Anda di halaman 1dari 31

Perubahan Iklim Global

(Global Climate Change)


Tugas Ilmu Lingkungan

Disusun Oleh:
Fathimah Azzahra Noorhadi (173112620150070)

UNIVERSITAS NASIONAL
JAKARTA
2018
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat limpahan rahmat,
karunia, serta taufik dan hidayah-Nya lah saya dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada
waktu yang telah ditentukan. Dan juga saya berterima kasih kepada Pak Gautama, selaku
Dosen mata kuliah Ilmu Lingkungan yang telah memberikan tugas ini.

Saya sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan
serta pengetahuan kita mengenai perubahan iklim global yang sudah sangat memprihatinkan.
Saya juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan-
kekurangan dan jauh dari apa yang saya harapkan. Untuk itu, sayaa berharap adanya kritik,
saran, dan usulan demi perbaikan di kesempatan yang akan datang, mengingat tidak ada
sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.

Adapun makalah ini ditulis dari hasil penyusunan data-data yang diperoleh dari
berbagai sumber yang berkaitan dengan judul pada topik yang akan dibahas serta informasi
dari media massa yang berhubungan dengan tema. Semoga makalah sederhana ini dapat
dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sekiranya makalah yang telah disusun ini dapat
berguna bagi saya sendiri maupun orang yang membacanya. Sebelumnya saya mohon maaf
apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan kami memohon kritik dan
saran yang membangun demi perbaikan.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Jakarta, 25 Januari 2019

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan Penulisan
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian dari perubahan iklim global
2.2 Penyebab perubahan iklim global
2.3 Dampak perubahan iklim global
2.4 Cara menanggulangi perubahan iklim global
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Perubahan iklim global merupakan salah satu isu lingkungan penting dunia dewasa
ini, artinya tidak hanya dibicarakan di Indonesia tetapi juga di negara-negara lain di
seluruh dunia. Hal ini disebabkan perubahan iklim global menyebabkan dampak negatif
pada berbagai sektor kehidupan. Beberapa dampak yang dirasakan karena adanya
perubahan iklim antara lain terjadinya peningkatan suhu rata-rata serta peningkatan
intensitas curah hujan dan bergesernya musim hujan.

Perubahan iklim global merupakan isu yang saat ini menjadi perhatian bagi banyak
kalangan, terutama setelah diselenggarakannya Konferensi TingkatTinggi Bumi di Rio
de Janeiro, Brazil pada tahun 1992. Namun demikianf enomena ini belum dipahami
secara tepat karena prosesnya yang sangatrumit. Perubahan iklim seringkali disalah-
artikan sebagai variasi iklim yangkadang-kadang terjadi dengan gejala yang agak
ekstrem dan membawadampak seketika yang cukup signifikan.

Perubahan iklim adalah fenomena global yang dipicu oleh kegiatan manusia terutama
yang berkaitan dengan penggunaan bahan bakar fosil (BBF) dan kegiatan alih guna
lahan.Sebagian beranggapan bahwa perubahan iklim dapat menyebabkan penderitaan
yang tak tertanggungkan bagi masyarakat yang rentan. Sebagian menitikberatkan
perhatian pada bagaimana menangani suatu ekosistem tertentu. Sebagian lagi
mengkhawatirkan bahwa perubahan iklim akan meningkatkan kemungkinan
ketidakstabilan iklim yang jauh lebih luas. Tetapi sebagian lagi menyatakan bahwa
pengurangan emisi sangatlah mahal (dankarenanya tidak mungkin dilakukan).

Menurut Kusnanto (2011) keadaan rata-rata suhu udara di Indonesia mulai tahun 1968
hingga tahun 2007 terus mengalami peningkatan. Dalam waktu 70 tahun sejak tahun
1940 suhu rata-rata di muka bumi mengalami kenaikan sekitar 0,50 C. Menurut Firman
(2009) kondisi udara di Indonesia menjadi lebih panas sepanjang abad dua puluh, yaitu
suhu udara rata-rata tahunan telah bertambah kira-kira 0,30 C.

Menurut Firman (2009) terjadinya peningkatan rata-rata suhu udara menyebabkan


terjadinya penguapan air yang tinggi, sehingga menyebabkan atmosfir basah dan
intensitas curah hujan meningkat. Menurut Naylor (2006) dalam Diposaptono (2009),
perubahan pola curah hujan di Indonesia akan mengarah pada terlambatnya awal musim
hujan dan kecenderungan lebih cepat berakhirnya musim hujan. Hal ini berarti bahwa
musim hujan terjadi dalam waktu yang lebih singkat, tetapi memiliki intensitas curah
hujan yang lebih tinggi.

Perubahan iklim pada dasarnya merupakan dampak dari pemanasan global (global
warming), yaitu fenomena peningkatan temperatur global dari tahun ke tahun karena
terjadinya efek rumah kaca (greenhouse effect) yang disebabkan oleh meningkatnya
emisi gas rumah kaca (GRK). Menurut Sejati (2011) ada enam jenis gas yang
digolongkan sebagai GRK, yaitu karbondioksida (CO2), metana (CH4), dinitrooksida
(N2O), sulfurheksafluorida (SFx), perfluorokarbon (PFC) dan hidrofluorokarbon (HFC).
Peningkatan emisi GRK di sebabkan karena aktivitas manusia maupun peristiwa-
peristiwa alam yang berkontribusi bagi peningkatan emisi GRK tersebut

Menghadapi perubahan iklim global, Pemerintah Indonesia telah berkomitmen untuk


menurunkan emisi GRK secara nasional hingga 26% pada tahun 2020 dengan
menggunakan sumber pendanaan dalam negeri, serta penurunan emisi hingga 41% jika
ada dukungan international dalam aksi mitigasi. Kegiatan ini dituangkan dalam Program
Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (Bappenas, 2010).

Uraian di atas menggambarkan tentang kondisi perubahan iklim yang telah terjadi,
GRK yang menyebabkan global warming sehingga berakibat pada perubahan iklim, dan
komitmen pemerintah untuk menurunkan emisi gas rumah kaca. Berdasarkan hal
tersebut dipandang perlu dilakukan tindakan atau solusi yang efektif dan efisien dalam
menangani kasus perubahan iklim global ini.

1.2. Rumusan Masalah

1. Apakah yang dimaksud dengan perubahan iklim global ?

2. Apa sajakah penyebab dari perubahan iklim global ?

3. Apa sajakah dampak dari perubahan iklim global ?

4. Bagaimanakah cara menanggulangi atau solusi untuk adanya perubahan iklim global
yang sudah semakin memprihatinkan?
1.3. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dari pembahasan dalam makalah ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui pengertian dari perubahan iklim global.

2. Untuk mengetahui penyebab dari perubahan iklim global.

3. Untuk mengetahui dampak dari perubahan iklim global.

4. Untuk mengetahui cara menanggulangi atau solusi untuk adanya perubahan iklim
global agar dapat ikut serta membantu menanggulangi perubahan iklim global yang
sudah semakin memprihatinkan ini.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Perubahan Iklim Global


Iklim merupakan sintesis kejadian cuaca selama kurun waktu yang panjang, yang
secara statistik cukup dapat dipakai untuk menunjukkan nilai statistik yang berbeda dengan
keadaan pada setiap saatnya (World Climate Conference, 1979). Sedangkan menurut Paulus
Winarso (2007) iklim adalah rata-rata kondisi fisis udara(cuaca) pada kurun waktu tertentu
(harian, mingguan, bulanan, musiman dan tahunan yang diperlihatkan dari ukuran catatan
unsur-unsurnya (suhu, tekanan, kelembaban, hujan, angin, dan sebagainya). Menurut
Hidayati (2007) studi tentang iklim mencakup kajian tentang fenomena fisik atmosfer sebagai
hasil interaksi proses-proses fisik dan kimiafisik yang terjadi di udara (atmosfer) dengan
permukaan bumi. Keduanya saling mempengaruhi, aktivitas atmosfer dikendalikan oleh
fisiografi bumi, dan fluktuasi iklim berpengaruh terhadap aktivitas di muka bumi. Iklim
selalu berubah menurut ruang dan waktu. Dalam skala waktu perubahan iklim akan
membentuk pola atau siklus tertentu, baik harian, musiman, tahunan maupun siklus beberapa
tahunan . Selain perubahan yang berpola siklus, aktivitas manusia menyebabkan pola iklim
berubah secara berkelanjutan, baik dalam skala global maupun skala lokal.Menurut
Kolaborasi Bali Climate Change (2007) Perubahan Iklim Global adalah perubahan pola
perilaku iklim dalam kurun waktu tertentu yang relatif panjang (sekitar 30
tahunan). Sedangkan menurut Agus Winarso (2007) Perubahan Iklim Global adalah
perubahan unsur-unsur iklim (suhu, tekanan, kelembaban, hujan, angin,dan sebagainya)
secara global terhadap normalnya.

Global change (perubahan global) diartikan sebagai perubahan lingkungan secara


menyeluruh, meliputi perubahan iklim, perubahan kondisi atmosfer di udara, perubahan
kondisi lahan dan sistem ekologi yang mempengaruhi kehidupan dan pemenuhan kebutuhan
di bumi. Sesuai dengan Holocoenotic Concept, adanya perubahan lingkungan di suatu
ekosistem akan mempengaruhi keadaan lingkungan yang lain. Salah satu isu global change
yang saat ini sedang terjadi dan berdampak cukup besar bagi dunia adalah pemanasan global.

Pemanasan global yaitu fenomena peningkatan temperatur global secara gradual yang
disebabkan oleh meningkatnya emisi gas rumah kaca (GRK). Cahaya matahari dipancarkan
ke bumi dalam bentuk radiasi gelombang pendek. Di permukaan bumi, cahaya diserap dan
dipantulkan dalam wujud radiasi infra merah gelombang panjang. Cahaya yang dipantulkan
kembali, sebagian panasnya terperangkap di atmosfer. Menumpuknya jumlah GRK di lapisan
atmosfer mengakibatkan panas akan tersimpan di permukaan bumi yang menyebabkan suhu
rata-rata tahunan bumi meningkat (UNFCCC, 2006). Dengan demikian, penurunan GRK
menjadi salah satu perhatian dunia dalam rangka menangani pemanasan global.

Perubahan iklim (climate change) merupakan salah satu dampak dari pemanasan
global yang mempengaruhi suhu lingkungan. Kenaikan suhu tersebut mungkin tidak terlihat
terlalu tinggi, tetapi di negara tertentu seperti Indonesia, kenaikan itu dapat memberikan
dampak yang signifikan. Manusia telah demikian rentan terhadap berbagai macam ancaman
yang berkaitan dengan iklim seperti banjir, kemarau panjang, angin kencang, longsor, dan
kebakaran hutan.

Perubahan Iklim merupakan suatu keniscayaan yang sedang kita hadapi bersama saat
ini. Semakin hari perubahan iklim semakin kita rasakan bahkan semakin mengkhawatirkan.
Untuk itu kita harus berusaha menanggulanginya dengan mulai mencintai dan menjaga
lingkungan seperti menanam pohon, bersepeda, dan cara-cara lainnya. Perubahan iklim
adalah perubahan jangka panjang dalam distribusi pola cuaca secara statistik sepanjang
periode waktu mulai dasawarsa hingga jutaan tahun. Istilah ini bisa juga berarti perubahan
keadaan cuaca rata-rata atau perubahan distribusi peristiwa cuaca rata-rata, contohnya,
jumlah peristiwa cuaca ekstrem yang semakin banyak atau sedikit. Perubahan iklim terbatas
hingga regional tertentu atau dapat terjadi di seluruh wilayah Bumi. Dalam penggunaannya
saat ini, khususnya pada kebijakan lingkungan, perubahan iklim merujuk pada perubahan
iklim modern. Perubahan ini dapat dikelompokkan sebagai perubahan iklim antropogenik
atau lebih umumnya dikenal sebagai global warming atau global warming antropogenik.

2.2 Faktor-Faktor yang Menyebabkan Perubahan Iklim Global


Terdapat 3 faktor utama dalam peradaban yang menyebabkan perubahan iklim
global, yaitu ledakan penduduk (over population), revolusi ilmu dan teknologi (revolusi
industry), dan perilaku manusia atau pola pikir manusia yang masih bersifat over konsumsi.
A. Ledakan Penduduk (Over Population)
Apa yang terjadi bila populasi manusia menghuni bumi hingga 11 miliar jiwa atau
hampir naik 50 persen lebih dari posisi saat ini. Ihwal utama adalah isu ketersediaan
pangan, yang jadi sebuah pertanyaan besar. Para ahli sepakat bahwa Planet Bumi ini
masih cukup untuk memberi makan bagi 11 miliar mulut umat manusia. Namun,
persoalannya apakah ini bisa berkelanjutan dan ini yang belum bisa mendapat
jaminan.
Isu perubahan iklim yang juga menjadi risiko bagi manusia yang makin penuh
sesak. Perkembangan penduduk di negara-negara berkembang dan industrialisasi
yang menghasilkan karbon yang menjadi pendorong perubahan iklim. Bertambahnya
populasi manusia juga menjadi ancaman bagi populasi hewan di Bumi. Perusakan
habitat hewan oleh manusia bakal kian nyata.
Sebuah studi yang baru-baru ini dipublikasikan, menyimpulkan bahwa
bertambahnya jumlah penduduk akan ikut mempengaruhi terjadinya perubahan iklim.
Bertambahnya jumlah penduduk diindikasikan dapat meningkatkan jumlah kebutuhan
energi, yang selama ini lebih didominasi oleh sumber energi dari bahan bakar fosil.
Penggunaan sumber energi kotor dari bahan bakar fosil akan memicu terjadinya emisi
gas rumas kaca penyebab pemanasan global dan perubahan iklim.
Salah seorang ilmuwan yang terlibat dalam studi tersebut, Brian O’Neill, seperti
dilansir Reuters, Senin (11/10/2010), berujar bahwa semakin banyak jumlah manusia
di muka bumi maka akan menyebabkan semakin bertambahnya jumlah penggunaan
sumber energi dari bahan bakar fosil. Penggunaan bahan bakar fosil dalam jumlah
yang banyak itu akan menyebabkan besarnya jumlah emisi gas rumah kaca yang
dilepaskan ke atmosfer.
Studi yang dilakukan oleh ilmuwan dari Amerika Serikat, Jerman, dan Austria,
serta dilaporkan dalam Proceedings of the National Academy of Sciences ini
mengungkapkan bahwa lambatnya pertumbuhan penduduk dapat mengurangi laju
emisi gas rumah kaca hingga mencapai angka 16 – 29 persen dan dapat menjaga suhu
global dari efek-efek serius tertentu. Meskipun begitu, rendahnya pertumbuhan
penduduk juga tidak serta-merta dapat mencegah terjadinya perubahan iklim.
“Jika pertumbuhan populasi secara global melambat, maka hal itu tetap tidak akan
memecahkan masalah iklim yang ada. Namun, hal itu tetap akan memberikan
kontribusinya, terutama dalam jangka waktu yang panjang,” ujar O’Neill, yang
dikenal juga sebagai ilmuwan di US National Center for Atmospheric Research
(Ncar), seperti dimuat BBC News, Selasa (12/10/2010).
Diperkirakan bahwa jumlah penduduk di dunia pada tahun 2050 akan bertambah
sebanyak 3 milyar dari jumlah yang sekarang. Hal itu berarti akan ada 9 milyar
manusia pada tahun 2050 dan ini menjadi angka yang mengkhawatirkan. Namun,
sebenarnya pertumbuhan penduduk ini masih dapat ditekan. Jika pertumbuhan itu
dapat ditekan, misalnya menjadi 8 milyar saja, maka emisi gas rumah kaca pun dapat
ditekan hingga angka 29 persen.
Selain itu, hasil studi juga mengungkapkan bahwa terjadinya urbanisasi dapat
meningkatkan jumlah emisi hingga angka 25 persen di beberapa negara berkembang.
Namun, di negara-negara industri maju jumlah emisi turun hingga angka 20 persen
akibat populasi yang mulai menua. Hal ini terkait dengan bertambahnya dan
berkurangnya jumlah angkatan kerja, di mana hal itu berhubungan dengan
pertumbuhan ekonomi serta penggunaan energi yang berpengaruh terhadap jumlah
emisi yang dihasilkan.
Pada kesempatan yang berbeda, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Asia
Tenggara, Arif Fiyanto, Senin (18/10/2010), juga menyetujui bahwa bertambahnya
jumlah penduduk akan ikut berpengaruh terhadap terjadinya perubahan iklim. Namun,
pertumbuhan penduduk ini sebenarnya bukan merupakan faktor utama yang
menyebabkan terjadinya perubahan iklim.
“Pertumbuhan penduduk memiliki korelasi yang positif terhadap meningkatnya
permintaan energi di sebuah negara. Masalahnya, pertumbuhan penduduk itu
mengakibatkan meningkatnya pertumbuhan industri dan aktivitas manusia lainnya.
Hal tersebut yang mengakibatkan peningkatan kebutuhan energi yang memicu
terjadinya perubahan iklim,” lanjutnya.
Lebih jauh, menurutnya, di negara-negara dengan tingkat pertumbuhan penduduk
yang tinggi, seperti Cina, Amerika Serikat, dan Indonesia, pertumbuhan penduduk ini
akan berpengaruh terhadap terjadinya perubahan iklim.
B. Revolusi Ilmu dan Teknologi (Revolusi Industri)
Revolusi industry adalah perubahan secara cepat dan menyeluruh dalam berbagai
bidang industri (ekonomi) yaitu dari ekonomi yang berbasis pertanian (agraris) ke
system ekonomi yang berbasis industri yang menggunakan mesin dan bahan bakar
yang menjalankannya sehingga peran manusia dalam proses produksi sebagian besar
tergantikan oleh mesin-mesin tersebut.
Peradaban umat manusia mengalami perubahan yang dahsyat dalam sejarah
mutakhir. Dimulai di Eropa dengan Renaissance pada abad XIV yang diawali
dengan gerakan kebudayaan mencakup berbagai kesenian yang hidup di
masyarakat sebagai penggerak dinamika perkembangan zaman. Berbagai
pandangan baru dan penemuan-penemuan empiris ilmu pengetahuan membongkar
berbagai kemapanan tradisi. Berbagai penemuan yang mendasari peradaban baru,
cukup mencengangkan masyarakat pada zamannya saat itu, sehingga sempat
terjadi pula berbagai ketegangan dan perseteruan faham dikalangan para penganut
tradisi lama dan penemu baru. Berbagai penemuan baru tersebut menggerakkan
masyarakat yang selama ini dibawah kungkungan kegelapan dogma, seperti
memperoleh pencerahan.
Gerakan itu kemudian diikuti dengan Pencerahan atau Enlightment yang gencar
dilakukan pada awal abad XVIII. Kemudian disusul dengan Revolusi Industri yang
dimulai pada pertengahan abad XVIII sampai pertengahan abad XIX. Kalangan
ilmuwan menjadi lebih tergerak untuk mengembangkan pemikiran dan cara pandang
baru mengenai filsafat hingga fiisika dan matematika. Dengan semangat baru mereka
tidak saja puas menciptakan rumus baru, tetapi muncul pembaharuan dalam
melakukan uji coba dan suka menguji temuan-temuan baru.
Dalam catatan sejarah, berbagai penemuan
spektakuler membuat para ilmuwan berambisi
selalu mengungguli yang lain. Pada 1769 James
Watt dicatat sebagai pembuat mesin uap hasil
penyempurnaan temuan para ilmuwan
sebelumnya. Penemuan ini dianggap tonggak
yang memicu revolusi industri. Berbagai mesin
dikembangkan dengan basis mesin uap untuk
menggerakkan kapal, kereta api dan mobil. Mesin-mesin industri juga bermunculan
untuk mengolah sumberdaya alam dan bahan mentah menjadi bahan jadi secara masal
yang disebut industry serta dapat mempermudah pekerjaan manusia, seperti
ditemukannya alat pemintal benang, mesin uap, kereta api, mesin pemintal kapas,
mesin tenun dan lain sebagainya.
Penemuan-penemuan ini merubah pola kehidupan manusia yang semula
mengandalkan tenaga hewan dan manusia untuk melakukan produksi, transportasi dan
kegiatan hidup lainnya, menjadi mengandalkan mesin. Karena mesin mesin tersebut
berukuran relative besar dan membutuhkan tempat yang lebih besar pula untuk
mengoprasikannya maka dari situ mulai dibuat pabrik-pabrik raksasa yang mayoritas
menggunakan batubara sebagai bahan bakarnya. pada saat itu orang belum sadar
bahaya emisi yang dikeluarkan dari pembakaran tersebut karena pada waktu itu yang
paling penting adalah peningkatan perekonomian
Seiring dengan dikembangkan mesin-mesin tersebut, para ahli mengembangkan
sumber energi mulai dari batubara hingga ditemukan minyak bumi yang diambil dari
perut bumi. Energi fosil yang prosesnya memerlukan waktu jutaan tahun dan dalam
kondisi tertentu itu menjadi andalan untuk kehidupan manusia modern. Kini umat
manusia sangat tergantung pada sumber energi alam yang sulit diperbaharui (non-
renewable) dan sampai kapan akan bertahan, tentu tidak lama lagi. Sehingga turut
melahirkan semakin banyak mesin-mesin penghasil gas rumah kaca dan hal ini tidak
hanya terjadi di satu belahan bumi saja melainkan cepat meluas ke Negara-negara lain.
Seiring dengan penemuan dalam bidang teknik dan rekayasa yang ditandai dengan
pengembangan mesin-mesin modern dan munculnya industr skala besar, berkembang
pula ilmu ekonomi. Pada tahun 1776, Adam Smith mengemukakan pendapat dan
berdebat tentang ekonomi pasar bebas dan melahirkan atau dianggap sebagai awal dari
ilmu ekonomi. Dasar awal Ilmu Ekonomi yang lahir pada 1776 populer dengan nama
pada awalnya sebagai ekonomi politik (Mubyarto, 1987). Dengan demikian revolusi
industry melahirkan suatu system perekonomian yang baru yaitu kapitalistik.
Berbagai penemuan ilmiah dan pengembangan teknologi dalam skala industri telah
membuat perubahan besar dalam kehidupan manusia secara drastis. Dalam bidang
pangan semakin meningkat jumlah produksi sebagai hasil dari perluasan lahan
pertanian dan meningkatnya jumlah produksi pangan per satuan lahan. Demikian pula
dengan ditemukannya teknologi pemuliaan tanaman menghasilkan bibit unggul yang
dapat menghasilkan jauh lebih tinggi dibanding masa sebelumnya.
Pengembangan ilmu pengetahuan terus merasuk dalam kehidupan. Beragam jenis
bibit tanaman dimodifikasi dengan teknologi yang semakin canggih. Belakangan
bisnis membelokkan untuk kepentingan menguasai hasil riset yang dikembangkan
dalam skala industri untuk kepentingan akumulasi keuntungan. Pangan telah menjadi
bisnis besar dan bahkan memiliki kekuatan politik yang menentukan.
Perkembangan tersebut diikuti dengan berbagai perubahan besar-besaran baik
dalam kerekayasaan industri maupun pemanfaatan sumberdaya alam. Belakangan
istilah ekologi mulai populer digunakan oleh seorang sarjana Jerman yaitu Ernst
Haeckel pada tahun 1869 (Dwidjoseputro, 1991). Orang mulai tertarik pula untuk
melihat ekosistem dalam lingkup yang lebih luas (mengkaji alam semesta) dan lingkup
yang kecil (meneliti kehidupan mikro-organisme)
Revolusi industri mempunyai dampak positif bagi perekonomian dunia karena
dengannya harga lebih murah, pekerjaan semakin ringan karena dibantu oleh mesin.
Tetapi di sisi lain hal ini berdampak negative kepada lingkungan yang dengan semakin
banyaknya pabrik-pabrik semakin tinggi pula pencemaran yang ditimbulkannya dan
tingkat polusi pun semakin tinggi.
Polutan yang dikeluarkan dari hasil pembakaran bahan bakar fosil berupa CO
(karbon monoksida), CO2 (karbon dioksida) NOx (oksida-oksida nitrogen), SOx
(oksida-oksida belerang), HC (senyawa-senyawa karbon), fly ash (partikel debu).
Polutan-polutan tersebut secara umum dapat menimbulkan hujan asam yang dapat
merusak hutan dan lahan pertanian, serta dapat pula menimbulkan efek rumah kaca
yang dapat menyebabkan kenaikan suhu global di permukaan bumi dengan segala efek
sampingannya. Dewasa ini telah diketahui pula bahwa batubara melepaskan unsur
radioaktif karena ketika proses pembakaran tersebut batubara akan mengalami
pembelahan (cracking) dan akan melepaskan unsur radioaktif di dalamnya yang telah
terkurung berjuta-juta tahun yang lalu karena unsur radioaktif tersebut sudah ada
sebelum terbentuknya batubara

Penyumbang gas rumah kaca lain adalah


peternakan yang pada zaman sekarang
peternakan telah beroprasi secara masal. Sektor
peternakan telah menyumbang 9 persen karbon
dioksida, 37 persen gas metana (mempunyai
efek pemanasan 72 kali lebih kuat dari CO2
dalam jangka 20 tahun, dan 23 kali dalam jangka
100 tahun), serta 65 persen dinitrogen oksida (mempunyai efek pemanasan 296 kali
lebih lebih kuat dari CO2). Peternakan juga menimbulkan 64 persen amonia yang
dihasilkan karena campur tangan manusia sehingga mengakibatkan hujan asam.
Pada awalnya masyarakat tidak menyadari dampak negative yang ditimbulkan oleh
emisi-emisi tersebut sebelum terasa akibatnya. Dampak tersebut kian terasa ketika dari
tahun ke tahun suhu bumi ternyata semakin meningkat.
Kenaikan suhu bumi diakibatkan karena emisi yang dikeluarkan terutama oleh
pabrik-pabrik besar, asap dari kendaraan yang notabene merupakan produk industri
otomotif, pembalakan hutan/ pembukaan lahan untuk kepentingan industri kertas,
minyak sawit, ladang ternak dan perkebunan yang hanya satu jenis pohon saja telah
menghilangkan biodiversitas hutan sehingga mengurangi kemampuannya untuk
menyerap karbon.
Gas-gas rumah kaca akan menimbulkan efek rumah kaca seperti halnya pada
rumah kaca atau dalam mobil. Ketika sinar matahari masuk ke dalam mobil maka
ketika kita masuk ke dalam mobil akan terasa panas, hal ini disebabkan karena panas
dari matahari yang masuk tidak dapat dipantulkan kembali karena terhalangi oleh kaca
tersebut. Hal tersebut juga berlaku sama kepada gas rumah kaca yang ketika ada panas
dari radiasi matahari yang masuk ke bumi yang seharusnya (sebagian) dipantulkan
kembali ke luar atmosfer bumi menjadi terperangkap oleh karena terhalangi oleh gas-
gas tersebut.
Menurut IPCC yaitu badan penelitian tentang perubahan iklim yang terdiri dari
1.300 ilmuan dari seluruh dunia menyebutkan bahwa sejak revolusi industri, jumlah
karbondioksida meningkat dari sebelumnya yaitu 280 ppm menjadi 379 ppm dalam
150 tahun terakhir.
Peningkatan jumlah emisi yang dilepaskan akan meningkatkan suhu bumi dan suhu
bumi akan terus meningkat seiring pertambahan industri dan populasi penduduk.
C. Perilaku Manusia
Manusia adalah mahluk hidup ciptaan tuhan dengan segala fungsi dan
potensinya yang tunduk kepada aturan hukum alam, mengalami
kelahiran, pertumbuhan, perkembangan, dan mati, dan seterusnya, serta terkait
dan berinteraksi dengan alam dan lingkungannya dalam sebuah hubungan
timbal balik baik itu positif maupun negatif. Lingkungan amat penting bagi
kehidupan manusia. Segala yang ada pada lingkungan dapat dimanfaatankan oleh
manusia untuk mencukupi kebutuhan hidup manusia, karena lingkungan memiliki
daya dukung, yaitu kemampuan lingkungan untuk mendukung perikehidupan manusia
dan makhluk hidup lainnya. Lingkungan memiliki hubungan dengan manusia.
lingkungan mempengaruhi sikap dan perilaku manusia, demikian pula kehidupan
manusia akan mempengaruhi lingkungan tempat hidupnya. Mempengaruhi
lingkungan demi kemajuan dan kesejahteraan hidupnya.

Perubahan iklim global merupakan isu yang saat ini menjadi perhatian bagi
banyak kalangan, terutama setelah diselenggarakannya Konferensi Tingkat Tinggi
Bumi di Rio de Janeiro, Brazil pada tahun 1992. Namun demikian fenomena ini
belum dipahami secara tepat karena prosesnya yang sangatrumit. Perubahan iklim
seringkali disalah-artikan sebagai variasi iklim yangkadang-kadang terjadi dengan
gejala yang agak ekstrem dan membawadampak seketika yang cukup signifikan.
Perubahan iklim adalah fenomen aglobal yang dipicu oleh kegiatan manusia
terutama yang berkaitan dengan penggunaan bahan bakar fosil (BBF) dan kegiatan
alih guna lahan.Sebagian beranggapan bahwa perubahan iklim dapat
menyebabkanpenderitaan yang tak tertanggungkan bagi masyarakat yang rentan.
Sebagianmenitikberatkan perhatian pada bagaimana menangani suatu ekosistem
tertentu. Sebagian lagi mengkhawatirkan bahwa perubahan iklim akan meningkatkan
kemungkinan ketidakstabilan iklim yang jauh lebih luas. Tetapi sebagian lagi
menyatakan bahwa pengurangan emisi sangatlah mahal (dankarenanya tidak mungkin
dilakukan).

Manusia adalah salah satu pemicu terjadinya cuaca ekstrem dan anomali iklim.
Kesimpulan ini terungkap dalam analisis terbaru berjudul “Explaining Extreme
Events of 2012 from a Climate Perspective” yang diterbitkan Kamis (5/9) di Bulletin
of the American Meteorological Society.

Sebanyak 18 tim peneliti dari seluruh dunia menyimpulkan, enam dari 12 cuaca
ekstrem yang terjadi di lima benua dan wilayah Arktika tahun lalu, diperparah
oleh faktor manusia. Laporan ini menggaris bawahi, selain karena penyebab alami,
tim peneliti juga menemukan bukti kontribusi manusia dalam beberapa kejadian cuaca
ekstrem pada 2012.

Kontribusi ini bersumber dari perilaku manusia yang meningkatkan emisi gas
rumah kaca yang menyebabkan perubahan iklim dan pemanasan global.

“Laporan ini menunjukkan pemahaman mengenai penyebab cuaca ekstrem dan


kondisi iklim baik yang dipicu oleh faktor alami maupun oleh faktor manusia semakin
meningkat,” ujar Thomas R. Karl, L.H.D, Direktur National Climatic Data Center
(NCDC) dari NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration).

Selain meneliti 12 cuaca ekstrem di seluruh dunia, tim peneliti juga menganalisis
empat kondisi ekstrem yang terjadi tahun lalu dari berbagai sisi. Keempat kejadian itu
adalah panas di Amerika Serikat, sebaran es di benua Arktika yang mencapai level
terendah dan curah hujan yang tinggi baik di Eropa maupun di Australia timur.

Berdasarkan data yang bersumber dari PEACE (2007), distribusi terbesar GRK di
Indonesia adalah karbondioksida (CO2), metana (CH4) dan dinitrogenoksida (N2O).
Indonesia merupakan salah satu Negara yang memberikan sumbangsih terhadap
perubahan iklim dengan kontribusi GRK sebesar 3.014 MtCO2e yang terdiri dari
sektor kehutanan sebesar 2.536 MtCO2e, sektor energi sebesar 275 MtCO2e, sektor
pertanian sebesar 141 MtCO2e dan sektor limbah sebesar 35 MtCO2e. Selain CO2,
gas rumah kaca terbesar kedua yang memberikan kontribusi terhadap pemanasan
global di Indonesia adalah CH4 yang mayoritas berasal dari sektor pertanian,
termasuk di dalamnya kegiatan peternakan.

Dalam memanfaatkan alam manusia terkadang tidak memperhatikan kelestarian


alam. Hal tersebut dikarenakan seiring dengan perkembangan zaman dn teknologi di
era globalisasi ini, sifat manusia pada umumnya menjadi over konsumsi dalam segala
hal. Kebanyakan aktivitas manusia yang disengaja maupun yang tak disengaja
menyebabkan alam menjadi rusak, alam yang rusak tentunya akan menimbulkan
kerugian bagi manusia itu sendiri, seperti penebangan dan pembakaran hutan secara
liar.

Manusia melakukan penebangan dan pembakaran hutan secara liar demi


membuka lahan pertanian dan pemukiman yang disebabkan oleh perilaku manusia .
Penebangan hutan juga dilakukan untuk mengambil kayu sebagai bahan pembuatan
perlengkapan rumah tangga. Kegiatan tersebut tentu saja membuat hutan menjadi
gundul. Populasi beberapa tumbuhan berkurang bahkan punah. Hewan-hewan hutan
kehilangan tempat tinggal. Hutan yang gundul akan dapat menimbulkan bencana alam
bajir dan tanah longsor.

Kawasan hutan yang dijadikan lahan pertanian biasanya berubah menjadi tanah
tandus dan gersang. Hal ini karena setelah panen biasanya ladang ini akan
ditinggalkan. Sistem perladangan seperti ini disebut perladangan berpindah. Akhirnya
hutan yang dahulu menghijau menjadi tanah tandus dan gersang, karena setelah panen
dan sudah tidak subur lagi biasanya ditinggalkan begitu saja. Karena tanahnya tandus
dan gersang maka struktur tanah menjadi rusak dan mudah mengalami erosi.

Dengan penebangan dan pembakaran hutan menjadikan banyak wilayah yang


kekeringan karena akar-akar pepohonan yang dapat menyerap air dan menyimpan
persidiaan air telah ditebangi sehingga seluruh air yang jatuh dri curah hujan hanya
mengalir di daratan dan kembali lagi ke lautan. Dan juga penebangan dan pembakaran
hutan mengakibatkan semakin minimnya udara bersih (oksigen dll), maka semakin
banyaknya gas-gas polutan yang akan mengakibatkan efek rumah kaca karena gas-gas
polutan tersebut tidak ada yang menyaring atau menangkapnya (semisal pepohonan
tidak ditebangi secara liar, maka pohon-pohon tersebut lah yang mengolah gas-gas
polutan tersebut untuk bahan fotosintesis mereka yang kemudian diubah menjadi
oksigen dan gasa-gas yang bermanfaat untuk manusia itu sendiri) sehingga
menimbulkan global warming yang kemudian terjadi perubahan iklim.

Perilaku manusia lainnya yang dapat memicu mempercepat perubahan iklim


global dengan perilaku over konsumsinya terhadap segala hal adalah boros dalam
pemakaian energy listrik dan boros terhadap penggunaan air serta boros dalam
penggunaan plastik (misalnya ketika berbelanja; membeli minuman berkemasan dan
menggunakan sedotan plastik serta membeli makanan dengan wadah stayrofoam yang
berakibat meningkatnya jumlah limbah plastik). Contoh perilaku boros pemakaian
energy, yaitu pada penggunaan secara berlebihan lampu dan peralatan elektronik
lainnya sehingga hal tersebut memicu peningkatan emisi CO2. Perilaku lainnya
adalah boros dalam mengkonsumsi hewan ternak dan pemakaian kendaraan bermotor
bahan bakar fosil. Hal tersebut dapat mengakibatkan peningkatan gas rumah kaca
(CH4) yang memberikan kontribusi terhadap pemanasan global di Indonesia yang
berasal dari sektor pertanian, termasuk di dalamnya kegiatan peternakan.

2.3 Dampak dari Perubahan Iklim Global


Berikut ini merupakan dampak dari perubahan iklim, antara lain:

1. Lapisan Es Kutub Mulai Hilang dan Permukaan Laut Naik


Menurut temuan Intergovermental Panel and Climate Change (IPCC). Sebuah
lembaga panel internasional yang beranggotakan lebih dari 100 negara di seluruh
dunia. Sebuah lembaga dibawah PBB menyatakan pada tahun 2005 terjadi
peningkatan suhu di dunia 0,6-0,70 sedangkan di asia lebih tinggi, yaitu 10.
Lima gelombang panas tertinggi yang tercatat semuanya terjadi setelah tahun 1997.
Meningkatnya temperatur global menjadi penyebab melelehnya es di kutub,
meningkatnya permukan air laut, dan meningkatnya frekuensi terjadinya
badai. Perlu kalian ingat bahwa meningkatnya temperatur global bukan berarti
semua daerah akan menjadi panas. Ini adalah perhitungan rata-rata temperatur bumi.
Bisa saja di suatu tempat terjadi peningkatan suhu sedangkan di tempat lain
justru semakin dingin.
Pemanasan global mengakibatkan mencairnya lapisan es di kutub. Dengan laju
pemanasan global sekarang ini, diprediksi pada musim panas sekitar tahun 2050
daerah kutub utara akan bebas es. Akibatnya terjadi peningkatan permukaan air laut,
kerusakan ekosistem kutub, dan kepunahan spesies kutub.
Sejak tahun 2004 setidaknya sudah 24% es di kutub utara semakin menipis dan
mencair di setiap musim panasnya, demikian laporan beberapa ilmuan di lembaga
antariksa AS, NASA31. Melalui laporan yang dikirim pesawat ICESat yang
digunakan NASA, para ilmuwan menggambarkan, secara keseluruhan es Laut Kutub
Utara menipis sebanyak 7 inci (17.78 cm) per tahun sejak tahun 2004. Sebanyak 2,2
kaki (0,67 meter) selama 4 musim dingin. Temuan dilaporkan pada “Journal Of
Geophysical Research-Ocean”.
2. Gletser Minghilang dan Suplai Air Terganggu
Air hangat terkumpul dan menggenang di bawah gletser Antartika yang sewaktu-
waktu dapat menyebabkannya mencair lebih cepat, bahkan mencegah pembentukan
air dingin di bawah Antartika. Kondisi ini dikhawatirkan bisa memperlambat arus
laut dan berpotensi membawa kenaikan permukaannya yang cepat.
Kejadian seperti itu bisa menghancurkan, menyebabkan permukaan laut naik lebih
dari 3 meter akhir abad ini. Sebuah skenario iklim terburuk untuk kota-kota pesisir
yang dikenal sebagai “pulse”.
Dalam situasi ini, air yang menghangat secara abnormal dapat menyebabkan
gletser yang menahan lembaran es di atas Antartika dan Greenland runtuh. Hal ini
membuat es dalam jumlah besar mengalir ke lautan di dunia dan membuat kenaikan
permukaan laut makin cepat. Kondisi seperti ini tampaknya sudah berlangsung di
Antartika.
Para peneliti menyebutkan, setidaknya di dua wilayah Antartika sebelumnya,
bongkahan-bongkahan es yang hilang, mencair cukup cepat. Gletser tersebut
sebelumnya menjaga perairan di bawah lapisan es Antartika tetap dingin. Namun,
ditempat air hangat terkumpul, pencairan akan lebih cepat terjadi.
Ketersedian air di negeri-negeri tropis berkurang 10-30 persen, secara general yang
juga dirasakan oleh seluruh dunia saat ini adalah makin panjangnya musim panas
dan makin pendeknya musim hujan. Kekurangan air bersih dan air minum di masa
depan cenderung mengancam produksi pangan, serta juga akan mengambat
pembangunan serta kerusakan ekosistem ekonomi. Hal ini menyebabkan perubahan
antara banjir dan kekeringan. Pemanasan global disuga juga dapat menyebabkan
300.000 kematian per tahun.
3. Laut Menghangat dan Badai & Angin Topan Meningkat
Samudra juga menyerap panas dalam jumlah besar. Dr.-Ing. Roelof Rietbroek dari
Institut Geodesi dan Geoinformasi di Bonn menjelaskan lebih lanjut: “Artinya,
samudra suhunya lebih panas dari perkiraan. Ini menarik, karena samudra yang lebih
panas, adalah sumber badai. Kita bisa meramal, samudra yang lebih panas, akan lebih
sering memicu badai lebih kuat.”
Seiring naiknya suhu air laut, makin banyak panas dilepas dalam bentuk uap air.
Sebuah suntikan energi untuk atmosfir. Ini memicu munculnya siklon, dibarengi
hujan lebat dan banjir. Pasalnya uap air kembali ke bumi berupa hujan.
Makin tajam perbedaan suhu, maka badai juga akan makin kuat. Para ilmuwan
memperingatkan, akibat perubahan iklim, fenomena cuaca ekstrim juga akan makin
sering melanda. Kerugian akibat badai dan banjir, akan berlipat dua hingga tahun
2100.
Kawasan pesisir Asia Selatan yang terutama akan dilanda fenomena ini. Muka air
laut naik lebih cepat di India dan Bangladesh. Hingga akhir abad ke 21 ini, sedikitnya
500 juta orang di seluruh dunia, akan menderita dampak naiknya muka air laut.
4. Daratan Menghangat dan Kekeringan & Kelaparan Meningkat
Efek dari perubahan iklim sudah berdampak pada mata pencaharian masyarakat,
serta pada satwa liar dan lingkungan di seluruh dunia. Di Cina, bencana alam telah
melanda 24,89 juta hektar tanaman pada tahun 2014, di mana 3,09 juta hektar di
antaranya hancur, sementara kekeringan menyebabkan kerugian ekonomi secara
langsung hingga 83,6 miliar yuan1 atau lebih dari 13 miliar dolar. Kondisi lebih dari
seperempat dari daratan di Bumi diprediksi akan menjadi sangat kering, bahkan jika
pemanasan global terbatas pada target 2 derajat Celsius saja.
Perubahan tersebut akan menyebabkan meningkatnya ancaman kekeringan dan
kebakaran hutan. Namun, membatasi pemanasan global di bawah 1,5 derajat Celsius
akan secara dramatis mengurangi fraksi permukaan Bumi yang mengalami perubahan
tersebut.
Peneliti dari University of East Anglia (UEA) di Inggris dan Southern University
of Science and Technology (SUSTech) di Tiongkok mempelajari proyeksi dari 27
model iklim global. Mereka juga membuat skenario pemanasan yang berbeda untuk
memprediksi pola pengeringan lahan. Mereka mengidentifikasi daerah-daerah di
mana kegersangan berubah secara substansial bila dibandingkan dengan variasi tahun
ke tahun yang mereka alami sekarang.
Sejalan dengan pemanasan global mencapai 1,5 atau 2 derajat Celsius, di atas
tingkat periode pra-industri. Dunia sendiri telah menghangat 1 derajat Celsius
sejak Revolusi Industri (1750-1850).
Kegersangan adalah ukuran kekeringan permukaan tanah, yang didapat dari
kombinasi proses presipitasi dan penguapan. Keparahan kekeringan semakin
meningkat di daerah Mediterania, Afrika bagian selatan, dan pantai timur Australia
selama abad ke-20. Sementara daerah semi-gersang di Meksiko, Brasil, Afrika bagian
selatan, dan Australia telah mengalami penggurunan untuk beberapa waktu karena
dunia menghangat.
Berkurangnya produksi hasil pangan karena beberapa faktor penghambat seperti
kekeringan dan gagal panen menjadikan harga jual pangan yang semakin meningkat.
Hal ini jelas sangat menyesakkan karena pangan merupakan kebutuhan yang mau
tidak mau harus dipenuhi.
Perubahan iklim di Indonesia berdampak cukup besar terhadap produksi bahan
pangan, seperti jagung dan padi. Produksi bahan pangan dari sektor kelautan (ikan
maupun hasil laut lainnya) diperkirakan akan mengalami penurunan yang sangat besar
dengan adanya perubahan pada pola arus, temperatur, tinggi muka laut, umbalan, dan
sebagainya.
Indonesia bahkan berada pada peringkat 9 dari 10 negara paling rentan dari
ancaman terhadap keamanan pangan akibat dampak perubahan iklim pada sektor
perikanan (Huelsenbeck, Oceana, 2012). Akibat dampak perubahan iklim dan
pengasaman laut (ocean acidification) pada ketersediaan makanan hasil laut,
Indonesia berada pada peringkat 23 dari 50 negara paling rentan berdasarkan kajian
yang sama.
5. Kota Besar Jadi Lebih Sering Banjir
Peristiwa ini mengakibatkan naiknya permukaan air laut secara global, hal ini
dapat mengakibatkan sejumlah pulau-pulau kecil tenggelam. Kehidupan masyarakat
yang hidup di daerah pesisir terancam. Permukiman penduduk dilanda banjir rob
akibat air pasang yang tinggi, dan ini berakibat kerusakan fasilitas sosial dan
ekonomi. Jika ini terjadi terus menerus maka akibatnya dapat mengancam sendi
kehidupan masyarakat.
Es di kutub memiliki peran penting dalam menjaga keseimbangan lingkungan. Jika
es mencair, pulau-pulau yang berada di bawah permukaan laut akan terancam bahaya.
Kota-kota seperti Shanghai dan negara kepulauan Maladewa adalah beberapa tempat
yang akan terpapar risiko tertinggi dalam skenario seperti itu.
Peluang banjir di Indonesia akan meningkat seiring peningkatan tinggi muka laut,
intensitas gelombang ekstrem, curah hujan yang sangat tinggi dan kejadian La Niña.
Bencana banjir ekstrem terutama terjadi pada daerah pesisir yang merupakan lokasi
kota-kota strategis seperti DKI Jakarta. Bencana ini berdampak buruk bagi
perekonomian serta mengancam kesehatan masyarakat.
6. Kebakaran Hutan Meningkat
Api membakar Mediterania (wilayah sekitar Laut Tengah) tiap musim panas tiba.
Rata-rata sekitar 1.500 mil persegi wilayah Uni Eropa terbakar tiap tahunnya. Dalam
dua tahun terakhir, ada peningkatan ancaman kebakaran hutan. Tahun lalu saja, luas
kebakaran hutan di Eropa meningkat hingga menewaskan 66 orang di Portugal dan
Spanyol.
Menurut juru bicara untuk Pusat Penelitian Gabungan Eropa Edward McCafferty,
ada perluasan daerah berisiko kebakaran di negara-negara yang kebakaran hutannya
tidak begitu menonjol di masa lalu.
Christos Stylianides, Komisioner Uni Eropa untuk Bantuan Kemanusiaan dan
Manajemen Krisis, menyebutkan bahwa faktor perubahan iklim berperan besar
meningkatkan jumlah kebakaran hutan di seluruh Eropa. Menurut para ilmuwan,
pemanasan global mendorong cuaca ekstrem sehingga badai petir meningkat, tanaman
tumbuh lebih cepat dan lebih mudah terbakar.
Menurut Turetsky, kebakaran hutan yang parah di banyak belahan dunia
belakangan ini disebabkan oleh musim kering berkepanjangan, gelombang panas, dan
perubahan iklim.
Di Indonesia, kebakaran hutan besar pernah terjadi di Kalimantan Timur pada
1982-1983, 1998, dan 2015. Kebakaran hutan 2015 diperkirakan telah membakar
lebih dari 2,6 juta hektare hutan.
7. Sepertiga Spesies Hewan Akan Punah
Perubahan iklim bisa merusak rantai makanan dan ekosistem, menempatkan
seluruh spesies terancam kepunahan. Jika perubahan iklim dibiarkan, para
ilmuwan khawatir kepunahan dalam skala besar akan terjadi. Sekarang saja tingkat
kepunahan spesies lebih cepat dibandingkan beberapa abad sebelumnya. Beberapa
ilmuwan bahkan yakin bahwa kita sudah memasuki kepunahan massal ke-6, di mana
hampir 25% spesies di bumi terancam punah. Kemunculan spesies baru juga tidak
bisa mengejar laju kepunahan tersebut.
Kemerosotan biodiversitas di suatu wilayah sebagai dampak runutan dari
perubahan tata guna lahan dan perubahan iklim menjadi ancaman yang akan terjadi di
masa mendatang. Munculnya spesies invasif juga dapat menyebabkan
keberadaan spesies asli di daerah tersebut menjadi terancam. Spesies yang lebih
adaptif terhadap perubahan lingkungan akan mendominasi suatu daerah
tertentu. Spesies yang tidak dapat beradaptasi akan mati dan rentan punah jika
jumlahnya semakin menipis dan tidak bereproduksi kembali. Hal ini akan
menyebabkan hilangnya biodiversitas spesies di suatu wilayah.
8. Lebih Banyak Serangga dan Penyakit
Dengan semakin hangatnya temperatur global, epidemi penyakit mewabah. Cuaca
yang lebih hangat adalah situasi yang ideal bagi virus dan bakteri untuk menyebar.
Penyakit tropis seperti malaria dan demam berdarah juga akan semakin luas
cakupannya, bukan hanya di daerah tropis saja.
Meningkatnya suhu ini, ternyata telah menimbulkan makin banyaknya wabah
penyakit endemik “lama dan baru” yang merata dan terus bermunculan; seperti
leptospirosis, demam berdarah dan diare, malaria. Padahal penyakit-penyakit seperti
malaria, demam berdarah dan diare adalah penyakit lama yang seharusnya sudah
lewat dan mampu ditangani dan kini telah mengakibatkan ribuan orang terinfeksi dan
meninggal. Selain itu, ratusan desa di pesisir Jawa Timur terancam tenggelam akibat
naiknya permukaan air laut, indikatornya serasa makin dekat saja jika kita lihat
naiknya gelombang pasang di minggu ketiga bulan mei 2007. Mulai dari Pantai
Kenjeran, Pantai Popoh Tulungagung, Ngeliyep Malang dan pantai lain di pulau-pulai
di Indonesia.
9. Pemutihan Koral yang Mempengaruhi Ekosistem Laut
Akibat paling krusial dari peningkatan keasaman laut adalah fenomena coral
bleaching, di mana terumbu karang yang warna-warni menjadi putih. Koral yang
memutih akan menjadi rentan dan mudah mati. Sejak tahun 1985, sudah setengah
koral menghilang dilautan. Jika hal ini berlanjut jauh lebih cepat dari kemampuannya
beradaptasi, koral akan menghilang pada tahun 2050. Ini akan berdampak buruk
terhadap lebih dari 25% spesies lautan. Kabar gembiranya, saat ini para
ilmuwan sedang mengembangkan cara untuk menumbuhkan koral di laboratorium
dan melakukan guided evolution agar koral bisa beradaptasi dengan lebih baik.
Pemutihan massal terutama dipicu oleh pemanasan laut akibat terjadinya
pemanasan global juga diperparah variabilitas iklim seperti nampak dalam peristiwa
El Niño dan La Niña. Aktivitas manusia telah meningkatkan konsentrasi
karbondioksida di atmosfer dan gas yang memerangkap panas lainnya secara dramatis
meningkatkan suhu permukaan global sekitar 1° Celcius sejak zaman pra-industri.
Kematian kerangka karang akan mengurangi struktur kompleksitas dan
keanekaragaman hayati dari sistem terumbu. Kebergantungan organisme laut pada
ekosistem terumbu pun berkurang sehingga dapat mereduksi fungsi ekosistem sebagai
penghasil makanan, sumber pendapatan warga dan perlindungan pantai.

2.4 Cara Menanggulangi Adanya Perubahan Iklim Global


1. Aksi Global Dalam Penanganan Perubahan Iklim
Pada dasarnya perubahan iklim adalah masalah global, bukan masalah negara-
negara tertentu saja. Oleh karenanya penanggulangannya pun harus melibatkan
semua negara. Kebijakan penanggulangan dampak perubahan iklim yang disusun
dan diimplementasikan juga bersifat global. Lebih rinci kebijakan ini diturunkan ke
tingkat negara yang mengatur peran pemangku kepentingan di setiap bidang.
UNFCCC pada dasarnya adalah kesepakatan negara-negara dalam upaya
menekan emisi gas buang, walaupun belum semua negara di dunia sepakat. Guna
mencapai tujuan dari Konvensi tersebut, pada tahun 1997 seluruh Negara
peratifikasi UNFCCC menyepakati ditetapkannya peraturan pelaksana Konvensi
dalam wujud Protokol Kyoto yang merupakan amandemen terhadap UNFCCC
yang menyepakati pengikatan kewajiban negara-negara maju untuk mengurangi
emisi gas rumah kaca mereka.
Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) menyatakan: "Protokol Kyoto adalah
sebuah persetujuan di mana negara-negara industri maju akan mengurangi emisi
gas rumah kaca mereka secara kolektif sebesar 5,2% dibandingkan dengan tahun
1990 (namun yang perlu diperhatikan adalah, jika dibandingkan dengan perkiraan
jumlah emisi pada tahun 2010 tanpa Protokol, target ini berarti pengurangan sebesar
29%). Protokol menyebutkan bahwa seluruh negara maju peratifikasi Konvensi
wajib menurunkan emisi GRK mereka baik sendiri ataupun bersama-sama sebesar 5%
dari angka emisi di tahun 1990 dalam kurun waktu 2008 sampai dengan 2012 (pasal
3 ayat (1) Kyoto Protocol, 1997). Target penurunan emisi GRK ini dikenal
dengan istilah 1st Commitment Period of Kyoto Protocol.
2. Kebijakan Tingkat Nasional
Pada 2009 pula Pemerintah menerbitkan Undang-Undang Nomor 31
Tahun 2009 tentang Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (UU MKG). Dalam
UU MKG tersebut diatur mengenai perubahan iklim dimana setiap instansi
pemerintah sesuai dengan kewenangannya wajib melaksanakan mitigasi dan
adaptasi perubahan iklim. Dengan demikian, aktivitas mitigasi dan adaptasi
merupakan suatu upaya yang bersifat wajib untuk dilakukan oleh pemerintah
Indonesia. Pada tahun yang sama, telah diterbitkan pula Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH)
yang juga mengatur serangkaian kebijakan terkait perubahan iklim yang harus
dilakukan oleh pemerintah untuk selanjutnya diarus-utamakan ke dalam berbagai
kebijakan pembangunan nasional.
Pada tahun 2010, Pemerintah melalui Kementerian Kehutanan
mengeluarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 30 Tahun 2009 Tentang
Tata Cara Pengurangan Emisi Dari Deforestasi Dan Degradasi Hutan (REDD)
yang bertujuan untuk menekan terjadinya deforestasi dan degradasi hutan dalam
rangka mencapai pengelolaan hutan berkelanjutan dan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat sehingga dapat menekan pelepasan emisi GRK dari bidang
Kehutanan.
Pada tahun 2011, Pemerintah memperkuat pelaksanaan REDD ini dengan
menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 10 Tahun 2011 Tentang Penundaan
Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan
Lahan Gambut, guna menyeimbangkan dan menselaraskan pembangunan
ekonomi, sosial, budaya dan lingkungan serta upaya penurunan Emisi GRK
yang dilakukan melalui penurunan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan.
Selanjutnya pada tahun 2011 Pemerintah Indonesia kembali mengeluarkan
peraturan tentang lingkungan dalam bentuk Keputusan Presiden (Keppres), yakni
Keppres Nomor 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi
Gas Rumah Kaca (RAN-GRK); dan Keppres Nomor 71 Tahun 2011 tentang
Penyelenggaraan Inventarisasi Gas Rumah Kaca Nasional. Keduanya ditujukan
sebagai dasar pelaksanaan upaya mitigasi perubahan iklim nasional sehingga
diharapkan Indonesia sebagai negara peratifikasi UNFCCC dapat berkontribusi
menurunkan emisi GRK sebesar 26% dengan biaya sendiri dan tambahan
penurunan emisi GRK sebesar 15% dengan bantuan asing dibandingkan dengan
kondisi emisi GRK nasional tanpa intervensi kebijakan mitigasi perubahan iklim
pada tahun 2020 (business as usual/BAU).
Selanjutnya, di tahun 2013, Pemerintah melalui Kementerian Lingkungan
Hidup menerbitkan Peraturan Menteri LH Nomor 15 Tahun 2013 Tentang
Pengukuran, Pelaporan dan Verifikasi Aksi Mitigasi Perubahan Iklim. Peraturan
Menteri tersebut ditujukan untuk menjamin capaian aksi mitigasi perubahan iklim
yang dilakukan dapat terlaporkan secara akurat, transparan dan dipertanggung-
jawabkan sesuai dengan metode pengukuran, pelaporan dan verifikasi yang dapat
diterima di tingkat nasional dan internasional. Indonesia sendiri melalui RPJMN
2015-2019 menargetkan angka penurunan emisi GRK sebesar 26% dengan
pembiayaan sendiri, serta 41% jika mendapat bantuan asing di than 2020.
Sedangkan dalam COP-21 Paris, melalui INDC Indonesia menetapkan target
penurunan emisi karbon sebesar 29% serta 41% pada tahun 2030.
3. Rencana Aksi Nasional Penanganan Perubahan Iklim
Sebagai langkah awal dalam memberi arah pembangunan yang berkelanjutan
serta bervisi rendah emisi, maka Pemerintah RI pada tahun 2007 melalui
Kementerian Negara Lingkungan Hidup (kala itu) meluncurkan dokumen Rencana
Aksi Nasional dalam Menghadapi Perubahan Iklim (RAN-MAPI). AN MAPI sudah
berisi tentang rencana aksi baik mitigasi dan adaptasi perubahan iklim dari
beberapa bidang walau belum terlalu detail targetnya. Upaya mitigasi diuraikan
seperti untuk bidang energi, perubahan lahan dan perubahan lahan kehutanan
(LULUCF), kelautan dan perikanan. Sedangkan upaya rencana 13 adaptasi
meliputi bidang sumberdaya air, pertanian, kelautan dan perikanan, infrastruktur,
kesehatan dan kehutanan dan keanekaragaman hayati.
RAN MAPI bisa disebut sebagai dokumen tonggak awal kepedulian Pemerintah
RI dalam hal menyusun rencana dalam merespon perubahan iklim. Dalam
perkembangannya karena Presiden RI telah menetapkan angka penurunan emisi
sebesar 26% dan 41% pada 2020, maka dasar inilah yang akan menjadi kebijakan
utama pemerintah dalam perubahan iklim.
Melalui Perpres no.61 tahun 2011 maka ditetapkanlah Rencana Aksi Nasional
penurunan emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK). Pola kebijakan dalam penanganan
perubahan iklim di Indonesia yang bertumpu pada roadmap sektoral baik
mitigasi maupun adaptasi. Namun yang tidak kalah penting sebelum melakukan
mitigasi dalam upaya pengurangan emisi, Indonesia juga telah melakukan inventori
emisi GRK pada beberapa bidang.
4. Inventarisasi Emisi Gas Rumah Kaca (GRK)
Salah satu faktor penting dalam negosiasi internasional terkait upaya
penurunan emisi GRK adalah keberadaan data emisi GRK tiap negara baik di masa 14
lalu, masa kini dan perkiraan masa datang. Untuk itu inventarisasi emisi GRK secara
nasional menjadi penting setidaknya untuk dapat diketahui posisi kita dalam daftar
emitor di dunia serta mempersiapkan target penurunan sesuai kemampuan. Data
emisi juga penting sebagai counter bagi kemungkinan tuduhan terkait urutan
negara pengemisi besar khususnya dari lahan gambut misalnya.
Sebagai hasil studi, SNC (Second National Communication)
tidak saja menyampaikan hasil inventarisasi emisi GRK tetapi juga berbagai data
tentang dampak perubahan iklim seperti ketahanan pangan, penyakit, energi serta
dampak sosial ekonomi serta berbagai upaya yang harus dilakukan melalui mitigasi
dan adaptasi tiap sektor. Hal terpenting dalam kaitan mitigasi dan adaptasi
perubahan iklim ini adalah bagaimana mengintegrasikan setiap rencana tersebut
ke dalam rencana besar pembangunan nasional melalui sebuah roadmap.
5. Rencana Aksi Nasional Adaptasi Perubahan Iklim
Salah satu upaya dalam penanggulangan perubahan iklim nasional selain
menetapkan RAN-GRK, Pemerintah RI juga mengeluarkan Rencana Aksi
Nasional Adaptasi Perubahan Iklim (RAN-API). Maksud dari penyusunan RAN-API
ini adalah menghasilkan sebuah rencana aksi nasional untuk beradaptasi terhadap
dampak perubahan iklim, yang terkoordinasi secara terpadu dengan semua
pemangku kepentingan yang terlibat, baik dari pemerintah, organisasi
kemasyarakatan, masyarakat, swasta, dan lain lain. Tujuan utama dari adaptasi
perubahan iklim adalah terselenggaranya sistem pembangunan yang berkelanjutan
dan memiliki ketahanan (resiliensi) tinggi terhadap dampak perubahan iklim.
Tujuan utama tersebut akan dicapai dengan membangun ketahanan ekonomi,
ketahanan tatanan kehidupan, baik secara fisik, maupun ekonomi dan sosial, dan
menjaga ketahanan ekosistem serta ketahanan wilayah khusus seperti pulau-pulau
kecil untuk mendukung sistem kehidupan masyarakat yang tahan terhadap
dampak perubahan iklim.
Dengan demikian pengertian adaptasi perubahan iklim dapat dikatakan sebagai
upaya untuk meningkatkan ketahanan (resiliensi) suatu sistem terhadap dampak
perubahan iklim. Sehingga adaptasi perubahan iklim di Indonesia diarahkan
sebagai:
1. Upaya penyesuaian dalam bentuk strategi, kebijakan,
pengelolaan/manajemen, teknologi dan sikap agar dampak (negatif) perubahan
iklim dapat dikurangi seminimal mungkin, dan bahkan jika memungkinkan
dapat memanfaatkan dan memaksimalkan dampak positifnya.
2. Upaya mengurangi dampak (akibat) yang disebabkan oleh perubahan iklim,
baik langsung maupun tidak langsung, baik kontinu maupun diskontinu dan
permanen serta dampak menurut tingkatnya. Upaya ini dapat dilakukan dengan
meningkatkan kesadaran public terhadap perubahan iklim dan mengubah pola
hidup kita. Berikut adalah beberapa tips yang dikutip dari UN Conference on
Climate Change:
 Gunakan peralatan yang hemat energi
 Matikan alat elektronik (hindari standby mode) dan lampu jika tidak
digunakan
 Hindari penggunaan heater atau AC yang berlebihan dan tetapkan suhu
sesuai kebutuhan
 Jika memungkinkan, kurangi penggunaan alat-alat elektronik seperti HP
dan komputer
 Jangan boros air
 Bersepeda, carpooling, atau gunakan transportasi publik
 Daur ulang sampah dan kurangi penggunaan barang-barang sekali pakai
(minuman kemasan, sumpit, dan lain-lain)
 Kurangi penggunaan kertas dan plastik
 Ubah pola makan (kurangi mengkonsumsi daging)
Dengan memperhatikan sektor-sektor dan aspek pembangunan yang terkena
dampak perubahan iklim dapat dikatakan bahwa untuk memastikan pencapaian
sasaran pembangunan nasional dengan adanya dampak perubahan iklim
diperlukan ketahanan di bidang ekonomi, sosial dan lingkungan.
Selain itu, mengingat bahwa negara Indonesia merupakan negara kepulauan yang
rentan terhadap perubahan iklim diperlukan pula ketahanan di wilayah husus
seperti pulau-pulau kecil, pesisir dan perkotaan. Untuk itu, dalam kaitan ini, Sasaran
Strategis RAN-API diarahkan untuk: (i) membangun ketahanan ekonomi, (ii)
membangun tatanan kehidupan (sosial) yang tangguh terhadap dampak perubahan
iklim (ketahanan sistem kehidupan), (iii) menjaga keberlanjutan layanan jasa
lingkungan ekosistem (ketahanan ekosistem) dan (iv) penguatan ketahanan
wilayah khusus di perkotaan, pesisir dan pulau-pulau kecil. Untuk mendukung
penguatan-penguatan di berbagai bidang tersebut, dibutuhkan sistem pendukung
penguatan ketahanan nasional menuju sistem pembangunan yang berkelanjutan
dan tangguh terhadap perubahan iklim.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Global change (perubahan global) diartikan sebagai perubahan lingkungan secara
menyeluruh, meliputi perubahan iklim, perubahan kondisi atmosfer di udara, perubahan
kondisi lahan dan sistem ekologi yang mempengaruhi kehidupan dan pemenuhan
kebutuhan di bumi.

Terdapat 3 faktor utama dalam peradaban yang menyebabkan perubahan iklim


global, yaitu ledakan penduduk (over population), revolusi ilmu dan teknologi (revolusi
industry), dan perilaku manusia atau pola pikir manusia yang masih bersifat over
konsumsi.

Dampak dari perubahan iklim, antara lain: lapisan es kutub mulai hilang dan
permukaan laut naik, gletser menghilang & suplai air terganggu, laut menghangat, badai
& angina topan meningkat, daratan menghangat, kekeringan & kelaparan meningkat,
lebih banyak serangga & penyakit, kota besar jadi lebih sering banjir, kebakaran hutan
meningkat, sepertiga spesies hewan akan punah, dan pemutihan koral yang
mempengaruhi ekosistem laut.

Upaya mengurangi dampak (akibat) yang disebabkan oleh perubahan iklim,


baik langsung maupun tidak langsung, baik kontinu maupun diskontinu dan
permanen serta dampak menurut tingkatnya. Upaya ini dapat dilakukan dengan
meningkatkan kesadaran public terhadap perubahan iklim dan mengubah pola hidup kita.
Berikut adalah beberapa tips yang dikutip dari UN Conference on Climate Change:
menggunakan peralatan yang hemat energy; mematikan alat elektronik (hindari standby
mode) dan lampu jika tidak digunakan; menghindari penggunaan heater atau AC yang
berlebihan dan tetapkan suhu sesuai kebutuhan; jika memungkinkan, kurangi
penggunaan alat-alat elektronik seperti HP dan computer; jangan boros air; bersepeda,
carpooling, atau gunakan transportasi public; daur ulang sampah dan kurangi
penggunaan barang-barang sekali pakai (minuman kemasan, sumpit, dan lain-lain);
mengurangi penggunaan kertas dan plastic; dan mengubah pola makan (kurangi
mengkonsumsi daging)
DAFTAR PUSTAKA

http://eprints.undip.ac.id/37842/2/BAB_1.pdf. Diakses tanggal 12 November 2018

http://repository.unpas.ac.id/31696/2/BAB%20II.pdf. Diakses tanggal 12 November 2018

https://media.neliti.com/media/publications/3934-ID-perubahan-iklim-global-kesehatan-
manusia-dan-pembangunan-berkelanjutan.pdf. Diakses tanggal 12 November 2018

https://unfccc.int/files/meetings/cop_13/press/application/pdf/sekilas_tentang_perubahan_ikli
m.pdf. Diakses tanggal 12 November 2018

https://tirto.id/horor-ledakan-populasi-umat-manusia-b7Gn. Diakses tanggal 12 November


2018

https://www.ekuatorial.com/id/2010/10/pertumbuhan-penduduk-pengaruhi-perubahan-iklim/.
Diakses tanggal 12 November 2018

https://senawiratama.wordpress.com/2010/04/28/peranan-revolusi-industri-terhadap-
perubahan-iklim-dunia/. Diakses tanggal 12 November 2018

Baiquni, M. 2009. Revolusi Industri, Ledakan Penduduk dan Masalah Lingkungan.


Yogyakarta : Universitas Gadjah Mada

http://dangwebsite1.blogspot.com/2016/11/perilaku-manusia-yang-menyebabkan.html.
Diakses tanggal 12 November 2018

https://www.mongabay.co.id/2018/10/16/menguak-ketangguhan-terumbu-karang-karena-
perubahan-iklim/. Diakses tanggal 24 Januari 2019

https://tirto.id/kebakaran-hutan-mengintai-dunia-cQiB. Diakses tanggal 24 Januari 2019

https://beritagar.id/artikel/sains-tekno/seperempat-bagian-bumi-terancam-kekeringan.
Diakses tanggal 24 Januari 2019

https://kumparan.com/manik-sukoco/mengkaji-perubahan-iklim-bagian-ii. Diakses tanggal


24 Januari 2019

https://www.dw.com/id/pemanasan-global-picu-badai-makin-sering/a-19244472. Diakses
tanggal 24 Januari 2019

https://www.mongabay.co.id/2018/05/12/dampak-mengerikan-perubahan-iklim-tengah-
melanda-bumi/. Diakses tanggal 24 Januari 2019

https://lingkunganhidup.co/dampak-perubahan-iklim-dan-pemanasan-global/. Diakses
tanggal 24 Januari 2019

http://repository.unpas.ac.id/31696/2/BAB%20II.pdf. Diakses tanggal 24 Januari 2019


https://perspektifofficial.com/2016/08/21/dampak-perubahan-iklim/. Diakses tanggal 24
Januari 2019

Purwanta W. 2017. PENYUSUNAN STRATEGI ADAPTASI DAMPAK PERUBAHAN


IKLIM. Jakarta Pusat: BPPT PRESS

Anda mungkin juga menyukai