Anda di halaman 1dari 7

UPAYA SEKTOR PERTANIAN DALAM MENGHADAPI

PERUBAHAN IKLIM
Elza Surmaini, Eleonora Runtunuwu, dan Irsal Las

Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Jalan Ir. H. Juanda No. 98, Bogor 16123
Telp. (0251) 8323012, Faks. (0251) 8311256, E-mail: bbsdlp@litbang.deptan.go.id

Diajukan: 17 Maret 2008; Diterima: 27 Oktober 2010

ABSTRAK
Perubahan iklim (climate change) merupakan hal yang tidak dapat dihindari akibat pemanasan global (global warming)
dan diyakini akan berdampak luas terhadap berbagai aspek kehidupan, termasuk sektor pertanian. Perubahan pola curah
hujan, peningkatan frekuensi kejadian iklim ekstrem, serta kenaikan suhu udara dan permukaan air laut merupakan
dampak serius dari perubahan iklim yang dihadapi Indonesia. Pertanian merupakan sektor yang mengalami dampak
paling serius akibat perubahan iklim. Di tingkat global, sektor pertanian menyumbang sekitar 14% dari total emisi,
sedangkan di tingkat nasional sumbangan emisi sebesar 12% (51,20 juta ton CO 2e) dari total emisi sebesar 436,90 juta
ton CO2e, bila emisi dari degradasi hutan, kebakaran gambut, dan dari drainase lahan gambut tidak diperhitungkan.
Apabila emisi dari ketiga aktivitas tersebut diperhitungkan, kontribusi sektor pertanian hanya sekitar 8%. Walaupun
sumbangan emisi dari sektor pertanian relatif kecil, dampak yang dirasakan sangat besar. Perubahan pola curah hujan
dan kenaikan suhu udara menyebabkan produksi pertanian menurun secara signifikan. Kejadian iklim ekstrem berupa
banjir dan kekeringan menyebabkan tanaman yang mengalami puso semakin luas. Peningkatan permukaan air laut
menyebabkan penciutan lahan sawah di daerah pesisir dan kerusakan tanaman akibat salinitas. Dampak perubahan iklim
yang demikian besar memerlukan upaya aktif untuk mengantisipasinya melalui strategi mitigasi dan adaptasi. Teknologi
mitigasi bertujuan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) dari lahan pertanian melalui penggunaan varietas
rendah emisi serta teknologi pengelolaan air dan lahan. Teknologi adaptasi yang dapat diterapkan meliputi penyesuaian
waktu tanam, penggunaan varietas unggul tahan kekeringan, rendaman dan salinitas, serta pengembangan teknologi
pengelolaan air.
Kata kunci: Perubahan iklim, pertanian, mitigasi, adaptasi

ABSTRACT
Efforts of agricultural sector in dealing with climate change

Climate change as an inevitable consequence of global warming is believed to be widely impact on various aspects of
life and development sectors. Changes in precipitation patterns, increase in frequency of extreme climate events, and
rise in temperatures and sea level were serious impacts of climate change faced by Indonesia. Agriculture is most
vulnerable sector to impacts of climate change. At the global level, agricultural sector contributes about 14% of total
emissions, while at the national level agricultural sector contributes 12% (51.20 million tons CO 2e) of the total CO2e
emissions, if the emissions from forest degradation and peatland were not accounted. If the emissions from these
sectors be included, agricultural sector contributes only about 8%. Although the contribution of agricultural sector to the
total emissions is relatively small, the impact is very serious. Changes in rainfall patterns and rising temperatures cause
a significant reduction in agricultural production. Climate extreme events such as floods and droughts cause more
extensive damaged plants. Increasing sea water causes reduction of agricultural land in the coastal areas and damages to
crops due to salinity. Impact of climate change requires an active effort to anticipate it through mitigation and
adaptation strategies. Mitigation technologies aim to reduce glasshouse gas (GHG) emissions from agricultural lands
through the use of low-emission varieties, water management, and land management technologies. Adaptation
technologies include adjusting planting time, use of varieties resistant to drought, soaking, and salinity, and
development of water management technologies.

Keywords: Climate change, agriculture, mitigation, adaptation

ariabilitas dan perubahan iklim studi mutakhir memperlihatkan bahwa Perubahan iklim berdampak terhadap
Vsebagai akibat pemanasan global faktor antropogenik, terutama perkem- kenaikan frekuensi maupun intensitas
(global warming) merupakan salah satu bangan industri yang sangat cepat selama kejadian cuaca ekstrim, perubahan pola
tantangan terpenting pada milenium 50 tahun terakhir telah memicu terjadinya hujan, serta peningkatan suhu dan
ketiga. Sejumlah bukti baru hasil berbagai pemanasan global secara signifikan. permukaan air laut.

Jurnal Litbang Pertanian, 30(1), 2011 1


Hasil kajian the Intergovernmental Panel menerus dalam jangka panjang. Oleh dunia, terutama akibat perubahan tata
on Climate Change (IPCC 2007) karena itu, strategi antisipasi dan penyi- guna lahan dan penggundulan hutan.
menunjukkan bahwa sejak tahun 1850, apan teknologi adaptasi merupakan Namun, berdasarkan hasil inventori
tercatat ada 12 tahun terpanas berdasarkan aspek kunci yang harus menjadi rencana GRK yang dilakukan oleh UNFCCC
data suhu permukaan global. Sebelas dari 12 stra-tegis Kementerian Pertanian dalam (2006), Indonesia berada dalam urutan
tahun terpanas tersebut terjadi dalam waktu rangka menyikapi perubahan iklim dan ke-16 dari 20 negara pengemisi GRK
12 tahun terakhir. Kenaikan suhu total dari mengem-bangkan pertanian yang tahan terbesar di dunia (Gambar 1).
tahun 18501899 sampai dengan 20012005 (resilience) terhadap perubahan iklim. Sektor pertanian melepaskan emisi
mencapai 0,76C. Permukaan air laut rata- Besarnya dampak perubahan iklim ter- GRK ke atmosfer dalam jumlah yang
rata global juga meningkat dengan laju rata- hadap pertanian sangat bergantung pada cukup signifikan, yaitu berupa CO2, CH4,
rata 1,80 mm/tahun dalam kurun waktu tingkat dan laju perubahan iklim di satu dan N2O (Paustian et al. 2004). CO2
tahun 19612003. Kenaikan total per- sisi serta sifat dan kelenturan sumber daya sebagian besar dilepaskan dari proses
mukaan air laut yang berhasil dicatat pada dan sistem produksi pertanian di sisi lain. pembusuk-an oleh mikroba, pembakaran
abad ke-20 diperkirakan mencapai 0,17 m. Untuk itu, diperlukan berbagai penelitian serasah tanaman, dan dari bahan organik
Di banyak tempat di dunia, frekuensi dan pengkajian tentang perubahan iklim tanah (Janzen 2004; Smith 2004). Metana
dan intensitas bencana cenderung me- dan dampaknya terhadap sektor perta- (CH4) dihasilkan apabila dekomposisi
ningkat (Sivakumar 2005). Banjir dan nian, baik sumber daya, infrastruktur, bahan organik terjadi pada kondisi
badai mengakibatkan 70% dari total maupun sistem usaha tani/agribisnis dan kekurangan oksigen, terutama pada proses
bencana, dan sisanya 30% disebabkan ketahanan pangan nasional. fermentasi pencernaan ruminansia,
kekeringan, longsor, kebakaran hutan, Penelitian variabilitas dan perubahan kotoron ternak, dan lahan sawah (Mosier
gelombang panas, dan lain-lain. Laporan iklim yang dilakukan oleh berbagai lem- 2001). N2O di-hasilkan dari transformasi
IPCC juga menunjukkan bahwa kegiatan baga penelitian dan perguruan tinggi mikroba pada tanah dan kotoran ternak
manusia ikut berperan dalam pemanasan masih terbatas, serta belum terintegrasi dan meningkat apabila ketersediaan
global sejak pertengahan abad ke-20. dan bersinergi dengan baik sehingga ha- nitrogen melebihi kebutuhan tanaman,
Pemanasan global akan terus mening- silnya belum dapat menjawab tantangan terutama pada kondisi basah (Smith dan
kat dengan percepatan yang lebih tinggi dan permasalahan secara efektif. Di sisi Conen 2004; Oenema et al. 2005).
pada abad ke-21 apabila tidak ada upaya lain, persepsi dan pemahaman tentang Di tingkat dunia, sektor pertanian me-
menanggulanginya. Banjir adalah bencana perubahan iklim dari berbagai kalangan nyumbang sekitar 14% dari total emisi pada
yang paling sering terjadi (34%), diikuti masih beragam karena adanya senjang tahun 2000. Pada tingkat global, sumber
longsor (16%). Kemungkinan pemanasan informasi antara peneliti/ilmuwan dengan emisi tertinggi sektor pertanian berasal dari
global akan menimbulkan kekeringan dan para pemangku kebijakan, penyuluh, dan penggunaan pupuk, peter-nakan, lahan
curah hujan ekstrim, yang pada gilirannya petani. Oleh karena itu, perlu dilakukan sawah, limbah ternak, dan pembakaran sisa-
akan menimbulkan bencana iklim yang penelitian dan pengkajian yang kompre- sisa pertanian (WRI 2005). Emisi dari
lebih besar (IPCC 2007). Laporan United hensif dan terpadu terhadap dampak kegiatan produksi padi dan pembakaran
Nations Office for the Coordination of perubahan iklim, serta strategi antisipasi biomassa sebagian besar merupakan
Humanitarian Affairs (UNOCHA) meng- dan teknologi adaptasinya. Tulisan ini kontribusi dari negara berkembang, yaitu
indikasikan bahwa Indonesia merupakan memaparkan secara garis besar posisi masing-masing 97% dan 92%, di mana
salah satu negara yang rentan terhadap sektor pertanian dalam perubahan iklim, emisi metana dari padi umumnya berasal
bencana akibat perubahan iklim. baik sebagai emitter, sink (rosot) maupun dari Asia Selatan dan Asia Timur (82%).
Perubahan iklim diyakini akan berdam- sektor yang rentan terhadap dampak Emisi dari pembakaran sabana di Afrika,
pak buruk terhadap berbagai aspek kehi- perubahan iklim (victim). Amerika Latin, dan Karibia menyumbang
dupan dan sektor pembangunan, teruta-ma 74% emisi. Dari negara maju, emisi dari
sektor pertanian, dan dikhawatirkan akan peternakan adalah yang tertinggi (52%)
mendatangkan masalah baru bagi dibanding dari negara berkembang (US-EPA
keberlanjutan produksi pertanian, ter-utama KONTRIBUSI SEKTOR 2006).
tanaman pangan. Pada masa men-datang, PERTANIAN TERHADAP Menurut US-EPA (2006), emisi sektor
pembangunan pertanian akan di-hadapkan PERUBAHAN IKLIM pertanian Indonesia pada tahun 2005
pada beberapa masalah serius, yaitu: 1) mencapai 141 juta ton karbon ekuivalen (Mt
penurunan produktivitas dan pelandaian Peningkatan konsentrasi gas rumah kaca CO2e). Dibandingkan dengan negara lain
produksi yang tentunya mem-butuhkan (GRK), yaitu CO2, CH4, N2O, SF6, HFC, dan seperti Amerika Serikat yang men-capai 442
inovasi teknologi untuk meng-atasinya, 2) PFC terjadi akibat aktivitas manusia seperti Mt CO2e, China 1.171 Mt CO2e, Brasil 598
degradasi sumber daya lahan dan air yang pemanfaatan bahan bakar fosil, Mt CO2e, dan India 442 Mt CO 2e pada
mengakibatkan soil sick-ness, penurunan pengembangan industri, limbah, usaha tahun yang sama, emisi dari sektor pertanian
tingkat kesuburan, dan pencemaran, 3) pertanian dan peternakan, dan konversi lahan Indonesia termasuk kecil.
variabilitas dan peru-bahan iklim yang yang tidak terkendali. Aktivitas ter-sebut Hasil inventori GRK Indonesia dari
mengakibatkan banjir dan kekeringan, serta mengakibatkan terperangkapnya radiasi di Second National Communication (UNDP
4) alih fungsi dan fragmentasi lahan atmosfer sehingga meningkatkan suhu Indonesia 2009) menunjukkan kontribusi
pertanian. permukaan bumi secara global. emisi sektor pertanian yang jauh lebih
Perubahan iklim merupakan proses Indonesia pernah dituding sebagai rendah, yaitu 51,20 Mt CO 2e atau hanya
alami yang bersifat tren yang terus- negara terbesar ketiga penghasil GRK 12% dari total emisi Indonesia (436,90 Mt

2 Jurnal Litbang Pertanian, 30(1), 2011


kelebihan dan kekurangan air. Secara
Total emisi gas rumah kaca (juta ton CO2 ekuivalen) teknis, kerentanan sangat berhubungan
0 1.000 2.000 3.000 4.000 5.000 6.000 dengan sistem penggunaan lahan dan sifat
tanah, pola tanam, teknologi pengelolaan
2003
2003 Eropa Barat
Amerika Serikat tanah, air, dan tanaman, serta varietas
1994 tanaman (Las et al. 2008). Tiga faktor utama
1999 yang terkait dengan perubahan iklim global,
1999 Rusia China Eropa Timur yang berdampak terhadap sektor pertanian
1994
adalah: 1) perubahan pola hujan, 2)
Brasil
meningkatnya kejadian iklim ekstrim
1994

India

1995 Jepang Gas-gas berikut ini adalah yang dilaporkan: (banjir dan kekeringan), dan 3) pening-
2003 Jerman CO2 = Karbon dioksida
katan suhu udara dan permukaan air laut
2004 Kanada CH4 = Gas metana
2003 Inggris 2O = Oksida nitrat PFCs = Per
(Salinger 2005).
2003 Australia flourokarbon HFCs = Perubahan pola hujan telah terjadi di
1990 Meksiko Hidroflourokarbon beberapa wilayah di Indonesia sejak
2003 Prancis SF6 = Sulfur heksaflourida beberapa dekade terakhir, seperti awal
2003 Italia
musim hujan yang mundur pada beberapa
1994 Indonesia
2003 Ukraina
Negara industri dan ekonomi dalam transisi lokasi, dan maju di lokasi lain. Penelitian
1994 Iran Bukan negara industri dan ekonomi dalam transisi Aldrian dan Djamil (2006) menunjukkan,
2003 Spanyol Kelompok negara jumlah bulan dengan curah hujan ekstrim
1994 Afrika Selatan cenderung meningkat dalam 50 tahun
2002 Polandia
terakhir, terutama di kawasan pantai.
1994 Thailand
Hasil analisis pada 26 stasiun hujan di
Jawa Timur dengan periode data 2540
Data tahun terbaru yang tersedia
tahun mengindikasikan telah terjadi
tren penurunan curah hujan musiman
dan tahunan (Boer dan Buono 2008).
Gambar 1. Dua puluh negara penghasil emisi gas rumah kaca tertinggi (UNFCCC Runtunuwu dan Syahbuddin (2007)
2006). menyatakan bahwa pada periode 1879
2006, telah terjadi penurunan jumlah
curah hujan dan perubahan pola hujan di
CO2e), apabila emisi dari degradasi hu- meningkatnya kebutuhan akan pangan. Tasikmalaya, Jawa Barat, yang mengaki-
tan, kebakaran gambut, dan dari drainase Peningkatan emisi tersebut antara lain batkan pergeseran awal musim dan masa
lahan gambut tidak diperhitungkan. disebabkan oleh penggunaan lahan mar- tanam dan menurunkan potensi satu
Apabila emisi dari sektor tersebut di- ginal, peningkatan konsumsi daging, dan periode masa tanam padi (Gambar 3).
perhitungkan maka kontribusi sektor kebijakan perdagangan internasional yang Perubahan pola curah hujan juga me-
pertanian hanya sekitar 8% (Gambar 2). menyebabkan peningkatan peng-gunaan nurunkan ketersediaan air pada waduk,
Emisi GRK diprediksi akan terus energi untuk transportasi. Oleh karena itu, terutama di Jawa. Sebagai contoh, selama
bertambah pada masa mendatang karena selain tetap peduli dengan berusaha 10 tahun rata-rata volume aliran air dari
mengurangi emisi GRK dari sektor DAS Citarum yang masuk ke waduk
pertanian melalui strategi mitigasi, secara menurun dari 5,70 miliar m3/tahun menjadi
simultan juga perlu dilakukan pengkajian 4,90 miliar m3/tahun (PJT 2 2009). Kondisi
Penggunaan lahan, Pembaharuan
perubahan penggunaan dan analisis tentang kapasitas dan laju tersebut berimplikasi terhadap turunnya
BBM
lahan, dan kehutanan penyerapan GRK pada sektor pertanian, kemampuan waduk Jatiluhur mengairi
39%
34% serta penilaian multifungsi pertanian sawah di Pantura Jawa. Kondisi yang sama
terhadap iklim dan lingkungan. ditemui pada waduk lain di Jawa Tengah,
seperti Gajah Mungkur dan Kedung
Ombo. Dengan kondisi perubahan curah
hujan tersebut, jika petani tetap mene-
DAMPAK PERUBAHAN rapkan pola tanam seperti kondisi normal
IKLIM PADA SEKTOR maka kegagalan panen akan semakin
Limbah Emisi
PERTANIAN sering terjadi. Dengan penurunan curah
sementara hujan dan ketersediaan air waduk, petani
9%
39% Pertanian, terutama subsektor tanaman juga perlu mengubah pola tanam padi-padi
Pertanian Industri dan pangan, paling rentan terhadap perubahan menjadi padi-nonpadi.
8% penggunaan produk iklim terkait tiga faktor utama, yaitu bio- Hasil analisis global terhadap indeks
6% fisik, genetik, dan manajemen. Hal ini perubahan iklim, yaitu suatu indeks yang
karena tanaman pangan umumnya meru- mengukur penyimpangan iklim di masa
Gambar 2. Kontribusi emisi dari sektor pakan tanaman semusim yang relatif datang dibandingkan yang terjadi saat
pertanian di Indonesia. sensitif terhadap cekaman, terutama ini, yang dilakukan oleh Baettig et al.

Jurnal Litbang Pertanian, 30(1), 2011 3


(2007) mengindikasikan bahwa nilai
penyimpangan iklim di Indonesia akan Curah hujan
meningkat pada masa mendatang sebesar rata-rata
(mm)
7 dan 8. Nilai tersebut menunjukkan
bahwa Indonesia akan mengalami pe- 200
ningkatan frekuensi kejadian iklim
ekstrim seperti banjir dan kekeringan pada
masa datang. Dampak kejadian banjir dan
kekeringan terhadap kerusakan tanaman
padi sawah pada periode tahun 19892007
menunjukkan tren peningkatan yang
cukup signifikan (Gambar 4). 80
Peningkatan suhu udara global se-lama 60
100 tahun terakhir rata-rata 0,57C 40
(Runtunuwu dan Kondoh 2008). Boer 20
(2007) menggambarkan perubahan su-hu
0
udara di Jakarta dalam periode 1860 1879 1890 1901 1912 1923 1934 1945 1956 1967 1978 1989 2000 2006
2000 yaitu 1,40C pada bulan Juli dan
1,04°C pada bulan Januari (Gambar 5). Tahun
Peningkatan suhu menyebabkan ter-
jadinya peningkatan transpirasi yang Gambar 3. Perubahan pola hujan di daerah Tasikmalaya, Jawa Barat, 18792006.
selanjutnya menurunkan produktivitas
tanaman pangan (Las 2007),
meningkatkan konsumsi air, mempercepat
pematangan buah/biji, menurunkan mutu
Kerusakan tanaman padi
hasil, dan mendorong berkembangnya akibat kekeringan
hama penya-kit tanaman. Berdasarkan (ribu ha)
hasil simulasi tanaman, kenaikan suhu 40
sampai 2C di daerah dataran rendah
dapat menurunkan produksi sampai 40%, 30
sedangkan di dataran sedang dan tinggi
penurunan produksi sekitar 20% 20
(Surmaini et al. 2008). Hasil penelitian
Peng et al. (2004), setiap kenaikan suhu 10
minimal 1C akan menurunkan hasil
0
tanaman padi sebesar 10%. Matthews et 1989 9 0 9 1 9 2 9 3 9 4 9 5 9 6 9 7 9 8 9 9 0 0 0 1 0 2 0 3 0 4 0 5 0 6 0 7
al. (1997) menunjukkan bahwa kenaikan
suhu 1C akan menurunkan produksi 5
7% . Penurunan tersebut disebabkan ber- Kerusakan tanaman padi
kurangnya pembentukan sink, lebih akibat banjir
pendeknya periode pertumbuhan, dan (ribu ha)
meningkatnya respirasi (Matthews dan 70
Wassman 2003).
60
Kenaikan permukaan air laut juga
ber-dampak serius pada sektor 50
pertanian. Dampak paling nyata adalah
penciutan lahan pertanian di pesisir 40
pantai (Jawa, Bali, Sumatera Utara,
Lampung, Nusa Tenggara Barat, dan 30
Kalimantan), ke-rusakan infrastruktur
pertanian, dan peningkatan salinitas 20
yang merusak ta-naman (Las 2007).
Meiviana et al. (2004) mencatat selama 10
periode tahun 19251989, permukaan air
0
laut di Jakarta naik 4,38 mm/tahun, di 1989 9 0 9 1 9 2 9 3 9 4 9 5 9 6 9 7 9 8 9 9 0 0 0 1 0 2 0 3 0 4 0 5 0 6 07
Semarang 9,27 mm/tahun, dan di Surabaya
5,47 mm/tahun. Parry et al. (1992) me- Tahun
nyatakan bahwa pasokan beras dari daerah
Karawang dan Subang, Jawa Barat,
berkurang sekitar 300.000 ton karena Gambar 4. Luas kerusakan tanaman padi akibat banjir dan kekeringan (data
diolah dari Ditlin Tanaman Pangan).

4 Jurnal Litbang Pertanian, 30(1), 2011


°C
Teknologi Mitigasi
28,0
27,5 Juli: 1,40°C/100 tahun y = 0,1424x – 9,9843 Penggunaan varietas padi rendah emisi.
Padi sawah dikenal sebagai sumber utama
emisi gas metana, yaitu antara 20100 Tg
27,0
CH4/tahun (IPCC 1992). Emisi gas
metana ditentukan oleh perbedaan sifat
26,5 fisiologi dan morfologi varietas padi.
Kemampuan varietas padi mengemisi gas
metana bergantung pada rongga aeren-
26,0
khima, jumlah anakan, biomassa, pola
perakaran, dan aktivitas metabolisme.
25,5
Pawitan et al. (2008) telah mengompilasi
y = 0,1039x + 58,901 berbagai varietas padi dan tingkat emisi-
25,0 Januari: 1,04°C/100 tahun nya dan merekomendasikan penggunaan
24,5 beberapa varietas rendah emisi, antara lain
1 86 0 1 88 0 1 90 0 1 92 0 1 94 0 1 96 0 1 98 0 2 00 0 Maros dengan emisi 74 kg CH 4/ha/musim,
Tahun Way Rarem 91,60 kg CH4/ha/musim,
Limboto 99,20 kg CH4/ha/musim, dan
Ciherang dengan emisi 114,80 kg CH 4/ha/
Gambar 5. Tren perubahan suhu Jakarta periode 18602000 (Boer 2007).
musim.
Varietas padi yang dominan ditanam
petani adalah IR64. Namun, saat ini
petani mulai mengganti IR64 dengan
naiknya permukaan laut. Naiknya per- dan adaptasi. Upaya antisipasi ditujukan varietas yang serupa, yaitu Ciherang.
mukaan air laut yang terjadi bersamaan untuk menyiapkan strategi mitigasi dan Selain lebih tahan terhadap hama dan
dengan berkurangnya pasokan air dari adaptasi. penyakit, varietas Ciherang juga lebih
daerah hulu pada musim kemarau men- Pengkajian dampak perubahan iklim rendah meng-emisi gas metana. Dengan
dorong terjadinya intrusi air laut. Salinitas telah dilakukan antara lain terhadap 1) demikian, penanaman varietas Ciherang
air di daerah pesisir akan meningkat yang sumber daya pertanian, seperti pola curah yang makin luas akan mengurangi emisi
mengakibatkan tingginya salinitas tanah. hujan dan musim (aspek klimatologis), GRK dari lahan sawah.
Potensi kehilangan luas lahan sawah sistem hidrologi dan sumber daya air
akibat naiknya permukaan air laut berkisar (aspek hidrologis), serta keragaan dan Penggunaan pupuk ZA sebagai
antara 113.000146.000 ha, lahan kering penciutan luas lahan pertanian di sekitar sum-ber pupuk N. Sumber pupuk N
areal tanaman pangan 16.60032.000 ha, pantai, 2) infrastruktur/sarana dan prasa- seperti ZA dapat menurunkan emisi gas
dan lahan kering areal perkebunan 7.000 rana pertanian, terutama sistem irigasi dan metana 6% dibandingkan dengan urea bila
9.000 ha. Menjelang tahun 2050, tanpa waduk, 3) sistem produksi pertanian, ter- pupuk disebar di permukaan tanah, dan
upaya adaptasi perubahan iklim secara utama sistem usaha tani dan agribisnis, menu-runkan emisi metana hingga 62%
nasional, diperkirakan produksi tanaman pola tanam, produktivitas, pergeseran jenis jika pupuk ZA dibenamkan ke dalam
pangan strategis akan menurun 20,30 dan varietas dominan, produksi, serta 4) tanah (Lindau et al. 1993). Namun, cara
27,10% untuk padi, 13,60% untuk jagung, aspek sosial-ekonomi dan budaya. Ber- ini tidak dapat dipraktekkan pada semua
12,40% untuk kedelai, dan 7,60% untuk dasarkan kajian dampak tersebut telah lokasi, dan sebaiknya diterapkan pada
tebu dibandingkan produksi tahun 2006. dihasilkan berbagai teknologi mitigasi tanah kahat S dan atau pH tinggi. Emisi
Potensi penurunan produksi padi tersebut untuk mengurangi emisi GRK, perbaikan gas metana dengan menggunakan pupuk
terkait dengan berkurangnya lahan sa-wah aktivitas/praktek dan teknologi pertanian, ZA mencapai 157 kg CH4/ha/musim
di Jawa seluas 113.003146.473 ha, di serta teknologi adaptasi dengan mela- (Mulyadi et al. 2001), lebih rendah 12%
Sumatera Utara 1.3141.345 ha, dan di kukan penyesuaian dalam kegiatan dan diban-dingkan bila menggunakan pupuk
Sulawesi 13.67217.069 ha (Handoko et teknologi pertanian. Teknologi mitigasi urea yang mengemisikan metana 179 kg
al. 2008). untuk mengurangi emisi GRK dari lahan CH4/ ha/musim (Setyanto et al. 1999).
pertanian antara lain adalah penggunaan
varietas rendah emisi serta teknologi Aplikasi teknologi tanpa olah tanah.
pengelolaan air dan lahan. Pengolahan tanah secara kering dapat
UPAYA MENGHADAPI Teknologi adaptasi bertujuan mela- menekan emisi gas metana dari tanah
PERUBAHAN IKLIM kukan penyesuaian terhadap dampak dari dibandingkan dengan pengolahan tanah
perubahan iklim untuk mengurangi risiko basah atau pelumpuran. Hal ini karena
Dampak perubahan iklim yang begitu kegagalan produksi pertanian. Teknologi perombakan bahan organik berlangsung
besar merupakan tantangan bagi sektor adaptasi meliputi penyesuaian waktu secara aerobik sehingga C terlepas dalam
pertanian. Peran aktif berbagai pihak tanam, penggunaan varietas unggul tahan bentuk CO2 yang lebih rendah tingkat
diperlukan untuk mengantisipasi dampak kekeringan, rendaman, dan salinitas, serta pemanasannya dibanding CH4. Namun,
perubahan iklim melalui upaya mitigasi pengembangan teknologi pengelolaan air. pembasahan tanah setelah kering dapat

Jurnal Litbang Pertanian, 30(1), 2011 5


memacu emisi gas N2O. Olah tanah minimal disusun berdasarkan kondisi pola tanam IR69502-6-SRN-3-UBN-1-B-1-3, IR70181-
atau tanpa olah tanah mampu menurunkan petani saat ini (eksisting), dengan tiga 5-PMI-1-2-B-1, IR70213-9-CPA-12-UBN-2-
laju emisi gas metana sekitar 31,5063,40% skenario kejadian iklim, yaitu tahun basah 1-3-1, dan IR70215-2-CPA-2-1-B-1-2.
dibanding olah tanah sempurna. Olah tanah (TB), tahun normal (TN), dan tahun
minimal dapat dilakukan pada tanah yang kering (TK). Dalam penggunaannya, peta Teknologi panen hujan. Teknologi ini
bertekstur remah dan sedikit gulma kalender tanam dilengkapi dengan pre- merupakan salah satu alternatif teknologi
(Makarim et al. 1998). diksi iklim untuk mengetahui kejadian pengelolaan air dengan prinsip menam-pung
iklim yang akan datang, sehingga peren- kelebihan air pada musim hujan dan
Teknologi irigasi berselang. Selain canaan tanam dapat disesuaikan dengan memanfaatkannya pada musim kemarau
menghemat air, teknologi irigasi berselang kondisi sumber daya iklim dan air. untuk mengairi tanaman. Teknologi panen
(intermittent) dapat mengurangi emisi gas hujan yang sudah banyak diterapkan adalah
metana dari lahan sawah. Penghematan air Penggunaan varietas unggul tahan embung dan dam parit.
irigasi dapat dilakukan dengan cara kekeringan, rendaman, dan salinitas.
pengairan berselang (mengairi lahan dan Dalam mengantisipasi iklim kering, Teknologi irigasi. Teknologi irigasi
mengeringkan lahan secara periodik Kementerian Pertanian telah melepas yang sudah dikembangkan untuk meng-atasi
dalam jangka waktu tertentu), dan sistem beberapa varietas/galur tanaman yang cekaman air pada tanaman adalah sumur
leb (mengairi lahan kemudian dibiarkan toleran terhadap iklim kering, yaitu padi renteng, irigasi kapiler, irigasi tetes, irigasi
air mengering, lalu diairi lagi). Cara ini sawah varietas Dodokan dan macak-macak, irigasi bergilir, dan irigasi
me-mengaruhi sifat fisiko-kimia tanah Silugonggo, dan galur harapan S3382 berselang. Penerapan teknik irigasi tersebut
(pH dan Eh) yang lebih menguntungkan dan BP23; kedelai varietas Argomulyo bertujuan memenuhi kebutuhan air tanaman
bagi pertumbuhan tanaman karena meng- dan Burang-rang serta galur harapan pada kondisi ketersediaan air yang sangat
hilangkan zat-zat yang bersifat toksik bagi GH SHR/WIL-60 dan GH 9837/W-D-5- terbatas dan meningkatkan nilai daya guna
tanaman, seperti asam-asam organik dan 211; kacang tanah varietas Singa dan air.
H2S, selain dapat menekan emisi gas Jerapah; kacang hijau varietas Kutilang
metana hingga 88% (Sass et al. 1990). dan galur harapan GH 157D-KP-1; serta
Setyanto dan Abubakar (2005) jagung varietas Bima 3 Bantimurung, KESIMPULAN
melaporkan, emisi gas metana pada Lamuru, Sukmaraga, dan Anoman.
varietas padi IR64 dengan irigasi terus- Salah satu dampak dari naiknya per- Perubahan iklim tidak lagi sebagai isu,
menerus dan berselang masing-masing mukaan air laut adalah meningkatnya tetapi telah menjadi kenyataan yang me-
sebesar 254 kg dan 136 kg CH 4/ha, atau salinitas, terutama di daerah pesisir pantai. merlukan tindakan nyata secara bersama
dapat menekan emisi sebesar 49%. Salinitas pada padi sangat erat kaitannya pada tingkat global, regional maupun
dengan keracunan logam berat, terutama nasional. Dalam menyikapi perubahan
Fe dan Al. Sejak tahun 2000 telah dilepas iklim, Kementerian Pertanian telah me-
Teknologi Adaptasi beberapa varietas padi yang tahan ter- nyusun suatu strategi yang meliputi tiga
hadap salinitas, yaitu varietas Way Apo aspek, yaitu antisipasi, mitigasi, dan adap-
Penyesuaian waktu dan pola tanam. Buru, Margasari, dan Lambur, dan di- tasi. Strategi antisipasi dilakukan dengan
Penyesuaian waktu dan pola tanam meru- peroleh beberapa galur harapan GH TS-1 melakukan pengkajian terhadap peru-
pakan upaya yang sangat strategis guna dan GH TS-2. bahan iklim untuk meminimalkan dampak
mengurangi atau menghindari dampak Lahan rawa memiliki potensi dan negatifnya terhadap sektor pertanian.
perubahan iklim akibat pergeseran musim prospek yang besar untuk pengembangan Adaptasi merupakan tindakan penye-
dan perubahan pola curah hujan. Kemen- pertanian, khususnya dalam mendukung suaian sistem alam dan sosial untuk
terian Pertanian telah menerbitkan Atlas ketahanan pangan nasional. Lahan ter- meng-hadapi dampak negatif perubahan
Peta Kalender Tanam Pulau Jawa skala sebut sepanjang tahun atau selama waktu iklim. Upaya tersebut akan bermanfaat
1:1.000.000 dan 1:250.000. Peta tersebut tertentu selalu jenuh air (saturated) atau dan lebih efektif bila laju perubahan iklim
disusun untuk menggambarkan potensi tergenang (waterlogged) air dangkal. tidak melebihi kemampuan upaya
pola dan waktu tanam bagi tanaman pa- Dalam upaya mengoptimalkan peman- adaptasi. Oleh karena itu, perlu diimbangi
ngan, terutama padi, berdasarkan potensi faatan lahan tersebut, telah diperoleh dengan upaya mitigasi, yaitu mengurangi
dan dinamika sumber daya iklim dan air beberapa galur harapan padi yang toleran sumber mau-pun peningkatan rosot
(Las et al. 2007). Peta kalender tanam terhadap genangan, seperti GH TR 1, (penyerap) gas rumah kaca.

DAFTAR PUSTAKA
Aldrian, E. and S.D. Djamil. 2006. Long term change may be most prominent in the 21st dan Lingkungan Pertanian, Bogor, 78
rainfall trend of the Brantas catchment area, century. Geophys. Res. Lett. 34: 6. November 2007. Balai Besar Litbang
East Java. Indones. J. Geogr. 38: 2640. Sumberdaya Lahan Pertanian.
Boer, R. 2007. Fenomena perubahan iklim:
Baettig, M.B., M. Wild, and D.M. Imboden. 2007. Dampak dan strategi menghadapinya. Pro- Boer, R. and A. Buono. 2008. Current and future
A climate change index: where climate siding Seminar Nasional Sumberdaya Lahan climate variability of East Java and its impli-

6 Jurnal Litbang Pertanian, 30(1), 2011


cation on agriculture and livestock. Tech- Meiviana, A., D.R. Sulistiowati, M.H. Soejach- Sass. R.L., F.M. Fisher, Y.B. Wang, and F.T.
nical Report Submitted to UNDP. moen. 2004. Bumi makin panas, ancaman Turner. 1990. Methane emission from rice
perubahan iklim di Indonesia. Kementerian fields: the effect of flood water management.
Handoko, I., Y. Sugiarto, dan Y. Syaukat. 2008.
Lingkungan Hidup dan Yayasan Pelangi Global Biogeochem Cycles (6): 249262.
Keterkaitan Perubahan Iklim dan Produksi
Indonesia. Jakarta. 61 hlm.
Pangan Strategis: Telaah kebijakan independen Setyanto, P., Suharsih, A. Wihardjaka, dan A.K.
dalam bidang perdagangan dan pembangunan. Mosier, A.R. 2001. Exchange of gaseous nitrogen Makarim. 1999. Pengaruh pemberian pupuk
SEAMEO BIOTROP untuk Kemitraan. compound between agricultural system and anorganik terhadap emisi gas metan pada
the atmosphere. Plant Soil 228: 1727. lahan sawah. hlm. 3643. Risalah Seminar
IPCC. 1992. Climate Change 1992: The Supple- Hasil Penelitian Emisi Gas Rumah Kaca dan
mentary Report to the Intergoverenmental Mulyadi, Suharsih, J.J. Sasa, dan H. Suganda.
2001. Penurunan emisi gas metan melalui Peningkatan Produktivitas Padi di Lahan
Panel on Climate Change (IPCC) Scientific Sawah.
Assessment. In J.T. Houghton, B.A. Calen- pemilihan varietas, bahan organik, dan pupuk
dar, and S.K. Varney (Eds.). Cambridge nitrogen pada padi walik jerami. hlm. Setyanto, P. dan R. Abubakar. 2005. Methane
University Press, Cambridge, 200 pp. 469478. Seminar Nasional Pengelolaan emmision from paddy field as influenced by
Lingkungan Pertanian. Pusat Penelitian dan different water regimes in Central Java.
IPCC. 2007. Climate Change 2007: Impacts, Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Indonesian Journal of Agricultural Science
Adaptation and Vulnerability. Contribution of 6(1): 19.
Oenema, O., N. Warage, G.L. Velthof, J.W. van
Working Group II to the Fourth Assess-ment
Gronigen, J. Dolfing, and P.J. Kuikman.
Report of the Intergoverenmental Panel on Sivakumar, M.V.K. 2005. Impacts of natural
2005. Trends in global nitrous oxide emission
Climate Change (IPCC), M.L. Parry, O.F. disasters in agriculture, rangeland and
from animal production systems. Nutr. Cycl.
Canziani, J.P. Palutikof, P.J. van der Linden, forestry: An overview. p. 122. In M.V.K.
and C.E. Hanson (Eds.). Cambridge Agroecosyst. 72: 5165.
Sivakumar, R.P. Motha, and H.P. Das (Eds.).
University Press, Cambridge. Parry, M.L., A.R. Magalhaes, and N.H. Nih. 1992. Natural Disasters and Extreme Events in
The potential socio-economic effects of Agriculture. Springer, Berlin.
Janzen, H.H. 2004. Carbon cycling: A measure of
climate change: A summary of three regional
ecosystem – a soil science perspective. Smith, P. 2004. Engineered biological sinks on
assessments. United Nations Environment
Agric. Ecosyst. Environ. 104: 399417. land. p. 479491. In C.B. Field and M.R.
Programme (UNEP), Nairobi, Kenya.
Raupach (Eds.). Global Carbon Cycle. Integ-
Las, I. 2007. Menyiasati Fenomena Anomali Iklim Paustian, K., B.A. Babcock, J. Hatfield, R. Lal, rating humans, climate and the natural world.
bagi Pemantapan Produksi Padi Nasional B.A. McCarl, S. Maclaughin, A. Mosier, C. SCOPE 62, Island Press. Washington, D.C.
pada Era Revolusi Hijau Lestari. Jurnal Rice, G.P. Robertson, and D. Zilbermen.
Biotek-LIPI. Naskah Orasi Pengu-kuhan 2004. Agricultural Mitigation of Greenhouse Smith, K.A. and F. Conen. 2004. Impact of land
Profesor Riset Badan Litbang Pertanian, Gases: Science and Policy option. CAST management on fluxes of trace greenhouse
Bogor, 6 Agustus 2004. Report R 141 2004. 120 pp. gases. Soil Use Manag. (20): 255263.
Las, I., A. Unadi, K. Subagyono, H. Syahbuddin, Pawitan, H., A.K. Makarim, I. Anas, P. Setyanto, Surmaini, E., Rakman, dan R. Boer. 2008.
dan E. Runtunuwu. 2007. Atlas Kalender I. Amien, Wahyunto, E. Surmaini, dan H.L. Dampak perubahan iklim terhadap produksi
Tanam Pulau Jawa. Skala 1:1.000.000 dan Susilowati. 2008. Update dan penajaman data padi: Studi kasus pada daerah dengan tiga
1:250.000. Balai Penelitian Agroklimat dan emisi dan penyerapan gas rumah kaca ketinggian berbeda. Prosiding Seminar
Hidrologi, Bogor. 96 hlm. subsektor tanaman pangan. Laporan akhir Nasional dan Dialog Sumberdaya Lahan Per-
KP3I. Balai Besar Penelitian dan Pengem- tanian. Balai Besar Penelitian dan Pengem-
Las, I., H. Syahbuddin, E. Surmaini, dan A.M. Fagi.
bangan Sumberdaya Lahan Pertanian. bangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Bogor.
2008. Iklim dan tanaman padi: Tantangan dan
peluang. Dalam Buku Padi: Inovasi Teknologi Peng, S., J. Huang, J.E. Sheelhy, R.C. Laza, R.M. UNDP Indonesia. 2009. Indonesian National
dan Ketahanan Pangan. Balai Besar Penelitian Visperas, X. Zhong, G.S. Centeno, G.S. Greenhouse GAS Inventory under the
Tanaman Padi, Sukamandi. Khush, and K.G. Cassman. 2004. Rice yields UNFCCC: Enabling activities for the pre-
decline with higher night temperature from paration of Indonesia’s Second National
Lindau, C.W., P.K. Ballick, R.D. De Laune, A.R. global warming. Proc. Natl. Acad. Sci. USA Communication to the UNFCCC. United
Mosier, and K.F. Bronson. 1993. Methane
2004; 101: 99719975. Nations Development Programme (UNDP)
mitigation in flooded lousiana rice field. Biol.
Indonesia, Jakarta.
Fert. Soils 15: 174178. PJT2. 2009. Neraca Air Sungai Citarum. http://
jasatirta2.co.id/. [17 April 2009] UNFCCC. 2006. Greenhouse Gas Inventory Sub-
Makarim, A.K., Handoko, I. Las, M. Yacob, H.
mission. Data compillation available on
Pawitan, and J.S. Baharsjah. 1998. Mitigation Runtunuwu, E. dan H. Syahbuddin. 2007. Peru-
UNEP’s Geodata Portal (geodata.grid.
options of green-house gases (GHG) for bahan pola curah hujan dan dampaknya
terhadap periode masa tanam. Jurnal Tanah unep.ch). The United Nations Framework
agriculture. J. Agromet. 13: 1425.
Convention on Climate Change (UNFCCC),
dan Iklim. 26: 112.
Matthews, R.B., M.J. Kropff, T. Horie, and D. Bonn.
Bachelet. 1997. Simulating the impact of Runtunuwu, E. and A. Kondoh. 2008. Assessing
global climate variability and change under US-EPA (United States Environmental Protec-tion
climate change on rice production in Asia and
Agency). 2006. Global Anthropogenic Non-
evaluating options for adoption. Agric. Syst. coldest and warmest periods at different
latitudinal regions. Indones. J. Agric. Sci. CO2 Greenhouse Gas Emission: 1990 2020.
54: 399425.
EPA 430-R-06-003, June 2006. Was-hington
9(1): 718.
Matthews, R.B. and R. Wassman. 2003. D.C.
Modelling the impact of climate change and Salinger, M.J. 2005. Climate variability and
methane reduction on rice production: A WRI. 2005. Navigating the number. World
change: past, present, and future over view.
review. Eur. J. Agron. 19: 573598. Resources Institute (WRI), Washington, D.C.
Climate Change 70: 929.

Jurnal Litbang Pertanian, 30(1), 2011 7

Anda mungkin juga menyukai