PERAN SURVEI PEOPLE’S CLIMATE VOTE SEBAGAI RESPON BAGI
PROGRAM PEMERINTAH INDONESIA YANG BERDAMPAK BURUK PADA
IKLIM DUNIA: FOOD ESTATE Seiring berkembang pesatnya sektor industri yang menjadi pilar utama kehidupan manusia saat ini. Namun sayangnya, kualitas udara di bumi semakin memburuk dikarenakan emisi gas pembuangan yang biasa dikenal sebagai gas rumah kaca, berasal dari pabrik-pabrik industri yang menghasilkan berbagai polutan berbahaya bagi kesehatan manusia dan menyebabkan penipisan ozon yang melindungi manusia dari paparan sinar uv serta efek buruk sinar matahari. Berbagai aktivitas manusia memiliki konsekuensi yang berpotensi merusak dan mengganggu keseimbangan iklim dunia, bumi pun terancam rusak akibat tangan oknum yang tidak bertanggung jawab. Emisi gas pembuangan berbahaya yang dibuang dari pabrik menimbulkan gas rumah kaca yang berkonsekuensi menyerap panas dari matahari dan menyebabkan panas tersebut tertahan di bumi, sehingga menyebabkan peningkatan suhu global. Bukan hanya berasal dari pabrik namun gas rumah kaca juga berasal dari penggunaan bahan bakar fosil, polutan kendaraan, pembakaran sampah, penebangan hutan, industri peternakan yang menghasilkan gas metana, limbah rumah tangga, dan industri pertanian yang menggunakan pupuk non organik. Pemakaian Air Conditioner yang tidak dapat terpisahkan dari bagian kehidupan manusia sebagai pendingin ruangan juga turut menyumbang emisi yang dapat menyebabkan perubahan iklim. Air conditioner menggunakan gas yang bernama CFC (Chlorofluorocarbon) untuk mendinginkan serta menstabilkan udara di dalam ruangan, kemudian melepaskannya ke luar ruangan hingga ke lapisan ozon, sehingga merusak lapisan ozon dikarenakan kandungan zat klorin yang terdapat pada CFC dapat merusak 100.000 molekul ozon per 1 atom klorin. Perkembangan inovasi dalam sektor industri ini tidak diseimbangkan dengan konsekuensi yang muncul akibat industri tersebut. Penipisan pada lapisan ozon dapat berdampak pada pemanasan global, ozon berperan dalam menyerap radiasi sinar uv matahari serta mencegah radiasi berbahaya yang disebabkan oleh sinar uv dari permukaan bumi, namun seiring menipisnya lapisan ozon menyebabkan konsekuensi masuknya radiasi berbahaya sinar uv tersebut ke permukaan bumi, sehingga berdampak pada pemanasan global dan kesehatan global. Peningkatan suhu global tersebut berdampak pada mencairnya es di kutub utara dan menaiknya volume air yang berpotensi menenggelamkan beberapa kota di dunia, sebagai contoh Jakarta merupakan ibu kota negara Indonesia yang diprediksi akan tenggelam pada tahun 2050, sehingga sangat diperlukan kesadaran dari setiap lapisan masyarakat yang ada di dunia terkait permasalahan iklim ini. Pemikiran kritis dari para peneliti, Pemerintah dunia serta komunitas pecinta alam sangat dibutuhkan dalam menangani dan mencari solusi atas permasalahan perubahan iklim ini. Pada abad ke-21 masalah penipisan ozon dan pemanasan global menjadi satu satunya masalah krusial yang sangat harus diperhatikan oleh masyarakat global. Kedua masalah tersebut sangat berpengaruh terhadap kualitas kehidupan di bumi. Seluruh negara dan lapisan masyarakat di dunia semakin gencar dan meningkatkan kesadaran akan permasalahan ini. Berdasarkan survei dari UNDP yang bertajuk “People’s Climate Vote” survei opini publik mengenai perubahan iklim terbesar yang pernah dilakukan. Sebanyak 1.2 miliar responden dan menjangkau 50 negara yang mencakup 56 persen populasi dunia. Tujuan dari survei tersebut adalah untuk memperluas pengetahuan masyarakat terkait solusi mengenai perubahan iklim dan mempertanyakan tindakan yang seharusnya dilakukan oleh stakeholder menurut mereka. Di dalam Survei “People’s Climate Vote” tersebut ditemukan hasil survei dari masyarakat di 50 negara dan totalnya berjumlah 64% masyarakat menyatakan bahwa perubahan iklim merupakan sebuah kondisi yang kritis dan darurat hal ini menandakan dengan jelas bahwa para pengambil Keputusan harus meningkatkan ambisinya. Survei-survei ini dibagi menjadi 3 golongan dukungan, pertama, SIDS (Small Island Developing States) sebesar 74%. Kedua, Negara-negara yang memiliki pendapatan tinggi sebesar 72%. Ketiga, Negara-negara dengan pendapatan menengah sebesar 62% dan terakhir LDC (Least Developed Countries) sebesar 58%. Terdapat empat kebijakan yang diharapkan oleh para responden terhadap Pemerintah dalam merespon perubahan iklim ini dengan memberlakukan kebijakan-kebijakan sebagai berikut. Pertama, Konservasi hutan dan lahan dengan dukungan sebesar 54%. Kedua, Tenaga surya dan angin serta energi terbarukan sebesar 53%. Ketiga, Teknik Pertanian Ramah iklim sebesar 52%. Dan terakhir, Investasi yang lebih masif dalam bidang bisnis dan lapangan kerja ramah lingkungan. Dengan melihat respon dari publik tersebut, hal ini menandakan bahwa terdapat keinginan dan kepedulian oleh masyarakat dalam krisis perubahan iklim global. Berdasarkan persentase terbesar pada 4 kebijakan yang telah dipaparkan pada paragraf sebelumnya, kebijakan konservasi hutan dan lahan menjadi perhatian yang paling tinggi oleh responden, dikarenakan hutan menjadi salah satu sumber produksi oksigen dan penyerapan gas karbon dioksida yang berbahaya bagi masyarakat. Selain itu, pohon juga dapat mengurangi suhu udara melalui proses evaporasi dari daun-daun mereka. Dewasa ini sering kita lihat, semakin marak terjadinya penebangan hutan secara ilegal atau penebangan liar, padahal pohon-pohon tersebut sangat berarti bagi kehidupan manusia dalam mengurangi pemanasan global, karbon dioksida tergolong menjadi salah satu gas rumah kaca yang berperan dalam pemanasan global, dengan diserapnya karbon dioksida oleh pohon maka hal ini menjadi salah satu Solusi yang dapat digunakan oleh para responden yang memiliki perhatian yang serius terhadap konservasi dan perlindungan hutan. Terdapat pola tertentu yang mempengaruhi berbagai masyarakat dalam memilih kebijakan yang diharapkan dapat diterapkan oleh masing masing Pemerintah di setiap negara. Negara dengan Tingkat emisi tinggi yang diakibatkan oleh penebangan liar, deforestasi dan perubahan penggunaan lahan diantaranya yaitu Brazil sebesar 60%, Indonesia sebesar 57%, dan Argentina sebesar 57%. Negara dengan Tingkat emisi tinggi dari sektor Listrik cenderung mendukung peningkatan akses terhadap energi terbarukan diantaranya yaitu Amerika Serikat sebesar 65%, Australia sebesar 76%, Kanada sebesar 73%, Jerman sebesar 71%, Afrika Selatan sebesar 69%, Jepang sebesar 68%, Polandia sebesar 57%, dan Rusia sebesar 51%. Survei pada negara dengan sektor pertanian terbesar memiliki dukungan yang besar terhadap kebijakan Teknik pertanian ramah iklim diantaranya yaitu Indonesia sebesar 60%, Filipina sebesar 56%, Ekuador sebesar 53%, dan mesir 51%. Pola-pola ini menunjukkan bahwa setiap kebijakan yang diambil oleh masing-masing negara ditentukan oleh kepentingan dan penyebab terbesar pemanasan global, sehingga diperlukan kebijakan tertentu untuk mengatasi penyebab atau sumber pemanasan global di suatu negara tersebut, seperti dukungan terhadap kebijakan mengenai energi terbarukan banyak dipilih oleh negara dengan emisi tinggi yang dihasilkan oleh sektor listrik sedangkan dukungan terhadap kebijakan mengenai Teknik pertanian ramah iklim banyak dipilih oleh negara dengan sektor pertanian terbesar. Dalam survei ini, Indonesia sebagai salah satu negara yang tergolong sektor pertanian terbesar, mayoritas responden mendukung kebijakan Teknik pertanian ramah iklim sebesar 60%. Dukungan tersebut menunjukkan kepedulian masyarakat terhadap keseimbangan antara perubahan iklim dan sektor pertanian di Indonesia. Teknik pertanian ramah iklim merupakan sebuah konsep pertanian dalam menyeimbangkan antara meningkatkan ketahanan pangan dengan mencegah dan meminimalisir dampak sektor pertanian terhadap perubahan iklim. Dampak dari sektor pertanian terhadap krisis iklim bersumber dari penggunaan pestisida yang tidak ramah lingkungan, pembukaan lahan secara masif namun tidak digunakan atau gagal dalam penggunaannya, sehingga lahan tersebut mubazir dan hanya menambah emisi gas rumah kaca dari hasil pembukaan lahan hutan dengan cara pembakaran hutan, dan penggunaan pupuk non organik turut menyumbang emisi gas rumah kaca. Untuk bertransformasi dari pertanian konvensional ke pertanian ramah iklim dapat dilakukan dengan meminimalisir pembukaan lahan atau membuka lahan secukupnya, mereboisasi dan merehabilitasi lahan yang tidak terpakai menjadi hutan kembali, sehingga diharapkan dapat meminimalisir sumber emisi gas rumah kaca. Namun, di balik dukungan yang besar oleh masyarakat Indonesia. Terdapat program strategis nasional milik Pemerintah yang berkebalikan dari kebijakan Teknik pertanian ramah iklim yang justru merusak ekosistem alam dan memperparah krisis iklim, khususnya di Kalimantan Tengah, yang dikenal dengan Food Estate atau lumbung pangan. Food Estate merupakan program strategis nasional yang muncul pada saat krisis covid dalam rangka mengatasi krisis pangan yang terjadi di Indonesia. Food Estate diharapkan dapat menjadi sebuah fasilitas ketahanan pangan dalam memenuhi kebutuhan pangan Indonesia bahkan diharapkan dapat menjadi salah satu komoditas ekspor Indonesia. Anggaran yang digelontorkan oleh negara untuk merealisasikan program ini mencapai angka triliunan rupiah. Bahkan, Food Estate mengambil alih lahan sebanyak ratusan hektar pada berbagai pulau di indonesia. Namun, dalam pengimplementasiannya, kebijakan food estate ini mengalami kegagalan dalam menggapai tujuannya. Pengalihan fungsi lahan hutan menjadi lahan pertanian mengakibatkan hilangnya pohon sebagai tameng yang melindungi kita dari pemanasan global. Selain itu, dengan berkurangnya pohon di wilayah yang menjadi basis untuk food estate. Resapan air di wilayah tersebut menjadi berkurang sehingga menyebabkan banjir. Di Kalimantan Tengah, lahan yang ditanami untuk komoditas singkong mengalami kegagalan dan hanya tumbuh sebesar ibu jari selama 1 tahun. Bahkan, di beberapa lahan lain mengalami kegagalan panen. Dengan kegagalan-kegagalan tersebut, petani yang menjadi korban ambisi Pemerintah mengalami kerugian besar. Kegagalan ini disebabkan karena Pemerintah terlalu berambisi dan memaksa dalam menjalankan program ini tanpa berunding dengan petani yang memiliki tanah mengenai program food estate serta tanpa melakukan konservasi terhadap lahan dan hutan terlebih dahulu sehingga melanggar kaidah pertanian. Berdasarkan kebijakan-kebijakan terpopuler yang dipaparkan oleh survei “People’s Climate Vote” oleh UNDP, Indonesia seharusnya menghentikan program Food Estate yang digarap oleh kementerian pertahanan. Program ini termasuk dalam program strategis nasional ketahanan pangan yang digagaskan dan ditetapkan oleh presiden Jokowi pada tahun 2020 hingga 2024. Mengapa program ini harus dihentikan? Program ini telah menggusur hutan alam seluas ratusan ribu hektar. Hal ini merupakan tindakan pengalihan fungsi lahan hutan secara besar besaran untuk membangun pertanian yang tidak sesuai konsep teknik pertanian ramah iklim. Selain itu, kegagalan program food estate dalam memperkuat ketahanan pangan negara, justru memperparah krisis iklim dengan penebangan hutan secara masif. Pemerintah diharapkan dapat sesegera mungkin menghentikan dan mengevaluasi kebijakan ini agar tidak menimbulkan dampak yang lebih besar ke depannya. Dalam menghadapi Tantangan perubahan iklim, sangat penting bagi Pemerintah untuk melakukan evaluasi ulang terhadap kebijakan yang belum berjalan sebagaimana mestinya. Terutama kebijakan yang berpotensi membahayakan lingkungan seperti program food estate, dapat dikatakan bahwa program ini menyelesaikan sebuah masalah melalui masalah lain. Kritik dari masyarakat, pecinta alam dan pemangku kepentingan (stakeholder) sangat penting bagi Pemerintah dalam menentukan langkah-langkah yang lebih baik serta menjadi pedoman bagi perubahan kebijakan yang memperhatikan dampak jangka Panjang terhadap lingkungan.