Disusun Oleh:
1. Nurhabibi
2. Richard Montero Siahan
3. Ahmad Badarun
4. M. Arrafiqurrahman
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT Tuhan Yang Maha Esa
atas segala limpahan rahmat dan karunian-Nya sehingga penyusunan makalah
“Sumber Hukum Islam” dapat diselesaikan dengan baik. Tidak lupa kami ucapkan
terimakasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dan mendukung dalam
penyusunan makalah ini.
Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini yakni untuk mengenalkan dan
membahas sumber-sumber hukum yang dijadikan pedoman dan landasan oleh umat
Islam. Dengan makalah ini diharapkan baik penulis sendiri maupun pembaca dapat
memilki pengetahuan yang lebih luas mengenai sumber hukum Islam.
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak terdapat
kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat kami
harapkan. Akhir kata, semoga makalah ini bermanfaat bagi para pembaca umumnya dan
kami sendiri khususnya.
Penyusun
i
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
A. Kesimpulan .................................................................................................... 19
DAFTAR PUSTAKA
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Studi tentang iklim mencakup kajian tentang fenomena fisik atmosfer
sebagai hasil interaksi proses-proses fisik dan kimiafisik yang terjadi di udara
(atmosfer) dengan permukaan bumi. Keduanya saling mempengaruhi, aktivitas
atmosfer dikendalikan oleh fisiografi bumi, dan fluktuasi iklim berpengaruh
terhadap aktivitas di muka bumi.
Iklim selalu berubah menurut ruang dan waktu. Dalam skala waktu
perubahan iklim akan membentuk pola atau siklus tertentu, baik harian,
musiman, tahunan maupun siklus beberapa tahunan . Selain perubahan yang
berpola siklus, aktivitas manusia menyebabkan pola iklim berubah secara
berkelanjutan, baik dalam skala global maupun skala lokal.
Perubahan iklim merupakan issue lama, tetapi baru memperoleh perhatian
dunia secara serius pada akhir abad ke XIX, dimulai pada saat
diselenggarakannya Konverensi Tingkat Tinggi Bumi di Rio de Janeiro, Brasil
tahun1992, dengan dibentuknya badan dunia yang dikenal dengan
Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC). Pada periode inilah
perubahan iklim, penyebab, dampak yang akan ditimbulkan dan
penanggulangan dampak , serta upaya menekan laju perubahan iklim banyak
dipelajari dan diupayakan pemecahannya dalam skala Internasional.
Indonesia adalah negara berkembang yang berbentuk kepulauan dengan
jumlah dan laju perkembangan penduduk yang tinggi. Total penduduk
Indonesia pada tahun 1997 telah melebihi 200 juta. Pertumbuhan teknologi dan
sosial-ekonomi negara ini belum menunjukkan perbaikan secara nyata,sehingga
dapat digolongkan sebagai negara dengan tingkat kerentanan tinggi terhadap
akibat yang ditimbulkan oleh perubahan iklim.
Tulisan ini mencoba mencari kebenaran tentang issue perubahan iklim
khususnya di Indonesia, mencoba mengulas apakah kita perlu mengkaji dampak
perubahan iklim pada berbagai sektor serta melakukan upaya adaptasi terhadap
1
dampak yang yang ditimbulkan oleh perubahan iklim. Karena keterbatasan data
yang tersedia, maka akan diambil hanya beberapa contoh kasus untuk
menggambarkan perubahan iklim dan dampak yang akan ditimbulkan di
Indonesia.
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
dipelajari dari data pada periode pengamatan iklim yang panjang. Kendala
ketersediaan data iklim dalam periode yang panjang inilah yang dihadapi oleh
negara berkembang seperti di Indonesia. Akibatnya identifikasi perubahan
iklim sulit untuk dilakukan.
Perubahan iklim global tidak terjadi seketika, walaupun laju perubahan
lebih cepat dibandingkan dengan perubahan iklim secara alami, tetapi
perubahan terjadi dalam periode dekadal, sehingga issue perubahan iklim masih
menjadi hal yang menimbulkan pro dan kontra. Perubahan konsentrasi GRK
global ini juga berpengaruh pada kenaikan suhu lokal, di Indonesia perubahan
terjadi secara perlahan-lahan lebih kurang 0,030C per tahun (Hidayati
1990). Jika ditinjau dalam periode puluhan tahun (dibandingkan dengan
puluhan juta tahun usia bumi kita) maka perubahan ini cukup besar. Apalagi
jika kenaikan suhu menyertai kejadian iklim ekstrim.
Gambar 2 menunjukkan estimasi kejadian dan resiko banjir di wilayah
pesisir Eropa setelah periode perubahan iklim dibandingkan periode sebelum
perubahan iklim. Peluang kejadian banjir setelah perubahan iklim lebih besar
(lebih sering) dibandingkan sebelumnya. Sejalan dengan pemikiran tersebut
resiko kejadian iklim ekstrim (kekeringan dan banjir) di Indonesia juga akan
meningkat oleh fenomena perubahan iklim.
2. Keragaman Iklim
Iklim terdiri dari beberapa unsur iklim, yaitu : radiasi, suhu, kelembaban,
tekanan, angin, presipitasi (hujan) dan sebagainya. Dalam tinjauan secara garis
besar iklim dapat diwakili oleh suhu (temperatur) dan hujan (presipitasi).
Unsur-unsur lain mengakibatkan atau terpengaruh oleh kedua unsur tersebut.
Keragaman iklim dapat dibagi menjadi (a) keragaman menurut tempat dan
(b) keragaman menurut waktu. Keragaman menurut tempat ditentukan oleh
letak lintang (jauh-dekat dari peredaran matahari), ketinggian tempat, sebaran
daratan dan lautan serta arah angin utama. Keragaman menurut waktu terutama
ditentukan oleh pedaran bumi mengelilingi sumbunya dan bumi mengelilingi
matahari.
4
Indonesia terletak di wilayah kepulauan tropis, terpengaruh oleh sirkulasi
antara benua Asia dan Australia serta Samudra Pasifik dan Antlantik
. Walaupun berada di wilayah tropis, tetapi daratannya tersebar dari dataran
rendah hingga pegunungan. Suhu rata-rata tahunan berkurang dari dataran
rendah hingga dataran tinggi. Jadi suhu rata-rata relatif tinggi di dataran rendah
dan suhu rendah di dataran tinggi. Karena letaknya di daerah tropis, maka
selisih suhu siang – malam lebih besar dari pada selisih suhu musiman (musim
kemarau – musim hujan). Di daerah subtropis hingga kutub selisih suhu musim
panas – musim dingin lebih besar dari suhu harian
kemarau.
Umumnya musim hujan terjadi antara bulan Oktober hingga April dan
musim kemarau terjadi pada bulan April hingga Oktober. Penerimaan curah
hujan bulanan dapat dipisahkan menjadi tiga pola penerimaan hujan yang
berbeda.
A. Di sebagian besar wilayah Indonesia penerimaan hujan musim penghujan
dan musim kemarau berbeda nyata. Pola demikian disebut pola monsunal.
B. Sebagian wilayah sekitar equator musim kering tidak nyata. Puncak musim
hujan terjadi dua kali sekitar bulan Desember pada saat matahari berada
paling selatan dan pada bulan Juni saat matahari paling utara. Tipe ini
disebut tipe Equatorial.
C. Sebagian wilayah bagian utara hujan terjadi pada saat wilayah A dan B
mengalami musim kemarau. Tipe ini disebut tipe lokal.
Ketiga ciri penerimaan hujan dapat dilihat pada tabel 1. Sei Rantih dan Salida (
Sumbar) mempunyai tipe equatorial, Banyuwangi dan Glagah (Jawa Timur)
mewakili tipe monsunal dan Ambon mewakili tipe lokal.
5
Tabel 1. Data Suhu Udara dan Tiga Tipe Penerimaan Hujan bulanan di wilayah
Indonesia.
Stasiun Uns Ja Fe M A M Ju J A Se O N D Th
ur n b ar pr ei n ul gs p kt op es n
Sei CH 36 24 27 31 23 20 1 21 37 39 44 41 36
Rantih,B (mm 3 7 2 2 3 8 9 9 5 4 2 8 75
) 2
Salida ( CH 33 28 33 30 28 22 1 25 33 37 32 39 36
B) (mm 9 5 8 6 0 2 5 1 9 4 5 1 05
) 5
Banyuwa CH 22 24 14 85 80 41 3 21 28 33 75 18 11
ngi (mm 4 6 2 7 7 99
)
Banyuwa T 27 27 27 28 28 28 2 27 28 28 28 27 27.
o
ngi ( C) 7 5
Glagah CH 25 21 21 94 13 94 1 72 59 87 10 19 16
(A) (mm 0 7 7 7 4 2 9 69
) 1
Ambon ( CH 89 11 16 16 20 38 2 19 12 90 68 13 20
C) (mm 6 7 4 2 8 9 6 2 1 29
) 6
Ambon T 27 27 27 27 26 25 2 25 25 26 27 27 26.
o
( C) 5 2
6
B. Mekanisme perubahan Iklim
Perubahan iklim disebabkan oleh meningkatnya konsentrasi Gas Rumah
Kaca (GRK) setelah masa revolusi industri. Semakin tinggi kebutuhan untuk
meningkatkan kualitas hidup maka akan semakin besar aktivitas industri, lalu
lintas pembukaan hutan, usaha pertanian, rumah tangga dan aktivitas-aktivitas
lain yang melepaskan GRK. Akibatnya konsentrasi GRK di atmosfer akan
meningkat.
Tabel 2. Konsentrasi GRK menurut skenario IPCC tahun 2000
Tahu Pendudu O3 permukaa Kons. Peru Kenaika
n k dunia n (ppm) CO2 (pp b. n muka
m) Suhu air laut
globa (cm)
0
l ( C)
1990 5.3 - 354 0 0
2000 6.1-6.2 40 367 0.2 2
2050 8.4-11.3 ~60 463-623 0.8- 5-32
2.6
2100 7.0-15.1 >70 478-1099 1.4- 9-88
5.8
Selain terdapat sumber (source) yang beragam di alam ini juga tersedia
rosot (sink), yaitu lautan dan vegetasi (hutan). Jumlah rosot ini relatif tetap
sedangkan sumbernya selalu bertambah, sehingga terjadi ketidak seimbangan.
Ditambah dengan umur keberadaan GRK di atmosfer yang panjang, maka tanpa
upaya menekan emisi, konsentrasi GRK akan terus bertambah.GRK meliputi
gas-gas Carbon Dioxida (CO2), golongan Chloro-Fluorocarbon (CFCs),
Methana (CH4), Ozon (O3), dan Nitrogen Oksida (NOx). Gas-gas tersebut
berada di atmosfer berfungsi sebagai mana kaca, yaitu melewatkan radiasi
matahari ke permukaan bumi tetapi menahan radiasi bumi agar tidak lepas ke
angkasa. Dalam jumlah tertentu GRK dibutuhkan untuk menjaga suhu ekstrim
bumi agar tidak terlalu tinggi atau terlalu rendah. Tetapi jika jumlah radiasi
7
bumi yang terperangkap di dalam atmosfer bumi berlebihan, maka atmosfer dan
permukaan bumi akan semakin panas (suhu meningkat).
Tabel 3. Ikhtisar Gas-gas Rumah Kaca di Atmosfer (Sumber: Killeen. 1996)
Gas Sumber Antropogenik Emisi Antropogenik Waktu residu Umur
utama / total per thn (tahun)
106 ton
CO Pembakaran bahan bakar 700 / 2.000 bulanan 0,4
fosil dan biomas
CO2 Pembakaran bahan bakar 5.500 / -5.500 100 tahunan 7
fosil dan Pembabatan
hutan
CH4 Pertanaman padi 300-400/550 10 tahunan 11
Peternakan, tanam
Produksi bahan bakar
fosil
NOx Pembakaran bahan bakar 20-30 / 30-50 harian ***
fosil dan biomas
NO2 Pemupukan Nitrogen 6 / 25 170 tahunan 150
Pembabatan hutan
Pembakaran biomas
SO2 Pembakaran bahan bakar 100-130 / 150-200 Harian - ***
fosil dan emisi bahan mingguan
bakar
CFCs Semprotan aerosol, -1 / 1 60-100 tahunan 8 – 110
Pendingin, busa
8
Walaupun Indonesia mempunyai hutan, lahan pertanian, dan lautan
yang cukup luas tetapi menurut perhitungan yang dirangkum oleh Kementerian
lingkungan hidup, Indonesia merupakan Negara penghasil neto GRK (lihat tabel
4). abel tersebut belum memperhitungkan kemampuan laut di Indonesia untuk
menyerap GRK. Kemampuan laut untuk menyerap CO2 relatif tetap sehingga
kurang mendapat perhatian dalam perhitungan. Menurut perhitungan ALGAS
(ALGAS, 1998 in State Ministry for Environment Republic of Indonesia,1999)
sampai dengan tahun 1990 hutan Indonesia masih merupakan nett sinker,
setelah itu menjadi nett emitter.
Tabel 4. Ikhtisar Inventarisasi Gas Rumah kaca di Indonesia pada tahun 1994
(sumber : Indonesia Country Study Team on Climate Change, 1998)
Uptake Emisi (Gg)
sumber
CO2 CO2 CH4 CO N2O NOX
9
musim. Curah hujan berkurang 2 hingga 3 % terutama pada bulan Desember –
Februari. Di sebagian besar wilayah Indonesia curah hujan dipengaruhi oleh El-
Nino, kekeringan besar terjadi pada tahun El -Nino 1982/1983, 1986/987 dan
1997/1998.
Berbagai penelitian lain terhadap data historis juga mendapatkan hal
yang sejalan dalam peningkatan suhu udara, walaupun dengan laju peningkatan
yang berbeda, tetapi tidak untuk curah hujan. Menurut hasil analisis Hidayati
(1990); Rozari, Hidayati dan Manan (1992); Hidayati, Abdullah dan Suharsono
(1999) Suhu di sebagian besar wilayah Indonesia terutama siang hari
meningkat. Walaupun laju perubahan yang terjadi kecil, tetapi nyata menurut
uji statistik (peringkat Spearman). Curah hujan tidak menunjukkan pola yang
sama dan tidak seluruh stasiun menunjukkan adanya perubahan yang
nyata. Pada tabel 5 ditampilkan laju perubahan suhu di Jakarta dan Bogor pada
periode yang berbeda. Pada titik-titik pengamatan yang menunjukkan
perubahan curah hujan, umumnya trend hujan bertambah pada musim hujan dan
berkurang pada musim kemarau.
Tabel 5. Hasil analisis perubahan iklim di Indonesia (sumber: Hidayati,1990
dan Hidayati, Abdullah, dan Suharsono,1999).
Perubahan unsur per tahun
Lokasi Tahun
Suhu udara Hujan Hujan ms
kemarau hujan
Jakarta 1916-1987 0.03** * *
Jakarta 1951-1987 * - 0.1% 10%**
Bogor 1951-1987 * -1.1%** 0.3%
Bogor 1976-1987 0.05** * *
Bogor 1980-1998 0.14** -2.0%** 4.6%**
Catatan : * tidak ada hasil analisis, **
Dari hasil analisis yang pernah dilakukan tergambar adanya perubahan
unsur iklim yang tidak pasti dan yang pasti. Hal yang pasti adalah suhu
berubah. Hal ini sangat logis karena penduduk bertambah dan emisi GRK juga
10
bertambah. Hal yang tidak pasti adalah pola perubahan curah hujan dan
kejadian serta pengaruh El-Nino pada iklim di Indonesia. Peningkatan suhu
akan meningkatkan penguapan, tapi karena adannya sirkulasi udara global yang
kompleks, maka peningkatan curah hujan tidak selalu terjadi pada lokasi yang
sama dengan kejadian penguapan.
2. Keadaan iklim Indonesia di masa yang akan datang.
Pendugaan iklim yang akan datang tidak mungkin dilakukan di
Laboratorium, sehingga pendugaan hanya mungkin dilakukan dengan
menggunakan model. Tersedia beberapa model sistem iklim untuk menduga
iklim dunia pada masa yang akan datang, yang merupakan model sirkulasi
udara global GCMs (Global Circulation Models) yaitu : CCCM (Canadian
Climate Cetre Model), GISS ( NASA’s Goddard Institute for Space Studies),
GFDL (NOAA’s Geophysical Fluid Dynamics Laboratory) dan UKMO
(United Kingdom Meteorological Office). Model-model tersebut memprediksi
suhu global akan naik sebesar 2,8 hingga 5,20C dan presipitasi global akan naik
sebesar 7 hingga 16 % jika konsentrasi CO2 menjadi 2 kali lipat (Indonesia
Country Study Team on Climate Change, 1998)
Model-model sistem iklim yang tersedia adalah model yang diturunkan
dari sirkulasi global, sehingga kurang teliti untuk meramalkan keadaan lokal
daerah-daerah di Indonesia. Tetapi jika wilayah Indonesia dianggap satu titik,
maka prediksi dari model-model tersebut dianggap cukup baik. Walaupun
demikian hasil prediksi satu model dengan model lain berbeda .
Pada suatu ketika jika CO2 meningkat menjadi 2 kali lipat prediksi
peningkatan suhu di Indonesia dari model CCCM dan UKMO adalah sebesar
1,6 – 3,0 0C, tetapi dengan model GFDL dan GISS suhu akan meningkat
sebesar 2,0 – 4,0 0C . Prediksi perubahan curah hujan tidak seragam antara satu
dan lain model. GISS dengan resolusi terkasar (7.830x10.00) memprediksi akan
terjadi peningkatan hujan di seluruh wilayah indonesia antara 0-400
mm/tahun. GFDL dengan resolusi terbaik (2.240x3.750) memprediksi hujan
akan naik sebesar 0-800 mm/tahun penurunan terjadi di wilayah Kalimantan
bagian Tenggara, pulau Sulawesi dan Maluku, sangat berbeda dengan hasil
11
prediksi CCCM dan UKMO di mana peningkatan terbesar terjadi di Kalimantan
dengan peningkatan lebih dari 1200 mm/tahun (Indonesia Country Study Team
on Climate Change, 1998). Ini menunjukkan bahwa perubahan hujan di
Indonesia merupakan salah satu ketidakpastian dalam kejadian perubahan iklim.
Hasil kajian Kaimuddin (2000) terhadap lebih dari 300 stasiun hujan di
Indonesia dengan model CCCM mendapatkan bahwa jika terjadi peningkatan
konsentrasi CO2 2 kali lipat, maka akan terjadi perubahan pola hujan di
Indonesia, yaitu terjadi peningkatan di sebagian besar wilayah Indonesia bagian
selatan, relatif tetap di sekitar equator dan terjadi penurunan hujan di bagian
utara wilayah Indonesia. Hasil prediksi ini mempunyai kecenderungan yang
hampir sama dengan data tahun 1930-1990. Dengan model CSIRO9 hujan
diprediksikan meningkat hampir di seluruh wilayah Indonesia. Menurut model
GFDL wilayah Indonesia akan mengalami peningkatan penerimaan hujan
kecuali di Sulawesi Selatan, Tengah dan Tenggara serta Pantai Utara Jawa.
IPCC membuat skenario perubahan iklim berdasarkan perbandingan
emisi CO2 terhadap emisi tahun 2000, yaitu dari yang terendah : konsentrasi
CO2 berkurang 4% (dengan kebijakan implementasi iklim yang baik ; skenario
B1) hingga meningkat 320% (tidak ada kebijakan implementasi iklim ; skenario
A2). Gambar 1. Memperlihatkan keadaan suhu data historis dan prediksi suhu
pada masa yang akan datang menurut SRES (Special Report on Emmissions
Scenarios), dan peningkatan peluang kejadian iklim kering oleh pengaruh
perubahan iklim.
12
A. Akibat yang bersifat menguntungkan :
a. Bertambahnya produktifitas tanaman di daerah beriklim dingin
b. Menurunnya resiko kerusakan tanaman pertanian oleh cekaman dingin
c. Meningkatnya runoff yang berarti meningkatnya debit aliran air pada
daerah kekurangan air
d. Berkurangnya tenaga listrik untuk pemanasan
e. Menurunnya angka kesakitan dan angka kematian oleh cekaman dingin
B. Akibat yang bersifat merugikan :
a. Meningkatnya tingkat kematian dan penyakit serius pada manula dan
golongan miskin perkotaan
b. Meningkatnya cekaman panas pada binatang liar dan ternak
c. Perubahan pada tujuan wisata
d. Meningkatnya resiko kerusakan sejumlah tanaman pertanian
e. Meningkatnya tenaga listrik untuk pendinginan
f. Memperluas kisaran dan aktivitas beberapa hama dan vektor penyakit
g. Meningkatnnya banjir, erosi dan tanah longsor
h. Meningkatnya runoff yang berarti meningkatnya debit aliran air pada
daerah basah
i. Akibat ekstrim kompleks (seluruhnya bersifat merugikan):
j. Berkurangnya produksi tanaman pertanian oleh kejadian kekeringan dan
banjir
k. Meningkatnya kerusakan bangunan oleh pergeseran batuan
l. Penurunan sumberdaya air secara kualitatif maupun kuantitatif
m. Meningkatnya resiko kebakaran hutan
n. Meningkatnya resiko kehidupan manusia, epidemi penyakit infeksi
o. Meningkatnya erosi pantai dan kerusakan bangunan dan infrastruktur
pantai.
p. Meningkatnya kerusakan ekosistem pantai seperti terumbu karang dan
mangrove
q. Menurunnya potensi pembangkit listrik tenaga air di daerah rawan
kekeringan
13
r. Meningkatnya kejadian kekeringan dan kebanjiran
s. Meningkatnya kerusakan infrastuktur
Indonesia tergolong sebagai negara sedang berkembang, dengan jumlah
penduduk besar dan tingkat pendapatan rata-rata rendah, kemajuan
ekonomi, pendidikan dan teknologi rendah. Keadaan ini membuat
Indonesia menjadi negara dengan tingkat kerentanan besar terhadap
dampak perubahan iklim. Sebagai gambaran nyata, keragaman iklim besar
seperti saat kejadian El-Nino dan La-Nina yang sering membawa keadaan
kering dan basah yang lebih besar dari keadaan normal, membuat sistem
produksi tanaman pangan di Indonesia terganggu secara nyata (lihat tabel
6) Keadaan anomali iklim pada tahun 1991 dan tahun 1994 menyebabkan
Indonesia harus mengimpor beras masing-masing sebesar 600.000 ton dan
lebih dari sejuta ton beras ( Indonesia Country Study on Climate Change
1998). Keadaan tersebut menggambarkan kerentanan sistem produksi
pertanian terhadap adanya perubahan iklim.
Peningkatan CO2 dan suhu udara akan meningkatkan aktivitas
fotosintesis pada tanaman. Tetapi peningkatan suhu terutama malam hari akan
memperbesar respirasi tanaman. Di daerah Tropika peningkatan suhu ini
menyebabkan hasil fotosintesis netto berkurang. Inilah yang menyebabkan
menurunnya produksi tanaman di daerah tropis oleh akibat perubahan iklim.
Tabel 6. Luas tanaman padi terkena bencana banjir dan kekeringan dan puso
(ha) pada tahun 1988-1997 (Jasis dan Karama, 1999. Yusmin, 2000)
Tahun Keterangan Kebanjiran Kekeringan Puso
1987 El-Nino *** 430.170 ***
1988 La-Nina 130.375 87.373 44.049
14
1996 Normal 107.385 59.560 50.649
1997 El-Nino 58.974 504.021 102.254
15
Tabel 7. Luas Lahan Yang Rentan terhadap intrusi air laut dan kenaikan muka
air laut
No Penutupan lahan Rentan intrusi (ha) Rentan kenaikan
muka air laut (ha)
1 Pemukiman 1.627,0 702,2
2 Perkantoran 1.265,8 301,8
3 Sawah 304,5 1.751,0
4 Tambak 240,6 184,0
Total 3.437,9 2.940,8
16
Indonesia tidak termasuk dalam negara katagori Annex I (negara-
negara maju ) menurut penggolongan IPCC. Menurut UU no 6 tahun 1994,
yaitu UU pengesahan Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang perubahan iklim,
Indonesia tidak wajib ikut menekan emisi GRK, tetapi hanya bersifat sukarela.
Menurut UU lingkungan hidup no 23 tahun 1997, menjaga kelestarian
lingkungan hidup adalah suatu yang harus dilakukan agar pembangunan dapat
dilakukan secara berkelanjutan. Jadi upaya mengurangi laju emisi GRK
menjadi keharusan dalam rangka melestarikan lingkungan.
Tabel 8. Sektor-sektor yang akan terkena dampak perubahan iklim dan upaya
adaptasi yang dapat dilakukan.
Sektor Dampak Adaptasi
Pengairan Kendala suplai irigasi dan air minum, Perencanaan, pembagian air,
dan peningkatan salinitas komersialisasi
Intrusi air asin ke daratan dan aquifer Suplai air alternatif, mundur
pantai
Ekosistem Peningkatan salinitas di lahan pertanian Perubahan praktek penggunaan lahan
Darat dan aliran air Pengelolaan Pertamanan
Kepunahan Keanekaragaman Hayati Pengelolaan lahan, Perlindungan
Peningkatan resiko kebakaran thd. Kebakaran
17
Hortikultur Dampak campuran + dan – Relokasi
tergantung spesies dan lokasi
Perikanan Perubahan tangkapan Monitoring, pengelolaan
Perumahan, Peningkatan dampak banjir, badai dan Pewilayahan, perencanaan bencana
industri kenaikan muka air laut
Kesehatan Ekspansi dan perluasan vektor penyakit Karantina, eradikasi atau pengendalian
Peningkatan polusi fotokimia udara Pengendalian emisi
18
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Perubahan iklim adalah masalah lingkungan. Walaupun keberadaannya
masih diperdebatkan, tetapi dari data yang ada kecenderungan perubahan
terutama suhu udara ada secara nyata. Dalam keadaan iklim normal perubahan
iklim mungkin tidak menimbulkan akibat nyata, tetapi pada keadaan ekstrim
seperti pada periode La-Nina dan El-Nino skala besar perubahan dapat
menimbulkan kerugian yang sangat besar. Jika tidak dipersiapkan upaya
penekanan laju perubahan dan adaptasi dalam menghadapi keadaan ini,
maka Environment Cost yang ditanggung akan sangat besar. Di lain pihak
dengan ikut meratifikasi UU no 6 tahun 1994 Indonesia mempunyai kesempatan
untuk memanfaatkan dana Internasional untuk Perubahan iklim. Untuk itu
diperlukan kesadaran dan upaya bersama dalam menhadapi dan mengantisipasi
perubahan iklim.
19
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 1999. Laporan Akhir Pengkajian Dampak Kenaikan Muka Air Laut di
Daerah Jawa dan Bali, Studi Kasus Wilayah Pesisir Semarang. Bappedal /
KMNLH. Jakarta.
Chen, L. and Wu, R. 2000. The Role of the Asian / Australian Monsoons and the
Southern / Northern Oscillation in the ENSO Cycle. Theoretical and Applied
Climatology. Springer-Verlag. Austria. Pp:37-47
Kaimuddin . 2000. Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap
Keseimbangan Air Wilayah Sul.Sel. Dissertasi program studi AGK-FPS IPB.
Hidayati.R. 1990. Kajian Iklim Kota Jakarta, Perubahan dan Perbedaan dengan daerah
Sekitarnya. Thesis Program Studi Agroklimatologi. FPS-Institut Pertanian
Bogor.
Hulme,M. and N.Sheard. 1999. Climate Change Scenarios for Indonesia. Leaflet CRU
and WWF. Climatic Research Unit. UEA, Norwich,UK.
(http://www.cru.uea.ac.uk)
20
Indonesia Country Study on Climate Change. 1998. Vulnerability and Adaptation
Assessments of Climate Change in Indonesia. The Ministry of Environment
the Republic of Indonesia. Jakarta
Jasis dan Karama A.S. 1999. Kebijakan Departemen Pertanian dalam Mengantisipasi
Penyimpangan Iklim. Prosiding Diskusi Panel : Strategi Antisipatif
Menghadapi Gejala Alam La-Nina & El-Nino Untuk Pembangunan
Pertanian. Perhimpi. Bogor. ISBN 979-546-008-0
Ratag, M.A. 2001. Model Iklim Global dan Area Terbatas serta Aplikasinya di
Indonesia. Paper disampaikan pada Seminar Sehari Peningkatan Kesiapan
Indonesia dalam Implementasi Kebijakan Perubahan Iklim. Bogor, 1
November 2001.
Rozari, M.B. Hidayati, R dan Manan, E. 1992. Perubahan Iklim di Indonesia. Jurnal
Perhimpi Vol : VIII No:1, pp : 1-8
Trenberth,K.E; J.T. Houghton and L.G. M. Filho. 1995. The Climate System : an
Overview. In: Climate Change 1995. The Science of Climate Change.
Contribution of Working group I to the Second Assesment Report of The
Intergovermental Panel on Climate Change. Cambridge University Press.
21
Yusmin. 2000. Integrated Management of Flood and Drought in Food Crop
Agriculture in Land Use Change and Forest Management. Mitigation
Strategy to Minimize The Imoacts of Climate Change. Indonesian
Association of Agricultural Meteorology. Bogor. Pp :172-184.
22