Anda di halaman 1dari 37

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penggunaan Lahan

2.1.1 Pengertian Penggunaan Lahan

Lahan adalah suatu lingkungan fisik terdiri atas tanah, iklim, relief,

hidrologi, vegetasi, dan benda-benda yang ada di atasnya yang selanjutnya semua

faktor-faktor tersebut mempengaruhi penggunaan, termasuk di dalamnya juga

hasil kegiatan manusia, baik masa lampau maupun sekarang FAO, (1976) dalam

Arsyad, (1989).

Menurut Marbut (1968) dalam Ritohardoyo, (2013) mengemukakan

batasan arti lahan yang diartikan sebagai gabungan dari unsur-unsur permukaan

dan dekat dengan bumi yang penting bagi manusia. Dari defenisi di atas lahan

merupakan sumber daya alam yang sangat penting, lahan sangat penting

mengingat kebutuhan penduduk baik untuk melangsungkan hidupnya, maupun

kegiatan kehidupan sosial-ekonomi dan sosial-budayanya. Lahan digunakan

manusia sebagai tempat aktivitasnya, sehingga manusia selalu mengolah lahan

yang dimilikinya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan untuk mencukupi

kebutuhan keluarganya.

Istilah penggunaan lahan (land use), berbeda dengan istilah penutup

lahan (land cover). Penggunaan lahan biasanya meliputi segala jenis kenampakan

dan sudah dikaitkan dengan aktivitas manusia dalam memanfaatkan lahan,

sedangkan penutup lahan mencakup segala jenis kenampakan yang ada di

permukaan bumi yang ada pada lahan tertentu. Penggunaan lahan merupakan

16
aspek penting karena penggunaan lahan mencerminkan tingkat peradaban

manusia yang menghuninya.

Arsyad, (2010) dalam Oktarian, (2015) mengartikan penggunaan lahan

sebagai setiap bentuk campur tangan manusia terhadap lahan dalam rangka

memenuhi kebutuhan hidup baik material maupun spiritual. Penggunaan lahan

dapat dikelompokkan dalam dua golongan besar yaitu penggunaan lahan pertanian

dan penggunaan lahan bukan pertanian.

Penggunaan lahan merupakan hasil interaksi antara dua faktor, yaitu

faktor manusia dan faktor alam. Manusia merupakan faktor yang mempengaruhi

atau melakukan kegiatan terhadap lahan dalam usaha memenuhi kebutuhan

hidupnya. Penggunaan lahan pada hakekatnya. merupakan perwujudan

keseluruhan kehidupan penduduk dalam ruang (Bintarto, 1983 dalam Budianta,

2006).

2.1.2 Klasifikasi Penggunaan Lahan

Klasifikasi penggunaan lahan sangat penting dilakukan di dalam studi

maupun inventarisasi penggunaan lahan. Kuantitas dan kualitas penggunaan

lahan ditunjukkan oleh tipe atau jenis penggunaan lahan. Macam-macam sistem

klasifikasi penggunaan lahan menurut beberapa ahli yakni :

1. Menurut Jerzy Kostrowicki, (1964) dalam Sutanto, (1986), Mengemukakan

lima kelas dasar penggunaan lahan yang masing-masing masih dapat dirinci.

Lima kelas penggunaan lahan tersebut meliputi :

a) Lahan pertanian (Agricultural land) yang terbagi menjadi cropland atau


arable land, perennial crop, grassland.
b) Lahan hutan (woodland).

17
c) Perairan (waters).

d) Permukiman (Settlements).

e) Lahan tidak produktif (Unproduktve land)


2. Menurut International Geography United (IGU) dalam Sutanto, (1986) IGU

membagi lahan menjadi 9 kelas penggunaan lahan, yaitu :

a) Permukikan dan lahan pertanian lainnya.

b) Lahan tidak produktif.

c) Lahan holtikultura.

d) Tumbuhan dan tanaman perennial lain.

e) Lahan pertanian (crop land).

f) Improved permanent pasture.

g) Improved grazing land.

h) Swamps and marshes.

i) Lahan hutan (woodland).

3. Dalam hal ini (Malingreau ,1978 dalam Sutanto, 1986) menggolongkan

penggunaan lahan menjadi 7 golongan, yaitu :

a) Tanah terbuka,

b) Semak dan belukar,

c) Tegalan tanpa teras dan tegalan dengan teras,

d) Sawah tadah hujan dan sawah irigasi,

e) Permukiman dan jalan aspal,jalan tanah,jalan batu

f) Hutan

g) Perkebunan dan kebun campuran

Menurut Chapin, (1995) dalam Ritohardoyo, (2013) ada tiga sistem

yang mempengaruhi penggunaan lahan kota :

18
1) Sistem aktifitas kota, berhubungan dengan manusia dan lembaganya seperti

rumah tangga, perusahaan, pemerintah, dan lembaga lain dalam

mengorganisasikan hubungan tersebut dalam memenuhi kebutuhan dasar

manusia dan keterkaitan antara satu dengan yang lain dalam waktu dan ruang.

2) Sistem pengembangan lahan, berhubungan dengan proses konversi lahan dan

penyesuaiannya bagi kebutuhan manusia dalam mendukung aktivitas manusia.

Sistem pengembangan lahan ini berhubungan dengan lahan kota baik dari segi

penyediaannya maupun sisi ekonominya.

3) Sistem lingkungan berhubungan dengan unsur biotik dan abiotik. Sistem ini

berfungsi untuk menyediakan tempat bagi kehidupan manusia dan sumberdaya

untuk mendukung kelangsungan hidup manusia.

Ketiga sistem tersebut akan saling mempengaruhi dalam membentuk

struktur penggunaan lahan di kota. Di kebanyakan tempat unsur yang paling

mempengaruhi dalam pembentukan struktur ruang kota adalah sistem aktivitas

karena biasanya penduduk yang padat dengan berbagai macam kegiatan, maka

sistem aktivitas masyarakat kotanya akan jauh lebih berperan. Ketiga sistem

tersebut saling berinteraksi dan membentuk suatu pola penggunaan lahan kota dan

akan terus berkembang seiring dengan perkembangan kotanya.

2.1.3 Perubahan Penggunaan Lahan

Perubahan penggunaan lahan merupakan peralihan dari penggunaan

lahan tertentu menjadi penggunaan lahan lainnya. Proses penggunaan lahan yang

dilakukan oleh manusia dari waktu ke waktu terus mengalami perubahan seiring

dengan perkembangan peradaban dan kebutuhan manusia. Semakin tinggi

kebutuhan manusia akan semakin tinggi terhadap kebutuhan manusia.

19
Sebagaimana dikemukakan oleh Soemarwoto, (1985) dalam

Ritohardoyo, (2013) bahwa perubahan yang terjadi pada lingkungan sosial budaya

masyarakat akan menimbulkan tekanan penduduk terhadap kebutuhan akan lahan.

Tekanan penduduk yang besar terhadap lahan ini diperbesar oleh bertambah

luasnya lahan pertanian yang digunakan untuk keperluan lain seperti permukiman,

jaringan jalan, pabrik dan lain sebagainya.

Turner & Meyer, (1991) dalam Oktarian, (2016) menyatakan bahwa

perubahan penggunaan lahan adalah suatu proses untuk mengelola lahan secara lebih

intensif atau ekstensif atau bahkan merubah pemanfaatan tata guna lahan.

2.1.4 Faktor Perubahan Penggunaan Lahan

Perubahan penggunaan lahan selalu disebabkan atau dipicu oleh

berbagai faktor yang saling berinteraksi. Faktor atau pemicu sering disebut

dengan istilah driving force. Kombinasi driving force perubahan bervariasi

menurut ruang dan waktu sesuai dengan kondisi ligkungan dan manusianya

(Lambin dan Geist, 2007 dalam Maulana, 2017).

Faktor biofisik seperti perubahan iklim dan kesuburan memegang

peranan yang sama penting dengan faktor manusia yang di dalamnya termasuk

ekonomi dan kebijakan. Menurut Lambin , (2007) dalam Susilo (2008)

menyebutkan enam faktor yang secara umum menjadi pemicu terjadinya

perubahan penggunaan lahan. Faktor-faktor tersebut adalah perubahan kondisi

alamiah (natural variability), faktor ekonomi dan teknologi (economic and

technological factors), faktor demografi (demographic factors), faktor institusi

(institutional factors), faktor budaya (cultural factors) dan globalisasi

(globalization).

20
Menurut Yunus, (2000) bahwa ada 2 (dua) elemen utama dalam

perkembangan penggunaan lahan yang menyebabkan kota selalu bersifat dinamis

yaitu (1) elemen demografis kependudukan, artinya semakin bertambah penduduk

maka semakin tinggi perkembangan penggunaan lahan, dan (2) elemen kegiatan

penduduknya yaitu dari sisi perekonomian bahwa semakin membaik kondisi

ekonomi masyarakat (pendapatan) maka semakin mempercepat perkembangan

penggunaan lahan.

Sedangkan menurut Martin, (1986) dalam Warpani, (1990) ada empat

faktor yang berpengaruh terhadap perkembangan penggunaan lahan yaitu (1)

topografi, semakin tinggi topografi semakin rendah terhadap perkembangan lahan,

(2) jumlah penduduk, semakin besar jumlah penduduk semakin tinggi

perkembangan penggunaan lahan, (3) biaya bangunan, semakin tinggi biaya

bangunan maka semakin tinggi perkembangan penggunaan lahan, dan (4) derajat

pelayanan jaringan perangkutan, semakin tinggi derajat pelayanan jaringan

pengangkutan, maka semakin besar perkembangan penggunaan lahan.

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi perubahan penggunaan

lahan menurut (Yuniarto dkk, 1991 dalam Oktarian, 2010) yakni sebagai berikut :

a. Faktor Alamiah

Penggunaan lahan disuatu wilayah dipengaruhi oleh faktor alamiah di wilayah

tersebut. Manusia mengola lahan dengan komposisi penggunaan lahan sesuai

dengan kebutuhan untuk kelangsungan hidup, baik yang menyangkut kondisi

iklim, tanah, topografi maupun topografi suatu wilayah.

21
b. Faktor Sosial

Untuk memenuhi kebutuhan hidup, manusia tidak bisa melepaskan diri dari

pemanfaatan sumber daya alam yang tergantung pada tingkat pendidikan,

keterampilan atau keahlian, mata pencaharian dan penggunaan teknologi serta

adat istiadat yang berlaku di wilayah yang bersangkutan.

2.2 Daerah Aliran Sungai (DAS)

2.2.1 Defenisi Daerah Aliran Sungai (DAS)

Menurut kamus Webster, DAS adalah suatu derah yang dibatasi oleh

pemisah topografi, yang menerima hujan, menampung, menyimpan, dan

mengalirkan ke sungai dan seterusnya ke danau atau ke laut. DAS merupakan

suatu ekosistem dimana di dalamnya terjadi suatu proses interaksi antara faktor-

faktor biotik, abiotik, dan manusia. Sebagai suatu ekosistem, maka setiap ada

masukan (input) ke dalamnya, proses yang terjadi dan berlangsung di dalamnya

dapat dievaluasi berdasarkan keluaran (output) dari ekosistem tersebut.

Komponen masukan dalam ekosistem DAS adalah curah hujan, sedangkan

keluaran terdiri dari dari debit dan muatan sedimen. Komponen-komponen DAS

berupa vegetasi, tanah, dan saluran/sungai dalam hal ini bertindak sebagai

prosessor.

DAS adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan

dengan sungai dan anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan, dan

mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami,

yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai

dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan (Permen PU

2013). Sub DAS merupakan bagian dari DAS dimana air hujan diterima dan

22
dialirkan melalui anak sungai ke sungai utama. Setiap DAS terbagi habis menjadi

wilayah yang lebih kecil yaitu Sub - Sub DAS, dan apabila diperlukan maka dapat

dipisahkan lagi menjadi sub-sub DAS, demikian untuk seterusnya (dalam Asdak,

2002).

2.2.2 Pembagian Daerah Aliran Sungai (DAS)

Menurut Arsyad (2010) DAS dibagi menjadi 3 bagian yaitu bagian

hulu, bagian tengah, dan bagian hilir. Ciri-ciri pada setiap bagian DAS dapat

dijelaskan sebagai berikut:

1) Bagian Hulu

DAS bagian hulu didasarkan pada fungsi konservasi yang dikelola untuk

mempertahankan kondisi lingkungan DAS agar tidak terdegradasi. Fungsi

konservasi dapat diindikasikan dari kondisi tutupan vegetasi lahan DAS,

kualitas air, kemampuan menyimpan air (debit), dan curah hujan.

a. Merupakan daerah konservasi.

b. Mempunyai kerapatan drainase lebih tinggi.

c. Merupakan daerah dengan kemiringan lereng besar (lebih besar dari 20%).

d. Bukan merupakan daerah banjir.

e. Pengaturan air ditentukan oleh pola drainase.

2) Bagian Tengah

DAS bagian tengah didasarkan pada fungsi pemanfaatan air sungai yang

dikelola untuk dapat memberikan manfaat bagi kepentingan sosial dan

ekonomi, yang antara lain dapat diindikasikan dari kuantitas air, kualitas air,

kemampuan menyalurkan air, dan ketinggian muka air tanah serta terkait pada

prasarana pengairan seperti pengelolaan sungai, waduk, dan danau. Daerah

23
Aliran Sungai bagian tengah merupakan daerah transisi dari kedua karakteristik

biogeofisik DAS yang berbeda tersebut di atas. (Asdak, 2010).

3) Bagian Hilir

DAS bagian hilir didasarkan pada fungsi pemanfaatan air sungai yang dikelola

untuk memberikan manfaat bagi kepentingan sosial dan ekonomi yang

diindikasikan memalui kuantitas dan kualitas air, kemampuan menyalurkan air,

ketinggian curah hujan, dan terkait untuk kebutuhan pertanian, air bersih, serta

pengelolaan air limbah.

a. Merupakan daerah pemanfaatan.

b. Kerapatan drainase lebih kecil.

c. Merupakan daerah dengan kemiringan lereng kecil sampai sangat kecil

(kurang dari 10 %).

d. Pada beberapa tempat merupakan daerah banjir (genangan).

e. Pengaturan pemakaian air ditentukan oleh bangunan irigasi.

Tabel 2.1
Perbandingan Faktor Biofisik dan Sosial Ekonomi Antara DAS
di Bagian Hulu dan Hilir

No Daerah Hilir Daerah Hulu


1. Faktor Biofisik
 Topografi datar  Bergelombang, berbukit, gunung
 Erosi yang terjadi kecil  Rawan terhadap terjadinya erosi
 Penutupan lahan bukan hutan  Didominasi oleh hutan
 Tanah umumnya subur (akibat
 Tanah umumnya marginal
sedimentasi)
 Pengolahan tanah intensif dan  Pengolahan tanah masih ekstensif
umumnya telah beririgasi baik dan merupakan lahan kering
2. Faktor Sosial Ekonomi
 Infrastruktur baik  Infrastruktur jelek
 Aksesibilitas tinggi  Aksesibilitas rendah
 Tingkat pendidikan tinggi  Tingkat pendidikan rendah

24
 Berorientasi pasar  Orientasi masih subsisten
 Lahan banyak dimiliki pribadi  Lahan banyak milik pemerintah
 Adanya percampuran budaya  Jarang terjadi percampuran budaya
 Tenaga kerja upahan  Tenaga kerja berasal dari keluarga
 Tingkat kesejahteraan relative
 Tingkat kesejahteraan rendah
tinggi
 Teknologi sudah kompleks  Teknologi masih sederhana
 Keterlibatan LSM sedikit  Keterlibatan LSM banyak
Sumber : Ramdan, 2003

2.2.3 Fungsi Daerah Aliran Sungai (DAS)

Menurut Asdak (2010), Salah satu fungsi DAS adalah fungsi

hidrologis, dimana fungsi tersebut sangat dipengaruhi oleh jumlah curah hujan

yang diterima, geologi dan bentuk lahan. Fungsi hidrologis yang dimaksud

termasuk kapasitas DAS untuk mengalirkan air, menyangga kejadian puncak

hujan, melepaskan air secara bertahap, memelihara kualitas air, serta mengurangi

pembuangan massa (seperti terhadap longsor). Fungsi suatu DAS merupakan

fungsi gabungan yang dilakukan oleh seluruh faktor yang ada pada DAS tersebut,

yaitu vegetasi, bentuk wilayah (topografi), tanah, dan manusia. Apabila salah satu

faktor tersebut mengalami perubahan, maka hal tersebut akan mempengaruhi juga

ekosistem DAS tersebut dan akan menyebabkan gangguan terhadap bekerjanya

fungsi DAS. Apabila fungsi suatu DAS telah terganggu, maka sistem

hidrologisnya akan terganggu, penangkapan curah hujan, resapan dan

penyimpanan airnya menjadi sangat berkurang atau sistem penyalurannya menjadi

sangat boros. Kejadian itu akan menyebabkan melimpahnya air pada musim

penghujan dan sangat minimum pada musim kemarau, sehingga fluktuasi debit

sungai antara musim hujan dan musim kemarau berbeda tajam.

Menurut Widianto, (2004) dalam Oktarian, (2015) mengemukakan

bahwa sebuah DAS yang sehat dapat menyediakan unsur hara bagi tumbuhan,

25
sumber makanan bagi manusia dan hewan, air minum yang sehat bagi manusia

dan makhluk lainnya, serta empat berbagai aktivitas lainnya. Manusia hidup di

bumi akan selalu dipengaruhi baik secara positif dan negatif oleh adanya interaksi

dari sumber daya air dengan sumber daya alam lainnya. Dampak dari interaksi

sumberdaya tersebut tidak terbatas pada batasan politik saja.

2.2.4 Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS)

Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37 Tahun

2012, pengelolaan DAS adalah upaya manusia dalam mengatur hubungan timbal

balik antara sumberdaya alam dengan manusia di dalam DAS dan segala

aktivitasnya, agar terwujud kelestarian dan keserasian ekosistem serta

meningkatnya kemanfaatan sumberdaya alam bagi manusia secara berkelanjutan.

Pada dasarnya pengelolaan DAS merupakan upaya manusia untuk mengendalikan

hubungan timbal balik antara sumber daya alam dengan manusia dan keserasian

ekosistem serta meningkatkan kemanfaatan sumber daya alam bagi manusia

secara berkelanjutan (Departemen Kehutanan, 2000). Selama ini kerjasama

pengelolaan DAS sering kali dibatasi oleh batas-batas politis ataupun administrasi

saja. Padahal kekuatan alam seperti banjir di atas atau erosi dan tanah longsor

tidak mengenal batas-batas politis ataupun administrasi.

Pengelolaan DAS ditujukan untuk kesejahteraan manusia dengan

mempertimbangkan kondisi sumberdaya alam atau ekosistemnya, kondisi sosial,

politik, ekonomi, budaya, dan kelembagaan. Pengelolaan tidak hanya bertumpu

pada salah satu aspek saja tetapi juga harus memperhatikan aspek yang lain. Hal

ini bertujuan untuk menyeimbangkan hubungan timbal balik ekosistem DAS

dengan manusia, sebab DAS memiliki banyak fungsi (mulltifungsi). Multifungsi

26
DAS seperti penyedia pangan, papan, sandang, rekreasi, kesejukan udara, jasa

lingkungan, keanekaragaman hayati, penyedia energi, dan sebagainya harus

diperhatikan.Untuk itu, pendekatan multifungsi DAS dan peran DAS yang

dominan dalam kehidupan manusia harus dilakukan agar keseimbangan dapat

tercapai. Dengan demikian, konsep pengelolaan DAS yang baik perlu didukung

oleh adanya kebijaksanaan yang harus dirumuskan dengan baik pula.

Menurut Asdak (2010), pengelolaan daerah aliran sungai adalah suatu

proses formulasi dan implementasi kegiatan atau program yang bersifat

manipulasi sumber daya alam dan manusia yang terdapat di daerah aliran sungai

untuk memperoleh manfaat produksi dan jasa tanpa menyebabkan terjadinya

kerusakan sumberdaya air dan tanah. Termasuk dalam pengelolaan DAS adalah

identifikasi keterkaitan antara daerah hulu dan hilir suatu DAS. Pengelolaan DAS

perlu mempertimbangkan aspek-aspek sosial, ekonomi, budaya, dan kelembagaan

yang beroperasi di dalam dan di luar daerah aliran sungai yang bersangkutan. Ada

tiga dimensi pendekatan analisis pengelolaan DAS yaitu:

a. Pengelolaan DAS sebagai proses yang melibatkan langkah-langkah

perencanaan dan yang terpisah tetapi terkait.

b. Pengelolaan DAS sebagai sistem perencanaan pengelolaan dan sebagai alat

implementasi program pengelolaan DAS melalui kelembagaan yang relevan

dan terkait.

c. Pengelolaan DAS sebagai aktivitas berjenjang dan bersifat sekuensial yang

masing-masing berkaitan dan memerlukan perangkat pengelolaan yang

spesifik.

27
2.2.5 Daerah Aliran Sungai (DAS) Sebagai Ekosistem

Menurut Asdak (2010), dalam mempelajari ekosistem DAS dapat

diklasifikasikan menjadi daerah hulu, tengah, hilir. DAS bagian hulu dicirikan

sebagai daerah konservasi, DAS bagian hilir merupakan daerah pemanfaatan.

DAS bagian hulu mempunyai arti penting terutama dari segi perlindungan fungsi

tata air. Oleh karena itu, setiap terjadinya kegiatan di daerah hulu akan

menimbulkan dampak di daerah hilir dalam bentuk perubahan fluktuasi debit dan

perpindahan sedimen serta material terlarut dalam sistem aliran airnya. Dengan

kata lain ekosistem DAS, bagian hulu mempunyai fungsi perlindungan terhadap

keseluruhan DAS. Perlindungan ini antara lain dari segi fungsi tata air, dan oleh

karenanya pengelolaan DAS bagian hulu sering kali menjadi fokus perhatian

mengingat dalam suatu DAS bagian hulu dan hilir mempunyai keterkaitan biofisik

melalui daur hidrologi.

DAS bagian hulu (upper watershed) adalah bagian DAS yang

mempunyai fungsi perlindungan terhadap DAS bagian hilir atau daerah yang

terancan oleh bahaya erosi. Keberadaan sektor kehutanan di daerah hulu yang

terkelola dengan baik dan terjaga keberlanjutannya dengan didukung oleh

prasarana dan sarana di bagian tengah akan mempengaruhi fungsi dan manfaat

DAS tersebut di bagian hilir, baik untuk pertanian, kehutanan, maupun tata ruang,

dalam pengelolaan DAS diperlukan adanya koordinasi berbagai pihak terkait baik

lintas sektoral maupun lintas adaerah secara baik.

Sub DAS adalah bagian DAS yang menerima air hujan dan

mengalirkannya melalui anak-anak sungai ke sungai utama. Setiap DAS terbagi

menjadi beberapa sub DAS. Tata air DAS adalah hubungan kesatuan sifat

28
individual unsur-unsur hidrologis yang meliputi hujan, aliran sungai,

evapotranspirasi, dan unsur-unsur lainnya yang mempengaruhi neraca air suatu

DAS. Penetapan batas-batas DAS di daerah hulu relatif mudah dilakukan. Namun

penetapan batas-batas untuk daerah hilir lebih sulit dilakukan karena umumnya

bertopografi lebih landai.

2.2.6 Komponen-Komponen Ekosistem Daerah Aliran Sungai (DAS)

Menurut Asdak, (2007), sistem ekologi DAS bagian hulu pada

umumnya dapat dipandang sebagai suatu ekosistem pedesaan. Ekosistem ini

terdiri atas empat komponen utama, yaitu desa, sawah/ladang, sungai, dan hutan.

Komponen-komponen yang menyusun DAS berbeda tergantung pada keadaan

daerah setempat.

Gambar 2.1
Komponen-Komponen Ekosistem DAS Hulu
(Sumber : Asdak, 2007)

29
2.3 Karakteristik Daerah Aliran Sungai (DAS)
2.3.1 Luas dan Bentuk DAS

Laju dan volume aliran permukaan makin bertambah besar dengan

bertambahnya luas DAS. Akan tetapi apabila aliran permukaan tidak dinyatakan

sebagai jumlah total dari DAS melainkan sebagai laju dan volume per satuan luas,

besarnya akan berkurang dengan bertambahnya luas DAS. Ini berkaitan dengan

waktu yang diperlukan oleh air untuk mengalir dari titik terjauh sampai dengan

waktu yang diperlukan oleh air untuk mengalir dari titik terjauh sampai ke titik

kontrol (waktu konsentrasi), dan juga penyebaran atau intensitas hujan (Asdak,

2007).

Meskipun semua jaringan alur sungai bercabang-cabang dengan cara

yang sama akan tetapi masing-masing menunjukkan pola yang berbeda satu

dengan yang lain, tergantung pada medan dan kondisi geologinya. Beberapa pola

aliran yang terdapat di Indonesia antara lain:

 Dendritik

Pola ini terjadi pada daerah berbatuan sejenis dengan penyebrangan yang luas.

Misalnya suatu daerah ditutupi oleh endapan sedimen yang meliputi daerah

yang luas dan yang umumnya endapan itu terletak pada suatu bidang

horizontal.

 Radial

Biasanya pola radial dijumpai pada lereng gunung api daerah topografi

berbentuk kubah.

30
 Rektangular

Terdapat di daerah yang batuannya mengalami retakan-retakan misalnya

batuan jenis limestone.

 Terllis

Akan dapat dijumpai pada daerah dengan lapisan sedimen keras yang diselingi

oleh sedimen lunak yang mengalami lipatan.

Gambar 2.2
Pola Aliran Sungai
(Sumber : Asdak, 2007)

Pola sungai akan menentukan bentuk dari suatu DAS. Bentuk suatu

DAS mempunyai arti penting dalam hubungannya dengan aliran sungai, yaitu

berpengaruh terhadap kecepatan terpusatnya aliran. Secara fisik setelah batas

DAS ditentukan garis batanya, maka bentuk DASnya dapat diketahui. Pada

umumnya dapat dibedakan menjadi empat bentuk yaitu:

 DAS berbentuk memanjang

Biasanya induk sungainya akan memanjang dengan anak-anak sungai langsung

mengalir ke induk sungai. Kadang-kadang berbentuk seperti bulu burung.

Bentuk ini biasanya akan menyebabkan besar aliran banjir relatif lebih kecil

31
karena perjalanan banjir dari anak sungai itu berbeda-beda. Tapi biasanya

banjir berlangsung agak lama.

 DAS berbentuk Radial

Bentuk ini karena arah sungai seolah-olah memusat pada suatu titik sehingga

menggambarkan adanya bentuk radial, kadang-kadang gambaran tersebut

memberi bentuk kipas atau lingkaran. Sebagai akibat dari bentuk tersebut maka

waktu yang diperlukan aliran yang datang dari segala penjuru anak sungai

memerlukan waktu yang hampir bersamaan. Apabila terjadi hujan yang

sifatnya merata di seluruh DAS akan menyebabkan terjadinya banjir besar.

 DAS berbentuk Paralel

DAS ini dibentuk oleh dua jalur DAS yang bersatu di bagian hilir. Apabila

terjadi banjir di daerah hilir biasanya terjadi setelah di bawah titik pertemuan.

 DAS berbentuk Komplek

Merupakan bentuk kejadian gabungan dari beberapa bentuk DAS yang

dijelaskan di atas.

2.4 Sempadan Sungai

2.4.1 Pengertian Sempadan Sungai

Sempadan sungai (riparian zone) adalah zona penyangga antara

ekosistem perairan (sungai) dan daratan. Zona ini umumnya didominasi oleh

tetumbuhan dan/atau lahan basah. Tetumbuhan tersebut berupa rumput, semak,

ataupun pepohonan sepanjang tepi kiri dan/atau kanan sungai.

Sempadan sungai yang demikian itu sesungguhnya secara alami akan

terbentuk sendiri, sebagai zona transisi antara ekosistem daratan dan ekosistem

perairan (sungai). Sempadan sungai yang cukup lebar dengan banyak kehidupan

32
tetumbuhan (flora) dan binatang (fauna) di dalamnya merupakan cerminan tata

guna lahan yang sehat pada suatu wilayah.

Namun karena ketidakpahaman tentang fungsinya yang sangat

penting, umumnya di perkotaan, sempadan tersebut menjadi hilang didesak oleh

peruntukan lain. Untuk itu, memulihkan kembali kondisi sempadan sungai

merupakan kegiatan kunci untuk memperbaiki dan menjaga fungsi sungai.

Banyak manfaat yang dapat dipetik dari membaiknya kembali fungsi sempadan

sungai. Dalam hal lahan sempadan telanjur dimiliki oleh masyarakat,

peruntukannya secara bertahap harus dikembalikan sebagai sempadan sungai.

Sepanjang hak milik atas lahan tersebut sah kepemilikannya tetap diakui, namun

pemilik lahan wajib mematuhi peruntukan lahan tersebut sebagai sempadan

sungai dan tidak dibenarkan menggunakan untuk peruntukan lain. Bangunan-

bangunan yang telah telanjur berdiri di sempadan sungai dinyatakan statusnya

sebagai status quo, artinya tidak boleh diubah, ditambah, dan diperbaiki. Izin

membangun yang baru tidak akan dikeluarkan lagi.

2.4.2 Penetapan Garis Sempadan Sungai

Penetapan garis sempadan sungai dan garis sempadan danau

dimaksudkan sebagai upaya agar kegiatan perlindungan, penggunaan, dan

pengendalian atas sumber daya yang ada pada sungai dan danau dapat

dilaksanakan sesuai dengan tujuannya (Permen Pekerjaan Umum Perumahan

Rakyat Nomor 28 tahun 2015 tentang Penetapan Garis Sempadan Sungai dan

Sempadan Danau). Penetapan garis sempadan sungai bertujuan agar:

a. fungsi sungai dan danau tidak terganggu oleh aktifitas yang berkembang di

sekitarnya;

33
b. kegiatan pemanfaatan dan upaya peningkatan nilai manfaat sumber daya yang

ada di sungai dan danau dapat memberikan hasil secara optimal sekaligus

menjaga kelestarian fungsi sungai dan danau; dan

c. daya rusak air sungai dan danau terhadap lingkungannya dapat dibatasi.

2.4.3 Pemanfaatan Daerah Sempadan

Menurut Permen PUPR Nomor 28 tahun 2015 tentang Penetapan

Garis Sempadan Sungai dan Sempadan Danau, Sempadan sungai hanya dapat

dimanfaatkan secara terbatas untuk:

a. bangunan prasarana sumber daya air;

b. fasilitas jembatan dan dermaga;

c. jalur pipa gas dan air minum;

d. rentangan kabel listrik dan telekomunikasi;

e. kegiatan lain sepanjang tidak mengganggu fungsi sungai, antara lain kegiatan

menanam tanaman sayur-mayur; dan

f. bangunan ketenagalistrikan.

Dalam hal di dalam sempadan sungai terdapat tanggul untuk

kepentingan pengendali banjir, perlindungan badan tanggul dilakukan dengan

larangan:

a. menanam tanaman selain rumput;

b. mendirikan bangunan; dan

c. mengurangi dimensi tanggul.

2.4.3 Peraturan Sempadan Sungai

Penetapan garis sempadan sungai tak bertanggul di dalam kawasan

perkotaan didasarkan pada kriteria (Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor

34
63 tahun 1993 tentang Garis Sempadan Sungai, Daerah Manfaat Sungai, Daerah

Penguasaan Sungai dan Bekas Sungai) :

a) Sungai yang mempunyai kedalaman tidak lebih dari 3 (tiga) meter, garis

sempadan ditetapkan sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) meter dihitung dari tepi

sungai pada waktu ditetapkan.

b) Sungai yang mempunyai kedalaman tidak lebih dari 3 (tiga) meter sampai

dengan 20 (dua puluh) meter, garis sempadan dan ditetapkan sekurang-

kurangnya 15 (lima belas) meter dari tepi sungai pada waktu ditetapkan.

c) Sungai yang mempunyai kedalaman meksimum lebih dari 20 (dua puluh)

meter, garis sempadan ditetapkan sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) meter

dihitung dari tepi sungai pada waktu yang ditetapkan.

Garis sempadan sungai tidak bertanggul yamg berbatasan dengan

jalan adalah tepi bahu jalan yang bersangkutan, dengan ketentuan kontruksi dan

penggunaan jalan harus menjamin bagi kelestarian dan keamanan sungai serta

bangunan sungai. Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

tidak terpenuhi, maka segala perbaikan atas kerusakan yang timbul pada sungai

dan bangunan sungai menjadi tanggung jawab pengelola jalan.

Ketentuan tentang sempadan sungai juga tercantum dalam Peraturan

Pemerintah Nomor 38 Tahun 2011, Sempadan sungai dibedakan pada sungai

bertanggul, sungai tidak bertanggul dan sungai yang terpengaruh oleh pasang

surut dan tsunami. Kriteria dan batas sempadan menurut PP No. 38 tahun 2011

dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

35
Tabel 2.2 Kriteria dan Batas Sempadan Sungai
menurut PP No. 38 tahun 2011
Lebar Kawasan Perkotaan Kawasan Perkotaan
Sempadan
Kriteria LS Kriteria LS
Sungai (LS)
Sungai Dari kaki Dari Kaki Tanggul
5M 3M
Bertangul tanggul luar Luar
Tinggi
Sungai Besar, Lebar
100 Tebing
DAS Sungai 50 M 30 M
M (H) > 20
> 300 KM2 (L) > 15 M
M
Sungai Tidak Sungai Sedang, 3m<L≤
3m<H≤
Bertanggul 50<DAS<300 75 M 15 25 M 15 M
20 M
KM2 M
Sungai Kecil,
DAS 50 M L≤3M 10 M H≤3M 10 M
< 50 KM2
Sungai
terpengaruh
50 – 100 Meter, Diukur dari garis muka air pada pasang tertinggi.
pasang surut
dan tsunami
Sumber : PP No. 38 tahun 2011

2.5 Sistem Informasi Geografi (SIG)

2.5.1 Pengertian Sistem Informasi Geografi (SIG)

Sistem Informasi Geografi (SIG) merupakan sistem berbasis komputer

yang digunakan untuk menyimpan dan memanipulasi informasi–informasi geografis.

Sistem informasi geografis dirancang untuk mengumpulkan, menyimpan, serta

menganalisis objek-objek dan fenomena- fenomena yang mengetengahkan lokasi

geografis sebagai karakteristik yang penting atau kritis untuk dianalisis. Dengan

demikian, Sistem Informasi Geografis merupakan sistem komputer yang memiliki

empat kemampuan dalam menangani data yang bereferensi geografis, yaitu:

masukan, keluaran, manajeman data (penyimpanan dan pemanggilan data), serta

analisis dan manipulasi data Prahasta,(2007) dalam saputra (2017).

Menurut ESRI tahun 1990, Sistem Informasi Geografis adalah kumpulan

yang terorganisir dari perangkat keras komputer, perangkat lunak, data geografi dan

36
personil yang dirancang secara efisien untuk memperoleh, menyimpan, meng-

upgrade, memanipulasi, menganalisis dan menampilkan semua bentuk informasi yang

bereferensi geografis.

Sistem informasi geografis dibagi menjadi dua kelompok yaitu sistem

manual (analog) dan sistem otomatis (yang berbasis digital komputer). Perbedaan

yang mendasar terletak pada cara pengelolaannya. Sistem Informasi manual biasanya

paling menggabungkan beberapa data seperti peta, lembar transparansi untuk

tumpang susun (overlay), foto udara, laporan statistik dan laporan survey lapangan.

Kesemua data tersebut dikompilasi dan dianalisis secara manual dengan alat tanpa

komputer. Sedangkan sistem informasi otomatis biasanya melakukan semua proses

tersebut dengan bantuan alat computer.

2.5.2 Subsistem Sistem Informasi Geografis (SIG)

Sistem Informasi Geografis (SIG) dapat diuraikan menjadi beberapa

subsistem (Prahasta, 2005), yaitu :

1. Data Input

Subsistem ini bertugas untuk mengumpulkan dan mempersiapkan data spasial dan

atribut dari berbagai sumber. Subsistem ini pula yang bertanggung jawab dalam

mengkonversi atau mentransformasikan format-format data-data aslinya ke dalam

format yang dapat digunakan oleh SIG.

2. Data Output

Subsistem ini menampilkan atau menghasilkan keluaran seluruh atau sebagian

basisdata baik dalam bentuk softcopy maupun bentuk hardcopy seperti : tabel,

grafik, peta dan lain-lain.

3. Data Management

37
Subsistem ini mengorganisasikan baik data spasial maupun data atribut ke dalam

sebuah basis data sedemikian rupa sehingga mudah di-update, dan di-edit.

4. Data Manipulation & Analysist

Subsistem ini merupakan informasi-informasi yang dapat dihasilkan oleh SIG.

Selain itu, subsistem ini juga melakukan manipulasi dan pemodelan data untuk

menghasilkan informasi yang diharapkan.

Gambar 2.3 Sub-Sistem SIG


Sumber : Prahasta, 2005

2.5.3 Sumber Data Sistem Informasi Geografis (SIG)

Adapun sumber data Sistem Informasi Geografis (SIG) adalah sebagai berikut :

1. Data primer

Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari lapangan. Data spasial

primer dapat diperoleh dari pengukuran terestis (pengukuran secara langsung

dilapangan dengan cara mengambil data berupa ukuran sudut dan/atau jarak),

pengukuran fotogrametris (blow-up atau peta foto yang merupakan hasil pemetaan

fotogrametrik), data citra satelit (merupakan hasil rekaman satelit dengan teknik

Remote Sensing) dan pengukuran dengan GPS, sedangkan untuk data non-spasial

primer dapat diperoleh melalui survey langsung dari lapangan.

2. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dengan tidak secara langsung

melakukan survey dilapangan. Data spasial sekunder dapat diperoleh dari peta

38
Rupabumi (Peta Topograpi) dari Bakosurtanal, peta pendaftaran tanah dari BPN,

peta pajak bumi dan bangunan dari PBB dan lain-lain. Sedangkan data non-spasial

sekunder dapat diperoleh dari instansi seperti Biro Pusat Statistik (BPS).

2.5.4 Pengolahan Data SIG

Data adalah bahan dasar berupa fakta, keadaan, kondisi, fenomena, dan

sebagainya mengenai objek, orang dan lain-lain yang dinyatakan oleh nilai (angka,

karakteristik atau symbol-simbol lainnya). Prahasta, (2005) Ada dua jenis data

didalam pembuatan sistem informasi yaitu:

1. Data Spasial (Keruangan)

Data spasial adalah data yang memiliki keruangan dimana berbagai data atribut

terletak dalam berbagai unit spasial. Data spasial dibagi menjadi tiga bagian yaitu:

data spasial titik, garis dan luasan serta diterjemahkan oleh komputer dalam bentuk

simpul (node), bagian/segmen (arc), garis (line), dan polygon (polygon).

2. Data Non-spasial (Atribut)

Data atribut adalah data yang memberi keterangan atau mendeskripsikan data

spasial (keruangan). Data tersebut disimpan untuk melengkapi informasi yang

berkaitan dengan setiap objek yang terproyeksi, dalam pelaksanaannya file atribut

akan dibuat dalam bentuk tabel-tabel dan hubungan antar tabel ini mengacu pada

konsep relasi antar tabel satu dengan yang lainnya dan akan dapat membuat query

dalam menjawab suatu pertanyaan dalam penggunaannya.

2.5.5 Bahan Baku SIG

Basis data geografis (Geographic Digital Database) terdiri dari tiga jenis

data yang berbeda sumbernya, yaitu:

a) Data Raster, data ini bersumber dari hasil rekaman satelit atau pemotretan udara.

Model data Raster menampilkan, menempatkan dan menyimpan data spasial

39
dengan menggunakan struktur matrik atau piksel-piksel yang membentuk grid.

Setiap piksel memiliki nilai tertentu dan memiliki atribut tersendiri, termasuk nilai

koordinat yang unik. Tingkat keakurasian model ini sangat tergantung pada ukuran

piksel atau biasa disebut dengan resolusi.

Gambar 2.4 Struktur Model Data Raster


Sumber : Prahasta, 2005

b) Data Vektor, data bersumber dari hasil pemetaan topografi atau pata tematik, atau

bisa juga dengan melakukan vektorisasi dari data raster menjadi data vektor.

Model data vektor merupakan model data yang paling banyak digunakan, model

ini berbasiskan pada titik (points) dengan nilai koordinat (x,y) untuk membangun

obyek spasialnya. Obyek yang dibangun terbagi menjadi tiga bagian lagi yaitu :

 Titik (point), Contoh : Lokasi Fasilitasi Kesehatan, Lokasi Fasilitas

Kesehatan, dll.

 Garis (line), Contoh : Jalan, Sungai, dll.

 Area (polygon), Contoh : Danau, Persil Tanah, dll.

2.6 Overlay

Overlay adalah prosedur penting dalam analisis SIG (Sistem Informasi

Geografis). Overlay yaitu kemampuan untuk menempatkan grafis satu peta diatas

grafis peta yang lain dan menampilkan hasilnya di layar komputer atau pada plot.

Secara singkatnya, overlay menampalkan suatu peta digital pada peta digital yang lain

40
beserta atribut-atributnya dan menghasilkan peta gabungan keduanya yang memiliki

informasi atribut dari kedua peta tersebut.

Gambar 2.5 Teknik Overlay


Sumber : Aronoff, 1989

a) Overlay Raster

Dalam terminology data raster, fungsi analisis spasial overlay diwujudkan

dalam bentuk pemberlakuan beberapa operator aritmatika yang mencakup

kebanyakan kasus dimana dua masukan citra digital untuk menghasilkan citra

digital lainnya.

b) Overlay Vektor

Pada format ini terdapat beberapa fungsi analisis yaitu :

 Dissolve themes

Dissolve yaitu proses untuk menghilangkan batas antara poligon yang

mempunyai data atribut yang identik atau sama dalam poligon yang berbeda.

Peta input yang telah di digitasi masih dalam keadaan kasar, yaitu poligon-

poligon yang berdekatan dan memiliki warna yang sama masih terpisah oleh

garis poligon. Kegunaan dissolve yaitu menghilangan garis-garis poligon

41
tersebut dan menggabungkan poligon-poligon yang terpisah tersebut menjadi

sebuah poligon besar dengan warna atau atribut yang sama.

 Merge Themes

Merge themes yaitu suatu proses penggabungan 2 atau lebih layer menjadi 1

buah layer dengan atribut yang berbeda dan atribut-atribut tersebut saling

mengisi atau bertampalan, dan layer-layernya saling menempel satu sama lain.

 Clip One Themes

Clip One themes yaitu proses menggabungkan data namun dalam wilayah yang

kecil, misalnya berdasarkan wilayah administrasi desa atau kecamatan. Suatu

wilayah besar diambil sebagian wilayah dan atributnya berdasarkan batas

administrasi yang kecil, sehingga layer yang akan dihasilkan yaitu layer dengan

luas yang kecil beserta atributnya.

 Intersect Themes

Intersect yaitu suatu operasi yang memotong sebuah tema atau layer input atau

masukan dengan atribut dari tema atau overlay untuk menghasilkan output

dengan atribut yang memiliki data atribut dari kedua theme.

 Union Themes

Union yaitu menggabungkan fitur dari sebuah tema input dengan poligon dari

tema overlay untuk menghasilkan output yang mengandung tingkatan atau

kelas atribut.

 Assign Data Themes

Assign data adalah operasi yang menggabungkan data untuk fitur theme kedua

ke fitur theme pertama yang berbagi lokasi yang sama Secara mudahnya yaitu

menggabungkan kedua tema dan atributnya.

42
Teknik yang digunaan untuk overlay peta dalam SIG ada 2 yakni union

dan intersect. Jika dianalogikan dengan bahasa Matematika, maka union adalah

gabungan, intersect adalah irisan. Hati-hati menggunakan union dengan maksud

overlay antara peta penduduk dan ketinggian. Secara teknik bisa dilakukan, tetapi

secara konsep overlay tidak.

Gambar 2.6 Variabel Overlay dalam SIG


Sumber : Aronoff, 1989

2.7 Penelitian Terdahulu


Penelitian terdahulu ini menjadi salah satu acuan penulis dalam

melakukan penelitian sehingga penulis dapat memperkaya teori yang digunakan

dalam mengkaji penelitian yang dilakukan. Dari penelitian terdahulu, penulis

tidak menemukan penelitian dengan judul yang sama seperti judul penelitian

penulis. Namun penulis mengangkat beberapa penelitian sebagai referensi dalam

memperkaya bahan kajian pada penelitian penulis. Berikut merupakan penelitian

terdahulu berupa beberapa jurnal terkait dengan penelitian yang dilakukan

penulis.
Penelitian Oktarian (2016) yang berjudul “Analisis Spasial Perubahan

Penggunaan Lahan di DAS Babon Hulu Terhadap Debit Puncak Sungai Babon

43
Jawa Tengah”, yang bertujuan mengkaji perubahan penggunaan lahan pada tahun

1995, 2005 dan 2014, Mengetahui besaran debit puncak sungai Babon tahun

1995, 2005 dan 2014, Menganalisis keterkaitan perubahan penggunaan lahan di

DAS Babon Hulu terhadap besaran debit puncak Sungai Babon. Metode yang di

gunakan adalah Analisis spasial, Analisis SIG, Analisis rasio debit dan Analisis

deslriptif. Hasil dari penelitian tersebut adalah . Secara keseluruhan permukiman

di DAS Babon Hulu telah bertambah sebesar 2325 ha (34,89%) dalam kurun

waktu 1995 hingga 2014, dimana bertambahnya permukiman sebagai dampak dari

alih fungsi hutan dan tegalan. Kelurahan dengan pertambahan permukiman paling

banyak berada di kelurahan Tembalang, Pedalangan, Bulusan, Srondol Wetan dan

Sendangmulyo, Perubahan penggunaan lahan di DAS Babon Hulu terjadi karena

berbagai faktor baik fisik maupun social, faktor fisik yang mempengaruhi

perubahan penggunaan lahan berupa topografi, jenis tanah, jenis batuan dan dan

bentuk lahan sedangkan faktor sosialnya berupa status kepemilikan lahan,

aktivitas keseharian masyrakat, kebijakan pemerintah, dan aksesibilitas.


Penelitian Trimarmanti (2013) yang berjudul “Evaluasi Perubahan

Penggunaan Lahan Kecamatan di Daerah Aliran Sungai Cisadane Kabupaten

Bogor” yang bertujuan Mengetahui perencanaan tata ruang tahun 2005-2025 dan

pemanfaatan ruang tahun 2010 di wilayah DAS Cisadane Kabupaten Bogor, dan

apakah pemanfaatan ruang tahun 2010 telah sesuai rencana pola ruang RTRW

Kabupaten Bogor tahun 2005-2025, Mengetahui faktor-faktor pengaruh

perubahan penggunaan lahan tahun 2010 beberapa kecamatan di wilayah DAS

Cisadane Kabupaten Bogor dan . Mengetahui pengendalian pemanfataan ruang

beberapa kecamatan yang mengalami perubahan penggunaan lahan di wilayah

DAS Cisadane Kabupaten Bogor. Metode yang di gunakan adalah metode

44
Kualitatif dan Kuantitatif, Analisis Spasial. Hasil dari penelitian tersebut adalah

Alokasi rencana pola ruang tahun 2005-2025 di wilayah studi adalah kawasan

lindung 25,43% merupakan kawasan hutan konservasi dan kawasan budidaya

74,57%; didominasi oleh kawasan pertanian lahan basah 22,78%. Eksisting

penggunaan lahan tahun 2010 di wilayah studi didominasi oleh pertanian dan

tegalan 53,6%; semak dan hutan 28,8%, dan permukiman dan perumahan 15,55%,

Prosentase kesesuaian antara peta rencana pola ruang tahun 2005-2025 dan peta

penggunaan lahan tahun 2010 yaitu sesuai 63,39%, kurang sesuai 26,38%, dan

tidak sesuai 10,23%. Dari prosentase 10,23%; terdapat 3 jenis perubahan

penggunaan lahan yaitu perubahan tutupan lahan 47,65%; perubahan lahan tak

terbangun menjadi lahan terbangun 44,33%; dan perubahan peruntukan lahan

8,02%. Dari total perubahan lahan tak terbangun menjadi lahan terbangun;

65,75% penggunaan lahan perumahan/permukiman, perindustrian dan fasilitas

umum lainnya berada di atas ketetapan kawasan pertanian lahan basah,

Perubahan penggunaan lahan pertanian menjadi lahan perumahan/permukiman

memang benar terjadi dalam kurun waktu sebelum maupun sesudah penetapan

kawasan pertanian lahan basah. Perubahan penggunaan lahan ini menunjukkan

bahwa RTRW belum menjadi acuan dalam pelaksanaan pembangunan, bahwa

perencanaan ruang belum diimplementasikan secara penuh oleh para pelaku

pembangunan, Faktor-faktor pengaruh perubahan penggunaan lahan tersebut,

yaitu:
a. faktor sosial ekonomi (internal), antara lain: kebutuhan rumah

tinggal dan kepemilikan lahan, lokasi strategis dan kemudahan

aksesibilitas, dan ketidaktahuan/ ketidakpahaman terhadap

Peraturan Daerah RTRW/IMB;

45
b. faktor kelembagaan (eksternal), antara lain: kurang intensifnya

sosialisasi Perda RTRW/IMB, dan kurangnya dukungan pemerintah

terhadap keberadaan saluran irigasi yang berfungsi mengaliri lahan

pertanian sehingga menyebabkan penurunan produktivitas dan alih

fungsi menjadi pertanian lahan kering ataupun permukiman.


Penelitian Hilmiansyah dan Ruidarto (2015) yang berjudul “Kajian

perkembangan dan kesesuian lahan permukiman ekssisting di kecamatan

Indramayu” yang bertujuan Mengetahui perkembangan dan kesesuian lahan di

kecamatan Indramayu. Metode yang di gunakan di dalam penelitian ini adalah

Analisis spasial dan analisis kuantitatif deskriptif. Hasil penelitian adalah Hasil

interpretasi citra tahun 2001 menunjukan bahwa kawasan permukiman

berkembang sebesar 458.82 ha, dan pada tahun 2013 berkembang menjadi 707.70

ha Perubahan sebesar 248.48 ha,


Sebaran lahan permukiman terbesar berada di Kelurahan Lemahabang

dengan luasan lahan sebesar 88.23 pada tahun 2013. Kelurahan Lemahabang

terletak di pusat kota, Arah ditribusi permukiman keluar kawasan perkotaan dan

mengarah ke Kecamatan Jatibarang, seperti pada Pekandangan Jaya, Plumbok,

Telukagung. Evaluasi dilakukan pada SBWP 5 dan SBWP 11, pada SBWP 5

terjadi ketidaksesuaian yaitu kawasan permukiman menempati lahan yang

seharusnya pertanian, sedankan pada SBWP 11 ketidaksesuaian terjadi pada

kawasan permukiman yang dibangung di atas sempadan sungai, Daya tampung

penduduk di Kecamatan Indramayu sebesar 427,900 jiwa dengan luas lahan

permukiman yang dapat dikembangkan sebesar 1088.83 ha atau 50%.

Penelitian ini pada dasarnya memiliki beberapa persamaan dan

perbedaan dengan penelitian - penelitian sebelumnya. Perbedaan penelitian yang

46
dilakukan dengan penelitian sebelumnya salah satunya adalah lokasi penelitan

yang berbeda, dan metode analisis yang berbeda- beda. Ringkasan mengenai

perbedaan dan persamaan penelitian sebelumnya dengan penelitian yang

dilakukan penulis, dapat dilihat pada Tabel di bawah ini :

47
Tabel 2.3 Penelitian Terdahulu

Lokasi Metode
No Peneliti Judul Penelitian Tujuan Penelitian Hasil Penelitian
Penelitian Penelitian
1 Deni Analisis Spasial DAS Babon 1. Mengkaji perubahan Analisis 1. Secara keseluruhan permukiman di DAS
Oktarian Perubahan Penggunaan Hulu penggunaan lahan pada Spasial, Babon Hulu telah bertambah
(2016) Lahan Di Das Babon Jawa tahun 1995, 2005 dan analisis sebesar 2325 ha (34,89%) dalam kurun
Hulu Terhadap Debit Tengah 2014. SIG, analisis waktu 1995 hingga 2014, dimana
Puncak Sungai Babon 2. Mengetahui besaran rasio debit, dan bertambahnya permukiman sebagai dampak
Jawa Tengah debit puncak sungai analisis dari alih fungsi hutan dan
Babon tahun 1995, deskriptif tegalan. Kelurahan dengan pertambahan
2005 dan 2014 permukiman paling banyak berada
3. Menganalisis di kelurahan Tembalang, Pedalangan,
keterkaitan perubahan Bulusan, Srondol Wetan dan
penggunaan lahan di Sendangmulyo.
DAS Babon Hulu 2. Besaran debit puncak pada tahun 1995
terhadap besaran debit adalah sebesar 272,04 m3/detik, sedangkan
puncak Sungai Babon. pada tahun 2014 mengalami kenaikan
menjadi 365,89 m3/detik.
3. Perubahan penggunaan lahan di DAS
Babon Hulu terjadi karena berbagai
faktor baik fisik maupun sosial, faktor fisik
yang mempengaruhi perubahan
penggunaan lahan berupa topografi, jenis
tanah, jenis batuan dan bentuk
lahan sedangkan faktor sosialnya berupa
status kepemilikan lahan, aktivitas
keseharian masyrakat, kebijakan pemerintah,

48
Lokasi Metode
No Peneliti Judul Penelitian Tujuan Penelitian Hasil Penelitian
Penelitian Penelitian
dan aksesibilitas.

2 Tessie Evaluasi Perubahan Daerah 1. Mengetahui Metode 1. Alokasi rencana pola ruang tahun 2005-
Krisnaningt Penggunaan Lahan Aliran perencanaan tata ruang kualitatif dan 2025 di wilayah studi adalah kawasan
yas Endang Kecamatan Sungai tahun 2005-2025 dan kuantitatig, lindung 25,43% merupakan kawasan
Trimarmant di Daerah Aliran Sungai Cisadane pemanfaatan ruang analisis hutan konservasi dan kawasan budidaya
i Cisadane Kabupaten Kabupaten tahun 2010 di wilayah spasial, 74,57%; didominasi oleh kawasan
(2013) Bogor Bogor DAS Cisadane pertanian lahan basah 22,78%. Eksisting
Kabupaten Bogor, dan penggunaan lahan tahun 2010 di wilayah
apakah pemanfaatan studi didominasi oleh pertanian dan
ruang tahun 2010 telah tegalan 53,6%; semak dan hutan 28,8%,
sesuai rencana pola dan permukiman dan perumahan 15,55%.
ruang RTRW 2.Prosentase kesesuaian antara peta
Kabupaten Bogor tahun rencana pola ruang tahun 2005-2025 dan
2005-2025. peta penggunaan lahan tahun 2010 yaitu
2. Mengetahui faktor- sesuai 63,39%, kurang sesuai 26,38%,
faktor pengaruh dan tidak sesuai 10,23%. Dari prosentase
perubahan penggunaan 10,23%; terdapat 3 jenis perubahan
lahan tahun 2010 penggunaan lahan yaitu perubahan
beberapa kecamatan di tutupan lahan 47,65%; perubahan lahan
wilayah DAS Cisadane tak terbangun menjadi lahan terbangun
Kabupaten Bogor. 44,33%; dan perubahan peruntukan lahan
3. Mengetahui 8,02%. Dari total perubahan lahan tak
pengendalian terbangun menjadi lahan terbangun;
pemanfataan ruang 65,75% penggunaan lahan
beberapa kecamatan perumahan/permukiman, perindustrian

49
Lokasi Metode
No Peneliti Judul Penelitian Tujuan Penelitian Hasil Penelitian
Penelitian Penelitian
yang mengalami dan fasilitas umum lainnya berada di atas
perubahan penggunaan ketetapan kawasan pertanian lahan basah.
lahan di wilayah DAS 3. Perubahan penggunaan lahan pertanian
Cisadane Kabupaten menjadi lahan perumahan/permukiman
Bogor. memang benar terjadi dalam kurun waktu
sebelum maupun sesudah penetapan
kawasan pertanian lahan basah.
Perubahan penggunaan lahan ini
menunjukkan bahwa RTRW belum
menjadi acuan dalam pelaksanaan
pembangunan, bahwa perencanaan ruang
belum diimplementasikan secara penuh
oleh para pelaku pembangunan ke dalam
sebuah pemanfaatan ruang.
4. Faktor-faktor pengaruh perubahan
penggunaan lahan tersebut, yaitu:
a. faktor sosial ekonomi (internal), antara
lain: kebutuhan rumah tinggal dan
kepemilikan lahan, lokasi strategis dan
kemudahan aksesibilitas, dan
ketidaktahuan/ ketidakpahaman terhadap
Peraturan Daerah RTRW/IMB;
b. faktor kelembagaan (eksternal), antara
lain: kurang intensifnya sosialisasi Perda
RTRW/IMB, dan kurangnya dukungan
pemerintah terhadap keberadaan saluran

50
Lokasi Metode
No Peneliti Judul Penelitian Tujuan Penelitian Hasil Penelitian
Penelitian Penelitian
irigasi yang berfungsi mengaliri lahan
pertanian sehingga menyebabkan
penurunan produktivitas dan alih fungsi
menjadi pertanian lahan kering ataupun
permukiman.

3 Hilmi Kajian perkembangan Kecamatan Mengetahui Analisis . • Hasil interpretasi citra tahun 2001
Hilmansyah dan kesesuian lahan Indramayu perkembangan dan spasial dan menunjukan bahwa kawasan permukiman
, Iwan permukiman ekssisting di kesesuian lahan di analisis berkembang sebesar 458.82 ha, dan pada
Rudiarto kecamatan Indramayyu kecamatan Indramayu kuantitatif tahun 2013 berkembang menjadi 707.70
(2015) deskriptif. ha Perubahan sebesar 248.48 ha.
• Sebaran lahan permukiman terbesar
berada di Kelurahan Lemahabang dengan
luasan lahan sebesar 88.23 ha pada tahun
2013. Kelurahan Lemahabang terletak di
pusat kota, distribusi permukiman berada
di pusat kota.
• Arah ditribusi permukiman keluar
kawasan perkotaan dan mengarah ke
Kecamatan Jatibarang, seperti pada
Pekandangan Jaya, Plumbok, Telukagung.
Evaluasi dilakukan pada SBWP 5 dan
SBWP 11, pada SBWP 5 terjadi
ketidaksesuaian yaitu kawasan
permukiman menempati lahan yang
seharusnya pertanian, sedankan pada

51
Lokasi Metode
No Peneliti Judul Penelitian Tujuan Penelitian Hasil Penelitian
Penelitian Penelitian
SBWP 11 ketidaksesuaian terjadi pada
kawasan permukiman yang dibangung di
atas sempadan sungai.
• Daya tampung penduduk di Kecamatan
Indramayu sebesar 427,900 jiwa dengan
luas lahan permukiman yang dapat
dikembangkan sebesar 1088.83 ha atau
50%
Sumber : Hasil Penelitian, 2018

52

Anda mungkin juga menyukai