Anda di halaman 1dari 88

BAHAN AJAR

APLIKASI SIG (SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS)


UNTUK ANALISIS POTENSI WILAYAH
Kode Mata Kuliah C2114039
2 SKS

Disusun oleh:

TIM PENULIS

JURUSAN GEOGRAFI
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
Februari 2017
VERIFIKASI BAHAN AJAR

Pada hari ini Jumat tanggal ..17... bulan Februari tahun 2017. Bahan Ajar
Mata Kuliah Aplikasi SIG Untuk Analisis Potensi Wilayah.. Program Studi
Pendidikan Geografi Fakultas Ilmu Sosial telah diverifikasi oleh Ketua
Jurusan/Ketua Program Studi Pendidikan Geografi

Semarang, 17 Februari 2017


Ketua Jurusan/ Ketua Prodi Tim Penulis
Pendidikan Geografi

Dr. Tjaturahono Budi S, M.Si Drs. Heri Tjahjono, M.Si


NIP NIP.

Fakhrudin Hanafi, M.Sc


NIP.

1
PRAKATA

Alhamdulillah puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Swt., karena


rahmat, nikmat, taufik dan hidayah-Nyalah Bahan Ajar Aplikasi SIG Untuk
Analisis Potensi Wilayah dapat kami selesaikan. Shalawat serta salam selalu
tercurah kepada Baginda Rosulullah Muhammad SAW., para keluarga, para
sahabat, para pengikut, serta umatnya yang setia dengan ajarannya.
Maksud dan tujuan disusunnya bahan ajar Aplikasi SIG Untuk Analisis
Potensi Wilayah adalah untuk memberikan pengetahuan dan konsep-konsep
dasar yang berhubungan dengan analisis potensi pada suatu wilayah. Sehingga
diharapkan mahasiswa akan mempunyai pengetahuan yang memadai dalam
analisis potensi pada suatu wilayah.
Bahan ajar ini merupakan bahan ajar/diktat Analisis Potensi Wilayah
Berbasis SIG yang pertama kali kami susun di lingkungan FIS UNNES. Adanya
bahan ajar ini diharapkan mahasiswa dapat lebih mudah dan sistematis dalam
mengikuti kuliah Analisis Potensi Wilayah.
Bahan ajar Aplikasi SIG Untuk Analisis Potensi Wilayah membahas tentang
potensi yang dimiliki suatu wilayah dengan menggunakan/mengaplikasikan SIG.
Pada Bahan ajar ini disajikan materi dalam BAB, sebanyak enam BAB yang
mencakup (1) pengertian dan konsep wilayah, (2) rona fisik wilayah, (3) rona
sosial ekonomi budaya wilayah, (4) pendekatan indeks potensi lahan, (5) Satuan
lahan, dan (6) dengan pendekatan kemampuan lahan,
Buku ini relatif mudah dipahami, apabila saudara pembaca mau membaca
secara bertahap Bab demi bab. Kepada para pembaca kami mengharapkan
saran dan kritik yang konstruktif demi kesempurnaan bahan ajar atau buku ini,
karena kami menyadari bahwa buku ini masih jauh dari kesempurnaan.

Semarang, Februari 2017

Tim Penulis

2
DESKRIPSI MATAKULIAH

Mata kuliah Aplikasi SIG Untuk Analisis Potensi Wilayah adalah mata
kuliah yang memberikan pengetahuan dan konsep-konsep dasar yang
berhubungan dengan analisis potensi pada suatu wilayah. Sehingga diharapkan
mahasiswa akan mempunyai pengetahuan yang memadai dalam analisis potensi
pada suatu wilayah. Bahan ajar Aplikasi SIG Untuk Analisis Potensi Wilayah
membahas tentang potensi yang dimiliki suatu wilayah dengan
menggunakan/mengaplikasikan SIG. Pada Bahan ajar ini disajikan materi dalam
BAB, sebanyak enam BAB yang mencakup (1) pengertian dan konsep wilayah,
(2) rona fisik wilayah, (3) rona sosial ekonomi budaya wilayah, (4) pendekatan
indeks potensi lahan, (5) Satuan lahan, dan (6) dengan pendekatan kemampuan
lahan,

3
DAFTAR ISI

Halaman

Halaman Judul ............................................................................................................ i


Kata Pengantar ............................................................................................................. ii
Daftar isi...................................................................................................................... iii
Daftar Tabel .................................................................................................................. v
Daftar Gambar ............................................................................................................ vi

BAB I PENGERTIAN DAN KONSEP WILAYAH


1.1. Pengertian Wilayah ..................................................................................1
1.2. Beberapa Konsep Wilayah dari Para Ahli ...............................................1

BAB II RONA FISIK WILAYAH


2.1. Letak di Muka Bumi ................................................................................4
2.2. Kondisi Iklim ...........................................................................................6
2.3. Kondisi Topografi ..................................................................................10
2.4. Kondisi Geologi .....................................................................................15
2.5. Bentuk Lahan .........................................................................................22
2.6. Kondisi Tanah ........................................................................................26

BAB III RONA SOSIAL EKONOMI


3.1. Keadaan Penduduk.................................................................................30

BAB IV PENDEKATAN INDEKS POTENSI LAHAN (IPL)


4.1. Data Kemiringan Lereng........................................................................40
4.2. Data Litologi/ Jenis Batuan ....................................................................41
4.3. Data Tanah .............................................................................................41
4.4. Data Hidrologi .......................................................................................42
4.5. Data Rawan Bencana .............................................................................42

BAB V SATUAN LAHAN


5.1. Pengertian Satuan Lahan........................................................................45
5.2. Pembuatan Peta Lereng..........................................................................45
5.3. Pembuatan Peta Bentuk Lahan ..............................................................46
5.4. Interpretasi Peta Tanah ..........................................................................46
5.5. Interpretasi Penggunaan Lahan ..............................................................46
5.6. Pembuatan Peta Satuan Lahan ...............................................................46
5.7. Contoh Pengkodean Satuan Lahan ........................................................46
5.8. Cara Evaluasi dan Analisis Lahan untuk Kepentingan Tertentu ...........49

BAB VI PENDEKATAN KEMAMPUAN LAHAN


6.1. Pendahuluan ...........................................................................................54
6.2. Klasifikasi Kemampuan Lahan ..............................................................55
6.3. Struktur Klasifikasi Kemampuan Lahan ................................................56

4
6.4. Asumsi dan Uraian Kelas Kemampuan .................................................58
6.5. Prosedur, Keuntungan dan Kerugian Klasifikasi Kemampuan Lahan ..62
6.6. Tinjauan dan Berbagai Sistem Klasifikasi Kemampuan Lahan ............64
6.7. Modifikasi dalam Penggunaan di Luar Amerika Serikat .......................70
6.8. Menentukan Klas Kemampuan Lahan Suatu Daerah ............................78

LAMPIRAN ................................................................................................................83
Lampiran 1 Klasifikasi Berbagai Karakteristik Lahan Sebagai Dasar Acuan
Dalam Kemampuan Lahan ................................................................83
Lampiran 2 Klasifikasi Berbagai Karakteristik Lahan Sebagai Dasar Acuan
Dalam Kesesuaian Lahan ....................................................................86

5
BAB I
PENGERTIAN DAN KONSEP WILAYAH

1.1. Pengertian Wilayah


Wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur
terkait padanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administrasi dan
atau aspek fungsional (UU no 24 th.1992: Penataan Ruang).
Wilayah formal merupakan wilayah yang dibatasi oleh homogenitas kondisi tertentu.
Wilayah formal berkait dengan bidang sosial, fisik. Contoh wilayah formal: wilayah
yang berada dalam kondisi yang sama, daerah yang berbukit-bukit, daerah yang memiliki
corak yang sama.
Wilayah fungsional merupakan wilayah yang batasnya tidak jelas berkaitan dengan
fungsinya. Contoh kota Semarang itu mana? Merupakan para penduduk yang bekerja
dan menempati kota Semarang. Wilayah fungsionalnya meliputi orang-orang yang
bekerja-mendapat pendapatan di Kota Semarang.

1.2. Beberapa Konsep Wilayah dari Para Ahli


Pengertian tentang wilayah (region) diperlukan untuk membantu menentukan
pendekatan (metode) terhadap pemanfaatan wilayah yang tepat. Ada beberapa pengertian
wilayah:
1. Menurut T.J Woofter, Wilayah adalah daerah tertentu yang di dalamnya tercipta
homogenitas struktur ekonomi dan sosial sebagai perwujudan kombinasi antara
faktor lingkungan dan demografis.
2. R.S. Platt, wilayah adalah daerah tertentu yang keberadaannya dikenal
berdasarkan homogenitas umum, baik atas dasar karakter lahan maupun
huniannya.
3. American Society of Planning Officials, wilayah adalah daerah tertentu yang
pada wilayah yang bersangkutan telah tumbuh karakteristik yang menyangkut
pola penyesuaian gejala kemanusiaan terhadap lingkungannya.
4. P. Vidal de la Blache, wilayah adalah tempat tertentu yang di dalamnya terdapat
banyak sekali yang berbeda-beda, tetapi secara artificial tergabung bersama-sama
dan saling menyesuaikan untuk membentuk kebersamaan.

6
5. R.E. Dickinson, wilayah adalah daerah tertentu yang terdapat sekelompok
kondisi-kondisi fisik yang telah memungkinkan terciptanya tipe kehidupan
ekonomi tertentu.
6. W.I.G Joerg, wilayah adalah daerah tertentu yang mempunyai kondisi-kondisi
fisik yang seragam.
7. M.M. Fenneman, wilayah adalah daerah tertentu yang bentang lahannya sejenis
dan dapat dibedakan dengan daerah tetangganya.
8. A.J. Herbertson, Wilayah adalah bagian tertentu dari permukaan bumi yang
mempunyai sifat khas tertentu sebagai akibat dari adanya hubungan-hubungan
khusus antara kompleks lahan, air, udara, tanaman, binatang dan manusia.
9. K. Yong, wilayah adalah daerah geografis yang membentuk suatu kesatuan
budaya, mula-mula seragam secara ekonomi dan kemudian juga dalam pemikiran-
pemikiran, pendidikan, rekreasi, dan lain-lain serta dapat dibedakan dengan
daerah yang lainnya.
10. E.G.R. Taylor, wilayah adalah suatu daerah di permukaan bumi yang dapat
dibedakan dengan daerah tetangganya atas dasar kenampakan karakteristiknya.
Secara umum wilayah dapat diartikan sebagai bagian permukaan bumi yang dalam
hal tertentu dapat dibedakan dengan daerah lain di sekitarnya. Suatu wilayah
merupakan kesatuan ekosistem yang terdiri atas komponen biotik dan abiotik. Komponen
biotik meliputi manusia, hewan, dan tumbuhan, sedangkan komponen abiotiknya
meliputi tanah, air dan udara. Seluruh komponen tersebut akan berinteraksi dalam suatu
wilayah. Interaksi antar komponen tersebut dapat menyebabkan terjadinya perbedaan
antar wilayah yang satu dengan wilayah yang lainnya.
Analisis potensi wilayah mencakup: (a) Analisis potensi sumber daya alamnya
(SDA) dan (b) Analisis potensi sumber daya manusianya (SDM). Analisis Potensi
Sumber Daya Alam secara umum mencakup kajian tentang rona fisik wilayah, seperti
lokasi wilayah baik, lokasi relative maupun lokasi absolute, luasan wilayah, kondisi
topografi/reliefnya atau kondisi lereng, kondisi tanah, kondisi iklim, kondisi
hidrologi, kondisi geologi, penggunaan lahan, bentuk lahan dan kondisi fisik yang
lainnya. Analisis potensi sumber daya manusia mencakup analisis penduduk, kondisi
social, ekonomi, budaya masyarakat.

7
BAB II.
RONA FISIK WILAYAH

Analisis potensi suatu wilayah mencakup rona fisik dan rona sosial ekonomi
budaya. Untuk mengetahui potensi fisik wilayah dapat dilakukan dengan menggunakan
beberapa cara misalnya: (1) menggunakan pendekatan indeks potensi lahan (IPL)
dan (2) menggunakan pendekatan kemampuan lahan.
Analisis potensi suatu wilayah perlu dilakukan karena adanya beberapa pertimbangan,
seperti:
Adanya kenyataan di lapangan bahwa lahan yang ada di permukaan bumi
mempunyai potensi yang berbeda-beda. Adanya potensi wilayah atau potensi
lahan yang ada pada suatu wilayah yang berbeda tersebut maka perlu dilakukan
suatu analisis sehingga orang atau pengguna akan tahu bagaimanakah potensi
lahan pada suatu wilayah tertentu. Apakah memiliki potensi yang rendah, potensi
sedang ataukah memiliki potensi yang tinggi (sangat potensial).
Adanya kenyataan di lapangan bahwa kondisi potensi lahan di suatu wilayah
dibatasi oleh potensi fisik (secara alami) sehingga kondisi fisik suatu wilayah
perlu diungkap untuk mengetahui potensi lahan suatu wilayah.
Adanya kebijakan otonomi daerah yang telah digulirkan oleh pemerintah, maka
perlu bagi suatu daerah mengetahui potensi wilayahnya masing-masing. Dalam
hubungannya dengan otonomi daerah potensi wilayah sangat penting fungsinya
terutama dalam perencanaan penggunaan lahan disuatu wilayah. Perencanaan
penggunaan lahan di suatu wilayah akan matang jika di dahului oleh adanya
analisis tentang potensi lahan terlebih dahulu, sehingga perencanaan penggunaan
lahan yang dilakukan akan relative tepat.

Rona fisik wilayah mencakup banyak unsur, diantaranya adalah lokasi wilayah baik
lokasi relative maupun lokasi absolute, luasan wilayah, bentuk lahan, kondisi topografi
atau reliefnya, kondisi lereng, kondisi tanah, kondisi iklim, kondisi hidrologi, kondisi
geologi, penggunaan lahan, dan kondisi fisik yang lainnya.

8
2.1 Letak di Muka Bumi
Suatu wilayah di muka bumi, letaknya dapat dinyatakan diantara dua garis lintang
dan garis bujur yang membatasinya. Misalnya, wilayah Indonesia terletak diantara 95
0
BT 1410 BT dan 60 LU dan 110 LS. Atau kalau dalam wilayah yang relative
kecil seperti; Wilayah Kecamatan Gunung Pati terletak antara 7 0 1 6 Lintang
Selatan (LS) sampai dengan 70 650 LS dan 1100 2025 Bujur Timur (BT) sampai
dengan 1100 2412 BT. Selain letaknya di muka bumi, perlu juga dicantumkan batas-
batas wilayah yang di analisis.
Secara administrasi, Daerah Kecamatan Gunung Pati terletak di Kota Semarang
dengan batas-batas administrasi sebagai berikut:
1. di sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Semarang Barat dan Kecamatan
Gajah Mungkur
2. di sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Banyumanik
3. di sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Ungaran Kabupaten Semarang
4. di sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Mijen
Dalam melakukan analisis potensi wilayah, letak wilayah dan batasnya dapat
dipetakan sebagai peta administrasi. Misalnya untuk wilayah kecamatan Gunungpati
dapat dipetakan seperti pada Gambar 1 berikut ini.

9
10
2.2. Kondisi Iklim
Kondisi klimatologi wilayah yang dianalisi sangat penting untuk diketahui, karena
kondisi klimatologi akan mempengaruhi proses geomorfologi di suatu daerah, baik tipe
maupun intensitas proses yang terjadi, kondisi hidrologi, maupun pembentukan tanah dan
karakteristik tanah di suatu wilayah. Iklim merupakan atribut medan yang bersifat aktif
dan dinamis, serta mempengaruhi perkembangan bentanglahan (landscape development).
Faktor iklim yang sangat berpengaruh adalah suhu dan curah hujan. Suhu dan curah
hujan dapat mempengaruhi kondisi hidrologi pada suatu wilayah. Curah hujan yang
tinggi (berlebihan) akan dapat menyebabkan banjir. Dalam sub bab ini kondisi iklim
akan dicontohkan untuk wilayah Gunungpati.
Curah hujan di wilayah yang dianalisis ditentukan berdasarkan lima stasiun hujan,
dengan perincian tiga stasiun hujan berada di dalam wilayah yang dianalisis , dan dua
stasiun hujan lainnya berada di luar wilayah yang dianalisis. Tiga stasiun hujan yang
berada dalam wilayah yang dianalisis yaitu Stasiun Gunung Pati (315 meter di atas
permukaan air laut / m dpal), Stasiun Sumur Jurang (355 m dpal) dan Stasiun Sekaran
(235 m dpal). Dua stasiun hujan yang berada di dekat wilayah yang dianalisis yaitu
Stasiun Hujan Susukan Ungaran (290 m dpal) yang terletak di tenggara dengan jarak
sekitar 500 meter , dan Stasiun Hujan Simongan (55 m dapl) yang terletak di utara
dengan jarak sekitar 600 meter dari wilayah yang dianalisis. Data yang digunakan
adalah data hujan bulanan dari tahun 1986 sampai dengan tahun 1997 (selama 12 tahun).
Adapun datanya dapat dilihat pada table 2.1 berikut
Berdasarkan Tabel 2.1 dapat dijelaskan bahwa wilayah yang dianalisis memiliki
curah hujan yang cukup tinggi. Curah hujan maksimum sebesar 2839 mm/th yang dapat
dilihat pada Stasiun Sumur Jurang, dan curah hujan minimum 2293 mm/th yang dapat
dilihat pada Stasiun Hujan Simongan. Bulan basah terjadi selama 8 9 bulan setiap
tahun, yaitu bulan Oktober, November, Desember, Januari, Februari, Maret, April, dan
Mei. Bulan kering terjadi selama 3 bulan, yaitu sekitar Bulan Juli- Agustus-September.
Curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Januari, sedangkan curah hujan terendah terjadi
sekitar bulan Juli-Agustus.

11
Tabel 2.1. Curah Hujan Rerata Bulanan Pada Beberapa Stasiun Hujan di Daerah
Penelitian dan Stasiun yang Terdekat dengan Daerah Penelitian dari Th.1986-1997.

Stasiun Hujan
Gunung Pati Sumur Jurang Sekaran Simongan Susukan
No Bulan ( 315 m dpal) ( 355 m dpal ) ( 235 m dpal ) (55 m dpal) (290 m dpal)
CH CH CH CH CH
(mm) HH (mm) HH (mm) HH (mm) HH (mm) HH
1
Januari 608 15 597 19 578 18 461 19 568 21
2
Februari 426 13 427 17 387 16 324 14 429 18
3
Maret 418 15 403 17 371 16 267 14 384 17
4
April 256 10 222 11 185 10 164 10 271 14
5
Mei 113 6 126 7 125 8 113 6 107 7
6
Juni 75 4 111 7 103 6 97 5 115 6
7
Juli 30 2 34 2 33 2 55 3 31 3
8
Agustus 28 2 42 3 37 3 59 3 44 3
9
September 62 3 64 3 55 4 57 3 56 4
10
Oktober 105 5 107 6 101 7 121 7 117 7
11
November 206 10 245 12 229 11 273 12 228 13
12
Desember 486 14 461 16 384 15 302 16 422 19
CH Tahunan 2813 2839 2588 2293 2772
Sumber: Data Fiktif
Keterangan : CH = Curah hujan (mm)
HH = Hari hujan (hari)

Kondisi temperatur di wilayah yang dianalisis didasarkan pada Stasiun


Meteorologi Susukan Ungaran selama 12 tahun ( 1986 1997 ) yang terletak pada
elevasi (290 m dpal). Data yang digunakan berupa data temperatur bulanan di Susukan
Ungaran. Penentuan temperatur pada lokasi lainnya yaitu Stasiun Gunung Pati (315 m
dpal), Stasiun Sumur Jurang (355 m dpal), Stasiun Sekaran (325 m dpal), dan Stasiun
Simongan (55 m dpal) didasarkan pada hasil perhitungan dengan metode yang digunakan
Mock (1973) dengan asumsi bahwa kenaikan elevasi sebesar 100 meter akan
menurunkan temperatur sebesar 0,60C. Formula yang digunakan adalah :
T = 0,006 (Z1-Z2) (Mock, 1973)

12
T = Beda temperatur udara dari ketinggian Z1 dan Z2
Z1 = Elevasi stasiun klimatologi di atas muka air laut yang telah diketahui suhunya
(dalam meter)
Z2 = Elevasi lokasi penelitian di atas muka air laut yang akan ditentukan data
temperaturnya (meter )
Besarnya temperatur udara di daerah penelitian adalah
T2 = T1+ T
dengan, T2 = Besarnya temperatur udara yang belum diketahui
T1 = Temperatur udara yang diketahui
T = Faktor koreksi
Berdasarkan hasil perhitungan tersebut didapatkan temperatur masing-masing
lokasi stasiun yang disajikan pada Tabel 2.2. Berdasarkan Tabel 2.2 dapat dijelaskan
bahwa temperatur minimum sebesar 25.7 0C di stasiun Sumur Jurang, sedangkan
temperatur tertinggi sebesar 28.2 0C di Stasiun Simongan. Nilai rerata temperatur di
daerah penelitian sebesar 26.6 0C
Tabel 2.2. Temperatur udara rata-rata tahunan di daerah penelitian
Susukan Simongan Sekaran Sumur Jurang G. Pati
Tahun/ Ketinggian
290 m dpal 55 m dpal 235 m dpal 355 m dpal 315 m dpal
1986 26.2 27.6 26.6 25.8 26.0
1987 26.7 28.1 27.0 26.3 26.6
1988 26.3 27.7 26.6 25.9 26.2
1989 26.2 27.6 26.5 25.8 26.0
1990 26.4 27.8 26.7 25.9 26.2
1991 26.1 27.5 26.5 25.7 26.0
1992 26.3 27.7 26.6 25.9 26.1
1993 26.3 27.8 26.7 25.9 26.2
1994 26.2 27.6 26.5 25.8 26.0
1995 26.5 27.8 26.7 26.0 26.3
1996 26.4 27.8 26.8 26.0 26.3
1997 26.8 28.2 27.1 26.3 26.6
Rerata tahunan 26.4 27.8 26.7 25.9 26.2
Sumber: Data modifikasi/fiktif , dan Hasil perhitungan

Penentuan tipe iklim di wilayah yang dianalisis didasarkan pada klasifikasi iklim
menurut Schmidt & Ferguson, dengan menentukan besarnya Q yang merupakan

13
perbandingan antara rerata bulan kering dengan rerata bulan basah. Kriteria nilai Q untuk
penentuan tipe iklim disajikan pada Tabel 2.3.
Tabel 2.3. Penentuan Tipe Iklim Berdasarkan Klasifikasi Schmidt & Ferguson
Tipe Iklim Nilai Q Kondisi Iklim
A Q 0,143 Sangat Basah
B 0,143 Q < 0,333 Basah
C 0,333 Q < 0,600 Agak Basah
D 0,600 Q < 1,000 Sedang
E 1,00 Q < 1,67 Agak Kering
F 1,67 Q < 3,00 Kering
G 3,00 Q < 7,00 Sangat Kering
H Q 7,00 Luar Biasa Kering
Sumber: Schmidt dan Ferguson,1951
Bulan basah merupakan bulan yang memiliki jumlah hujan bulanan lebih besar dari
100 mm dan bulan kering merupakan bulan yang memiliki jumlah hujan lebih kecil dari
60 mm. Antara bulan basah dan bulan kering terdapat pembagian bulan lembab yaitu
antara 100 mm 60 mm. Hasil perhitungan jumlah bulan basah dan bulan kering
disajikan pada Tabel 2.4.
Tabel 2.4. Tipe Iklim di Daerah Penelitian Menurut Schmidt Ferguson
Tinggi Curah Bulan Bulan Nilai Klasifi
Stasiun Tempat Hujan Kering Basah Q kasi Tipe Iklim
(m dpal) (mm/th) (bulan) (bulan)
Gunung Pati 510 2813 38 91 0,418 C Agak Basah
Sumur Jurang 600 2839 36 92 0,391 C Agak Basah
Sekaran 325 2588 34 90 0,378 C Agak Basah
Simongan 55 2293 32 91 0,352 C Agak Basah
Susukan 470 2772 35 95 0,368 C Agak Basah
Sumber : Data Fiktif.

Tabel 2.4. di atas menunjukkan bahwa dari kelima stasiun hujan di daerah
penelitian ternyata memiliki tipe iklim yang sama menurut Schmidt Ferguson, yaitu
bertipe C (agak basah) dengan nilai Q yang tidak jauh berbeda.

14
2.3. Kondisi Topografi
Kondisi topografi dalam suatu analisis potensi wilayah perlu didiskripsikan.
Adanya gambaran topografi orang akan tahu apakah wilayahnya datar, landai, berbukit
ataukah bergunung, sehingga bagi orang yang berkepentingan dapat memanfaatkan
setepat mungkin. Dalam sub bab ini akan diberikan contoh untuk daerah Gunungpati
yang didasarkan pada peta rupa bumi Indonesia.
Peta Lereng adalah peta yang menunjukkan kenampakan bentuk lereng, kemiringan
lereng, dan bentuk relief secara umum dari daerah yang dipetakan. Data yang dapat
disadap dari peta topografi untuk membuat peta lereng adalah garis kontur. Kegunaan
garis kontur dalam kaitannya dengan peta lereng adalah untuk mengetahui bentuk lereng,
kemiringan lereng dan menunjukkan bentuk relief. Garis kontur yang rapat menunjukkan
bentuk lereng yang terjal atau curam, sedangkan garis kontur yang renggang/jarang
menunjukkan bentuk lereng yang landai- datar. Untuk mengetahui bentuk relief dan
bentuk lereng suatu wilayah dapat ditentukan dengan cara membuat penampang
melintang/ profil.
Menurut Ummy Karman dalam Ensiklopedi Nasional Indonesia menyatakan
bahwa Profil berasal dari bahasa latin Pro dan filare (menarik garis ke depan) yang
berarti tampak samping atau potongan melintang dari suatu bentuk. Jadi profil adalah
bentuk kenampakan topografi dari suatu lereng apabila dipotong secara vertikal atau
gambaran penampang suatu daerah dilihat dari samping.

Cara Pembuatan Peta Lereng


a. membuat grid yang berbentuk bujur sangkar yang setiap sisinya mempunyai panjang
2 cm x 2 cm dari peta topografi/rupabumi yang tersedia ke atas plastik, dengan cara
mengoverlaykan transparansi/plastik dengan peta, kemudian gridnya digambar.
b. Membuat/menentukan diagonal yang paling banyak memotong garis kontur.
Kemudian kita hitung jumlah garis kontur yang terpotong. Di dalam setiap grid
terdapat variasi jumlah dan pola kontur yang menggambarkan kemiringan lereng.
Oleh karena itu apabila pada grid yang berbentuk bujur sangkar yang setiap sisinya
berukuran 2 cm x 2 cm tersebut ada kontur yang tidak terpotong oleh garis diagonal,
mungkin karena bentuknya melingkar, atau karena garis kontur menempati bagian

15
tertentu saja dari grid, atau karena garis konturnya demikian komplek, maka grid
yang berbentuk bujur sangkar tersebut harus kita bagi lagi menjadi 4 bagian yang
sama kemudian kita buatkan diagonal yang memotong paling banyak garis kontur.
Tetapi kalau tetap masih ada garis kontur yang tidak terpotong oleh garis diagonal
yang kita buat maka grid yang berbentuk bujur sangkar yang telah kita bagi menjadi 4
tersebut kita bagi lagi menjadi 4 bagian yang sama, kemudian kita buatkan diagonal
yang memotong paling banyak garis kontur. sehingga garis kontur yang ada pada
grid tersebut dapat kita hitung jumlahnya. Jumlah garis kontur pada tiap grid inilah
yang akan kita gunakan sebagai dasar untuk menghitung besarnya lereng.
c. Menghitung besarnya lereng untuk tiap-tiap grid. Untuk mengitung besarnya lereng,
kita mulai dahulu dari menghitung kontur interval dengan rumus:

1
K.i = --------- x P.S
2000

Ket : K.i = kontur interval


P.S = penyebut skala

Jadi jika skala peta topografi = 1: 50.000, maka


Kontur intervalnya adalah:

1
K.i = ------------ x 50.000 m = 25 m
2.000

Setelah menghitung kontur interval, selanjutnya kita


menghitung besarnya lereng. Untuk menghitung besarnya
lereng kita gunakan rumus sebagai berikut :
(n-1) Ki
= --------------- x 100 %
.d

Keterangan :
= sudut besarnya kemiringan lereng ( % )
= diagonal grid ( panjang diagonal )
d = jarak ( m )
n = jumlah kontur yang terpotong
K.i = kontur interval

16
Misalnya, diketahui K.i = 25 m, n = 6, maka :

(6-1) 25
= --------------- x 100 % = 8,84 %
1414

Berdasarkan kontur interval kita menentukan jumlah kontur. Berdasarkan jumlah


kontur dapat kita cari berapa persen besarnya atau kemiringan lerengnya Untuk
mempermudah dan mempercepat kerja, kemudian kita buat tabel tentang jumlah
kontur, besarnya kemiringan lereng dan katagori kelas lereng (lihat Tabel 2.5, Tabel
2.6 , dan Tabel 2.7 ) pada halaman berikut.
Tabel . 2.5. Besarnya lereng (%) pada grid 1 km2

Jumlah kontur Besar lereng Kelas lereng


(N) (%)
1. 0 I
2. 1,7 I
3. 3,5 I
4. 5,3 I
5. 7,0 I
6. 8,8 I
7. 10,6 II
8. 12,4 II
9. 14,1 II
10. 15,9 II
11. 17,7 III
12. 19,4 III
13. 21,1 III
14 22,9 III
15. 24,7 III
16. 26,5 IV
17. 28,3 IV
18. 30,0 IV
19. 31,8 IV
20. 33,6 IV
21. 35,4 IV
dst dst.

17
Tabel 2.6 Besarnya lereng (%) pada grid 0,25 km2

Jumlah kontur Besar lereng Kelas lereng


(N) (%)
1. 0 I
2. 3,5 I
3. 7,0 I
4. 10,6 II
5. 14,1 II
6. 17,7 III
7. 21,1 III
8. 24,7 III
9. 28,3 IV
10. 31,8 IV
11. 35,4 IV
12. 38,9 IV
13. 42,4 V
14. .. V
15. .. V

Tabel 2.7. Besarnya lereng pada grid 0,0625 km2

Jumlah kontur Besar lereng Kelas lereng


(N) ( B% )
1. 0 I
2. 7,1 I
3. 14,2 II
4. 21,2 III
5. 28,3 IV
6. 35,4 IV
7. 42,5 V
8. 49,6 V
dst dst dst
d. Berdasarkan jumlah kontur yang kita hitung, kemudian kita kelompokkan
besarnya lereng ke dalam kelas lereng.
e. Setelah selesai semua area kita kelompokkan ke dalam kelas lereng kemudian
kita lakukan deliniasi sesuai dengan kelompok kelas lereng untuk kita jadikan
peta lereng.
f. Selanjutnya peta lereng yang sydah kita buat, kita lengkapi dengan judul, skala,
orientasi peta dan legenda lainnya.

18
Keuntungan menggunakan metode grid Wentworth adalah :
1. Dapat mengetahui kemiringan lereng / kelas lereng suatu tempat dengan cepat
melalui analisa kontur pada peta topografi..
2. Dapat langsung digambar
Kelemahan menggunakan metode grid Wentworth adalah :
1. Jika konturnya komplek, tidak beraturan, konturnya melingkar, atau dalam grid
konturnya hanya terdapat ditempat tertentu, maka kita harus membagi grid
tersebut menjadi kecil-kecil, supaya kita dapat membuat diagonal yang memotong
garis kontur yang paling banyak. Hal ini dapat membikin lama kerja kita.
2. Dalam mendeliniasi kelompok kelas lereng yang sudah kita hitung, jika mengikuti
grid secara mutlak akan kaku atau salah, karena fenomena dilapangan tidak
semuanya membentuk sudut 900 .Sehingga dalam mendeliniasi harus selalu
mempertimbangkan / berdasarkan pola konturnya.
3. Kadang pengkelasan lereng tidak sesuai dengan kenyataan dilapangan,misalnya :
harusnya dalam pengkelasan lereng termasukdatar/landai tapi kenyataan
dilapangan terjal.
4. Pada grid yang sejajar, berarti ada penyimpangan, sehingga perlu koreksi dengan
trigono metri.
Berdasarkan hasil analisis Peta Rupa Bumi skala 1 : 25.000 Lembar Semarang
Selatan dan Boja dengan metode Wenthworth, di wilayah yang dianalisis dapat
dikelompokkan menjadi 5 (lima) klas kemiringan lereng. Kondisi lereng di wilayah yang
dianalisis disajikan dalam Tabel 2.5. dan Gambar 2.2 yang berupa peta klas kemiringan
lereng.
Tabel 2.8. Klasifikasi Lereng, Luas dan Persentase Luas Masing-Masing Klas
Lereng di Daerah Kecamatan Gunung Pati
Luas
Kelas Kemiringan Kondisi Persentase Luas
Lereng Lereng (%) Topografi (km2) (%)
I 03 Datar 17,08 26,912
II >3 8 Landai 22,24 35,04
III >8 15 Miring 18,08 28,49
IV >15 40 Terjal 5,23 2,257
V > 40 Sangat Terjal 0,82 1,29
Jumlah 63,45 100
Sumber : Analisis Peta Lereng Daerah Kecamatan Gunung Pati

19
Berdasarkan Tabel 2.8. dapat dijelaskan bahwa kondisi topografi yang datar (
kemiringan lereng 0-3 %) seluas 17,08 km2 atau seluas 26,912% dari luas keseluruhan
wilayah yang dianalisis. Kondisi topografi yang landai (kemiringan lereng >3-8 %)
memiliki daerah yang paling luas yaitu seluas 22,24 km 2 atau seluas 35,04 % dari
keseluruhan luas wilayah yang dianalisis. Kondisi topografi yang miring (kemiringan
lereng >8 15%) seluas 18,08 km2 atau seluas 28,49 % dari luas keseluruhan wilayah
yang dianalisis. Kondisi topografi yang terjal (kemiringan lereng >15-40%) seluas 5,23
km2 atau seluas 8,257 % dari luas keseluruhan wilayah yang dianalisis. Kondisi topografi
yang sangat terjal (kemiringan lereng > 40 %) tidak begitu luas atau memiliki daerah
yang paling sempit dibandingkan dengan topografi yang lainnya. Luas daerah yang
sangat terjal sebesar 0,82 km2 atau seluas 1,29 % dari luas wilayah yang dianalisis.

2.4.Kondisi Geologi
Kondisi geologi baik struktur geologi, maupun formasi batuan akan berpengaruh
terhadap keberadaan batuan induk dan perkembangan tanah yang ada. Kondisi geologi
dalam analisis potensi wilayah perlu untuk dicantumkan atau didiskripsikan.
Kondisi geologi dalam bab ini akan dicontohkan untuk wilayah Gunungpati.
Berdasarkan Peta Geologi yang dibuat Van Bemmelen (1941) wilayah Kecamatan
Gunungpati terdiri dari beberapa formasi batuan yaitu (1) Endapan Aluvium, (2) Formasi
Notopuro, (3) Formasi Damar dan (4) Formasi Kalibiuk. Secara berurutan ke empat
formasi tersebut dari yang tua sampai dengan yang muda, disajikan pada Tabel 2.9.

20
Tabel 2.9. Susunan Formasi Batuan di Wilayah Kota Semarang

No Nama Formasi Batuan Umur ( kala ) Litologi


1. Endapan Holosen Lempung pasiran bercampur kerikil, sedikit
Aluvium kerakal, pasir, lanau
2. Formasi Plistosen Breksi Vulkanik yang terdiri dari breksi
Notopuro Tengah hingga atas tufaan bercampur batupasir tufaan, tufa
pasiran, dan batu lempung
Damar Atas Plistosen Tengah Batu pasir tufaan yang berselang-seling
3. Formasi dengan tufa lempungan dan tufa konglomerat
Damar Damar Tengah Plistosen Bawah Breksi tufaan tidak kompak, batupasir tufaan,
batupasir konglomerat yang kompak
Damar Bawah Pliosen Atas Tufa pasiran, batupasir tufaan, konglomerat
kompak yang komponennya dari batuan
andesit
4. Formasi Mio Pliosen Lempung kapuran, napal pasiran yang
Kalibiuk kadang kadang mengandung Globigerina,
batu pasir tufaan
Sumber: Van Bemmelen, 1941

Penyelidikan geologi di Kota Semarang dan sekitarnya sebelum Indonesia merdeka


pernah dilakukan dua kali. Penyelidikan geologi pertama dilakukan oleh Hetzel pada
tahun 1935, sedangkan penyelidikan geologi yang kedua dilakukan oleh Van Bemmelen
pada tahun 1936. Kedua penyelidikan tersebut bersifat regional dan masih bersifat
pengamatan
Tahun 1973 Thanden, Sumadirja, Richards melakukan kerja lapangan berdasarkan
peta Van Bemmelen 1941 dan membuat Peta Geologi Lembar Semarang-Magelang tahun
1973. Tahun 1996, Sutisna dan Amin menambah data geologi hasil kerja lapangan 1973,
dan membuat peta geologi lembar Semarang-Magelang dengan skala 1: 100.000 Tahun
1996 berdasarkan peta geologi Van Bemmelen 1941 dan Peta Geologi Lembar
Semarang-Magelang tahun 1973 yang di buat oleh Thanden, Sumadirja, Richards .
Berdasarkan Peta Gelogi lembar Semarang-Magelang, skala 1:100.000 tahun 1996,
daerah yang dianalisis terdiri dari beberapa formasi seperti pembagian formasinya Van
Bemmelen dengan sedikit modifikasi atau revisi yaitu: (1) endapan Aluvium, (2) Formasi
Kaligetas, yang dalam Van Bemmelen (1941) disebut sebagai formasi Notopuro, (3)

21
Formasi Damar, (4) Formasi Kalibeng (5) Formasi Kerek , yang oleh Van Bemmelen
(1941) Formasi Kalibeng dan Formasi Kerek disebut sebagai Formasi Kalibiuk/Formasi
Marine, (6) Formasi Endapan Vulkan Lahar Gunung Ungaran Tengah, (7) Formasi
Jongkong atau Endapan Vulkan Ungaran Lama.
Berdasarkan analisis Peta Geologi Lembar Semarang-Magelang, tahun 1996 yang
dibuat oleh Thanden, Sumadirja, Richards, Sutisno, dan Amien, Luas masing-masing
formasi batuan di daerah penelitian disajikan pada Tabel 2.10. dan persebaran masing-
masing formasi batuan disajikan pada Gambar 2.3. berupa Peta Geologi Daerah
Kecamatan Gunung Pati.

Tabel 2.10. Luas Wilayah Formasi Batuan Di Daerah Penelitian

No Nama Formasi Batuan Luas (km2) Persentase Luas ( % )


1. Formasi Aluvium 1,49 2,35
2. Formasi Marine/ Formasi Kalibiuk 11,69 18,42
3. Formasi Damar 4,96 7,81
4. Formasi Kaligetas / Formasi Notopuro 30,89 48,68
5. Formasi Jongkong / Ungaran Lama 1,42 2,23
6. Formasi Lahar Gunung Ungaran Tengah 13,01 20,50
Jumlah 63,454 100
Sumber : Analisis Peta Geologi Daerah Kecamatan Gunung Pati

Keterangan untuk masing-masing formasi adalah sebagai berikut.


a. Formasi Aluvium (Qa)
Merupakan endapan permukaan pada sungai atau pantai. Dataran pantai umumnya
terdiri atas lempung dan pasir yang mencapai ketebalan 50 meter atau lebih. Endapan
pasir umumnya membentuk endapan delta dengan ketebalan lapisan sampai 80 meter
atau lebih. Endapan sungai terdiri atas kerikil, kerakal, pasir dan lanau dengan ketebalan
1 sampai 3 meter. Secara umum formasi aluvium ini terdiri atas lempung pasiran (Lp)
yang bercampur dengan kerikil, sedikit kerakal, pasir dan lanau.
Berdasarkan analisis Peta Geologi Lembar Semarang-Magelang, tahun 1996 yang
dibuat oleh Thanden, Sumadirja, Richards, Sutisno, dan Amien, Formasi Aluvium di

22
daerah yang dianalisis menempati wilayah seluas 1,49 km2 atau sekitar 2,35 % dari luas
daerah kajian.

b. Formasi Notopuro (Qb)


Formasi Notopuro oleh Thanden, Sumadirja, Richards, Sutisno, dan Amien disebut
juga sebagai Formasi Kaligetas (Qpkg). Formasi Kaligetas terdiri atas breksi tufaan (Bt)
bercampur dengan aliran lava, tuf pasiran, batupasir tufaan dan batu lempung. Pada
formasi ini juga dijumpai adanya breksi aliran dan lahar dengan sisipan lava dan tuf halus
sampai kasar. Di bagian bawahnya pada beberapa tempat ditemukan adanya batu
lempung mengandung moluska dan batupasir tufaan. Batuan gunung api yang melapuk
berwarna coklat- coklat kemerahan dan sering membentuk bongkah-bongkah besar.
Ketebalan formasi ini berkisar 50 meter sampai dengan 200 meter.
Berdasarkan analisis Peta Geologi Lembar Semarang-Magelang, tahun 1996 yang
dibuat oleh Thanden, Sumadirja, Richards, Sutisno, dan Amien, Formasi Kaligetas atau
Formasi Notopuro (Van Bemmelen,1941) di daerah kajian menempati wilayah seluas
30.89 km2 atau sekitar 48,68 % dari luas daerah penelitian.

c. Formasi Damar (QTd)


Formasi Damar terdiri atas batupasir tufaan (Bt), konglomerat, breksi dan lempung
tufaan. Menurut Van Bemmelen (1941) Formasi Damar ini dibagi menjadi tiga bagian,
yaitu Formasi Damar Bawah, Formasi Damar Tengah, dan Formasi Damar Atas.
Formasi Damar Bawah terdiri atas tufa pasiran berwarna abu-abu, batupasir tufaan
yang kadang-kadang berlapis-lapis berwarna putih keabuan dan konglomerat kompak,
Konglomerat kompak tersebut komponennya terdiri atas batuan andesit, kadang-kadang
basaltic andesit. Komponen ini rata-rata berdiameter 5 cm, bentuknya agak bulat sampai
dengan bulat. Sebagai bahan penyemennya adalah dari batupasir tufaan. Pada singkapan
yang terdapat di Desa Tinjomoyo tebal lapisan konglomerat ini kira-kira 3,50 meter.
Formasi Damar Bawah berumur Pliosen Atas (Van Bemmelen, 1941).

23
24
Formasi Damar Tengah pada bagian bawahnya terdiri atas breksi tufa yang tidak
kompak dan tidak menunjukkan perlapisan. Breksi tufa ini komponennya dari andesit dan
dan basaltic andesit, bentuknya agak runcing sampai runcing berdiameter antara 2-7 cm.
Di atas lapisan breksi tufa ini terdapat lapisan batupasir tufaan dan batupasir
konglomerat yang kompak. Batupasir konglomerat ini komponennya terdiri atas andesit,
yang membentuk perlapisan yang tidak teratur, sering membentuk lensa-lensa.
Bagian atas Lapisan Damar Tengah ini terdiri atas breksi tufa. Komponennya dari batuan
andesit dan bentuknya agak runcing sampai runcing berdiameter antara 5 10 cm.
Umumnya breksi tufa ini tidak kompak. Umur Formasi Damar Tengah adalah Plistosen
Bawah (Van Bemmelen, 1941).
Formasi Damar Atas terdiri atas lapisan yang berselang-seling antara batupasir
tufaan (Bt), tufa lempungan dan tufa konglomerat. Batupasir tufaan umumnya berwarna
coklat- coklat tua, tebalnya berkisar antara 0,50 2,50 meter. Di dalam batupasir tufaan
ini kadang-kadang dijumpai kerikil. Pada tufa konglomerat komponennya terdiri atas
andesit, bentuknya agak bulat sampai bulat dan berdiameter antara 4-7 cm. Di dalam tufa
konglomerat ini sering dijumpai lensa-lensa batupasir kasar dan kerikil. Formasi Damar
Atas ini berumur Plistosen Tengah (Van Bemmelen, 1941).
Berdasarkan analisis Peta Geologi Lembar Semarang-Magelang, tahun 1996 yang
dibuat oleh Thanden, Sumadirja, Richards, Sutisno, dan Amien, Formasi Damar di
daerah yang dianalisis menempati wilayah seluas 4,96 km2 atau sekitar 7,81 % dari luas
daerah penelitian.

d. Formasi Kalibiuk/Lapisan Marine ( Tm)


Formasi Kalibiuk dijumpai di sebelah barat Bukit Gombel, Desa Tinjomoyo, sampai
ke Desa Asinan memanjang ke arah barat sampai ke Kali Kreo. Formasi Kalibiuk,
umumnya terdiri atas lempung kapuran (Lk), napal pasiran (Np) yang kadang-kadang
mengandung Fosil Globigerina, dan sedikit batupasir tufaan (Bt). Formasi Kalibiuk ini
bagian atasnya terdiri atas lempung abu-abu kehitaman dan batupasir tufaan. Di dalam
lapisan lempung ini banyak terdapat cangkang-cangkang Pelecypoda dan Chepallopoda.
Formasi Kalibiuk ini berumur Mio Pliosin Bawah ( Van Bemmelen, 1941).

25
Berdasarkan analisis Peta Geologi Lembar Semarang-Magelang, tahun 1996 yang
dibuat oleh Thanden, Sumadirja, Richards, Sutisno, dan Amien, Formasi Kalibiuk di
daerah penelitian menempati wilayah seluas 11,69 km 2 atau sekitar 18,42 % dari daerah
yang dianalisis. Formasi Kalibiuk dibagi menjadi dua formasi yaitu Formasi Kalibeng
(Tmpk) dan Formasi Kerek (Tmk).

e. Formasi Batuan Vulkanik Ungaran Lama / Ungaran Tua atau Formasi Jongkong (Qou)
Formasi Batuan Vulkanik Ungaran Lama/Ungaran Tua tersusun oleh batuan breksi
Andesit (Ba) dengan hornblendeaugit. Batuan tersebut merupakan batuan beku luar
yang bersifat intermedier yang mengandung cukup SiO2. Berdasarkan analisis peta
geologi Lembar Semarang-Magelang, tahun 1996 yang dibuat oleh Thanden, Sumadirja,
Richards, Sutisno, dan Amien, batuan breksi andesit dari vulkan Ungaran lama
menempati wilayah seluas 1,42 km2 atau sekitar 2,23 % dari luas daerah yang dianalisis.

f. Formasi Endapan Vulkanik Lahar Gunung Ungaran Tengah (Qug)


Formasi Endapan Vulkanik Lahar Gunung Ungaran Tengah tersusun oleh aliran
basalt olivin augit (Boa). Batuan tersebut merupakan batuan beku luar yang bersifat
cukup alkalis dengan sedikit silikat atau Si O2. Berdasarkan analisis peta geologi Lembar
Semarang-Magelang, tahun 1996 yang dibuat oleh Thanden, Sumadirja, Richards,
Sutisno, dan Amien, Formasi Endapan Vulkanik Lahar Gunung Ungaran Tengah
2
menempati wilayah seluas 13,01 km atau sekitar 20,50 % dari luas daerah yang
dianalisis.

2.5. Bentuklahan
Bentuklahan di suatu wilayah dapat dibuat dengan menggunakan hasil interpretasi
foto udara, peta geomorfologi dan peta geologi. Jika ke tiga buah peta tersebut tersedia,
maka kita dapat melakukan overlay tiga buah peta tersebut sehingga dapat dihasilkan peta
bentuklahan. Namun jika adanya adalah peta geomorfologi saja, maka dapat dilakukan
analisis peta tersebut kemudian dilakukan cek lapangan. Setelah itu dapat dibuat peta
bentuklahan beserta diskripsinya. Contoh berikut adalah diskripsi untuk bentuklahan di
wilayah Kecamatan Gunungpati.

26
Secara genetik asal bentuklahan di daerah penelitian dibedakan menjadi empat yaitu
bentukan asal volkanik, bentukan asal struktural, bentukan asal denudasional, dan
bentukan asal fluvial, dengan luasan masing-masing seperti disajikan pada Tabel 2.8.
Adapun masing-masing genetik bentuklahan dapat dijelaskan sebagai berikut:
1). Bentuklahan asal volkanik ( V )
Bentukan asal volkanik berkaitan dengan volkanisme yaitu berbagai
proses/fenomena yang berkaitan dengan gerakan magma naik ke permukaan bumi.
Akibat dari proses volkanisme maka akan terjadi berbagai bentukan yang secara
makro disebut sebagai bentukan volkanik. Bentuklahan bentukan asal volkanik ini
lebih didasarkan pada material/batuan penyusun yang berupa batuan volkanik. Di
daerah penelitian bentukan asal volkanik ini dibagi menjadi dua yaitu kaki volkan
ungaran (V1) dengan luas 16,183 km2 atau sekitar 25,503 % dari luas wilayah
penelitian, dan dataran kaki volkan (V2) dengan luas 21,196 km 2 atau 33,404 % dari
luas daerah penelitian.
2). Bentuklahan asal struktural ( S )
Bentuklahan asal struktural yang dapat ditemukan di wilayah yang dianalisis
adalah perbukitan struktural terkikis kuat (S1) dengan luas 12,623 km2 atau 19,893
% dari luas wilayah, dan gawir sesar (S2) dengan luas 3,306 km 2 atau 5,21% dari
luas wilayah. Bentukan struktural yang terjadi di wilayah yang dianalisis agak sulit
dikenali, hal ini terjadi sebagai akibat adanya proses eksogen dalam jangka waktu
yang lama yang cenderung desktruktif dan masih terjadi sampai saat ini dengan
intensitas yang tinggi.

27
28
Tabel 2.11. Luas dan Persentase Luas Masing-Masing Bentuklahan
di Daerah Penelitian
No Asal Proses Bentuklahan Luas Persentase
2
(km ) Luas (%)
1 Volkanik (V) Kaki volkan (V1) 16,183 25,503
Dataran kaki volkan (V2) 21,196 33,404
2. Struktural (S ) Perbukitan struktural terkikis 12,623 19,893
kuat (S1)
Gawir sesar (S2) 3,306 5,21
3. Denudasional Perbukitan denudasional 8,29 13,064
(D) terkikis kuat ( D )
4. Fluvial ( F ) Dataran alluvial (F1) 1,148 1,809
Alur lembah isian (F2) 0,708 1,115
Jumlah 63,454 100
Sumber: Analisis Peta Geomorfologi Daerah Kecamatan Gunungpati

3). Bentuklahan asal denudasional ( D )


Bentuklahan asal denudasional terbentuk akibat adanya proses pengikisan yang
bekerja pada material baik pelapukan, erosi, maupun longsoran. Kenampakan
denudasi ditandai dengan adanya singkapan batuan akibat proses pelapukan,
keberadaan alur-alur akibat proses erosi dan adanya lembah-lembah akibat adanya
gerakan tanah/longsoran. Bentuklahan asal denudasional di wilayah yang dianalisis
memiliki luas 8,29 km2 atau 13,064 % dari luas seluruh wilayah yang dianalisis.
4). Bentuklahan asal fluvial ( F )
Bentuklahan asal fluvial berkaitan erat dengan daerah penimbunan (sedimentasi)
seperti lembah sungai yang cukup lebar dan dataran alluvial. Bentuklahan asal fluvial
terjadi akibat adanya proses fluvial yang berupa air mengalir baik yang memusat
(sungai) maupun oleh aliran permukaan bebas ( overland flow ). Bentuklahan asal
fluvial yang ditemukan di wilayah yang dianalisis berupa dataran alluvial ( F1 )
dengan luas 1,148 km2 atau 1,809 % dari luas wilayah yang dianalisis, dan alur
lembah isian ( F2 ) dengan luas 0,708 km 2 atau 1,115 % dari luas wilayah yang
dianalisis. Dataran alluvial mempunyai topografi datar sebagai hasil pengendapan
alluvium di kiri kanan sungai. Endapan ini terjadi akibat adanya luapan air sungai
yang membawa sedimen pada saat banjir. Alur lembah isian terjadi akibat adanya
alur permukaan lembah yang terisi oleh material sedimen sehingga lembah menjadi
dangkal.

29
2.6. Kondisi Tanah
Ada lima faktor yang berpengaruh terhadap pembentukan tanah di suatu daerah yaitu
faktor iklim, bahan induk, organisme, relief dan waktu. Kondisi iklim seperti curah hujan,
temperatur, dan kondisi relief suatu daerah akan mempengaruhi proses geomorfologi
yang bekerja pada bahan induk yang ada sehingga akan mempengaruhi pembentukan
tanah. Klasifikasi tanah dalam sub bab ini mengacu pada sistem penamaan USDA (
United States Department of Agriculture), dengan penamaan tanah sampai famili tanah.
Di wilayah yang dianalisis di jumpai ada empat ordo tanah yaitu ordo inseptisol, ordo
vertisol, ordo alfisol dan ordo ultisol (Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, 1995).
Luas dan persebaran masing-masing famili tanah di daerah penelitian disajikan pada
Tabel 2.12 dan Gambar 2.5 yang berupa peta tanah.
Tabel 2.12 Luas dan Persentase Luas Masing-Masing Famili Tanah Di Daerah
Penelitian
No Famili Tanah Luas Persentase
2
(km ) Luas
1 Aeric Tropoquepts 3 4,75
2 Andic Dystropepts 3,882 6,19
3 Typic Dystropepts 4,745 7,57
4 Typic Hapluderts 10,988 17,52
5 Aquic Hapludalfs 4,374 6,97
6 Typic Hapludult 35,755 57,00
Luas Total 63,454 100
Sumber: Analisis Peta Tanah Daerah Kecamatan Gunung Pati.
Berdasarkan Pemetaan Sumberdaya Tanah Tingkat Semi Detil, skala 1 : 50.000 di
daerah sekitar Semarang yang dilakukan oleh Tim Peneliti Pusat Penelitian Tanah dan
Agroklimat (1995), karakteristik masing-masing famili tanah tersebut dapat dijelaskan
sebagai berikut:

30
31
(a). Aeric Tropoquepts
Aeric Tropoquepts merupakan tanah dengan golongan (order) inseptisol yaitu
golongan tanah yang baru berkembang dan belum matang dengan perkembangan profil
tanah yang masih lemah dibandingkan dengan tanah yang matang, serta memiliki sifat-
sifat tanah yang masih seperti bahan induknya. Tanah ini berkembang di daerah tropis,
dengan air tersedia yang cukup pada kawasan suhu ( temperature rezim) isohipertermik
( > 22 oC).
Aeric tropoquepts merupakan tanah yang bahan induknya berasal dari endapan
lempung sungai. Struktur tanahnya gumpal agak bersudut, konsistensi lekat, plastis-agak
plastis, teksturnya lempung berdebu geluh berlempung dengan pH tanah yang cukup
alkalis( pH 7,8 8,5). Umumnya memiliki ketebalan solum tanah yang tebal, dan
kedalaman tanah yang dalam, drainase tanah terhambat, dan permeabilitasnya sangat
lambat. Di wilayah yang dianalisis tanah ini menempati wilayah seluas 3 km 2 atau seluas
4,75 % dari luas wilayah yang dianalisis.
(b). Andic Dystropepts
Andic Dystropepts merupakan tanah dengan golongan (order) inseptisol yaitu
merupakan golongan tanah yang baru berkembang dan belum matang dengan
perkembangan profil tanah yang masih lemah dibandingkan dengan tanah yang matang,
serta memiliki sifat-sifat tanah yang masih seperti bahan induknya. Andic dystropepts
memliki ketebalan solum yang sangat tebal, dan kedalaman tanah yang sangat dalam,
Drainase baik, permeabilitas sedang. Bahan induknya dari abu dan tuf volkan, tekstur
lempung berdebu, struktur halus-gumpal agak bersudut, dengan konsistensi agak lekat
dan agak plastis, pH tanah cukup masam (pH 5.0 5.5 ) dan warna coklat gelap. Di
daerah penelitian tanah ini menempati wilayah seluas 3,882 km 2 atau seluas 6,19 % dari
luas wilayah yang dianalisis.
( c ). Typic Dystropepts
Typic Dystropepts merupakan tanah dengan golongan (order) Inseptisol yaitu
merupakan golongan tanah yang baru berkembang dan belum matang dengan
perkembangan profil tanah yang masih lemah dibandingkan dengan tanah yang matang,
serta memiliki sifat-sifat tanah yang masih seperti bahan induknya. Typic Dystropepts
memiliki ketebalan solum yang tebal, tekstur lempung berdebu, drainase baik,

32
permeabilitas sedang, bahan induknya dari batuan breksi, warna kecoklatan gelap,
struktur gumpal agak bersudut, konsistensi agak lekat agak plastis dan cukup gembur,
pH tanah sedikit masam (pH 6,0 6,5). Tanah ini berkembang di daerah tropis dengan
rezim temperatur isohipertermik. Tanah ini di wilayah yang dianalisis menempati
wilayah seluas 4,745 km2 atau seluas 7,57 % dari luas wilayah yang dianalisis.
(d). Typic Hapluderts
Typic Hapluderts merupakan tanah dengan golongan (order) Vertisol. Vertisol
merupakan tanah lempungan yang berat dengan kadar lempung di atas 30 % di semua
horison dan ditandai adanya jenis montmorilonit atau smektite. Adanya mineral lempung
menyebabkan tanah memiliki daya kembang kerut yang kuat sesuai dengan kondisi kadar
air atau menuruti keadaan basah kering. Pada kondisi basah bersifat sangat liat dan
sangat lekat, sedangkan pada kondisi kering bersifat sangat keras dan retak-retak bahkan
dapat membuat retakan sedalam 0 50 cm (Tejoyuwono, 2000). Vertisol termasuk tanah
yang matang namun masih sering berubah karena adanya pembalikan horizon. Typic
Hapluderts di wilayah yang dianalisis merupakan tipe tanah lempung dengan horison
sederhana dan kondisi iklim basah-agak basah dengan kawasan suhu (temperature rezim)
isohipertermik ( > 22 oC). Typic Hapluderts merupakan tanah dengan ketebalan solum
yang tebal yang dapat dijumpai pada lereng atas, lereng tengah maupun lereng bawah,
dengan tekstur lempung, drainase terhambat, permeabilitas lambat, warna kecoklatan
sampai kekelabuan gelap, struktur pejal-gumpal bersudut dan pH netral (pH 6,5 7,3). Di
daerah penelitian tanah ini menempati wilayah seluas 10,988 km 2 atau seluas 17,52 %
dari luas wilayah yang dianalisis.
(e). Aquic Hapludalfs
Aquic Hapludalfs merupakan tanah dengan golongan (order) Alfisol. Alfisol
termasuk tanah yang matang, yang dicirikan oleh adanya horison argilik dengan
kejenuhan basa 35% atau lebih besar. Aquic hapludalfs merupakan tanah yang tumbuh di
daerah yang basah-agak basah dengan rezim temperatur isohipertermik. Tanah ini
mempunyai ketebalan solum agak tebal, warna coklat sampai coklat kekelabuan,
kedalaman tanah agak dalam, drainase agak terhambat, permeabilitas lambat, tekstur
geluh lempung berdebu, struktur halus-gumpal agak bersudut, konsistensi agak lekat-
agak plastis dan gembur, pH sedikit masam (pH 6,0 6,5). Di wilayah yang dianalisis

33
tanah ini menempati wilayah seluas 4,374 km 2 atau seluas 6,97 % dari wilayah yang
dianalisis.
(f). Typic Hapludults
Typic Hapludults merupakan tanah dengan golongan (order) Ultisol. Ultisol dari
kata Latin ultimus yang berarti akhir atau sudah mengalami tingkat pelapukan yang jauh,
yang dicirikan dengan adanya horison argilik dengan kejenuhan basa di bawah 35 %
(Tejoyuwono, 2000). Typic Hapludults di wilayah yang dianalisis merupakan tanah yang
memiliki ketebalan solum agak tebal, kedalaman tanah agak dalam, drainase baik,
permeabilitas sedang, tekstur lempung berdebu geluh berlempung, warna coklat gelap,
struktur gumpal agak bersudut dan cukup pejal, konsistensi lekat dan plastis, dan pH
sedikit masam (pH 6,0 6,5). Di wilayah yang dianalisis tanah ini menempati wilayah
seluas 35,755 km2 atau seluas 57,00 %.

34
BAB III.
RONA SOSIAL EKONOMI

Selain rona fisik wilayah, dalam analisis potensi wilayah juga harus melakukan
analisis tentang kondisi sosial ekonomi wilayah. Hal ini karena potensi wilayah secara
utuh merupakan perpaduan antara rona fisik dan rona sosial ekonomi dari suatu wilayah.
Data sosial ekonomi yang perlu dianalisis antara lain adalah:
- Data penduduk (jumlah penduduk, kepadatan penduduk, rasio ketergantungan,
tingkat pertumbuhan).
- Data Pendapatan penduduknya atau product domestic regional bruto (PDRB).
- Data distribusi fasilitas umum/utilitas, seperti fasilitas pendidikan (jumlah dan
persebaran sekolah), jumlah dan persebaran fasilitas kesehatan (Polides, Puskesmas,
Rumah sakit); Pasar/pertokoan, terminal dan sebagainya.
- Data Aksesibilitas, seperti kondis jaringan jalan.

Untuk lebih jelasnya dalam analisis tentang rona sosial ekonomi, berikutnya akan
diberikan contoh dari daerah Kecamatan Gunungpati.
3.1. Keadaan Penduduk
a. Jumlah penduduk
Jumlah penduduk di Kecamatan Gunungpati Kota Semarang secara keseluruhan
adalah 62.647 jiwa. Jumlah penduduk terbanyak ada di Kelurahan Gunungpati, yaitu
5.796 jiwa dengan kepadatan penduduk aritmatik 9 jiwa/km 2, sedangkan jumlah
penduduk paling sedikit di Kelurahan Jatirejo dengan jumlah penduduk 1.658 jiwa
dengan kepadatan penduduk 7 jiwa/km2. Lebih lengkap dapat dilihat pada table 3.1.
Luas area permukiman di kecamatan Gunungpati kota Semarang secara
keseluruhan adalah 3889,34 Ha atau 73,74 % dari luas keseluruhan yang terbagi
dalam 16 (enam belas) kelurahan. Kelurahan dengan area permukiman terluas adalah
kelurahan Patemon dengan luas permukiman sejumlah 447,30 Ha, sedangkan untuk
kelurahan dengan area permukiman tersempit adalah kelurahan Nongkosawit dengan
luas permukiman sejumlah 109,85 Ha dan secara lebih lengkap mengenai luas
permukiman dapat dilihat pada tabel 3.1. berikut.

35
TABEL 3.1
LUAS WILAYAH PER KELURAHAN DAN KEPADATAN PENDUDUK
DI KECAMATAN GUNUNGPATI KOTA SEMARANG
TAHUN 2006
Kepadatan
Luas Kepadatan Penduduk
No Nama Kelurahan Luas (Ha) Jumlah Penduduk Penduduk
Permukiman (Ha) Permukiman
Aritmatik/Km2
1 Gunungpati 667.72 391.55 5.796 9 15
2 Plalangan 331.73 226.43 3.252 10 14
3 Sumurejo 325.16 172.57 4.867 15 28
4 Pakintelan 274.81 228.24 3.660 13 16
5 Mangunsari 195.95 133.42 3.091 16 23
6 Patemon 508.09 447.30 3.712 7 8
7 Ngijo 211.44 111.61 2.251 11 20
8 Nongkosawit 190.91 109.85 3.454 18 31
9 Cepoko 245.41 142.74 2.308 9 16
10 Jatirejo 247.78 185.28 1.658 7 9
11 Kandri 245.49 176.05 3.494 14 20
12 Pongangan 343.95 240.19 4.556 13 19
13 Kalisegoro 281.88 223.95 1.892 7 8
14 Sekaran 490.72 415.28 5.844 12 14
15 Sukorejo 288.06 286.36 7.387 26 26
16 Sadeng 425.50 398.52 5.425 13 14
Jumlah 5,274.60 3889.34 62.647
Sumber : Kecamatan Gunungpati dalam Angka 2006

36
b. Komposisi penduduk menurut tingkat pendidikan

Berdasarkan tabel 3.2, sebagian besar penduduk Kecamatan

Gunungpati berpendidikan Sekolah Dasar (SD) yaitu sejumlah 30.443 jiwa.

Penduduk lulusan Sekolah Dasar terbesar berada di kelurahan Sukorejo yaitu

sejumlah 3.771 jiwa, sedangkan penduduk lulusan Sekolah Dasar terkecil

adalah di Kelurahan Kalisegoro yaitu sejumlah 885 jiwa.

Tingkat pendidikan dengan jumlah lulusan terrendah adalah Perguruan

Tinggi yang hanya berjumlah 437 jiwa. Dari jumlah tersebut, lulusan

Perguruan Tinggi terbesar adalah di kelurahan Sukorejo sedangkan lulusan

Perguruan Tinggi terkecil berada di kelurahan Cepoko. Komposisi penduduk

menurut tingkat pendidikan secara lebih lengkap dapat dilihat pada tabel 3.2.

berikut:

32
TABEL 3.2.
KOMPOSISI PENDUDUK MENURUT TINGKAT PENDIDIKAN
KECAMATAN GUNUNGPATI KOTA SEMARANG
TAHUN 2006

No Kelurahan Tidak Tdk Tamat Belum Tamat SD Tamat Tamat Tamat Tamat Jumlah
Sekolah SD Tamat SD SLTP SLTA Akademi / Perguruan
DIII Tinggi
01 Gunungpati 541 96 681 2.989 685 414 55 44 5.505
02 Plalangan 288 54 401 1.599 353 227 32 27 2.981
03 Sumurejo 435 78 543 2.309 509 319 28 27 4.248
04 Pakintelan 329 60 447 1.846 425 259 28 21 3.415
05 Mangunsari 282 52 375 1.566 365 217 24 19 2.900
06 Patemon 310 57 395 1.716 388 235 22 18 3.141
07 Ngijo 200 48 276 1.133 256 158 21 16 2.108
08 Nongkosawit 312 56 408 1.720 395 233 26 21 3.171
09 Cepoko 221 51 278 1.178 264 168 8 9 2.177
10 Jatirejo 153 36 193 862 199 127 10 12 1.592
11 Kandri 278 30 324 1.094 593 328 5 22 2.674
12 Pongangan 420 90 539 2.262 486 211 28 21 4.057
13 Kalisegoro 149 41 201 885 213 129 13 12 1.643
14 Sekaran 562 104 720 3.024 669 417 58 50 5.604
15 Sukorejo 688 91 865 3.771 844 522 106 86 6.973
16 Sadeng 471 83 572 2.489 570 346 39 32 4.602
JUMLAH 5639 1027 7218 30.443 7.214 4.310 503 437 56.791
Sumber : Kecamatan Gunungpati Dalam Angka 2006

33
c. Komposisi penduduk menurut kelompok usia

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik, jumlah penduduk

kecamatan Gunungpati secara keseluruhan adalah sejumlah 62.647 jiwa.

Kelompok usia terbesar adalah penduduk usia 25-29 tahun yaitu berjumlah

6.593 jiwa yang terdiri dari 3.204 jiwa penduduk laki-laki dan 3.389 jiwa

penduduk perempuan. Kelompok usia terkecil adalah penduduk usia 70-74

tahun yaitu berjumlah 1.225 jiwa yang terdiri 605 jiwa penduduk laki-laki dan

620 jiwa penduduk perempuan.

Persebaran penduduk kelompok usia 25-29 tahun yang terbesar berada

di kelurahan Sukorejo yaitu sejumlah 813 jiwa dan yang terkecil berada di

Kelurahan Jatirejo yaitu sejumlah 169 jiwa. Pada kelompok usia 70-74 tahun

yang terbesar adalah di kelurahan Gunungpati yaitu sejumlah 134 jiwa dan

yang terkecil adalah di kelurahan Kalisegoro yaitu sejumlah 35 jiwa.

Komposisi penduduk kecamatan Gunungpati menurut kelompok usia secara

lebih lengkap dapat dilihat pada tabel 3.3.berikut:

34
TABEL 3.3
JUMLAH PENDUDUK MENURUT KELOMPOK USIA
KECAMATAN GUNUNGPATI KOTA SEMARANG
TAHUN 2006
KELOMPOK USIA
No Kelurahan 0-4 5-9 10-14 15-19 20-24 25-29 30-34 35-39
Laki Prmp Laki Prmp Laki Prmp Laki Prmp Laki Prmp Laki Prmp Laki Prmp Laki Prmp
1 Gunungpati 81 86 211 228 239 244 237 255 213 255 281 328 255 272 289 291
2 Plalangan 39 55 135 121 144 134 108 127 132 133 174 138 134 153 158 170
3 Sumurejo 81 78 216 180 219 213 191 187 204 211 239 271 238 237 229 252
4 Pakintelan 57 67 141 150 158 165 155 160 144 161 183 177 170 179 186 160
5 Mangunsari 44 43 130 121 145 126 129 120 137 121 150 181 156 162 156 154
6 Patemon 58 44 140 157 156 167 192 187 195 184 176 224 166 196 165 174
7 Ngijo 29 40 72 83 92 99 87 77 83 96 114 118 112 109 114 127
8 Nongkosawit 58 54 148 139 144 134 155 155 131 145 152 174 163 159 181 183
9 Cepoko 22 30 93 70 104 90 107 105 94 75 113 119 116 91 115 118
10 Jatirejo 18 21 64 60 75 77 67 79 66 77 79 90 84 89 66 64
11 Kandri 54 51 156 145 134 155 183 141 147 152 154 195 182 194 163 143
12 Pongangan 59 62 198 174 215 235 213 235 178 196 246 215 189 222 202 207
13 Kalisegoro 32 18 62 50 67 89 85 84 87 57 98 103 97 89 93 106
14 Sekaran 69 61 227 200 249 252 281 264 305 281 368 382 307 312 264 238
15 Sukorejo 145 145 334 346 320 302 334 300 317 314 412 401 350 373 343 375
16 Sadeng 80 81 212 240 202 234 251 261 234 226 265 283 239 266 214 244
Jumlah 926 936 2.539 2.464 2.663 2.716 2.775 2.737 2.667 2.684 3.204 3.389 2.958 3.103 2.938 3.006
Sumber : Kecamatan Gunungpati Dalam Angka tahun 2006

35
TABEL 3.3. (lanjutan)
JUMLAH PENDUDUK MENURUT KELOMPOK USIA
KECAMATAN GUNUNGPATI KOTA SEMARANG
TAHUN 2006
No Kelurahan KELOMPOK USIA
40-44 45-49 50-54 55-59 60-64 65-69 70-74 75+
Laki Prmp Laki Prmp Laki Prmp Laki Prmp Laki Prmp Laki Prmp Laki Prmp Laki Prmp
1 Gunungpati 244 251 187 200 177 140 103 124 77 78 84 83 64 70 72 77
2 Plalangan 146 131 117 149 113 91 67 67 50 45 47 42 23 38 37 34
3 Sumurejo 191 209 194 177 150 116 78 71 58 59 57 67 40 39 54 61
4 Pakintelan 168 160 119 139 91 83 61 53 40 57 55 49 33 40 56 43
5 Mangunsari 125 129 105 107 88 78 60 47 37 39 50 40 26 32 27 26
6 Patemon 147 167 137 124 85 64 55 58 56 51 41 48 31 17 21 29
7 Ngijo 87 93 95 90 65 61 43 40 38 30 34 24 25 27 22 25
8 Nongkosawit 143 146 141 123 86 65 58 53 49 42 56 63 30 38 42 44
9 Cepoko 101 81 94 88 73 49 43 35 26 37 46 46 35 30 30 32
10 Jatirejo 68 75 54 58 51 35 28 27 19 25 23 26 22 24 22 25
11 Kandri 127 126 119 136 92 86 61 64 29 44 54 59 39 29 42 38
12 Pongangan 170 189 152 176 130 111 71 66 48 60 68 72 40 44 47 66
13 Kalisegoro 92 86 83 70 66 43 39 20 18 23 28 29 20 15 24 19
14 Sekaran 219 221 203 195 151 124 79 82 58 63 75 84 67 55 68 50
15 Sukorejo 324 339 266 253 198 176 119 105 63 72 58 72 54 56 64 57
16 Sadeng 199 245 230 255 177 141 81 83 59 63 54 66 56 66 51 67
Jumlah 2.551 2.648 2.296 2.340 1.793 1.463 1.046 995 725 788 830 870 605 620 679 693
Sumber : Kecamatan Gunungpati Dalam Angka tahun 2006

36
d. Komposisi penduduk menurut mata pencaharian

Penduduk kecamatan Gunungpati yang paling besar

bermatapencaharian sebagai petani, yaitu sejumlah 5.753 jiwa yang tersebar di

semua kelurahan. Penduduk dengan mata pencaharian petani terbesar berada

pada kelurahan Kandri yaitu berjumlah 834 jiwa, sedangkan penduduk dengan

mata pencaharian petani terkecil adalah pada kelurahan Pakintelan yaitu

sejumlah 62 jiwa.

Mata pencaharian dengan jumlah terkecil adalah mata pencaharian

dibidang angkutan umum yaitu hanya sejumlah 229 jiwa. Penduduk dengan

mata pencaharian dibidang angkutan umum terbesar berada di kelurahan

Pongangan yaitu sejumlah 47 jiwa dan yang terkecil berada di kelurahan

Nongkosawit yaitu sejumlah 3 jiwa. Untuk lebih jelasnya mengenai komposisi

penduduk kecamatan Gunungpati berdasarkan mata pencaharian, dapat dilihat

pada tabel. 3.4. berikut:

37
TABEL 3.4.
KOMPOSISI PENDUDUK MENURUT MATA PENCAHARIAN
KECAMATAN GUNUNGPATI KOTA SEMARANG
TAHUN 2006

No Kelurahan Petani Buruh Pengu Buruh Buruh Pedagang Angkutan PNS/ Pensiunan Jasa/ Jumla
Sendiri Tani -saha Industri Bangunan ABRI lainny h
a
1 Gunungpati 560 588 152 170 0 102 0 148 54 65 1.669
2 Plalangan 514 128 1 222 154 18 0 130 51 75 1.071
3 Sumurejo 232 269 9 335 290 178 30 157 65 86 1.316
4 Pakintelan 62 76 53 1.425 486 39 17 57 25 69 884
5 Mangunsari 400 500 8 288 291 45 35 103 23 98 1.503
6 Patemon 232 91 15 175 191 254 12 34 3 30 862
7 Ngijo 567 396 7 173 231 11 6 41 8 30 1.297
8 Nongkosawit 824 651 2 657 118 2 3 154 42 132 1.928
9 Cepoko 263 392 18 101 115 19 25 21 6 145 1.004
10 Jatirejo 266 424 0 153 153 20 5 12 7 69 956
11 Kandri 834 239 1 288 388 36 0 66 15 58 1.637
12 Pongangan 301 230 4 301 396 85 47 48 20 68 1.199
13 Kalisegoro 102 68 0 109 67 240 5 61 17 2 562
14 Sekaran 170 314 21 61 372 128 12 94 16 36 1.163
15 Sukorejo 261 424 1 116 1.874 355 0 375 25 2 3.317
16 Sadeng 165 109 3 588 494 56 32 162 19 34 1.074
Jumlah 5.753 4.899 295 5.162 5.620 1.588 229 1.663 396 999 21.442
Sumber : Kecamatan Gunungpati Dalam Angka tahun 2006

38
LATIHAN
Evaluasi Potensi Sosial Ekonomi

1. Satuan analisis yang digunakan adalah wilayah administrasi kecamatan

2. Setiap data dilakukan pengharkatan berdasarkan metode skaling, yaitu


perbandingan antar wilayah/kecamatan dalam satu kabupaten. Dalam latihan ini
ada lima tingkat yang kita gunakan dalam membuat peringkat, yaitu:
sangat baik, (diberi skor 5)
baik, (diberi skor 4)
sedang, (diberi skor 3)
kurang baik, (diberi skor 2)
tidak baik (diberi skor 1)
Perlu diperhatikan bahwa klasifikasi peringkat tersebut di atas hanya berlaku pada
satu wilayah saja (kabupaten), jadi tidak boleh digunakan untuk membandingkan
dengan wilayah (kabupaten) lain.

3. Dengan menggunakan fasilitas Calculate maka akan dapat dilakukan perhitungan


potensi sosial ekonomi yaitu melalui perhitungan pada data atributnya.

39
BAB IV.
PENDEKATAN INDEKS POTENSI LAHAN (IPL)

Untuk melakukan analisis potensi fisik suatu wilayah dapat dilakukan dengan
beberapa cara, diantaranya adalah dengan menggunakan pendekatan Indeks Potensi
Lahan. Untuk menggunakan pendekatan indeks potensi lahan maka potensi fisik yang
ada di angkakan atau diberi bobot tertentu. Potensi fisik dapat dinyatakan dengan nilai
angka yang disebut dengan Indek Potensi Lahan (IPL). Besarnya IPL ditentukan oleh
pengharkatan 5 faktor, dengan perhitungan mengikuti formula rasional sebagai
berikut:

IPL = (R + L + T + H). B
Keterangan :
IPL = Indeks Potensi Lahan
R = Harkat Faktor lereng
L = Harkat faktor litologi
T = Harkat faktor tanah
H = Harkat faktor hidrologi
B = harkat kerawanan bencana atau pembatas

Berdasarkan rumus yang akan digunakan maka untuk menggunakan pendekatan


IPL kita butuh minimal 5 buah data fisik yang diberi harkat dan diwujudkan secara
spasial dalam peta tematik.

4.1. Data Kemiringan Lereng


Kemiringan lereng merupakan salah satu elemen penting dalam menentukan
potensi suatu wilayah. Data tentang kemiringan lereng dapat diperoleh dari peta
topografi daerah setempat, khususnya dari kontur yang ada. Kemudian dengan
menggunakan metode Wentword akan dapat dihitung dan ditentukan kelas
kemiringan lereng suatu wilayah. Selanjutnya kelas kemiringan lereng yang sudah
ditentukan di buat peta tematiknya. Peta tematik kemiringan lereng tersebut
selanjutnya di beri harkat sehingga dapat digunakan untuk menentukan indeks potensi
lahan. Adapun harkatnya dapat ditentukan sebagai berikut.

40
Tabel 4.1. Harkat kemiringan lereng

Kelas Kemiringan Harkat


I 02% 4
II 2 15 % 3
III 15 40 % 2
IV > 40% 1

4.2. Data Litologi/Jenis Batuan


Jenis batuan juga merupakan salah satu elemen penting dalam menentukan potensi
suatu wilayah. Data tentang jenis batuan dapat diperoleh dari peta geologi daerah
setempat. Peta tematik jenis batuan tersebut selanjutnya di beri harkat sehingga dapat
digunakan untuk menentukan indeks potensi lahan. Adapun harkatnya dapat
ditentukan sebagai berikut.
Tabel 4.2. Harkat Jenis Batuan

Kode Jenis Batuan Harkat


Lb Batuan beku Masif 5
Lp Bahan Piroklastik 8
Lk Sedimen Klastik berbutir kasar 5
Lh Sedimen klastis berbutir halus 2
Lg Sedimen gampingan & metamorf 3
Li Batu gamping 5
La Aluvium / Coluvium 10

4.3. Data Tanah


Data tanah merupakan salah satu elemen penting dalam menentukan potensi suatu
wilayah selain empat elemen yang lainnya. Data tentang tanah dapat diperoleh dari
peta jenis tanah daerah setempat. Peta tematik jenis tanah tersebut selanjutnya di beri
harkat sehingga dapat digunakan untuk menentukan indeks potensi lahan. Adapun
harkatnya dapat ditentukan sebagai berikut.

41
Tabel 4.3. Harkat Jenis Tanah

Kode Jenis Tanah Harkat


S1 Aluvial, latosol, mediteran, podsol, 4
grumusol
S2 Andosol, Podsol 3
S3 Rensina, Planosol 2
S4 Gley humus, hidromorf, regosol, litosol 1

4.4. Data Hidrologi


Data hidrologi merupakan salah satu elemen penting dalam menentukan potensi
suatu wilayah selain empat elemen yang lainnya. Data tentang hidrologi dapat
diperoleh dari peta hidrogeologi daerah setempat. Peta tematik hidrologi tersebut
selanjutnya di beri harkat sehingga dapat digunakan untuk menentukan indeks potensi
lahan. Adapun harkatnya dapat ditentukan sebagai berikut.

Tabel 4.4. Harkat data hidrologi (Potensi air dan Kemungkinan Irigasi)

Air Permukaan Harkat Air Tanah Harkat


P1 Potensi & kemungkinan 4 A1 Produkstivitas tinggi, 4
irigasi besar penyebaran luas
P2 Potensi sedang, kemungkinan 3 A2 Produktivitas sedang tinggi 3
irigasi lokal setempat (lokal)
P3 Potensi kecil / lokal 2 A3 Produktivitas kecil sedang 2
setempat

P4 Langka air permukaan 0 A4 Air tanah langka 0

4.5. Data Rawan Bencana


Data rawan bencana merupakan salah satu elemen penting dalam menentukan
potensi suatu wilayah selain empat elemen yang lainnya. Data tentang rawan bencana
dapat diperoleh dari peta rawan bencana daerah setempat. Peta tematik rawan bencana
tersebut selanjutnya di beri harkat sehingga dapat digunakan untuk menentukan
indeks potensi lahan. Adapun harkatnya dapat ditentukan sebagai berikut.

42
Tabel 4.5. Kerawanan Bencana / Faktor Pembatas
Banjir Erosi Gerak Masa Berbatu-batu Harkat
B1 Sering tergenang E1 Berat G1 Berat R1 Banyak 0.6
B2 Kadang tergenang E2 Sedang G2 Sedang R2 Sedang 0.7
B3 Jarang tergenang E3 Ringan G3 Ringan R3 Sedikit 0.8
B4 Tanpa E4 Tanpa G4 Tanpa R4 Tanpa 1.0

Indeks Potensi Lahan (IPL) menyatakan tentang potensi relatif lahan untuk
kegunaan umum. Semakin tinggi IPL berarti semakin baik potensinya. Selanjutnya
berdasarkan besarnya nilai IPL, potensi lahan dapat digolongkan secara relatif
menjadi 5 kelas yaitu :
Tabel 4.6. Kelas Kemampuan Lahan
Kelas Lahan Nilai IPL
I. Sangat Tinggi 32 - 40
2. Tinggi 24 31.9
3. Sedang 16 23.9
4. Rendah 8 15.9
5. Sangat Rendah 0 7.9
(Bakosurtanal, dalam Prapto Suharsono, 1994:204)

Bila ditinjau dari tingkat kelas kemampuan lahan, maka makin tinggi kelas
kemampuan lahan yang ada, nilai Indeks Potensi Lahannya makin tinggi kelasnya
dan akan makin besar pula faktor penghambat dalam pemanfaatannya. Berikut adalah
arti dari empat kelas kemampuan lahan yang ada .

a. Kelas Kemampuan Lahan Sangat Tinggi


Lahan ini sesuai untuk segala jenis usaha pertanian, lahannya datar, dalam,
bertekstur halussedang, drainase baik, mudah diolah dan responsif terhadap
pemupukan.

b. Kelas Kemampuan Lahan Tinggi.


Lahan ini sesuai untuk usaha pertanian dengan sedikit hambatan, lahan berlereng
landai, bertekstur halus sampai sedang, perlu tindakan pengawetan lahan yang
ringan.

43
c. Kelas Kemampuan Lahan Sedang
Kelas lahan ini memiliki hambatan yang lebih besar dari kelas kemampuan
lahan tinggi dalam usaha pemanfaatannya untuk usaha pertanian, karena, terletak
pada lereng agak yang miring, kedalaman efektif sedang, permeabilitas agak
cepat, pengolahan lahan menurut garis kontur dan pembuatan guludan. Tindakan
pengawetan lahan berupa pembuatan dan pergiliran tanaman berupa tanaman
keras.

d. Kelas Kemampuan Lahan Rendah


Lahan ini tidak sesuai untuk usaha pertanian semusim, karena terletak pada
lereng yang miring sehingga mudah tererosi, kedalaman efektif tanah dangkal dan
pemanfaatan lahannya sebaiknya perkebunan.

e. Kelas Kemampuan Lahan Sangat Rendah


Lahan ini mepunyai hambatan yang sangat tinggi sehingga tidak
dimungkinkan lagi untuk usaha tani, dan sebaiknya hanya untuk kawasan lindung
saja.

44
BAB V
SATUAN LAHAN

5.1. Pengertian Satuan lahan


Satuan peta lahan adalah wilayah lahan yang ditunjukan pada peta
berdasarkan karakteristik lahan teretntu (Dijkerman,1983).
Satuan Lahan ialah suatu wilayah lahan yang memiliki satu atau lebih
karakteristik lahan tertentu, yang menyatakan keutuhan lingkungan dari
sembarang ukuran, yang dapat ditunjukan pada peta. (Kips,1981)
Satuan lahan ialah suatu wilayah lahan dengan kualitas lahan dan karakteristik
lahan tertentu yang dapat ditentukan batasannya pada peta (FAO,1976)
Satuan lahan ialah suatu wilayah lahan yang dibatasi pada peta atas dasar sifat
lahan dan atau kualitasnya (Beek,1978).
Satuan lahan ialah suatu wilayah yang memiliki kesamaan bentuklahan dan
timbulan, bahan induk, dan penggunaan lahan atau penutup lahan saat sekarang
(Desaunettes,1977).

Satuan lahan merupakan satuan pemetaan terkecil dan dapat dibuat melalui
overlay dengan menggunakan teknologi sistem informasi geografis (SIG) dari
beberapa peta, yaitu peta lereng, peta bentuk lahan, peta tanah, dan peta
penggunaan lahan.
5.2. Pembuatan Peta Lereng
Secara rinci sudah pernah dibahas pada bagian sebelumnya, namun pada sub bab
ini disampaikan secara ringkas sebagai berikut.
Membuat grid pada peta Rupa Bumi daerah penelitian besarnya ditentukan
1 cm dan makin detil (kecil) makin baik
Membuat garis diagonal pada setiap grid yang telah dibuat
Menghitung jumlah kontur terpotong oleh garis diagonal pada setiap grid,
menghhitung kemiringan lereng dengan rumus sebagai berikut :
(n 1) xCi
KemiringanLereng (%) x100%
Keterangan : Lxps
N = jumlah kontur yang terpotong oleh garis diagonal
Ci = Kontur indeks (kontur Interval)
L = panjang garis diagonal
Ps = penyebut skala peta.

45
5.3 Pembuatan Peta Bentuklahan
Mempersiapkan peta RBI daerah kajian
Melakukan delineasi satuan-satuan morfologi yang berbeda atas dasar
analisisanalisis pola dan kerapatan kontur, pola aliran, pola penggunaan
lahan, dan apabila diperlukan melakukan analisis toponimi. Delineasi
dilakukan secara stepwish dimulai dari satuan morfologi utama dan
diteruskan ke satuan morfologi yang lebih rinci.
Membuat table yang berisi mengenai legenda stauan-satuan morfologi yang
telah dibuat. Tabel berisi informasi mengenai morfologi, morfogenesis,
morfokronologi (stadia proses), dan morfoaransemen.

5.4. Interppretasi Peta Tanah


Mengumpulkan data yang diperlukan
Free Hand informasi peta tanah ke peta dasar, dengan memperhatikan aspek
aspek penting wilayah.misalnya sungai, gunung atau letak grid.

5.5. Interpretasi Penggunaan Lahan


Membuat peta penggunaan lahan dari RBI

5.6. Pembuatan peta stuan lahan


Melakukan overlay dari keempat peta yang telah dibuat untuk menghasilkan
peta satuan lahan tentative.

5.7. Contoh pengkodean satuan lahan


Peta satuan lahan diperoleh dengan cara tumpang susun (overlay) antara :
Peta Bentuklahan, Peta Lereng, Peta Tanah, Peta Penggunaan Lahan
Misalnya: D2.V.La.Hm.
No Satuan Lahan Bentuk Lahan Kemiringan Tanah Penggunaan
(Kode) Lereng Lahan
1. D2.V.La.Hm Perbukitan Klas V Latosol dan Hutan
Denudasional Litosol Mahoni dan
terkikis sedang, 30 45 % (Tropudult Semak
batuan breksi dan & Belukar
sand stone troporthent)
2. S1.IV.Re.Hj Perbukitan Klas IV Rendsina Hutan jati
Struktural terkikis
ringan-sedang, 15 30 % (Rendoll)
batuan napal-tuf
gampingan

46
SATUAN FISIOGRAFIS

SATUAN BENTUK LAHAN MAYOR

SATUAN BENTUK LAHAN MINOR

SATUAN MEDAN SATUAN LAHAN

BENTUKLAHAN - BENTUKLAHAN
KEMIRINGAN LERENG - KEMIRINGAN LERENG
TANAH - TANAH
VEGETASI - PENGGUNAAN LAHAN

D2.II.La.Ht D1.III.Li.Kc

Terapan Untuk Terapan Untuk Pertanian


Non Pertanian
(Kerekayasaan)

Evaluasi Medan Untuk Evaluasi Lahan


Untuk Kerekayasaan: Pertanian:
- Untuk keterlintasan Jalan - Kemampuan Lahan
- Untuk Permukiman - Kesesuaian Lahan
Untuk berbagai
Tanaman

47
DIAGRAM ALIR PENELITIAN KESESUAIAN LAHAN

PETA TOPOGRAFI PETA GEOLOGI FOTO UDARA


SKALA 1: 25.000 SKALA 1: 50.000 SKALA 1: 20.000

PETA KEMIRINGAN PETA BENTUK PETA TANAH PETA PENG.


LERENG LAHAN SKALA 1: 50.000 LAHAN
SKALA 1: 25.000 SKALA 1: 25.000 SKALA 1: 50.000

PETA SATUAN LAHAN


SKALA 1: 25.000

KERJA LAPANGAN

DATA PRIMER DATA SEKUNDER PENGAMBILAN CONTOH


-KEDALAMAN TANAH
-BENTUK EROSI - IKLIM (CURAH ANALISIS LABORATORIUM
-KONDISI PERAKARAN HUJAN, SUHU). - TEKSTUR TANAH
-SIFAT-SIFAT TANAH - PENGELOLAAN - PEREMEABILITAS
-KEADAAN MEDAN HUTAN TANAH
-VEGETASI - PRODUKSI - POROSITAS TANAH
-PENGGUNAAN LAHAN - SOSIAL EKONOMI - PH, BO, KTK, KB
-PRODUKSI - DHL
-CARA PENGELOLAAN - N, P, K, TERSEDIA, DLL

KRITERIA KESESUAIAN ANALISIS DATA


LAHAN UTK TANAMAN KARAKTERISTIK
AGROFORESTRY KUALITAS LAHAN
EVALUASI
KELAS KESESUAIAN LAHAN
UNTUK TANAMAN
MISAL: AGROFORESTRY
TATA GUNA LAHAN
YANG DISARANKAN

48
5.8. Cara evaluasi dan analisis lahan untuk kepentingan tertentu
Contoh : Analisis dan Evaluasi lahan untuk permukiman dapat dilakukan dengan dua
cara:
1. Cara Pengharkatan (Scoring).
2. Cara Pencocokan (Matching).

Penggunaan cara tersebut tergantung pada:


Ketersediaan Data
Sifat penelitian/survei
Waktu dan Dana yang tersedia
Kebiasaan yang sering digunakan untuk evaluasi lahan.

A. Cara pengharkatan (scoring)


Pada cara ini peubah (variabel) yang mempengaruhi terhadap
Kesesuaian lahan untuk permukiman diberi harkat. Besaran harkat disesuaiakan
dengan kontribusi relatif dari peubah tersebut terhadap kesesuaiannya bagi
permukiman. Peubah yang digunakan untuk menilai kesesuaian lahan untuk
permukiman beserta pengharkatannya, dapat dicontohkan seperti berikut ini:
1. Kemiringan Lereng

Besar sudut lereng (%) Kriteria Lereng Harkat


<2 Datar 5
2-<8 Landai 4
8 - < 30 Miring 3
30 - < 40 Terjal 2
> 40 Sangat Terjal 1

2. jumlah dan Kepadatan Alur

Kedalaman Alur Jumlah Alur (/km) Harkat


<1 0 - 1 /km 5
2-4 2 4/km 4
5-8 5 10/km 3
9 - 15 11 15/km 2
> 16 > 15/km 1

3. Kondisi Banjir/Genangan.

Kondisi Banjir Harkat


Tidak pernah banjir 5
Tergenang < 2 bulan/tahun 4
Tergenang 2 6 bulan 3
Tergenang 6-8 bulan/tahun 2
Tergenag > 8 bulan/tahun 1

49
4. Tingkat Pelapukan
Tingkat Pelapukan Harkat
Batu segar 5
Lapuk ringan 4
Lapuk sedang 3
Lapuk kuat 2
Lapuk sangat kuat 1

5. Tingkat Erosi Permukaan


Tingkat Erosi Harkat
Tidak ada kenampakan erosi 5
Kenampakan erosi ringan 4
Kenampakan erosi sedang 3
Kenampakan erosi berat 2
Kenampakan erosi sangat berat 1

6. Tingkat Bahaya longsoran


Tingkat Bahaya longsor Harkat
Tanpa ada bahaya longsor. 5
Ada gerakan massa batuan/tanah dgn ukuran kecil 4
Gerakan massa batuan/tanah dengan resiko ringan 3
Gerakan massa batuan/tanah dengan resiko tinggi 2
Gerakan massa batuan/tanah dengan resiko sangat tinggi 1

7. Kekuatan batuan
Kelas kekuatan UJi lapangan Harkat
batuan
Sangat lemah, beban titik < 3 Mudah dipotong dengan tangan 1
Kg/cm2
Lemah, beban titik 3 10 kg/cm2 Mudah pecah oleh pukulan palu 3
geologi (lemah)
Sedang, beban titik 10 30 kg/ cm2 Pecah oleh pukulan lemah palu 5
geologi
Kuat, beban titik 30 75 kg/ cm2 Sukar pecah oleh pukulan kuat 4
palu geologi
Sangat kuat, beban titik > 75 kg/ Tidak pecah oleh pukulan sangat 2
cm2 kuat palu geologi

8. Drainase Permukaan Tanah.


Tingkat Drainase Harkat
Lahan Kering, pengaturan sangat baik 5
Pengatusan baik 4
Pengatusan Sedang 3
Pengatusan Jelek 2
Pengatusan sangat jelek 1

50
9. Daya Dukung Tanah.
Beban Titik Kelas Daya Dukung Harkat
> 1,5 kg/ cm2 Sangat tinggi 5
1,4 1,5 kg/ cm2 Tinggi 4
1,2 1,4 kg/ cm2 Sedang 3
1,1 1,2 kg/ cm2 Rendah 2
< 1,1 kg/ cm2 Sangat rendah 1

10. Kembang Kerut Tanah.


Tingkat Kembang kerut tanah Harkat
Tidak ada kembang kerut, kandungan lempung montmorilonit 5
sedikit, nilai Cole < 0,001
Sedikit kembang kerut, nilai cole 0,001 0,003 4
Kembang kerut sedang, nilai cole 0,031 0,060 3
Kembang Kerut kuat, nilai cole 0,061 0,090 2
Kembang kerut sangat kuat, nilai cole > 0,091 1

11. Kedalaman Air Tanah


Kedalaman Kelas Kedalaman Harkat
<7m Baik 4
7 15 m Baik sekali 5
15 25 m Sedang 3
25 50 m Jelek 2
> 50 m Sangat jelek 1

Setelah peubah (variabel) yang diperlukan untuk penilaian kesesuaian lahan


diberi harkat, maka harus ditentukan klas kesesuaiannya.
Klas kesesuaian lahan ditentukan berdasarkan jumlah harkat dan berapa jumlah klas
kesesuaian yang diinginkan (baiknya ganjil 3 atau 5 dengan maksud agar dapat
menunjukkan penilaian secara normal dalam arti ada yang baik, sedang dan jelek).
Penentuan kelas kesesuaian dengan jumlah harkat harus mencantumkan faktor
pembatas, sehingga dengan jumlah harkat yang sama belum tentu kesesuaian lahan
aktualnya sama. Berdasarkan faktor pembatas maka dapat ditentukan kelayakan lahan
tersebut untuk direncanakan atau direkomendasikan untuk dibangun.
Penilaian kesesuaian lahan untuk permukiman dengan cara pengharkaan ini
bermanfaat untuk membagi suatu daerah menjadi kelas kesesuaian lahan secara
relatif. Klas yang berbeda, dari hasil penilaian dengan cara pengharkatan ini, dianggap
mempunyai nilai kualitas yang berbeda.
Klas kesesuaian lahan sangat bermanfaat untuk penilaian awal sebagai dasar
perencanaan.

51
Tiap parameter medan merupakan faktor penentu Klas kesesuaian lahan.
Masing-masing parameter medan diberi harkat, harkat minimum sebesar 1 sedangkan
harkat maksimum sebesar 5. Ada 11 parameter medan yang ditetapkan sebagai
penentu klas kesesuaian lahan. Selanjutnya ditentukan klas kesesuaian lahan untuk
permukiman sebagai berikut:
Jumlah parameter yang digunakan 11 parameter ..( A )
Jumlah harkat terendah dari 11 parameter 11 .( B )
Jumlah harkat tertinggi dari 11 parameter 55 .( C )

Besar kelas Interval ( I ) adalah:


C- B
I =
K
Keterangan :
I : besar julat interval kelas
B : jumlah harkat terendah
C : jumlah harkat tertinggi
K : jumlah kelas yang diinginkan ( 5 kelas )
Berdasarkan persamaan tersebut di atas, maka besar julat masing-masing kelas
kesesuaian medan untuk peremukiman adalah:
55 - 11 44
I = = = 8,8
5 5
Dengan demikian maka kelas kesesuaian medan untuk permukiman dapat
ditetapkan dengan interval kelas sebesar 8,8

No. Klas Kesesuaian Lahan Jumlah harkat


1 Sangat baik, lahan dengan kondisi sangat sesuai untuk 46 - 54,8 (55)
permukiman
2 Baik, kondisi lahan sesuai dengan sedikit faktor 37,2 <46
penghambat
3 Sedang, kondisi lahan mempunyai beberapa faktor 28,6 <37,2
penghambat non permananen
4 Jelek, kondisi lahan mempunyai banyak faktor 19,8 < 28,6
penghambat
5 Sangat jelek, hampir semua peubah (variabel) sebagai 11 <19,8
faktor penghambat, atau terdapat faktor penghambat
yang mutlak dan permanen

52
B. Cara pencocokan (matching).
Penilaian lahan untuk permukiman dengan cara matching dapat dilakukan
apabila tersedia data kualitas lahan dan persyaratan yang diperlukan untuk
tujuan tertentu. Misalnya: Persyaratan Kesesuaian lahan untuk gedung.
Persyaratan yang diperlukan dapat diadopsi untuk penilaian lahan permukiman
dengan pertimbangan gedung merupakan unsur utama dari permukiman. Persyaratan
untuk bangunan gedung itu peubahnya (variabelnya) cukup banyak dan memerlukan
nilai yang tinggi, sehingga dapat diasumsikan apabila suatu lahan sesuai untuk
bangunan gedung, maka lahan tersebut juga sesuai untuk permukiman.
Dalam penilaian dengan cara matching faktor penghambat harus dipertimbangkan.
Jika dari data kualitas lahan ada peubah (variabel) yang nilainya jelek, maka kelas
kesesuaiannya akan turun sesuai dengan bobot dari faktor penghambat tersebut.

Contoh : Kesesuaian Lahan Untuk Gedung


Sifat tanah Baik Kesesuaian sedang Buruk
Drainase Baik-sangat baik sedang Agak jelek-
sangat jelek
Air Tanah > 150 cm > 75 cm < 75 cm
(musiman)
Banjir Tanpa Tanpa Jarang
Lereng 08% 8 15 % > 15 %
Potensi rendah Sedang Tinggi
kembangkerut
Batu kecil Tanpa-sedikit sedang Agak banyak
Batu besar tanpa sedikit Sedang-sangat
banyak
Dalamnya hamparan > 150 m 100 150 m < 100 m
batu

53
BAB VI
PENDEKATAN KEMAMPUAN LAHAN

6.1. Pendahuluan
Evaluasi kemampuan lahan pada dasarnya merupakan evaluasi potensi lahan
bagi penggunaan berbagai sistem pertanian secara luas dan tidak membicarakan
peruntukan jenis tanaman tertentu atau tindakan-tindakan pengelolaannya. Oleh sebab
itu sifatnya merupakan evaluasi yang lebih umum dibandingkan dengan evaluasi
kesesuaian lahan yang bersifat lebih khusus.
Lahan dengan kemampuan yang tinggi diharapkan berpotensi yang tinggi dalam
berbagai penggunaan, sehingga memungkinkan penggunaan yang intensif untuk
berbagai macam kegiatan. Sistem klasifikasi kemampuan lahan pertama kali
dikembangkan di Amerika Serikat kurang lebih 50 tahun yang lalu, dengan
diterbitkannya tulisan dari Hockensmith dan Steele (1943). Namun baru pada tahun
1961 buku pegangan yang bersifat komprehensif diterbitkan oleh Soil Conservation
Service, USDA (Klingebiel dan Montgomery, 1961). Ringkasan dari sistem
klasifikasi ini telah diuraikan dalam berbagai buku teks seperti yang ditulis oleh
Stallings (1957), Hudson (1971), Brady (1974), Young (1976), Davidson (1980) dan
McRae dan Burnham (1981).
Sistem ini sementara orang menyebutkan sebagai sistem kategori ( McRae dan
Burnham, 1981) karena sistem tersebut mengelompokkan lahan ke dalam sejumlah
kecil kategori yang diurut menurut faktor penghambat permanen serta sejumlah ciri-
ciri tanah dan lingkungan lainnya.
Sistem kategori dilakukan dengan cara menguji nilai-nilai dari sifat tanah dan
lokasi terhadap seperangkat kriteria untuk masing-masing kategori melalui proses
penyaringan. Nilai-nilai tersebut pertama-tama diuji terhadap kriteria untuk kelas
lahan yang terbaik, dan jika tidak semua kriteria dapat dipenuhi, lahan tersebut secara
otomatis jatuh ke dalam kelas yang lebih rendah. Kemudian nilai-nilai tersebut diuji
dengan kriteria kelas yang lebih rendah dan selanjutnya, hingga kelasnya ditemukan
dimana semua kriteria dipenuhi. Pada umumnya lahan dengan mudah dapat
memenuhi banyak faktor dari kriteria yang ditentukan untuk kelas yang lebih tinggi,
tetapi turun ke dalam kelas yang lebih rendah hanya disebabkan kegagalan memenuhi
salah satu faktor dari kriteria.

54
Sistem kategori seperti ini mempunyai kelemahan di mana tidak dapat dengan
mudah mengatasi keadaan apabila tidak ada satupun dari faktor-faktor yang
digunakan dalam kriteria yang bersifat sebagai faktor penghambat. Sebagai contoh,
suatu lahan yang mempunyai sejumlah sifat-sifat menunjukkan nilai yang relatif
rendah secara simultan, tetapi tidak satupun di antaranya cukup membahayakan untuk
menurunkannya ke dalam kelas lahan yang lebih rendah.

6.2. Klasifikasi kemampuan lahan


Klasifikasi kemampuan lahan adalah pengelompokan lahan ke dalam satuan-
satuan khusus menurut kemampuannya untuk penggunaan intensif dan perlakuan
yang diperlukan untuk dapat digunakan secara terus-menerus ( Soil Conservation
Society of America,1982; hal. 87). Dengan perkataan lain klasifikasi ini akan
menetapkan jenis penggunaan yang sesuai dan jenis perlakuan yang diperlukan untuk
dapat digunakan bagi produksi tanaman secara lestari.
Skema kemampuan lahan untuk evaluasi lahan pertanian telah dikembangkan
oleh Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA) sejak setengah abad yang lalu
sebagai bagian dari program untuk mengatasi erosi (Hockensmith dan Steele, 1943;
1949; Hockensmith, 1950; 1953). Akan tetapi kemampuan sebagai metode untuk
perencanaan penggunaan lahan, baru pertama kali dibuat secara eksplisit dalam sistem
klasifikasi kemampuan lahan oleh USDA (Klingebiel dan Montgomery, 1961). Sistem
klasifikasi lahan ini merupakan salah satu dari sejumlah pengelompokan lahan
melalui interpretasi, dibuat terutama untuk keperluan pertanian. Salah satu dari
tujuannya adalah mengelompokkan lahan yang dapat digarap (arable lands) menurut
potensi dan penghambatnya untuk dapat berproduksi secara lestari. Sistem tersebut
didasarkan pada faktor-faktor penghambat dan potensi bahaya lain yang masih dapat
diterima dalam klasifikasi lahan (Klingebiel dan Montgomery, 1961; Canada Land
Inventory, 1967; Bibby dan Mackney, 1969).
Sistem USDA ini membagi lahan ke dalam sejumlah kecil kategori yang
diurutkan menurut jumlah dan intensitas faktor penghambat yang berpengaruh
terhadap pertumbuhan tanaman, dari kategori tertinggi ke kategori terendah (kelas,
sub-kelas dan satuan pengelolaan). Kelas kemampuan berkisar dari kelas I dimana
tanah tidak mempunyai penghambat utama bagi pertumbuhan tanaman, sampai kelas
VIII dimana tanah mempunyai penghambat-penghambat yang sangat berat sehingga
tidak memungkinkan penggunanya untuk produksi tanaman-tanaman komersial.

55
Pengelompokan tanah ke dalam satuan pengelolaan, sub-kelas dan kelas
kemampuan dilakukan terutama berdasarkan kemampuan lahan tersebut untuk
menghasilkan produksi tanaman umum dan tanaman-tanaman ternak (pasture plants)
tanpa kerusakan tanah di dalam periode waktu yang lama. Secara singkat, kemampuan
pertanian didefinisikan dalam kaitan antara sifat lahan dan persyaratan untuk
penggunaan tertentu dengan tujuan untuk memaksimumkan hasil tanaman secara
lestari.
Meskipun sistem ini telah dirancang untuk klasifikasi lahan detail di daerah
yang telah berkembang namun sistem ini mempunyai beberapa keuntungan sehingga
dapat juga digunakan pada penilaian permulaan secara umum bagi sumberdaya lahan
di daerah-daerah yang belum berkembang, dengan alasan-alasan sebagai berikut
(Sitorus, 1983) :
Pertama, karena sistem ini didasarkan atas evaluasi dari keadaan dan tingkat
penghambat sifat-sifat fisik, maka sistem ini berguna untuk penilaian obyektif,
penilaian perbandingan dan menghindarkan bias pengaruh subyektif bagi wilayah
yang sedang diklasifikasikan.
Kedua, sistem ini hampir keseluruhan didasarkan atas sifat-sifat fisik lahan, dan
faktor ekonomis tidak dipertimbangkan kecuali dalam asumsi untuk tindakan
pengelolaan tertentu yang digunakan.
Ketiga, sistem tersebut menunjukkan macam penggunaan lahan yang sesuai
untuk lahan dengan faktor-faktor penghambat tertentu, sekaligus dengan tindakan
pengelolaan yang dibutuhkan untuk dapat mengatasi faktor penghambat tersebut.
Oleh karena berbagai keuntungan tersebut, sistem ini telah banyak digunakan
baik di negara-negara maju maupun di negara-negara sedang berkembang, baik secara
utuh maupun dengan berbagai modifikasi untuk menyesuaikan terhadap keadaan
setempat dan tersedianya data, seperti telah dikemukakan oleh McRae dan Burnham
(1981). Untuk keperluan survai tinjau, sistem ini telah digunakan dengan memuaskan
dalam klasifikasi kemampuan lahan seperti yang telah ditunjukkan antara lain oleh
Haantjens (1963) dalam survai di Papua Nugine.

6.3. Struktur klasifikasi kemampuan lahan


Seperti telah dikemukakan, sistem klasifikasi kemampuan lahan ini membagi
lahan ke dalam sejumlah kategori-kategori menurut faktor penghambat terhadap

56
pertumbuhan tanaman. Ada tiga kategori yang digunakan yaitu Kelas, sub-kelas, dan
satuan pengelolaan (capability unit) seperti terlihat pada tabel 6.1.
Tabel 6.1
Struktur Klasifikasi Kemampuan Lahan

Kelas Sub-kelas Satuan Satuan Peta


Kemampuan Kemampuan Pengelolaan Tanah

I IIc Iklim
II IIe Erosi IIe 1 Seri X
III Dapat digarap IIw Kelembaban IIe 2 Seri Y
IV IIs Tanah IIe 3 Seri Z
IIes dst
dll
V
VI
Tidak dapat digarap
VII
VIII
Sumber : Dent dan Young (1981)
Kelas merupakan tingkat yang tertinggi dan bersifat luas dalam struktur
klasifikasi. Penggolongan ke dalam kelas didasarkan atas intensitas faktor-faktor
penghambat yang permanen atau sulit diubah. Dikenal 8 kelas yang diberi nomor I
sampai dengan VIII. Hubungan secara skematik antara kelas kemampuan lahan
dengan intensitas dan macam penggunaan lahan disajikan pada gambar 6.1.
Sub-kelas menunjukkan jenis faktor penghambat yang terdapat di dalam kelas;
sedangkan tingkat yang terendah dari struktur klasifikasi adalah satuan pengelolaan
yaitu merupakan pengelompokan tanah yang mempunyai respon yang sama terhadap
sistem pengelolaan tertentu. Satuan pengelolaan ini dapat meliputi berbagai tanah
yang berbeda tetapi mempunyai sedikit variasi dalam tingkat dan jenis faktor
penghambat terhadap penggunaan lahan dan cocok untuk tanaman yang sama dan
pola pengelolaannya. Kisaran hasil tanaman di dalam satuan pengelolaan ini
seharusnya tidak akan lebih besar dari 25 persen.

57
INTENSITAS DAN MACAM PENGGUNAAN MENINGKAT

PENGGEMBALAAN PERTANAMAN

CAGAR ALAM
KELAS

HUTAN
KEMAMPUAN

TERBATAS

TERBATAS
INTENSIP

INTENSIP

INTENSIP
SEDANG
SEDANG

SANGAT
LAHAN

I
HAMBATAN /BAHAYA MENINGKAT.

PENGGUNAAN BERKURANG

II
KESESUAIAN DAN PILIHAN

III

IV

V
Bagian yang diarsir
VI menunjukkan
penggunaan yang
VII sesuai dari kelas yang
bersangkutan
VIII

Gambar 6.1
Skema Hubungan antara Kelas Kemampuan Lahan dengan Intensitas
dan Macam Penggunaan Lahan (Diadaptasikan dari Hockensmith dan
Steele, 1949 oleh Brady, 1974

Pada tingkat sub-kelas dikenal 4 macam faktor penghambat yaitu : bahaya erosi
(e), kelembaban atau wetness (w), penghambat tanah di dalam daerah perakaran (s)
dan iklim (c). Sub-kelas ditandai dengan pertambahan huruf kecil yang ditempatkan
setelah nomor kelas seperti IIe, IVw dan sebagainya. Kelas I tidak mempunyai sub-
kelas.

6.4. Asumsi dan uraian kelas-kelas kemampuan


Sistem klasifikasi kemampuan lahan USDA ini menggunakan sejumlah asumsi-
asumsi sebagai berikut (disarikan dari Klingebiel dan Montgomery, 1961):
1. Klasifikasi kemampuan lahan merupakan klasifikasi yang bersifat interpretatif
didasarkan atas sifat-sifat permanen lahan. Vegetasi yang ada (seperti pohon,
belukar dan sebagainya) tidak dipertimbangkan sebagai sifat-sifat yang permanen.

58
2. Lahan di dalam satu kelas serupa dalam tingkat kegawatan faktor penghambatnya,
tetapi tidak harus sama dalam jenis faktor penghambat atau tindakan pengelolaan
yang dibutuhkan.
3. Klasifikasi kemampuan lahan bukanlah gambaran produktivitas untuk jenis
tanaman tertentu, meskipun perbandingan masukan terhadap hasil dapat
membantu dalam menentukan kelas.
4. Diasumsikan tingkat pengelolaan yang cukup tinggi.
5. Sistem itu sendiri tidak menunjukkan penggunaan yang paling menguntungkan
yang dapat dilakukan pada sebidang lahan.
6. Apabila faktor penghambat dapat dihilangkan atau perbaikan sedang dilakukan
(seperti drainase, irigasi, penyingkiran batu-batu), maka lahan dinilai menurut
faktor penghambat yang masih ada (yang tertinggal) setelah tindakan perbaikan
tersebut dilakukan. Biaya untuk perbaikan seperti tersebut di atas tidak
mempengaruhi terhadap penilaian.
7. Penilaian kemampuan lahan dari suatu daerah dapat berubah dengan adanya
proyek reklamasi yang mengubah secara permanen keadaan alam dan atau
cakupan faktor penghambat (misalnya pembuatan drainase, irigasi dan
sebagainya).
8. Pengelompokan kemampuan akan dapat berubah apabila informasi baru tentang
tingkah laku dan respons tanah menjadi tersedia.
9. Jarak ke pasar, macam dan kondisi jalan, lokasi di lapangan, dan keadaan/ sifat
pemilikan lahan tidak merupakan kriteria dalam mengelompokkan kemampuan
lahan.
Klingebiel dan Montgomery (1961) telah menguraikan secara lengkap macam
(tipe) lahan di dalam setiap kelas kemampuan lahan tersebut. Ringkasan dari kelas-
kelas tersebut diuraikan oleh Young (1973b, hal. 14-15). Perlu diperhatikan bahwa
kelas I sampai kelas IV merupakan kelas yang dapat ditanami sedangkan kelas
lainnya (V sampai VIII) tidak dapat ditanami. Keseluruhan uraian kelas dari
klasifikasi kemampuan lahan USDA tersebut (Hockensmith dan Steele, 1943; 1949;
Klingebiel dan Montgomery, 1961) adalah sebagai berikut :
Kelas I. Tanah pada kelas I mempunyai sedikit penghambat yang membatasi
penggunaannya; sesuai untuk segala macam penggunaan pertanian. Kelas ini dicirikan
oleh tanah datar, bahaya erosi sangat kecil, solum dalam, umumnya berdrainase baik,
mudah diolah, dapat menahan air dengan baik dan responsif terhadap pemupukan.

59
Tanah pada lahan kelas I tidak mempunyai penghambat ataupun ancaman
kerusakan yang berarti dan cocok untuk usaha tani yang intensif. Iklim setempat harus
sesuai bagi pertumbuhan banyak tanaman pertanian. Tindakan pemupukan dan usaha-
usaha pemeliharaan struktur tanah diperlukan agar dapat mempertahankan kesuburan
dan produktifitasnya.
Kelas II. Tanah pada lahan kelas II mempunyai sedikit penghambat yang dapat
mengurangi pilihan penggunaannya atau membutuhkan tindakan pengawetan yang
sedang. Tanah di lahan kelas II ini membutuhkan pengelolaan tanah secara hati-hati
meliputi tindakan pengawetan, menghindari kerusakan dan memperbaiki hubungan
air-udara dalam tanah bila tanah ditanami. Penghambat dalam kelas ini dapat
merupakan satu atau kombinasi dari faktor-faktor berikut : berlereng landai,
mempunyai kepekaan sedang terhadap erosi, struktur tanah yang sedikit kurang baik.
Di dalam penggunaannya diperlukan tindakan-tindakan pengawetan yang ringan
seperti pengolahan tanah menurut kontur, penanaman dalam jalur (strip cropping)
pergiliran tanaman dengan tanaman penutup tanah atau pupuk hijau, guludan,
pemupukan dan pengapuran. Kombinasi tindakan-tindakan yang diperlukan bervariasi
dari satu tempat ke tempat lain, tergantung dari sifat-sifat tanah, iklim dan sistem
usaha tani yang dilakukan.
Kelas III. Tanah pada lahan kelas III mempunyai lebih banyak penghambat dari
tanah di lahan kelas II, dan bila digunakan untuk tanaman pertanian memerlukan
tindakan pengawetan khusus, yang umumnya lebih sulit baik dalam pelaksanaan
maupun pemeliharaannya.
Penghambat pada lahan kelas III dapat merupakan satu atau lebih faktor-faktor
berikut : lereng agak miring, atau sangat peka terhadap bahaya erosi; berdrainase
buruk; permeabilitas tanah (sub-soil) sangat lambat; solum dangkal yang membatasi
daerah perakaran; kapasitas menahan air rendah; kesuburan yang rendah dan tidak
mudah diperbaiki.
Apabila lahan ini diusahakan membutuhkan tindakan pengawetan khusus seperti
perbaikan drainase, sistem penanaman seperti penanaman dalam jalur atau pergiliran
dengan tanaman penutup tanah; pembuatan teras, disamping tindakan-tindakan untuk
memelihara atau meningkatkan kesuburan tanah seperti penambahan bahan organik,
pupuk dan sebagainya.
Kelas IV. Tanah pada lahan kelas IV mempunyai penghambat yang lebih besar
dibandingkan dengan kelas III sehingga pemilihan jenis penggunaan atau jenis

60
tanaman juga lebih terbatas. Tanah pada lahan kelas IV dapat digunakan untuk
berbagai jenis penggunaan pertanian dengan ancaman dan bahaya kerusakan yang
lebih besar dari tanah di kelas III.
Tanah pada lahan kelas IV mempunyai salah satu atau lebih faktor penghambat
berikut : lereng curam, sangat peka terhadap bahaya erosi, solum dangkal, kapasitas
menahan air rendah dan drainase buruk.
Apabila diusahakan, dibutuhkan tindakan pengelolaan khusus, yang relatif lebih
sulit, baik dalam pelaksanaan maupun pemeliharaannya, dibandingkan dengan kelas-
kelas sebelumnya. Jika dipergunakan untuk tanaman semusim diperlukan pembuatan
teras atau saluran drainase atau pergiliran dengan tanaman penutup tanah/makanan
ternak/pupuk hijau selama beberapa tahun misalnya 3 sampai 5 tahun.
Kelas V. Tanah pada lahan kelas V tidak sesuai untuk ditanami dengan tanaman
semusim, tetapi lebih sesuai untuk ditanami dengan vegetasi permanen seperti
tanaman makanan ternak atau dihutankan.
Tanah pada lahan kelas V terletak pada tempat yang hampir datar, basah atau
tergenang air atau terlalu banyak batu di atas permukaan tanah. Sebagai contoh tanah
lahan kelas V adalah : (a) tanah di daerah cekungan yang sering tergenang air
sehingga menghambat pertumbuhan tanaman; (b) tanah berbatu; dan (c) tanah di
daerah berawa-rawa yang sulit untuk didrainasekan.
Kelas VI. Tanah pada kelas VI tidak sesuai untuk digarap bagi usaha tani
tanaman semusim, tetapi sesuai untuk vegetasi permanen yang dapat digunakan
sebagai tanaman makanan ternak/ padang rumput atau dihutankan, dengan
penghambat yang sedang.
Tanah ini mempunyai lereng yang curam, sehingga mudah tererosi atau telah
mengalami erosi yang sangat berat atau mempunyai solum tanah yang sangat dangkal.
Jika digunakan untuk tanaman semusim diperlukan tindakan pengawetan khusus
seperti pembuatan teras tangga/ teras bangku, pengolahan menurut kontur, dan
sebagainya. Penggunaan untuk padang rumput harus diusahakan sedemikian rupa
sehingga rumputnya selalu menutupi tanah dengan baik.
Kelas VII. Tanah pada lahan kelas VII tidak sesuai untuk digarap bagi usaha
tani tanaman semusim, dan sebaiknya digunakan untuk penanaman dengan vegetasi
permanen seperti padang rumput atau hutan yang disertai dengan tindakan
pengelolaan yang tepat dan lebih intensip dari yang diperlukan pada lahan kelas VI.

61
Tanah pada lahan kelas VII terletak pada lereng yang sangat curam atau
mengalami erosi berat, atau tanah sangat dangkal, atau berbatu.
Kelas VIII. Tanah pada lahan kelas VIII tidak sesuai untuk tanaman semusim
dan usaha produksi pertanian lainnya dan harus dibiarkan pada keadaan alami di
bawah vegetasi alami. Tanah pada lahan kelas VIII dapat digunakan untuk cagar
alam, hutan lindung atau rekreasi.
Tanah pada lahan kelas VIII merupakan tanah yang berlereng sangat curam atau
permukaan tanah sangat berbatu yang dapat berupa batuan lepas (stone) atau batuan
singkapan (rock outcrops) atau tanah pasir (di pantai)

6.5. Prosedur, keuntungan dan kerugian klasifikasi kemampuan lahan


Peta kemampuan lahan dapat dihasilkan dengan cara menggunakan hasil survai
detail yang tersedia sebagai dasar, kemudian dilanjutkan dengan mengumpulkan
keterangan-keterangan tambahan yang diperlukan atau langsung melakukan survai
lapangan pada satuan-satuan peta kemampuan tanpa menghiraukan titik-titik yang
lebih detail pemetaan tanah. Prosedur yang pertama umumnya dilakukan pada daerah-
daerah yang sudah dihuni, yaitu pada negara-negara maju, sedangkan yang kedua
pada negara-negara yang sedang berkembang (Dent dan Young, 1981).
Untuk membantu dalam mengelompokkan kemampuan, diperlukan seperangkat
kriteria yang dapat menempatkan tanah ke dalam pengelompokan baik sebagai satuan
pengelolaan, sub-kelas atau kelas. Lahan kemudian ditempatkan ke dalam kelas
kemampuan yang sesuai berdasarkan tabel konversi yang telah disediakan. Tabel ini
menunjukkan masing-masing jenis faktor penghambat, batas kondisi terburuk yang
masih dapat diijinkan di dalam masing-masing kelas. Jadi setelah tabel tersebut
selesai disusun , pekerjaan berikutnya hanyalah merupakan pekerjaan biasa (rutin).
Satuan-satuan lahan ditempatkan ke dalam kelas terendah dimana salah satu atau lebih
faktor penghambat berada pada kelas tersebut. Sebagai contoh apabila hanya satu
faktor penghambat, misalnya erosi (e), yang menyebabkan lahan masuk ke dalam
kelas tertentu, maka lahan tersebut akan dimasukkan ke dalam sub-kelas yang
berhubungan, misalnya IIIe. Apabila ada dua atau lebih faktor penghambat yang
menyebabkan penurunan ke dalam kelas yang sama, maka kedua faktor tersebut
ditunjukkan ke dalam sub-kelas, misalnya IIIes.
Alternatif prosedur lainnya yaitu langsung mengadakan survai lapangan asalkan
tujuan survai hanya untuk mengetahui kemampuan lahan pada tingkat sub-kelas (Dent

62
dan Young, 1981). Seperti halnya dalam prosedur terdahulu, tahap pertama yang perlu
dilakukan adalah penyusunan tabel konversi. Dengan bantuan interpretasi potret
udara, penarikan batas-batas antara satuan-satuan lahan terutama yang berhubungan
dengan lereng dan drainase dapat dilakukan. Pengamatan di lapangan digunakan
untuk menarik batas-batas penghambat kritis, misalnya kedalaman tanah efektif,
tekstur, tanpa perlu mengidentifikasi seri-seri tanah. Dibandingkan dengan survai
tanah konvensional pada skala yang sama, prosedur ini dapat menghemat waktu.
Akan tetapi, dengan prosedur ini kita tidak akan dapat memetakan sampai tingkat
satuan pengelolaan, karena untuk tingkat demikian membutuhkan informasi seri-seri
tanah dan keterangan tentang respon terhadap pengelolaannya.
Berbagai keuntungan maupun kerugian sistem klasifikasi kemampuan lahan
dapat diuraikan sebagai berikut.
Keuntungan-keuntungan
1. Pembagian ke dalam jumlah kategori yang relatif sedikit/kecil memudahkan untuk
dimengerti.
2. Dapat dengan mudah digunakan dan dengan penyusunan sedikit petunjuk, dapat
digunakan oleh staf yang belum banyak berpengalaman.
3. Hirarki kelas, sub-kelas dan satuan pengelolaan memungkinkan sistem klasifikasi
digunakan untuk berbagai tingkat tergantung dari keperluannya atau ketersediaan
informasi.
4. Hasil klasifikasi dapat dengan jelas dan mudah disajikan dalam bentuk peta-peta,
meskipun batas-batas di antara kategori-kategori terutama antara kelas sering
merupakan batas transisi.

Kerugian-kerugian
1. Pengelompokan yang dilakukan sangat subyektif. Bila tidak ditentukan nilai
pembatas untuk berbagai kriteria maka pengalokasian lahan pada kelas tertentu
hanyalah merupakan opini dari si pengevaluasi, yang mungkin kurang
berpengalaman untuk membuat penilaian yang benar.
2. Interaksi antara faktor penghambat sulit dapat diperhitungkan, terutama bila
seperangkat kriteria telah dikembangkan. Dalam kaitan ini, Young (1973b)
mengemukakan bahwa pengaruh dari faktor lingkungan tertentu bervariasi
menurut interaksinya dengan faktor-faktor lainnya.

63
3. Pembagian ke dalam sedikit kategori hasilnya sangat kasar, terutama bila ingin
membandingkan baik buruknya dari dua bidang lahan.
4. Tidak ada petunjuk tentang kesesuaian sebidang lahan untuk tanaman tertentu.
5. Bersifat negatif; klasifikasi ini menekankan pada penghambat dan bukan pada
aspek-aspek potensi positif lahan.

6.6. Tinjauan dari berbagai sistem klasifikasi kemampuan lahan


Untuk dapat melihat dan membandingkan berbagai sistem klasifikasi
kemampuan lahan yang digunakan berbagai negara, Sitorus (1983) telah mencoba
membahas dan membandingkan tiga belas sistem klasifikasi dan dikemukakan dalam
bentuk perbandingan seperti tertera pada Tabel 6.2.
Dari tabel 6.2 tersebut terlihat bahwa tujuan dari berbagai sistem tersebut pada
umumnya sama, yaitu mengembangkan metodologi dimana lahan dapat dievaluasi
untuk keperluan penggunaan lahan tertentu. Akan tetapi perlu dikemukakan bahwa
dalam deskripsi kelas-kelas kemampuannya, hampir semua sistem klasifikasi ini juga
memasukkan kemampuan sumberdaya untuk mempertahankan produktivitas pada
penggunaan lahan tersebut.
Hampir semua sistem yang dibahas, dirancang terutama untuk mengevaluasi
kemampuan lahan untuk pertanian, baik dalam pengertian sempit (khusus) atau dalam
pengertian luas (meliputi kehutanan, padang rumput dan lain-lain sebagainya).
Pengecualian utama adalah sistem yang dikemukakan oleh Hills (1961) yang
mengevaluasi kemampuan lahan untuk berbagai penggunaan lahan, termasuk
kehutanan, cagar alam, tempat rekreasi dan sumberdaya ikan air tawar.
Masukan data untuk sistem klasifikasi kemampuan sangat dipengaruhi oleh
sumber-sumber data yang tersedia seperti peta tanah dan data lain yang
dipublikasikan. Hal ini berlaku terutama untuk survai-survai dalam skala besar yang
lebih komprehensif yang pada dasarnya digunakan sebagai alat untuk membantu
menyusun perencanaan. Hampir semua metode yang dibahas mengkombinasikan
survai lapangan dengan penggunaan data dari berbagai sumber, seperti laporan-
laporan dan peta-peta survai tanah dan data penelitian yang diterbitkan. Beberapa
metode (terutama Haantjens, 1963), menggunakan interpretasi foto udara yang
dilengkapi dengan survai lapangan sebagai cara yang cepat untuk mengumpulkan data
bagi berbagai keperluan survai lapangan sebagai cara yang cepat untuk
mengumpulkan data bagi berbagai keperluan survai dengan skala besar.

64
Tabel 6.2
Ringkasan Perbandingan dari Beberapa Metodologi Kemampuan Lahan untuk Keperluan Pertanian
Kategori atau
satuan lahan
Sumber-sumber Metode Evaluasi
Pengarang Daerah studi Tujuan studi (dalam urutan Asumsi Skala Peta
data Data
generalisasi yang
menurun)
1 2 3 4 5 6 7 8
Klingebiel dan Amerika Serikat/ Mengelompokkan Peta-peta survai Interpretasi 8 kelas 14 asumsi, Kecil sampai besar
Montgomery Papua Nugine/ : (1) tanah yang tanah deskriptif kemampuan (I termasuk tingkat
(1961)/Haantjens Jepang dapat digarap berdasarkan sampai VIII); sub- pengelolaan yang
(1963)/ Oyama menurut potensi hubungan- kelas kemampuan; agak tinggi; tidak
(1965) dan hubungan antara satuan pengelolaan menghiraukan
menghambatnya faktor-faktor lokasi dan pola
untuk produksi lahan dan pemilikan lahan
tanaman umum pertumbuhan dan
yang lestari; (2) pengelolaan
tanah yang tidak tanaman yang
dapat digarap diketahui atau
untuk produksi disimpulkan
vegetasi permanen (inferred)
Hills (1961) Kanada Menilai potensi Peta-peta satuan Sistem nilai 7 kelas (A sampai - Kecil sampai besar
satuan lahan untuk fisiografi/landscape digunakan untuk G) ditentukan 1:253.433, satuan
keperluan faktor-faktor lahan dengan penilaian. bentangan lahan
pertanian, berdasarkan Kelas A : (landscape)
kehutanan dan hubungan- berpotensi
lain-lain hubungan dengan tertinggi; kelas G;
produktivitas berpotensi
tanaman yang terendah
diketahui atau
disimpulkan
Canada Land Kanada Mengelompokkan Peta-peta tanah Interpretasi 7 kelas 7 asumsi, termasuk 1 : 63.360
Inventory (1965) tanah-tanah deskriptif kemampuan (1 tindakan
mineral menurut berdasarkan sampai 7); sub- pengelolaan tanah
potensi dan hubungan- kelas kemampuan yang baik; tidak

65
Kategori atau
satuan lahan
Sumber-sumber Metode Evaluasi
Pengarang Daerah studi Tujuan studi (dalam urutan Asumsi Skala Peta
data Data
generalisasi yang
menurun)
1 2 3 4 5 6 7 8
penghambatnya hubungan antara menghiraukan
untuk penggunaan faktor-faktor lokasi, jaringan
pertanian lahan dan jalan (acces), dan
produksi pola pemilikan
tanaman yang lahan
diketahui
Bibby dan Inggris Menyajikan hasil Peta-peta tanah Interpretasi 7 kelas 10 asumsi, Kecil sampai besar
Mackney (1969) survai tanah dalam deskriptif kemampuan (1 termasuk tingkat 1 : 25.000 dan
bentuk yang lebih berdasarkan sampai 7); sub- pengelolaan yang lebih besar untuk
mudah untuk hubungan antara kelas kemampuan; agak tinggi; tidak satuan kemampuan
digunakan pertumbuhan dan satuan pengelolaan menghiraukan
penyuluh pengelolaan lokasi dan jaringan
pertanian, petani, tanaman dan jalan
perencana dan faktor-faktor fisik
pemakai lahan tanah, lokasi dan
lainnya iklim
Vink (1960) Belanda Mengevaluasi Peta-peta tanah, Interpretasi Kesesuaian - -
kesesuaian tipe data-data lapangan kuantitatif ditentukan oleh
tanah secara dan percobaan berdasarkan nilai nilai yang
kuantitatif kesesuaian ( rate diperoleh dengan
of suitability) yang menggunakan
dihitung dari persamaan
persamaan
Bennema, Beek Brasil Mengelompokkan Peta tanah Interpretasi 4 kelas (I sampai - Tinjau
dan Camargo tanah menurut deskriptif IV) Kelas I : baik;
(1964) tingkat faktor berdasarkan Kelas IV : tidak
penghambat dan hubungan antara dapat digunakan
tingkat kelayakan faktor-faktor lahan
untuk perbaikan dan pertumbuhan

66
Kategori atau
satuan lahan
Sumber-sumber Metode Evaluasi
Pengarang Daerah studi Tujuan studi (dalam urutan Asumsi Skala Peta
data Data
generalisasi yang
menurun)
1 2 3 4 5 6 7 8
sistem pengelolaan dan pengelolaan
tanaman yang
diketahui
Riquier, Bramao - Mengembangkan Laporan-laporan Kuantifikasi dari Indeks - -
dan Cornet (1970) pendekatan dan peta-peta faktor-faktor untuk produktivitas dan
kuantitatif untuk survai tanah dan menentukan indeka
penilaian tanah data penelitian produktivitas potensialitas
dan menggunakan yang dalam bentuk diperoleh dengan
konsep dipublikasikan persamaan menggunakan
produktivitas persamaan
untuk
membandingkan
tanah-tanah
Beek dan - Mengelompokkan Data lapangan dan Sistem nilai 4 kelas (I sampai - 1 : 100.000
Bennema ( 1972) tanah menurut data penelitian digunakan pada IV) Kelas I : 1 : 50.000
tingkat kesesuaian yang kualitas lahan dan Kesesuaian tinggi; 1 : 25.000
di dalam kerangka dipublikasikan kapasitas Kelas Iv : 1 : 10.000
tipe penggunaan perbaikan lahan Kesesuaian rendah
lahan khusus untuk
produksi tanaman
Sys dan Frankart Tropka Basah; Mengelompokkan Peta-peta survai Sistem indeks 6 kelas (I sampai - -
(1971) Kongo tanah menurut tanah dan data digunakan pada VI) ditentukan
kesesuaiannya penelitian yang faktor-faktor oleh nilai-nilai
untuk berbagai dipublikasikan tanah; indeks indeks
tanaman kemampuan kemampuan; Kelas
dihitung dengan I : baik sekali;
menggunakan Kelas VI : sangat
persamaan buruk
Sys dan Verheye Daerah Arid dan Mengevaluasi Lapaoran dan peta idem 5 kelas (1 sampai - -

67
Kategori atau
satuan lahan
Sumber-sumber Metode Evaluasi
Pengarang Daerah studi Tujuan studi (dalam urutan Asumsi Skala Peta
data Data
generalisasi yang
menurun)
1 2 3 4 5 6 7 8
(1972) semi-arid; Irak kemampuan lahan survai tanah 5) ditentukan oleh
untuk keperluan- nilai indeks
keperluan produksi kemampuan; Kelas
tanaman, irigasi I : sangat sesuai;
dan perbaikan kelas 5 : tidak
lahan sesuai
Soepraptohardjo Indonesia Mengelompokkan Peta survai tanah, Sistem nilai 8 kelas - Kecil sampai besar
(1970) tanah menurut data fakta-fakta digunakan untuk kemampuan
tingkat lapangan dan hasil faktor-faktor; kelas wilayah (I sampai
kemampuannya analisis tanah di kemampuan VIII)
untuk usaha laboratorium ditetapkan atas
pertanian dasar hasil
penjumlahan nilai
faktor merugikan
(faktor lingkungan
sebagai faktor
penghambat dan
bahaya) yang
dinilai dengan
angka negatif
terhadap faktor
menguntungkan
(sifat-sifat tanah)
yang dinilai
dengan angka
positif

Sumber : Diadaptasikan dari Sitorus (1983)

68
Tiga metode evaluasi data dapat diidentifikasikan dari sistem-sistem yang
diringkaskan dalam Tabel 6.2. Pertama, metode deskriptif di mana kelas-kelas
kemampuan atau kategori lainnya diuraikan semata-mata dalam kalimat-kalimat.
Kedua, sistem nilai (rating, grading atau indexing) di mana masing-masing sifat
diberikan nilai dan kelas kemampuan atau kategori lainnya ditetapkan menurut jumlah
nilai (score) yang diperoleh. Ketiga, metode kuantitatif di mana hubungan antara
sifat-sifat (variable) ditetapkan menurut suatu persamaan yang digunakan untuk
memperoleh nilai atau indeks yang menentukan kelas kemampuannya atau kategori
lainnya.
Sistem-sistem tersebut juga bervariasi baik dalam sistem hirarki maupun dalam
jumlah kategori yang digunakan. Jumlah dari kategori-kategori tertinggi (yaitu ordo
atau kelas) dalam sistem-sistem yang dibahas tersebut berkisar dari 3 sampai 8. Lima
dari metode tersebut secara jelas mengemukakan asumsi-asumsi yang digunakan,
sedangkan dalam sistem lainnya, asumsi yang digunakan tidak dikemukakan dengan
tegas. Sistem-sistem tersebut juga bervariasi dalam skala yang digunakan, sebagian
bahkan tidak mengemukakan skala yang digunakan. Studi-studi komprehensif
dengan skala yang lebih luas cenderung untuk menentukan satuan lahan atas dasar
kriteria umum fisiografik. Sistem-sistem yang mempunyai tujuan lebih terbatas dan
skala lebih besar menentukan satuan lahan secara lebih mendetail dan lebih teliti.
Berdasarkan tinjauan pada Tabel 6.2, dapat disimpulkan bahwa sistem-sistem
klasifikasi yang dibahas secara garis besar sama dalam tujuannya, tetapi metodologi
yang digunakan cukup luas untuk mencapai tujuan ini, dikombinasikan dengan
asumsi-asumsi yang digunakan, yang keseluruhannya mungkin berbeda. Demikian
juga berbagai sistem itu menggunakan bermacam-macam skala yang berbeda tingkat
penggunaannya secara umum. Semua sistem mempunyai beberapa nilai praktis, tetapi
tidak satupun diantaranya dapat memberikan penilaian yang cukup tentang potensi
sumberdaya lahan untuk seluruh keperluan penggunaan.
Meskipun perbedaan-perbedaan penting ditemukan diantara metodologi-
metodologi tersebut, baik dalam keperluannya maupun prosedur detailnya,
kesemuanya mempunyai persamaan dalam pendekatan umum yang digunakan dan
aktivitas yang dilibatkan. Sebagai contoh, seluruh sistem yang dibahas
mengikutsertakan dalam aktivitasnya survai lapangan yang lama dan analisis tanah di
laboratorium untuk mengumpulkan informasi, dan menetapkan kelas-kelas
kemampuan lahan atas dasar hasil-hasil klasifikasi. Kelas-kelas kemampuan ini

69
umumnya dinyatakan dalam bentuk peta-peta, disertai dengan uraian tentang
karakteristik masing-masing kelas, serta macam pengelolaan yang dibutuhkan.

6.7. Modifikasi Dalam Penggunaan Di Luar Amerika Serikat


Sistem klasifikasi kemampuan lahan ini telah digunakan secara meluas di
seluruh dunia, baik secara utuh maupun dengan melalui berbagai modifikasi.
Modifikasi-modifikasi dalam penggunaan sistem tersebut dilakukan sesuai dengan
keperluan dan kondisi setempat yang pada dasarnya dapat dikelompokkan ke dalam
lima kelompok sebagai berikut :
1. Perubahan dalam jumlah kelas yang digunakan.
2. Berbeda dalam faktor-faktor penghambat.
3. Mengkuantifikasikan faktor-faktor penghambat.
4. Modifikasi sebagai konsekuensi dari tidak digunakannya beberapa asumsi dasar
yang dikemukakan.
5. Pembagian kelas selain atas dasar faktor penghambat utama.
Berbagai contoh dari kelima kelompok modifikasi tersebut dapat dilihat dalam
uraian berikut ini :
Perubahan dalam jumlah kelas yang digunakan. Di dalam sistem klasifikasi
kemampuan lahan yang dimodifikasi, kadang-kadang kelas V dihilangkan dan hanya
menggunakan kelas I IV dan VI VIII atau umumnya memberikan nomor urut
kembali yaitu I VII seperti Klasifikasi Kemampuan Tanah untuk Pertanian di
Kanada (Canada Land Inventory, 1965b) dan Klasifikasi Kemampuan Penggunaan
Lahan (Land Use Capability Classification) yang digunakan dalam survai tanah di
Inggris (Bibby dan Mackney, 1969). Di Jamaika, lahan dikelaskan ke dalam dua
kategori penggunaan lahan yaitu sesuai untuk ditanami (kelas I, II, III) dan tidak
sesuai untuk ditanami (kelas V, VI, VII). Kelas IV merupakan lahan marginal atau
hanya untuk penanaman yang terbatas (Sheng, 1975). Penyederhanaan dari deskripsi
kelas yang digunakan di Jamaika dikelompokkan menurut faktor penghambat dan
kesesuaian penggunaannya, seperti tertera pada Tabel 6.3.
Sebagian modifikasi mengelompokkan kelas-kelas yang tidak sesuai untuk
tanaman semusim (non-cultivable classes) yaitu kelas V VIII ke dalam satu kelas
menjadi kelas V yaitu merupakan lahan yang mempunyai nilai pertanian yang sangat
rendah dengan faktor-faktor penghambat yang sangat berat karena keadaan tanah,

70
relief atau iklim atau kombinasi dari faktor-faktor tersebut yang kurang baik
(MAFF,1966; 1968).
Tabel 6.3
Ringkasan Deskripsi Kelas-kelas kemampuan Lahan di Jamaika

Kelas Kemampuan Penghambat atau bahaya Kesesuaian penggunaan

I Tidak ada Pertanaman

II Penghambat sedang karena erosi, Idem


kelembaban atau tanah

III Penghambat berat karena erosi, Idem


kelembaban, tanah, atau iklim

IV Bahaya erosi sangat besar atau Marginal untuk pertanaman tetapi


penghambat tanah sangat berat dapat untuk pohon-pohonan atau
padang rumput

V Bahaya erosi sangat besar atau faktor- Pohon-pohonan atau hutan


faktor tanah yang kurang baik/
merugikan

VI Faktor-faktor yang merugikan karena Sebaiknya tanaman vegetasi alami


erosi, tanah atau iklim yang ada dibiarkan dan jangan
ditebangi

VII Batuan, batuan singkapan, hanyutan Cagar alam


sungai (riverwash)
Sumber : Sheng (1975)
Berbeda dalam faktor-faktor penghambat. Ada dua kecenderungan yang dikenal
dalam pengembangan batasan sub-kelas atas dasar faktor penghambat utama.
Pertama, adanya faktor penghambat yang dianggap tidak sesuai untuk daerah
tertentu. Di daerah-daerah dengan iklim tropis dan mediteran misalnya, faktor
penghambat iklim kadang-kadang dianggap tidak penting sehingga sub-kelas iklim (c)
tidak digunakan. Berbagai contoh modifikasi seperti ini dapat terlihat misalnya di
India (Murthy, Jain dan Naga, 1968), di Ghana (Obeng, 1968), di Nigeria (Carroll,
1974), di Filipina (Barrera, 1961), di Portugal (Azevedo dan Cardoso, 1962) dan di
Indonesia (lihat misalnya Soepraptohardjo, 1970 dan Team Institut Pertanian Bogor
1976). Kedua, adanya kecenderungan di mana lebih sedikit faktor yang digunakan
untuk menentukan sub-kelas, misalnya di Rhodesia hanya menggunakan satu faktor
yaitu kelembaban (wetness, w) sehingga dikenal sub-kelas IIIw atau IVw tergantung
dari tingkat kelembaban tersebut (Thomas dan Vincent, 1962); atau di mana jumlah
sub-kelas bertambah banyak. Sebagai contoh: sub-kelas topografi (t) digunakan di

71
Kanada (Canada Land Inventory, 1977), dan di Siwarak (Andriesse, 1966); Sub-kelas
kemiringan (gradient, g), dan penghambat pola tanah dalam klasifikasi kemampuan
penggunaan lahan di Inggris (Bibby dan Mackney, 1969); Sub-kelas relief (r) di
Pakistan (Islam, 1966; Brammer dan Brinkman, 1967), dan Sub-kelas lereng (slope, s)
di Jepang (Oyama, 1965).
Jumlah faktor penghambat sub-kelas dapat menjadi sangat besar. Sebagai
contoh, 14 faktor digunakan di Alberta (Canada Land Inventory, 1977) atau di Jepang
(Oyama, 1965).
Jumlah faktor penghambat kadang-kadang tidak berubah, tetapi jenisnya
berbeda. Dalam survai daerah calon pemukiman transmigrasi di Propinsi jambi, Team
Institut Pertanian Bogor (1976) tetap menggunakan empat faktor penghambat
dalam sistem klasifikasi kemampuan yang digunakan akan tetapi berbeda jenisnya,
yaitu : (1) tanah, (2) topografi, (3) drainase, dan (4) reaksi tanah atau pH.
Tabel 6.4 dan 6.5 berturut-turut memberikan contoh kriteria penilaian faktor
penghambat dan kriteria klasifikasi kemampuan lahan yang digunakan Team Institut
Pertanian Bogor (1976) tersebut untuk tanaman pertanian tidak termasuk padi sawah
tadah hujan.
Tabel 6.4
Kriteria Penilaian faktor Penghambat Kelas Kemampuan Lahan di Daerah Rimbo
Bujang Teluk Kuali, Propinsi Jambi

I. TANAH
a. Ukuran Butir
Lapisan Atas Lapisan Bawah
S0 = berlempung kasar berlempung halus Berlempung halus berliat halus
S1 = berlempung halus berliat halus Berlempung kasar berliat halus
S2 = berlempung kasar berliat sangat halus Berlempung kasar berliat sangat halus
S3 = berpasir berliat sangat halus Berlempung kasar berliat sangat halus

b. Kedalaman Efektif
Sampai pasir, kerikil, batuan atau plintit
K0 = sangat dalam (lebih dari 90 cm)
K1 = dalam (60 90 cm)
K2 = sedang (30 60 cm)
K3 = dangkal (kurang dari 30 cm)
Sampai lapisan kedap air 1 /
Untuk tanaman pertanian umum
K0 = sangat dalam (lebih dari 150 cm)

72
K1 = dalam (120 150 cm)
K2 = sedang (100 120 cm)
K3 = dangkal (kurang dari 100 cm)

c. Tebal Bahan Organik


O0 = sedang tipis (< 130 cm)
O1 = tebal (130 180 cm)
O2 = sangat tebal (> 180 cm)

d. Tingkat Dekomposisi Bahan Organik


m0 = matang ( saprik )
saprik hemik
m1 = agak matang ( Hemik )
saprik hemik
m2 =agak mentah ( Hemik )
fibrik
II. TOPOGRAFI
Lereng t0 = 0 2 %
Lereng t1 = 2 5 % (biasa atau bergelombang) 2/
Lereng t2 = 5 8 % (biasa atau bergelombang)
Lereng t3 = 8 15 %
Lereng t4 = 15 30 %
Lereng t5 = lebih dari 30 %
III. DRAINASE
Untuk tanaman umum
Klas drainase :
d0 = baik
d1 = agak baik
d2 = agak buruk
d3 = buruk
d4 = sangat buruk
IV. REAKSI TANAH (pH)
Tanah Mineral Tanah Mineral
r0 = sedang tinggi ( pH 5.2 8.2) r0 = sedang tinggi ( pH > 5.0)
r1 = agak rendah (pH 4.5 5.2) r1 = agak rendah (pH 4.0 5.0)
r2 = rendah (pH 4.0 4.5) r2 = rendah (pH 3.4 3.9)
r3 = sangat rendah atau sangat tinggi r3 = sangat rendah (pH < 3.4)
(pH < 4.0 atau > 8.2)

73
Tabel 6.5
Kriteria Klasifikasi Kemampuan Lahan untuk Tanaman Pertanian di Daerah Rimbo Bujang Teluk Kuali, Propinsi Jambi

Kelas Kemampuan Lahan


1 2 3 4 5 6 7 8
1. TANAH
a. Ukuran butir
-
lapisan atas 1/ Berlempung Berlempung Berlempung Berpasir sampai Berpasir sampai Berpasir sampai Berpasir sampai Tanah-tanah
kasar sampai halus sampai kasar sampai berliat sangat berliat sangat berliat sangat berliat sangat yang
berlempung berliat halus berliat halus halus halus halus halus mempunyai
halus faktor pembatas
yang sukar
- lapisan bawah Berlempung Berlempung Berlempung Berlempung Berlempung Berlempung Berlempung untuk diperbaiki
halus sampai halus sampai kasar sampai kasar sampai kasar sampai kasar sampai kasar sampai sehingga
berliat halus berliat halus berliat sangat berliat sangat berliat sangat berliat sangat berliat sangat menghalangi
halus halus halus halus halus pertumbuhan
tanaman
produksi

b. Keadaan sampai :
- pasir, kerikil, > 90 cm 90 - 60 cm 60 - 30 cm > 30 cm > 30 cm < 30 cm < 30 cm -
batu, plintit
- lapisan liat, kedap > 150 120 - 150 cm 100 - 120 cm >100 cm > 100 cm < 100 cm < 100 cm -
air */

c. Bahan Organik
- tebal bahan 40 - 130 cm2/ 40 - 130 cm2/ 130 - 180 cm2/ 130 - 180 cm2/ > 180 cm - - -
organik < 40 cm3/ < 40 cm3/

- tingkat
dekomposisi :
Lapisan atas Saprik 2+3/ hemik 2+3/ hemik 2+3/ hemik 2+3/ Fibrik sampai - - -
saprik

74
Kelas Kemampuan Lahan
1 2 3 4 5 6 7 8
2/ 2/
Lapisan bawah Saprik sampai Saprik sampai fibrik fibrik Fibrik sampai - - -
hemik 2/ hemik 2/ saprik

2. TOPOGRAFI
- Lereng 0 - 2% **/ 2 - 5% **/ 5 8% atau < 15% < 15% 15 30% . 30% -
8 15% bila
kedalaman
kerikil > 90 cm

3. DRAINASE -
- Penggenangan Tidak Tidak Tidak Tidak Ada Tidak Tidak

- Drainase Baik Baik Agak baik Agak buruk Sangat buruk Agak baik Agak baik
sampai buruk sampai baik
- Laju - - - - - - - -
Permeabilitas
4. REAKSI TANAH
(pH)
- Bahan organik > 5.0 4.0 5.0 3.4 3.9 3.4 3.9 - - - -
- Bahan mineral 5.2 8.2 4.5 5.2 4.0 4.5 4.0 4.5 - - - -

*/
Tidak meliputi batuan beku; **/ Lereng biasa apabila lereng tersebut seragam lebih panjang dari 25 m
1/
Hanya berlaku untuk kriteria tanah mineral (berbahan organik); 2/ Hanya berlaku untuk tanah gambut; 3/ Hanya berlaku untuk kriteria tanah mineral

Sumber : Team Institut Pertanian Bogor (1976)

75
Mengkuantifikasikan faktor-faktor penghambat. Implementasi dari Klasifikasi
Kemampuan Lahan USDA sangatlah subyektif disebabkan kriteria batasan kelas
umumnya tidak diberikan secara khusus. Biasanya penyusun klasifikasi kemampuan
lahan akan mengembangkan beberapa kriteria yang dapat menentukan kelas kemampuan
lahan tertentu. Batasan kriteria faktor penghambat untuk kelas tertentu akan berbeda-beda
untuk daerah yang berbeda, tergantung dari keadaan setempat seperti terlihat pada
contoh-contoh pada tabel 6.6.
Tabel 6.6 ini menunjukkan berbagai nilai pembatas untuk lereng (dalam persen)
yang digunakan untuk memisahkan kelas-kelas kemampuan dibeberapa negara. Banyak
dari batasan lereng ini dihubungkan dengan kemungkinan bahaya erosi. Pada contoh
tersebut terlihat bahwa lereng yang lebih curam akan menyebabkan lahan tergolong ke
dalam nomor kelas yang lebih tinggi (kelas kemampuan yang lebih rendah).
Tabel 6.6
Nilai Pembatas untuk Lereng (%) di antara
Kelas-kelas Klasifikasi Kemampuan Lahan
Kelas
Sistem Klasifikasi IV/ lebih
I/II II/III III/IV
buruk

Afrika Selatan 2 5 8 12
(Loxton, 1962) dan Rhodesia (Thomas,
1960)

Inggris (Bibby dan Mackney, 1969) - 12(7o) 19(11o) 37(15o)

New South Wales (Short, 1973) 1 3 20 -

Tiga kelompok tanah di Amerika Serikat 2 7 12 18

(Klingebiel, 1958) - 1 5 9

India (Digar dan Sen, 1960) 0.5 1 10 15

Wilayah Himalaya (Khybri, 1979) 1 3 10 33

Sebagai contoh lain : di Inggris, faktor pembatas iklim didasarkan pada menaiknya
curah hujan dengan menaiknya ketinggian sehingga penanaman tanaman semusim
(arable cropping) menjadi kurang praktis pada elevasi yang lebih tinggi. Dengan
demikian batas bawah kelas atau grade 4 dimana tanaman semusim memungkinkan,

76
didasarkan atas curah hujan dan ketinggian. Klasifikasi kemampuan penggunaan lahan
(Bibby dan Mackney, 1966) menggunakan pembatas iklim dengan batas ketinggian 183
cm dan curah hujan tahunan lebih dari 1270 mm; sedangkan klasifikasi lahan pertanian
(MAFF, 1966) menggunakan batas ketinggian 328 m dan curah hujan tahunan lebih dari
1320 mm.
Asumsi dasar dimodifikasi. Banyak sistem klasifikasi kemampuan lahan yang
bersumber dari sistem USDA secara implisit juga menggunakan asumsi-asumsi dasar
yang ada pada sistem tersebut. Akan tetapi, beberapa asumsi terutama yang berkaitan
dengan kemampuan lahan untuk berbagai penggunaan lahan yang potensial, faktor-faktor
sosial-ekonomi dan kelanggengan faktor penghambat tidak dapat digunakan pada situasi
tertentu.
Klasifikasi kemampuan lahan mengkelaskan lahan menurut penghambat yang
tertinggal setelah semua perbaikan-perbaikan yang memungkinkan dilakukan seperti
drainase, irigasi, pembersihan batu-batuan dan sebagainya. Yang menjadi masalah adalah
batasan pengertian dengan perbaikan yang memungkinkan (feasible improvements)
tersebut. Di Inggris misalnya, drainase lahan merupakan tindakan yang dapat diterima.
Dengan demikian, lahan yang belum didrainase-kan, diberi nilai seolah-olah sistem
drainase telah dibangun.
Haantjens (1963) mengatakan bahwa lahan yang sesuai untuk pertanian umum
(ordinary cultivation) tidak harus sesuai pula untuk penggunaan lahan lainnya. Sebagai
contoh, di Malaysia, perekonomian sangat tergantung dari penambangan timah (tin
mining) sehingga di sana kelas I adalah lahan yang berpotensi penambangan dan hanya
kelas II dan kelas-kelas di bawahnya dipertimbangkan untuk keperluan pertanian atau
penggunaan sejenisnya.
Pembagian kelas selain dari atas dasar faktor penghambat utama. Hampir semua
sistem klasifikasi kemampuan lahan sebagai turunan dari sistem USDA menggolongkan
lahan ke dalam sub-kelas atas dasar faktor-faktor penghambat utama, tetapi kadang-
kadang kelas dibagi dengan cara lain.
Klasifikasi lahan pertanian di Inggris dan Wales misalnya membagi Grade 3 ke
dalam 3 kategori : 3a, 3b dan 3c (MAFF, 1976) atas dasar meningkatnya kegawatan
faktor-faktor penghambat sehingga 3c berarti lahan yang mempunyai sifat-sifat fisik yang

77
dapat menyebabkan produksi yang lebih rendah dibanding dengan lahan pada grade 3b
dan 3a dan tidak khusus dengan pembatas iklim.
Sistem pembagian secara pragmatis telah digunakan di berbagai negara seperti
Selandia Baru (Cutler, 1962) dan Pakistan (McVean dan Robertson, 1969). Di Pakistan
beberapa kelas (tidak semua kelas) dibagi ke dalam sub-kelas a, b, atau c tergantung dari
faktor penghambat utama, keperluan tindakan pengawetan atau potensi penggunaannya.
Mungkin sistem seperti ini mempunyai nilai praktis yang sangat besar di daerah tersebut,
tetapi kesamaannya terhadap klasifikasi kemampuan lahan yang konvensional mungkin
menjadi tidak jelas.

6.8. Menentukan klas kemampuan lahan suatu daerah


Menurut FAO (1976) tujuan evaluasi lahan adalah menentukan nilai suatu lahan
untuk tujuan terentu. Langkah dalam evaluasi lahan setelah menetapkan tujuan adalah
menetapkan faktor penciri. Faktor tersebut merupakan sifat lahan yang mempunyai
hubungan erat dengan tujuan evaluasi.
Evaluasi lahan merupakan penghubung antara berbagai aspek dan kualitas fisik,
biologi dan teknologi penggunaan lahan dengan tujuan social ekonominya. Evaluasi
kuantitatif diperlukan pada survey kelayakan (feasibility grade land evaluation). Evaluasi
kualitatif adalah langkah pertama merupakan bahan untuk evaluasi kuantitatif. Evaluasi
kuantitatif biasanya dilaksanakan dengan melakukan klasifikasi lahan. Tergantung pada
tujuan evaluasi, klasifikasi lahan dapat berupa klasifikasi kemampuan lahan atau
klasifikasi kesesuaian lahan .
Klasifikasi kemampuan lahan (land capability classificationb) adalah penilaian
lahan (komponen-komponen lahan) secaar sistematik dan pengelompokannya kedalam
beberapa katagori berdasarkan atas sifat-sifat yang merupakan potensi dan penghambat
dalam penggunaannya secara lestari.Kemampuan lahan adalah istilah yang sudah lebih
dahulu dipergunakan oleh US Soil Conservation Service (Hockensmith and Steel,1943 :
Klingebiled and Montgmery, 1973 di dalam system klasifikasi yang telah banyak
dipergunakan juga diberbagai Negara.
Perbedaan dalam kualitas tanah atau tanah dan bentuk lahan (land form)
seringkali merupakan penyebab utama terjadinya perbedaan satuan peta tanah dalam

78
suatu area. Inilah sebabnya mengapa survey tanah merupakan dasar utama dalam
menentukan satuan peta lahan. Pendekatan klasifikasi kemampuan lahan demikian ini
disebut pendekatan atribut tunggal (Zonneveld, 1972) atau pendekatan disiplin tunggal.
Pendekatan lain dalam survey kemampuan lahan adalah pendekatan terpasu atau
pendekatan holistic. Pada pendekatan disiplin tunggal klasifikasi kemapuan lahan dimulai
dari hasil survey tanah dan relief permukaan tanahm kemudian disusul dan dipetakan
lebih dahulu satuan peta tanah.Selanjutnya dengan mempertimbangkan komponen lahan
lainnya seperti iklim, vegetasi/penggunaan lahan , disusun dan dipetakan kelas
kemampuan lahan. Pada pendekatan holistic semua komponen lahan yang berpengaruh
terhadap penggunaan lahan dinilai seretntak untuk mengidentifikasi dan menetapkan
beberapa hiraraki satuan lahan (Kips, et. Al., 1981; Mahl 1987), dan kemudian disusun
dan dipetakan kelas kemampuan lahan. Secara skematis kedua pendekatan survey
tersebut tertera pada gamabr.
Jika survey sumber daya lahan telah dilaksanakan dan data telah dianalisis, proses
klasifikasi dapat dilakukan dengan dua cara , yaitu 1. metode parametric dan metode
factor penghambat, sebagai berikut :
1. Pada metode parametric kualitas lahan atau sifat-sifat lahan yang mempengaruhi
kualitas lahan diberi nilai 10 -100 atau 1 10. Kemudian setiap nilai digabungkan
dengan penambahan atau perkalian dan ditetapkan selang nilai untuk setiap kelas;
dengan nilai tertinggi untuk kelas terbaik dan berkurang dengan semakin kecilnya
selang nilai.
2. Dengan metode faktor penghambat, maka setiap kualitas lahan atau sifat-sifat
lahan diurutkan dari yang terbaik sampai yang terburuk atau dari yang paling
kecil hambatan atau ancamannya sampai terbesar. Kemudian disusun table
kriteria untuk setiap kelas, penghambat yang terkecil untuk kelas yang terbaik,
dan berurutan semakin besar hambatannya semakin besar kelasnya.

79
Skema Pendekatan klasifikasi Kemampuan Lahan

Gambar : Skema Pendekatan Klasifikasi Kemampuan Lahan

Iklim Temperatur, CH

Bentuk lahan Kemiringan


L Lereng Kelas
A Kemmapuan
Tanah Sifat 2 tanah Satuan Peta Lahan
H Tanah
A
N Hidrologi Kelas Drainase Kls banjir

Bat. Di Perm
Batuan

Tipe landuse
Tata Guna Tanah

a. Pendekatan Disiplin Tunggal


Kriteria Klasifikasi

Iklim Temperatur,
CH
Bentuk lahan Kcrm Lereng
L Lereng Kelas
A Satuan Peta Kemampuan
Tanah Sifat 2 tanah
H Tanah Lahan
A
N Hidrologi Kelas Drainase

Batuan Bat. Di Perm

Tata Guna Tanah Tipe landuse

b. Pendekatan Holistik

80
Sistem Klasifikasi Kemampuan Lahan
Klasifikasi kemampuan lahan yang dipergunakan dalam praktikum ini adalah sistem
klasifikasi yang dikemukakan oleh Hockensmith dan Steel (1943) dan Klingbeil
Montgomery (1973). Menurut system ini, lahan digolongkan kedalam tiga katagori utama
yaitu Kelas, Subkelas dan satuan kemampuan atau pengelolaan. Pengelolaan di
dalam kelas didasarkan atas intensitas faktor penghambat. Tanah dikelompokan kedalam
delapan kelas ditandai dengan huruf romawi dari I sampai VIII.

Tabel b. Kriteria Klasifikasi Kemampuan lahan


Faktor Kelas Kemampuan Lahan
Penghambat/Pembatas
I II III IV V VI VII VIII
1. Lereng Permukaan A B C D A E F G
2. Kepekaan Erosi KE1,KE2 KE3 KE4,KE5 KE6 (*) (*) (*) (*)
3. Tingkat Erosi eo E1 E2 E3 (**) E4 E5 (*)
4. Kedalaman tanah K0 K1 K2 K2 (*) K3 (*) (*)
5. Tekstur Lapisan Atas t1,t2,t3 t1,t2,t3 t1,t2,t3,t4 t1,t2,t3,t4 (*) t1,t2,t3,t4 t1,t2,t3,t4 t5
6. Tekstur lapisan bawah sda sda sda sda (*) sda sda t5
7. Permabilitas P2,P3 P2,P3 P2,P3,P4 P2,P3,P4 P1 (*) (*) P5
8. Drainase D1 D2 D3 D4 D5 (**) (**) Do
9. Kerikil/batuan B0 B0 B1 B2 B3 (*) (*) B4
10. Ancaman Banjir O0 O1 O2 O3 O4 (**) (**) (*)
11. Salinitas (***) G0 G1 G2 G3 (**) G3 (*) (*)
Catatan : (*) : dapat mempunyai sembarang sifat , (**) = Tidak berlaku
(**) ; Umumnya terdapat di daerah beriklim miring.

81
REFERENSI DALAM PENULISAN BUKU AJAR

Agus H. Atmadilaga, 1997.,Sistem Informasi Geografis, Bahan Pembekalan Sistem


Informasi geografis Pusdiklat Bakosurtanal.
Aronoff, Stanley, 1989., Geographic Information System: A Management Perspective,
WDL Publications, Ottawa Canada.
Briges, E.M. and D.A. Sdavidson., 1982. Principles and Aplication Of Soil
Geography. Longman, London and New York.
Burrough P.A.,1994, Principles Of Geographical Information System For land Resources
Assessmet, Oxford University Press Inc, New York.
Dudal, R. and M. Soepraptoharjo.,1957. Soil Classification In Indonesia. Cont. Gen.
Agr. Res. Sta. No. 148. Bogor.
Eko Budiyanto, 2002. Sistem Informasi Geografis Menggunakan ArcView GIS, Penerbit
Andi Yogyakarta.
Eddy Prahasta, 2002., Konsep-Konsep Dasar Sistem Informasi Geografis, Penebit
Informatka Bandung.
ESRI, 1996, Arc View GIS: The Geographic information System For Everyone,
Environtal System Research Institue.Inc.
FAO / UNESCO. 1974. Soil Map Of the World. Vol. 1 Legend. Unesco, Paris.
Goosen, D. 1967. Aerial Photo-Interpretation In Soil Survey. FAO Soil Bulletin
No. 6 Rome.
Isa Darmawijaya.,1997. Kalsifikasi Tanah, Dasar Teori Bagi Peneliti Tanah dan
Pelaksana Pertanian di Indonesia. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Landon. J.R. 1984 Booker Tropical Soil Manual. Booker Agriculture In ternational
Limited. Longman, new York.
Petrus Paryono, 1994., Sistem Informasi Geografis, Penerbit Andi Offset Yogyakarta.
Pitty, A. F. 1978. Geography and Soil Properties. Mathuen, CO. Ltd. Cambrige,
great Britain.
Sarwono Harjowigeno.,1989. Ilmu Tanah, Mediyatama Sarana Perkasa, Jakarta.
Sarwono Harjowigeno.,1993.Klasifikasi tanah dan Pedogenesis, Akademika
Pressindo, Jakarta
Sitorus, Santun., 1985. Evaluasi Sumber Daya Lahan, Tarsito: Bandung
Sukmayadi D.S. 1995., Sistem Informasi Geografis, Pusdiklat Bakosurtanal
Cibinong.

82

Anda mungkin juga menyukai