Anda di halaman 1dari 26

POLITIK LINGKUNGAN

“ Aksi Mencegah dan Mengurangi Dampak Perubahan Iklim dalam Tujuan Pembangunan
Berkelanjutan ”

Oleh :

Elsa Damayanti Darlin

(P032191009)

PROGRAM STUDI PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2019
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
berkat dan limpahan rahmat-Nya lah penulis dapat menyelesaikan sebuah makalah dengan tepat
waktu.
Berikut ini penulis mempersembahkan sebuah makalah dengan judul “Aksi Mencegah
Perubahan Iklim dan Dampaknya” yang menurut penulis dapat memberikan manfaat yang besar
bagi kita untuk mempelajarinya.
Melalui kata pengantar ini penulis lebih dahulu meminta maaf dan memohon
memaklumi bila mana isi makalah ini ada kekurangan dan ada tulisan yang penulis buat kurang
tepat atau menyinggung perasaan pembaca.
Dengan ini penulis mempersembahkan makalah ini dengan penuh rasa terima kasih dan
semoga Allah SWT memberkahi makalah ini sehingga dapat memberikan manfaat.

Makassar, Oktober 2019

Elsa Damayanti Darlin


DAFTAR ISI

Kata Pengantar
Daftar Isi
Daftar Tabel
Bab I Pendahuluan
1.1. Latar Belakang ………………………………………………………………………….
1.2. Rumusan Masalah ………………………………………………………………………
1.3. Tujuan…………………………………………………………………………………...
Bab II Pembahasan
2.1. Pengertian Perubahan Iklim dan Pentingnya Bagi Indonesia…………………………..
2.2. Status Perubahan Iklim…………………………………………………………………
2.3. Regulasi Indonesia Terkait Perubahan Iklim dan Prediksi Pencapainya ………………
2.4. Hubungan Antara Perubahan Iklim Dengan Rencana Perubahan Iklim ………………
Bab III Penutup
3.1. Kesimpulan …………………………………………………………………………….
3.2. Saran …………………………………………………………………………………...
Daftar Pustaka
I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pembangunan merupakan upaya setiap Negara untuk mewujudkan negara yang berdaulat,
kuat dan rakyat yang sejahtera. Undang -Undang Republik Indonesia Dasar Tahun 1945
mengamanatkan bahwa negara harus menyediakan penghidupan yang layak bagi warga negara,
untuk bertempat tinggal, mendapatkan lingkungan hidup yang baik, sehat, serta berhak
memperoleh pelayanan kesehatan dan akses pendidikan. Hal ini sejalan dengan peran aktif
Indonesia dalam setiap agenda pengendalian perubahan iklim sebagai amanat konstitusi.

Tujuan nasional 13 TPB adalah mengambil tindakan cepat untuk mengatasi perubahan
iklim. Dalam rangka mencapai tujuan nasional penanganan perubahan iklim pada tahun 2030,
ditetapkan 5 target yang diukur melalui 8 indikator. Target-target tersebut terdiri dari
pengurangan risiko bencana (PRB), pengurangan korban akibat bencana, serta adaptasi dan
mitigasi perubahan iklim. Upaya-upaya yang dilakukan untuk mencapai target-target tersebut
dijabarkan pada kebijakan, program dan kegiatan yang akan dilakukan oleh pemerintah maupun
nonpemerintah.

1.2. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut :

1. Apa yang dimaksud dengan Perubahan Iklim dan Pentingya Bagi Indonesia?

2. Bagaimana status global perubahan iklim dan pengaruhnya terhadap perkembangan perubahan
iklim di Indonesia?

3. Bagaimana regulasi terkait perubahan iklim dan prediksi pencapaian ?

4. Apa hubungan antara perubahan iklim dan rencana penelitian tesis?

1.3. Tujuan

Adapun tujuan dalam makalah ini adalah sebagai berikut :

1. Memberikan pemahaman mengenai Perubahan iklim dan pentingnya bagi Indonesia


2. Memberikan pemahaman mengenai status global perubahan iklim dan pengaruhnya terhadap
perkembangan perubahan iklim di Indonesia.

3. Memberikan pemahaman mengenai regulasi terkait perubahan iklim dan prediksi pencapainya.

4. Menjelaskan hubungan antara perubahan iklim dan rencana penelitian tesis


II. PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Perubahan Iklim

Salah satu isu permasalahan yang menjadi perhatian banyak pihak baik dari tingkat
nasional maupun internasional adalah permasalahan climate change (perubahan iklim).
perubahan iklim (climate change) adalah suatu perubahan perubahan pada iklim yang
dipengaruhi langsung atau tidak langsung oleh aktivitas manusia yang mengubah komposisi
atmosfer, yang akan memperbesar keragaman iklim teramati pada periode yang cukup panjang
(Trenberth et al, 1995 dalam IPCC, 2007).

Perubahan iklim berdasarkan definisi dari Kementerian Lingkungan Hidup adalah


berubahnya kondisi fisik atmosfer bumi antara lain suhu dan distribusi curah hujan yang
membawa dampak luas terhadap berbagai sektor kehidupan manusia (Kementerian Lingkungan
Hidup 2001).

Perubahan iklim menimbulkan persoalan yang kompleks bagi pemerintah dan program-
program pembangunan, antara lain karena beragamnya pemangku kepentingan yang terlibat,
perbedaan definisi konseptual, banyaknya data serta proses penafsiran yang harus dilakukan, dan
luasnya spektrum pilihan adaptasi yang tersedia. Sekalipun amat kompleks, mengintegrasikan
variabel-variabel perubahan iklim ke dalam program perencanaan dan investasi amatlah penting
untuk dilakukan oleh badan-badan pemerintahan dan penyedia layanan (USAID, 2012)

Perubahan iklim (climate change) merupakan salah satu dampak dari pemanasan global
yang mempengaruhi suhu lingkungan. Kenaikan suhu tersebut mungkin tidak terlihat terlalu
tinggi, tetapi di negara tertentu seperti Indonesia, kenaikan itu dapat memberikan dampak yang
signifikan. Manusia telah demikian rentan terhadap berbagai macam ancaman yang berkaitan
dengan iklim seperti banjir, kemarau panjang, angin kencang, longsor, dan kebakaran hutan
(Lailaty, 2015).

Perubahan iklim terutama disebabkan oleh meningkatnya konsentrasi CO2 dan GRK
lainnya. Meningkatnya konsentrasi CO2 dan GRK lainnya tersebut diketahui merupakan akibat
dari sejumlah aktivitas antropogenik, tetapi terutama akibat dari pembakaran bahan bakar fosil
dalam produksi energi dan kegiatan alih guna laban. Semakin tinggi kebutuhan untuk
meningkatkan kualitas hidup, semakin besar pula aktivitas industri, pembalabn bulan, pertanian,
rumah tangga, dan aktivitas lain yang melepaskan GRK. Ketika revolusi industri baru dimulai
sekitar tabun 1850, konsen1rasi C~, salah satu GRK penting, di atmosfer baru 290 ppmv (part
per million by volume), saat ini konsentrasi CO2 tersebut telah mencapai 350 ppmv. Jika pola
konsumsi, gaya hidup, dan pertumbuhan penduduk tidak berubah, 100 tabun yang akan datang
konsen1rasi CO2 diperkirakan akan meningkat menjadi dua kali Iipat dari jaman pra industri,
yaitu sekitar 580 ppmv. Panel Antarpemerintab tentang Perubaban Iklim (Intergovernmental
Panel on Climate Change atau IPCC) memperkirakan konsentrasi GRK seperti pada tabel 1.

Tahu Penduduk Dunia O3 Konsentrasi Perubahan Status Kenaikan Muka


n (Milyar) Permukaan CO2 (ppm) Global (°C) Air Laut (cm)
1990 5.3 - 354 0 0
2000 6.1 -6.2 40 367 0.2 2
2050 8.4 - 11.3 ˜60 463-623 0.8-2.6 5-32
2100 7.0 -15.1 > 70 478-1009 1.4 - 5.8 9-88

Sumber :IPCC, 2000


CO2 adalah GRK terpenting yang memberikan kontribusi terbesar dalam meningkatnya
faktor radiatif. CO2 bertanggung jawab atas 83% penyebab radiatif dari GRK pada' 1994
sedangkan methan memberikan kontribusi sebesar 15%. Kontribusi gas-gas lain dianggap tidak
signifikan.
Sebenamya GRKseperti karbon dioksida (C02), metana (CHe), nitrous oksida (N20) dan
uap air (H20) yang terdapat di alam secara alami menyerap radiasi panas yang diterima Bumi di
atmosfer bagian bawah. Tanpa GRK alami suhu Bumi akan 34°C lebih dingin dari yang kita
alami sekarang. Tetapi sejalan dengan aktivitas manusia yang makin tinggi emisi GRK juga
meningkat dengan tajam. Akumulasi peningkatan GRK antropogenik secara umum telah
meningkatkan konsentrasi GRK. Dalam jangka panjang suhu Bumi akan cenderung semakin
panas dari suhu yang seharusnya jika usaha menurunkan dan menstabilkan emisi GRK tidak
segera dilakukan. H20 sebenamya adalah GRK yang paling potensial tempi tidak diperhitungkan
sebagai GRK yang efektif dan tidak dipergunakan dalam prediksi perubahan iklim karena
keberadaan atau masa hidup H20 sangat singkat (9,2 hari). Sementara itu CO2, CHe, dan N20
masa hidupnya di atmosfer cukup lama, yaitu berturut-turut adalah 100, 15, dan 115 tabun.
Karena masa tinggal di atmosfer yang cukup lama tersebut maka meskipun emisi telah
diturunkan sekarang, akibat dari akumulasi GRK yang telah ada masih tetap akan dirasakan
untuk jangka waktu yang lama, puluhan bahkan ratusan tabun. Pada tabel 3 juga terlihat bahwa
meskipun konsentrasi dan laju pertumbuhan CHe dan N20 relatif rendah, kemampuan
memperkuat radiasi (radiative forcing) gelombang pendek menjadi gelombang panjang yang
be~sifat panas jauh lebih besar dibanding C02 yang konsentrasi dan pertumbuhannya jauh lebih
besar. Kedua GRK tersebut masingmasingn mampu memperkuat radiasi sekitar 20 dan 200 kali
kemampuan C~. Hal ini berarti bahwa kenaikan yang sekecil apapun dari kedua GRK. tersebut
harus tetap dikendalikan.
Tabel 2. Karakteristik Gas Rumah Kaca Utama
Karakteristik CO2 (ppm) CH4 (ppbv) NO2 (ppbv)
Konsentrasi pada pra industri 290 700 275
Konsentrasi pada 1992 355 1714 311
Konsentrasi pada 1998 360 1745 314
Laju pertumbuhan per tahun 1.5 7 0.8
Persen pertumbuhan per tahun 0.4 0.8 0.3
Masa hidup (tahun) 5-200 12-17 114
Sumber : (Harmoni, 2005)
Keterangan : ppmv = part per million by volume
ppbv = part per billion by volume

Masih terdapat ketidakpastian i1miah substansial tentang sifat dan besarnya perubahan
iklim yang mungkin terjadi atas kenaikan konsentrasi CO2 di atmosfer. Setiap peneliti
menggunakan berbagai asumsi yang berbeda untuk parameter perubahan iklim yang teljadi untuk
mengetabui dampak yang ditimbulkannya. Beberapa mendasarkan perhitungan pada proyeksi
menggunakan General Circulation Model (GCM) pada keseimbangan jangka panjang terhadap
kenaikan CO2, sebagian mengasumsikan pada perubahan temperatur, curah hujan, dan variabel-
variabel lainnya. Tetapi pada umumnya terdapat konsensus diantara para i1muwan, bahwa
kenaikan konsentrasi GRK. di atmosfer akan menyebabkan kenaikan yang sangat signifikan
terhadap rata-rata temperatur tabunan (Harmoni, 2005).
Menurut studi yang dilakukan Hulme dan Nicola (1999), suhu udara di Indonesia
meningkat sebesar O,3°C per tabun sejak tahun 1990. Dekade 1990-an adalah dekade terhangat
dan tabun 1998 tercatat sebagai tabun terhangat, yaitu 1°C di atas rata-rata tabun 1961-1990.
Peningkatan suhu teljadi sepanjang musim. Curah hujan berkurang 2 hingga 3 % terutama pada
bulan Desember - Februari. Curah hujan di berbagai tempat di Indonesia sangat dipengaruhi oleh
kejadian EI Nino, sedangkan sebagian besar kekeringan teljadi selama kejadian ENSO (El Nino-
Southem OsciJation) pada tahun 1982,1983, 19861,1981, dan 1991, 1998

2.2. Perubahan Iklim di Indonesia

Laporan Kajian IPCC yang ke-5 menyatakan bahwa PI akan tetap berlangsung bahkan
meningkat sehingga berdampak terhadap kondisi sosial-ekonomidan lingkungan (IPCC, 2014).
Negara berkembang sangat terdampak karena faktor keterpaparan secara geografis,
ketergantungan pada sektor yang sensitif terhadap iklim, pendapatan rendah, dan kapasitasnya
dalam melakukan adaptasi yang rendah (Stern, 2008). Kondisi tersebut menyebabkan negara
berkembang sangat rentan dari berbagai dampak PI dan cuaca ekstrim.
Indikasi terjadinya PI di Indonesia dapat dilihat dari adanya peningkatan cuaca ekstrim
(banjir dan kekeringan), peningkatan suhu udara, maju mundurnya musim, dan perubahan
jumlah volume hujan (Aldrian dkk, 2011). Salah satu penyebab meningkatnya kejadian banjir
dapat dilihat dari pengamatan di Stasiun Meteorologi Hasanudin (Makassar), dimana intensitas
hujan 20 mm/hari meningkat sebesar 0,05% per tahun. Indikasi lainnya adalah secara umum
suhu di Indonesia baik suhu minimum, rata-rata, dan maksimum memiliki tren yang meningkat
sebesar 0.03 °C per tahun (BMKG, 2018).
Menurut Aldrian dkk (2011), indikasi dan dampak PI di Indonesia juga telah dirasakan
baik secara langsung (fisik) maupun secara tidak langsung (nonfisik). Secara fisik, indikasi dan
dampak PI telah dirasakan oleh berbagai lapisan masyarakat yang meliputi:
(1). Peningkatan intensitas curah hujan menyebabkan perubahan ketahanan dari berbagai
komoditas pertanian khas tropis;
(2). Anomali iklim dan musim menyebabkan berbagai macam dampak, yaitu penurunan
produksi pertanian/perkebunan/perikanan, gangguan transportasi maupun gangguan pada
beberapa spesies hewan dan tumbuhan;
(3). Meningkatnya kekeringan memicu kasus kebakaran hutan di beberapa wilayah di Indonesia;
(4). Peningkatan temperatur permukaan menimbulkan perbedaan tekanan udara antar tempat
sehingga memicu kenaikan frekuensi kejadian angin puting beliung;
(5). Kejadian iklim ekstrim, di saat El- Nino maka kekeringan mengancam areal pertanian;
sebaliknya di saat La Nina sering mengakibatkan banjir; dan (6). Terjadinya rob yaitu muka
laut meluber ke daratan akibat gelombang pasang.

Indonesia sebagai negara yang luas yang terdiri dari beberapa kepulauan baik besar
maupun kecil dan sebagai negara dengan jumlah penduduk yang banyak sangat rentan terhadap
dampak perubahan iklim diberbagai sector. Adapun kerentanan terhadap dampak untuk masing-
masing sector tersebut adalah sebagai berikut.

a. Sektor Pertanian

Iklim telah mengalami perubahan dengan indikator seperti kenaikan suhu udara,
perubahan lama musim hujan/kemarau, pergeseran waktu musim hujan, peningkatan muka air
laut, dan peningkatan kejadian iklim ekstrim (IPCC 2007, UNFCCC 2007). Adanya perubahan
iklim tersebut mengancam sistem produksi tanaman padi dan oleh karena itu juga mengancam
mata pencaharian dan ketahanan pangan untuk jutaan orang yang bergantung pada pertanian.
Pengaruh perubahan iklim terhadap sektor pertanian di Indonesia sudah terasa dan menjadi
kenyataan. Perubahan ini diindikasikan antara lain oleh adanya bencana banjir, kekeringan
(musim kemarau yang panjang), dan bergesernya musim hujan (Indonesia Country Study on
Climate Change 1998; Aldrian 2007). Dalam beberapa tahun terakhir ini pergeseran musim
hujan menyebabkan bergesernya musim tanam dan panen komoditi pangan (padi dan palawija).
Sedangkan banjir dan kekeringan menyebabkan gagal tanam, gagal panen, dan bahkan
menyebabkan puso (Boer & Faqih 2004).

Perubahan iklim mengancam sistem produksi tanaman padi dan oleh karena itu juga
mengancam mata pencaharian dan ketahanan pangan untuk jutaan orang yang bergantung pada
pertanian. Bukti menunjukkan bahwa populasi yang terpinggirkan akan menderita luar biasa
akibat dampak perubahan iklim dibandingkan dengan populasi kaya, seperti negara-negara
industri (IPCC 2007). Tidak hanya wilayah-wilayah relatif miskin akan mengalami dampak lebih
parah, tetapi juga mereka yang sering kekurangan sumber daya untuk menyiapkan dan mengatasi
risiko lingkungan. Pertanian adalah sektor yang paling rentan terhadap perubahan iklim karena
ketergantungan tinggi pada iklim dan cuaca dan juga karena orang yang terlibat di sektor
pertanian cenderung lebih miskin dibandingkan dengan rekan-rekan mereka di kota (Ministry of
Environment 2007; Ministry of Environment 2012; Ministry of Environment 2012).

Perubahan iklim di wilayah Indonesia telah terjadi dan menimbulkan ancaman besar bagi
sistem pertanian (terutama tanaman pangan padi dan palawija) seperti telah ditunjukkan oleh
hasil penelitian Ruminta dan Handoko (2012). Hasil penelitian pengaruh perubahan iklim
tersebut menunjukkan bahwa di beberapa tempat seperti di wilayah Sumatera Selatan
menunjukkan telah terjadi peningkatan suhu udara sebesar 0,4–0,6 C. Sementara itu, curah hujan
mengalami penurunan sebesar 0–197 mm di wilayah tersebut. Adanya perubahan curah hujan
dan suhu udara tersebut berpengaruh juga terhadap perubahan hitergraf dan klasifikasi Oldeman
di wilayah tersebut yang cenderung bersifat lebih kering. Perubahan iklim tentu mempunyai
dampak yang signifikan terhadap ketersediaan air tanaman, musim tanam, awal tanam, dan
teknik budi daya padi pada suatu lahan.

Sementara itu hasil penelitian perubahan iklim di Wilayah Malang Raya, Jawa Timur
menunjukkan bahwa suhu udara meningkat sebesar 0,7–0,8ºC dan curah hujan menurun sebesar
0–550 mm. Pola hitergraf di wilayah Malang Raya juga mengalami perubahan atau pergeseran.
Demikian juga klasifikasi Oldeman di wilayah tersebut juga mengalami perubahan umumnya
dari kelas C3 menjadi C2 (Ruminta & Handoko 2012).

Hasil penelitian perubahan lainnya yang dilakukan oleh Syahbuddin et al. (2004) di 13
stasiun Klimatologi, menegaskan bahwa telah terjadinya perubahan iklim di Indonesia, di mana
terdapat tendensi terjadinya peningkatan jumlah curah hujan tahunan di wilayah timur Indonesia,
berkisar antara 490 mm/tahun (Sulawesi Selatan) hingga 1.400 mm/tahun (Jawa Timur), dan
peningkatan suhu siang dan malam hari antara 0,5–1,1ºC dan 0,6–2,3ºC. Sedangkan di wilayah
barat Indonesia terjadi sebaliknya, di mana terdapat tendensi penurunan curah hujan tahunan
sekitar 135–860 mm/tahun, dengan peningkatan suhu siang dan malam hari antara 0,2–0,4ºC dan
0,2–0,7ºC. Sejalan dengan data di atas, tanda-tanda terjadinya perubahan iklim global tersebut
juga terlihat dari makin cepatnya periode El-Ninomenerpa Indonesia yang semula terjadi untuk
5–6 tahun sekali, menjadi 2–3 tahun sekali (Mantom et al. 2001).

Kajian dampak dari perubahan iklim terhadap pertanian terdiri atas tiga analisis, yaitu
analisis kejadian bahaya (hazard), kerentanan (vulnerability), dan tingkat risiko (risk). Bahaya,
yakni bahaya dari perubahan iklim, yaitu potensi penurunan produksi tanaman padi sebagai
akibat penurunan produktivitas, gagal tanam, gagal panen, dan penurunan luas lahan. Kerentanan
adalah tingkat kemampuan suatu individu atau kelompok masyarakat, komunitas dalam
mengantisipasi, menanggulangi, mempertahankan kelangsungan hidup, dan menyelamatkan
diridari dampak yang ditimbulkan oleh bahaya (hazard) secara alamiah. Tingkat risiko adalah
besarnya risiko yang ditimbulkan oleh perubahan iklim tersebut terhadap penurunan produksi
tanaman padi yang berimplikasi terhadap pasokan pangan dan ketahanan pangan.

b. Sektor Kelautan (Pesisir)

Ekosistem pesisir merupakan ekosistem sangat unik karena di tempat ini tiga komponen
planit bumi bertemu; hidrosfir, litosfir dan biosfir (Pallewatta, 2010). Keunikan lain dari
kawasan ini adalah terdapatnya beberapa habitat yang sangat produktif seperti estuari, laguna,
lahan basah dan karang tepi (Clark, 1995). Keunikan kawasan ini menghasilkan berbagai sektor
bernilai komesial tinggi, seperti pangan, pemukiman, parawisata, perikanan dan industri.
Perputaran roda ekonomi dari sektor-sektor tersebut menyebabkan terjadinya peningkatan
populasi yang sangat cepat di wilayah ini. Di berbagai Negara, wilayah pesisir merupakan
wilayah yang lebih cepat berkembang, baik dalam tingkat perekonomian maupun tingkat
populasinya. Pallewatta (2010) menyebutkan hampir separuh dari kota-kota besar dunia berada
dalam jarak 50 kilometer dari daerah pesisir, dan kepadatan populasi di daerah ini dapat
mencapai 2,6 kali lebih padat dari seluruh pulau tersebut.

Masyarakat pesisir sudah beradaptasi terhadap berbagai perubahan yang terjadi di


wilayah pesisir sepanjang masa berkembangnya komunitas tersebut, namun perubahan iklim
akan menyebabkan perubahan yang berbeda baik terhadap dinamika pesisir maupun terhadap
perubahan muka laut yang dramatis. Dari berbagai fakta di lapangan dan hasil prediksi berbagai
model fisis, terbangun sebuah asumsi bahwa perubahan sifat fisis perairan pesisir akan
berlangsung secara bertahap dan bersifat moderat. Dalam laporan asesmen IPCC ke 4 (2007)
menyebutkan bahwa perubahan muka laut rata-rata selama abad 20 adalah 0,17 (0,12-1,22)
meter dan diproyeksikan akan meningkat hingga 0,59 (0,18-0,59) meter pada tahun 2100.
Ketinggian muka laut rata-rata 0,59 meter tersebut merupakan batas pasang tertinggi saat ini dan
ketinggian air saat terjadi badai. Fakta tersebut menunjukkan bahwa kenaikan muka laut rata-rata
yang telah diprediksikan tersebut akan menjadi ancaman bagi hampir semua lahan pesisir
terutama yang berelevasi rendah. Sedangkan SRES (Special Report on Emissions Scenarios)
(IPCC, 2001) memprediksikan kenaikan muka laut hingga mencapai nilai ekstrim yakni 0,8
meter pada tahun 2095. Keadaan ini mengharuskan pihak-pihak pemangku kepentingan untuk
melakukan pendekatan yang memadai untuk menghadapi berbagai kemungkinan di abad
mendatang (Cartwright, 2008).

Wilayah pesisir merupakan laboratorium untuk menguji konsep yang baru karena
dibandingkan dengan berbagai dampak lainnya, kenaikan muka laut merupakan dampak
perubahan iklim yang dapat dipahami dan dirasakan secara langsung (Klein, 2002). Dalam
prespektif oseanografi, wilayah pesisir adalah wilayah yang paling rawan terhadap perubahan
iklim. Banjir pasang (penggenangan), banjir, abrasi/erosi dan intrusi air laut adalah beberapa
aspek yang mengancam wilayah pesisir, yang akan menimbulkan kerugian.

Sebagai negara berkembang yang berbentuk kepulauan dan berada di daerah tropis,
Indonesia sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim. Bappenas (2011) melaporkan bahwa
perubahan iklim dunia telah memberikan dampak di berbagai sek-tor secara langsung maupun
tidak langsung di Indonesia. Di sektor kelautan dan perikanan, dilaporkan bahwa pada tahun
2005 hingga 2007, Indonesia telah kehilangan 24 pulau kecil.

Nelayan merupakan salah satu golongan masyarakat yang kelangsungan hidupnya sangat
bergantung pada kondisi iklim. Perubahan iklim global yang terjadi dewasa ini harus diakui
membawa dampak baik secara langsung maupun tidak kepada kehidupan nelayan. Dampak yang
langsung terasa adalah naiknya permukaan air laut yang akan menggenangi wilayah pesisir
sehingga akan menghancurkan tambaktambak ikan dan udang di beberapa wilayah pesisir di
Indonesia, termasuk di Aceh (UNDP 2007). Akibat pemanasan global pada tahun 2050 akan
mendegradasi 98 persen terumbu karang dan 50% biota laut. Gejala ini sebetulnya sudah terjadi
di kawasan Delta Mahakam Kalimantan Timur, apabila suhu air laut naik 1,50C setiap tahunnya
sampai 2050 akan memusnahkan 98% terumbu karang. di Indonesia kita tak akan lagi menikmati
lobster, cumi-cumi dan rajungan. Di Maluku, nelayan amat sulit memperkirakan waktu dan
lokasi yang sesuai untuk menangkap ikan karena pola iklim yang berubah.

Aspek penting lainnnya dampak perubahan iklim pada sektor kelautan dan perikanan
yaitu tekanan terhadap komunitas pesisir, ketahanan pangan, dan kenyamanan wilayah. Pada
aspek komunitas dan kenyamanan wilayah pesisir, perubahan iklim telah mempengaruhi
perekonomian nelayan di antaranya meningkatnya bencana badai, air pasang, gelombang tinggi
yang kesemuanya telah mempengaruhi menghambat aktivitas nelayan terutama nelayan
perikanan tangkap yang akhirnya mempenguruhi penghasilan untuk membiayai kebutuhan
keluarga nelayan. Industri perikanan ini merupakan salah satu kompenen penting yang terkait
dengan perubahan iklim secara global. Secara umum, perikanan dapat dikategorikan dalam
perikanan rakyat, perikanan komersil dan perikanan rekreasi. Ketiga kategori ini akan terkena
dampak baik secara langsung maupun tidak langsung dari perubahan iklim secara global. Pada
akhirnya akan berpengaruh pada kondisi social dan ekonomi masyarakat. Apabila terjadi
perubahan pada stock ikan dilaut hal ini secara langsung akan berpengaruh pada situasi
ketahanan pangan baik secara nasional maupun daerah (Listriana dan Roesa, 2015).

c. Sektor Kehutanan

Indonesia sebagai negara kepulauan lebih rentan terhadap dampak perubahan iklim yang
berakibat pada perubahan cuaca dan bencana alam. Namun hal ini tidak menyurutkan komitmen
Indonesia untuk menurunkan tingkat emisi Gas Rumah Kaca (GRK) pada berbagai sektor
termasuk kehutanan. Walaupun terbukti memiliki peran sebagai penyerap GRK, kehutanan
berhadapan dengan isu emisi akibat deforestasi dan degradasi hutan.

Laporan Kajian Keempat yang disiapkan oleh Panel antar Pemerintah mengenai
Perubahan Iklim (Parry et al. 2007) menunjukkan bahwa bila suhu global rata-rata meningkat
hingga lebih dari 1,5-2,5º, diproyeksikan akan ada perubahan yang besar pada iklim lokal berupa
perubahan pada rata-rata dan kisaran suhu, curah hujan dan kejadian-kejadian ekstrim (lihat
lampiran). Perubahan iklim dan konsentrasi karbon dioksida akan mempengaruhi struktur dan
fungsi ekosistem, interaksi ekologi antar spesies dan sebaran geografi spesies, dengan
konsekuensi keragaman hayati (Malcolm et al. 2006) serta jasa-jasa ekosistem.

Dalam abad ini, banyak ekosistem, termasuk hutan tropis, sepertinya dipengaruhi
kombinasi perubahan iklim yang belum pernah terjadi sebelumnya, gangguan yang terkait
(contohnya: banjir, kekeringan, kebakaran hutan atau semak, serangan serangga), dan penggerak
perubahan global lainnya (contohnya: perubahan tata guna lahan, polusi, eksploitasi sumberdaya
alam secara berlebihan).
Efek perubahan iklim terhadap sistem ekologi telah diamati di berbagai tingkat organisasi
ekologi mulai dari organisme hingga ekosistem. Pengamatanpengamatan itu termasuk perubahan
dalam struktur dan fungsi, perputaran karbon dan nitrogen, distribusi spesies, besarnya populasi,
saat reproduksi atau migrasi, dan lamanya musim pertumbuhan (Corlett dan Lafrankie 1998;
Gitay et al. 2002; Root et al. 2003; Clark 2007). Penelitian-penelitian ini melaporkan bahwa
perubahan global dapat menjadi ancaman konservasi pada masa ini maupun masa mendatang.
Penelitian ini juga menekankan pentingnya mempertimbangkan perubahan iklim dalam
konservasi, pengelolaan atau restorasi hutan tropis. Ancaman lainnya akan muncul ketika iklim
terus berubah, terutama ketika iklim berinteraksi dengan tekanan-tekanan lain seperti
fragmentasi habitat (McCarty 2001; Brook et al. 2008).

Dampak potensial dari perubahan iklim terhadap hutan tropis adalah fungsi paparan dan
sensitivitas (lihat definisi dari konsep-konsep ini dalam Lampiran, Gambar 7). Hutan tropis
terpapar oleh berbagai faktor perubahan iklim dan variabilitasnya, serta faktor penggerak lain
seperti perubahan tata guna lahan atau polusi yang memperburuk dampak dari perubahan iklim
(lihat Gambar 1). Sensitivitas merujuk pada suatu derajat dimana suatu sistem akan menanggapi
suatu perubahan pada iklim, baik secara positif maupun negative.

Gambar 1. Komponen paparan dan sensitivitas ekosistem hutan (menurut Johnston dan
Williamson 2007)
Parameter sensitivitas di antaranya perubahan dalam rezim gangguan yang dipengaruhi
oleh iklim dan praktek tata guna lahan (Murdiyaso dan Lebel 2007). Sebagai contoh, kekeringan
yang disebabkan oleh El Niño telah memacu tingkat kebakaran di hutan tropis yang lembab
(Barlow dan Peres 2004).

d. Sektor Air Bersih

Perubahan iklim memberi dampak juga terhadap air, yaitu mempercepat siklus hidrologi
akibat pemanasan. Peningkatan suhu atmosfer menyebabkan bertambahnya simpanan air yang
meningkatkan potensi presipitasi berbentuk hujan lebat. Kenaikan suhu dapat mempercepat
proses penguapan atau evaporasi. Hal ini dapat mengurangi jumlah dan kualitas air bersih.
Perubahan kondisi global juga mempengaruhi penyebaran nyamuk malaria dan penyakit lain.
Penggunaan air bawah tanah tanpa kendali, menurunkan debit air tanah yang dapat menyebabkan
percepatan intrusi air laut ke darat.

Sektor sumberdaya air Indonesia, khususnya pulau Jawa, telah mengalami banyak
perubahan dengan degradasi lingkungan dan penurunan kualitas air, dan sejumlah kajian telah
menyatakan status kritis yang serius. Sebagai sistem yang kompleks, perubahan yang terjadi di
sektor sumberdaya air dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti tekanan penduduk dengan segala
aktivitasnya, perubahan penggunaan lahan, eksploitasi sumberdaya air, termasuk air bumi, serta
pembangunan infrastruktur fisik (Mawardi, 2010).

Gejala perubahan iklim wilayah Indonesia ditunjukkan dengan telah terjadi dampak
terhadap ketersediaan air, misalnya Pawitan (2002) menunjukkan penurunan curah hujan
tahunan pulau Jawa bagian selatan periode 1931‐1960 dan 1968‐1998 yang mencapai 1000 mm.
Hasil serupa juga diperoleh di Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum Hulu periode 1896‐1994
yang mengalami penurunan curah hujan sebesar 10 mm th-1 dan diikuti penurunan debit
limpasan sebesar 3 mm th-1 . Perubahan ini diyakini karena perubahan penggunaan lahan hutan
ke penggunaan lainnya yang telah berlangsung sejak awal abad 20 dan meningkat secara drastis
dalam tiga dasawarsa terakhir ini. Dampak perubahan tutupan lahan dalam skala luas ini nampak
dari perubahan fungsi hidrologi DAS yang berawal dari penurunan curah hujan wilayah dan
diikuti oleh hasil air (water yield) DAS.

Dampak perubahan iklim pada sumberdaya air teridentifikasi dari indikator penting
perubahan iklim yaitu trend debit aliran sungai, kondisi biofisik DAS, respon hidrologi DAS
(menentukan ketersediaan air wilayah untuk berbagai kebutuhan dan ikut menentukan nilai
ekologi, sosial dan ekonomi sumberdaya air yang ada), peningkatan intensitas dan frekuensi
kejadian iklim ekstrim (banjir dan kekeringan) (Rejekiningrum, 2014).

2.3. Regulasi dan Prediksi Pencapaian Target Indonesia Tentang Aksi Perubahan Iklim

Kesepakatan yang tercantum dalam Protokol Kyoto mengakomodasi prinsip ”common


but differentiated responsibilities”. Protokol yang dicetuskan dalam COP-3 di Kyoto- Jepang
pada Desember 1997 ini, memiliki kekuatan hukum sejak 16 Februari 2004. Secara hukum,
Protokol Kyoto mewajibkan agar pada tahun 2008-2012 (Komitmen Periode I) negara-negara
Annex-I menurunkan emisi GRK rata-ratanya sebesar 5.2% dari total emisi dunia tahun 1990.

Protokol Kyoto juga membuka ke-sempatan bagi negara berkembang untuk berpartisipasi
untuk menurunkan emisi GRK melalui Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Development
Mechanism, CDM), yang memiliki tujuan: Pertama, kerjasama antara negara maju/industri
(Annex-I) dengan negara berkembang (Non-Annex- I) dengan prinsip win-win solution; Kedua,
untuk membantu kewajiban negara maju dalam menurunkan emisi GRKnya untuk memenuhi
komitmen 2008-2012 (Komitmen Pertama); Ketiga, untuk membantu negara berkembang dalam
upaya mencapai pembangunan berkelanjutan.

Indonesia telah meratifikasi UNFCCC pada tanggal 1 Agustus 1994 melalui Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 1994 dan Protokol Kyoto pada tanggal 28 Juli 2004 melalui Undang-
Undang Nomor 17 Tahun 2004 serta telah membentuk Designated National Authority (DNA)
yaitu Komisi Nasional Mekanisme Pembangunan Bersih- KNMPB melalui KepmenLH No. 206
Tahun 2005 sehingga secara legal dapat mengikuti mekanisme CDM dalam upaya menurunkan
emisi GRKnya. Komisi Nasional ini berperan sebagai otoritas yang ditunjuk untuk memberikan
persetujuan nasional bagi pro yek-proyek CDM.

Dalam rangka pencapaian terhadap target Tujuan Pembangunan Berkelanjutuan


(Suistanable Development Goals) terkait perubahan iklim pemerintah Indonesia melakukan
usaha-usaha untuk mengimplementasikan beberapa regulasi yang berdasarkan indikator-
indikator penanganan masalah perubahan iklim di Indonesia. Adapun poin-poin tersebut adalah
sebagai berikut:
1. Memperkuat kapasitas ketahanan dan adaptasi terhadap bahaya terkait iklim dan bencana alam
di semua negara

1.1 Dokumen Kajian Pengurangan Risiko Bencana (PRB) tingkat nasional dan daerah

Dokumen strategi pengurangan risiko bencana (PRB) tingkat nasional dan daerah
merupakan dokumen yang berisi strategi dan/atau rencana aksi pencegahan bencana untuk
mengurangi ancaman dan kerentanan serta meningkatkan kemampuan masyarakat dalam
menghadapi bencana, termasuk rencana aksi adaptasi perubahan iklim. Dokumen strategi PRB
setidaknya tercantum dalam dokumen Kebijakan dan Strategi Penanggulangan Bencana (Jakstra
PB); Rencana Penanggulangan Bencana Nasional dan Daerah (Renas PB, RPBD), Rencana Aksi
Nasional dan Daerah PRB (RAN PRB, RAD PRB), serta Rencana Aksi Nasional dan Daerah
Adaptasi Perubahan Iklim (RAN API, RAD API). Indikator ini digunakan untuk memantau
ketersediaan kebijakan, strategi, dan rencana aksi PRB yang dituangkan oleh pemerintah dan
pemerintah daerah, serta parapihak lainnya ke dalam strategi PRB tingkat nasional dan daerah
(provinsi/kabupaten/kota) guna menjamin PRB secara terencana, terpadu, terkoordinasi dan
menyeluruh.

1.2 Jumlah korban meninggal, hilang dan terkena dampak bencana per 100.000 rang

Bencana merupakan rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan


dan penghidupan masyarakat yang disebabkan oleh faktor alam, faktor non alam maupun faktor
manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan,
kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Dari data yang diperoleh dari Badan Nasional
Penanggulangan Bencana(BNPB), jumlah korban meninggal dunia akibat bencana pada tahun
2016 mencapai 369 jiwa. Sedangkan jumlah korban hilang atau tidak diketahui keberadaannya
setelah terjadi bencana mencapai 109 jiwa.
Table : korban meninggal, hilang, dan terkena bencana (Sumber : BNPB)
Jumlah korban terdampak merupakan jumlah orang atau sekelompok orang yang
menderita akibat dampak buruk bencana, seperti kerusakan, kerugian harta benda, namun masih
dapat menempati tempat tinggalnya. Korban terdampak yang dihitung merupakan korban
terdampak langsung yang terdiri atas korban terluka/sakit dan pengungsi. Pada tahun 2016,
jumlah korban yang terluka mencapai 457 jiwa dan yang menderita sebanyak 2.139.124 jiwa.
Sementara yang mengungsi sebanyak 282.038 jiwa.

2 Mengintegrasikan tindakan antisipasi perubahan iklim ke dalam kebijakan, strategi dan


perencanaan nasional

2.1 Dokumen BIENNIAL UPDATE REPORT (BUR)

Dokumen Biennial Update Report (BUR) yaitu dokumen yang berisi tentang
pemutakhiran inventarisasi gas rumah kaca nasional termasuk laporan dan informasi aksi
mitigasi nasional serta kebutuhan dan dukungannya. Ketersediaan dokumen ini menunjukkan
adanya kebijakan dan strategi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim, serta capaian Indonesia
dalam menangani perubahan iklim yang dikomunikasikan ke tingkat internasional.

2.1.a.Dokumen pelaporan penurunan emisi gas rumah kaca (GRK)

Gas Rumah Kaca (GRK) yaitu gas yang terkandung dalam atmosfer baik alami maupun
antropogenik, yang menyerap dan memancarkan kembali radiasi inframerah. Rencana Aksi
Nasional Penurunan Emisi GRK (RAN-GRK) merupakan dokumen rencana kerja untuk
pelaksanaan berbagai kegiatan yang secara langsung dan tidak langsung menurunkan emisi gas
rumah kaca sesuai dengan target pembangunan nasional. Sedangkan Rencana Aksi Daerah
Penurunan Emisi GRK (RAD-GRK) adalah dokumen rencana kerja untuk pelaksanaan berbagai
kegiatan yang secara langsung dan tidak langsung menurunkan emisi gas rumah kaca sesuai
dengan target pembangunan daerah. Laporan penurunan emisi GRK tahunan adalah dokumen
pelaporan penurunan emisi GRK tahunan melalui kegiatan yang dijalankan berdasarkan RAN
GRK dan RAD GRK untuk lima sektor prioritas yaitu kehutanan dan lahan gambut, pertanian,
energi dan transportasi, industri, serta limbah. Ketersediaan dokumen ini menunjukkan adanya
rencana aksi di tingkat pusat dan daerah untuk mendukung penurunan emisi GRK, terutama
untuk lima sektor prioritas yaitu kehutanan dan lahan gambut, pertanian, energi dan transportasi,
industri, serta limbah.

3. Meningkatkan pendidikan, penumbuhan kesadaran, serta kapasitas manusia dan kelembagaan


terkait mitigasi, adaptasi, pengurangan dampak dan peringatan dini perubahan ikim

3.1 Jumlah negara yang telah mengintegrasikan mitigasi, adaptasi, pengurangan dampak dan
peringatan dini ke dalam kurikulum sekolah dasar, sekolah menengah dan perguruan tinggi

Indikator 3.1 ini telah diusulkan dan telah diterima karena sejalan dengan RPJMN 2015- 2019
yaitu melaksanakan pendidikan, penyuluhan dan pelatihan tentang adaptasi perubahan iklim,
pembentukan forum/jejaring/aliasi/pokja adaptasi perubahan iklim, dan peningkatan peran aktif
Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah dan pemangku kepentingan dalam adaptasi perubahan
iklim dan capaian sasaran kebijakan Pemerintah mengenai perubahan iklim. Namun untuk
pengumpulan datanya belum tersedia secara reguler.

3.2 Jumlah negara yang telah mengkomunikasikan penguatan kapasitas kelembagaan, system
individu untuk melaksanakan adaptasi mitigasi dan transfer teknologi, serta kegiatan
pembangunan

Untuk Indikator 3.2, dari data Susenas Modul Ketahanan Sosial 2014, diperoleh data
tentang persentase rumah tangga yang mengetahui tanda-tanda dan peringatan untuk mengatasi
bencana alam di lingkungan tempat tinggal. Secara nasional sebanyak 9,71 persen rumah tangga
mengetahui tanda-tanda dan peringatan untuk mengatasi bencana alam, sementara 90,29 persen
rumah tangga belum mengetahuinya. Hasil Susenas juga memperlihatkan bahwa rumah tangga
yang pernah mengikuti pelatihan simulasi penyelamatan bencana alam baru sekitar 1,2 persen,
selebihnya yaitu 98,8 persen rumah tangga belum pernah mengikuti pelatihan simulasi tersebut.

 Melaksanakan komitmen negara maju pada THE UNITED NATIONS FRAMEWORK


CONVENTION ON CLIMATE CHANGE untuk tujuan mobilisasi dana bersama sebesar
100 miliar dolar Amerika per tahun pada tahun 2020 dari semua sumber untuk mengatasi
kebutuhan negara berkembang dalam konteks aksi mitigasi yang bermanfaat dan
transparansi dalam pelaksanaannya dan mengoperasionalisasi secara penuh THE GREEN
CLIMATE FUND melalui kapitalisasi dana tersebut sesegera mungkin.
 Menggalakkan mekanisme untuk meningkatkan kapasitas perencanaan dan pengelolaan
yang efektif terkait perubahan iklim di negara kurang berkembang, negara berkembang
pulau kecil, termasuk fokus pada perempuan, pemuda, serta masyarakat lokal dan
marjinal

Perubahan iklim yang semakin jelas terjadi membuat kebutuhan akan pelayanan iklim
dituntut lebih efektif. Pelayanan iklim tersebut terkait dengan aksi terhadap iklim dan capaian
tujuan pembangunan berkelanjutan. Indikator global ini tidak tersedia di Indonesia sehingga
termasuk indikator yang perlu untuk dikembangkan.

2.4. Hubungan Antara Aksi Perubahan Iklim dan Rencana Peneltian Tesis

Sebagai upaya mewujudkan tujuan pembangunan berkelanjutan pemerintah Indonesia


mewajibkan setiap daerah di Indonesia agar melakukan kajian mengenai perubahan iklim
diantaranya meliputi kajian-kajian mengenai kerentanan, mitigasi, dan adaptasi terhadap
perubahan iklim untuk lintas sektoral.

Pengetahuan tentang perubahan iklim telah mengalami banyak perkembangan sejak


Pertemuan Tingkat Tinggi tentang Bumi diadakan di Rio de Janeiro (1992) dan Protokol Kyoto
diadopsi pada tahun 1997. Kini kita menyadari bahwa perubahan iklim tak lagi terhindarkan.
Bahkan skenario terbaik pun akan berdampak besar terhadap pola cuaca secara global dan
sebagai akibatnya, terhadap kehidupan manusia terutama kaum miskin. Mitigasi perubahan iklim
tidak lagi memadai. Kita harus beradaptasi dengan munculnya perubahan- perubahan yang
mengundang ancaman; atau, lebih baik lagi, mengantisipasi perubahan-perubahan tersebut
dengan mempersiapkan strategi adaptasi. Adaptasi perubahan iklim adalah salah satu dari empat
bangunan penyangga Rencana Aksi Bali.

Berdasarkan permasalahn mengenai perubahan iklim dan sebagai upaya dalam


berkontribusi dalam rencana aksi perubahan iklim maka penulis memilih penelitian mengenai
perubahan iklim yaitu “Kajian Kerentanan dan Resiko Perubahan Iklim di Kota Raha Kabupaten
Muna Provinsi Sulawesi Tenggara”.
Tujuan dari rencana penelitian tesis ini adalah melakukan identifikasi dan inventarisasi
mengenai kerentanan dan resiko di kota Raha terkait perubahan iklim yang dimana dalam kajian
ini akan menggunakan tiga parameter untuk mengetahui seberapa besar tingkat kerentanan Kota
Raha terhadap perubahan iklim. Adapun ketiga parameter tersebut adalah keterpaparan
(Exposure), sensivitas (Sensivity), dan kapasitas adaptif ( Adaptive Capacity).

Keterpaparan (exposure) adalah keberadaan manusia, mata pencaharian,


spesies/ekosistem, fungsi lingkungan hidup, infrastruktur atau aset ekonomi sosial dan budaya, di
dalam wilayah yang terlanda ancaman bencana. Sensitivitas (sensitivity) adalah potensi tingkat
kerusakan dan kehilangan suatu sistem bila mengalami bencana tertentu. Sensitivitas tergantung
pada jenis ancamannya, daerah yang sensitif terhadap banjir belum tentu sensitif terhadap
kekeringan. Kapasitas Adaptasi (adaptive capacity) adalah potensi atau kemampuan suatu
sistem untuk menyesuaikan diri dengan perubahan iklim termasuk variabilitas iklim dan iklim
ekstrem, sehingga potensi kerusakanya dapat dikurangi atau dicegah.

Kajian ini pada akhirnya akan memperlihatkan seberapa besar tingkat kerentanan dan
resiko kota Raha terhadap adanya perubahan iklim. Maka dengan hal ini penulis memilih tema
Aksi Perubahan Iklim dari salah satu tujuan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan dan berharap
dengan adanya penelitian ini dapat turut memberikan kontribusi kepada pemerintah Indonesia
terhadap komitmen aksi perubahan iklim.
III. PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Pembangunan berkelanjutan dan perubahan iklim adalah dua isu global yang terkait erat
yang perlu diatasi secara bersama-sama. Karena itu pembangunan berkelanjutan dan mitigasi
dampak perubahan iklim, telah diarusutamakan di dalam strategi pembangunan Indonesia.
Dengan memperhatikan sektor-sektor dan aspek pembangunan yang terkena dampak perubahan
iklim dapat dikatakan bahwa untuk memastikan pencapaian sasaran pembangunan nasional
dengan adanya dampak perubahan iklim diperlukan ketahanan di bidang ekonomi, sosial dan
lingkungan. Selain itu, mengingat bahwa negara Indonesia merupakan negara kepulauan yang
rentan terhadap perubahan iklim diperlukan pula ketahanan di wilayah khusus seperti pulau-
pulau kecil, pesisir dan perkotaan.
DAFTAR PUSTAKA

Aldrian E. 2007. Decreasing trends in annual rainfalls over Indonesia: A threat for the national
water resources?. Jakarta (ID): Badan Meteorologi dan Geofisika(Geophysics and
Meteorology Agency).

Aldrian, E., Karmini, M., Budiman., 2011, Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim di Indonesia,
Pusat Perubahan Iklim dan Kualitas Udara Kedeputian Bidang Klimatologi, Jakarta:
BMKG.

BAPPENAS. (2011). Indonesia adaptation strategy Improving capacity to adapt. Jakarta:


Bappenas.

Boer R, Faqih A. 2004. Current and Future Rainfall Variability in Indonesia. AIACC Technical
Report 021.

Cartwright, A. 2008. Global climate change and adaptation – a sea-level rise risk assessment.
Phase 4: Sealevel rise adaptation and risk mitigation measures for the City of Cape
Town: 12 pp

Clark, J.R. 1995. Coastal zone management handbook. Lewis pub: 694 pp.

Corlett, R.T. dan Lafrankie, J.V. Jr 1998 Potential impacts of climate change on tropical Asian
forests through an influence on phenology. Climatic Change 39: 439–453.

Harmoni, Ati. 2005. Dampak Sosial Ekonomi Perubahan Iklim. Procceding Seminar Nasional
PESAT. Universitas Gunadarma. Jakarta

IPCC, A. (2007). Intergovernmental panel on climate change. Climate change 2007: Synthesis
report.

IPCC., 2014,‘Climate change 2014: Impacts, adaptation, and vulnerability’, IPCC working group
II contribution to AR5, Geneva, Switzerland: IPCC. in press tersedia di www.ipcc-
wg2.gov/AR5/, diakses pada 17 Juni 2018.

Hulme, M. and Nicola Sheard. "Climate Change Scenarios for Indonesia". 1999. Leaflet CRU
and WWF. Climatic Research Unit, UEA, Norwich, UK. http://www.cru.uea.ac.uk

Johnston, M. dan Williamson, T. 2007 A framework for assessing climate change vulnerability
of the Canadian forest sector. The Forestry Chronicle 83(3): 358–361.

Klein, R.J.T. 2002. Coastal Vulnerability, Resilience and Adaptation to Climate Change an
interdisciplinary perspective. Thesis of Dr. rer. nat.the
MathematischNaturwissenschaftliche Fakultät of the Christian-Albrechts-Universität zu
Kiel. 30 pp.

Lailaty., Intan.,Qurani. 2015. Dampak Perubahan Iklim Global terhadap Stabilitas Kehidupan :

Pembangunan Vs Konservasi.

Listriani, Sophia., Roesa, Nellyana. 2015. Kebijakan Pemerintah Daerah Dalam Menghadapi
Dampak Perubahan Iklim Terhadap Sektor Perikanan di Aceh. Universitas Syiah Kuala.
Aceh.

Malcolm, J.R., Markham, A., Neilson, R.P. dan Garaci, M. 2002 Estimated migration rates under
scenarios of global climate change. Journal of Biogeography 29: 835–849.

Mantom MJ, Della-Marta PM, Haylock MR, Hennessy KJ, Nicholls N, Chambers LE, Collins
DA, Daw G, Finet A, Gunawan D, Inape K, Isobe H, Kestin TS, Lefale P, Leyu CH,
Lwin T, Maitrepierre L, Ouprasitwong N, Page CM, Pahalad J, Plummer N, Salinger
MJ, Suppiah R, Tran VL, Trewin B, Tibig I,Yee D. 2001: Trends in extreme daily
rainfall and temperature in SoutheastAsia and the South Pacific; 1961-1998.
International Journal of Climatology.21(3): 269–284.

Mawardi, I. 2010. Kerusakan Daerah Aliran Sungai dan Penurunan Daya Dukung Sumber Daya
Air di Pulau Jawa serta Upaya Penanganannya. J. Hidrosfir Indonesia 5(2):1-11.

McCarty, J.P. 2001 Ecological consequences of recent climate change. Conservation Biology
15(2): 320–331.

Ministry of Environment. 2007. Indonesia Country Report: Climate Variability and Climate
Change and Their Implication. Jakarta (ID): Ministry of Environment, Republic
Indonesia.

Ministry of Environment. 2012a. Climate Change Risk and Adaptation Assessment for
Agricultural Sector - South Sumatera. Jakarta (ID): Ministry ofEnvironment, Republic
Indonesia.

Murdiyarso, D dan Lebel, L. 2007 Local and global perspectives of Southeast Asian forest and
land fires. Journal of Mitigation and Adaptation Strategies for Global Change 12: 3–11.

Pallewatta, N. 2010. Coastal Zones and Climate Change. (D. Michel and A.Pandya, eds.). The
Henry L. Stimson Center: 16 pp.

Pawitan, H., B. Kartiwa, I. Amien, H. Sosiawan, E. Surmaini, dan A. Hamdani. 2010. Analisis
Dampak Perubahan Iklim Terhadap Dinamika Potensi Sumberdaya Air untuk Pertanian:
Konsorsium Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim untuk Mengurangi Akibat
dan Resiko Iklim pada Sektor Pertanian (KP3I). Laporan Penelitian Balai Besar
Sumberdaya Lahan Pertanian. Badan Litbang Pertanian.

Rejekiningrum, Popi. 2014. Dampak Perubahan Iklim terhadap Sumberdaya Air: Identifikasi,
Simulasi, dan Rencana Aksi. Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi. Bogor.

Ruminta, Handoko. 2012a. Kajian Risiko dan Adaptasi Perubahan Iklim PadaSektor Peranian di
Sumatera Selatan. [Laporan Penelitian]. Jakarta (ID): KLH.

Ruminta, Handoko. 2012b. Kajian Risiko dan Adaptasi Perubahan Iklim PadaSektor Peranian di
Malang Raya. [Laporan Penelitian]. Jakarta (ID): KLH.

Stern, Nicholas., 2008, ‘The Economics of Climate Change’. American Economic Review, Vol.
98 (2), hh. 1-37. DOI: 10.1257/aer.98.2.1, tersedia di http://
pubs.aeaweb.org/doi/pdfplus/10.1257/ aer.98.2.1, diakses pada 20 Juni 2018.

Syahbuddin H, Manabu D, Yamanaka, Runtunuwu E. 2004. Impact of Climate Change to Dry


Land Water Budget in Indonesia: Observation during 1980-2002 and Simulation for
2010 2039. Graduate School of Science andTechnology.Kobe University.Publication
in process.

USAID. 2012. Penilaian Kerentanan Sumber Daya Air Akibat Perubahan Iklim Dan
Perencanaan Adaptasi. DAI. Jakarta.

[UNFCCC] United Nations Framework Convention On Climate Change. 2007. Climate Change:
Impacts, Vulnerabilities and Adaptation in Developing Countries. UNFCCC, Bonn-
Germany.

Anda mungkin juga menyukai