Anda di halaman 1dari 52

Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim

1. Tentang Perubahan Iklim

Perubahan iklim merupakan salah satu isu yang saat ini menjadi perhatian
semua pihak. Sebagaimana diungkapkan oleh Boateng & Boateng (2015) bahwa
Perubahan iklim adalah masalah kebijakan publik terbesar di zaman ini. Mengenai
perubahan iklim, United States Global Climate Change Programme (dalam Okoli
& Ifeakor, 2014) perubahan iklim didefinisikan sebagai reaksi ekstrem fenomena
cuaca yang menciptakan dampak negatif pada sumber daya pertanian, sumber
daya air, kesehatan manusia, peni- pisan lapisan ozon, vegetasi dan tanah, yang
menyebabkan dua kali lipat dari konsentrasi karbon dioksida dalam ekosistem.
Sedang- kan Francis (2014) menyebutkan bahwa per- ubahan iklim adalah
perubahan sifat statistik dari sistem iklim.

Hal ini juga perubahan cuaca bumi termasuk perubahan suhu, angin.
Perubahan iklim secara langsung ber- dampak negatif kepada manusia dan ling-
kungan sekitarnya. Sehingga memang per- ubahan iklim menjadi fokus semua
pihak untuk mengatasinya. Salah satu upaya dalam mengatasi perubahan iklim
adalah dengan pengelolaan lingkungan agar dapat mengurangi dampak dari
perubahan iklim tersebut. Pengelolaan lingkungan tersebut harus melibatkan se-
mua pihak. Atas dasar kerjasama tersebut tujuan mengurangi dampak perubahan
iklim akan tercapai.

Pemanasan global dijelaskan sebagai jangka panjang dari meningkatnya


suhu rata-rata global. Perubahan iklim global merupakan perubahan pola iklim
secara global maupun regional yang tampak mulai pertengahan hingga akhir abad
20 ke depan yang berkaitan dengan meningkatnya kadar karbondioksida (𝐶𝑂2) di
atmosfer karena penggunaan bahan bakar fosil. Masyarakat memberikan
pandangan negatif mengenai pemanasan global dari pada perubahan iklim.
Pandangan negatif tersebut disampaikan berupa deskripsi. Volume pencaharian
pemanasan global lebih banyak dari perubahan iklim (Lineman dkk., 2015).
Pemanasan global ialah peningkatan suhu atmosfer laut maupun darat yang ada di
bumi. Perubahan iklim ialah perubahan jangka panjang dalam cuaca global atau
rata-rata suatu wilayah, dalam sepuluh tahun terakhir aktivitas industri dan
manusia menyebabkan perubahan iklim yang semakin cepat secara bertahap,
adanya peningkatan suhu permukaan rata- rata setiap tahun. Perubahan iklim juga
memiliki dampak negatif yang nyata, seperti perubahan ekosistem dan
penggurunan, kenaikan permukaan laut, banjir, dan kekeringan (Santos dan
Bakhshoodeh, 2021).

Semua cahaya matahari yang dipantulkan ke bumi, tidak semua diserap


oleh bumi. Sisa dari cahaya matahari tersebut akan dipantulkan kembali melalui
awan. Namun, apabila tidak ada pemanasan global suhu di bumi dingin, makhluk
hidup tidak dapat hidup di dalamnya. Panas yang ditimbulkan efek rumah kaca
menjadikan bumi hangat. Seperti di Mars, suhu sekitar -30℃ karena tidak
memiliki gas rumah kaca (Pratama dan Parinduri, 2019). Selain mengakibatkan
global warming efek rumah kaca juga menyebabkan adanya perubahan iklim.

Perubahan iklim ialah sebuah permasalahan penting yang menjadi


ancaman serius bagi semua manusia di bumi. Satu hal yang pasti, permasalahan
ini bukan sebuah permasalahan yang dapat selesai dengan sendirinya tanpa
adanya upaya yang dilakukan manusia (Luthfia dkk., 2019). Adanya perubahan
iklim dapat mempengaruhi kehidupan manusia, seperti masalah kesehatan,
perubahan iklim yang ekstrim serta perubahan iklim yang tidak menentu dapat
memunculkan wabah penyakit seperti demam berdarah, penyakit kulit, batuk,
pilek. Selain kesehatan, perubahan iklim dapat mempengaruhi dari sektor
pertanian dan bahkan menjalar ke ekonomi.

Perubahan iklim dapat mengakibatkan gagal panen dari sektor padi, tebu,
sayur dan lainnya. Hal tersebut dapat berdampak pada pertumbuhan ekonomi.
Perubahan iklim dapat mengganggu keseimbangan alam yang normal seperti
adanya badai karena perubahan curah hujan, kekeringan karena suhu meningkat
dan air yang semakin langka. The Royal Society dan US National Academi of
Science menggambarkan bahwa permasalahan iklim sudah terjadi dari tahun
1900-an (Nuraisah dan Kusumo, 2019). Intergovermental Panel on Climate
Change (IPCC) menyatakan perubahan iklim menjadikan naiknya suhu di bumi
yang memengaruhi manusia karena berdampak pada spesies dan keanekaragaman
hayati laut yang punah. Perubahan Iklim menunjukkan nyata terhadap bumi dan
isinya, dimana suhu rata-rata secara global mengalami kenaikan 1℃ dan
berpengaruh pada meningkatnya bencana alam (Nur dan Kurniawan, 2021).

Indikasi perubahan iklim ialah suhu udara naik, kekeringan, banjir, musim
hujan pendek (Aldrian, 2007). Selain itu meningkatnya permukaan air laut dan
iklim ekstrim (Ruminta dan Handoko, 2016a). Periode tahun 1899-2005 kenaikan
rata-rata suhu global mencapai 0,760℃, periode 1961-2003 kenaikan permukaan
air laut rata-rata global sebesar 1,8 mm pertahun, intensitas hujan dan banjir
meningkat, frekuensi kekeringan dan erosi meningkat, dan cuaca ekstrim (El
Nino, La Nina, puting beliung, hailstone dan siklon) juga meningkat (IPCC,
2007). Stasiun Klimatologi Indonesia di 13 tempat, terdapat peningkatan jumlah
curah hujan tahunan berkisar antara 490 mm per tahun (Sulawesi Selatan) hingga
1400 mm per tahun (Jawa Timur), suhu siang dan malam hari meningkat antara
0,5-1,1℃ dan 0,6-2,3℃ (Syahbuddin dkk., 2004). Bagian barat Indonesia terdapat
penurunan curah hujan tahunan sekitar 135 mm-860 mm per tahu, suhu siang dan
malam hari meningkat antara 0,2-0,4℃ dan 0,2-0,7℃. Semakin cepat periode El-
Nino di Indonesia yang awalnya 5-6 tahun sekali menjadi 2-3 tahun sekali
(Runtunuwu dan Kondoh, 2008).

Pemanasan global diakibatkan karena adanya aktivitas dari manusia


seperti penggunaan bahan bakar kendaraan bermontor, batu bara, minyak bumi
dan gas alam. Seperti halnya menggunakan kendaraan bermotor, kendaraan
bermotor tersebut mengeluarkan karbon dioksida (𝐶𝑂2) sebagai hasil
pembuangan. Selain itu ada gas-gas lain seperti uap air (𝐻2𝑂), Chloro Fluoro
Carbon (CFC), Nitrous Oxide (𝑁2𝑂), Metana (𝐶𝐻4), Ozon (𝑂3) yang dikenal
sebagai gas rumah kaca yang ke atmosfer. Kejadian tersebut mengakibatkan
tertahannya pantulan panas matahari dari bumi yang mengakibatkan panas
matahari tersebut tertahan dari bumi sehingga terpantul kembali ke bumi,
mengakibatkan efek rumah kaca. Kondisi suhu di atmosfer mengalami
peningkatan yang drastis. Hal tersebut mengakibatkan terjadinya global warming.

Aspek yang panting dalam pengelolaan lingkungan adalah dengan meli-


batkan seluruh masyarakat dalam seluruh aspek kegiatan pengelolaan lingkungan
tersebut. Masyarakat menjadi aktor utama yang terlibat secara langsung dalam
penge- lolaan lingkungan tersebut. Pengelolaan lingkungan berbasis masyarakat
dilakukan untuk mengelola lingkungan bersama masyarakat dengan meletakkan
pemahaman terhadap lingkungan sebagai hal yang uta- ma. Pendekatan dengan
pengelolaan ling- kungan berbasis masyarakat menurut Carter (dalam Hasani
(2012) strategi untuk menca- pai pembangunan lingkungan yang berpusat pada
manusia, dimana pengambilan kepu- tusan itu sepenuhnya menjadi tanggung
jawab seluruh masyarakat.

Pengelolaan lingkungan berbasis masyarakat dapat dijalankan melalui


pendekatan pemberdayaan. Strategi pemberdayaan masyarakat salah satunya
adalah dengan meningkatkan kemampuan masyarakat un- tuk dapat berperan
untuk perbaikan ling- kungan dimana masyarakat itu tinggal. Artinya
pemberdayaan masyarakat bertujuan untuk memberikan peluang kepada
masyarakat untuk dapat mencapai pemecahan masalah yang dihadapi.

Hal tersebut seperti yang diungkapkan oleh Kapitsa (dalam Sohail, 2014)
pemberdayaan masyarakat ber- arti kekuatan untuk melakukan perubahan dalam
masyarakat dengan menggerakkan sumber daya yang ada serta pemanfaatan
peluang untuk perubahan dalam masyara- kat. Pelibatan untuk mengelola
lingkungan menjadi tanggung jawab seluruh masyara- kat, sehingga tidak ada
tuntutan berdasar- kan gender dalam menjaga lingkungan. Peli- batan tersebut
juga dapat dimainkan oleh perempuan sebagai bagian dari masyarakat dan juga
memiliki tanggung jawab dalam pengelolaan lingkungan tersebut.

Program pegelolaan lingkungan akan terlaksana dengan baik jika ada


pelibatan bersama seluruh masyarakat. Keterlibatan masyarakat tersebut
diperlukan agar masya- rakat memiliki posisi yang utama dimana mereka akan
hidup di lingkungan tersebut sebagai tempat tinggalnya. Hal tersebut didukung
oleh pernyataan Ife & Tesoriero (2008) bahwa Keterlibatan atau partisipasi
merupakan sebuah konsep sentral, dan prin- sip dasar dari pengembangan
masyarakat karena di antara banyak hal unsur keter- libatan terkait erat dengan
gagasan HAM.

Keterlibatan atau partisipasi didefinisi- kan oleh Elhaq & Satria (2011)
bahwa Partisipasi adalah keikutsertaan setiap pihak yang terlibat dalam setiap
tahapan kegiatan pembangunan. Pandangan lain mengenai partisipasi seperti yang
diungkapkan oleh Chaesfa & Pandjaitan (2013) Partisipasi adalah pencurahan
aktifitas atau benda melalui suatu proses kegiatan bersama mencapai tujuan
bersama. Pengelolaan lingkungan berbasis ma- syarakat yang menempatkan
strategi pem- berdayaan masyarakat menjadikan partisi- pasi sebagai faktor yang
dominan untuk mencapai hasil yang diharapkan. Keterlibat- an masyarakat yang
berarti melibatkan perempuan dalam pelaksanaan pengelolaan lingkungan
tersebut. Keterlibatan perempu- an menjadi hal yang penting, sebagaimana dilihat
peran perempuan yang juga men- dominasi dalam kehidupan berumah tangga.
Perempuan memiliki tugas mengelola segala sitem rumah tangga untuk dapat
berjalan lebih baik. Aktivitas perempuan dalam ru- mah tangga sangat dominan
dengan ling-kungan dan tidak bisa dipisahkan oleh lingkungan.

Berbagai negara membuat kebijakan dalam mengurangi penyebab


pemanasan global, hal ini dilakukan karena damapaknya masif dan tidak dapat
diprediksi, kesadaran sejak dini adanya pemanasan global diharapkan dapat
mengurangi dan menjaga lingkungan tetap aman (Wildan dkk., 2019). Global
warming dapat mempengaruhi cuaca, dimana temparatur akan meningkat
menyebabkan bumi bagian utara seperti gunung es mencair mengakibatkan
daratan menyempit, salju ringan yang awalnya turun mungkin tidak lagi.

Adanya global warming terjadi fenomena yang mempengaruhi kehidupan,


terutama manusia seperti cuaca ekstrim, ikliim tak tentu, permukaan air laut
bertambah karena gleetser dan es di kutub mencair (Septaria dkk., 2019).
Perubahan tingginya muka laut, volume akan membesar dan semakin tinggi
permukaan laut. Tingginya muka laut dapat mempengaruhi daerah di pantai
seperti adanya erosi pantai dan meningkatnya bukit pasir.

Adanya kenaikan muka laut dan tanah menurun mengakibatkan pesisir


daerah Semarang sering banjir sebab saat air laut pasang dalam waktu kurang
lebih 25 tahun terakhir. Banjir tersebut dinamakan banjir rob, banjir yang
menggenangi daerah yang lebih rendah dari muka air laut saat pasang tertinggi
(Wirasatriya dkk., 2006). Wilayah pesisir Kabupaten Subang termasuk wilayah
pesisir dengan perubahan garais pantai cukup tinggiPerubahan tersebut dibarengi
dengan akresi dan erosi. Faktor penyebabnya pengalihan fungsi lahan mangrove
dan perubahan iklim global melalui kenaikan muka air laut serta peningkatan
fenomena ekstrim diprediksi memperparahkondisi berbagai kawasan pesisir
secara global (Handiani dkk., 2019).

Sektor pertanian juga berdampak adanya global warming, seperti pada


lahan pertanian tropis semi kering di beberapa daerah Afrika mungkin tidak dapat
tumbuh. Sektor pertanian rentan terhadap perubahan iklim karena dalam pertanian
bergantung pada kondisi cuaca dan iklim (Aggarwal, 2008). Diprediksi bahwa
hasil gandum di Australia tenggara menjadi dampak adanya perubahan iklim,
hasil menunjukkan peningkatan karbondioksida (𝐶𝑂2) bisa mengurangi hasil
gandum dengan rata-rata sekitar 25% (Kang dkk., 2009). Indonesia merupakan
negara agraris, adanya perubahan iklim saat hujan, perubahan curah hujan
menjadi resiko besar, banyak aktivitas pertanian yang bergantung hujan (Ruminta,
2016). Produksi padi turun signifikan karena kekeringan dan banjir yang
berkelanjutan hasil dari peubahan iklim, pengelolaan tata air yang tidak baik
menyebabkan kapasitas air tanah terlalu rendah atau terlalu tinggi (Ruminta dan
Handoko, 2016b). Suhu tinggi selama fase kritis perubahan iklim mengganggu
perkembangan, proses berbunga tanaman. Suhu tinggi dan kekeringan
mengakibatkan bencana pada lahan pertanian. Hal tersebut dapat menimbulkan
ledakan hama dan penyakit tanaman (Ruminta dkk., 2018).
Hewan dan tumbuhan akan kehilangan sumber makanannya karena
manusia sudah menguasainya. Hewan dan tumbuhan sulit berpindah sebab
beberapa lahan sudah dikuasai manusia. Hewan akan bermigrasi ke atas
pegunungan atau kutub dan tumbuhan mengubah arah pertumbuhannya, mencari
daerah baru yang tidak terlalu hangat. Namun manusia menghalangi karena
adanya pembangunan. Hewan yang bermigrasi akan terhalang oleh kota-kota dan
tumbuhan kehilangan lahannya. Kemungkinan beberapa spesies yang tidak
mampu berpindah akan musnah (Leu, 2021). Hewan dan tumbuhan kesulitan atau
tidak mampu berpindah diakibatkan terhalang oleh kota-kota. Adanya kota-kota
tersebut menggunakan lahan hijau atau area hutan yang dijadikan permukiman.
Sehingga area hutan berkurang yang meyebabkan punahnya berbagai jenis
spesies, dampak lain termasuk adanya efek gas rumah kaca dari kota-kota tersebut
(Novalia, 2017). Hilangnya hutan juga memengaruhi produktivitas oksigen (𝑂2)
karena tumbuhan mulai berkurang, sehingga tidak dapat melakukan proses
fotosintesis (Zhang dkk., 2020). Tanaman bisa mengalami kerusakan fisik sebab
suhu tinggi, diprediksi rata-rata 17% penurunan hasil panen kenaikan suhu udara
tiap 1℃ (Lobel dan Anser, 2003).

Perubahan suhu membawa dampak pada ukuran dan berat daun tanaman
tropis dan laju fotosintesis (Garruna dkk., 2014). Perubahan iklim membawa
dampak terhadap fisiologis tanaman yang mempengaruhi pertumbuhan dan
prosuksi tanaman (Timotiwu dkk., 2021). Perubahan iklim yang terjadi juga
mengakibatkan hewan dan tumbuhan tidak dapat beradaptasi mati. Tanaman yang
mati mengakibatkan hewan herbivora dapat meti karena minimnya tanaman yang
digunakan untuk bertahan hidup (Fath, 2021). Jangka panjangnya mengakibatkan
hewan karnivora mengalami kematian karena berkurangnya hewan herbivora
(Hidayati dan Suryanto, 2015). Hewan ternak juga tidak dapat bertumbuh
kembang karena minimnya tumbuhan untuk makanan hewan ternak tersebut.
Beberapa tumbuhan yang ada menjadi tidak layak konsumsi hewan ternak karena
berbahnya genetik dan fisik tumbuhan. Tumbuhan yang tidak layak konsumsi
tersebut mengakibatkan hewan ternak mengalami kematian (Fath, 2021).
Perubahan iklim dapat mempengaruhi kualitas tumbuhan dari pertanian
dan perkebunan. Beberapa tumbuhan mengalami penurunan kualitas karena
mempunyai daya tahan perubahan cuaca yang berbeda (Managi dan Kaneko,
2015). Akibatnya dapat mati dan yang masih bertahan hidup akan mengalami
penurunan kualitas dan fisik (Hetel dan De Lima, 2020). Perubahan iklim
mempengaruhi kelangsungan tanaman budidaya, dinamika populais hama dan
musuh alami, perlu adanya upaya untuk mengantisipasi dampak tersebut dengan
strategi mitigasi dan adaptasi. Strategi mitigasi sendiri bertujuan agar emisi gas
rumah kaca dari lahan pertanian berkurang (Setiawati dkk., 2013). Peningkatan
gas rumah kaca mempengaruhi produksi tanaman dan ketersediaan pangan
(Chakrabarti dkk., 2013). International Panel for Climate Change (IPCC)
memperoyeksikan kenaikan suhu 1,8-4℃ menjelang tahun 2100 (IPCC, 2007).
Konsentrasi karbondioksida (𝐶𝑂2) menyebabkan kenaikan suhu, aspek fungsi,
pertumbuhan dan perkembangan tanaman dapat terpengaruh sesuai jenis tanaman
dan geografis (Chakrabarti dkk., 2013).

Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE) tahun 2009 mengatakan


akibat dari perubahan iklim global, muncul penyakit hewan baru atau penyakit
muncul kembali. Penyakit yang menyerang hewan domestik dan liar seperti blue
tongue, avian influenza, west nile (Naipospos, 2010). Kaitan penyakit hewan
dengan iklim dan cuaca bersifat spatial yaitu iklim mempengaruhi penyebaran
penyakit (Baylis dan Githeko, 2006). Pemanasan global dapat menurunkan
produktivitas tanaman pangan secara signifikan terutama daerah tropis.
Kepunahan spesies tanaman merupakan dampak dari pemanasan global. Apabila
semakin tinggi suhu lingkungan akan mengakibatkan terjadinya peningkatan
traspirasi artinya membutuhkan air lebih banyak untuk diuapkan sebagian besar
melalui daun karena adaptasi terhadap suhu lingkungan yang tinggi. Namun
dampak negatif lainnya muncul yakni masalah pada fotosintesis. Pada fotosintesis
memerlukan air. Dampak lain yaitu produksi oksigen (𝑂2) yang diperlukan
manusia. Apabila proses fotosintesis terganggu maka produksi oksigen (𝑂2) juga
akan berkurang (Sugiarto, 2019).
Pemanasan global dapat mengganggu hayati laut. Salah satunya terumbu
karang dari jenis hermatifik yaitu hewan karang pembentuk kerangka karang dari
tumpukan kapur atau kalsium karbonat (𝐶𝑎𝐶𝑂3) sebagai hasil fotosintesis jutaan
alga zooxznthellae yang bersimbiosis dalam jaringan hewan karang tersebut.
Namun kenaikan suhu mengganggu zooxanthellae untuk fotosintesis dan memacu
produksi kimia berbahaya yang dapat merusak sel mereka (Latuconsina, 2010).
Peningkatan karbondioksida (𝐶𝑂2) menyebabkan perubahan senyawa kimia
karbon (𝐶) di permukaan laut, terjadi penurunan pH dan konsentrasi ion karbonat
(𝐶𝑂32−) yang bisa menurunkan kejenuhan kalsium karbonat (𝐶𝑎𝐶𝑂3) (Dahuri,
2003).

Perubahan iklim juga dapat mengakibatkan pergeseran dalam reproduksi


dan pertumbuhan, contoh migrasi burung terjadi lebih awal yang mengakibatkan
proses reproduksi terganggu karena telur tidak dapat dibuahi (Lubis, 2011).
Kesehatan manusia juga berdampak, ilmuan memprediksi akan ada banyak orang
mengidap penyakit atau meninggal karena panas. Penyakit yang biasa mewabah di
daerah tropis yaitu demam berdarah (Pratama dan Parinduri, 2019). Perubahan
iklim juga dapat mempengaruhi gender, saat dampak perubahan iklim masuk
suatu wilayah dan wilayah tersebut didiami masyarakat maka menempatkan
perubahan iklim dalam sosiologis penting, termasuk perspektif gender sebab
perubahan iklim hadir di tengan ruang sosiologis yang di dalamnya terdapat relasi
gender (Rusmadi, 2017). Dilihat dar perspektif sosiologi dampak yang dirasakan
berbeda antar kelompok seperti kelompok minoritas yang terpinggirkan, orang
tua, anak-anak. Perubahan iklim terasa berbeda antara laki-laki dan perempuan.
Laki-laki dan perempuan memiliki peran yang berbeda dalam keluarga, serta
memiliki persepsi berbeda mengenai rencana. Aspek sosial yang dialami ialah
hilangnya mata pencaharian bagi kawasan pesisir karena kenaikan permukaan air
laut dan nelayanlah yang menjadi korban.

Pemanasan global berasal dari aktivitas manusia mulai dari pembakaran


bahan bakar fosil, industri, penggundulan hutan yang mengakibatkan adanya
emisi karbon dengan dampak yang timbul yaitu efek rumah kaca yang
mengakibatkan efek jangka panjang terhadap kehidupan. Persoalan mengenai
global warming dan perubahan iklim bukan persoalan yang bisa diselesaikan
sendiri tanpa adanya upaya untuk melakukan aksi nyata (Luthfia dkk., 2019).
Pemerintah dasarnya sudah mempunyai infrastruktur berupa sistem, aturan,
kebijakan yang kuat dalam menanggapi ancaman perubahan iklim.
Permasalahannya yaitu individu yang berperan memberikan dampak nyata
melalui perilaku, dimana keterkaitan penyelesaian perubahan iklim dengan
perilaku manusia (Clayton dkk., 2015). Perilaku individu yang tidak dapat
beradaptasi mengikuti teknologi, sistem atau atauran yang sudah dibangun
sebelumnya, maka adanya infrastruktur aturan tersebut menjadi tidak efektif
(Haryanto dan Prahara, 2017).

Pengaruh perilaku dalam individu yang berupaya menghadapi perubahan


iklim ialah keyakinan bahwa perubahan terjadi saat ini serta pemahaman individu
sejauh mana penyebab munculnya permasalahan perubahan iklim serta siapa yang
bertanggung jawab dalam menangani permasalahan (Haryanto dan Prahara,
2017). Keyakinan sendiri dalam menggambarkan lebih lanjut bahwa perubahan
iklim sedang terjadi saat ini akan menjdai faktor yang dapat menggerakkan
individu untuk meraspon permasalahan perubahan iklim tersebut (Milfont dkk.,
2015).

Strategi dalam menghadapi perubahan iklim perlu dikembangkan dan


diarahkan pada rekayasa sosial agar masyarakat dapat mengalami peruabahan
secara sistematis dan terencana. Kunci dalam perubahan iklim adalah adaptasi.
Adaptasi harus menjadi agenda pembangunan yang tahan terhadap dampak
perubahan iklim yang terjadi saat ini dan antisipasi dampak ke depan. Tujuan
jangka panjang agenda adaptasi perubahan iklim ialah terintegrasinya adaptasi
perubahan iklim ke dalam perancanaan pembangunan nasional (Hilman, 2009).

2. Relasi Manusia dan Alam Semesta

Manusia merupakan makhluk Allah yang paling sempurna dan memiliki


berbagai kelebihan dibandingkan makhluk-makhluk yang lain yang ada di
dalam alam raya ini. Hal itu telah diungkapkan oleh Allah dalam surat Al-Tin
ayat 4, “Sesungguhnya kami telah menjadikan manusia dalam bentuk yang
sebaik-baiknya.” Sebagai makhluk dan ciptaan yang paling sempurna,
manusia tentunya memiliki konsep dan karakteristik yang berbeda dari
makhluk-makhluk yang lain. Perbedaan itulah yang menjadi ikon tersendiri
sehingga dia disebut sebagai manusia.

Al-Quran telah memberikan keterangan-keterangan kepada kita mengenai


susunan, struktur, karakter yang kesemuanya itu membentuk suatu konsep
utuh tentang manusia dengan jeli dan cermat jika kita mau meneliti dan
mendalami pesan-pesan Kitab suci itu. Muthahari (2002) memiliki pandangan
tersendiri tentang keunikan dan kekhasan manusia. Selain karena
kesadarannya yang melintasi ruang dan waktu, manusia menjadi berbeda dari
makhluk lain karena memiliki ilmu dan iman yang menjadi pembeda dari
segala makhluk yang ada di bumi ini.

Pandangan dari intelektual asal Iran ini, cukup beralasan. Oleh karena itu,
Kartanegara (2007) menyebutnya sebagai pandangan menarik yang benar-
benar membedakan manusia dari hewan dan makhluk yang lain. Allah swt.
tidak menciptakan manusia begitu saja kemudian membiarkannya tidak
bertempat tinggal, Dia memberikan kepada manusia suatu tempat yang dapat
dihuni untuk melestarikan diri dan berkembang biak. Maka dari itu, Allah
menjadikan bumi sebagai hunian dan tempat tinggal bagi makhluk hidup yang
satu ini. Lebih luas lagi, Allah menciptakan alam semesta ini semua tidak lain
dan tidak bukan adalah untuk kepentingan manusia semata. Al-Quran telah
memberikan sinyalemen-sinyalemen melalui ayat-ayatnya tentang konsep
alam semesta ini. Begitu penting dan berpengaruhnya alam semesta, sampai
doktrin, agama, sistem sosial, mazhab pemikiran dan filsafat sosial senantiasa
didasarkan pada konsepsi tertentu tentang alam semesta.

Karena itu, sasaran dan metode yang digunakan untuk mencapai sasaran
tersebut tidak lain merupakan akibat wajar dari konsepsi mazhab tentang alam
semesta (Muthahhari, 2002). Jika dikaji lebih dalam lagi pesan-pesan al-
Quran, akan kita temukan relasi antara manusia dan alam raya. Kedua ciptaan
Allah swt. ini ternyata tidak dapat berdiri sendiri-sendiri, meskipun pada
dasarnya merupakan dua konsep yang berbeda. Manusia membutuhkan alam
semesta untuk hidup dan melakukan aktifitas-aktifitasnya, dan alam pun
membutuhkan manusia untuk dirawat dan dilestarikan agar senantiasa tetap
dalam keadaan yang layak untuk dihuni. Sebenarnya, kajian terkait relasi
manusia dan alam semesta sudah banyak dilakukan. Selain Kartanegara
(2007) dan Muthahhari (2002); Izutsu (1997) pernah membahas relasi antara
Tuhan dan Manusia serta menyinggung kajiannya tentang alam. Dalam
mengkaji relasi ketiganya, Izutsu menggunakan pendekatan semantik
kebahasaan. Sahidah (2018) juga melakukan studi serupa dengan mengkaji
pemikiran Izutsu dengan perspektif semantik kebahasaan.

Selain itu, Dewi (2015) menguraikan bahwa kerusakan alam ini terjadi
akibat manusia telah memisahkan diri dari alam. Keterpisahan itulah yang
menyebabkan ekuilibrium alam menjadi terganggu. Raja (2018) dalam
studinya mengkrisi temuan Dewi (2015) yang menyatakan bahwa tesis yang
diajukan memiliki beberapa kelemahan. Pertama, term manusia yang
digunakan terlalu abstrak. Kedua, konsep alam yang ditawarkan tidak valid.
Ketiga, konsep disekuilibrium yang mengasumsikan keterpisahan manusia dan
alam juga tidak relevan dalam menghadapi problem aktual saat ini. Maka dari
itu, penulis menawarkan sebuah konsep epos Antroposen. Maksudnya, karena
bumi berubah secara fundamental, maka yang harus diajukan adalah cara
menghadapi perubahan, bukan mengembalikan ekuilibrium yang tidak pernah
ada. Studi ini menggunakan teori relasi (relation theory) yang merupakan
sebuah teori yang berusaha mencari titik temu hubungan antara dua objek
yang berbeda.

Dalam kaitan dengan penelitian ini, teori ini akan digunakan untuk
menghubungkan antara konsep manusia dan konsep alam semesta dalam al-
Quran. Teori relasi ini, secara umum, dapat dibagi ke dalam tiga kategori.
Relasi afirmatif, relasi negasi dan relasi campuran antar keduanya.
Pembahasan tentang hubungan manusia dan alam semesta akan didudukkan ke
dalam salah satu dari tiga jenis hubungan tersebut. Meskipun demikian, tidak
menutup kemungkinan lahirnya jenis relasi baru setelah dilakukannya
penelitian.

Sepanjang penelitian pendahuluan yang dilakukan peneliti, selama ini


relasi antara manusia dan alam semesta yang ada di dalam al-Quran
mengindikasikan ke arah relasi yang afirmatif. Artinya, manusia dan alam
harus bersinergi dan berkolaborasi untuk menciptakan kemakmuran. Hanya
saja yang paling banyak berperan dalam hal ini adalah manusia, sebab di
tangannya bergantung masa depan alam semesta. Berdasarkan latar belakang
tersebut, maka menarik untuk dibahas bagaimana sebenarnya konsep relasi
antara manusia dan alam dalam perspektif al-Quran. Dengan memahami
konsep tersebut, diharapkan ke depannya sinergitas antara manusia sebagai
khalifah di muka bumi ini dapat berjalan sesuai koridor, sehingga dapat benar-
benar melakukan eksplorasi alam tanpa melampaui batas.

a. Konsep Manusia dalam Perspektif al-Quran

Menurut Syati (1999), istilah manusia dalam al-Quran disebutkan dengan


menggunakan tiga kata, yaitu insân, ins, dan basyar. Ketika menggunakan kata
basyar, yang dimaksudkan al-Quran adalah anak turun Adam, makhluk fisik
yang suka makan dan berjalan ke pasar. Dimensi fisikal itulah yang membuat
pengertian basyar mencakup anak keturunan Adam secara keseluruhan.

Kata basyar untuk menunjukkan sisi-sisi kemanusiaan para Rasul dan


Nabi. Artinya, para Rasul dan Nabi tersebut adalah manusia biasa seperti
halnya manusia-manusia lain. Mereka bukanlah mahluk yang diciptakan
dengan unsur yang berbeda dengan manusia biasa. Mereka juga membutuhkan
makan dan minum seperti yang lainnya. Kemudian kata ins dan insân, dapat
disimpulkan sebagai bentuk kata yang musytarak atau memiliki sisi kesamaan
makna. Keduanya berasal dari akar kata a-n- s. Risalah makna yang
dikandungnya adalah kebalikan kata “liar”, yaitu “jinak”. Kedua kata tersebut,
ins dan insân, meskipun memiliki makna yang musytarak, juga memiliki
perbedaan makna. Kata ins, selalu disebutkan bersamaan dengan kata jin
sebagai oposannya (Syati, 1999). Sisi kemanusiaan pada manusia yang
disebut dalam al-Quran dengan kata ins dalam arti “tidak liar” atau “tidak
biadab”, merupakan kesimpulan yang jelas bahwa manusia merupakan
kebalikan dari jin yang menurut dalil aslinya bersifat metafisik.

Metafisik itu identik dengan “liar” atau “bebas” karena tidak mengenal
ruang dan waktu. Dengan sifat kemanusiaan itu, jelas sekali bahwa manusia
berbeda dengan jenis-jenis mahluk lain yang metafisis, asing, tidak
berkembang biak seperti kita dan tidak hidup dengan cara hidup kita (Syati,
1999). Sedangkan makna manusia yang diungkapkan al-Quran dengan
menggunakan kata insân, tidak terletak pada dimensi yang selalu dioposisikan
dengan jin. Risalah makna yang terkandung di dalam penggunaan kata insân
tersebut adalah ketinggian derajat manusia sehingga menjadikannya layak
untuk dijadikan khalifah dan mampu mengemban tugas-tugas (taklîf)
keagamaan dan memikul amanat (Syati, 1999). Maka dari itu, ia dianugerahi
dengan kelebihan-kelebihan yang tidak diberikan kepada mahluk selain
dirinya.

Di antara kelebihan-kelebihan tersebut adalah diberi ilmu pengetahuan,


dapat berbicara, dianugerahi akal dan kemampuan untuk berpikir. Mengutip
pandangan Hamka (2007), hanya manusia semata makhluk yang dianugerahi
akal. Dengannya, manusia dapat mencari hal yang bermanfaat dan
menghindari hal yang mudharat. Dengannya pula, ia menginginkan
keuntungan dan takut akan rugi. Selain itu, manusia juga dianugerahi dengan
perasaan. Dalam perasaan yang paling murni, dia mengakui adanya kekuasaan
yang lebih tinggi yang mengatur alam ini. Tidak berhenti sampai di situ,
perasaan itu pun sebenarnya selalu berusaha untuk mengenal hakikat kekuatan
tersebut.
Dalam pandangan Hamka, corak jiwa dan akal yang senantiasa ingin
mengetahui hakikat Zat Yang Maha Kuasa itu dinamakan dengan fitrah
(Rosowulan, 2015). Semua kelebihan itu telah dirancang oleh Allah swt.
dengan sangat teliti. Sehingga dengan kemampuannya, dia mampu
membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang indah dan
mana yang jelek. Maka dari itu, dengan berbagai kelebihan tersebut, manusia
tidak akan tergelincir ke dalam hal-hal yang tidak baik jika dia mampu dan
mau mengoptimalkan potensi yang dianugerahkan kepadanya. Oleh sebab
itulah, di dalam salah satu ayatnya, Allah swt. berfirman.

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum,


sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri” (QS
Al-Ra’d [13] :11)

Malik Bennabi memberikan penafsiran yang cukup menarik terkait dengan


ayat di atas. Frasa mâ biqaumin (keadaan suatu kaum) yang disebutkan
pertama kali, merupakan gambaran real kondisi suatu masyarakat
(kemunduran, kemajuan, moneter dan lain sebagainya). Sementara, frasa
kedua mâ bi anfusihim (keadaan yang ada dalam diri mereka sendiri)
menyiratkan potensi dan kesadaran diri yang dimiliki, sehingga menjadi
modal untuk melakukan transformasi sosial. Transformasi sosial itu baru bisa
terwujud tatkala potensi dan kesadaran diri dimaksimalkan untuk meraih masa
depan berdasarkan kondisi real yang dialami. Sehingga, proses perubahan
yang diharapkan itu tetap berdiri di atas kaki sendiri yang sadar akan potensi
dan kenyataannya (Burhanuddin, 1993).

Dalam menciptakan manusia, Allah swt. tidak menjadikannya dari satu


materi saja. Dia menciptakan manusia yang terdiri atas dua materi, yaitu jasad
dan ruh atau dengan kata lain, badan dan jiwa. Keduanya merupakan satu
kesatuan yang membentuk pribadi manusia. Kesatuan keduanya menentukan
keutuhan pribadi manusia (Sihotang, 2009). Dalam al-Quran hal ini juga
dijelaskan secara nyata dan transparan.
“Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan
yang memulai penciptaan manusia dari tanah. Kemudian Dia menjadikan
keturunannya dari saripati air yang hina. Kemudian Dia menyempurnakan
dan meniupkan ke dalamnya roh (ciptaan)-Nya dan Dia menjadikan bagi
kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali
bersyukur” (QS Al-Sajdah [32] :7- 9)

“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat:


‘Sesungguhnya Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering
(yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk. Maka apabila Aku telah
menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan kedalamnya ruh
(ciptaan)-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud” (QS Al-Hijr
[15] : 28-29).

Kedua ayat di atas jelas sekali memberi gambaran bahwa manusia terdiri
dari unsur materi dan ruhani. Maka dari itu, dalam Islam tidak diajarkan
materialisme. Islam menggabungkan antara kehidupan materialis dan
spiritualis, mengakui adanya kehidupan yang material dan mengimani
kehidupan yang imaterial yang tercermin dalam kepercayaan akan adanya
Tuhan, malaikat, hari ahir dan lain sebagainya. Di samping itu, Islam
mengakui bahwa setelah kehidupan yang fana di dunia ini, masih ada
kehidupan yang lebih kekal dan abadi, yaitu kehidupan di alam akhirat kelak.
Di antara keunikan manusia dibanding mahluk-mahluk lain adalah bahwa
Allah telah memberikan kepada mereka kebebasan. Di antara kebebasan yang
diberikan Allah kepada manusia adalah kemerdekaan dari perbudakan. Hak
untuk bebas dan merdeka dari perbudakan merupakan nilai dasar sejak dahulu
kala. Hakikat agama-agama adalah pengabdian kepada Allah semata, tidak
boleh mempersekutukan seseorang pun dalam mengabdi atau beribadah
kepada-Nya (Syati, 1999). Dalam perspektif Hamka, konsep tauhid
merupakan pokok kepercayaan yang memberi kekuatan dan harga diri
manusia. Karena ia meniadakan seluruh penghambaan dan penyembahan
kepada selain Tuhan. Bahkan, tauhid lah yang membentuk karakter berpikir
seorang muslim (Rosowulan, 2015). Terkait konsep tauhid ini, Allah telah
berfirman:

“Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya al-
Kitab, Hikmah dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia: ‘Hendaklah
kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah” (QS Ali-
Imrân [3] :79).

Sebelum datangnya Islam, masyarakat berada dalam kehidupan yang


politeis, mereka menuhankan orang-orang agung yang ada pada masa itu.
Islam, sebagai agama tauhid, sangat bersungguh-sungguh dalam menetapkan
prinsip kesederajatan atau egalitarian antar sesama manusia. Mereka semua
sama dan diciptakan dari asal- usul yang sama pula.

“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah


menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan
isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki
dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan
(mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan
(peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga
dan mengawasi kamu”. (QS Al-Nisâ` [4] : 1)

Prinsip Islam dalam menyuarakan egalitarian antara manusia sangatlah


nyata. Islam tidak membedakan antara rasul dan manusia biasa dalam hal-hal
yang berhubungan dengan kemanusiaan. Maka dari itu, praktik-praktik
perbudakan bukanlah menjadi ajaran Islam. Tidak ada seorang pun yang bisa
mengambil alih sifat Tuhan, kemudian memperbudak manusia. Allah
menciptakan mereka dari seorang diri, dari jiwa yang satu, dan mereka semua
adalah hamba Allah swt. Semuanya sama di mata Allah swt., seperti gigi-gigi
sisir yang rata dan sama. Hanya satu yang membedakan mereka di mata
Tuhan, kualitas dan kadar ketakwaan mereka sajalah yang membedakannya.
Selain kebebasan untuk merdeka dari perbudakan, Islam juga memberikan hak
kepada manusia untuk bebas dalam berakidah. Tidak ada paksaan sama sekali
dalam meyakini dan mengimani apa yang menjadi kepercayaan manusia.

“Tidak ada paksaan untuk memasuki agama Islam, sesungguhnya telah


jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu, barangsiapa
yang ingkar kepada thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya
ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus.
Dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui” (QS Al-Baqarah [2] :
256

“Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang


ada di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu hendak memaksa manusia
supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?” (QS Yunus
[10] : 99).

Ayat-ayat di atas dengan jelas dan tegas menolak adanya paksaan dalam
berakidah, bahkan dalam berakidah Islam. Islam tidak menghendaki adanya
umat yang masuk Islam karena adanya paksaan orang lain. Mereka yang tidak
mau masuk Islam dan berserah diri kepada Allah, tetap harus mendapatkan
perlakuan yang baik dalam hal muamalah dan berinteraksi di dalam kehidupan
sehari-hari.

Dalam hal itu, Rasulullah saw. adalah teladan pertama yang melaksanakan
prinsip tersebut tatkala berada di Madinah dan membuat Deklarasi atau
Piagam Madinah. Rasulullah tetap memberikan hak kepada mereka yang tidak
atau belum masuk Islam untuk melaksanakan ibadah sesuai kepercayaannya,
kaum muslimin dilarang mengganggu atau menghalangi mereka dalam
melaksanakan ibadah. Selain itu, di dalam peperangan Rasulullah saw. juga
melarang kaum muslimin merusak rumah ibadah musuh, agar mereka tetap
dapat melaksanakan ibadah sesuai keyakinan tanpa mendapatkan kesulitan.
Terkait hal ini, Hamka memiliki pendapat yang cukup menarik untuk dikaji.
Menurutnya, seluruh agama itu satu, yaitu Islam. Yang dia maksudkan dengan
Islam di sini adalah Islam dalam arti bahasanya yang luas, yaitu penyerahan
total kepada Tuhan.

Dalam koridor pemaknaan seperti ini, siapa pun orangnya, kalau dia
totalitas dalam berserah diri kepada Tuhan, berarti dia telah masuk Islam. Jadi,
Islam yang dimaksudkan Hamka di sini bukanlah Islam dalam pengertiannya
sebagai institusi, melainkan sebagai pandangan hidup tentang kebenaran
(Rosowulan, 2015). Selain kebebasan mendapatkan kemerdekaan dari
perbudakan dan kebebasan dalam berakidah, Islam juga memberikan
kebebasan kepada manusia untuk berpikir dan mengemukakan pendapat.
Islam sama sekali tidak pernah melarang umatnya untuk senantiasa berpikir
dan mengemukakan pendapat. Karena dengan berpikir dan mengemukakan
pendapat, manusia dapat berdialog sehingga mengetahui apa yang terbaik bagi
mereka, mengetahui kelebihan dan kekurangan pendapat yang dikemukakan
orang lain. Dan memang itulah kelebihan manusia dari mahluk-mahluk
lainnya, dia dianugerahi akal dan pikiran untuk digunakan berpikir dan
mengemukakan pendapatnya. Isyarat mengenai kebebasan berpikir dan
berpendapat terdapat di dalam al-Quran.

“Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata: ‘Ya Tuhanku, perlihatkanlah


kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang-orang mati.’ Allah
berfirman: ‘Belum yakinkah kamu?’ Ibrahim menjawab: ‘Aku telah
meyakinkannya, akan tetapi agar hatiku tetap mantap dengan imanku.’ Allah
berfirman: ‘Kalau demikian ambillah empat ekor burung, lalu cincanglah
semuanya olehmu. Lalu letakkan diatas tiap-tiap satu bukit satu bagian dari
bagian-bagian itu, kemudian panggillah mereka, niscaya mereka datang
kepadamu dengan segera.’ Dan ketahuilah bahwa Allah Maha Perkasa lagi
Maha Bijaksana”. (QS Al-Baqarah [2] : 260)

“Dan sesungguhnya Kami telah mengulang-ulangi bagi manusia dalam


al- Quran ini bermacam-macam perumpamaan. Dan manusia adalah makhluk
yang paling banyak membantah” (SQ Al-Kahfi[18] :54)
Bahkan, umat Islam senantiasa diperintahkan oleh Allah untuk senantiasa
bermusyawarah dan berdialog satu sama lain dalam membicarakan suatu
permasalahan.

“Dan bagi orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan


mendirikan shalat, sedang urusan mereka diputuskan dengan musyawarah
antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami
berikan kepada mereka”. (QS Al-Syûrâ [42] : 38).

Itu semua menjadi bukti bahwa al-Quran memberi kebebasan kepada


manusia untuk berpikir, mengemukakan pendapat, dan berdialog dengan
sesama untuk memecahkan suatu permasalahan atau mencari tahu hal-hal
yang belum diketahuinya. Selain itu, Islam juga memberikan kebebasan
kepada manusia dalam berkehendak. Kebebasan berkehendak ini pada
kenyataannya merupakan aspek substansial yang tidak dapat dipisahkan dari
aspek-aspek kebebasan yang lain. Kebebasan ini merupakan kebebasan yang
menyempurnakan manusia sesuai tuntutan kesanggupannya memikul amanat.
Jika syarat mendapatkan penugasan atau taklîf agama adalah ikhtiyâr atau
kebebasan berusaha, maka bagaimana mungkin seseorang dapat menanggung
tugas- tugas keagamaan itu bila tidak memiliki kebebasan berusaha yang
merupakan syaratnya?

“Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang


telah diusahakannya, dan bahwasanya usaha itu kelak akan diperlihatkan
kepadanya, kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang
paling sempurna, dan bahwasanya kepada Tuhamulah kesudahan segala
sesuatu”. (QS Al-Najm [53]: 39-42).

Demikianlah konsep manusia menurut al-Quran, dia adalah mahluk yang


sangat istimewa. Tercipta dari dua unsur yang menyatu, antara materi dan roh.
Dianugerahi dengan berbagai kelebihan, diberikan hak-hak yang tidak
diberikan kepada mahluk-mahluk lain seperti jin dan malaikat. Itu semua
merupakan anugerah Tuhan kepada manusia untuk senantiasa berproses dalam
meningkatkan kualitas dirinya, yang dalam banyak ayat sering disebut dengan
istilah takwa.

Istilah takwa ini sebenarnya hanya punya makna dalam lingkup yang lebih
luas, yaitu lingkup sosial kemasyarakatan (Rahman, 2017). Jika tugas sebagai
khalifah benar-benar dapat diemban dengan baik, akan tercipta sebuah
masyarakat yang baik pula. Pembentukan masyarakat madani yang baik itulah
sebenarnya misi utama yang diembankan kepada manusia, sehingga bisa
tercipta sebuah tatanan sosial yang maju dan menjadi umat yang terbaik yang
pernah ada di muka bumi ini, yang senantiasa menyeru kepada kebaikan dan
mencegah segala tindakan kemungkaran (Rahman, 2017). Secara alami,
manusia adalah makhluk Tuhan yang aktif dan berinisiatif. Kelak pada hari
perhitungan, dia akan dimintai pertanggungjawaban atas segala tindakan dan
perbuatannya selama berada di dunia. Karena, hanya dia--di antara makhluk
lain--yang dibekali potensi yang bisa memilih untuk patuh atau ingkar. Inilah
sifat dasar yang membedakan manusia dari ciptaan Tuhan yang lain.

b. Konsep Alam dalam Perspektif al-Quran

Kata alam, yang dimaksudkan di sini adalah alam semesta, jagad raya
yang di dalam bahasa Inggris disebut dengan universe. Kata ini
dialihbahasakan ke dalam bahasa arab dengan istilah ‘âlam. Akan tetapi,
penggunaan kata ‘âlam ini di dalam al-Quran untuk menunjukkan jagad
raya atau alam semesta tidaklah tepat. Karena kata ‘âlam yang digunakan
di dalam al-Quran merujuk pada kumpulan yang sejenis dari mahluk
Tuhan yang berakal atau memiliki sifat-sifat yang mendekati mahluk yang
berakal (Zar, 1997).

Hal itu dapat ditelusuri dari ayat-ayat al-Quran yang menggunakan


kata tersebut. Untuk merujuk kepada alam semesta atau jagad raya, al-
Quran justru selalu menggunakan kata al-samâwât wa al-ardh wa mâ
bainahumâ. Kata ini mengandung isyarat bahwa di dalamnya mencakup
banyak alam, yang berbeda bentuk dan hukum-hukumnya antara satu dan
yang lain. Dalam konsep penciptaan alam semesta, al-Quran menggunakan
istilah atau terma yang berbeda-beda, antara lain dengan kata khalaqa,
bada’a dan fathara.

Hanya saja, ketiga ungkapan tersebut tidak memberikan penjelasan


yang tegas apakah alam raya ini diciptakan dari materi yang sudah ada
atau dari ketiadaan. Jadi ketiganya hanya menjelaskan bahwa Allah yang
menciptakan alam semesta tanpa menyebutkan dari ada atau tiadanya (Zar,
1997). Al-Quran juga menyebutkan terma al-dukhân yang digunakan
untuk menerangkan asal muasal kejadian alam ini. Namun karena tidak
ada penjelasan rinci tentang arti al-dukhân ini, para cendekiawan pun
mencoba menafsirkan terma ini dalam perspektif mereka masing-masing.
Bucaille (1979) mengartikannya sebagai asap yang terdiri dari stratum gas
dengan bagian-bagian kecil yang mungkin memasuki tahapan keadaan
keras atau cair dalam suhu rendah atau tinggi.

Allah swt. menciptakan alam semesta selama enam hari. Ayat-ayat al-
Quran yang mengisyaratkan kepada kita mengenai keterangan tersebut
adalah surat al-A’raf [7] : 54, Yunus [10] : 3, Hud [11] : 7, al-Furqân [25] :
59, al-Sajdah [32] : 4, Qâf [50] : 38, al-Hadid [58] : 4. Akan tetapi, di
dalam ayat-ayat yang menerangkan itu tidak disebutkan secara detail
apakah enam hari penciptaan itu adalah enam hari dalam hitungan manusia
(satu minggu) ataukah enam hari dalam hitungan Allah swt (yang mana
sehari bagi Allah sama dengan seribu tahun dalam hitungan manusia).
Dalam pandangan Rahman (2017), pembahasan al-Quran tentang
kosmologi sangat sedikit. Terkait dengan metafisika penciptaan, secara
sederhana al-Quran menyatakan bahwa alam semesta dan apa pun yang
dikehendaki Allah akan terwujud dengan perintah-Nya. Ini menunjukkan
bahwa Allah yang menjadi penggerak absolut untuk alam raya dan
pemberi perintah yang tak terbantahkan. Artinya, alam raya ini tunduk
kepada Allah secara otomatis, tidak ada potensi untuk memilih antara
patuh atau tidak. Secara ontologis, ini berbeda dari manusia yang
diberikan potensi dan kebebasan untuk memilih antara patuh atau ingkar.
Maka dari itu, secara holistik kelak di hari pembalasan, yang dituntut
untuk mempertanggungjawabkan segala tindakan hanya manusia, alam
raya tidak dituntut sama sekali karena sifatnya yang reseptif dan pasif.

c. Relasi Antara Manusia dan Alam

Sebagai mahluk yang paling mulia dan paling sempurna dengan


dibekali akal pikiran dan perasaan, manusia dijadikan oleh Allah sebagai
khalifah atau pemimpin di muka bumi (alam) ini. Makna khalifah ini
bukan berarti untuk merusak dan menumpahkan darah, sebagaimana klaim
malaikat, tetapi untuk membangun peradaban yang damai, sejahtera dan
berkeadilan (Masruri, 2014). Allah swt. mengetahui potensi yang dimiliki
manusia sehingga lebih mengutamakannya dari malaikat yang notabene
adalah mahluk Allah yang selalu melaksanakan apapun yang
diperintahkan oleh Allah dan menjauhi apa pun yang dilarang-Nya.
Mereka tidak pernah membantah Allah sama sekali. Dan ketika Allah
menginformasikan kepada para malaikat bahwa Dia akan menjadikan
manusia sebagai khalifah di muka bumi, mereka bertanya-tanya kepada
Allah. Hal ini digambarkan dengan jelas di dalam firman-Nya.

“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat:


‘Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.’
Mereka berkata: ‘Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi
itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan
darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan
mensucikan Engkau?’ Tuhan berfirman: ‘Sesungguhnya Aku mengetahui
apa yang tidak kamu ketahui”. (QS Al-Baqarah [2] : 30).

Dari ayat di atas, dapat diketahui dengan jelas bahwa kekhawatiran


para malaikat sudah dijawab oleh Allah swt. Dia lebih mengetahui potensi
yang ada di dalam diri manusia, maka dari itu memercayakan bumi ini
kepadanya, bukan yang lain. Rahman (2017) menyebutkan bahwa
keberatan malaikat itu dijawab dengan sebuah kompetisi epistemologis
yang Dia ajukan kepada keduanya. Dia meminta malaikat untuk
menyebutkan nama-nama benda dan menjelaskan karakteristiknya.
Malaikat ternyata tidak bisa memberikan jawaban atas pertanyaan itu,
sedangkan Adam bisa menjawabnya. Sejak saat itu, malaikat pun
diperintahkan untuk menghormati manusia karena keunggulan tersebut.
Oleh karena Allah swt. telah mengetahui potensi yang ada di dalam
manusia, maka Dia memberi amanat kepadanya agar mengemban dan
melaksanakan semua tugas-tugas keagamaan dan tugas-tugas
kemanusiaan.

“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit,


bumi dan gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul amanat
itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu
oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh”
(QS Al- Ahzâb [33] : 72).

Amanat yang dimaksudkan di dalam ayat di atas memiliki makna


yang luas, tidak hanya terbatas pada praktik-praktik individual
keberagamaan, tetapi juga praktik-praktik sosial kemasyarakatan.
Termasuk di dalamnya juga tugas untuk menjaga alam dan
melestarikannya sehingga menjadi hunian yang nyaman dan indah. Oleh
karena itu, Allah swt. memerintahkan kepada manusia agar melestarikan
dan memakmurkan bumi yang menjadi tempat pijakannya dengan cara-
cara yang arif dan tidak membuat rusak lingkungan. Misalnya dengan
melakukan kegiatan pertanian, perkebunan, perikanan, dan lain sebagainya
yang dapat digunakan dan juga dimanfaatkan untuk memenuhi
kebutuhannya sendiri. Bahkan, Allah swt. dengan tegas melarang segala
bentuk pengrusakan terhadap alam raya ini.

“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah


(Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut
(tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya
rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik” (QS Al-
A`râf [7] : 56).

“Dan Kami telah mengutus kepada penduduk Madyan saudara


mereka, Syu'aib. ia berkata: ‘Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali
tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya. Sesungguhnya telah datang
kepadamu bukti yang nyata dari Tuhanmu. Maka sempurnakanlah takaran
dan timbangan dan janganlah kamu kurangkan bagi manusia barang-
barang takaran dan timbangannya, dan janganlah kamu membuat
kerusakan di muka bumi sesudah Tuhan memperbaikinya, yang demikian
itu lebih baik bagimu jika betul-betul kamu orang-orang yang beriman”
(QS Al-A`râf [7] : 85).

Meskipun Allah telah melarang berbuat kerusakan di muka bumi,


masih ada manusia yang selalu berbuat kerusakan dan kekacauan di
muka bumi. Mereka adalah orang-orang yang tidak bertanggungjawab
atas kelestarian alam semesta ini, merusak alam menurut kemauannya
sendiri, melakukan penebangan-penebangan hutan, mengeksploitasi
kekayaan laut dengan cara yang tidak bijak, mencemari udara dengan
berbagai macam pembakaran dan lain sebagainya. Karena ulah
manusia yang tidak bertanggungjawab itulah, ahirnya keseimbangan
alam semesta menjadi tidak berfungsi dan rusak. Semua itu juga
diakibatkan oleh tangan-tangan manusia yang tidak bertanggungjawab.

“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena


perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka
sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke
jalan yang benar)” (QS Al-Rûm [30] : 41).

Kerusakan-kerusakan yang terjadi di alam ini adalah akibat ulah


perbuatan manusia. Sifat manusia yang selalu rakus, tamak, dhalim
dan lain sebagainya adalah sisi jelek dari mahluk yang bernama
manusia. Dalam kacamata humanisme, kerusakan dan
ketidakseimbangan lingkungan ini terjadi akibat manusia terlalu
mengedepankan egonya dan ingin menguasai segala-galanya
(Rosowulan, 2015). Dan memang Allah telah menyematkan dua
karakter sifat yang bertolak belakang di dalam diri manusia. Keduanya
akan senantiasa berperang untuk mendominasi diri manusia. Maka dari
itu, agar dominasi dimenangkan oleh karakter yang baik, harus
senantiasa diasah dengan hikmah-hikmah ilahiyah dan nilai-nilai
spiritualitas yang bersumber dari Allah yang maha pengasih.

“Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya). Maka Allah


mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya.
Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu. Dan
sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya” (QS Al-Syams
[91] :7-10).

Selain itu, jiwa manusia senantiasa lebih cenderung kepada hal-hal


yang tidak baik, kecuali yang benar-benar mendapatkan rahmat dari
Tuhannya.

“Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena


sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali
nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS Yusuf [12] : 53)

Mengingat akan karakter jiwa yang senantiasa cenderung pada hal-


hal yang jelek, maka manusia hendaklah senantiasa mendekatkan diri
kepada Tuhannya agar bisa mengemban amanat untuk menjaga dan
melestarikan alam raya ini dengan segala daya dan upaya yang
dimilikinya sehingga bencana alam-bencana alam yang kerap melanda
alam ini dapat dihindari. Jika menengok karakteristik dasar manusia
yang aktif, kreatif dan inovatif serta peran yang harus diembannya
sebagai khalifah, semestinya dia harus memperlakukan alam raya yang
bersifat pasif reseptif ini dengan perlakuan yang positif dan afirmatif.

Perlakuan positif afirmatif inilah yang menjadi bentuk ideal relasi


manusia dan alam. Hanya saja, dalam konteks pembangunan--terutama
pembangunan infrastruktur--di zaman seperti sekarang ini, sangat sulit
untuk meniadakan aspek ifsâd secara totalitas. Ini artinya, seberapa
pun usaha untuk membangun alam raya ini juga memiliki ekses negatif
terhadap alam itu sendiri, dan ini tidak bisa terhindarkan sama sekali.
Ini juga berarti bahwa relasi negatif antara manusia dan alam tidak
dapat dihindarkan. Hal yang perlu diperhatikan lebih jauh terkait relasi
negatif alam dan manusia dalam kerangka ta’mîr atau pembangunan
adalah usaha-usaha meminimalisir kerusakan yang berdampak masif.
Jadi, sebelum melakukan pembangunan perlu dilakukan kajian yang
mendalam terkait dampak lingkungan yang menjadi eksesnya. Upaya
demikian ini harus mendapatkan perhatian yang luas, agar nantinya
pembangunan yang menjadi aktualisasi makna kekhalifahan manusia
ini tidak menimbulkan dampak buruk yang besar.

3. Bumi Ekosistem Unik


Ekosistem merupakan suatu sistem ekologis yang terbentuk oleh
hubungan timbal-balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya.
Menurut pengertian, suatu sistem terdiri dari atas komponen-komponen
yang bekerja secara teratur sebagai suatu kesatuan. Kesatuan itu terjadi
oleh adanya arus materi dan energi yang terkendalikan oleh arus informasi
antar komponen dalam ekosistem itu. Selama masing-masing komponen
itu melakukan fungsinya dan bekerja sama dengan baik, keteraturan
ekosistem itu pun terjaga.
Dengan kata lain ekosistem dapat dikatakan sebagai jaringan
kompleks yang menghubungkan hewan, tumbuhan dan bentuk kehidupan
lainnya pada Energi merupakan kekuatan untuk melakukan sesuatu yang
tidak berbentuk, tetapi efeknya dapat dirasakan. Di dalam metabolisme itu
energi-energi dalam makanan diubah menjadi bentuk yang dapat
digunakan untuk melakukan kerja seperti gerak otot. Sumber energi yang
paling banyak dipakai ialah matahari. Energi yang ada pada tumbuhan
menjadi sumber makanan bagi makhluk hewan atau manusia, karena
tumbuhan itu sebagai produsen sedangkan yang lain, manusia dan hewan,
sebagai konsumen.
Materi terdiri dari unsur kimia seperti karbon, hidrogen, oksigen,
nitrogen dan fosfor. Materi mengalir dari tubuh yang satu ke tubuh
makhluk lainnya, dari dunia hidup ke dunia yang tak hidup, dan dari dunia
tak hidup kembali ke dunia hidup. Materi diperoleh dari makanan yang
dikonsumsi oleh makhluk hidup dan berjalan melalui energi matahari atau
fotosintesis untuk jenis tumbuhan berhijau daun. Adapun manusia dapat
memperoleh materi dari makanan yang dikonsumsi yang berbentuk
karbohidrat, lemak dan protein. Informasi merupakan sesuatu yang dapat
memberikan pengetahuan kepada manusia. Bentuknya dapat berupa benda
fisik, warna, suhu dan kelakuan. Semakin banyak informasi yang
diperoleh semakin banyak pula pengetahuan yang disdapatkan, dan begitu
sebaliknya. Segala sesuatu saling bergantung dalam ekosistem. Yang lain
menurut Stephen Croall dan William Rankin, apabila salah satu bagian
diubah maka yang lainnya ikut berubah dalam rentan waktu cepat atau
lambat. Indriyanto (2012) menyimpulkan beberapa definisi para ahli
tentang ekosistem sebagai berikut:
1) Ekosistem, yaitu sistem ekologi yang terbentuk oleh hubungan
timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya (Soemarwoto
1983). Tingkatan organisasi ini dikatakan sebagai suatu sistem karena
memiliki komponen- komponen dengan fungsi berbeda yang terkoordinasi
secara baik sehingga masing-masing komponen terjadi hubungan timbal
balik. Hubungan timbal balik terwujudkan dalam rantai makanan dan
jaring makanan yang pada setiap proses ini terjadi aliran energy dan siklus
materi.
2) Ekosistem, yaitu tatanan kesatuan secara kompleks di dalamnya
terdapat habitat, tumbuhan dan binatang yang dipertimbangkan sebagai
unit kesatuan secara utuh, sehingga semuanya akan menjadi bagian mata
rantai siklus materi dan aliran energy. (Woodbury, 1954 dalam Setiadi
1983).
3) Ekosistem, yaitu unit fungsional dasar dalam ekologi yang di
dalamnya tercakup organisme dan lingkungannya (lingkungan biotik dan
abiotik) dan diantara keduanya saling memengaruhi (Odum 1993).
Ekosistem dikatakan sebagai suatu unit fungsional dasar dalam ekologi
karena merupakan satuan terkecil yang memiliki komponen secara
lengkap, memiliki relung ekologi secara lengkap, serta terdapat proses
ekologi secara lengkap, sehingga di dalam unit ini siklus materi dan arus
energy terjadi sesuai dengan kondisi ekosistemnya.

Menurut Nyabkken, 1992 (rangkuti, 2017. Hal.8) menjelaskan,


secara garis besar ekosistem dibedakan menjadi dua, yaitu ekosistem darat
dan ekosistem perairan sebagai berikut:
1. Ekosistem darat Ekosistem darat merupakan ekosistem
yang lingkungan fisiknya berupa daratan. Berdasarkan
letak geografisnya, ekosistem darat dibedakan menjadi
beberapa bioma, yaitu sebagai berikut:
a. Bioma gurun, yaitu bioma yang banyak dijumpai pada
tumbuhan menahun berdaun, seperti duri, contohnya
yaitu pada tumbuhan kaktus, atau pada tumbuhan tak
berdaun dan memiliki akar panjang serta mempunyai
jaringan untuk menyimpan air. Sedangkan hewan yang
banyak dijumpai di bioma gurun yaitu rodentia, ular,
kadal, katak, dan kalajengking.
b. Bioma padang rumput, tumbuhan yang terdapat pada
bioma tersebut yaitu terdiri atas tumbuhan terna (herbs)
dan rumput, sedangkan pada hewannya antara lain: kera,
burung, badak, babi hutan, harimau, dan burung hantu.
c. Bioma hutan basah, pada bioma hutan basah sering
terdapat tumbuhan khas yaitu, liana (rotan), kaktus, dan
anggrek sebagai epifit, sedangkan pada hewannya antara
lain, kera, burung, dan badak.
d. Bioma hutan gugur, bioma ini, terdapat di daerah –
daerah yang mengalami beberapa musim, seperti musim
dingin, semi, panas, dan gugur, dan jenis pohon yang
terdapat pada bioma hutan gugur ini tidak banyak,
sekitar 10 sampai 20, dan tidak terlalu rapat, sedangkan
hewan yang terdapat pada bioma hutan gugur ini antara
lain, rusa, beruang, rubah, bajing, burung, pelatuk, dan
rakoon.
e. Bioma taiga, merupakan hutan yang tersusun atas satu
spesies, sepeti konifer, pinus, dan sejenisnya, pada
bioma taiga terdapat semak dan tumbuhan basah, tetapi
jumlahnya hanya sedikit. Sedangkan hewan yang
terdapat pada bioma ini antara lain, moose, beruang
hitam, ajag, dan burung – burung yang bermigrasi ke
selatan pada musim gugur.
f. Bioma tundra, contoh tumbuhan yang dominan yang
terdapat pada bioma tundra yaitu, sphagnum, liken,
tumbuhan biji semusim, tumbuhan kayu yang pendek,
dan rumput, sehingga pada umumnya, tumbuhan yang
terdapat pada bioma tundra ini merupakan tumbuhan
yang mampu beradaptasi dengan keadaan yang dingin.
2. Ekosistem Perairan

Ekosistem perairan ini dibedakan menjadi dua ekosistem, antara lain, ekosistem
tawar dan ekosistem air laut sebagai berikut:

a) Ekosistem air tawar, merupakan ekosistem yang mempunyai variasi suhu yang
tidak mencolok, penetrasi cahaya kurang, dan dipengaruhi oleh iklim dan cuaca.
Tumbuhan yang banyak dijumpai pada ekosistem ini adalah tumbuhan jenis
ganggang dan tumbuhan biji, sedangkan hewan yang terdapat pada ekosistem air
tawar ini yaitu terdiri dari semua jenis filum pada hewan, dan organisme yang
hidup di air tawar pada umumnya telah beradaptasi. Adaptasi pada organisme air
tawar yaitu: Adaptasi tumbuhan dan adaptasi hewan. Ekosistem air tawar juga
digolongkan menjadi dua, yaitu ekosistem air tawar tenang dan ekosistem air
tawar mengalir.

b) Ekosistem air laut, dibedakan menjadi beberapa ekosistem, antara lain:

1) Ekosistem laut, merupakan ekosistem yang habitat nya di laut (oseanik) dan
berada pada kedalaman lebih dari 2000 m dari permukaan laut.

2) Ekosistem estuari (muara), merupakan ekosistem tempat bersatunya air sungai


dengan air laut, sEhingga menyebabkan hal yang tidak diinginkan. ekosistem
pada daerah estuari ini bersalinitas lebih rendah dari pada lautan terbuka.

3) Terumbu karang, merupakan ekosistem yang dangkal, dimana sinar matahari


masih dapat masuk, sehingga terumbu karang di dominasi oleh jenis karang
(koral) yang merupakan kelompok dari Cnidaria yang mensekresikan kalsium
karbonat, sedangkan hewan yang hidup di terumbu karang ini memakan
organisme mikroskopis dan sisa – sisa dari organisme lain.

4) Ekosistem pantai, dikenal sebagai salah satu jenis ekosistem yang unik, karena
memilki beberapa unsur, yaitu tanah di daratan, air di lautan dan juga udara, letak
ekosistem pantai berbatasan dengan ekosistem darat, ekosistem laut, dan daerah
pasang surut, sehingga ekosistem pantai berada di tepi laut. Terdapat beberapa
satuan ekosistem yang termasuk kedalam ekosistem pantai, antara lain:
a) Ekosistem terumbu karang (Corall Ref) merupakan ekosistem bawah laut yang
terdiri dari sekelompok hewan karang yang memebentuk struktur kalsium
karbonat (batu kapur), ekosistem batu karang ini menjadi habitat bagi hewan laut,
sehingga terumbu karang dengan hutan mangrove dijadikan sebagai dua
ekosistem yang sangat penting terhadap keanekaragaman hayati laut.

b) Ekosistem padang lamun (Sea Grass) merupakan ekosistem yang tinggi


produktivitas organiknya, karena hamir di semua jenis substrat dapat ditumbuhi
lamun, seperti substrat berlumpur sampai berbatu.

c) Ekosistem muara sungai (Estuari) merupakan daerah atau lingkungan perairan


tempat bercampurnya air sungai dan air laut, sehingga adanya perubahan salinitas
tersebut mengakibatkan organisme-organisme laut tidak dapat hidup di daerah
estuari,

d) Ekosistem pantai berpasir (Sandu Beach) yaitu ekosistem yang pantainya


berbentuk datar dan di dominasi oleh pasir yang sangat banyak, pada ekosistem
pasir ini memiliki gerakan ombak yang berpengaruh terhadap ukuran partikel,
pergerakan substrat, dan kandungan oksigen.

e) Ekosistem pantai berbatu (Rocky Beach) merupakan pantai yang dapat


dijumpai pada daerah panati yang berbatu keras dan tahan terhadap benturan
ombak laut.

Odum 1993 mengatakan, “Semua ekosistem, baik ekosistem terestrial (daratan)


maupun akuatik (perairan) terdiri atas komponen-komponen yang dapat
dikelompokkan berdasarkan segi trofik atau nutrisi dan segi struktur dasar
ekosistem”. Pengelompokan masing-masing komponen ekosistem dari tiap segi
tersebut diuraikan di bawah ini. Gopal dan bhardwaj (1979 dalam irwan, 2007.
Hal 27) berdasarkan segi struktur dasar ekosistem, maka komponen ekosistem
terdiri atas dua jenis sebagai berikut: .
1) Komponen abiotik (komponen benda mati), misalnya air, udara, tanah dan
energi”. Meliputi semua faktor hidup yaitu; kelompok organisme produsen,
konsumen dan pengurai. Lebih jelasnya berdasarkan caranya memperoleh
makanan di dalam ekosistem, organisme anggota komponen biotik dapat
dibedakan menjadi tiga, yaitu:

a) Produsen, yang berarti penghasil. Dalam hal ini, produsen berarti organisme
yang mampu menghasilkan zat makanan sendiri. Yang termasuk dalam kelompok
ini adalah tumbuhan hijau atau tumbuhan yang mempunyai klorofil.Di dalam
ekosistem perairan, komponen biotik yang berfungsi sebagai produsen adalah
berbagai jenis alga dan fitoplankton. Produsen merupakan organisme autotrof
yang mampu menghasilkan zat organik pembentuk tubuhnya dari zat-zat
anorganik seperti air dan mineral, yang termasuk ke dalam kelompok produsen ini
ailah semua tumbuhan hijau yang dapat melakukan proses fotosintesis dan
berkemampuan untuk menghasilkan karbohidrat. Karbohidrat merupakan zat
pembentuk dasar dari berbagai zat makanan, seperti protein dan lemak yang
terbentuk sebagai hasil kombinasi dengan nutrisi lainnya seperti nitrat, fosfor dan
potasium.

b) Konsumen, yang berarti pemakai, yaitu organisme yang tidak dapat


menghasilkan zat makanan sendiri tetapi menggunakan zat makanan yang dibuat
oleh organisme lain. Organisme yang secara langsung mengambil zat makanan
dari tumbuhan hijau adalah herbivora. Oleh karena itu, herbivora sering disebut
konsumen tingkat pertama. Karnivora yang mendapatkan makanan dengan
memangsa herbivora disebut konsumen tingkat kedua. Karnivora yang memangsa
konsumen tingkat kedua disebut konsumen tingkat ketiga dan seterusnya.
Konsumen, merupakan organisme heterotrof yang menggunakan zat organik yang
berasal dari hasil produksai produsen, kemudian organisme heterotrof ini yang
terdiri dari kelompok hewan terdiri dari tiga tingkat yaitu:

1) konsumen primer berupa hewan herbivora (hewan pemakan tumbuhan secara


langsung),
2) konsumen sekunder (kedua) berupa kelompok hewan pemakan herbivora,

3) konsumen tersier (ketiga) berupa kelompok hewan karnivora dan pemakan


karnivora lainnya. Kelompok konsumen ini mengubah bahan-bahan materi
organik menjadi materi penyusun tubuhnya.

c) Dekomposer atau Pengurai. Dekomposer adalah komponen biotik yang


berperan menguraikan bahan organik yang berasal dari organisme yang telah mati
ataupun hasil pembuangan sisa pencernaan. Dengan adanya organisme pengurai,
unsur hara dalam tanah yang telah diserap oleh tumbuhan akan diganti kembali,
yaitu berasal dari hasil penguraian organisme pengurai. Berbagai jenis tumbuhan,
hewan, dan mikroorganisme merupakan makhluk hidup dan disebut sebagai
komponen biotik.Kelompok pengurai ini umumnya terdiri atas kelompok bekteri
dan jamur. Suatu ekosistem secara fundamental menunjukkan proses-proses
sirkulasi materi, transformasi dan akumulasi energi melalui aktivitas organisme
yang melibatkan kegiatan-kegiatan biologi seperti fotosintesis, dekomposisi,
respirasi dan predasi, dengan demikian struktur dan fungsi ekosistem mempunyai
kaitan yang erat antara satu dengan lainnya. Pengurai, berupa kelompok
organisme heterotrof yang menguraikan produsen dan konsumen yang telah mati,
sehingga materi organik yang kompleks dapat diubah menjadi materi yang lebih
sederhana dan akhirnya menjadi mineral-mineral yang dapat dimanfaatkan
kembali oleh produsen.

Komponen abiotik adalah segala sesuatu yang tidak memiliki nyawa atau tidak
hidup misalnya air, udara, tanah dan energi”. Dalam kehidupan sehari-hari
komponen abiotik menjadi bagian penting untuk minum dan tanah untuk media
bagi tumbuhan dan udara bagi pernapasan, terdiri dari:

a) Faktor Abiotik Air, Air memiliki karakteristik yang terdiri dari faktor fisika,
kimia dan biologis yang sangat mempengaruhi kualitas air tersebut. Oleh sebab
itu, pengolahan air mengacu kepada beberapa parameter guna memperoleh air
yang layak untuk keperluan domestik terutama pada industri minuman.
1. Faktor Fisika, faktor-faktor fisika yang mempengaruhi kualitas air yang dapat
terlihat langsung melalui fisik air tanpa harus melakukan pengamatan yang lebih
jauh pada air tersebut. Faktor-faktor fisika pada air meliputi:

a) Kekeruhan, Kekeruhan air dapat ditimbulkan oleh adanya bahan-bahan


anorganik dan organik yang terkandung dalam air seperti lumpur dan bahan yang
dihasilkan oleh buangan industri.

b) Temperatur, Kenaikan temperatur air menyebabkan penurunan kadar oksigen


terlarut. Kadar oksigen terlarut yang

terlalu rendah akan menimbulkan bau yang tidak sedap akibat degradasi anaerobic
yang mungkin saja terjadi.

c) Warna, Warna air dapat ditimbulkan oleh kehadiran organisme, bahan-bahan


tersuspensi yang berwarna dan oleh ekstrak senyawa-senyawa organik serta
tumbuh-tumbuhan.

d) Solid (Zat padat) Kandungan zat padat menimbulkan bau, juga dapat
meyebabkan turunnya kadar oksigen terlarut. Zat padat dapat menghalangi
penetrasi sinar matahari kedalam air.

e) Bau dan rasa, dapat dihasilkan oleh adanya organisme dalam air seperti alga
serta oleh adanya gas seperti H2S yang terbentuk dalam kondisi anaerobik, dan
oleh adanya senyawa- senyawa organik tertentu.

2. Faktor Kimia, karakteristik kimia air menyatakan banyaknya senyawa kimia


yang terdapat di dalam air, sebagian di antaranya berasal dari alam secara alamiah
dan sebagian lagi sebagai kontribusi aktivitas makhluk hidup. Beberapa senyawa
kimia yang terdapat didalam air dapat dianalisa dengan beberapa parameter
kualitas air. Parameter kualitas air tersebut dapat digolongkan sebagai berikut :

a) pH, Pembatasan pH dilakukan karena akan mempengaruhi rasa, korosifitas air


dan efisiensi klorinasi. Beberapa senyawa asam dan basa lebih toksid dalam
bentuk molekuler, dimana disosiasi senyawa-senyawa tersebut dipengaruhi oleh
pH.

b) DO (dissolved oxygent) DO adalah jumlah oksigen terlarut dalam air yang


berasal dari fotosintesa dan absorbsi atmosfer/udara. Semakin banyak jumlah DO
maka kualitas air semakin baik.

c) BOD (biological oxygent demand) BOD adalah banyaknya oksigen yang


dibutuhkan oleh mikroorgasnisme untuk menguraikan bahan-bahan organik (zat
pencerna) yang terdapat di dalam air secara biologi.

d) COD (chemical oxygent demand) COD adalah banyaknya oksigen yang di


butuhkan untuk mengoksidasi bahan-bahan organik secara kimia.

e) Kesadahan, kesadahan air yang tinggi akan mempengaruhi efektifitas


pemakaian sabun, namun sebaliknya dapat memberikan rasa yang segar. Di dalam
pemakaian untuk industri (air ketel, air pendingin, atau pemanas) adanya
kesadahan dalam air tidaklah dikehendaki. Kesadahan yang tinggi bisa disebabkan
oleh adanya kadar residu terlarut yang tinggi dalam air. f) Senyawa-senyawa
kimia yang beracun, kehadiran unsur arsen (As) pada dosis yang rendah sudah
merupakan racun terhadap manusia sehingga perlu pembatasan yang agak ketat (±
0,05 mg/l). Kehadiran besi (Fe) dalam air bersih akan menyebabkan timbulnya
rasa dan bau ligan, menimbulkan warna koloid merah (karat) akibat oksidasi oleh
oksigen terlarut yang dapat menjadi racun bagi manusia (Farida, 2002). 3. Faktor
Biologi Organisme mikro biasa terdapat dalam air permukaan, tetapi pada
umumnya tidak terdapat pada kebanyakan air tanah karena penyaringan oleh
aquifer. Organisme yang paling dikenal adalah bakteri. Adapun pembagian
mokroorganisme didalam air dapat di bagi sebagai berikut :

a) Bakteri, dengan ukuran yang berbeda-beda dari 1-4 mikron, bakteri tidak dapat
dilihat dengan mata telanjang. Bakteri yang menimbulkan penyakit disebut
disebut bakteri patogen.
b) Organisme Colliform Organisme colliform merupakan organisme yang tidak
berbahaya dari kelompok colliform yang akan hidup lebih lama didalam air
daripada organisme patogen. Akan tetapi secara umum untuk air yang dianggap
aman untuk dikonsumsi, tidak boleh lebih dari 1 didalam 100ml air.

c) Organisme Mikro Lainnnya, disamping bakteri, air dapat mengandung


organisme mikroskopis lain yang tidak diinginkan berupa ganggang dan jamur.
Ganggang adalah tumbuh-tumbuhan satu sel yang memberi rasa dan bau pada air.
Pertumbuhan ganggang yang berlebihan dapat dicegah dengan pemakaian sulfat
tembaga atau klorin. Jamur adalah tanaman yang dapat tumbuh tanpa sinar
matahari dan pada waktu tertentu dapat merajalela pada pipa–pipa air, sehingga
menimbulkan rasa dan bau yang tidak enak.

4. Islam dan Perubahan Iklim

Peringatan di Al-Quran

Perubahan iklim sebagian besar memiliki dampak tidak langsung melalui


perubahan ekosistem, produksi pangan, penyakit yang ditularkan oleh vektor,
penyakit infeksi dan non-infeksi. Semua itu bisa berdampak pada kerusakan Bumi
kita tercinta. Seharusnya, kita perlu senantiasa selalu menjaga dan menghargai
lingkungan seperti yang dijelaskan di dalam Q.S Al-A’raf ayat 56:

‫هّٰللا‬
َ‫سنِيْن‬ ٌ ‫صاَل ِح َها َوا ْدع ُْوهُ َخ ْوفًا َّوطَ َم ًع ۗا اِنَّ َر ْح َمتَ ِ قَ ِر ْي‬
ِ ‫ب ِّمنَ ا ْل ُم ْح‬ ِ ‫َواَل تُ ْف‬
ِ ‫سد ُْوا فِى ااْل َ ْر‬
ْ ِ‫ض بَ ْع َد ا‬

Artinya:

Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di Bumi setelah (diciptakan) dengan baik.
Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat
Allah sangat dekat kepada orang yang berbuat kebaikan. Ayat tersebut melarang
berbuat kerusakan di Bumi karena berbuat kerusakan merupakan salah bentuk
pelampauan batas. Alam ini diciptakan Allah SWT dalam keadaan yang serasi,
harmonis, dan memenuhi kebutuhan makhluk yang hidup di dalamnya. Allah
SWT telah menjadikannya dalam keadaan baik, serta memerintahkan hamba-
hambaNya untuk memperbaikinya (Mustakim, 2017).

Langkah Pemimpin Muslim dan Umat Islam

Para pemimpin muslim telah meminta 1,6 miliar muslim di dunia untuk berperan
aktif dalam memerangi perubahan iklim dan telah mendesak pemerintah untuk
membuat perjanjian universal perubahan iklim pada tahun 2015 di Istanbul. Hal
tersebut termaktub dalam Islamic Declaration on Global Climate
Change (IDGCC). 

Para pemimpin menyerukan pertemuan pemerintah di Paris untuk membawa


“diskusi kesimpulan yang adil dan mengikat” yang meliputi: 

 Konsensus ilmiah tentang perubahan iklim, yaitu menstabilkan


konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer pada tingkatan yang dapat
mencegah campur tangan manusia pada sistem iklim.

 Menetapkan target dan sistem pemantauan yang jelas.

 Konsekuensi serius terhadap Bumi apabila tidak melakukan hal-hal


tersebut.

 Tanggung jawab besar di pundak COP (Conference of the Parties) atas


umat manusia, termasuk membawa kita ke jalan baru dalam
berhubungan dengan Bumi Allah.

Beberapa poin di atas menekankan perlunya semua pihak baik pemerintahan,


ulama, masjid, lembaga pendidikan, dan pihak lainnya untuk segera mengambil
tindakan yang selaras dengan konsensus saintifik mengenai perubahan iklim.
Islamic Declaration on Global Climate Change mengingatkan kaum muslimin
untuk menjadikan Nabi Muhammad SAW sebagai suri tauladan dalam mengelola
sumber daya alam dan menyikapi perubahan iklim.
1. Refleksi bersama mengenai upaya untuk menghargai lingkungan serta
menumbuhkan kesadaran tentang perubahan iklim yang sedang terjadi.
Islamic Declaration on Global Climate Change (IDGCC) seharusnya
menjadi pemantik untuk membangunkan kesadaran umat mengenai
perubahan iklim.

2. Deklarasi Islam mengenai Perubahan Iklim sebijaknya menjadi


pedoman dalam menjalankan praktik guna merespons perubahan iklim.
Peran masjid, lembaga dakwah, dan pemangku kebijakan menjadi
sangat penting untuk mendorong kesadaran dan kepatuhan umat
mengenai perubahan iklim.

Islamic Declaration on Global Climate Change menjadi langkah kecil yang


diambil oleh para pemimpin muslim untuk menghadapi perubahan iklim. Kita
tentu menunggu langkah besar dari pemerintah berupa kebijakan yang selaras
dengan perintah Allah untuk menjaga Bumi dan tidak merusaknya. Kita juga perlu
bertindak secara individu dengan menumbuhkan kesadaran dan mempelajari
berbagai hal terkait perubahan iklim dan penanggulangannya. Perubahan iklim
merupakan krisis besar yang dampaknya merugikan berbagai pihak dan
penyelesaiannya membutuhkan kontribusi berbagai pihak.

5. Respon Islam atas Perubahan Iklim

Ekspresi acuh tak acuh dan masa bodoh terkait perubahan alam dinilai
kontraproduktif terhadap eksistensi keimanan seseorang. Penilaian tersebut bisa
dipahami dari penegasan QS. al-Thur: 44

Jika mereka melihat sebagian dari langit gugur, mereka akan mengatakan “itu
adalah awan yang bertindih-tindih”. Sebagai orang yang beriman kepada hal-hal
ghaib (tak teramati oleh panca indera) seyogyanya berintrospeksi dan
menvisualkan perubahan alam sebagai sinyal Allah Swt agar setiap mu’min
segera sadar atas dosa dan perilaku salah dalam mengelola alam karunia-Nya serta
segera bertaubat.
Respon keimanan serupa itu dipercontohkan oleh Rasulullah Saw bertepatan
terjadi gerhana matahari yang bersamaan waktu dengan wafat putera beliau
bernama Ibrahim pada tahun kesepuluh hijriah. Selesai mengajak serta masyarakat
untuk berjama’ah shalat Kusuf, beliau berkhutbah yang antara lain menegaskan:
‫إن اﻟﺸـﻤﺲ واﻟـﻘﻤـﺮ آﻳـﺘﺎن ﻣﻦ آﻳـﺎت ﻪﻠﻟا ﻳﺨــﻮف ﻪﻠﻟا ﺑـﻬـﻤﺎ ﻋﺒﺎده ))أﺧﺮﺟﻪ اﻟﺒﺨﺎرى واﻟﻨﺴﺎﺋﻰ ﻋﻦ أﺑﻲ ﺑﻜﺮة‬

Sungguh matahari dan bulan keduanya merupakan tanda dari sekian banyak
tanda yang Allah fungsikan untuk membangun rasa takut (waspada) hamba
kepada Tuhan- nya.

Eskpresi berdosa dan bertaubat mengiringi kejadian gerhana matahari/bulan


dalam bentuk mendekatkan diri kepada Allah (shalat dua rakaat) sangat sejalan
dengan pernyataan Allah:

…. dan Kami tidak memberi tanda-tanda kecuali untuk menakuti. (QS. al-Isra’:
59)

Statemen Rasulullah Saw tersebut di atas sekaligus mengkritik stigma yang


terwarisi dari tatapikir jahiliah bahwa peristiwa gerhana berkorelasi dengan nasib
penguasa.

Fakta kerusakan ekosistem yang berdampak bencana alam pasti berhubungan


dengan tindak penyimpangan moral yang disengaja karena terpengaruh oleh
tarikan hawa nafsu, sekalipun harus berlawanan arus dengan regulasi hukum
Allah. Hubungan kausalitas itu tergambar pada firman Allah:

Dan andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu, pasti rusaklah langit dan
bumi ini berikut semua orang yang berada di dalamnya….”

(QS. al-Mu’minun: 71)

Pola perimbangan antara perubahan iklim dengan pendekatan diri kepada Allah
bermediakan shalat, terbaca jelas dalam “istisqa’” berhubung kemarau panjang,
dan shalat “al-khauf” saat berlangsung perang terbuka.
Layak dipersepsikan bahwa pemanasan global, perubahan pola hidro-dinamika
kelautan yang ditandai oleh rabb, banjir, longsor, kepunahan hewan langka,
penyebaran hama tanaman, emisi udara oleh zat karbon SO2/NOx berkonsentrasi
tinggi, mutasi penyakit hewan ke manusia secara besar-besaran, penyusutan kadar
baku mutu air tanah/sungai/danau/rawa dan sejenisnya tersebab oleh perilaku
manusia yang termotivasi penyimpangan moral sebagai berikut:

Melakukan rekayasa ekstreem terhadap proses cipta-mencipta sesuatu1. (taghyiru


khalqillah) vide: QS al-Nisa’: 119; Tidak mengindahkan keseimbangan antara
kepentingan pribadi dan kebutuhan2. publik (QS. al-Anfal: 25); Mengabaikan
perintah/seruan Allah dan Rasul-Nya (QS. al-Anfal: 73; QS.3. al-Hasyar: 5; QS.
al-Nisa’: 115; QS. Muhammad: 32); Mengeksploitir sumber daya alam dan
menyalahgunakan peruntukannya (QS.4. al-Anfal: 53); Tidak memprogram
konservasi sumber daya alam, semisal:

1) peremajaan5. hutan dengan tanaman keras;

2) penanaman hutan bakau/mangrove;

3) pengendalian banjir musiman;

4) pembangunan waduk; situ, penampung air hujan;

5) dataran rendah untuk konservasi air hujan dan budidaya rumput.

Khusus pengadaan lahan konservasi pernah diperagakan semasa hidup Nabi


Muhammad Saw. Lahan tersebut dikenal dengan kawasan al-Naqi’ berlokasi + 38
km dari jalan hijrah ke Madinah. Khalifah Abu Bakar a-Shiddiq menetapkan al-
Rabadhah sebagai lahan konservasi baru, dan Umar bin Khattab memilih kawasan
Syaraf untuk peruntukan yang sama. Ketiga kawasan konservasi tersebut
merupakan realisasi dari statemen Rasulullah Saw. Nu’man bin Basyir mengutip
sabda beliau:
‫] ]وﻣﺴﻠﻢ‬4 … ‫ اﻻ وإن ﺣـﻤﻰ ﻪﻠﻟا ﻓﻰ أرﺿـﻪ ﻣﺤـﺎرﻣﻪ… )رواه اﻟﺒﺨﺎرى‬،‫(اﻻ وإن ﻟﻜﻞ ﻣﻠﻚ ﺣـﻤﻰ‬

…ingat, sungguh untuk setiap pemerintahan perlu mengalokasikan kawasan


konservasi, ingat dan sesungguhnya kawasan konservasi milik Allah di bagian
bumi-Nya adalah lahan yang dihormati oleh-Nya…

6. Pola Adaptasi Perubahan Iklim

Tanggap theologis Islam terhadap perubahan ekstreem terkait iklim berikut


dampak negatifnya senantiasa dihubungkan dengan akumulasi praktek
penyimpangan moral (distorsi terhadap norma perilaku yang seharusnya
dilaksanakan sesuai petunjuk agama). Anugerah kekayaan alam berupa curah
hujan harus diyakini sebagai nikmat atas perkenan Allah Swt yang perlu direspon
dengan kegiatan berlambang kesyukuran. Kebalikan dari respon tersebut bisa
berformat penyalahgunaan sumber daya alam, pengingkaran atas beban kewajiban
agama terkait penguasaan/pemilikan sumber daya tersebut, layak beroleh murka
Penciptanya. Seperti dikutip oleh Ibnu Umar r.a. terdata Nabi Saw menyatakan:

‫ـ وﻟﻢـ ﻳﻤـﻨﻌـﻮا‬،‫ﻟـﻢـ ﻳﻨﻘﺺـ ﻗﻮمـ اﻟﻤﻜـﻴـﺎلـ واﻟﻤﻴﺰانـ إﻻـ أﺧـﺬواـ ﺑـﺎﻟﺴـﻨﻴﻦـ وﺷـﺪةـ اﻟﻤـﺆﻧﺔـ وﺟـﻮرـ اﻟﺴﻠﻄﺎنـ ﻋـﻠﻴﻬﻢ‬
‫] ]أﺧـﺮﺟﻪ إﺑﻦ ﻣﺎﺟـﻪ‬5 .‫زﻛﺎة أﻣـﻮاﻟﻬـﻢ إﻻ ﻣﻨـﻌﻮا اﻟﻘﻄـﺮ ﻣﻦ اﻟﺴـﻤﺎء‬

Suatu kaum (komunitas sosial) tidak sekali-kali berlaku curang dengan


mengurangi takaran dan timbangan kecuali mereka akan ditimpa kekeringan,
kesulitan bahan pangan dan kesewenang-wenangan penguasa atas mereka. Dan
tidak sekali-kali mereka menghentikan pengeluaran zakat atas harta kekayaan
mereka kecuali curah hujan dari langit akan dhentikan. (HR. Ibnu Majah)

Ancaman penyakit epidemi seperti tha’un (cacar) atau waba’ (HIV/AIDS)


diprediksi penyebabnya adalah pelegalan prostitusi (zina) berikut fasilitas
lokalisasi dan penjualan bebas sarana kontrasepsi. Abdullah bin Abbas pernah
menyatakan:
…6] ]‫…ﻓـﺈن ﻛﻞ ﻣﻮﺿﻊ ﻇـﻬـﺮ ﻓﻴﻪ اﻟـﺰﻧـﺎ اﺑﺘﻼﻫﻢ ﻪﻠﻟا ﺗـﻌـﺎﻟﻰ ﺑـﺎﻟـﻄــﺎﻋـﻮن‬

… maka sungguh pada setiap tempat yang di sana berlangsung keterbukaan


praktek zina, maka Allah akan menurunkan bala’ pada mereka (pelaku dan
komunitas sosial yang memfasilitasi praktek tersebut) dengan penyakit tha’un
(epidemi).

Bahkan Ka’ab al-Akbar mengutip informasi dari agama samawi yang pernah

dipeluknya sebelum menjadi muslim, sebagai berikut:

‫] ]ﻗـﺪ ﺿﻴﻊ ﻓﻴﻬـﻢ‬7 ‫إذا رأﻳـﺘﻢ اﻟﺴـﻴﻮف ﻗـﺪ أﻋـﺮﻳﺖ واﻟﺪﻣـﺎء ﻗـﺪ اﻫـﺮﺑـﻘﺖ ﻓﺎﻋـﻠﻤـﻮا ان ﺣـﻜﻢ ﻪﻠﻟا‬

Maka apabila pedang-pedang telah ditelanjangi dari pembungkusnya dan darah-


darah manusia telah dialirkan, maka ketahuilah olehmu sekalian sungguh hukum
Allah telah tersia-siakan di kalangan mereka.

Al-Qur’an menggaris-besarkan penyebab terjadi kerusakan ekosistem di atas


daratan dan perubahan hidrodinamika kelautan tidak lepas dari perbuatan tangan-
tangan manusia.

Telah tampak kerusakan di bumi dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan
manusia (QS. al-Rum: 41)

Mencermati koherensi antara perilaku moral manusia dengan perubahan


ekosistem pada alam, termasuk perubahan iklim yang dampaknya meluas hingga
di luar komunitasi perilaku (QS. al-Anfal: 25), maka pola adaptasi yang
ditawarkan adalah penerapan konsep “mitigasi pengurangan risiko bencana”
berasas “syafaqah”. Asas dimaksud berbingkai solidaritas sosial yang persuasif,
humanis dan berbelas kasih agar terbangun kesadaran hidup bersama-sama dan
memperhitungkan dampak risiko yang sewaktu-waktu terjadi karena hubungan
koherensi (keterkaitan) antara perilaku tak bermoral dengan dampak berupa
bencana alam. Kepada komunitas sosial yang konsisten dalam kesalehan ibadah
dan kesalehan sosial dihimbau agar bersabar dalam menghadapi realita perubahan
iklim sebagai musibah global/kolektif
7. Mitigasi Perubahan Iklim

Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan


Lingkungan Hidup, pada pasal 1 ayat (1) menyatakan: “Lingkungan hidup adalah
kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan dan mahluk hidup, termasuk
manusia dan perilakunya yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan
kesejah-teraan manusia serta mahluk hidup lainnya”. Batasan lingkungan dalam
perspektif Islam menjangkau lingkungan sosial religius. Sebagai bukti kesatuan
agama menjadi prasyarat dalam menerima status makanan yang bahan mentahnya
daging hewan dan perlu proses penyembelihan. Demikian pula ikatan perkawinan,
pewarisan dan keharusan mengaplikasikan norma hukum publik lainnya.

Komponen lingkungan fisik manusia mencakup: air, udara, tanah, cuaca,


makanan, rumah, panas matahari, sinar, radiasi dan lain-lain.[8] Lingkungan fisik
tersebut berinteraksi secara konstan dengan manusia sepanjang waktu.
Komponen-komponen yang berfungsi sebagai daya dukung lingkungan bagi
kehidupan manusia dan hewan mengenal batas kelayakan (baku mutu). Batasan
dimaksud guna mengantisipasi penurunan kualitas, gangguan keseimbangan,
pencemaran/kontaminasi/polusi dan kondisi tak terkendali.

Kriteria baku mutu (kelayakan) komponen berdaya dukung terhadap lingkungan


manusia/hewan dalam perspektif Islam selain berorientasi pada standar medis,
higienis secara lahir kasat mata, juga mengintegrasikan aspek persyaratan norma
agama. Aspek dimaksud semisal peruntukan setiap komponen bagi

pengamalan ibadah, memanifestasikan asas taqwa dan komitmen pada kesalehan


sosial. Standar suci, halal, pengendalian dari israf atau tabdzir dan ekses
kedzaliman hukum serta pengejawantahan sikap mental (steril dari manipulasi
data, menyakiti hati stakeholder, persaingan tak sehat, monopoli dan kebijakan
yang tidak manusiawi).

Implementasi kriteria kelayakan versi Islam terkait kualitas komponen berdaya


dukung terhadap kesehatan lingkungan semisal:
(a) air, selain harus sehat/bersih, ditambah dengan memenuhi standar kesucian;
(b) makanan perlu jaminan aman, bersih, tidak terkontaminasi oleh kenajisan,
ditambah dengan halal dari segi bahan dasar/campuran/tambahan dan pola
transaksi guna memperoleh bahan-bahan tersebut sesuai norma agama (halalan
thayyiban);

(c) rumah berdaya melindungi, memberi rasa aman, sehat, jauh dari kebisingan
kontinyu, ditambah dengan kriteria kondusif untuk kegiatan ibadah dan peluang
mengembangkan syiar Islam. Kriteria terakhir bisa dipahami dari semangat ajaran
hadis Rasulullah Saw:

9] ]‫ رواه اﻟﺜــﻼﺛﺔ‬. ‫اﻧـﺎ ﺑـﺮيء ﻋـﻦ ﻛـﻞ ﻣﺴـﻠـﻢ ﻳـﻘــﻴﻢ ﺑـﻴﻦ اﻟﻤـﺸـﺮﻛــﻴﻦ‬.

Saya cuci tangan (tidak menjamin pangayoman) atas setiap orang Islam yang
tetap tinggal di tengah-tengah komunitas musyrik. (diriwayatkan oleh ketiga kitab
sunan).

Substansi hadis tersebut memotifisir kesediaan migrasi (hijrah) ke lingkungan


sosial yang kondusif bagi pengembangan syiar Islam dan kegiatan pengamalan
ibadah (ritual) yang Islami.

Sekira terjadi penurunan baku mutu sedemikian ekstreem akibat perubahan iklim,
seperti badai salju diikuti pemadaman aliran listrik secara massal, tanah
peruntukan masjid mengalami longsor terkena erosi banjir, makanan yang tersedia
minus status kehalalan dan lain sebagainya, maka konsep hukum Islam membuka
kompensasi “kondisi darurat” atau “’umumu al-balwa” (penyebaran bencana
berskala luas), atau emergency menyeluruh.

Dalam kondisi darurat air peruntukan bersuci tersedia pengganti debu untuk
tayamum, benda padat menyerap air menjadi sarana istinjak. Jama’ah shalat
Jumu’ah di masjid (rumah ibadah) diganti dengan shalat zhuhur di rumah
kediaman masing-masing berhubung cuaca buruk. Status syubhat hukum bisa
menggantikan kehalalan yang sulit didapat.
Demikian naskah sumbang-saran bagi pemikiran lingkungan terkait
pergeseran/perubahan iklim untuk didiskusikan bersama.

8. Prinsip-Prinsip Islam dalam Interaksi Lingkungan

Dari beberapa term yang digunakan Alquran untuk menyebut lingkungan


(ekologi), tampak bahwa Alquran telah merespon masalah lingkungan sebelum
teori ekologi itu lahir. Dalam paradigma tafsir ekologi, dapat dirumuskan prinsip-
prinsip etis-teologis yang ditawarkan Alquran (Islam) sebagai agama ramah
lingkungan atau agama hijau (greendeen). Prinsip-prinsip tersebut antara lain:

Pertama, prinsip tauhid. Secara harfiah, tauhid berarti kesatuan (unitas),


yang secara absolut berarti mengesakan Allah dan sekaligus membedakannya dari
makhluk-Nya. Akan tetapi secara luas, tauhid juga dapat dimaknai sebagai
kesatuan (unitas) seluruh ciptaan; manusia maupun alam dalam relasi-relasi
kehidupan. Dalam bahasa lain, tauhid mengandung makna kesatuan (unitas)
antara Tuhan, manusia, dan alam sehingga relasi antara ketiganya harus berjalan
seimbang dan harmonis. Penghilangan salah satu kutub akan menyebabkan
ketidakharmonisan. Penghilangan kutub Tuhan akan menyebabkan sekulerisme
yangMmengeksploitasi alam dan berujung pada krisis ekologi. Sedangkan
penghilangan kutub alam, akan menjadikan manusia miskin pengetahuan dan
peradaban. Doktrin tauhid inilah yang sebagaimana dikatakan Ismail Raji al-
Faruqi, menjadi pandangan dunia (weltanschauung) yang memberikan penjelasan
secara holistik tentang realitas.

Setiap tindakan manusia yang berhubungan dengan makhluk lain, harus


dilandasi keyakinan tentang keesaan dan kekuasaan Allah yang mutlak.
Karenanya, tidak sempurna iman seseorang jika tidak peduli lingkungan.
Karenanya, manusia yang beriman dituntut untuk memfungsikan imannya dengan
meyakini bahwa konservasi lingkungan hidup adalah bagian dari iman tersebut.
Sebaliknya, orang yang merusak lingkungan dapat dikategorikan kafir ekologis
(kufr al-bī’ah). Karena di antara tanda-tanda kebesaran Allah adalah adanya jagad
raya ini. Karena itu, merusak lingkungan sama halnya dengan ingkar (kafir)
terhadap kebesaran Allah karena memahami alam secara sia-sia merupakan
pandangan orang-orang kafir (QS. Ṣād: 27), apalagi jika sampai melakukan
pengrusakan terhadap alam.

Kedua, prinsip bahwa alam dan lingkungan adalah bagian dari tanda-
tanda (ayat) Allah di alam semesta. Oleh karena itu, Alquran memberikan nama
fenomena alam dengan istilah āyat [pl. āyāt] yang berarti “tanda”, yakni tanda
adanya Allah, tanda kebesaranNya atau tanda perjalanan menuju kebahagiaan
dunia (zahir) dan akhirat (batin).43 Baik manusia maupun alam (lingkungan)
adalah tanda-tanda Allah, yang saling berhubungan satu sama lain dan saling
tergantung.

Dalam pandangan Seyyed Hossein Nasr, signifikansi alam ini selaras


dengan signifikansi Alquran, dimana Alquran merupakan representasi wahyu
yang terhimpun dalam lambang bahasa tulisan dan kata (the recorded Qur’an),
sedangkan alam merupakan representasi wahyu yang terhampar (Qur’an of
creation) yang memiliki nilai yang sama dengan the recorded Qur’an. Karena itu,
keduanya sama-sama disebut dengan ayat-ayat Tuhan. Yang pertama ayat yang
menunjuk pada bagian dari surah-surah Alquran, dan yang kedua ayat yang
menunjuk pada kebesaran Tuhan yang terhampar pada diri manusia dan alam
semesta.

Dalam hal ini manusia diperintahkan untuk membaca “tandatanda” (āyāt)


alam semesta (lingkungan) yang diperlihatkan oleh Sang Maha Pencipta dan
Pengatur lingkungan. Untuk itu, manusia harus memiliki ilmu pengetahuan yang
memadai dalam mengelola alam semesta. Karenanya, tidak sedikit ayat-ayat
Alquran yang mengajak manusia untuk meneliti dan menyelidiki langit dan bumi,
segala sesuatu yang dapat dilihat di lingkungan (binatang, awan, bulan, matahari,
pegunungan, hujan, angin, dan sebagainya) dan semua fenomena alam.
Ketiga, prinsip kedudukan manusia sebagai hamba Allah (‘abdullāh) dan
wakil Allah di bumi (khalīfatullāh fi al-arḍ). Sebagai hamba Allah manusia
berkewajiban untuk mengabdi kepada-Nya (QS. al-Dhāriyāt: 56) sehingga
konservasi lingkungan bagian dari pengabdian (ibadah) seseorang kepada Sang
Khalik. Sedangkan sebagai khalifah Allah di bumi (QS. al-Baqarah: 30) manusia
bertugas mewakili Allah untuk mengurus dan memakmurkan bumi dengan segala
isinya (QS. Hūd: 61). Prinsip ini membuat manusia harus menyadari seutuhnya
bahwa, dia adalah aktor penanggung jawab dalam mengelola alam semesta,
sekalipun dia dibolehkan mengambil manfaatnya, tetapi dia tetap harus
memelihara dan menjaga kelestariannya dan dilarang merusaknya (QS. al-Qaṣaṣ:
77).

Dalam perspektif Alquran, arti kekhalifahan memiliki tiga unsur, yaitu (1)
manusia (sendiri) yang dinamai khalifah, (2) alam raya, yang disebut dalam QS.
al-Baqarah: 21 sebagai bumi, dan (3) hubungan manusia dengan alam dan segala
isinya, termasuk dengan manusia (istikhlāf [tugas-tugas kekhalifahan]).
Selanjutnya hubungan manusia dengan alam adalah hubungan sebagai pemelihara
yang saling membutuhkan satu sama lain. Maka tugas manusia adalah memelihara
dan memakmurkan alam.

Untuk menjalankan misi kekhalifahan tersebut, Allah Swt. membekali


manusia dengan berbagai keistimewaan, antara lain Allah menundukkan alam
semesta itu untuk manusia (taskhīr) (QS. Luqmān: 20; Ibrāhīm: 32-33; al-
Jāthiyah: 12-13). Selain itu, manusia juga dibekali dengan berbagai potensi untuk
mengubah kehidupan di dunia ke arah yang lebih baik (QS. al-Ra‘d: 11),
ditetapkan arah yang harus ia tuju (QS. al-Dhāriyāt: 56), dianugerahkan
kepadanya petunjuk untuk menjadi pelita dalam perjalanan (QS. al-Baqarah: 38),
dan ditetapkan tujuan hidupnya, yakni mengabdi kepada Ilahi (QS. al-Dhāriyāt:
56). Keempat, prinsip amanah, yakni amanah untuk memanfaatkan sumber daya
alam dan lingkungan dengan sebaik-baiknya dan penuh tanggungjawab dalam
batas-batas kewajaran ekologis. Untuk itu, manusia dalam memanfaatkan sumber
daya alam, tidak diperkenankan mengeksploitasi secara sewenang-wenang,
terutama sumber daya umum yang tidak dimiliki perorangan, seperti air, sungai,
laut, hutan, dan lain- lain. Dalam pandangan Alquran, pemilik hakiki lingkungan
adalah Allah (QS. al-Baqarah: 284, Ali ‘Imrān: 109, 129, 180, 189; al-Nisā’: 126,
131, 132, 170, 171; alMā’idah: 17-18, 40, 120; al-A‘rāf: 157; al-Taubah: 116;
Yūnus: 55, 66). Sedangkan kepemilikan manusia bersifat titipan atau pinjaman
yang pada saatnya harus dikembalikan kepada Pemiliknya.

Menurut MS Ka’ban, dalam berinteraksi dengan alam serta lingkungan


hidup itu, manusia mengemban tiga amanah dari Allah. Pertama, al-intifā’. Allah
mempersilahkan kepada manusia untuk mengambil manfaat dan mendayagunakan
hasil alam dengan sebaikbaiknya demi kemakmuran dan kemaslahatannya.
Kedua, al- i‘tibār. Manusia dituntut untuk selalu memikirkan dan menggali
rahasia di balik ciptaan Allah serta mengambil pelajaran dari berbagai peristiwa
alam. Ketiga, al-iṣlāh. Manusia diwajibkan untuk terus menjaga dan memelihara
kelestarian lingkungan itu.

Kelima, prinsip keadilan (‘adl). Dalam upaya memanfaatkan alam ini,


manusia juga harus mempertimbangkan prinsip keadilan. Penggabungan konsep
tauhid, khilāfah, amanah, dengan konsep keadilan, akan melahirkan suatu
kerangka yang komprehensif tentang etika lingkungan dalam perspektif Alquran.
Konsep etika lingkungan ini mengandung sebuah penghargaan yang sangat tinggi
terhadap alam, yaitu pengakuan terhadap kesatuan penciptaan dan persaudaraan
semua makhluk. Konsep etika lingkungan inilah yang harus menjadi landasan
dalam setiap perilaku dan penalaran manusia.

Keenam, prinsip keselarasan dan keseimbangan (al-tawāzun, equilibrium),


sebab keseimbangan merupakan sunnatullah yang berlaku di alam semesta
(lingkungan) dan dalam kehidupan manusia (QS. al- Infiṭār: 7; al-Hijr: 19; al-
Mulk: 3-4; Yāsin: 40). Tindakan moral-etik tidak hanya berhubungan dengan
relasi antarmanusia, tetapi juga dengan alam. Maka hak manusia untuk
memanfaatkan alam tidak berarti membolehkannya merusak dan bahkan
menghancurkan keseimbangan ekologinya yang memang sudah ditetapkan-Nya
dalam pola yang demikian indah dan harmonis. Karena itu, rusaknya lingkungan
adalah karena manusia mengabaikan prinsip keseimbangan alam.

Prinsip-prinsip di atas membuktikan bahwa Alquran mengajarkan cinta


yang mendalam kepada alam. Sebab, mencintai alam berarti mencintai diri kita
dan mencintai Sang Pencipta. Hal itu membuktikan bahwa Alquran mengajarkan
adanya kesesuaian antara jalan ruhani dan ilmiah.
DAFTAR PUSTAKA

Adillah, Mujiono. (2001). Agama Ramah Lingkungan Tentang Prespektif Al-


Qur’an.Jakarta : paradigma

Ahsin, Sakho., Muhammad (2004). Fiqib Lingkungan (Fiqh alSVah),


Jakarta;INFORM.

Ali, Yafie (1997). Islam dan Lingkungan Hidup, Jakarta: Yayasan Swama
Bhumy.

Budiman Chandra, Pengantar Kesehatan Lingkungan. Jakarta: EGC, 2006, hal.


75;

Chintantya, D., Odum. (2017). Peranan Jasa Ekosistem Dalam Perencanan


Kebijakan Publik Diperkotaan. Semarang : Journal Of Environmental
Management

Clayton, S., P. Devine-Wright, P. C. Stern, L. Whitmarsh, A. Carrico, L. Steg, J.


Swim, dan M. Bonnes. 2015. Psychological research and global climate change.
Nature Climate Change. 5(7):640–646

Fachruddin, Mangun.,Wijaya (2005). Agama Mengatasi Krisis Lingkungan dalam


Majalah Tropika. Seri (9), 3- 4.

Fikriyati, U. (2017). Orientasi Konservasi Lingkungan dalam Ekologi


Islam. Jurnal Bimas Islam, 10(2), 197-222.

Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathu al-Barri, I: 186; al-Nawawi, Syarah Shahih Muslim,
no. indeks 1599;

Kartanegara, M. (2007). Nalar Religius: Menyelami Hakikat Tuhan, Alam dan


Manusia. Jakarta: Erlangga.
Masruri, U.N. (2014). Pelestarian Lingkungan dalam Perspektif Sunnah. At-
Taqaddum: Jurnal Peningkatan Mutu Keilmuan dan Kependidikan Islam. 6(2),
411-428.

Mina, Risno. Desentralisasi Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup


Sebagai Alternatif Menyelesaikan Permasalahan Lingkungan Hidup. Jurnal
Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Luwuk Banggai. Volume 9 nomor
2, Agustus 2016 (154-157)

Murtadha, M. (2018). Islam ramah lingkungan. Jurnal Ilmiah Islam Futura, 6(2),


61-69.

Muthahhari, M. (2002). Manusia dan Alam Semesta: Konsepsi Islam tentang


Jagat Raya. Jakarta: Lentera Basritama

Ricki M. Mulia. Kesehatan Lingkungan. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2005, hal. 16;

Anda mungkin juga menyukai