeda, atau menggunakan
transportasi umum, serta mengurangi konsumsi air dan limbah.

30
c) Hak anak untuk ikut andil menciptakan kondisi lingkungan
yang lebih baik
Anak-anak dan generasi muda memiliki hak untuk
diikutsertakan dalam pengambilan keputusan yang mempengaruhi
lingkungan mereka, baik di tingkat keluarga, sekolah, atau
komunitas. Mereka harus diberi kesempatan untuk menyampaikan
pandangan dan aspirasi mereka, serta berpartisipasi dalam proses
pembuatan kebijakan dan perencanaan lingkungan. Mereka juga
memiliki hak untuk berpartisipasi dalam gerakan dan aksi
lingkungan untuk melindungi alam dan mengurangi dampak
perubahan iklim. Ini termasuk mengambil bagian dalam kampanye,
protes, kegiatan sukarela, atau inisiatif komunitas yang berfokus
pada pelestarian lingkungan.
d) Hak untuk menerima pendidikan yang inklusif, setara, dan
berkeadilan.
Hak untuk menerima pendidikan yang inklusif, setara, dan
berkeadilan adalah hak fundamental setiap anak, sebagaimana
diakui dalam berbagai instrumen hak asasi manusia, seperti
Konvensi Hak Anak PBB.
e) Membantu pemerintah untuk dapat menciptakan keadilan
ekologis secara masif di tingkat nasional dan global
Menciptakan keadilan ekologis secara masif di tingkat nasional
dan global membutuhkan kerja sama antara pemerintah,
masyarakat sipil, dan sektor swasta.

2.4 Konsep 5R (Reduce, Reuse, Recycle, Replant, Replace)


2.4.1 Reduce
Mereduksi timbulan sampah dapat diartikan sebagai cara yang
dilakukan untuk meminimalisir semaksimal mungkin aktivitas
yang dapat menghasilkan sampah baru, konsep reduce dapat
dilakukan dengan cara mengurangi pemakaian barang yang

31
memiliki masa pemakaian berulang-ulang sehingga dapat
menekan laju timbulan sampah harian yang ada.
Dalam konteks pengelolaan sampah, konsep reduce merujuk
pada pendekatan untuk mengurangi jumlah sampah yang
dihasilkan. Prinsip utama dari konsep reduce adalah mengurangi
produksi sampah di sumbernya, dengan tujuan mengurangi
dampak negatif pada lingkungan.
Menurut UNEP, konsep reduce dalam pengelolaan sampah
adalah strategi untuk mengurangi jumlah sampah yang dihasilkan
dengan mengurangi konsumsi sumber daya, mendorong
penggunaan produk yang tahan lama, menghindari pemborosan,
dan mengadopsi pola konsumsi yang berkelanjutan. Waste and
Resources Action Programme (WRAP) menyatakan bahwa
konsep reduce melibatkan tindakan untuk mengurangi jumlah
sampah yang dihasilkan dengan mengadopsi praktik pengurangan
limbah di berbagai sektor, seperti pengurangan kemasan,
penggunaan kembali barang, pengurangan makanan yang
terbuang, dan pengurangan penggunaan energi.
Sedangkan menurut Zero Waste International Alliance (ZWIA)
mendefinisikan konsep reduce sebagai bagian dari pendekatan
Zero Waste, di mana tujuan utamanya adalah mengurangi sampah
menuju nol melalui pengurangan konsumsi, penggunaan kembali
barang, dan mengadopsi prinsip-prinsip desain berkelanjutan.

2.4.2 Reuse
Pengertian konsep reuse dalam pengelolaan sampah menurut
para ahli mencakup praktik penggunaan kembali barang atau
bahan dalam kondisi yang sama atau dengan sedikit perbaikan.
Pendekatan ini bertujuan untuk memperpanjang umur pakai
barang, mengurangi kebutuhan akan produksi baru, mengurangi
limbah, dan mengurangi penggunaan sumber daya. Dengan

32
memprioritaskan penggunaan kembali, kita dapat mengurangi
dampak negatif pada lingkungan dan mendorong siklus ekonomi
yang lebih berkelanjutan.
Reuse melibatkan tindakan untuk menggunakan kembali
barang atau bahan dalam kondisi yang sama atau dengan sedikit
perbaikan, sehingga mengurangi kebutuhan akan barang baru dan
mengurangi jumlah sampah yang dihasilkan (WRAP, 2023). Juga
dapat didefinisikan sebagai strategi untuk memperpanjang umur
pakai barang atau bahan dengan menggunakannya kembali tanpa
memerlukan proses produksi baru. Pendekatan ini mencakup
praktik penggunaan kembali barang yang masih layak dan
mendukung pengurangan pembuangan sampah.
Reuse merupakan sebuah upaya untuk menggunakan kembali
barang bekas tanpa harus mengalami perubahan secara kimia
maupun biologi, sehingga suatu barang memiliki fungsi
pemakaian yang beragam dan dengan waktu yang lebih lama.

2.4.3 Recycle
Zero Waste International Alliance (ZWIA) menganggap
konsep recycle sebagai bagian penting dari pendekatan Zero
Waste, di mana tujuannya adalah mengubah sampah menjadi
sumber daya dengan melalui proses daur ulang. Pendekatan ini
mencakup pengumpulan dan pemrosesan sampah untuk
memproduksi bahan baku yang dapat digunakan kembali.
Sedangkan EPA mengartikan konsep recycle sebagai proses
pengumpulan, pengolahan, dan pengembalian sampah ke dalam
siklus produksi sebagai bahan baku. Pendekatan ini mendorong
penggunaan ulang sumber daya dan mengurangi kebutuhan akan
bahan baku baru.
Pengertian konsep recycle dalam pengelolaan sampah menurut
para ahli mencakup proses pengolahan dan pemrosesan sampah

33
untuk mengubahnya menjadi bahan baku yang dapat digunakan
dalam produksi produk baru. Pendekatan ini mendukung
pengurangan limbah, penggunaan sumber daya yang lebih efisien,
dan pengurangan dampak negatif pada lingkungan. Daur ulang
sampah merupakan sebuah kegiatan memanfaatkan kembali
barang-barang dengan menggunakan proses tambahan maupun
dapat dilakukan dengan kegiatan daur ulang tidak langsung
dengan hanya memisahkan barang-barang bekas yang masih
bernilai (JICA, 2008). Konsep recycle merupakan konsep yang
cukup familiar, yang dapat dilakukan dengan mengolah sampah
organik untuk menjadi pupuk dan sampah anorganik untuk di olah
kembali dengan berbagai macam cara.

2.4.4 Replant
Penanaman kembali merupakan sebuah ktivitas yang dilakukan
dengan memanfaatkan tanaman yang ada untuk di budidayakan
dengan tujuan mengehemat pengeluaran, maupun untuk
menghasilkan nilai ekonomi (Arianti dkk., 2018). Replant
merupakan pelengkap dari meode 5R, dimana replant merupakan
kegiatan penanaman kembali untuk mendapat manfaat ekonomi
maupun manfaat lingkungan. Konsep ini dapat dilakukan dengan
skala rumahan yang berupa penanaman di pekarangan rumah.

2.4.5 Replace
Menurut Arianti dkk. (2018) replace merupakan sebuah upaya
pengurangan sampah yaitu dengan mengganti barang yang
memiliki potensi menjadi sampah dengan barang lain yang
memiliki umur serta kegunaan yang lebih lama untuk mengurangi
terbentuknya sampah baru setelah aktivitas yang dilakukan,
kegiatan yang termasuk dalam konsep replace adalah mengganti

34
kantong plastik dengan tas belanja sehingga tidak ada sampah
baru yang dihasilkan dari aktivitas sehari-hari.

2.4.6 Korelasi Sampah Dengan Perubahan Iklim


Setiap harinya manusia bisa menghasilkan sampah hingga
mencapai 1kg. Menurut Data Kementerian Lingkungan Hidup,
rata-rata orang diperkotaan di Indonesia pada tahun 1995
menghasilkan sampah 0,8 kg/hari dan terus meningkat hingga 1
kg per orang per hari pada tahun 2000. Diperkirakan timbunan
sampah pada tahun 2020 untuk tiap orang per hari adalah sebesar
2,1 kg.
Sampah yang dibuang menghasilkan emisi gas rumah kaca
(GRK) dengan cara yang berbeda-beda, sedangkan kontribusinya
pada efek pemanasan global mencapai 15%. Cara pertama adalah
sampah organik yang dibuang di tempat pembuangan TPA
terdekomposisi secara anaerob sehingga menghasilkan gas metan,
yaitu emisi gas rumah kaca yang menurut Indeks Potensi
Pemanasan Global, efeknya 21 kali lebih beracun daripada gas
karbondioksida. Sedangkan Danny(2000) mengatakan bahwa
metan yang dilepas ke atmosfer lebih banyak berasal dari aktifitas
manusia (antropogenik) daripada hasil dari proses alami.
Yang kedua, pembakaran sampah juga menghasilkan
karbondioksida, ditambah lagi dengan emisi gas yang dihasilkan
oleh pengangkutan yang membawa sampah ke tempat
pembuangan tersebut. Dan terakhir, dibuangnya barang-barang
yang mengindikasikan bahwa barang-barang tersebut sudah
diganti dengan yang baru, dimana dalam pembuatan barang baru
juga seringkali menggunakan minyak bumi untuk merubah bahan
mentah menjadi bahan jadi.

35
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Lokasi Penelitian


Lokasi penelitian terkait dengan Pendidikan Iklim dan Penerapan
Konsep Reuse, Reduce, Recycle, Replace dan Replant adalah di SMA
Negeri 2 Painan. Peneliti mengambil lokasi ini karena melihat rendahnya
edukasi dan sosialisasi terkait iklim dan kebiasaan siswa siswa yang jarang
bahkan sebagian dari mereka tidak pernah melakukan pengelolaan
sampah. Sehingga kami tertarik untuk melakukan penelitian di SMA
Negeri 2 Painan.

3.2 Waktu Penelitian

36
Penelitian ini dilaksanakan selama kurang lebih dua minggu, yaitu
mulai minggu ketiga bulan Mei sampai minggu pertama bulan Juni 2023.
Penelitian terhitung hingga terselesaikannya proposal ini.

3.3 Bentuk Penelitian


Penelitian mengenai Korelasi rendahnya pendidikan terhadap
penerapan konsep 5R (Reuse, Reduce, Recycle, Replace, Replant) ini
memerlukan pendekatan penelitian yang nantinya mampu untuk
menganalisis setiap kejadian, persepsi, motivasi, tindakan dan lain
sebagainya untuk kemudian dijelaskan serta diuraikan dalam sebuah data
berupa kalimat ataupun kata-kata. Maka dari itu, penelitian ini
menggunakan pendekatan secara kualitatif deskriptif.

Menurut Bogdan dan Taylor dalam Moleong (2007), penelitian


kualitatif didefinisikan sebagai sebuah prosedur penelitian yang
menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari
orang-orang dan perilaku yang diamati. Moleong menjelaskan dalam
pendekatan kualitatif deskriptif, data yang dikumpulkan adalah data yang
berupa kata-kata, gambar dan bukan angka-angka. Data tersebut bisa
diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, video, foto, dan
dokumentasi pribadi. Hasil penelitian ini berupa kutipan dari transkrip
hasil wawancara yang sebelumnya telah diolah dan kemudian disajikan
secara deskriptif.

Dalam penelitian ini, tentu data yang akan diambil oleh peneliti
bersumber dari pihak-pihak yang terkait dengan Korelasi Rendahnya
Pendidikan Iklim Terhadap Penerapan Konsep 5R (Reuse, Reduce,
Recyle. Replant, Replace). Pengambilan data dilaksanakan dengan
melakukan pengamatan setiap kegiatan dan tentunya dari hasil wawancara
kepada siswa di SMA Negeri 2 Painan dan aktivis iklim.

37
3.4 Sumber Data Penelitian
Pada penelitian ini, peneliti menggunakan wawancara dan observasi
untuk mencari dan mengumpulkan data yang kemudian akan diolah untuk
mendeskripsikan tentang Korelasi Rendahnya Pendidikan Iklim Terhadap
Penerapan Konsep 5R (Reuse, Reduce, Recyle. Replant, Replace) atau
dengan istilah lain yaitu menggunakan data primer.

Data primer merupakan data yang diperoleh langsung dari subyek


penelitian dimana data tersebut diambil langsung oleh peneliti kepada
sumber secara langsung melalui responden. Kata-kata dan tindakan orang-
orang yang diamati atau diwawancarai merupakan sumber data utama.
Sumber data utama dicatat melalui catatan tertulis atau melalui perekaman
video/ audio tape, pengambilan foto dan film (Moleong, 2007: 157). Data
diperoleh melalui wawancara dan pengamatan langsung di lapangan.
Sumber data primer pada penelitian ini adalah melalui pengamatan secara
langsung di Lingkungan SMA Negeri 2 Painan dan dengan melalui
wawancara kepada siswa terkait pengelolaan sampah. Sedangkan untuk
data tambahan, peneliti mencari dan mendokumentasikan berbagai data
dari sumber lain guna memperkaya data, baik itu melalui buku, foto,
artikel, jurnal, skripsi, data statistik, dan lain sebagainya.

3.5 Teknik Pengumpulan Data


Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling strategis
dalam penelitian, karena tujuan utama dari penelitian adalah mendapatkan
data (Sugiyono, 2012: 224). Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan
teknik pengumpulan data yang meliputi:

1. Observasi
Menurut W. Gulo (2004:116), observasi adalah metode
pengumpulan data, dimana peneliti mencatat hasil informasi
sebagaimana yang mereka saksikan selama penelitian. Observasi

38
melibatkan dua komponen, yaitu si pelaku observasi atau observer,
dan obyek yang diobservasi atau observe. Dalam penelitian ini,
peneliti menggunakan observasi non pasrtisipan dimana peneliti
hanya mengamati secara langsung keadaan obyek, tetapi peneliti
tidak aktif dan ikut terlibat langsung.

Beberapa hal yang menjadi obyek observasi dalam penelitian


ini diantaranya mencakup perilaku siswa siswi SMA Negeri 2
Painan dalam pengelolaan sampah dan praktik sosialisasi dan
edukasi terkait iklim, serta rendahnya kesadaran dan pengetahuan
siswa siswi SMA Negeri 2 Painan terkait perubahan iklim,
pendidikan iklim, dan pengelolaan sampah.

2. Wawancara
Moleong (2007: 186) menjelaskan bahwa wawancara adalah
percakapan dengan maksud tertentu yang dilakukan oleh dua
pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan
pertanyaan, dan terwawancara (interviewee) yang memberikan
jawaban atas pertanyaan itu. Wawancara secara umum terbagi
menjadi dua, yaitu: wawancara terstruktur dan wawancara tidak
terstruktur. Wawancara terstruktur memiliki arti bahwa wawancara
yang dilakukan dimana pewawancara telah menetapkan sendiri
masalah-masalah yang akan diajukan sebagai pertanyaan.
Sedangkan wawancara tidak terstruktur merupakan wawancara
yang memiliki ciri kurang diinterupsi dan arbiter. Wawancara
tersebut digunakan untuk menemukan informasi yang bulan baku
atau informasi tunggal (Moleong, 2007: 190).

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan wawancara secara


semi terstruktur. Maka sebelum melakukan wawancara, peneliti
telah menyiapkan pertanyaan-pertanyaan yang nantinya akan

39
diajukan kepada informan. Namun, pada pelaksanaannya nanti
akan disesuaikan dengan keadaan responden.

3. Dokumentasi
Dokumentasi berasal dari kata dokumen, yang memiliki arti
barang-barang tertulis (Arikunto, 2002:135). Dokumentasi
dilakukan dengan cara mengumpulkan dokumentasi pendukung
data-data penelitian yang dibutuhkan. Dalam penelitian ini,
pendukung data dalam hal tertulis atau dokumen diambil dari
berbagai arsip-arsip.

4. Studi Pustaka
Studi pustaka dilakukan dengan mencari referensi yang sesuai
dengan topik atau tema yang diteliti. Studi pustaka ini digunakan
untuk menunjang kelengkapan data dalam penelitian dengan
menggunakan sumber-sumber dari kepustakaan yang relevan.

3.6 Instrumen Penelitian


Instrumen pada penelitian ini adalah peneliti sendiri (human
instrument). Kedudukan peneliti dalam penelitian kualitatif dapat
dikatakan cukup rumit karena selain sebagai perencana, pelaksana
pengumpulan data, menganalisis, penafsir data, peneliti tentu juga sebagai
pelapor hasil penelitiannya tersebut (Moleong, 2007: 168). Instrumen
sendiri menurut Arikunto (2002: 126) ialah alat pada waktu peneliti
menggunakan suatu metode. Karena dalam penelitian ini menggunakan
metode observasi, wawancara, dan dokumentasi, maka intrumen yang
dibutuhkan antara lain yaitu pedoman observasi, pedoman wawancara,
tape recorder, kamera, serta alat tulis.

3.7 Teknik Pemilihan Informan

40
Penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling untuk
pengambilan sampel dengan tujuan menjaring sebanyak mungkin
informasi dari berbagai macam sumber dan bangunannya (Moleong,
2007:224). Sampel yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah siswa
siswi SMA Negeri 2 Painan.

3.8 Validitas Data


Validitas data merupakan bagian penting dalam sebuah penelitian
dimana dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh sang peneliti dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya. Dalam pemeriksaan keabsahan
data ini, peneliti menggunakan trianggulasi data.

Trianggulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan atau valid tidaknya


data dengan memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data tersebut untuk
keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data tersebut
(Moleong, 2007:330). Untuk tekniknya sendiri, dalam penelitian ini
digunakan teknik trianggulasi dengan sumber.

Trianggulasi sumber berarti membandingkan dan mengecek derajat


kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang
berbeda dalam penelitian kualitatif. Menurut Patton dalam Moleong
(2007: 330) hal tersebut dapat dicapai melalui:

1) Membandingkan data hasil pengamatan dengan hasil wawancara.


2) Membandingkan apa yang dikatakan orang di depan umum dengan
apa yang dikatakannya secara pribadi.
3) Membandingkan apa yang dikatakan orang-orang tentang situasi
penelitian dengan apa yang dikatakannya sepanjang waktu.
4) Membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan
berbagai pendapat dan pandangan orang seperti rakyat biasa, orang

41
yang berpendidikan menengah atau tinggi, orang berada, orang
pemerintahan.
5) Membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang
berkaitan.

Dalam trianggulasi sumber ini dilakukan dengan membandingkan


informasi yang diperoleh peneliti dari masing-masing informan.
Informasi yang diperoleh dari observasi dan studi pustaka nantinya
akan dibandingkan dengan informasi yang diperoleh melalui hasil
wawancara kepada siswa siswi SMA Negeri 2 Painan. Perbandingan
tersebut nantinya tentu akan dijadikan analisis mengenai kesamaan
atau perbedaan-perbedaan informasi yang diperoleh peneliti.

3.9 Teknik Analisis Data


Dalam teknik analisis data, terdapat empat komponen dimana keempat
komponen tersebut merupakan proses siklus dan interaktif dalam sebuah
penelitian. Keempat komponen tersebuat ialah:

1. Pengumpulan Data
Data dikumpulkan oleh peneliti berupa data dari hasil
wawancara, observasi, dokumentasi yang dicatat dalam catatan
lapangan yang terdiri dari dua aspek, yaitu deskripsi dan refleksi.
Catatan deskripsi merupakan data alami yang berisi tentang apa
yang dilihat, didengar, dirasakan, disaksikan, dan dialami sendiri
oleh peneliti (Miles dan Huberman, 1994: 15). Pengamatan juga
mencakup data-data lainnya baik itu data verbal maupun nonverbal
dari penelitian ini. Peneliti juga akan melakukan pencatatan terkait
dengan Korelasi Rendahnya Pendidikan Iklim Terhadap Penerapan
Konsep 5R (Reuse, Reduce, Recyle. Replant, Replace).

42
Catatan refleksi merupakan catatan yang membuat kesan,
komentar, dan tafsiran dari peneliti tentang berbagai temuan yang
dijumpai pada saat melakukan penelitian dan merupakan bahan
rencana pengumpulan data untuk tahap selanjutnya. Untuk
mendapatkan catatan ini, maka peneliti harus melakukan
wawancara dengan berbagai informan (Miles dan Huberman, 1994:
16).

2. Reduksi Data
Reduksi data merupakan proses pemilihan/ penyederhanaan
data-data yang diperoleh baik itu dari hasil wawancara, observasi,
maupun dokumentasi yang didasarkan atas fokus permasalahan.
Setelah melalui proses pemilihan data, maka akan ada data yang
penting dan data yang tidak digunakan. Maka, kemudian data
diolah dan disajikan dnegan bahasa maupun tulisan yang lebih
ilmiah dan lebih bermakna (Miles dan Huberman, 1994: 16).

3. Penyajian Data
Penyajian data adalah proses penampilan data dari semua hasil
penelitian dalam bentuk paparan naratif representatif tabular
termasuk dalam format matriks, grafis dan sebagainya, yang
nantinya dapat mempermudah peneliti dalam melihat gambaran
hasil penelitian karena dari banyaknya data dan informasi tersebut
peneliti kesulitan dalam pengambilan kesimpulan dari hasil
penelitian ini (Usman, 2009: 85). Data-data yang diperoleh perlu
disajikan dalam format yang lebih sederhana sehingga peneliti
mudah dalam menganalisisnya dan membuat tindakan berdasarkan
pemahaman yang diperoleh dari penyajian data-data tersebut.

4. Penyimpulan Data

43
Kesimpulan merupakan langkah akhir dalam pembuatan
laporan penelitian. Penarikan kesimpilan adalah usaha guna
mencari atau memahami makna, keteraturan pola-pola penjelasan,
alur sebab akibat. Kesimpulan yang telah ditarik maka kemudian
diverifikasi dengan cara melihat dan mempertanyakan kembali dan
melihat catatan lapangan agar memperoleh pemahaman yang tepat.
Selain itu, juga dapat dengan mendiskusikannya (Usman, 2009:
87).

Miles dan Huberman (1994: 20) menjelaskan bahwa


pengambilan kesimpulan harus dilakukan secara teliti dan hati-hati
agar kesimpulan yang diperoleh berkualitas dan sesuai dengan
tujuan penelitian. Hal tersebut dilakukan agar data tersebut
mempunyai validitas sehingga kesimpulan yang ditarik menjadi
kuat.

44
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Urgensi Pendidikan Iklim


4.1.1 Ancaman dan Dampak Negatif Perubahan Iklim
Kenaikan suhu bumi tidak hanya berdampak pada naiknya
temperatur bumi tetapi juga mengubah sistem iklim yang
berpengaruh pada aspek alam dan aspek kehidupan manusia.
Profesor Richard Tol dan University of Sussex memperkirakan jika
perubahan iklim tidak dapat ditahan atau diperbaiki maka dampak
negatif akan lebih banyak dibandingkan dampak positifnya dilansir
dari Laman Knowledge Center. Kondisi yang tidak menetap ini
membuat prediksi akan terancamannya kehidupan manusia
semakin menguat. Menurunnya kualitas air, berkurangnya
kuantitas air karena kemarau berkepanjangan akan membuat
kekeringan bahkan secara luas berdampak pada terbatasnya
persediaan bahan pangan dari sektor pertanian. Kelaparan akan
terjadi, gizi buruk semakin meningkat, harga pangan melambung,
dan secara lebih luas berpengaruh pada kesehatan fisik dan mental
manusia.
Selain mempengaruhi ekosistem, baik di darat maupun laut,
perubahan iklim juga berdampak signifikan pada kehidupan
makhluk-makhluk bumi. Berikut sejumlah contoh dampak
perubahan iklim di beberapa sektor:
a. Air
Perubahan iklim mempengaruhi siklus hujan serta
meningkatkan kejadian kekeringan berkepanjangan dan jumlah
curah hujan ekstrem. Saat kekeringan melanda, pasokan air
menjadi langka. Sementara itu, kebalikannya, saat hujan dengan

45
intensitas dan frekuensi tinggi terjadi dalam waktu lama, banjir pun
terjadi di mana-mana.
Daerah perkotaan, terutama di pesisir, diproyeksikan menjadi
area paling rentan mengalami banjir dan kerusakan infrastruktur.
Saat ini, pembangunan wilayah perkotaan di Indonesia kerap tidak
sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), di mana
lahan hijau beralih fungsi menjadi area industri dan perumahan.
Perubahan iklim yang mempengaruhi siklus dan curah hujan serta
menambah tinggi permukaan air laut memperburuk situasi itu.
Selain banjir pada musim penghujan, Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional (Bappenas) memproyeksikan bahwa
hingga tahun 2034 hampir seluruh wilayah Indonesia akan
mengalami penurunan jumlah curah hujan tahunan. Bappenas juga
mengungkap, tingkat kekeringan pada musim kemarau akan
mengalami perburukan. Berdasarkan skenario proyeksi siklus
curah hujan musiman pada tiga periode 15 tahunan (2020 – 2100)
yang dilakukan Bappenas, saat musim kemarau, persentase curah
hujan akan menurun, terutama setiap bulan Juli, dengan rentang
nilai -10.2 untuk bulan Juli periode 2020-2034 hingga -20.8 untuk
bulan yang sama pada tahun 2086-2100. Artinya, tingkat
kekeringan diproyeksikan akan mengalami peningkatan.
Tingkat kekeringan yang lebih parah itu mengancam
ketersediaan air bagi masyarakat. Menurut IPCC, di Indonesia,
penurunan ketersediaan air secara merata akan terjadi di Pulau
Jawa pada periode proyeksi 2020-2034 dan Nusa Tenggara pada
2030-2045. IPCC juga memperkirakan, pada tahun 2024, rata-rata
penurunan ketersediaan air di Pulau Jawa mencapai 439,21 M3
perr kapita per tahun dan 1.098,08 m3 per kapita per tahun di Nusa
Tenggara. Tak hanya di tanah air, IPCC menyebutkan di dalam
laporan tahunannya yang kelima bahwa peningkatan kekeringan

46
serupa telah terjadi di wilayah Mediterania dan Afrika bagian
barat.

b. Kelautan
Laporan Khusus IPCC tentang Pemanasan Gobal 1,5°C
mengungkap bahwa lapisan permukaan atas lautan (dengan
kedalaman 0-700 meter) telah mengalami peningkatan suhu. Selain
itu, permukaan tiga cekungan samudera juga menghangat selama
periode 1950–2016 (masing-masing sebesar 0,11°C, 0,07°C, dan
0,05°C per dekade untuk Samudera Hindia, Atlantik dan Pasifik).
Kenaikan suhu permukaan air laut juga terjadi di Indonesia.
Bappenas menyebutkan, hal itu terjadi seiring dengan
meningkatnya suhu udara di Tanah Air yang mencapai 0,7°C ±
0,2°C setiap abad.
Perubahan suhu itu memperparah intensitas badai dan tinggi
gelombang air laut. Bappenas mengungkap, pada tahun 2045,
tinggi gelombang di perairan Indonesia, terutama di bagian timur,
berpotensi bertambah sekitar 0,5 meter. Dampaknya, persentase
kecelakan kapal dan terhambatnya pelayaran antar pulau
meningkat. Jumlah hari melaut bagi para nelayan pun akan
berkurang. Peingkatan suhu air laut juga menyebabkan lapisan es
di Kutub Utara mencair dengan cepat. Menurut IPCC, pada bulan
September periode 1997-2014, rata-rata luas laut es mengalami
penyusutan hingga sebesar 130 ribu km² per tahun. Proses itu
terjadi empat kali lebih cepat dibandingkan proses hilangnya es
pada bulan September periode 1979-1996. Hal itu berdampak pada
naiknya permukaan air laut sehingga menempatkan daerah pesisir
dalam kondisi kian tak stabil dan rentan terhadap banjir rob (banjir
di tepi pantai). Berdasarkan penelitian Bappenas, daerah pesisir di
wilayah Indonesia bagian barat lebih rentan terhadap banjir rob
karena area pantainya cenderung lebih landai.

47
c. Pertanian
Gelombang panas, perubahan suhu serta curah hujan
mengakibatkan penurunan hasil panen. Jika terjadi dalam waktu
berkepanjangan, maka dapat mengancam ketahanan pangan
masyarakat dunia. Menurut Laporan Khusus IPCCt
tentang Pemanasan Global 1,5°C, tren suhu dan curah hujan telah
mengurangi produksi tanaman dan hasil panen terutama gandum,
jagung, padi, dan kedelai. Di dalam dokumen 5 th Assessment-nya,
IPCC juga memperlihatkan bahwa dalam kurun waktu 100 tahun,
dalam rentang waktu 2010-2019, tingkat penurunan produksi
tanaman pangan tersebut akan semakin parah.
IPCC mengatakan, penurunan hasil panen yang lebih parah
akan terjadi di wilayah Afrika Barat, Asia Tenggara, Amerika
Tengah, dan Amerika Selatan. Hal ini dapat dapat dicegah dengan
membatasi keaikan suhu bumi hingga 1,5°C, alih-alih 2°C.
Persoalan serupa juga berpotensi terjadi di Indonesia. Bappenas
menyebutkan, di dalam dokumen “Kebijakan Pembangunan
Berketahanan Iklim 2020-2045”, perubahan iklim juga berpotensi
mengakibatkan penurunan produktivitas beberapa jenis tanaman
dan dapat mengubah jenis tanaman yang sesuai untuk pertanian di
suatu wilayah. Bappenas mengungkap, pada tahun 2020-2045,
produksi padi di sejumlah provinsi seperti Kalimantan Utara,
Gorontalo, Maluku, dan Maluku Utara akan menurun lebih dari
25%. Pulau Jawa dan Sumatera sebagai pusat produksi beras juga
akan mengalami penurunan dari 10% menjadi 17,5%.

d. Ekosistem
Perubahan iklim tak hanya berpengaruh pada kehidupan
manusia, tetapi juga berdampak pada kelangsungan hidup
tumbuhan dan binatang. Contohnya, IPCC memperkirakan, jika
suhu permukaan bumi naik hingga 2°C, sekitar 18 persen

48
serangga, 16 persen tumbuhan, dan 8 persen vertebrata akan
punah.27 Hal itu terjadi, salah satunya, karena perubahan iklim
dapat berkontribusi pada meningkatnya penyebaran spesies
invasif, serta hama dan penyakit. Sementara di laut, salah satu
hewan paling terdampak perubahan iklim adalah terumbu
karang. Ketika terjadi perubahan suhu 1°C-2°C selama kurun
waktu tertentu, terumbu karang akan memutih, lalu mati atau
bahkan punah. Berdasarkan data tahun 2016-2017, terumbu
karang ikonik seperti Great Barrier Reef di Australia telah
mengalami pemutihan dan hampir 50 persen mati. Tidak
berhenti di situ, Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan
Kebudayaan PBB (UNESCO) memperkirakan bahwa akan ada
sembilan situs Warisan Dunia berisi terumbu karang akan
hilang jika manusia tidak berupaya mengurangi produksi gas
rumah kaca.
Selain dampak-dampak pada berbagai sektor di atas, IPCC
berpendapat, perubahan iklim juga memberikan pengaruh
negatif bagi sektor pariwisata dan transportasi. Jumlah turis
yang berkunjung ke lokasi wisata yang menjual pesona
keanekaragaman hayati dan lingkungan seperti pantai, gletser,
dan lainnya akan urung berkunjung lagi jika aset-aset itu
mengalami kepunahan atau kerusakan. Kejadian cuaca ekstrem
seperti banjir dan badai pun akan menghambat operasional
transportasi, baik darat, udara, maupun, laut.
e. Kesehatan
Kesehatan masyarakat merupakan hal lain yang terpengaruh
perubahan iklim, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Berdasarkan Laporan Khusus IPCC tentang Pemanasan Global
1,5°C, gelombang panas yang memperburuk kualitas udara
dapat menimbulkan gangguan pernapasan. Di sisi lain, suhu
dan tingkat kelembaban lingkungan yang meningkat dapat

49
memicu stres pada kelompok masyarakat yang melakukan
pekerjaan atau aktivitas fisik. Pada bulan-bulan terpanas,
produktivitas mereka pun akan semakin terganggu. Perubahan
curah hujan dan tingkat kelembaban udara juga berkontribusi
mendorong perkembangbiakan, mengubah perilaku, dan
memperpanjang kelangsungan hidup nyamuk. Intensitas
penularan penyakit malaria pun kian tinggi, khususnya di
wilayah Asia, Afrika, dan Amerika Selatan.
Begitu pula dengan penularan Demam Berdarah Dengue
(DBD), chikungunya, Zika, dan penyakit akibat nyamuk
lainnya, selain karena jumlah nyamuk yang bertambah,
jangkauan geografis mereka pun semakin luas. Sementara itu,
secara tidak langsung, perubahan iklim yang memperbesar
potensi gagal panen dan menurunkan produksi pertanian
membuat upaya pemenuhan gizi masyarakat kian sulit dicapai.
Perubahan iklim memberikan dampak bagi kesehatan
(Depkes, 2008)
1) Peningkatan kebutuhan energi yang dipenuhi melalui
penggunaan bahan bakar fosil akan menambah jumlah
gangguan pernapasan, seperti asma.
2) Perubahan iklim akibat ulah manusia secara signifikan telah
memperbesar potensi terjadinya gelombang panas, yang
mengakibatkan serangan panas (heat stroke),
kardiovaskuler dan gangguan pernapasan.
3) Pola curah hujan yang semakin beragam mengganggu
ketersediaan air bersih, serta meningkatkan resiko penyakit
yang disebabkan oleh air seperti kolera, dan wabah
penyakit diare.
4) Peningkatan suhu dan variabel curah hujan mengurangi
jumlah produksi tanaman pangan di banyak daerah
termiskin, sehingga meningkatkan resiko malnutrisi.

50
5) Peningkatan frekuensi dan intensitas perubahan cuaca yang
ekstrim akan mengakibatkan kematian, luka-luka, dan
cacat.
6) Memperpanjang waktu transmisi berbagai penyakit yang
disebabkan oleh vektor (seperti demam berdarah dan
malaria), dan juga dan mengubah jangkauan geografisnya
sehingga berpotensi menjangkit daerah yang
masyarakatnya memiliki kekebalan yang rendah terhadap
penyakit-penyakit tersebut.
7) Peningkatan permukaan air laut meningkatkan resiko
terjadinya banjir di wilayah pesisir, dan mengakibatkan
pemindahan penduduk kehilangan mata pencaharian dan
akhirnya meningkatkan tekanan psikososial masyarakat
yang terkena dampaknya.
8) Iklim dapat mempengaruhi ekosistem, habitat binatang
penular penyakit, bahkan tumbuh kembangnya koloni
kuman secara alamiah. Dengan demikian secara langsung
atau tidak langsung dapat mempengaruhi terjadinya
penyakit, seperti demam berdarah (Achmadi, 2005).
9) Iklim dapat berpengaruh terhadap pola penyakit infeksi
karena agen penyakit (virus, bakteri, atau parasit lainnya)
dan vektor (serangga atau rodensia) bersifat sensitif
terhadap suhu, kelembaban dan kondisi lingkungan ambien
lainnya. Cuaca dan iklim berpengaruh terhadap penyakit
yang berbeda dengan cara yang berbeda.

f. Curah hujan
Perubahan iklim juga mempengaruhi pola curah hujan dan
menimbulkan kejadian bencana khususnya banjir. Banjir
merupakan penyebab tersebarnya agen penyakit dan wabah
penyakit menular (Achmadi, 2007). Variabilitas hujan dapat

51
memiliki konsekuensi langsung pada wabah penyakit infeksi.
Peningkatan hujan dapat meningkatkan keberadaan vekor
penyakit dengan memperluas ukuran habitat larva yang ada dan
membuat tempat perindukan nyamuk yang baru. Ketika musim
hujan datang maka ketersediaan tempat perindukan nyamuk
(TPN) meningkat (WHO, 2003). Seperti diketahui bahwa
Aedes lebih menyukai air bersih untuk meletakkan telurnya.
Seekor nyamuk Aedes akan bertelur berkisar antara 100-300
butir, sehingga populasi nyamuk meningkat dengan cepat.
Untuk mematangkan telurnya maka nyamuk akan mencari
mangsa manusia, sehingga kecenderungan untuk menghisap
darah manusia bertambah (Sintorini, 2007).
Namun curah hujan lebat juga dapat menyebabkan banjir dan
mengurangi populasi vektor dengan mengurangi habitat larva
dan membuat lingkungan yang tidak nyaman bagi vektor.
Sedangkan pada musim kemarau dapat menyebabkan sungai
melambat dan menjadikannya kolam stagnan yang menjadi
habitat ideal bagi vektor untuk tempat perindukan nyamuk
(WHO, 2003).

g. Suhu
Perubahan iklim yang ditandai dengan peningkatan suhu
rata-rata dapat mempengaruhi perkembangbiakan nyamuk
Aedes aegypti. Peningkatan suhu akan mempengaruhi
perubahan bionomik atau perilaku menggigit dari populasi
nyamuk, angka gigitan rata-rata yang meningkat (biting rate),
kegiatan reproduksi nyamuk berubah ditandai dengan
perkembangbiakan nyamuk yang semakin cepat dan masa
kematangan parasit dalam nyamuk akan semakin pendek
(Achmadi, 2007).

52
Selain itu suhu dapat memodifikasi pertumbuhan vektor
pembawa penyakit dengan mengubah tingkat gigitan mereka.
Sama seperti mempengaruhi dinamika populasi vektor dan
mengubah tingkat kontak dengan manusia. Pergantian suhu
dapat mengubah musim transmisi. Vektor pembawa penyakit
bisa beradaptasi pada perubahan suhu dengan mengubah
distribusi geografis (WHO, 2003).
Peningkatan suhu juga dapat memperpendek waktu yang
diperlukan oleh nyamuk Aedes aegypti untuk berkembang dari
fase telur menjadi nyamuk dewasa. Pada suhu 26oC, virus
membutuhkan waktu selama 25 hari dari saat pertama virus
menginfeksi nyamuk sampai dengan virus dengue berada
dalam kelenjar liur nyamuk dan siap untuk disebarkan kepada
calon-calon penderita sepanjang hidup nyamuk tersebut.
Sebaliknya, hanya diperlukan waktu yang relatif pendek, yaitu
10 hari pada suhu 30oC. Hal ini akan mempercepat nyamuk
Aedes aegypti menyebarkan virus dengue. Semakin pesatnya
perkembangbiakan nyamuk tersebut dapat meningkatkan risiko
epidemik yang semakin tinggi.
Berdasarkan data dari National Aeronautics and Space
Administration (NASA), suhu permukaan bumi di tahun 2021
mengalami kenaikan 0,86 oC dibandingkan suhu rata-rata
tahunan pada periode 1951-1980.
NASA juga menyebutkan bahwa dalam 10 tahun terakhir, suhu
permukaan bumi sempat mengalami peningkatan sebesar 1,02
oC pada tahun 2016 dan 2020. NASA menyebutkan tren
peningkatan suhu ini diakibatkan oleh aktivitas manusia yakni
meningkatkan polusi karbon dioksida dan gas rumah kaca
lainnya ke atmosfer bumi.
Suhu dan kelembaban lingkungan secara langsung juga
mempengaruhi matabolisme nyamuk dan juga mempengaruhi

53
virulensi virus dengue. Suhu lingkungan berpengaruh terhadap
masa inkubasi ekstrinsik (PIE) nyamuk. PIE adalah periode
yang diperlukan oleh virus untuk masuk ke dalam tubuh
nyamuk dari alat penghisapnya menyebar ke dalam kelenjar
liurnya untuk siap disebarkan kepada calon penderita pada
penghisapan berikutnya. PIE dipengaruhi oleh suhu
lingkungan, kelembaban, tingkat viremia pada manusia dan
galur virus. Peningkatan suhu akan mempersingkat PIE dan
meningkatkan transmisi. Suhu yang meningkat sampai 34oC
akan mempengaruhi suhu air yang selanjutnya berpengaruh
terhadap penetasan telur menjadi larva secara lebih cepat
(UNDP Indonesia, 2003).
Pada musim penghujan populasi nyamuk akan meningkat
dengan cepat. Pada waktu musim kering, telur nyamuk
diawetkan oleh alam karena situasi kering, dari telur menetas
sampai dewasa diperlukan waktu antara 8-10 hari tergantung
suhu. Jika suhu tinggi, bisa mencapai 8 hari, sedangkan pada
kondisi suhu rendah bisa mencapai 10 hari. Suhu tinggi dalam
perkembangannya mempengaruhi percepatan metabolisme
nyamuk dan suhu tinggi sekitar 30oC cenderung mempercepat
replikasi virus. Selain itu, suhu juga mempengruhi
perkembangan larva. Perkembangan larva terutama
dipengaruhi oleh suhu dan makanan di dalam tempat
perindukan. Di laboratorium pada keadaan optimal yaitu cukup
makanan dan suhu air 25-27oC perkembangan larva adalah 6-8
hari. Bila suhu air lebih dari 28oC atau kurang dari 24oC
perkembangan larva menjadi lebih lama. Pada suhu 31oC,
24oC, 20oC, 18oC dan 16oC perkembangan larva berturut-
turut 12 hari, 10 hari, 19 hari, 24 hari dan 29 hari. Larva mati
pada suhu kurang dari 10oC atau lebih dari 40oC. pada suhu

54
yang berfluktuasi perkembangan larva lebih cepat
dibandingkan pada suhu tetap (Sungkar, 2005).
Suhu berpengaruh pada beberapa vektor dan virus (UNDP
Indonesia, 2003)
1. Pengaruh suhu terhadap vektor penyakit
a) Kemampuan bertahan hidup dapat meningkat atau
menurun tergantung spesies
b) Beberapa vektor memiliki kemampuan bertahan hidup
lebih tinggi pada latitude dan altitude lebih tinggi
dengan suhu lebih tinggi
c) Perubahan pada suseptibilitas vektor pada beberapa
patogen seperti suhu lebih tinggi menurunkan ukuran
beberapa vektor tetapi menurunkan aktivitas pada
vektor lain
d) Perubahan pada populasi pertambahan vektor
e) Perubahan musim pada perkembangan populasi
2. Pengaruh suhu terhadap virus
a) Penurunan masa inkubasi ekstrinsik virus pada vektor
dengan suhu lebih tinggi
b) Perubahan pada musim penularan
c) Perubahan pada distribusi
d) Penurunan replikasi virus

h. Kelembaban
Kelembaban dapat mempengaruhi transmisi vektor,
terutama vektor serangga. Nyamuk akan lebih mudah
dehidrasi dan pertahanan hidup menurun pada kondisi
kering (UNDP Indonesia, 2003). Kelembaban lingkungan
secara langsung juga mempengaruhi metabolisme nyamuk
vektor dan diduga juga mempengaruhi virulensi virus
dengue.

55
Selain itu, bila kelembaban kurang, telur dapat menetas
dalam waktu yang lama, bisa mencapai tiga bulan. Kalau
lebih dari waktu tersebut, telur akan mengalami penurunan
fekunditas (tidak mampu menetas lagi). Meskipun baru
seminggu kalau kelembaban cukup tinggi di atas 70% dapat
mengalami perkembangan embrio di dalam cangkang telur
sendiri. Kelembaban akan mempengaruhi pernapasan
nyamuk, termasuk serangga.

i. Gelombang panas
Studi yang dilakukan oleh World Weather Attribution
(WWA) mengungkapkan bahwa ancaman gelombang panas
tiga puluh kali lipat lebih sering terjadi dengan kondisi
naiknya suhu rata-rata bumi. Gelombang panas di
Bangladesh dan India yang sebelumnya terjadi dalam kurun
waktu satu abad sekali saat ini dapat terjadi dalam 5 tahun.
Asia Tenggara merupakan salah satu kawasan paling
rentan akan krisis iklim yang juga akan lebih sering
memicu gelombang panas dan tingkat polusi yang tinggi di
Asia Tenggara. Friederiko Otto, salah satu bagian dari
Institut Perubahan Iklim dan Lingkungan Grantham
menyatakan bahwa perubahan iklim secara dramatis
meningkatkan frekuensi intensitas gelombang panas, salah
satu peristiwa cuaca paling mematikan yang pernah ada.
Suhu bumi terus mengalami peningkatan dan rekor suhu
terpanas selalu terpecahkan. Vikki Thompson, peneliti dari
School of Geographical Sciences, University of Bristol
mengingatkan bahwa ancaman gelombang panas dapat
terjadi dimana saja, karena intensitas yang meningkat
akibat krisis iklim.

56
j. Perekonomian
Laporan Bencana Asia-Pasifik Economic and Social
Commission for Asia and the Pacific (ESCAP) 2021 dan
2022 memperkirakan bahwa di Asia, investasi tahunan
dalam adaptasi harus paling tinggi untuk China, sebesar
US$188,8 miliar, diikuti oleh India di AS. $46,3 miliar, dan
Jepang sebesar US$26,5 miliar. Sebagai persentase dari
PDB negara, biaya tertinggi diperkirakan untuk Nepal,
sebesar 1,9%, diikuti oleh Kamboja sebesar 1,8%, dan India
sebesar 1,7%.
Merujuk penelitian yang di terbitkan oleh lembaga riset
asal Swiss tahun 2021, Menkeu menjelaskan perubahan
iklim juga dapat memberikan kerugian yang besar bagi
perekonomian, yaitu kehilangan mencapai lebih dari 10
persen dari total nilai ekonominya apabila kesepakatan
Paris 2050 tidak terpenuhi.

4.1.2 Pendidikan Iklim Sebagai Solusi Perubahan Iklim


Krisis planet yang terkait dengan perubahan iklim, hilangnya
keanekaragaman hayati dan polusi mengancam sangat
kelangsungan hidup manusia. Sekretaris Jenderal PBB
menyebut krisis iklim ‘pertempuran untuk hidup’. Dalam
semakin kompleks dan dunia yang saling terhubung dengan
ancaman nyata dan eksistensial seperti perubahan iklim, ada
seruan yang berkembang untuk pendidikan untuk
memungkinkan individu, sebagai agen perubahan, untuk
memperoleh pengetahuan, keterampilan, nilai-nilai dan sikap
yang mengarah pada transisi hijau kita masyarakat. Mengingat
pasal 6 Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan
Iklim dan pasal 12 Perjanjian Paris yang menyoroti peran
pendidikan, UNESCO, badan utama PBB untuk Pendidikan

57
untuk Pembangunan Berkelanjutan (ESD), diluncurkan
kerangka kerja global ESD untuk 2030 di UNESCO Konferensi
Dunia tentang ESD pada Mei 2021, di mana berakhir 70
menteri dan wakil menteri pendidikan juga krena 2.800
pemangku kepentingan berkomitmen untuk berintegrasi ESD,
termasuk aksi iklim, sebagai kurikulum inti komponen. Ini
diikuti oleh Milan Youth4Climate Manifesto dan Pekerjaan
Glasgow program Aksi Pemberdayaan Iklim di COP26 di
Glasgow di mana, untuk pertama kalinya, pendidikan
perubahan iklim menempati peran sentral.
KTT Transformasi Pendidikan Sekretaris Jenderal PBB
telah menegaskan bahwa pendidikan harus diubah untuk
menanggapi krisis iklim dan lingkungan global. Membangun
dari pengetahuan dan praktik yang terakumulasi dalam
Pendidikan untuk Pembangunan Berkelanjutan (ESD),
Kemitraan Pendidikan Penghijauan yang baru bertujuan untuk
memberikan tindakan yang kuat, terkoordinasi dan
komprehensif yang akan mempersiapkan setiap pelajar untuk
memperoleh pengetahuan, keterampilan, nilai, dan sikap untuk
mengatasi iklim perubahan dan untuk mempromosikan
pembangunan berkelanjutan.
Sejumlah pihak berpendapat bahwa pendidikan merupakan
salah satu cara untuk mempengaruhi para praktisi dan para
pengambil keputusan di masa yang akan datang (Cusick, 2009).
Tujuh puluh persen pemuda yang disurvei mengatakan bahwa
mereka tidak dapat menjelaskan perubahan iklim, atau hanya
dapat menjelaskan prinsip-prinsipnya yang luas, atau tidak tahu
apa-apa tentang itu. Untuk menanggulangi persoalan tersebut,
UNICEF menilai penting untuk memberikan pemahaman
kepada setiap anak tentang perubahan iklim, dampaknya, serta
bagaimana mereka dapat mempersiapkan diri dan beradaptasi.

58
UNICEF berpendapat, hal itu dapat dilakukan dengan
memasukkan isu perubahan iklim ke dalam kurikulum sekolah.
Tanpa pendidikan perubahan iklim yang baik, anak akan
kesulitan memahami cara-cara terbaik yang bisa dilakukan
dalam menghadapi perubahan iklim, terutama di era digital di
mana beragam informasi keliru soal perubahan iklim dapat
mudah ditemukan.
Sebagai isu global, penanganan isu perubahan iklim perlu
melibatkan seluruh pihak secara global. Upaya perlindungan
dan pengelolaaan lingkungan saat ini baik di tingkat nasional
maupun daerah masih belum berjalan optimal karena masih
banyak kendala yang dihadapi. Salah satunya adalah tingkat
kesadaran dan partisipasi masyarakat yang masih rendah.
Sementara masalah lingkungan dan kondisi kerusakan dan
pencemaran lingkungan tidak dapat dihentikan. Oleh karenanya
pemerintah perlu berupaya untuk menggerakkan semua unsur
masyarakat dalam mengatasi masalah perubahan iklim ini.
Masyarakat perlu diberi pemahaman bahwa perubahan iklim
bukanlah sesuatu hal yang perlu ditakuti, akan tetapi perlu
dihadapi dan dijadikan peluang untuk dapat berkembang ke
muka serta meningkatkan kapasitas adaptasi maupun mitigasi
secara bersama.
Komunitas pendidikan merupakan sasaran kelompok yang
strategis. Guru sebagai tenaga pengajar siswa merupakan ujung
tombak dalam menciptakan generasi muda yang memiliki
kesadaran, kepedulian dan perilaku yang ramah lingkungan.
Guru sebagai individu yang berperan penting dalam
pembentukan aspek kognitif, afektif dan psikomotorik serta
karakter generasi penerus bangsa terlebih dahulu perlu
mendapatkan prioritas peroleh informasi, pengetahuan dan
keterampilan terpadu tentang perubahan iklim ini.

59
Dunia pendidikan memainkan peran yang sangat penting
dalam menciptakan generasi penerus bangsa yang diharapkan
dapat berperan aktif dalam mengatasi permasalahan perubahan
iklim. Karena pendidikan adalah hal yang sangat fundamental
dan penting sehingga tepat untuk dijadikan wadah bagi upaya
penanganan perubahan iklim (Rio, 2023). Berdasarkan data
statistik Kemendiknas, sampai dengan tahun 2010
menunjukkan jumlah guru Sekolah Menengah Pertama di
seluruh Indonesia sebesar 638.014 orang, sedangkan jumlah
siswanya sebanyak 9.225.006 orang. Figur ini secara tidak
langsung dapat merefleksikan potensi terhadap perwujudan
perilaku ramah lingkungan generasi mendatang bilamana
dikelola dengan baik. Karena dengan pendidik berkualitas akan
menghasilkan siswa didik yang berkualitas serta berperilaku
ramah lingkungan. Untuk itu, dengan mendorong peningkatan
kualitas tenaga didik dalam hal pengajaran perubahan iklim ini,
hampir dapat dipastikan masalah perubahan iklim dimasa
mendatang dapat diminimalisasi dan pembangunan
berkelanjutan dapat terwujud

4.2 Penerapan Pendidikan Iklim di SMA Negeri 2 Painan


Menurut Fauzia (16), edukasi tentang iklim di sekolah hanya ia
dapatkan pada mata pelajaran Fisika dan saat membahas materi
yang berkaitan seperti pemanasan global. Sedangkan menurut Zaki
(16), edukasi iklim tidak hanya didapatkan dari mata pelajaran
bidang Fisika, namun terkadang ada beberapa guru yang
menghimbau untuk melakukan pengelolaan sampah guna
menghindari dampak buruknya, salah satunya adalah perubahan
iklim. Namun jarang sekali bahkan nyaris tidak pernah guru atau
tenaga pendidik memberitahukan bahwa limbah dan sampah
ternyata berpengaruh terhadap krisis iklim.

60
Khusus pelajar kelas X yang menggunakan kurikulum merdeka,
mendapat tema “gaya hidup berkelanjutan” pada Proyek Penguatan
Profil Pelajar Pancasila (P5) yang diadakan setiap akhir
semesternya. Kegiatan tersebut dinilai lebih intensif untuk
memberikan sosialisasi dan edukasi terkait iklim, karena pelajar
diajak untuk berdiskusi secara interaktif dan kemudian
mempraktikkan ilmu yang telah mereka dapatkan di diskusi
tersebut. Hal ini tentu lebih membekas dan berkesan bagi siswa/i
tersebut dibandingkan jika hanya paparan materi sekilas saat
bertemu mata pelajaran dengan bab yang terkait dengan iklim.

4.3 Penerapan 5R (Reduce, Reuse, Recycle, Replant, Replace) di


SMA Negeri 2 Painan
Berdasarkan hasil observasi, rendahnya pengetahuan dan
kesadaran siswa/i terkait korelasi sampah dengan perubahan iklim
membuat sebagian besar dari siswa/i tersebut acuh dan memilih
tidak menerapkan konsep pengelolaan sampah. Hal itu terbukti dari
banyaknya sampai plastik dan sisa makanan yang tertumpuk setiap
harinya. Dalam satu hari saja, lingkungan SMA Negeri 2 Painan
dapat menghasilkan kurang lebih 12 tong sampah penuh yang
mana sampah tersebut tidak dipilah sehingga akan sulit untuk
dilakukan daur ulang dan pemanfaatan sampah.
Namun, masih ada beberapa pelajar SMA Negeri 2 Painan yang
membawa kotak bekal dan botol minum setiap hari ke sekolah, hal
itu karena kesadaran yang tinggi terhadap dampak penggunaan
kemasan sekali pakai yang akan menjadi sampah, adanya orang tua
yang menyiapkan bekal, kurang menyukai makanan di kantin,
pandai memasak, dan beberapa faktor pendukung lainnya (Fauzia,
2023). Sedangkan bagi pelajar yang masih belum mengelola
sampah dengan bijak, memiliki alasan tersendiri seperti; waktu
yang mepet untuk berangkat ke sekolah, kesibukan, tidak ada yang

61
menyiapkan bekal terutama bagi pelajar yang tinggal di kos,
kurangnya kesadaran dan pengetahuan, tidak pandai memasak, dan
beberapa faktor penghambat lainnya (Zaki, 2023).
Dan berdasarkan hasil observasi, kegiatan P5 yang diadakan
bagi pelajar kelas X dengan konsep gaya hidup berkelanjutan
tersebut mampu membawa dampak baik untuk menyadarkan
siswa/i terkait pentingnya pengelolaan sampah. Selain diberikan
sosialisasi, edukasi dan kesempatan berdiskusi secara intensif, para
pelajar juga diajak untuk mempraktikkan pengetahuan yang
mereka dapat dengan memanfaatkan barang bekas menjadi sesuatu
yang bernilai guna.

62
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa peristiwa
perubahan iklim adalah hal yang harus segaera dibenahi karena mengancam
jutaan nyawa. Yang mana sampah menjadi salah satu faktor penyebab perubahan
iklim, dan tentunya perlu dilakukan pengelolaan sampah guna menagani
perubahan iklim tersebut. Namun kesadaran dan pengetahuan masyarakat masih
sangat minim di Indonesia, sehingga pendidikan iklim menjadi solusi yang efektif
untuk menjawab tantangan tersebut. Tanpa adanya kesadaran dan pengetahuan
terkait iklim, maka tidak mungkin pula ada gerakan untuk menanggulangi
permasalahan krisis iklim tersebut. Karena aksi dilakukan karena ada faktor
pendorong. Sehingga rendahnya pendidikan iklim, memiliki pengaruh yang kuat
atau berkorelasi dengan penerapan konsep pengelolaan sampah.

5.2 Saran
a) Bagi Pelajar
Berdasarkan hasil penelitian ini, diharapkan pelajar dapat lebih
meningkatkan kesadaran dan pengetahuan serta kepeduliannya terhadap
lingkungan khususnya perubahan iklim dengan menerapkan gaya hidup
berkelanjutan, yang salah satunya ialah konsep pengelolaan sampah 5R
(Reduce, Reuse, Recycle, Replant, Replace).

b) Bagi Pengajar
Berdasarkan hasil penelitian ini, diharapkan tenaga pendidik dapat lebih
giat dan intens dalam memotivasi dan mengedukasi para pelajar terkait
perubahan iklim.

c) Bagi Pemerintah

63
Berdasarkan hasil penelitian ini, diharapkan menjadi salah satu dari
banyaknya pertimbangan bagi pemerintah, sehingga dapat mengeluarkan
dan melaksanakan kebijakan yang sesuai dengan hasil penelitian ini, yang
mana pengaplikasian pendidikan iklim sangatlah penting dan genting.

d) Bagi Peneliti Selanjutnya


Berdasarkan hasil penelitian yang telah kami buat, diharapkan dapat
dipergunakan dengan sebaik-baiknya. Dianjurkan untuk mencari referensi
lebih lanjut mengenai pendidikan iklim dari jurnal internasional dan
referensi lebih dalam mengenai konsep pengelolaan sampah Replant dan
Replace.

64
DAFTAR PUSTAKA

Ananda, Andriana, Rio. Interview. (2023). Pendidikan Iklim. Yogyakarta


Hermawan, Zaki. Interview. (2023). Penerapan 5R dan Pendidikan Iklim. Pesisir
Selatan
Jenkins, Robert. Bathelehem, Girma. (2021, November 8). The future is now:
leveraging the power of climate change education.
https://www.globalpartnership.org/blog/future-now-leveraging-power-climate-
change-education
KLHK. (21 Maret 2021). Internalisasi Perubahan Iklim dalam Kurikulum
Pendidikan. https://www.menlhk.go.id/site/single_post/3729/internalisasi-
perubahan-iklim-dalam-kurikulum-pendidikan
Kristanto, Alfredo. Ferra, Rosariawari. (2022). Penerapan Konsep Pengelolaan
Sampah Rumah Tangga dengan Metode 5R Berbasis Masyarakat di Wilayah
Krebaon Kota Surabaya. Envirous Teknik Lingkungan. 2(2).
Kumala, Dewi, Jo, dkk. (2012). Suplemen Pembelajaran Perubahan Iklim Untuk
Guru. KLHK. Jakarta.
Karmoui, Ahmed. Albedkrim ben Salem, dkk. (February, 2021). Handbook of
Research on Environmental Education Strategies for Addressing Climate Change
and Sustainability. IGI Global: China.
Laila, Nur. Karl Heinrich Marx.
https://www.merdeka.com/karl-heinrich-marx/profil .
Media, Kazou. Pengertian Perubahan Iklim Menurut Para Ahli.
https://www.portalkelas.com/2019/02/pengertian-perubahan-iklim-menurut-para-
ahli.html?m=1
Menkeu. (14 September 2022). Ancaman Krisis Iklim Dapat Lebih Luas Dari
Pandemi Covid-19.
https://www.kemenkeu.go.id/informasi-publik/publikasi/berita-utama/Ancaman-
Krisis-Iklim-Dapat-Lebih-Luas-Dari-Pandemi
Praditya, Daffa. Interview. (2023). Pendidikan Iklim. Jakarta

65
Rafferty, Olivia. (2022, January 31). Where are we with climate education
https://thred.com/id/change/where-are-we-with-climate-education/
Safira, Latasha. (7 Oktober 2022). Integrasi Pendidikan Perubahan Iklim pada
Kurikulum Merdeka. https://nasional.sindonews.com/read/905817/18/integrasi-
pendidikan-perubahan-iklim-pada-kurikulum-merdeka-1665090635
TCG. What is Climate Change Education?. https://teachers-climate-guide.fi/what-
is-climate-education/
Tri, Cahyantoro, Diaz. Masalah Perubahan Iklim dan Dampaknya bagi
Ketersediaan Air di Wilayah Indonesia. Universitas Padjadjaran: Bandung.
UNESCO. Transforming education to transform the world.
https://www.un.org/en/transforming-education-summit/transform-the-world
UNESCO. (2022). Youth demands for quality climate change education. France.
UNESCO. (18 Maret 2018). Pengelolaan Sampah dan Perubahan Iklim.
http://pojokiklim.menlhk.go.id/read/pengelolaan-sampah-dan-perubahan-iklim
Widyanto, Untung. (22 Maret 2022). Krisis Iklim dan Perubahan Sistem.
https://www.kompas.id/baca/artikel-opini/2022/03/21/krisis-iklim-dan-perubahan-
sistem
Yuniarti, Ade. Hubungan Iklim Dengan Penyakit DBD. Universitas Indonesia:
Depok.

66
Lampiran 1: Dokumentasi

67
68
Lampiran 2: Absensi
Tanggal: 27 Mei 2023
Agenda: Wawancara dengan narasumber kategori pelajar
NAMA KEHADIRAN KONTRIBUSI
Syifa Suci Fitriani ✓ ✓
Adinda Khairani Nursyaf ✓ ✓
Rizka Lailatul Vidly ✓ ✓
Indah Permatasari ✓ ✓
Amelza ✓ ✓
Zhara Febriyanti ✓ ✓
Pandu Maska Bhayangkara ✓ ✓
Radip Febrian - -
Vickram Olviandro - -

69
Lampiran 3: Data Narasumber

AKTIVIS IKLIM
Nama: Rio Ananda Andriana
Usia: 20 tahun
Domisi: Yogyakarta
Instansi: Universitas Jenderal Achmad Yani Yogyakarta
Organisasi terkait: Fridays for Future, Youth for Enviromental Law Indonesia

Nama: Daffa Praditya D.R


Usia: 19 tahun
Domisili: Jakarta
Instansi: Universitas Bina Sarana Informatika
Organisasi terkait: Fridays for Future, UNICEF Indonesia

PELAJAR SMA NEGERI 2 PAINAN


Nama: Zaki Hermawan
Usia: 16 tahun
Domisili: Pesisir Selatan
Instansi: SMA Negeri 2 Painan
Organisasi terkait: Departemen Pendidikan OSIS SMA Negeri 2 Painan

Nama: Fauzia Putri Alyssa


Usia: 16 tahun
Domisili: Pesisir Selatan
Instansi: SMA Negeri 2 Painan
Organisasi terkait: Bina Lingkungan SMA Negeri 2 Painan

70
71

Anda mungkin juga menyukai