Anda di halaman 1dari 6

PERAN DAN KEBIASAAN SOSIAL MASYARAKAT DALAM UPAYA MENGATASI

KRISIS IKLIM DI DUNIA

Penyusun:

Audreysia Kayla Intan Putri Pramesti (Fakultas Ilmu Budaya)


Fanisa Esa Alfira (Fakultas Biologi)
Fita Surya Khairunnisa (Fakultas Psikologi)
PENDAHULUAN

Perubahan kebiasaan sosial masyarakat memiliki pengaruh besar terhadap permasalahan


iklim di dunia. Hal tersebut jelas bertentangan dengan Sustainable Development Goals (SDGs)
yang merupakan sebuah program pembangunan berkelanjutan dimana didalamnya terdapat 17
tujuan dengan 169 target yang terukur dengan tenggat waktu yang ditentukan. SDGs merupakan
agenda pembangunan dunia yang bertujuan untuk kesejahteraan manusia dan bumi. Perubahan
perilaku masyarakat yang terus berubah dari waktu ke waktu dapat menyebabkan perubahan
iklim. Manusia dan perilakunya dalam kehidupan bersosial merupakan aspek utama penyebab
adanya perubahan dan menciptakan tantangan baru bagi program SDGs terutama dalam krisis
iklim dunia. Perubahan iklim atau yang saat ini lebih dipertegas dengan istilah krisis iklim
merupakan kondisi yang mengacu pada perubahan ekstrim jangka panjang terkait suhu dan pola
cuaca. Pada dasarnya perubahan ini dapat terjadi secara alami, tetapi sejak era revolusi industri
abad ke-18, perubahan ini terjadi lebih cepat. Hal ini dikarenakan masifnya penggunaan bahan
bakar fosil yang menghasilkan gas rumah kaca (GRK) sejak saat itu. Perubahan iklim
mengancam kemajuan yang telah dicapai dalam puluhan tahun dalam upaya menuju kesehatan
dan kesejahteraan yang lebih baik, terutama terhadap komunitas yang paling rentan, ungkap
laporan baru badan cuaca PBB.
Dalam laporan tahunan State of Climate Services, Organisasi Meteorologi Dunia
(WMO), pada Kamis (2/11), memperingatkan bahwa krisis iklim menyebabkan krisis kesehatan
global dan banyak dari dampak buruk perubahan iklim dapat diperkecil dengan sejumlah
tindakan adaptasi dan pencegahan. WMO menambahkan, perubahan iklim menyebabkan suhu
dunia naik lebih cepat dibandingkan periode mana pun dalam sejarah.

ISI

Kebiasaan perilaku manusia sangat mempengaruhi pola perubahan iklim. Salah satu
aspek kebiasaan dalam kehidupan masyarakat yang memiliki dampak besar terhadap perubahan
iklim adalah pola konsumsi. Masyarakat saat ini cenderung memiliki pola konsumsi yang
menyukai makanan instan dan lebih menyukai protein hewani ketimbang sayuran. Hal itu terjadi
karena mudahnya pengolahan makanan cepat saji dan tidak menghabiskan waktu untuk proses
memasak. Padahal, makanan instan dan makanan yang bersumber dari protein hewani cenderung
memiliki jejak karbon yang tinggi. Mengkonsumsi produk-produk yang memiliki jejak karbon
tinggi, seperti daging, produk susu, dan produk berbasis fosil berkontribusi secara signifikan dan
besar terhadap emisi gas rumah kaca. Meningkatnya gas rumah kaca pada atmosfer di bumi akan
berdampak pada penipisan lapisan ozon yang melindungi permukaan bumi dari paparan sinar
matahari. Hal ini tentu bertentangan dengan SDGs nomor 13, yaitu tindakan dan upaya manusia
terhadap perubahan iklim menjadi lebih baik. Masyarakat saat ini cenderung memiliki pola
konsumtif berlebihan yang dapat mengakibatkan pemborosan sumber daya alam (SDA) di dunia
dan bisa menghambat pencapaian SDGs yang lain (nomor 12), yaitu konsumsi dan produksi
bertanggung jawab. Upaya mengatasi hal tersebut adalah dengan mulai mengkonsumsi makanan
sehat dan mengurangi konsumsi makanan cepat saji. Hal tersebut dilakukan guna mengurangi
produksi makanan cepat saji (instan) yang nantinya akan mengganggu kestabilan iklim dunia.
Selain itu, aspek lain yang juga berperan penting dalam perubahan iklim ialah mobilitas.
Masyarakat saat ini lebih cenderung menggunakan kendaraan bermotor pribadi seperti mobil dan
sepeda motor daripada transportasi umum, bersepeda, dan berjalan kaki. Padahal, minyak
merupakan sumber bahan bakar inti dari transportasi dan kendaraan bermotor menyumbang 81%
dari total penggunaan energi oleh sektor transportasi. Ketergantungan pada bahan bakar fosil
menjadikan kendaraan bermotor sebagai penyumbang utama gas rumah kaca dan merupakan
salah satu dari sedikit sektor industri yang emisinya masih terus meningkat (WBCSD, 2001). Di
antara berbagai penyebab perubahan iklim, transportasi bertanggung jawab atas 19,2% emisi
karbon (Pal, dkk., 2022). Hal ini tentu saja mengakibatkan lebih banyak emisi karbon di bumi
dani bisa menghambat pencapaian SDGs nomor 11, yaitu kota dan permukiman yang
berkelanjutan. Upaya mengatasi hal tersebut adalah dengan melakukan pengurangan penggunaan
kendaraan bermotor pribadi dan mulai membiasakan diri menggunakan transportasi umum,
bersepeda, atau berjalan kaki, karena dengan adanya upaya tingkah laku sosial masyarakat
tersebut, emisi gas akan perlahan menurun dan keadaan iklim yang mulai krisis pun ikut
berkurang.
Aspek selanjutnya dalam perubahan krisis iklim oleh kebiasaan sosial masyarakat adalah
pengelolaan sampah. Masyarakat tidak memiliki kesadaran untuk mengelola sampah dengan
baik dan benar agar menciptakan suatu keharmonisan lingkungan. Masyarakat juga tidak
mendaur ulang, memilah sampah dan memasukkannya ke tempat pembuangan yang sesuai, dan
membuang sampah secara sembarangan yang dapat mencemari lingkungan dan merusak
ekosistem. Hal ini dapat menjadi hambatan bagi pencapaian SDGs nomor 14 (kehidupan di
bawah air) dan SDGs nomor 15 (kehidupan di darat).
Menurut UU Nomor 18 Tahun 2008, sampah yang diolah terdiri atas sampah rumah
tangga, sampah sejenis sampah rumah tangga, dan sampah spesifik. Sampah yang tidak diolah
dengan benar akan menyebabkan beberapa dampak buruk. Oleh karenanya,, pengelolaan sampah
sesuai SDGs sangat diperlukan untuk mencapai berbagai target terutama pembangunan
berkelanjutan. Pengelolaan sampah yang berkelanjutan merupakan salah satu bentuk tanggung
jawab atas konsumsi dan produksi yang telah dilakukan (SDGs 12). Konsumsi yang terlalu
banyak akan mengakibatkan sampah yang berlebih sehingga mempengaruhi luasan tempat
pembuangan sampah yang ada. Tiga perempat dari tempat pembuangan terbuka terluas di dunia
berada di pantai. Banyak pantai yang dipenuhi oleh buangan bahan dan zat berbahaya serta
berbagai macam jenis sampah, seperti sisa jaring ikan pancingan, puntung rokok, dan sedotan
plastik. Hal ini tentunya akan memengaruhi ekosistem yang ada di laut (SDGs 14). Selain
ekosistem laut, sampah yang tidak dikelola dengan baik akan memengaruhi ekosistem darat
(SDGs 15). Sebagai contoh adalah sampah anorganik plastik yang tidak dapat terurai di tanah
sehingga banyak sampah plastik yang menyumbat saluran air maupun sungai, serta dapat tertelan
oleh beberapa hewan. Upaya mengatasi hal tersebut agar nantinya tidak terulang kembali adalah
dengan cara memisahkan sampah organik dan anorganik di tempat terpisah. Selain itu,
pengangkutan sampah dengan truk juga harus memisahkan antara keduanya, agar
sampah-sampah tersebut tak terbuang dan dapat dimanfaatkan sebaik mungkin.
Pengelolaan limbah B3 diatur dengan Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2014
kemudian diperbaharui dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 5 Tahun 2021 tentang
Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko. Menurut Pasal 39 PP 5/2021, terdapat
empat kategori pengelolaan limbah Bahan Kimia Berbahaya dan Beracun (B3) yaitu
pengumpulan, pemanfaatan, pengolahan dan penimbunan. Penyimpanan harus
mempertimbangkan jenis dan jumlah B3 yang dihasilkan.
Aspek selanjutnya terkait perubahan iklim disebabkan oleh kegiatan sosial masyarakat
yang menghasilkan polusi dan pembuangan limbah pabrik di sungai. Banyaknya limbah pabrik
yang terbuang tanpa penyaringan dapat berbahaya bagi kesehatan dan juga dapat merusak
lingkungan. Ditambah lagi karena kurangnya hutan sehingga polusi yang menyaring sedikit
karena lahan hijau semakin menyempit. Selain itu, proses produksi yang tidak bertanggung
jawab akan menghasilkan limbah berbahan kimia yang dapat meracuni tanah. Hal ini akan
memengaruhi jumlah sumber air bersih yang tersedia (SDGs 6). Selain ekosistem laut dan darat,
pengelolaan sampah yang berkelanjutan juga dapat mengurangi pencemaran udara yang terjadi
sehingga akan meningkatkan kehidupan yang lebih sehat (SDGs). Misalnya penduduk
membuang sampah di tempat yang cukup luang atau malah membakarnya. Oleh karena itu,
pengelolaan sampah yang berkelanjutan akan mengurangi dampak kesehatan dari pembakaran
terbuka.
Target dari Tujuan Pembangunan Berkelanjutan yang ketiga belas adalah memperkuat
daya tahan dan kapasitas adaptasi terhadap bahaya hal-hal yang berkaitan dengan iklim dan
bencana alam di seluruh negara. Mengintegrasikan ukuran-ukuran perubahan iklim ke dalam
kebijakan, strategi dan perencanaan nasional. Upaya peningkatan sanitasi Iingkungan ialah
mendorong upaya pengelolaan limbah yang mengandung bahan berbahaya dan beracun (B3)
yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan, melakukan gerakan peningkatan kebersihan di
lingkungan rumah maupun daerah, mendorong upaya penghematan air dengan menghindari
penggunaan air yang tidak diperlukan, mendorong upaya pemanfaatan kembali air limbah untuk
kegiatan penyiraman, dan mendorong upaya pengelolaan air limbah domestik dengan melakukan
pengolahan dan upaya daur ulang.

PENUTUP

Untuk mengatasi permasalahan iklim akibat perubahan kebiasaan masyarakat,


dibutuhkan edukasi, kesadaran, dan kebijakan yang dapat mendukung keberlanjutan tercapainya
SDGs. SDGs dapat menjadi kerangka kerja yang penting dalam menggerakkan perubahan
tersebut dengan mendorong tindakan berkelanjutan yang memperhitungkan dampak perbuatan
pada saat ini terhadap iklim di masa mendatang. Dengan adanya kolaborasi antara pemerintah,
masyarakat, dan sektor swasta, kita dapat mencapai tujuan SDGs yang terkait dengan lingkungan
dan iklim serta menjaga bumi ini untuk generasi mendatang. Tujuan nomor 13 dari 17 tujuan
SDGs yaitu penanganan perubahan iklim, sebagaimana dilansir Kementerian PPN/Bappenas,
memiliki lima target yaitu:
Memperkuat kapasitas ketahanan dan adaptasi terhadap bahaya terkait iklim dan bencana
alam di semua negara, mengintegrasikan tindakan antisipasi perubahan iklim ke dalam
kebijakan, strategi, perencanaan nasional, pendidikan, penumbuhan kesadaran, serta kapasitas
manusia dan kelembagaan terkait mitigasi, adaptasi, peringatan dini perubahan iklim. Lalu,
melaksanakan komitmen negara maju pada the United Nations Framework Convention on
Climate Change untuk tujuan mobilisasi dana bersama sebesar 100 miliar dollar AS per tahun
pada 2020 dari semua sumber untuk mengatasi kebutuhan negara berkembang dalam konteks
aksi mitigasi yang bermanfaat dan transparansi dalam pelaksanaannya dan mengoperasionalisasi
secara penuh the Green Climate Fund melalui kapitalisasi dana tersebut sesegera mungkin, dan
menggalakkan mekanisme untuk meningkatkan kapasitas perencanaan dan pengelolaan yang
efektif terkait perubahan iklim di negara kurang berkembang, negara berkembang pulau kecil,
termasuk fokus pada perempuan, pemuda, serta masyarakat lokal dan marjinal.

DAFTAR PUSTAKA

https://www.nature.com/articles/s41598-019-56924-8
jejak karbon, penelitian 10 tahun terakhir, pengaruh pola konsumsi makanan pada jejak karbon
https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0095069622000596
pola makanan berpengaruh pada jejak karbon dan iklim
https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S0966692306001207
pengaruh transportasi terhadap perubahan iklim
https://www-sciencedirect-com.ezproxy.ugm.ac.id/science/article/pii/S0967070X22003201
https://sdgs.un.org/goals
United Nations, Department of Economic and Social Affairs, Sustainable Development
Krisis Iklim https://pslh.ugm.ac.id/kenapa-krisis-iklim-dapat-menyebabkan-inflasi-pangan/

Anda mungkin juga menyukai