420-429
Moh. Adib
moh.adib@fisip.unair.ac.id; http://madib.blog.unair.ac.id
Staf Pengajar Departemen Antropologi, FISIP, Universitas Airlangga, Surabaya
Abstract
Anthropogenic behavior has an impact on climate change and global warming in the form of an increase in
temperature at the earth's surface. The issues of climate change, the development has undergone a
transformation dimension of the issues that are global to the national strategic issues. Such transformation
should receive adequate attention, given climate change, have an impact on a country's national interests.
One thing that should be more serious than anticipated climate change is its impact on agriculture and
national food security. The agricultural sector is the most threatened, suffering and vulnerable to climate
change related to three main factors, namely biophysical, genetic, and management. Extreme climatic
conditions also led to (a) the failure of growth and harvest led to a decrease in productivity and production;
(b) damage to agricultural land resources; (c) an increase in the frequency, area, and weight/intensity of
drought; (d) an increase in moisture; and (e) an increase in the intensity of disturbance of plant pests. This
article is about climate change in Indonesia, the impact of climate change on the agricultural sector, as well
as solutions adapted agricultural sector to climate change.
Abstrak
Perilaku antropogenik telah berdampak pada perubahan iklim (climate change) secara global dan
pemanasan global (global warming) berupa peningkatan suhu pada permukaan bumi. Isu perubahan
iklim, pada perkembangannya telah mengalami transformasi dimensi isu dari yang bersifat global
menjadi isu strategis nasional. Transformasi seperti itu selayaknya memperoleh perhatian yang
memadai, mengingat perubahan iklim, telah berdampak kepada kepentingan nasional suatu negara. Salah
satu hal yang harus diantisipasi secara lebih serius dari perubahan iklim adalah dampaknya terhadap
pertanian dan ketahanan pangan nasional. Sektor pertanian adalah yang paling terancam, menderita dan
rentan (vulnerable) terhadap perubahan iklim yang terkait pada tiga faktor utama, yaitu biofisik, genetik,
dan manajemen. Kondisi iklim yang ekstrim juga menyebabkan: (a) kegagalan pertumbuhan dan panen
yang berujung pada penurunan produktivitas dan produksi; (b) kerusakan sumber daya lahan pertanian;
(c) peningkatan frekuensi, luas, dan bobot/intensitas kekeringan; (d) peningkatan kelembaban; dan (e)
peningkatan intensitas gangguan organisme pengganggu tanaman. Artikel ini berisi tentang perubahan
Iklim di Indonesia, dampak perubahan iklim di sektor pertanian, serta solusi yang diadaptasi sektor
pertanian terhadap perubahan iklim.
1
Makalah sebagai Bagian dari Mata Kuliah Penunjang Disertasi (MKPD) yang telah disusun kembali
dengan sejumlah perbaikan. MKPD pada Program S-3 Ilmu-Ilmu Sosial (IIS) di Pasca Sarjana Universitas
Airlangga dengan Topik “Antropologi Pedesaan” dengan Dosen Pembimbing: Dr. Bambang Hudayana, MA.
Penulis menyampaikan terima kasih atas kritik dan saran yang telah diberikan oleh Bapak Dr. Bambang
Hudayana, MA., yang telah memungkinkan tulisan ini menjadi lebih baik.
BioKultur, Vol.III/No.2/Juli-Desember 2014, hal. 324
Moh. Adib, “Pemanasan Global, Perubahan Iklim, Dampak, dan Solusinya di Sektor Pertanian”, hal.420-429
P
emanasan global (global 2009) menyebutkan bahwa telah terjadi
warming) adalah meningkatnya ke-naikan konsentrasi gas-gas pencemar
suhu pada permukaan bumi tersebut sebesar 0,50 - 1,85% per-
sebagai akibat dari kegiatan tahunnya. Konsentrasi tinggi dari gas-gas
antropogenik dan berdampak pada pencemar tersebut akan memperangkap
perubahan iklim (climate change) secara energi panas matahari yang dipantulkan
global pula. Fenomena tersebut sering oleh permukaan bumi di zona atmosfer.
disebut sebagai efek rumah kaca (green Iklim di Indonesia, dipengaruhi oleh
house effect). Isu perubahan iklim dewasa ‘El Niño-Southern Oscillation’ yang setiap
ini telah mengalami transformasi dimensi beberapa tahun memicu terjadinya cuaca
isu dari yang bersifat global menjadi isu ekstrem. El Niño berkaitan dengan ber-
strategis nasional. Transformasi seperti bagai perubahan arus laut di Samudera
itu selayaknya memperoleh perhatian Pasifik yang menyebabkan air laut
yang proporsional, mengingat perubahan menjadi luar biasa hangat. Kejadian
iklim, telah berdampak kepada sebaliknya, arus menjadi amat dingin,
kepentingan nasional suatu negara. Salah yang disebut La Niña.Yang terkait dengan
satu hal yang harus diantisipasi secara peristiwa ini adalah ”Osilasi Selatan”
lebih serius adalah dari perubahan iklim (Southern Oscillation) yaitu perubahan
adalah dampaknya terhadap pertanian tekanan atmosfer di belahan dunia
dan ketahanan pangan nasional (Putera, sebelah selatan. Perpaduan seluruh
Eka Tarwaca Susila, dan Indradewa, D. fenomena inilah yang dinamakan El Niño-
2009). Southern Oscillation atau disingkat ENSO
Badan dunia yang bertugas (UNDP, 2007).
memonitor isu pemanasan global ini yaitu Indonesia mengalami peristiwa-peristiwa
Intergovernmental Panel on Climate yang sudah terjadi sebagai dampak dari
Change (IPCC, 2005) memperkirakan perubahan iklim ini, seperti perubahan
bahwa antara tahun 1750 dan 2005 pola dan distribusi curah hujan;
konsentrasi karbon dioksida di area meningkatnya kejadian kekeringan, banjir
atmosfer telah meningkat dari sekitar 280 dan tanah longsor; menurunnya produksi
ppm (parts per million) menjadi 379 ppm pertanian atau gagal panen, meningkatnya
per tahun dan sejak itu terus meningkat kejadian kebakaran hutan dibarengi
dengan kecepatan 1,9 ppm per tahun. dengan pencurian dan penjarahan hutan,
Akibatnya, pada tahun 2100 mendatang, meningkatnya suhu di daerah perkotaan,
suhu global dapat naik antara 1,8 hingga dan naiknya permukaan air laut. Sektor
2,9 derajat (UNDP Indonesia, 2007). pertanian adalah yang paling terancam,
Perubahan iklim global, secara lebih detil, menderita dan rentan (vulnerable)
dipicu oleh akumulasi gas-gas pencemar terhadap perubahan iklim yang terkait
di atmosfer terutama karbondioksida pada tiga faktor utama, yaitu biofisik,
(CO2), metana (CH4), dinitrooksida (N2O) genetik, dan manajemen (ICCSR, 2010).
dan klorofluorocarbon (CFC). United Kondisi iklim yang ekstrim antara lain
States Department of Agriculture (USDA), juga menyebabkan: (a) kegagalan pertum-
tahun 2010 (dalam Putera dan Indrawera, buhan dan panen yang berujung pada
teknologi (Surmaini dkk., 2011). 2012,) di wilayah Sub Sahara Afrika Barat
Teknologi yang dapat diadopsi sebagai ternyata para petani setempat mengetahui
strategi adaptasi terhadap perubahan bahwa telah terjadi perubahan iklim
iklim yaitu: penyesuaian waktu tanam, dalam 10 tahun terakhir ini, selain itu
penggunaan varietas unggul tahan petani lebih memilih mengadopsi strategi
kekeringan, rendaman, dan salinitas, serta adaptasi dengan mengubah pola tanam
pengembangan teknologi pengelolaan air; daripada mengubah perbaikan kesuburan
Kedua, adaptasi dalam pengelolaan RAN tanah dan mengubah manajemen
MAPI (KLH, 2007). Adaptasi dalam pengelolaan tanah dan air. Pengubahan
manajemen atau pengelolaan usaha tani pola tanam tersebut dilakukan karena
yang perlu diimplementasikan adalah: (a) faktor sosial-ekonomi petani yang
Melakukan usaha tani hemat air dengan menganggap bahwa mengubah pola
mengurangi tinggi genangan pada lahan tanam adalah lebih mudah dan efisien
sawah; (b) Membenamkan sisa tanaman daripada mengadopsi konservasi tanah
ke tanah sebagai penambah bahan organik secara teknis yang memerlukan modal
tanah untuk meningkatkan kesuburan; (c) yang lebih besar dalam bentuk biaya
Melakukan percepatan tanam dengan maupun tenaga kerja.
teknologi tepat guna antara lain Hasil penelitian Kalinda (tahun 2011
pengolahan tanah minimum (TOT/Tanpa dalam Kurniawati, 2012.) di Zambia
Olah Tanah) atau Tabur Benih Langsung menemukan bahwa sebagian besar petani
(TABEL A); (d) Mengembangkan System mengaitkan perubahan iklim dengan
Rice Intensification (SRI) dan pengelolaan kekuatan-kekuatan supernatural. Selain
Tanaman Terpadu (PTT) dalam rangka itu, dampak kejadian banjir dan
usaha tani hemat air; (e) kekeringan yang dialami petani secara
Mensosialisasikan teknologi hemat air signifikan mempengaruhi peningkatan
melalui sistem irigasi: Sprinkle Irrigation, adopsi pertanian konservasi. Sejauh mana
Trickle Irrigation, Intermitten Irrigation; petani kecil mengaitkan pertanian
(d)Mengembangkan teknologi hemat air konservasi sebagai strategi adaptasi
dengan mengintensifkan lahan basah saat perubahan iklim? Hasilnya ternyata
El Niño dan lahan kering saat La Niña; dan sangat rendah. Kalinda (2011 dalam
(h). Menerapkan good agricultural Kurniawati, 2012) menyimpulkan bahwa
practices (GAP) guna revitalisasi sistem lembaga penyuluh pertanian konservasi
usaha tani yang berorientasi pada kurang memberikan informasi yang
konservasi fungsi lingkungan hidup. memadai tentang keterkaitan pertanian
Prager dan Posthumus, 2010 dan konservasi dengan strategi adaptasi
Kalinda, 2011 (dalam Kurniawati, terhadap perubahan iklim, karena petani
2012:20) berpendapat bahwa menggali hanya mengetahui bahwa teknologi yang
pengetahuan dan persepsi dari adopsi bertujuan untuk konservasi lahan
pengadopsi adalah penting dalam dan air bukan sebagai bentuk adaptasi
mempengaruhi keputusan-keputusan perubahan iklim.
adopsi. Berdasarkan hasil penelitian Petani apel di Nagano Prefecture,
Akponikpe dkk. (2010; dalam Kurniawati, Jepang merespon perubahan iklim dengan
KLH. (2007). Rencana Aksi Nasional Putera, Eka Tarwaca Susila, dan
Mitigasi dan Adaptasi Indradewa, D. (2009).
perubahan Iklim. Kementrian “Perubahan Iklim dan
Negara Lingkungan Hidup. Ketahanan Pangan.” Dalam
Jakarta. web.
<http://www.faperta.ugm.ac.id
Kurniawati, Fitri. (2012). “Pengetahuan /dies/eka_prof_didik.php>
dan Adaptasi Petani Sayuran diakses Jumat, 11 Juli 2014,
Terhadap Perubahan Iklim jam 15.06.
(Studi Kasus : Desa Cibodas,
BioKultur, Vol.III/No.2/Juli-Desember 2014, hal. 428
Moh. Adib, “Pemanasan Global, Perubahan Iklim, Dampak, dan Solusinya di Sektor Pertanian”, hal.420-429