Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

ditujukan untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Dasar Teknik


Pengendalian dan Konservasi Lingkungan

MITIGASI DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM PADA SEKTOR


PETERNAKAN DI KABUPATEN SLEMAN BAGIAN SELATAN
D.I YOGYAKARTA

Oleh:
TEP C
Kelompok 6
Taufiq Qurrohman 191710201022
Lovilatul Amri 191710201023
Kholis Mawaddah 191710201024
Syarif Hidayatullah 191710201102

JURUSAN TEKNIK PERTANIAN


FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS JEMBER
2021
BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Perubahan iklim global merupakan salah masalah yang sangat penting untuk
diperbincangkan oleh seluruh dunia. Perubahan iklim global menyebabkan
dampak negatif pada berbagai sektor kehidupan, contohnya seperti pada sektor
peternakan. Beberapa dampak yang dirasakan karena adanya perubahan iklim
antara lain terjadinya peningkatan suhu rata-rata serta peningkatan intensitas
curah hujan dan bergesernya musim hujan. Perubahan iklim disebabkan dari
pemanasan global (global warming), yaitu fenomena peningkatan temperatur
global dari tahun ke tahun karena terjadinya efek rumah. Menurut Sejati (2011)
bahwa ada enam jenis gas yang digolongkan sebagai GRK, yaitu
karbondioksida (CO2), metana (CH4), dinitrooksida (N2O),
sulfurheksafluorida (SFx), perfluorokarbon (PFC) dan hidrofluorokarbon
(HFC). Peningkatan emisi GRK disebabkan karena aktivitas manusia maupun
peristiwa-peristiwa alam sehingga mengalami peningkatan emisi GRK.
Pada sektor peternakan, kegiatan peternakan menjadi salah satu sumber
emisi gas rumah kaca. Tetapi di sisi lain sektor peternakan merupakan salah
satu kegiatan yang terkena dampak perubahan iklim. Perubahan iklim
berdampak negatif pada sektor peternakan baik secara langsung maupun tidak
langsung. Efek langsung terdiri dari kenaikan suhu serta curah hujan dan efek
tidak langsung termasuk penurunan kualitas dan kuantitas pakan, ketersediaan
air yang lebih sedikit dan kerentanan penyakit yang lebih tinggi.
Di sisi lain, sektor peternakan menjadi salah satu penyumbang besar emisi
GRK. Kabupaten Sleman merupakan salah satu daerah yang memiliki letak
geografis yang strategis sehingga daerah ini menjadi salah satu daerah yang
memiliki potensi besar di sektor pertanian dan peternakan. Menurut data dari
Dinas Pertanian Kabupaten Sleman (2016) tercatat total populasi ternak besar
sebesar 57.880 ekor, ternakn kecil sebesar 125.379 ekor dan ternak unggas
sebesar 7.172.824 ekor. Besarnya populasi hewan ternak di Kabupaten Sleman
ini menjadikan daerah ini memiliki potensi GRK yang juga besar terutama emisi
gas metana (CH4) dan gas dinitrogen oksida (N2O), sedangkan gas karbon
dioksida (CO2) tidak dihitung karena telah bernilai nol akibat adanya proses
fotosintesis pada tumbuhan.
Maka upaya untuk mengurangi dampak dan risiko perubahan iklim di sektor
peternakan sangat penting dilakukan. Pengurangan dampak dan risiko
perubahan iklim di sektor peternakan dilakukan dengan mengembangkan upaya
mitigasi dan adaptasi perubahan iklim melalui pengurangan bahaya akibat
iklim, pengurangan kerentanan (dengan cara mengurangi kepekaan dan
meningkatkan kapasitas adaptif) dan juga mengatur keterpaparan terkait ternak.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat dirumuskan permasalahan
sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud mitigasi dan adaptasi?
2. Bagaimana kontribusi emisi GRK pada sektor peternakan di Kabupaten
Sleman?
3. Bagaimana upaya mitigasi pada sektor peternakan di Kabupaten Sleman?
4. Bagaimana upaya adaptasi pada sektor peternakan di Kabupaten Sleman?
5. Bagaimana peran pihak yang terlibat dalam mewujudkan peternakan yang
tangguh perubahan iklim?
6. Bagaimana pengaruh upaya mitigasi dan adaptasi yang dilakukan terhadap
pengurangan emisi GRK?

1.3 Tujuan
Berdasarkan rumusan makalah, tujuan makalah yaitu:
1. Mengetahui pengertian dari mitigasi dan adaptasi.
2. Mengetahui kontribusi emisi GRK pada sektor peternakan di Kabupaten
Sleman.
3. Mengetahui upaya mitigasi pada sektor peternakan di Kabupaten Sleman.
4. Mengetahui upaya adaptasi pada sektor peternakan di Kabupaten Sleman.
5. Mengetahui pihak-pihak yang terlibat dalam mewujudkan peternakan yang
tangguh iklim.
6. Mengetahui pengaruh upaya mitigasi dan adaptasi yang dilakukan terhadap
pengurangan emisi GRK.

1.4 Manfaat
Manfaat dari makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Mampu menjelaskan pengertian dari mitigasi dan adaptasi.
2. Mampu mengetahui kontribusi emisi GRK pada sektor peternakan di
Kabupaten Sleman.
3. Mampu menjelaskan upaya mitigasi pada sektor peternakan di Kabupaten
Sleman.
4. Mampu menjelaskan upaya adaptasi pada sektor peternakan di Kabupaten
Sleman.
5. Mampu mengetahui pihak-pihak yang terlibat dalam mewujudkan
peternakan yang tangguh iklim.
6. Mampu mengetahui pengaruh upaya mitigasi dan adaptasi yang dilakukan
terhadap pengurangan emisi GRK.
BAB 2. PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Mitigasi dan Adaptasi


Iklim adalah rata-rata kondisi cuaca yang merupakan interaksi yang
kompleks antara proses-proses fisik, kimia, biologi yang mencerminkan interaksi
antara geosfer, biosfer yang terjadi pada atmosfer bumi. Karena itu iklim suatu
tempat atau wilayah merupakan deskripsi statistik tentang kondisi atmosfer dalam
jangka waktu yang panjang sehingga menggambarkan rata-rata variabel cuaca
(Murdiyarso, 2003).
Menurut laporan IPCC (2001), sistem iklim merupakan sistem yang saling
berinteraksi dari kelima komponen sistem yang terdapat di planet bumi. Sistem
iklim yang terjadi di planet bumi merupakan sistem yang kompleks yang
melibatkan interaksi dari atmosphere dengan berbagai komponen sistem iklim yang
lain. Perubahan iklim global saat ini jelas akibat meningkatnya suhu rata-rata udara
dan laut, mencairnya salju dan es, serta meningkatnya permukaan air laut (IPCC,
2007). Perubahan iklim terjadi sebagai akibat dari dua hal, yaitu variasi internal
dalam sistem iklim dan variasi eksternal (alamiah maupun anthropogenic).
Perubahan iklim sendiri merupakan sebuah fenomena global karena
penyebabnya bersifat global, disebabkan oleh aktivitas manusia di seluruh dunia.
Selain itu, dampaknya juga bersifat global, dirasakan oleh seluruh mahluk hidup di
berbagai belahan dunia. Menurut UU Nomor 24 Tahun 2007, mengatakan bahwa
pengertian mitigasi dapat didefinisikan serangkaian upaya untuk mengurangi resiko
bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan
kemampuan menghadapi ancaman bencana.
Secara umum pengertian mitigasi adalah usaha untuk mengurangi dan atau
meniadakan korban dan kerugian yang mungkin timbul, maka titik berat perlu
diberikan pada tahap sebelum terjadinya bencana, yaitu terutama kegiatan
penjinakan/peredaman atau dikenal dengan istilah Mitigasi. Mitigasi pada
prinsipnya harus dilakukan untuk segala jenis bencana, baik yang termasuk ke
dalam bencana alam (natural disaster) maupun bencana sebagai akibat dari
perbuatan manusia (man-made disaster).
Menurut Murdiyarso (2001), adaptasi terhadap perubahan iklim adalah
salah satu cara penyesuaian yang dilakukan secara spontan maupun terencana untuk
memberikan reaksi terhadap perubahan iklim. Dengan demikian adaptasi terhadap
perubahan iklim merupakan strategi yang diperlukan pada semua skala untuk
meringankan usaha mitigasi dampak. Adaptasi terhadap perubahan iklim adalah
salah satu cara penyesuaian yang dilakukan secara spontan maupun terencana untuk
memberikan reaksi terhadap perubahan iklim. Dengan demikian adaptasi terhadap
perubahan iklim merupakan strategi yang diperlukan pada semua skala untuk
meringankan usaha mitigasi dampak.

2.2 Kontribusi Emisi GRK dari Peternakan


Sektor peternakan menjadi salah satu sektor yang berkontribusi dalam
meningkatkan konsentrasi gas rumah kaca (GRK) di bumi yang mengakibatkan
terperangkapnya radiasi atmosfer sehingga suhu di permukaan bumi meningkat
secara global. Menurut Akhadiarto et al. (2017) bahwa kontribusi global sektor
pertanian termasuk peternakan terhadap GRK sebesar 17% sampai 32% dari total
emisi GRK dari aktivitas manusia. Secara terperinci, sektor peternakan memiliki
kontribusi yang besar pada emisi gas CH4, N2O dan CO2 dan amonia (Ratnia, 2018).
Emisi gas CH4 yang berasal dari peternakan sebesar 44% yang mana emisi
gas ini bersumber dari fermentasi enterik ternak ruminansia (Akhadiarto et al.,
2017). Fermentasi enterik ini menjadi sumber emisi kedua terbesar sekitar 40% dari
total emisi GRK dari sektor peternakan. Pada proses fermentasi enterik ternak, gas
metana (CH4) berasal dari karbohidrat yang dipecah menjadi molekul sederhana
oleh mikroorganisme yang kemudian diserap ke dalam aliran darah (Ratnia, 2018).
Emisi gas metana (CH4) dari fermentasi enterik di Kabupaten Sleman bagian
selatan sebesar 17,3971 Gg CO2-eq atau 17.397,1 ton CO2-eq pada tahun 2016
(Ratnia, 2018). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Akhadiarto et al.
(2017), diketahui bahwa fermentasi enterik ternak ruminansia di Indonesia
mempunyai kontribusi dari ternak sapi potong sebesar 73,18% dari seluruh total
kontribusi emisi CH4 pada tahun 2013. Selain proses fermentasi enterik ternak
ruminansia, kotoran yang dihasilkan ternak baik ruminansia dan non-ruminansia
juga menjadi sumber dari emisi gas metana (Ratnia, 2018). Namun, emisi gas CH4
yang berasal dari kotoran ternak jumlahnya lebih sedikit jika dibandingkan dengan
yang berasal dari fermentasi enterik (Akhadiarto et al., 2017). Jumlah emisi metana
di Kabupaten Sleman yang berasal dari kotoran ternak berjumlah 11,0753 Gg CO2-
eq atau 11.075,3 ton CO2-eq per tahun (Ratnia, 2018).
Selanjutnya, sektor peternakan juga berkontribusi pada emisi N2O sebesar
29% yang bersumber dari kotoran ternak. Besarnya emisi N2O secara langsung dari
pengelolaan kotoran ternak sebesar 465,85 (Kg N2O/tahun) sedangkan secara tidak
langsung dari pengelolaan kotoran sebesar 69,88 (Kg N2O/tahun). Emisi langsung
dihasilkan melaui proses nitrifikasi dan denitrifikasi nitrogen yang terkandung di
dalam kotoran ternak, sedangkan secara tidak langsung dihasilkan dari nitrogen
volatile hilang yang terjadi dari bentuk ammonia dan NOx (Ratnia, 2018). Emisi
gas N2O ini dihasilkan selama proses penyimpanan, pengolahan dan penumpukan.
Sektor peternakan juga menghasilkan emisi gas CO2, namun emisi gas ini dianggap
berjumlah nol. Menurut Kementerian Lingkungan Hidup (2012) dalam Ratnia
(2018) bahwa gas karbon dioksida (CO2) dianggap nol karena gas karbon dioksida
(CO2) yang dihasilkan tersebut akan berperan dalam proses fotosintesis tumbuhan
yang mana gas tersebut diserap oleh tumbuhan, kemudian dilepaskan kembali ke
atmosfer dalam bentuk gas O2 melalui respirasi.

2.3 Upaya Mitigasi


Emisi gas yang dihasilkan dari sektor peternakan seperti gas metana (CH4)
dan dinitrogen oksida (N2O) memiliki berbagai fungsi, tetapi apabila dilepas ke
atmosfer dapat menjadi gas rumah kaca yang dapat menyebabkan pemanasan
global. Dengan demikian, maka diperlukannya tindakan dan upaya untuk
mengurangi emisi gas-gas yang dihasilkan dari proses aktivitas peternakan. Berikut
ini merupakan tindakan mitigasi dan adaptasi yang dapat dilakukan untuk
mengurangi emisi gas rumah kaca dan sebagai bentuk upaya dalam menghadapi
perubahan iklim.
a. Tindakan Mitigasi pada Fermentasi Enterik Ternak
Pengurangan emisi gas rumah kaca yang dihasilkan oleh ternak dapat
dilakukan dengan meningkatkan efisiensi penggunaan pakan pada ternak.
Pemilihan jenis pakan rendah emisi dan penambahan konsentrat pada pakan
merupakan mitigasi gas rumah kaca pada fermentasi enterik yang dapat dilakukan.
Pembentukan gas rumah kaca dalam pencernaan ternak terjadi didalam rumen,
dimana gas rumah kaca terbentuk melalui reduksi CO2 oleh H2 yang dikatalisis
oleh enzim yang dihasilkan oleh bakteri metanogenik. Semakin banyak hidrogen
yang terbentuk maka akan semakin banyak bahan untuk pembentukan gas rumah
kaca. Sehingga untuk mengurangi produksi hidrogen yang menjadi gas rumah kaca
dalam rumen, maka hidrogen harus dialihkan ke produksi propionat melalui laktat
atau fumarat.
Peningkatan efisiensi penggunaan pakan pada ternak yaitu dengan
meningkatkan pemanfaatan hara dalam rumen sehingga dapat menekan dan
menurunkan populasi pertumbuhan protozoa rumen dan bakteri. Penambahan
komposisi konsentrat pada pakan ternak juga menjadi salah satu cara menurunkan
gas rumah kaca yang bersumber dari pencernaan ternak karena dapat
meningkatkan daya cerna pakan (Wardhana, 2010).
Peningkatan daya cerna pakan dengan penambahan konsentrat dapat
dilakukan dengan penambahan tanaman leguminosa dalam pakan ternak sehingga
dapat mengurangi kandungan serat pada pakan tetapi meningkatkan kandungan
protein sehingga produksi gas rumah kaca dapat berkurang karena adanya
perubahan kelimpahan spesies mikroorganisme dalam saluran pencernaan.
Tanaman leguminosa adalah tanaman kacang-kacangan yang termasuk hijauan
makanan ternak yang memiliki kandungan nutrisi seperti protein tinggi, asam
amino dan mineral yang sangat dibutuhkan oleh ternak (Herawati, 2012).
b. Tindakan Mitigai pada Pengelolaan Kotoran Ternak
Berikut merupakan beberapa tindakan mitigasi yang dapat dilakukan untuk
mengurangi beban emisi gas rumah kaca yang dihasilkan dari kotoran ternak.
1. Biogas
Pembuatan biogas merupakan salah satu kegiatan dengan memanfaatkan
energi hijau dan diubah menjadi sumber bahan bakar sehingga mengurangi
produksi gas rumah kaca ke atmosfer. Gas yang dihasilkan berasal dari aktivitas
anaerobik atau fermentasi dari bahan-bahan organik salah satunya adalah
kotoran ternak.
Proses pembuatan biogas dapat dilakukan dengan menggunakan
biodogester. Kotoran ternak yang telah ditambahkan air dimasukkan ke dalam
digester, kemudian ditutup dan didiamkan selama 30 hari sehingga akan terjadi
proses anaerobik yang menghasilkan biogas. Gas yang dihasilkan dalam biogas
tersebut dapat digunakan untuk kebutuhan bahan bakar, dimana semakin tinggi
kandungan gasnya maka semakin besar kandungan energinya (nilai kalor) dan
sebaliknya apabila kandungan gas dalam biogas semakin kecil maka semakin
kecil juga energi (nilai kalor) yang dihasilkan. Jika kegiatan ini terus dilakukan
oleh banyak peternak, maka daerah tersebut bisa menjadi daerah mandiri energi
yang mampu mengatasi kemiskinan, menciptakan lapangan kerja baru, dan
menyelamatkan lahan kritis menjadi lahan produktif (Gustiar et al., 2014).
2. Kompos
Pengomposan adalah proses bahan organik mengalami penguraian secara
biologis dan pembuatannya dapat dilakukan secara aearob di tempat yang
terlindungi dari sinar matahari dan hujan. Pembuatan kompos ini dapat
dilakukan hanya dengan menggunakan kotoran ternak tanpa menggunakan
campuran bahan lainnya. Pada proses pengomposan ini, dilakukan kegiatan
pengadukan dan pembalikan yang dilakukan setiap satu minggu sekali selama
30 hari. Kompos kotoran ternak yang dihasilkan ini dapat bermanfaat dalam
pemeliharaan ternak serta dapat digunakan sebagai pupuk.
c. Tindakan Mitiasi dengan Kegiatan Sosialisasi Gas Rumah Kaca
Pada umumnya para peternak tidak mengerti akan adanya hubungan antara
perubahan iklim yang terjadi dengan budidaya ternak yang mereka biasa lakukan.
Belum adanya sosialisasi pada peternak menjadi penyebab utamanya. Penyuluhan
atau sosialisasi yang dilakukan dapat berupa pemberian pengetahuan tentang gas
rumah kaca yang dihasilkan dari sektor peternakan kemudian tindakan mitigasi dan
adaptasi apa saja yang dapat dilakukan untuk mengurangi emisi GRK dari sector
ini seperti penambahan tanaman pakan konsentrat sebagai suplemen pada ternak
serta pembuatan kompos dan pembuatan biogas dari kotoran ternak. Selain itu,
dengan memberikan penghargaan kepada peternak yang telah menerapkan
tindakan mitigasi tersebut juga dapat memotivasi peternak yang lain untuk ikut
serta dalam mengurangi emisi gas rumah kaca.

2.4 Upaya Adaptasi


Di dalam sektor peternakan terdapat beberapa adaptasi yang telah
diterapkan oleh Kementerian Pertanian sebagai upaya mengurangi dampak
perubahan iklim.
1. Membenahi sistem perkandangan
Sistem perkandangan merupakan salah satu upaya untuk melindungi ternak
dari pengaruh iklim yang negatif serta menciptakan kondisi iklim mikro yang
optimal. Salah satu upaya untuk mengatasinya yaitu dengan mengendalikan
panas yang diterima dan meningkatkan panas yang terbuang oleh ternak. Cara
yang dapat dilakukan ialah dengan menciptakan kondisi yang kondusif pada
kendang yaitu dengan penggunaan bahan bangunan kandang yang tidak
memantulkan panas (genteng kepingan, genteng berbahan bitumen dan pvc) dan
pengaturan ventilasi kandang, menempatkan bangunan kandang didaerah yang
leluasa terkena angin, dan menanam pohonpohon disekitar kendang agar proses
untuk berproduksi lebih efektif bagi ternak (Aldrian et al., 2011).
2. Memperbaiki mutu pada pakan ternak
Terjadinya perubahan iklim dapat memicu perubahan selera makan ternak
dalam mengonsumsi suatu pakan. Maka dari itu, pakan ternak harus diperbaiki
mutunya agar dapat nafsu makan ternak tetap terjaga dan dapat meningkatkan
produktivitas ternak.
3. Penampungan ternak komunal dan pengelolaan peternakan terpadu
Peternak dapat menerapkan berbagai integrasi seperti ternak dengan kelapa
sawit, ternak dengan padi, serta ternak dengan komoditas lainnya. Melalui
integrasi ini, dapat diperoleh hasil peternakan yang optimal tanpa harus
menyisakan limbah (zero waste). Pola integrasi ternak dengan tanaman pangan
mampu menjamin keberlanjutan produktivitas lahan, melalui perbaikan mutu dan
kesuburan tanah dengan cara pemberian kotoran ternak secara kontinu sebagai
pupuk organik sehingga kesuburan tanah terpelihara. Perubahan pada sistem
tanaman ternak campuran merupakan suatu langkah adaptasi yang dapat
meningkatkan ketahanan pangan dan efisiensi dengan memproduksi lebih banyak
makanan dengan menggunakan sumber daya yang lebih sedikit.
4. Vaksinasi pada ternak
Vaksinasi pada ternak dapat dilakukan agar ternak dapat beradaptasi dengan
perubahan iklim dan perubahan lingkungan yang terjadi. Pemberian vaksin ini
dilakukan untuk meningkatkan kekebalan, daya tahan tubuh, dan kesehatan
ternak sebagai upaya mengurangi kemungkinan serangan penyakit dan mencegah
terjangkitnya suatu penyakit.

2.5 Pihak yang Terlibat Mewujudkan Peternakan yang Tangguh Perubahan


Iklim
Pemanasan global (global warming) merupakan salah satu isu internasional
akibat meningkatnya emisi gas rumah kaca (GRK) yang mempengaruhi mitigasi
dan dampak adaptasi perubahan iklim di belahan dunia. Aktivitas manusia menjadi
salah satu penyumbang meningkatnya emisi GRK dunia. Salah satu sektor yang
menyumbang emisi GRK ialah sektor peternakan, dimana kontribusi emisi GRK
pada peternakan nasional sekitar <1,5% dan peternakan dunia memberikan
kontribusi 12% dari emisi total dunia (Syarifuddin et al., 2019). Hal tersebut tentu
menjadi sebuah tantangan bagi sektor peternakan untuk menekan sumbangan emisi
GRK yang dihasilkan. Upaya mitigasi dan strategi perlu dilakukan untuk ancaman
pemanasan global terhadap kelangsungan sektor peternakan. Upaya tersebut
membutuhkan partisipasi dari semua kalangan agar upaya mitigasi dan strategi
adaptasi yang dilakukan dapat berjalan dengan efektif. Pemerintah, perguruan
tinggi, dunia usaha, lembaga swadaya masyarakat dan masyarakat menjadi pihak
yang harus terlibat untuk kesuksesan upaya penekanan emisi GRK ini.
Pemerintah memiliki peran untuk membuat atau mengeluarkan suatu
regulasi atau aturan yang dapat digunakan sebagai acuan dalam upaya mitigasi di
sektor peternakan. Menurut Peraturan Presiden No 61 Tahun 2011 Pasal 2 tentang
Rencana Aksi Penurunan Gas Rumah Kaca (RAN-GRK), pemerintah menargetkan
penurunan GRK sebesar 0,008 Gt pada tahun 2020, dimana gas CO2 dan CH4
menjadi target pada sektor peternakan (Rusbiantoro dalam Syarifuddin et al., 2019).
Selain itu, pemerintah melalui Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan
Hewan melaksanakan perannya untuk ikut serta berpartisipasi menurunkan emisi
GRK melalui kegiatan berupa pemanfaataan kotoran ternak menjadi pupuk organin,
pengembangan dan pembinaan Biogas Asal Ternak Bersama Masyarkat
(BATAMAS) serta pengembangan integrasi ternak dan tanaman melalui
pengelolaan kotoran ternak menjadi pupuk organik dan pengelolaan limbah
tanaman untuk ternak di sentra perkebunan, tanaman pangan dan hortikultura.
Perguruan tinggi juga menjadi pihak yang harus terlibat dalam upaya
mitigasi dan strategi adaptasi sektor peternakan. Perguruan tinggi memiliki peran
penting dalam membantu pembangunan nasional, diman perguruan tinggi menjadi
salah satu benteng dalam merencanakan tatanan bangsa ke depan. Pentingnya
peranan pergurunan tinggi ini telah ditegaskan dalam Undang-Undang tentang
Pendidikan Tinggi, fungsi dan peran perguruan tinggi sebagai wadah pembelajaran
mahasiswa dan masyarakat, wadah pendidikan calon pemimpin bangsa, pusat
pengembangan ilmu pengetahuan, pusat kekuatan moral, dan sebagai pusat
pengembangan peradaban bangsa. Peran yang dapat dilakukan oleh perguruan
tinggi dalam membantu upaya mitigasi dan adaptasi GRK yaitu melakukan
penelitian dan pengembangan untuk mewujudkan teknologi dan inovasi di bidang
peternakan, salah satunya melalui Sekolah Ternak Rakyat (STR).
Dunia usaha terutama usaha peternakan, dimana pelaku usaha ini ialah
peternak menjadi pihak yang harus terlibat langsung dalam upaya mitigasi ini.
Pelaku usaha peternakan ini dapat menerapkan teknologi mitigasi berupa
pengembangan kualitas pakan ternak (Silakse dan Jerami Amoniasi), penggunaan
Urea Molasse Multinutrient Block (UMBB), program pembiakan jangka panjang
dan pengembangan biogas dari limbah ternak (Purnomo, 2016). Implementasi
teknologi tersebut dapat menurunkan emisi hingga 12,5% pada tahun 2030
mendatang.
Pengurangan konsumsi masyarakat terhadap ternak ruminansi merupakan
salah satu upaya penekanan emisi gas dari sektor peternakan. Hal tersebut karena
hewan ternak ruminansia seperti sapi, kambing dan domba menyebabkan emisis
GRK sekitar 19 hingga 48 kali lebih tinggi dibandingkan dengan produksi tanaman
pangan yang mengandung protein tinggi. Mengurangi jumlah produksi hewan
ternak dapat mengurangi populasi hewan ternak sehingga memberikan keuntungan
bagi ketahanan pangan, kesehatan manusia dan konservasi lingkungan.

2.6 Pengaruh Upaya Mitigasi dan Adaptasi dalam Pengurangan Emisi GRK
Upaya mitigasi dan adaptasi melalui kegiatan-kegiatan di atas telah mampu
membantu dalam pengurangan emisi GRK yang berasal dari sektor pertanian.
Meskipun jumlah pengurangan masih tergolong sedikit, namun hal tersebut telah
dapat dikategorikan bahwa upaya mitigasi dan adaptasi yang dilakukan membawa
dampak positif baik untuk bumi serta kehidupan makhluk hidup di dalamnya.
Perbaikan makan ternak dengan penambahan bahan tambahan yang dapat
memanipulasi fermentasi enterik dapat membantu mengurangi emisi CH4 akibat
sistem pencernaan ternak. Menurut Akhadiarto et al. (2017) bahwa penambahan
minyak essensial dari cengkeh dan kulit jeruk manis mampu mengurang emisi gas
CH4 in vitro yang berasal dari fermentasi enterik sebesar 12,31 ml/Bk dan 14,90
ml/BK pakan yang dikonsumsi ternak tersebut. Selain itu, pemberian suplemen
yang mengandung Urea Molasse Multinutrient Block sebagai pakan tambahan juga
mampu mengurangi fluks dan emisi GRK sebesar 19% (Pranomo, 2016).
BAB 3. PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan diatas, dapat disimpulkan sebagai berikut yaitu:
1. Mitigasi merupakan upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik bencana
alam maupun bencana dari perbuatan manusia. Sedangkan adaptasi
merupakan salah satu respon yang dilakukan oleh manusia dalam
menghadapi perubahan iklim.
2. Kontribusi GRK pada sektor peternakan di Kabupaten Sleman bagian
Selatan yaitu emisi gas CH4 sebesar berjumlah 11,0753 Gg CO2-eq atau
11.075,3 ton CO2-eq per tahun dan emisi gas N2O secara langsung sebesar
465,85 (Kg N2O/tahun) sedangkan secara tidak langsung sebesar 69,88 (Kg
N2O/tahun).
3. Upaya mitigasi merupakan upaya yang dilakukan oleh manusia dengan cara
mengurangi emisi gas-gas yang dihasilkan dalam proses aktivitas
peternakan. Tindakan dalam upaya mitigasi yaitu melalui fermentasi enteric
ternak, pengelolaan kotoran ternak, dan melakukan kegiatan sosialisasi
GRK.
4. Tindakan upaya mitigasi yang telah diterapkan oleh kementerian pertanian
dalam menghadapi perubahan iklim yaitu membenahi sistem perkandangan,
memperbaiki mutu pada pakan ternak, pengelolaan peternakan terpadu dan
vaksinasi pada ternak.
5. Tindakan atau upaya mitigasi dan adaptasi membutuhkan dukungan dari
pemerintah yang berperan untuk membuat peraturan dalam upaya mitigasi
dan adaptasi, perguruan tinggi berperandalam melakukan penelitian dan
mengembangkan ternologi serta melakukan pembinaan kepada masyarakat
dalam menghadapi perubahan iklim, dunia usaha yang berperan untuk
menerapkan usaha peternakan yang ramah lingkungan serta masyarakat
yang berperan untuk mengurangi konsumsi dari daging ternak.

3.2 Saran
Berdasarkan hasil pembahasan diatas, berikut beberapa saran yang diberikan
yaitu:
1. Membutuhkan adanya kerjasa yang baik antara pemerintah dengan peternak
untuk memberikan penyuluhan terkait bahayanya gas rumah kaca dan
dampak yang dihasilkan.
2. Membutuhkan adanya komitmen untuk sama-sama dalam upaya mitigasi
dan adaptasi pada perubahan iklim agar emisi gas rumah kaca berkurang
serta dapat menyesuaikan dengan perubahan iklim yang terjadi.
3. Perlu adanya inovasi untuk menghadapi pengaruh perubahan iklim
khususnya pada sektor peternakan.
DAFTAR PUSTAKA

Akhadiarto, S. dan M. N. Rofiq. 2017. Estimasi Emisi Gas Metana dari Fermentasi
Enterik. Jurnal Teknologi Lingkungan, 18(1):1-8.
Aldrian, E., M. Karmini, dan Budirman. 2011. Adaptasi dan Mitigasi Perubahan
Iklim di Indonesia. Jakarta Pusat: Pusat Perubahan Iklim dan Kualitas
Udara.
Anonim. 2007. UU RI No 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana
Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa. Presiden Republik Indonesia. 2007.
Jakarta
Gustiar, F. (2014). Reduksi Gas Metana (CH4) dengan Meningkatkan Komposisi
Konsentrat dalam Pakan Ternak Sapi. Jurnal Peternakan Sriwijaya,
3(1):14-24.
Herawati, T. 2012. Refleksi Sosial dari Mitigasi Emisi Gas Rumah Kaca pada
Sektor Peternakan di Indonesia. Jurnal Wartazoa, 22(1):35-45.
IPCC 2007: Climate change 2007: Mitigation. Contribution of Working Group III
to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate
Change [B.Metz, O. R. Davison, P. R. Bosch, R. Dave, and L. A. Meyer
(eds)], Cambridge: Cambridge University Press.
IPCC. 2001. Climate Change 2001: The Scientific Basis. Contribution of Working
Group I to the Third Assessment Report of the Intergovernmental Panel on
Climate Change. Edited by Houghton, J.T. et al. Cambridge University Press.
Cambridge. UK.
Murdiyarso, D. 2003. Sepuluh Tahun Perjalanan Negosiasi Konvensi Perubahan
Iklim. Kompas, Jakarta.
Purnomo, A. 2016. Potensi Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca pada Pengelolaan
Kotoran Hewan Sapi Melalui Pemberian Pakan Tambahan. Jurnal Hutan
Pulau-Pulau Kecil, 111-116.
Ratnia, D. (2018). Inventarisasi Emisi Gas Rumah Kaca (CH4 dan N2O) dari
Sektor Peternakan Kabupaten Sleman Bagian Selatan D.I Yogyakarta.
Yogyakarta: Universitas Islam Yogyakarta.
Surmaini, E., E. Runtunuwu, dan I. Las. 2011. Upaya Sektor Pertanian dalam
Menghadapi Perubahan Iklim. Jurnal Litbang Pertanian, 30(10):1-7.
Syarifuddin, H., A. R. Sy. dan D. Devitriano. 2019. Inventarisasi Emisi Gas Rumah
Kaca (CH4 dan N2O) Dari Sektor Peternakan Sapi Dengan Metode Tier-1
IPCC di Kabupaten Muaro Jambi. Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Peternakan,
22(2):84-94.
Wardhana, W.A. 2010. Dampak Pemanasan Global Bencana Mengancam Umat
Manusia. Sebab, Akibat dan Usaha Penanggulangannya. Yogyakarta: C.V Andi
Offset (Penerbit Andi).
Zoebar, M. A., A. Sasmita, dan Edward. 2019. Total Jumlah Hewan Ternak yang
Dihasilkan dari Kegiatan Peternakan Kota. JOM FTEKNIK, 6(1):1-5.

Anda mungkin juga menyukai