Anda di halaman 1dari 18

UJIAN AKHIR SEMESTER

DAMPAK PERUBAHAN IKLIM TERHADAP


SOSIOGEOGRAFI

IKLIM REGIONAL & PERILAKU


MASYARAKAT

Oleh:
CIPTA ESTRI SEKARRINI
NIM. 17198021

Dosen Pembimbing:
Dr. Dedi Hermon, MP

PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN GEOGRAFI


FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2019
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT. atas


karunia yang dilimpahkan sebagai sumber dari segala solusi dan rahmat yang
dicurahkan sebagai peneguh hati dan penguat niat sampai akhirnya kami dapat
menyelesaikan makalah Dampak Perubahan Iklim Terhadap Sosiogeografi
dengan pokok bahasannya “Iklim Regional dan Perilaku Masyarakat”. Salawat
beriring salam kepada Nabi Muhammad SAW. sebagai pelopor kemajuan seluruh
umat di muka bumi.
Makalah kelompok ini merupakan salah satu tugas untuk menyelesaikan
mata kuliah Dampak Perubahan Iklim Terhadap Sosiogeografi. Kami tidak lupa
mengucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing dan teman-teman anggota
kelompok, sehingga dengan bantuan dan kerja sama kami dapat menyelesaikan
makalah ini.
Kami juga menyadari bahwa makalah ini tidak terlepas dari kesalahan,
selayaknya kami hanya manusia yang tak terlepas dari kesempurnaan. Untuk itu
kami mengharapkan kritikan dan saran dari pembaca agar dapat lebih sempurna
dalam pembuatan makalah dimasa yang akan datang.

Padang, April 2019

Penulis

i
DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR............................................................................................ i
DAFTAR ISI.......................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.............................................................................................1
B. Rumusan Masalah........................................................................................1
C. Tujuan ..........................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN....................................................................................... 2
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan................................................................................................14
B. Saran…......................................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................15

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Percaya atau tidak, lingkungan memberikan banyak pengaruh kepada kita.
Bahkan para behaviorist percaya bahwa lingkungan sebagai faktor utama yang
membentuk perilaku kita. Lingkungan seringkali “memaksa” kita untuk
melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Kita juga melakukan berbagai
macam adaptasi untuk dapat bertahan dalam lingkungan tertentu. Hal ini
menyebabkan munculnya perilaku yang berbeda-beda dari tiap lingkungan yang
berbeda-beda pula. Lingkungan sendiri memiliki berbagai bentuk. Mulai dari
lingkungan fisik yang alami, lingkungan fisik buatan, ligkungan sosial, dan
sebagainya. Salah satu faktor lingkungan yang memiliki pengaruh adalah cuaca
dan iklim. Dunia ini sendiri memiliki bermacam-macam iklim tergantung letak
daerah tersebut. Di daerah tropis misalnya, kita hanya mengenal dua musim yaitu
musim hujan dan musim kemarau. Berbeda halnya dengan daerah sub-tropis yang
memiliki empat musim mulai dari musim semi,musim panas, musim gugur, dan
musim dingin.
Iklim adalah kondisi rata-rata cuaca dalam waktu yang panjang. Iklim di
bumi sangat dipengaruhi oleh posisi matahari terhadap bumi. Terdapat beberapa
klasifikasi iklim di bumi ini yang ditentukan oleh letak geografis. Di Indonesia
secara umum kita dapat menyebutnya sebagai iklim tropis, lintang menengah dan
lintang tinggi. Seluruh kepulauan Indonesia yang letaknya sepanjang khatulistiwa
antara 6° LU dan 11° LS dan antara 95° dan 141° BT termasuk daerah beriklim
tropis. Sifat utamanya ialah suhu yang selalu tinggi, tanpa penyimpangan-
penyimpangan yang besar. Sehingga dalam hal ini dipelajarilah mengenai iklim di
Indonesia salah satunya yaitu mengenai macam – macam iklim di Indonesia serta
faktor-faktor yang memengaruhinya. Adapun guna dari mempelajari lebih lanjut
mengenai Iklim di Indonesia beserta macam serta faktor yang dapat memengaruhi
iklim di Indonesia yang mana akan berkaitan dengan pertumbuhan dan
perkembangan tanaman. Selain itu hal ini juga berpengaruh pada keadaan tanah
yang menjadi media tumbuh untuk tanaman yang dibudidayakan.
Perbedaan musim ini menyebabkan kita melakukan berbagai perilaku yang
merupakan bentuk adaptasi kita terhadap masing-masing lingkungan tersebut.
Mulai dari cara berpakaian, tingkah laku, budaya, hingga nilai-nilai dan norma-
norma dalam masyarakat. Selain iklim kita juga mengenal yang disebut sebagai
cuaca. Cuaca sendiri secara tidak langsung memilki pengaruh terhadap perilaku
kita. Cuaca juga seringkali digunakan sebagai gambaran terhadap suatu keadaan.
Cuaca mendung atau hujan misalnya, biasanya digambarkan sebagai sebuah
keadaan sedih atau muram. Lain halnya dengan hari yang cerah biasanya
digunakan untuk menggambarkan keadaan yang ceria.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam makalah ini bagaimana iklim regional dan
perilaku masyarakat?
C. Tujuan
Untuk mengemukakan iklim reginal dan perilaku masyarakat.
1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Iklim Regional
Pengertian Iklim yaitu:
1. Keadaan rata-rata cuaca yang terjadi pada suatu wilayah yang luas dan
dalam kurun waktu yang lama (25- 30 tahun).
2. Berubahnya kondisi fisik atmosfer bumi antara lain suhu dan distribusi
curah hujan yang membawa dampak luas terhadap berbagai sektor
kehidupan manusia. Perubahan fisik ini tidak terjadi secara sesaan tetapi
dalam kurun waktu yang panjang (Kementrian Lingkungan Hidup, 2001).
3. Iklim adalah sintesis kejadian cuaca selama kurun waktu yang panjang,
yang secara statistik cukup dapat dipakai untuk menunjukkan nilai statistik
yang berbeda dengan keadaan pada setiap saatnya (World Climate
Conference, 1979).
4. Iklim adalah konsep abstrak yang menyatakan kebiasaan cuaca dan unsur-
unsur atmosfer disuatu daerah selama kurun waktu yang panjang (Glenn
T. Trewartha, 1980).
Iklim di Indonesia hampir seluruhnya tropis. Seragam air hangat yang
membentuk 81% dari daerah di Indonesia memastikan bahwa suhu di darat tetap
cukup konstan, dengan dataran pantai rata-rata 28 °C, daerah pedalaman dan
gunung rata-rata 26 °C, dan daerah pegunungan yang lebih tinggi, 23 °C. Suhu
bervariasi sedikit dari musim ke musim, dan Indonesia relatif mengalami sedikit
perubahan pada panjang siang hari dari satu musim ke musim berikutnya,
perbedaan antara hari terpanjang dan terpendek hari tahun ini hanya empat puluh
delapan menit. Hal ini memungkinkan tanaman dapat tumbuh sepanjang tahun.
Variabel utama iklim di Indonesia tidak suhu atau tekanan udara, namun curah
hujan. Daerah itu kelembaban relatif berkisar antara 70 dan 90%. Angin yang
moderat dan umumnya dapat diprediksi, dengan musim hujan biasanya bertiup
dari selatan dan timur pada bulan Juni hingga September dan dari barat laut pada
bulan Desember sampai Maret. Topan dan badai skala besar menimbulkan bahaya
sedikit untuk pelaut di perairan Indonesia; bahaya besar berasal dari arus deras di
saluran.
Wilayah Indonesia terletak di daerah tropis yang dilintasi oleh garis
Khatulistiwa, sehingga dalam setahun matahari melintasi ekuator sebanyak dua
kali. Matahari tepat berada di ekuator setiap tanggal 23 Maret dan 22 September.
Sekitar April-September, matahari berada di utara ekuator dan pada Oktober-
Maret matahari berada di selatan. Pergeseran posisi matahari setiap tahunnya
menyebabkan sebagian besar wilayah Indonesia mempunyai dua musim, yaitu
musim hujan dan musim kemarau. Pada saat matahari berada di utara ekuator,
sebagian wilayah Indonesia mengalami musim kemarau, sedangkan saat matahari
ada di selatan, sebagaian besar wilayah Indonesia mengalami musim penghujan.
Unsur iklim yang sering dan menarik untuk dikaji di Indonesia adalah curah
hujan, karena tidak semua wilayah Indonesia mempunyai pola hujan yang sama.
Diantaranya ada yang mempunyai pola munsonal, ekuatorial dan lokal. Pola hujan
tersebut dapat diuraikan berdasarkan pola masing-masing.
2
Distribusi hujan bulanan dengan pola monsun adalah adanya satu kali
hujan minimum. Hujan minimum terjadi saat monsun timur sedangkan saat
monsun barat terjadi hujan yang berlimpah. Monsun timur terjadi pada bulan Juni,
Juli dan Agustus yaitu saat matahari berada di garis balik utara. Oleh karena
matahari berada di garis balik utara maka udara di atas benua Asia mengalami
pemanasan yang intensif sehingga Asia mengalami tekanan rendah. Berkebalikan
dengan kondisi tersebut di belahan selatan tidak mengalami pemanasan intensif
sehingga udara di atas benua Australia mengalami tekanan tinggi. Akibat
perbedaan tekanan di kedua benua tersebut maka angin bertiup dari tekanan tinggi
(Australia) ke tekanan rendah (Asia) yaitu udara bergerak di atas laut yang
jaraknya pendek sehingga uap air yang dibawanyapun sedikit.
Terjadinya bencana yang sering terjadi di Indonesia akibat perubahan
iklim. Contohnya seperti musim hujan tanpa henti mengakibatkan banjir pada
perkotaan dan tanah lonsor pada lereng yang gundul. Bila terjadi musim kemarau
berkepanjangan maka terjadi kekeringan pada suatu daerah. Yang lebih penting
tentang perubahan iklim yang mengakibatkan pemanasan global dan mencairnya
es di kutub yang mengakibatkan pulau-pulau kecil tenggelam. Indonesia sangat
diuntungkan dengan iklim tropisnya. Bagai permata dunia, banyak negara yang iri
dengan apa yang kita miliki. Matahari menyinari selama kurang lebih 12 jam per
harinya. Ribuan jenis flora dan fauna dapat tumbuh dan berkembang dengan baik
di negara tercinta ini. Berbagai macam jenis kayu yang dapat kita manfaatkan
dengan bijak, salah satunya untuk material bangun rumah. Selain itu jenis material
lain juga sangat beragam, sehingga memudahkan kita untuk menciptakan hunian
yang nyaman, sesuai keinginan, dan tentunya menarik dari segi fasanya. Dengan
adanya sinar matahari yang cukup banyak dapat kita terima, sebenarnya dapat kita
manfaatkan secara maksimal untuk sumber pencahayaan alami dalam bangunan
sehingga kita dapat menghemat pemakaian listrik. Tetapi apabila tidak di
rencanakan dengan baik, bukan tidak mungkin sumber pencahayaan alami yang
paling utama ini dapat merepotkan anda. Salah satu yang merepotkan dalam
rumah adalah silau. Silau ini dapat diakibatkan oleh pantulan sinar matahari yang
menimpa material bangunan yang memiliki tingkat reflektifitas cukup tinggi,
misalnya keramik, marmer, air.
Faktor-Faktor Yang Dipengaruhi Iklim Di Indonesia
a. Suhu Udara
Karena posisi Indonesia terletak pada lintang yang rendah, maka
Indonesia memiliki suhu rata-rata tahunan yang tinggi yaitu kurang lebih
26 °C. suhu udara di pengaruhi oleh iklim karena suhu yang tinggi akan
mengakibatkan banyak penguapan apalagi dilihat dari letak geografis
Indonesia, memungkinkan adanya penguapan yang besar, oleh karena itu
pada musim kemarau kadang-kadang juga masih banyak hujan. Dengan
demikian tidak ada batas yang jelas antara musim kemarau dan musim
penghujan.
b. Kelembaban Udara
Kelembaban udara ialah keadaan fisik atmosfer dalam
hubungannya dengan uap air. Dalam kaitannya dengan air yang selalu
terdapat dalam atmosfer, berupa uap (gas), butir-butir air atau es yang
3
melayang-layang (awan, kabut). Jumlahnya sekitar 2% dari massa seluruh
atmosfer. Tetapi jumlah ini tidak tetap dan berkisar antara hampir 0% -
5%. Sebagai Negara kepulauan yang memiliki laut yang luas, iklim tropis
dan suhu yang tinggi , maka penguapan di Indonesia sangat banyak
sehingga kelembaban udara selalu tinggi.
c. Curah Hujan
Sebagai Negara kepulauan yang memiliki laut yang luas, iklim
tropis dan suhu yang tinggi , maka penguapan di Indonesia sangat banyak
sehingga kelembaban udara selalu tinggi. Kelembaban udara yang tinggi
inilah yang akan menyebabkan curah hujan yang tinggi pula. Meskipun
demikian, banyaknya curah hujan di Indonesia juga dipengaruhi oleh
beberapa factor. Diantaranya yaitu :
1. Letak daerah konvergensi antartropis
2. Bentuk medan dan arah lereng medan
3. Arah angin yang sejajar dengan pantai
4. Jarak perjalanan angin di atas medan datar
5. Posisi geografis daerahnya.
Rata-rata curah hujan di Indonesia tergolong tinggi, yaitu lebih dari
2000 mm/tahun. Daerah yang paling tinggi curah hujannya yaitu daerah
baturaden di lereng gunung slamet dengan rata-rata curah hujan kurang
lebih 589 mm/bulan. Daerah yang paling kering adalah daerah palu,
Sulawesi tengah dengan curah hujan rata-rata kurang lebih 45,5 mm/bulan.
Pada saat yang sama, Indonesia beresiko mengalami kerugian yang
signifikan karena perubahan iklim. Karena keberadaannya sebagai negara
kepulauan, Indonesia sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim.
Kekeringan yang semakin panjang, frekuensi peristiwa cuaca ekstrem yang
semakin sering, dan curah hujan tinggi yang berujung pada bahaya banjir besar,
semuanya merupakan contoh dari dampak perubahan iklim. Terendamnya
sebagian daratan negara, seperti yang terjadi di Teluk Jakarta, telah mulai terjadi.
Pada gilirannya, hal ini akan membawa efek yang merugikan bagi sektor
pertanian, perikanan dan kehutanan, sehingga berujung kepada terciptanya
ancaman atas ketersediaan pangan dan penghidupan di Indonesia.
Pemanasan global akan meningkatkan temperatur, memperpendek musim
hujan, dan meningkatkan intensitas curah hujan. Kondisi ini dapat mengubah
kondisi air dan kelembaban tanah yang akhirnya akan memengaruhi sektor
pertanian dan ketersediaan pangan. Perubahan iklim dapat menurunkan tingkat
kesuburan tanah sebesar 2-8 %, sehingga menurunkan hasil panen beras.
Pemanasan global juga akan menaikkan level permukaan air laut, sehingga
menggenangi daerah pesisir produktif yang sekarang digunakan sebagai lahan
pertanian. Tak hanya itu, perubahan iklim juga akan meningkatkan dampak buruk
dari wabah penyakit yang ditularkan melalui air atau vektor lain seperti nyamuk.
Pada akhir dekade 1990an, El Nino dan La Nina diasosiasikan dengan wabah
malaria dan DBD. Akibat dari meningkatnya temperatur, malaria kini juga
mengancam daerah yang sebelumnya tak tersentuh karena suhu dingin, seperti
dataran tinggi Irian Jaya (2013m di atas permukaan laut) pada tahun 1997
(Climate Hotmap).
4
Problem kesehatan lainnya juga dapat diperparah karena perubahan iklim.
Contohnya, manusia dengan penurunan fungsi jantung sangat mungkin menjadi
lebih rentan dalam cuaca yang panas karena mereka membutuhkan energi lebih
untuk mendinginkan tubuh mereka. Suhu panas juga dapat mencetuskan masalah
pernapasan. Konsentrasi zat ozone di level permukaan tanah akan meningkat
karena pemanasan suhu. Ini akan menyebabkan kerusakan pada jaringan paru-
paru manusia.
B. Perilkau Masyarakat
Perilaku merupakan basil hubungan antara perangsang (stimulus) dan
respon Skinner, cit. Notoatmojo 1993). Perilaku tersebut dibagi lagi dalam 3
domain yaitu kognitif, afektif dan psikomotor. Kognitif diukur dari pengetahuan,
afektif dari sikap psikomotor dan tindakan (ketrampilan). Pengetahuan diperoleh
dari pengalaman, selain guru, orangtua, teman, buku, media massa (WHO 1992).
Menurut Notoatmojo (1993), pengetahuan merupakan hasil dari tabu akibat proses
penginderaan terhadap suatu objek. Penginderaan tersebut terjadi sebagian besar
dari penglihatan dan pendengaran. Pengetahuan yang cakap dalam koginitif
mempunyai enam tingkatan, yaitu : mengetahui, memahami, menggunakan,
menguraikan, menyimpulkan dan evaluasi.
Menurut Notoatmojo (1993) sikap merupakan reaksi yang masih tertutup,
tidak dapat terlihat langsung. Sikap hanya dapat ditafsirkan dari perilaku yang
nampak. Azwar (1995) menyatakan sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi
terhadap suatu objek dengan cara tertentu, bentuk reaksinya dengan positif dan
negatif sikap meliputi rasa suka dan tidak suka, mendekati dan menghindari
situasi, benda, orang, kelompok, dan kebijaksanaan social (Atkinson dkk, 1993).
Menurut Harvey & Smith (1997) sikap, keyakinan dan tindakan dapat diukur.
Sikap tidak dapat diamati secara langsung tetapi sikap dapat diketahui dengan
cara menanyakan terhadap yang bersangkutan dan untuk menanyakan sikap dapat
digunakan pertanyaan berbentuk skala.
Tindakan dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu predisposisi yang terwujud
dalam pengetahuan, sikap dan kepercayaan (cit. Notoatmojo 1993). Menurut
Sarwono (1993) perilaku manusia merupakan pengumpulan dari pengetahuan,
sikap dan tindakan, sedangkan sikap merupakan reaksi seseorang terhadap
stimulus yang berasal dari luar dan dari dalam dirinya. Perubahan perilaku dalam
diri seseorang dapat terjadi melalui proses belajar. Belajar diartikan sebagai proses
perubahan perilaku yang didasari oleh perilaku terdahulu.Dalam proses belajar
ada tiga unsur pokok yang saling berkaitan yaitu masukan (input), proses, dan
keluaran (output) (Notoatmojo 1993). lndividu atau masyarakat dapat merubah
perilakunya bila dipahami faktor-faktor yang berpengaruh terhadap
berlangsungnya dan berubahnya perilaku tersebut.
Perilaku dari pandangan biologis adalah merupakan suatu kegiatan atau
aktivitas organisme yang bersangkutan. Jadi perilaku manusia pada hakekatnya
adalah suatu aktivitas dari manusia itu sendiri. Oleh sebab itu, perilaku manusia
itu mempunyai bentangan yang sangat luas, mencakup berjalan, berbicara,
bereaksi, berpakaian, dan sebagainya. Bahkan kegiatan internal (internal activity)
seperti berpikir, persepsi dan emosi juga merupakan perilaku manusia. Untuk
kepentingan kerangka analisis dapat dikatakan bahwa perilaku adalah apa yang
5
dikerjakan oleh organisme tersebut, baik dapat diamati secara langsung atau
secara tidak langsung. Perilaku dan gejala perilaku yang tampak pada kegiatan
organisme tersebut dipengaruhi baik oleh faktor genetik (keturunan) dan
lingkungan. Secara umum dapat dikatakan bahwa faktor genetik dan lingkungan
ini merupakan penentu dari perilaku makhluk hidup termasuk perilaku manusia.
Ada beberapa hal yang mempengaruhi perilaku seseorang, sebagian
terletak di dalam individu sendiri yang disebut faktor intern yaitu keturunan dan
motif. Sedangkan sebagian terletak diluar dirinya yang disebut faktor ekstern,
yaitu faktor lingkungan. Azwar (1995) menyatakan bahwa sekalipun diasumsikan
bahwa sikap merupakan predisposisi evaluasi yang banyak menentukan cara
individu bertindak, akan tetapi sikap dan tindakan seringkali jauh berbeda. Hal ini
karena tindakan nyata ditentukan tidak hanya oleh sikap, akan tetapi oleh berbagai
faktor eksternal lainnya. Sikap tidaklah sama dengan perilaku, dan perilaku
tidaklah selalu mencerminkan sikap seseorang, sebab seringkali terjadi bahwa
seseorang memperlihatkan tindakan yang bertentangan dengan sikapnya. Sikap
seseorang dapat berubah dengan diperolehnya tambahan informasi tentang objek
tersebut, melalui persuasi serta tekanan dari kelompok sosialnya (Sarwono 1993).
Prilaku dibentuk oleh 3 faktor antara lain :
1. Faktor-faktor predisposisi (predisposing factors) yang terwujud dalam
pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai, dan
sebagainya.
2. Faktor-faktor pendukung ( enebling factors), yang terwujud dalam
lingkungan fisik, tersedia atau tidak tersedianya fasilitas-fasilitas atau
sarana-sarana kesehatan, misalnya puskesmas, obat-obatan, alat-alat
kontrasepsi, jamban, dan sebagainya.
3. Faktor-faktor pendorong (renforcing factors), yang terwujud dalam
sikap dan perilaku petugas kesehatan atau petugas lain, yang
merupakan kelompok referensi dari perilaku masyarakat.
Disimpulkan bahwa perilaku seseorang atau masyarakat tentang
kesehatan ditentukan oleh pengetahuan, sikap, kepercayaan, tradisi,
dan sebagainya dari orang atau masyarakat yang bersangkutan.
Disamping itu, ketersediaan fasilitas, sikap, dan perilaku para petugas
kesehatan terhadap kesehatan juga akan mendukung dan memperkuat
terbentuknya perilaku.
C. Hubungan Iklim Regional dan Perilaku Masyarakat
1. Suhu
Suhu menunjukkan derajat panas dari suatu benda atau keadaan. Suhu
udara misalnya, menunjukkan seberapa panas kondisi udara tersebut. Suhu
udara sendiri berbeda-beda di tiap wilayah. Di daerah pegunungan atau
daerah yang tinggi misalnya, relatif lebih dingin dibanding daerah pantai
atau daerah lain yang letaknya di dataran rendah. Begitu pula suhu udara
di musim dingin yang tentunya lebih rendah dibanding suhu udara pada
musim panas. Tubuh manusia sendiri sekitar 37 derajat Celcius.
Sedangkan suhu terekstrim yang pernah tercatat adalah -89,2 derajat
Celcius yaitu suhu di stasiun Vostok Antartika pada 21 Juli 1983.
6
Sedangkan suhu terpanas yang pernah terjadi adalah 57,8 derajat Celcius
pada 13 September 1922 di wilayah El Azizia Sahara.
Manusia sendiri memiliki batas kemampuan bertahan dalam suhu tertentu.
Tubuh manusia hanya bisa mentolerir suhu maksimal 180 derajat
Fahrenheit atau sekitar 82 derajat Celcius selama lima puluh menit. Pada
suhu 110 derajat Fahrenheit sendiri reseptor tubuh sudah mengalami
gangguan. Sedangkan pada suhu di bawah 60 derajat Fahrenheit atau
sekitar 15 derajat Celcius sendiri saraf motorik manusia juga sudah mulai
terganggu (Veitch & Arkkelin, 1995).
Beberapa psikolog meyakini adanya hubungan antara suhu udara dengan
kecenderungan perilaku seseorang. Suhu udara yang panas misalnya
dipercaya sebagai faktor pendorong muculnya agresivitas (Jamridafrizal,
2010; Proshansky, Ittelson, & Rivlin, 1970). Di sisi lain suhu yang sangat
ekstrim dipercaya dapat mengurangi perilaku agresivitas (Veitch &
Arkkelin, 1995). Hal itu dapat dijelaskan dari proses biologis yang terjadi.
Ketika suhu meningkat, maka suhu tubuh juga akan meningkat aliran
darah membesar sehingga darah menjadi lebih dingin dan mengalir ke
permukaan kulit, kulit menjadi berwarna merah muda dan berketingat
serta detak jantung meningkat. Ini menyebabkan manusia menjadi lebih
mudah emosi, meledak-ledak, dan membabi buta (Veitch & Arkkelin,
1995). Perilaku semacam ini dipercaya memperpendek usia individu.
Penelitian di Swedia terhadap anak-anak SD juga menghasilkan temuan
yang relatif sama. Dimana peningkatan suhu berpengaruh padaperforma
seseorang (Gifford, 1987). Anak SD memiliki performa yang lebih buruk
ketika berada dalam ruangan yang bersuhu tinggi dibanding ketika berada
dalam ruangan bersuhu normal. Prakteknya di lapangan adalah maraknya
penggunaan pendingin udara di kantor-kantor dan ruang kelas. Meski
penggunaan AC sendiri ternyata tidak meningkatkan performa kerja
seseorang, hanya membuat performa individu tersebut menjadi lebih stabil
(Gifford, 1987).
Suhu juga dipercaya memiliki pengaruh terhadap relasi seseorang. Dalam
suhu yang sedang misalnya cenderung mempengaruhi munculnya perilaku
anti sosial (Veitch & Arkkelin, 1995). Penelitian juga menunjukkan bahwa
persepsi seseorang terhadap daya tarik orang lain dipengaruhi suhu udara.
Dimana daya tarik seseorang dalam suhu udara yang panas cenderung
lebih rendah daripada dalam keadaan suhu normal (Proshansky, Ittelson,
& Rivlin, 1970).

7
2. Cahaya
Selain suhu, faktor lain dari cuaca yang berpengaruh pada perilaku adalah
cahaya. Cahaya telah menjadi bagian utama dari kehidupan kita. Tanpa
adanya cahaya tumbuhan tidak dapat berfotosintesis, manusia dan hewan
tidak dapat bertahan hidup mencari makanan.Kecuali beberapa spesies
hewan yang memang dirancang untuk hidup dalam kegelapan.
Meski berhasil menciptakan sumber cahaya sendiri, tetap saja matahari
merupakan sumber cahaya utama dalam kehidupan manusia. Cahaya
matahari sendiri memiliki banyak efek terhadap kehidupan kita. Salah
satunya adalah dapat menstimulasi tubuh untuk memproduksi vitamin D
yang mencegah penyakit pada pergelangan sendi sehingga kita dapat
beraktivitas dengan lebih leluasa (Veitch & Arkkelin, 1995).
Selain itu, cahaya juga menstimulasi tubuh untuk memproduksi serotonin
(Veitch & Arkkelin, 1995). Serotonin sendiri dipercaya berpengaruh pada
suasana hati seseorang. Mereka yang kekurangan serotonin akan lebih
mudah depresi. Dalam cuaca cerah, kita seringkali merasa lebih
bersemangat. Karena cahaya matahari pada hari yang cerah dapat
menimbulkan kesenangan dan kebahagiaaan (Veitch & Arkkelin, 1995).
Sedangkan suasana berawan dapat membuat kita merasa sedih. Itulah
sebabnya di malam hari kita terkadang merasa lebih melankolis dibanding
pada pagi hari. Dalam drama, karya sastra, dan semacamnya, suasana pagi
yang penuh cahaya digunakan untuk menggambarkan suasana semangat
atau suasana hati yang gembira. Sebaliknya untuk menggambarkan
suasana muram biasanya menggunakan setting yang relatif gelap misalnya
mendung, hujan, malam, dan sebagainya.
Ternyata tidak hanya cahaya matahari yang berpengaruh pada kehidupan
kita. Cahaya dari lampu bohlam dan lampu neon misalnya memiliki
pengaruhnya sendiri-sendiri. Lampu neon dengan cahayanya yang cukup
terang membuat kita merasa lebih aktif dan bersemangat. Dalam sebuah
penelitian disebutkan bahwa cahaya lampu neon dapat berpengaruh dapat
meningkatkan perilaku hiperaktif pada anak yang sudah ada gejala autism
dan gangguan emosional lainnya (Gifford, 1987). Tentu saja pengaruh
tersebut tidak hanya berlaku bagi individu yang mengalami gangguan
jiwa. Pengaruh tersebut berlaku bagi seluruh individu pada umumnya.
3. Angin, Kelembaban Dan Ion
Udara sendiri tersusun oleh berbagai macam unsur. Mulai dari seberapa
banyak uap air yang terkandung dalam udara yang biasa kita sebut sebagai
kelembaban, hingga kandungan ion-ion dalam udara. Selain itu ada jujga
tekanan udara. Semua ini memiliki pengaruh masing-masing terhadap
perilaku kita.
8
Komposisi dan keadaan udara ini sendiri tentunya memiliki pengaruh
terhadap perilaku kerja (Gifford, 1987). Angin misalnya memiliki
pengaruh langsung dalam kehidupan kita. Teknologi kita banyak
menggunakan angin dalam aktivitasnya misalnya untuk melaut,
pembangkit listrik, penerbangan, dsb. Efek yang secara langsung dapat
kita lihat adalah manusia cenderung enggan melaut atau terbang apabila
kondisi angin sedang tidak bersahabat.
Selain angin, tekanan udara juga memiliki pengaruh tersendiri terhadap
diri kita. Sebuah penelitian di Jepang menyebutkan bahwa individu
cenderung lebih mudah lupa pada hari yang memiliki tekanan udara yang
rendah (Proshansky, Ittelson, & Rivlin, 1970).
Kelembaban juga memiliki pengaruh yang berbeda terhadap psikologis
manusia dalam hal ini justifikasi. Angin kering (kelambaban udara yang
rendah) berpengaruh pada rational judgement yang negatif terhadap
seseorang (Veitch & Arkkelin, 1995). Sehingga jika seseorang berkenalan
dengan orang asing pada kondisi tersebut, orang tersebut akan cenderung
dinilai negatif dibanding ketika berkenalan dalam kondisi kelembaban
yang tinggi.
Komposisi udara lain yang turut berpengaruh pada perilaku manusia
adalah konsentrasi ion. Konsetrasi ion positif dapat meningkatkan depresi,
insomnia, dan migraine. Orang yang berada dalam kondisi ion positif
cenderung memiliki mood yang buruk dan berperilaku aneh (Veitch &
Arkkelin, 1995). Lain halnya dengan individu yang banyak menghirup ion
negatif cenderung dapat meningkatkan fungsi kognitif, kapasitas kerja, dan
efisiensi dalam bekerja. Konsep yang sama yang diadopsi dalam
minuman-minuman isotonik yang mengandung banyak ion negatif.
Tujuannya adalah meningkatkan konsentrasi dan semangat dalam
beraktivitas.
Perubahan iklim telah menghadirkan berbagai dampak dalam kehidupan
manusia, baik yang terjadi di negara-negara maju maupun di negara-negara
berkembang. Fenomena alam yang luar biasa menuntut adanya respons positif
secara global, mengingat dampak yang ditimbulkannya juga berskala global.
Inilah yang menjadi alasan utama diselenggarakannya The 2nd World Ecological
Safety Assembly 2012 (WESA) di Bali pada 9-12 Desember 2012 dan dihadiri
sekitar 500 delegasi, diantaranya adalah pejabat-pejabat negara, mantan ketua
parlemen dan tokoh pemimpin dari berbagai negara. Salah satu masalah besar
yang muncul dalam satu dekade terakhir ini adalah perdebatan mengenai
perubahan iklim, siapa yang seharusnya memulai upaya mengatasi perubahan
iklim beserta dampak yang ditimbulkannya. Perdebatan menjadi berlarut-larut dan
tidak tuntas, karena perbedaan pendapat antara dua kelompok kepentingan, yaitu
kelompok negara-negara maju dan kelompok negara-negara berkembang.

9
Kelompok negara maju sebagai sumber penghasil gas rumah kaca, di masa lalu
maupun sekarang, dituntut menjadi yang pertama kali mengurangi emisinya.
Mereka tidak memberikan respon positif, karena menurunkan emisi berarti
menghambat pertumbuhan ekonominya, sehingga ide pengurangan emisi yang
menjadi pesan utama protokol Kyoto menjadi sia-sia. Sementara, menempatkan
tanggungjawab perubahan iklim kepada negara-negara berkembang, juga
bukanlah pilihan yang tepat dan mendapat resistensi yang kuat. Negara-negara
berkembang akan terus melanjutkan pembangunan ekonominya meskipun
beresiko tingkat pertumbuhan emisinya akan meningkat pula. The 2nd World
Ecological Safety Assembly 2012 yangdiinisiasi International Eco-Safety
Cooperative Organization (IESCO), yaitusebuah lembaga internasional yang
berafiliasi dengan United Nations (PBB), dilatarbelakangi oleh pemikiran bahwa,
krisis ekologi di seluruh dunia telah mengancam kelangsungan hidup manusia dan
pembangunan. Menjaga keselamatan lingkungan, mengantisipasi bencana alam,
antisipasi terhadap krisis dan bencana ekologi yang tak terduga, merupakan hal
yang penting. Kehadiran para pemimpin dan tokoh dunia dalam pertemuan
WESA ini adalah untuk membicarakan berbagai permasalahan tersebut dan
mencari solusinya.
Ada banyak masalah lingkungan hidup yang terjadi saat ini, seperti
pemanasan global, polusi, penggundulan hutan, hilangnya keanekaragaman
hayati, makanan yang tidak aman, krisis pangan, krisis energi, dan lain-lain.
Untuk itu, diperlukan cara untuk mengendalikan krisis sumberdaya,
menyeimbangkan pembangunan sosial-ekonomi dan konservasi ekologi bagi
generasi sekarang dan masa depan, dan bagaimana memperkuat kemitraan antara
negara maju dan berkembang. Salah satu tujuan WESAadalah menjaga
keselamatan ekologi (ecological safety), melindungi lingkungan, mendirikan
organisasi keamanan ekologi internasional, menciptakan mekanisme peringatan
dini dan bersama-sama mengatasi bencana ekologi. The 1st World Ecological
Safety Assemblytelah dilaksanakan di Kamboja pada Desember 2010, dan telah
dihasilkan Angkor-Protokol, yang memuat berbagai kebijakan tentang lingkungan
hidup. Pada The 2nd World Ecological Safety Assembly 2012 di Bali, dihasilkan
kesepakatan yang lebih strategis dan segera dapat diterapkan oleh seluruh negara.
Permasalahan lingkungan tidak dapat diselesaikan hanya dengan
melibatkan pihak-pihak tertentu saja, tetapi memerlukan kerjasama pemerintah,
parlemen, partai-partai politik, LSM, lembaga keuangan dan kelompok-kelompok
perusahaan, untuk mencapai pembangunan yang menyeimbangkan antara
ekonomi, masyarakat dan lingkungan. Melindungi ekologi, menjaga lingkungan,
mencegah polusi, dan mengantisipasi berbagai bencana alam, tentu menuntut
tanggung jawab bersama (common responsibility). Kebersamaan itu memerlukan
kesamaan cara pandang (vision)danplatform yang sama, agar tercapai
keseimbangan hidup yang harmonis antara masyarakat dan lingkungan. Dialog
antara profesional dan akademisi, partai politik, parlemen, pemerintah, LSM,
perusahaan, lembaga keuangan dan seluruh pemangku kepentingan, sangat
diperlukan. Untuk itulah, WESA ini juga amat diperlukan bagi perluasan jaringan
bagi parlemen, partai politik, profesional, akademisi, lembaga keuangan ataupun
perusahaan, untuk mempromosikan kerjasama ekologis yang aman.
10
Melalui pertemuan WESA di Bali, para peserta telah memperlihatkan
keperduliannya terhadap ancaman kerusakan ekologi akibat eksploitasi yang
berlebihan. Seruan agar masyarakat dunia memanfaatkan SDA sesuai dengan
daya dukung yang dimilikinya perlu dilakukan karena masa depan pemeliharaan
lingkungan hidup menjadi tanggungjawab semua pihak. Parlemensebagai
legislator diharapkanmampumenghasilkanperangkatperundangan-undanganyang
menjaminbahwapemanfaatan SDA akanberlangsungsecaraberkelanjutan.
Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia. Kondisi geografis
Indonesia juga unik, karena terletak di antara Benua Asia dan Australia, dan
Samudera Pasifik dan Hindia. Indonesia terbentang di wilayah lingkaran api (ring
of fire), yang setiap saat harus waspada terhadap berbagai bencana alam seperti
letusan gunung api dan tsunami. Indonesia juga tercakup dalam dua alam
biogeografis utama, yaitu Indomalaya dan Australasia dengan Garis Wallace di
antaranya. Karena faktor geografis, topografis dan iklim, Indonesia memiliki
ekosistem yang beraneka ragam, antara yang hidup di laut, pantai, sampai dengan
yang berada di kawasan gambut dan hutan. Dengan kondisi alam yang demikian,
Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang luar biasa. Sepuluh persen dari
species bunga dunia ada di Indonesia, 12% hewan menyusui di dunia ada di
Indonesia, 16% binatang reptil dan ampibhi dunia juga berada di Indonesia, 17%
dari aneka burung dunia ada di Indonesia, dan sedikitnya 25% dari aneka ikan
dunia berada di Indonesia. Disamping itu, pulau Kalimantan dan Sumatera
merupakan habitat dari hewan yang dilindungi, yaitu orangutan dan harimau
Sumatera. Laut Indonesia yang meliputi kawasan seluas 33 juta hektar,
menyimpan 450 species batu karang. Perekonomian Indonesia sangat bergantung
dari ekosistem sumberdaya alam yang terkandung didalamnya, yang sekarang ini
sedang mengalami ancaman terhadap keberlangsungannya. Dengan berbagai
fenomena tersebut, Indonesia harus senantiasa waspada terhadap masalah
lingkungan, termasuk memperbaiki model pembangunan, agar lebih kuat tanpa
harus mengorbankan lingkungan.Setiap tanggal 5 Juni, kita selalu memperingati
Hari Lingkungan Hidup Sedunia. Tema Green Economy, dengan pertanyaan
kunci, Does It Include You?, telah ditetapkan oleh United Nations Environment
Programme (UNEP).
Di Indonesia, tema itu telah disesuaikan menjadi “Ekonomi Hijau; Ubah
Perilaku, Tingkatkan Kualitas Lingkungan”. Tema ini saya nilai penting dan
berorientasi ke masa depan, karena ekonomi hijau yang dimaksud disini adalah
pembangunan untuk mencapai tiga sasaran besar yaitu, ekonomi terus
tumbuh dan memberikan lapangan kerja serta mengurangi kemiskinan, tanpa
mengabaikan perlindungan lingkungan. Karenaitu, pelestarian sumber daya alam
mempunyainilai yang sangat strategis bagi implementasi pembangunan yang
berkelanjutan di Indonesia. Di sadari bahwa,saatini laju degradasi sumber daya
alam dan lingkungan jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan laju kemampuan
manusia melakukan upaya perbaikan. Pemerintah Indonesia berupaya menerapkan
prinsip ekonomi hijau sesuai dengan karakteristik, kondisi, dan kebutuhan bangsa
dalam berbagai bentuk kebijakan, perencanaan dan program, di berbagai sektor
pembangunan. Parlemen Indonesia juga amat mendorong terwujudnya upaya
11
mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim, pengelolaan hutan, laut dan
pesisir secara lestari, yang dilanjutkan dengan pengembangan energi bersih dan
energi terbarukan yang ramah lingkungan. Perubahan model pembangunan ke
arah Ekonomi Hijau ini sudah menjadi komitmen Indonesia, yang tercermin dari
rencana penurunan emisi Gas Rumah Kaca melalui pembangunan ekonomi
rendah emisi karbon. Pendekatan pembangunan ekonomi tersebut merupakan
lompatan besar untuk meninggalkan praktek pembangunan ekonomi masa lalu,
yang mementingkan keuntungan jangka pendek tapi mewariskan berbagai
permasalahan lingkungan.
Strategi ini menekankan dan memadukan aspek "pertumbuhan
kesejahteraan" dan “pelestarian lingkungan” yang didukung melalui Instruksi
Presiden mengenai Rencana Aksi Nasional untuk menurunkan Gas Rumah Kaca,
Intruksi Presiden tentang Efisiensi Energi, Instruksi Presiden tentang Moratorium
Hutan dan Keputusan Presiden tentang Satgas Pemberantasan Mafia Hukum.
Penerapan konsep Ekonomi Hijau juga membutuhkan perubahan paradigma dan
gaya hidup yang menghasilkan perasaan adil di antara berbagai kelompok
masyarakat, sekaligus memberikan penghematan dan peningkatan daya guna
ekonomi dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini dimaknai dengan pentingnya
melakukan perubahan paradigma pembangunan dan perilaku warga masyarakat,
termasuk di dalamnya dalam kegiatan produksi dan konsumsi yang mampu
meningkatkan kualitas lingkungan hidup. Ekonomi Hijau juga dimaknai sebagai
kemampuan untuk melibatkan rakyat secara produktif dalam pembangunan yang
berkelanjutan yang diimplementasikan sesuai arah pembangunan yang pro-
environment. Hal ini memerlukan kerja sama semua pihak untuk membuatnya
menjadi bagian dari hidup kita sehari-hari.

Dimulai dari hal-hal sederhana yang dapat kita lakukan, misalnya hemat
air dan energi, serta menanam pohon. Dari apa yang saya uraikan tersebut, dapat
disimpulkan bahwa, pertama, perubahan iklim merupakan masalah dunia karena
dampaknya dirasakan oleh semua negara di dunia, dan menjadi tantangan paling
besar yang harus dihadapi oleh masyarakat dunia. Para pembicara dalam Sidang
WESA, telah menekankan kepada berbagai hal, tidak semata-mata hanya kepada
dampak dari perubahan iklim dan respon internasional, tetapi juga menginginkan
perlunya kerjasama internasional yang harus lebih ditingkatkan terutama di dalam
aturan-aturan dan pelaksanaan yang harus dijalankan berkaitan dengan ecological
safety. Pada akhir pertemuan WESA ke-2, para peserta juga telah
mendeklarasikan World Ecological Civilization Declarartion and Ecological
Safety Action, yang selanjutnya dibawa ke masing-masing negara. Kedua,berbagai
upaya harus juga dilakukan, bukan hanya menyangkut bagaimana menghentikan
pemanasan global secepatnya, tetapi juga bagaimana mengantisipasinya agar ke
depan tidak lagi menjadi masalah besar bagi negara-negara di dunia. Ketiga,
antisipasi ini penting, karena terkait kebijakan setiap negara terhadap pola-pola
pembangunan yang hendak dijalankan. Hal ini berarti bahwa, pembangunan juga
harus mempertimbangkan dengan polusi udara karena adanya penggunaan bahan
bakar fosil. Terakhir, kedepan, semua negara sekarang ini dituntut untuk
menjalankan kebijakan di bidang ekonomi yang ramah lingkungan, yang lebih
12
mengedepankan teknologi baru yang tidak lagi bergantung pada bahan bakar
fosil.Di samping itu, dituntut pula untuk mempertimbangkan pola-pola adaptasi
yang disesuaikan dengan tingkat kerentanan masyarakatnya. Indonesia sangat
berkepentingan terhadap masalah ini. Oleh karena itu, Indonesia terus berupaya
mengedepankan etika lingkungan dalam setiap pembangunan ekonomisebab
kekayaan sumber daya alam Indonesia bukan hanya untuk generasi masa kini
tetapi juga yang akan datang.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan merilis hasil penelitian
yang bertemakan perubahan iklim. Jika pada umumnya perubahan iklim
membawa perubahan pada parameter cuaca seperti temperatur udara, curah hujan,
tekanan udara, kelembaban udara, kondisi awan, radiasi matahari, laju serta arah
angin yang menimbulkan dampak negatif bagi kehidupan, namun hasil dari
penelitian menyebutkan, perubahan iklim juga membawa perubahan pada perilaku
masyarakat di Indonesia Koordinator Tim Peneliti Badan Litbang Kehutanan,
Niken Sakuntaladewi, Selasa (26/5) mengatakan, salah satu objek penelitian di
Kabupaten Solok, Sumatra Barat, terjadinya perubahan iklim secara perlahan
membawa perubahan dalam berpakaian pada masyarakat di Desa Bukit Sileh, Air
Batumbuk dan Air Dingin.
Sebelumnya keseharian masyarakat di tiga nagari tersebut menggunakan
pakaian panjang dan berlapis serta bersarung. Mereka juga tidak bertopi saat
bekerja di ladang. Sekarang, mereka sudah tidak memerlukan pakaian hangat
tersebut serta menggunakan topi saat berladang. Perubahan perilaku masyarakat
tersebut, tidak hanya terjadi di Kabupaten Solok, Propinsi Sumatra Barat. Tetapi,
terjadi hampir di seluruh wilayah Indonesia yang menjadi lokasi penelitian seperti
Papua, Jawa, NTT, Bali maupun Sulawesi. Biasanya petani di Desa Nenas dan
Desa Benu, NTT menggunakan tanda-tanda alam untuk menentukan musim
tanam. Sekarang, mereka menggunakan musyawarah atau kesepakatan bersama
untuk menentukan musim tanam. Perubahan perilaku masyarakat di beberapa
daerah penelitian tersebut kemungkinan besar disebabkan adanya perubahan
iklim. Tetapi, masyarakat tidak memahami adanya perubahan iklim tersebut.
Musim hujan sudah berubah dan cuaca ekstrem terjadi di desa pada di desa pada
tahun 1990. Selama 1 tahun tidak turun hujan dan masyarakat hanya bisa makan
ubi.

13
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Bangsa Indonesia sering dicitrakan sebagai bangsa yang sopan, ramah, dan
bersahabat. Namun, belakangan ini kita sering melihat kerusuhan dan tawuran
sudah menjadi fenomena yang lazim ditemui di negeri kita. Faktor-faktor apa saja
yang sebenarnya menjadi penyebab munculnya permasalahan tersebut? Ada
banyak faktor yang bisa dianalisis, seperti kondisi lingkungan, pendidikan,
ekonomi, agama, dan faktor-faktor lainnya. Melakukan analisis serius untuk
seluruh faktor tersebut tentu tidak mudah. Dalam tulisan ini hanya akan dibahas
analisis mengenai faktor kondisi lingkungan terhadap perilaku manusia. Lebih
spesifik lagi, perilaku seorang anak manusia, yang baik maupun yang buruk, bisa
jadi sangat dipengaruhi oleh suhu (temperatur) lingkungan tempat ia tinggal dan
seberapa mampu ia beradaptasi dengan suhu lingkungan tersebut.
B. Saran
Penulis menyadari bahwa makalah diatas banyak sekali kesalahan dan
jauh dari kesempurnaan. Penulis akan memperbaiki makalah tersebut dengan
berpedoman pada banyak sumber yang dapat dipertanggungjawabkan. Maka dari
itu penulis mengharapkan kritik dan saran mengenai pembahasan makalah dalam
kesimpulan di atas.

14
DAFTAR PUSTAKA

Gifford, R. (1987). Environnmental Psychology: Principle and Practice. Boston:


Allyn & Beacon.
Jamridafrizal. (2010, september 18). Agresivitas dan kecemasan. Retrieved
october 26, 2010, from Scribd:
http://www.scribd.com/doc/17376693/Agresivitas-Dan-Kecemasan
Proshansky, H. M., Ittelson, W. H., & Rivlin, L. G. (1970). Environmental
Psychology: People and Their Physical Settings. New York: Holt, Rinehalt,
and Winston.
Veitch, R., & Arkkelin, D. (1995). Environmental Psychology: An
Interdiciplinary Perspective. New Jersey: Prentice Hall.

15

Anda mungkin juga menyukai