Anda di halaman 1dari 57

PETA KETAHANAN DAN KERAWANAN PANGAN

Food Security and Vulnerability Atlas (FSVA)


KABUPATEN KUPANG
Tahun 2021

DINAS PERTANIAN DAN KETAHANAN PANGAN


KABUPATEN KUPANG
2021
SAMBUTAN BUPATI KUPANG

KETAHANAN PANGAN MERUPAKAN SALAH SATU PRIORITAS


PEMBANGUNAN NASIONAL, MELALUI REVITALISASI PERTANIAN,
KEHUTANAN, PERIKANAN, PEMERINTAH SELALU BERUPAYA
MENINGKATKAN KETERSEDIAAN PANGAN, HASILNYA ADALAH PADA
TAHUN 2008 INDONESIA TELAH MENCAPAI SWASEMBADA PANGAN DAN
KEMBALI MAMPU MELEPASKAN DIRI DARI KRISIS PANGAN DUNIA DI
TAHUN TERSEBUT, TIDAK HANYA DALAM ASPEK KETERSEDIAAN SAJA,
PEMERINTAH JUGA BERUPAYA UNTUK MENINGKATKAN AKSES
KESEHATAN, SERTA ASPEK INFRASTRUKTUR UNTUK MEMPERLANCAR
DISTRIBUSI PANGAN BAGI SELURUH MASYARAKAT, HASILNYA ADALAH
ADANYA PERUBAHAN YANG CUKUP NYATA DALAM HAL AKSES
TERHADAP VASILITAS KESEHATAN, UMUR HARAPAN HIDUP YANG LEBIH
TINGGI DAN BALITA KURANG GIZI YANG SEMAKIN MENURUN.

PETA KETAHANAN DAN KERENTANAN PANGAN / FOOD SECURITY


AND VULNERABILITY ATLAS ( FSVA ) TAHUN 2021 YANG DIHASILKAN
OLEH DINAS PERTANIAN DAN KETAHANAN PANGAN KABUPATEN
KUPANG BEKERJA SAMA DENGAN DINAS PERTANIAN DAN KETAHANAN
PANGAN PROPINSI NUSA TENGGARA TIMUR, DIBANTU 0LEH WORLD
FOOD PROGRAMME ( WFP ) DALAM PEMBUATAN PETA, KABUPATEN
KUPANG SECARA KOMPOSIT TERDAPAT 72 DESA YANG PERLU
MENDAPAT PERHATIAN KHUSUS YAKNI 6 DESA ( PRIORITAS I ), 29 DESA
( PRIORITAS II ), DAN 17 DESA ( PRIORITAS III ) SERTA MERUPAKAN
KONSOLIDASI BERBAGAI ASPEK YANG BERKAITAN DENGAN KETAHANAN
PANGAN SEPERTI KETERSEDIAAN PANGAN, AKSES PANGAN, DAN
DISTRIBUSI PANGAN SERTA GIZI / KESEHATAN MASYARAKAT .
BERDASARKAN HASIL ANALISIS PENYUSUNAN PETA KETAHANAN DAN
KERENTANAN PANGAN / FOOD SECURITY AND VULNERABILITY ATLAS
( FSVA ) INI DAPAT DIJADIKAN REVERENSI DAN PEDOMAN BAGI UPAYA
UPAYA UNTUK MENURUNKAN KERAWANAN PANGAN DAN
KERENTANAN PANGAN.

SESUAI DENGAN ARAH KEBIJAKAN RENCANA PEMBANGUNAN


JANGKA MENENGAH DAERAH ( RPJMD ) KABUPATEN KUPANG TAHUN
2019 – 2024 UNTUK MENDUKUNG REVOLUSI 5P ADALAH GERAKAN
MENJADIKAN KEABUPATEN KUPANG SEBAGAI DAERAH MAJU , MANDIRI
DAN SEJAHTERA. REVOLUSI 5P MENJADI SEMANGAT DAN NILAI
PERUBAHAN KOLEKTIF SEMUA PEMANGKU KEPENTINGAN DAERAH
DALAM MENGEMBANGKAN SEKALIGUS MENINGKATKAN
PRODUKTIVITAS DAERAH SECARA REVOLUSIONER PADA LIMA BIDANG
UNGGULAN KABUPATEN KUPANG YAITU : BIDANG PERTANIAN, BIDANG
PERKEBUNAN, BIDANG PETERNAKAN, BIDANG PERIKANAN, DAN
PARAWISATA.

UNTUK MENDUKUNG REVOLUSI 5P PENYUSUNAN PETA


KETAHANAN DAN KERENTANAN PANGAN / FOOD SECURITY AND
VULNERABILITY ATLAS ( FSVA ) TAHUN 2021 MENCAKUP SAMPAI KE
TINGKAT DESA SEHINGGA PEMERINTAH DAPAT MEMPRIORITASKAN
DAN MENSINERGIKAN SUMBER DAYA YANG DIMILIKI UNTUK
MENURUNKAN KERAWANAN PANGAN , DAPAT MENDETEKSI LEBIH DINI
SEHINGGA TIDAK MENIMBULKAN DAMPAK YANG LEBIH BESAR.

TERIMA KASIH DISAMPAIKAN KEPADA WORLD FOOD PROGRAMME


( WFP ) , DINAS PERTANIAN DAN KETAHANAN PANGAN PROPINSI NUSA
TENGGARA TIMUR YANG TELAH BEKERJA SAMA DENGAN DINAS
PERTANIAN DAN KETAHANAN PANGAN KABUPATEN KUPANG TELAH
KATA PENGANTAR

UNDANG UNDANG NOMOR 18 TAHUN 2012 TENTANG


PANGAN,MENYEBUTKAN BAHWA PANGAN MERUPAKAN KEBUTUHAN
DASAR MANUSIA YANG PEMENUHANNYA MENJADI HAK ASASI SETIAP
RAKYAT INDONESIA DALAM MEWUJUDKAN SUMBER DAYA MANUSIA
BERKUALITAS UNTUK MELAKSANAKAN PEMBANGUNAN NASIONAL.
SELANJUTNYA DALAM PASAL 114 DAN PP NO 17 TAHUN 2015 PASAL 75,
PEMERINTAH DAN PEMERINTAH DAERAH BERKEWAJIBAN
MEMBANGUN, MENYUSUN DAN MENGEMBANGKAN SISTIM INFORMASI
PANGAN DAN GIZI TERINTEGRASI, PP 17 TAHUN 2015 PASAL 82.
PENYAJIAN DAN PENYEBARAN DATA DAN INFORMASI PANGAN DAN GIZI
DILAKUKAN MELALUI PENGATURAN AKSES DAN PENGGUNAAN DATA
SECARA BERKALA DAN ATAU SEWAKTU WAKTU .
PERENCANAAN KETERSEDIAAN PANGAN MERUPAKAN SALAH
SATU ASPEK PENTING DALAM KERANGKA PEMANTAPAN KETAHANAN
PANGAN WILAYAH, WORD FOOD PROGRAM ( WFP ) DAN DINAS
PERTANIAN DAN KETAHANAN PANGAN PROPINSI NUSA TENGGARA
TIMUR (NTT ) BEKERJA SAMA DENGAN DINAS KETAHANAN PANGAN
KABUPATEN KUPANG TELAH MELUNCURKAN PETA KETAHANAN DAN
KERENTANAN PANGAN / FOOD SECURITY AND VALUE ATLAS ( FSVA )
TAHUN 2019 YANG MENGISYARATKAN TENTANG DAERAH RAWAN
PANGAN YANG MEMBUTUHKAN PRIORITAS PENANGANAN DAN
BERTUJUAN UNTUK MENYEDIAKAN SARANA BAGI PARA PENGAMBIL
KEBIJAKAN DAN MENENTUKAN SASARAN DAN INTERVENSI UNTUK
MENGATASI KERAWANAN PANGAN DAN GIZI DI TINGKAT KABUPATEN
BERDASARKAN ANALISIS FOOD SECURITY AND VULNERABILITY ATLAS
( FSVA ) 2021, YANG MENGISYARATKAN KECAMATAN DAN DESA YANG
DAFTAR ISI

SAMBUTAN BUPATI
KATA PENGANTAR
RINGKASAN EKSEKUTIF ii

I PENDAHULUAN 1
1.1. Latar Belakang 1
1.2. Kerangka Konsep Ketahanan Pangan dan Gizi 3
1.3. Metodologi 6

2 KETERSEDIAAN PANGAN 11
2.1. Lahan Pertanian 11
2.2. Produksi Pangan 13
2.3. Sarana dan Prasarana Ekonomi 24
2.4. Strategi Pemenuhan Ketersediaan Pangan 25

3 AKSES PANGAN 27
3.1. Tingkat Kesejahteraan Rumahtangga 27
3.2. Akses Penghubung 29
3.4. Strategi Peningkatan Akses Pangan 31

4 PEMANFAATAN PANGAN 32
4.1. Akses Air Bersih 32
4.2. Akses Tenaga Kesehatan 33
4.3.Dampak (outcome) Dari Status Kesehatan 34
4.4. Strategi Pemenuhan Pangan 37

5 KETAHANAN DAN KERENTANAN PANGAN KOMPOSIT 41


5.1. Kondisi Ketahanan Pangan 41
5.2. Faktor Penyebab Kerentanan Pangan 44

6 REKOMENDASI KEBIJAKAN 45

i
RINGKASAN EKSEKUTIF

1. Ketersediaan informasi ketahanan pangan yang akurat, komprehensif, dan tertata


dengan baik sangat penting untuk mendukung upaya pencegahan dan penanganan
kerawanan pangan dan gizi, karena dapat memberikan arah dan rekomendasi kepada
pembuat keputusan dalam penyusunan program, kebijakan, serta pelaksanaan intervensi
di tingkat pusat dan daerah. Penyediaan informasi diamanahkan dalam UU No 18/ 2012
tentang Pangan dan PP No 17/2015 tentang Ketahanan Pangan dan Gizi yang
mengamanatkan Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya
untuk membangun, menyusun, dan mengembangkan Sistem Informasi Pangan dan Gizi
yang terintegrasi.

2. Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan (Food Security and Vulnerability Atlas – FSVA)
merupakan peta tematik yang menggambarkan visualisasi geografis dari hasil analisa
data indikator kerentanan terhadap kerawanan pangan. Informasi dalam FSVA
menjelaskan lokasi wilayah rentan terhadap kerawanan pangan dan indikator utama
daerah tersebut rentan terhadap kerawanan pangan.

3. FSVA Kabupaten merupakan peta yang menggambarkan situasi ketahanan dan


kerentanan pangan wilayah desa. Indikator yang digunakan dalam penyusunan FSVA
merupakan turunan dari tiga aspek ketahanan pangan, yaitu ketersediaan,
keterjangkauan dan pemanfaatan pangan. Pemilihan indikator didasarkan pada: (i)
keterwakilan 3 pilar ketahanan pangan (ii) tingkat sensitifitas dalam mengukur situasi
ketahanan pangan dan gizi; dan (iii) ketersediaan data tersedia secara rutin untuk
periode tertentu yang mencakup seluruh wilayah desa. Enam indikator digunakan dalam
penyusunan FSVA Kabupaten.

4. Indikator pada aspek ketersediaan pangan adalah (1) Rasio luas lahan baku sawah
terhadap luas lahan total; (2) Rasio jumlah sarana dan prasarana ekonomi terhadap
jumlah rumah tangga. Indikator pada akses pangan adalah (1) Rasio penduduk dengan
tingkat kesejahteraan terendah terhadap total jumlah penduduk; (2) Desa dengan akses
penghubung kurang memadai. Indikator pada aspek pemanfaatan pangan adalah: (1)
Rasio rumah tangga tanpa akses air bersih; (2) Rasio tenaga kesehatan terhadap
penduduk.

5. Desa/kelurahan diklasifikasikan dalam 6 kelompok ketahanan pangan dan gizi


berdasarkan pada tingkat keparahan dan penyebab dari situasi ketahanan pangan dan
gizi. Desa/kelurahan di Prioritas 1, 2 dan 3 merupakan wilayah rentan pangan dengan
klasifikasi Prioritas 1 tingkat rentan pangan tinggi, Prioritas 2 rentan pangan sedang, dan
priroritas 3 rentan pangan rendah. Desa/kelurahan di Prioritas 4, 5, dan 6 merupakan
wilayah tahan pangan dengan klasifikasi prioritas 4 tahan pangan rendah, prioritas 5
tahan pangan sedang, sedangkan prioritas 6 yaitu tahan pangan tinggi.

ii
6. Hasil analisis FSVA 2021 menunjukkan bahwa desa rentan pangan Prioritas 1-3 sebanyak
72 Desa dari 160 desa dan 17 kelurahan di Kabupaten Kupang atau (30,7 %) yang terdiri
dari 6 desa ( 3,4 %) Prioritas 1; 29 desa ( 6,4 % ) Prioritas 2; dan 37 desa ( 20,9 % )
Prioritas 3 .

Desa rentan terhadap kerawanan pangan prioritas 1 terdapat di wilayah Kecamatan


Amfoang Selatan (Desa Fatumetan) , Kecamatan Amfoang Barat Daya (Desa Letkole)
Kecamatan Amfoang Utara (Desa Bakuin dan Desa Lilmus) dan Kecamatan Amfoang
Barat Laut (Desa Timau dan Desa Honuk).

Desa rentan terhadap kerawanan pangan prioritas 2 terdapat di wilayah Kecamatan


Amarasi Timur (Desa Enoraen), Kecamatan Amabi oefeto Timur (Desa Pathau dan Desa
Oeniko) Kecamatan Fatuleu (Desa Kiuoni, Desa Sillu), Kecamatan Fatuleu Tengah (Desa
Nonbaun), Kecamatan Fatuleu Barat (Desa Kalali, Desa Naitae, dan Desa Nuataus) dan
Kecamatan Takari (Desa Benu, Desa Tanini, dan Desa Fatukona), Kecamatan Amfoang
Selatan (Desa Fatusuki, Desa Leloboko dan Desa Ohaem II), Kecamatan Amfoang Barat
Daya (Desa Nefoneut), Kecamatan Amfoang Tengah (Desa Binafun dan Desa Bonmuti),
Kecamatan Amfoang Utara (Desa Afoan, Desa Fatunaus dan Desa Kolabe), Kecamatan
Amfoang Barat Laut (Desa Saukibe, Desa Faumes, Desa Oelfatu dan Desa Soliu),
Kecamatan Amfoang Timur (Desa Nunuana, Desa Kifu, Desa Netemnanu Selatan dan
Desa Netemnanu).

Desa rentan terhadap kerawanan pangan prioritas 3 terdapat di wilayah Kecamatan


Semau (Desa Huilelot dan Desa Letbaun), Kecamatan Amarasi Barat (Desa Erbaun),
Kecamatan Taebenu (Desa Bokong dan Desa Baumata Utara), Kecamatan Amabi Oefeto
Timur (Desa Seki, Desa Enolanan dan Desa Oenaunu), Kecamatan Amabi Oefeto (Desa
Niunbaun, Desa Fatuknutu, Desa Raknamo, dan Desa Fatuteta) dan Kecamatan Sulamu
(Desa Pitai) Kecamatan Fatuleu (Desa Camplong II, Desa Naunu, Desa Oebola, Desa
Tolnaku, dan Desa Oebola Dalam), Kecamatan Fatuleu tengah (Desa Nunsaen, Desa
Oelbiteno, dan Desa Pasi), Kecamatan fatuleu Barat (Desa Poto dan Desa Tuakau),
Kecamatan Takari (Desa Noelmina, Desa Kauniki, Desa Hueknutu, Desa Tuapanaf, dan
Desa Oelnaineno), Kecamatan Amfoang Selatan (Desa Ohaem I, Desa Lelogama, dan Desa
Oelbanu), Kecamatan Amfoang Barat Daya (Desa Manubelon dan Desa Biobabarutaen),
Kecamatan Amfoang Tengah (Desa Botobe, dan Desa Fatumonas), Kecamatan Amfoang
Utara (Desa Naikliu), dan Kecamatan Amfoang Timur (Desa Netemnanu Utara) .

7. Karakteristik desa rentan pangan ditandai dengan Rasio Luas lahan baku sawah terhadap
lahan total, Rasio jumlah sarana ekonomi terhadap Rumah tangga, Rasio Prioritas Akses
Jalan, Rasio Tingkat Kesejahteraan, Rasio Tenaga Kesehatan / Jumlah Penduduk, dan
Rasio Rumah Tangga Tanpa Akses Air Bersih mendapatkan skor yang rendah atau berada
pada prioritas 1.

8. Program-program peningkatan ketahanan pangan dan menangani kerentanan pangan


desa diarahkan pada kegiatan:

iii
a. Penanganan kemiskinan melalui penyediaan lapangan kerja, padat karya, redistribusi
lahan; pembangunan infrastruktur dasar (jalan, listrik, rumah sakit), dan pemberian
bantuan sosial; serta pembangunan usaha produktif/UMKM/padat karya untuk
menggerakan ekonomi wilayah
b. Peningkatan akses air bersih melalui penyediaan fasilitas dan layanan air bersih;
sosialisasi dan penyuluhan
c. Penyediaan tenaga kesehatan
d. Peningkatan pelayanan Kwalitas kesehatan.
e. pencegahan dan pengentasan Penyakit menular
f. Peningkatan Diversifikasi dan ketahanan pangan masyarakat

iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG


Kabupaten Kupang merupakan salah satu Kabupaten di Provinsi Nusa tenggara Timur yang
terdiri dari 24 kecamatan dan 160 desa dan 17 Kelurahan dengan total penduduk sebanyak
348.010 jiwa (Sensus Penduduk 2010). Kabupaten Kupang terdiri dari 24 pulau 3 Pulau yang
berpenghuni dan 21 pulau tidak berpenghuni. Secara astronomis kabupaten ini terletak
antara 121 ˚ 30 ’ – 124 ˚ 11 ’ Bujur Timur dan antara 9 ˚ 19 ’- 10 ˚ 57 ’ Lintang Selatan.
Kabupaten Kupang di sebelah utara berbatasan dengan Laut Sawu, sebelah selatan
berbatasan dengan Samudera Hindia dan Kabupaten Rote Ndao, sebelah timur berbatasan
dengan Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), TTU, dan RDTL dan sebelah barat
berbatasan dengan Laut Sawu. Total luas wilayah Kabupaten Kupang adalah 5.431,23 km2
dengan wilayah daratan seluas 5.298,13 km2 dan wilayah perairan (laut) seluas 3.278,25
km2. Secara klimatologis, Kabupaten Kupang dikenal 2 musim yakni musim kemarau dan
musim hujan, Musim Kemarau April – Oktober dan Musim Hujan Desember – Maret, curah
hujan tipe C, dengan rata rata curah hujan 960 mm per tahun. (daerah basah memiliki curah
hujan lebih dari 2.000 mm per tahun dan daerah kering memiliki curah hujan kurang dari
2.000 mm per tahun).

Perekonomian Kabupaten Kupang tahun 2020, tergantung atau didominasi pada sektor
Pertanian yang masih mempunyai peranan tinggi terhadap PDRB atas dasar harga berlaku
yakni 43,70 persen. Sektor perdagangan besar, eceran, reparasi mobil dan sepeda motor
merupakan kontributor tertinggi kedua dengan kontribusi 12,76 persen, kemudian sektor
konstruksi 11,35 persen. PDRB atas dasar harga berlaku menurut lapangan usaha tahun
2016 – 2020 meningkat dibandingkan tahun sebelumnya, di mana tahun 2016 PDRD kab
kupang atas dasar harga berlaku mencapai 6.020.701,7 Milyar, meningkat di tahun 2017
mencapai 6.557.410,9 Milyar, tahun 2018 mencapai 7.143.735,7 Milyar, Tahun 2019
mencapai 7.712.993,7 Milyar, tahun 2020 mencapai 7.764.126,8 Milyar atau naik walaupun
tidak signifikan dari tahun sebelumnya tahun 2019, dengan pertumbuhan ekonomi sebesar
0,65 %.

Kenaikan dan penurunan terjadi di semua sub sektor yang ada dalam sektor lapangan usaha.
Sub sektor pertanian, kehutanan, perikanan mengalami kenaikan dari 3.271.894,2 Milyar
tahun 2019 menjadi 3.392.793,9 Milyar pada tahun 2020. Namun sektor pertambangan dan
penggalian mengalami penurunan tahun 2020 yakni 116.661,3 Milyar dari 139.926,5 Milyar
(tahun 2019). Selain itu ada sektor Industri Pengolahan mengalami penurunan, yaitu dari
146.903,7 milyar menjadi 144.922,3 Milyar ; sektor Pengadaan Listrik dan Gas naik dari
2.056,7 Miliar menjadi 2.232,7 milyar ; dan sektor Pengadaan Air, Pengolahan sampah,
limbah dan daur ulang naik dari 2.022,6 Milyar menjadi 2.084,0 Milyar. Sektor Konstruksi

1
menunjukkan penurunan dari 964.532,3 Milyar menjadi 881.349,3 Milyar, sektor
perdagangan besar dan eceran Reparasi Mobil dan Sepeda motor turun dari 1.024.811,4
Milyar menjadi 991.086,8 Milyar, sektor Transportasi dan pergudangan turun dari 406.489,8
Milyar menjadi 396.508,7 milyar, sektor Penyediaan akomodasi dan makan minum turun
dari 13.934,5 milyar menjadi 12.919,1 milyar rupiah. Sektor Informasi dan komunikasi naik
dari 306.789,4 milyar menjadi 339.515,6 milyar rupiah, sektor jasa keuangan dan asuransi
naik dari 48.909,1 milyar menjadi 51.376,1 milyar rupiah, sektor real Estate turun dari
107.607,2 milyar menjadi 106.111,0 milyar, sektor Jasa Perusahaan turun dari 3.201,8 milyar
menjadi 2.286,3 milyar rupiah, sektor Administrasi pemerintahan pertahanan dan jaminan
sosial wajib naik dari 885.222,9 milyar menjadi 919.044,6 milyar, sektor Jasa Pendidikan naik
dari 308.923,1 milyar menjadi 320.742,2 milyar, sektor Jasa kesehatan dan kegiatan sosial
naik dari 66.966,2 milyar menjadi 73.361,5 milyar, sektor jasa lainnya turun dari 12.802,5
menjadi 11.131,5 milyar rupiah. Kondisi ini menunjukkan bahwa sejak tahun 2016 sampai
dengan tahun 2020 PDRB Kabupaten Kupang Atas Dasar Harga Berlaku menurut lapangaan
usaha senantiasa mengalami kenaikan namun masih sangat banyak hal yang harus dilakukan
oleh pemerintah dan para pemegang kepentingan (stakeholder) dalam melakukan
pembangunan.

Undang-undang No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan Pasal 114 dan Peraturan Pemerintah
No. 17 tahun 2015 tentang Ketahanan Pangan dan Gizi Pasal 75 mengamanatkan
Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berkewajiban
membangun, menyusun, dan mengembangkan Sistem Informasi Pangan dan Gizi yang
terintegrasi, yang dapat digunakan untuk perencanaan, pemantauan dan evaluasi, stabilisasi
pasokan dan harga pangan serta sebagai sistem peringatan dini terhadap masalah pangan
dan kerawanan pangan dan gizi.

Informasi tentang ketahanan dan kerentanan pangan penting untuk memberikan informasi
kepada para pembuat keputusan dalam pembuatan program dan kebijakan, baik di tingkat
pusat maupun tingkat lokal, untuk lebih memprioritaskan intervensi dan program
berdasarkan kebutuhan dan potensi dampak kerawanan pangan yang tinggi. Informasi
tersebut dapat dimanfaatkan sebagai salah satu instrumen untuk mengelola krisis pangan
dalam rangka upaya perlindungan/penghindaran dari krisis pangan dan gizi baik jangka
pendek, menengah maupun panjang.

Dalam rangka menyediakan informasi ketahanan pangan yang yang akurat dan
komprehensif, disusunlah Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan/Food Security and
Vulnerability Atlas-FSVA sebagai instrumen untuk monitoring ketahanan pangan wilayah. Di
tingkat nasional FSVA disusun sejak tahun 2002 bekerja sama dengan World Food
Programme (WFP). Kerjasama tersebut telah menghasilkan Peta Kerawanan Pangan (Food
Insecurity Atlas - FIA) pada tahun 2005. Pada tahun 2009, 2015, 2018 disusun Peta
Ketahanan dan Kerentanan Pangan (Food Security and Vulnerability Atlas – FSVA).

2
Sebagai tindak lanjut penyusunan FSVA Nasional disusun pula FSVA Provinsi dengan analisis
sampai tingkat kecamatan dan FSVA Kabupaten dengan analisis sampai tingkat desa.
Dengan demikian, permasalahan pangan dapat dideteksi secara cepat sampai level yang
paling bawah. FSVA kabupaten telah disusun sejak tahun 2012 dan dimutakhirkan pada
tahun 2016. Untuk mengakomodir perkembangan situasi ketahanan pangan dan pemekaran
wilayah desa, maka dilakukan pemutakhiran FSVA Kabupaten pada tahun 2019.

Seperti halnya FSVA Nasional dan Provinsi, FSVA Kabupaten menyediakan sarana bagi para
pengambil keputusan untuk secara cepat dalam mengidentifikasi daerah yang lebih rentan,
dimana investasi dari berbagai sektor seperti pelayanan jasa, pembangunan manusia dan
infrastruktur yang berkaitan dengan ketahanan pangan dapat memberikan dampak yang
lebih baik terhadap penghidupan, ketahanan pangan dan gizi masyarakat pada tingkat desa.

Pengembangan FSVA tingkat desa merupakan hal yang sangat penting, dimana kondisi
ekologi dan kepulauan yang membentang dari timur ke barat, kondisi iklim yang dinamis
dan keragaman sumber penghidupan masyarakat menunjukkan adanya perbedaan situasi
ketahanan pangan dan gizi di masing-masing wilayah. FSVA Kabupaten akan menjadi alat
yang sangat penting dalam perencanaan dan pengambilan keputusan untuk mengurangi
kesenjangan ketahanan pangan.

1.2. KERANGKA KONSEP KETAHANAN PANGAN DAN GIZI


Peran pangan bukan hanya penting untuk memenuhi kebutuhan fisik dasar dan mencegah
kelaparan, namun lebih jauh dari itu peran pangan dengan kandungan gizi di dalamnya bagi
kecerdasan bangsa dan peningkatan kualitas hidup manusia untuk menghasilkan manusia
yang sehat, cerdas, aktif dan produktif seperti disebutkan dalam definisi ketahanan pangan.
Kecukupan pemenuhan pangan dalam jumlah dan mutunya berkorelasi dengan
produktivitas kerja dan pertumbuhan otak serta kecerdasan dan pada akhirnya berperan
dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Dalam undang-undang didefinisikan bahwa ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya
pangan bagi negara sampai dengan perseorangan yang tercermin dari tersedianya pangan
yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau
serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat
hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan. Menimbang pentingnya ketahanan
pangan dalam pembangunan nasional, Bab III Undang-undang Pangan Nomor 18 Tahun
2012 mengamanatkan bahwa Pemerintah harus melakukan perencanaan penyelenggaraan
pangan. Pada pasal 6, penyelenggaraan pangan diarahkan untuk mewujudkan kedaulatan,
kemandirian dan ketahanan pangan.
Definisi ketahanan pangan (food security) yang dianut oleh Food and Agricultural
Organisation (FAO) dan dirujuk oleh UU Pangan saat ini mengacu pada konsep awal food
security yang dihasilkan oleh World Food Summit tahun 1996. Merujuk pada konsep tentang
pentingnya nutrition security yang diajukan oleh Unicef pada awal tahun 1990an yang

3
menambahkan aspek penyakit infeksi sebagai penyebab masalah gizi disamping ketahanan
pangan rumahtangga, maka International Food Policy Research Institute (IFPRI) menyebut
konsep ketahanan pangan FAO tersebut sebagai Food and Nutrition Security. Pada tahun
2012 FAO1 mengajukan definisi food security menjadi food and nutrition security untuk
menyempurnakan konsep dan definisi sebelumnya.

Upaya FAO ini sejalan dengan upaya Standing Committee on Nutrition (SCN), suatu lembaga
non struktural yang juga berada di bawah United Nations (PBB) yang pada tahun 2013 2 juga
merekomendasikan penyempurnaan definisi ketahanan pangan (food security) menjadi
ketahanan pangan dan gizi (food and nutrition security). Dalam pemahaman baru ini,
perwujudan ketahanan pangan tidak hanya berorientasi pada upaya penyediaan pangan
dalam jumlah yang cukup bagi setiap individu, namun juga harus disertai upaya untuk
meningkatkan efektivitas pemanfaatan pangan bagi terciptanya status gizi yang baik bagi
setiap individu. Dalam konteks ini optimalisasi utilisasi pangan tidak cukup hanya dari
kualitas pangan yang dikonsumsi, namun juga harus didukung oleh terhindarnya setiap
individu dari penyakit infeksi yang dapat mengganggu tumbuh kembang dan kesehatan
melalui kecukupan air bersih dan kondisi sanitasi lingkungan dan higiene yang baik.
Kerangka pikir ketahanan pangan dan gizi ini dituangkan dalam Gambar 1.1.

Gambar 1.1. Konsep Ketahanan Pangan dan Gizi


(Sumber: FAO dan UNSCN)
Analisis dan pemetaan FSVA dilakukan berdasarkan pada pemahaman mengenai ketahanan
pangan dan gizi seperti yang tercantum dalam Kerangka Konsep Ketahanan Pangan dan Gizi
(Gambar 1.1) Kerangka konseptual tersebut dibangun berdasarkan tiga pilar ketahanan
pangan, yaitu: ketersediaan, akses dan pemanfaatan pangan, serta mengintegrasikan gizi
dan kerentanan di dalam keseluruhan pilar tersebut.
1
Disampaikan pada Commitee on World Food Security, 36th sessions of 15-22 October 2012, Rome-Italia
2
Disampaikan pada UNSCN Meeting of the Minds and Nutrition Impact of Food System, 25-28 March di New
York

4
Ketersediaan pangan adalah kondisi tersedianya pangan dari hasil produksi dalam negeri,
cadangan pangan, serta pemasukan pangan (termasuk didalamnya impor dan bantuan
pangan) apabila kedua sumber utama tidak dapat memenuhi kebutuhan. Ketersediaan
pangan dapat dihitung pada tingkat nasional, regional, kecamatan dan tingkat masyarakat.

Akses pangan adalah kemampuan rumah tangga untuk memperoleh cukup pangan yang
bergizi, melalui satu atau kombinasi dari berbagai sumber seperti: produksi dan persediaan
sendiri, pembelian, barter, hadiah, pinjaman dan bantuan pangan. Pangan mungkin tersedia
di suatu daerah tetapi tidak dapat diakses oleh rumah tangga tertentu jika mereka tidak
mampu secara fisik, ekonomi atau sosial, mengakses jumlah dan keragaman makanan yang
cukup.
Pemanfaatan pangan merujuk pada penggunaan pangan oleh rumah tangga dan
kemampuan individu untuk menyerap dan memetabolisme zat gizi. Pemanfaatan pangan
juga meliputi cara penyimpanan, pengolahan dan penyiapan makanan, keamanan air untuk
minum dan memasak, kondisi kebersihan, kebiasaan pemberian makan (terutama bagi
individu dengan kebutuhan makanan khusus), distribusi makanan dalam rumah tangga
sesuai dengan kebutuhan individu (pertumbuhan, kehamilan dan menyusui), dan status
kesehatan setiap anggota rumah tangga. Mengingat peran yang besar dari seorang ibu
dalam meningkatkan profil gizi keluarga, terutama untuk bayi dan anak-anak, pendidikan ibu
sering digunakan sebagai salah satu proxy untuk mengukur pemanfaatan pangan rumah
tangga.
Dampak gizi dan kesehatan merujuk pada status gizi individu, termasuk defisiensi
mikronutrien, pencapaian morbiditas dan mortalitas. Faktor-faktor yang berhubungan
dengan pangan, serta praktek-praktek perawatan umum, memiliki kontribusi terhadap
dampak keadaan gizi pada kesehatan masyarakat dan penanganan penyakit yang lebih luas.
Kerentanan dalam peta ini selanjutnya merujuk pada kerentanan terhadap kerawanan
pangan dan gizi. Tingkat kerentanan individu, rumah tangga atau kelompok masyarakat
ditentukan oleh pemahaman terhadap faktor-faktor risiko dan kemampuan untuk
mengatasi situasi tertekan.
Kerawanan pangan dapat menjadi kondisi yang kronis atau transien. Kerawanan pangan
kronis adalah ketidakmampuan jangka panjang untuk memenuhi kebutuhan pangan
minimum dan biasanya berhubungan dengan struktural dan faktor-faktor yang tidak
berubah dengan cepat, seperti iklim setempat, jenis tanah, sistem pemerintahan daerah,
infrastruktur publik, sistim kepemilikan lahan, distribusi pendapatan dan mata pencaharian,
hubungan antar suku, tingkat pendidikan, sosial budaya/adat istiadat dll.
Kerawanan pangan transien adalah ketidakmampuan sementara yang bersifat jangka
pendek untuk memenuhi kebutuhan pangan minimum yang sebagian besar berhubungan
dengan faktor dinamis yang dapat berubah dengan cepat/tiba-tiba seperti penyakit
menular, bencana alam, pengungsian, perubahan fungsi pasar, tingkat hutang dan migrasi.
Perubahan faktor dinamis tersebut umumnya menyebabkan kenaikan harga pangan yang

5
lebih mempengaruhi penduduk miskin dibandingkan penduduk kaya, mengingat sebagian
besar dari pendapatan penduduk miskin digunakan untuk membeli makanan. Kerawanan
pangan transien yang berulang dapat menyebabkan kerawanan aset rumah tangga,
menurunnya ketahanan pangan dan akhirnya dapat menyebabkan kerawanan pangan
kronis.

1.3. Metodologi
Kerentanan pangan dan gizi adalah masalah multi-dimensional yang memerlukan analisis
dari sejumlah parameter. Kompleksitas masalah ketahanan pangan dan gizi dapat dikurangi
dengan mengelompokkan indikator proxy ke dalam tiga kelompok yang berbeda tetapi
saling berhubungan, yaitu ketersediaan pangan, keterjangkauan/akses rumah tangga
terhadap pangan dan pemanfaatan pangan secara individu. Pertimbangan gizi, termasuk
ketersediaan dan keterjangkauan bahan pangan bergizi tersebar dalam ketiga kelompok
tersebut.
Indikator
Kerentanan terhadap kerawanan pangan tingkat nasional, provinsi maupun kabupaten,
memiliki karakteristik masing-masing sehingga tidak semua indikator nasional maupun
provinsi dapat digunakan untuk memetakan kerentanan terhadap kerawanan pangan di
tingkat kabupaten. Pemilihan indikator FSVA Kabupaten didasarkan pada: (i) hasil review
terhadap pemetaan daerah rentan rawan pangan yang telah dilakukan sebelumnya; (ii)
tingkat sensitivitas dalam mengukur situasi ketahanan pangan dan gizi; (iii) keterwakilan
pilar ketahanan pangan dan gizi; dan (iv) ketersediaan data pada seluruh desa.
Indikator yang digunakan dalam FSVA Kabupaten terdiri dari 6 (enam) indikator yang
mencerminkan tiga aspek ketahanan pangan.
Tabel 1.1. Indikator FSVA Kabupaten 22021
Indikator Definisi Sumber Data
A. Aspek Ketersediaan Pangan
Rasio luas lahan Pertanian Luas lahan Pertanian BPS; Pusat Data
terhadap luas wilayah desa dibandingkan luas wilayah desa Informasi Kementan
2020
Rasio jumlah sarana dan Jumlah sarana dan prasarana Potensi Desa 2020, BPS
prasarana ekonomi terhadap ekonomi (pasar, minimarket, Jumlah Rumah Tangga
jumlah rumah tangga toko, warung, restoran dll) 2020 dari Sensus
dibandingkan jumlah rumah Penduduk (SP) 2019
tangga desa
B. Aspek Akses terhadap Pangan
Rasio jumlah penduduk Jumlah penduduk dengan status Data Terpadu Program
dengan tingkat kesejahteraan kesejahteraan terendah Penanganan Fakir
terendah terhadap jumlah (penduduk dengan tingkat Miskin (SK.71/2018)
penduduk desa kesejahteraan pada Desil 1) Jumlah Rumah Tangga
dibandingkan jumlah penduduk 2020 dari Sensus

6
Indikator Definisi Sumber Data
desa Penduduk 2019

Desa yang tidak memiliki Desa yang tidak memiliki akses Potensi Desa 2020, BPS
akses penghubung memadai penghubung memadai dengan
melalui darat atau air atau kriteria: (1) Desa dengan sarana
udara transportasi darat tidak dapat
dilalui sepanjang tahun; (2)
Desa dengan sarana
transportasi air atau udara
namun tidak tersedia angkutan
umum
C. Aspek Pemanfaatan Pangan
Rasio jumlah rumah tangga Jumlah rumah tangga desil 1 s/d Data Terpadu Program
tanpa akses air bersih 4 dengan sumber air bersih Penanganan Fakir
terhadap jumlah rumah tidak terlindung dibandingkan Miskin (SK.71/2018)
tangga desa jumlah rumah tangga desa
Rasio jumlah tenaga Jumlah tenaga kesehatan terdiri Potensi Desa 2020, BPS
kesehatan terhadap jumlah atas: 1) Dokter umum/spesialis; Jumlah penduduk 2020
penduduk desa 2) dokter gigi; 3) bidan; 4)
tenaga kesehatan lainnya
(perawat, tenaga kesehatan
masyarakat, tenaga gizi,
apoteker/asisten apoteker)
dibandingkan jumlah penduduk
desa

Metode Analisis

1. Analisis Indikator Individu


Analisis indikator individu dilakukan dengan mengelompokkan indikator individu kedalam
beberapa kelas berdasarkan metode sebaran empiris. Sementara itu data kategorik
mengikuti standar pengelompokkan yang sudah ditetapkan oleh BPS.

2. Analisis Komposit
Metodologi yang diadopsi untuk analisis komposit adalah dengan menggunakan metode
pembobotan. Metode pembobotan digunakan untuk menentukan tingkat kepentingan
relatif indikator terhadap masing-masing aspek ketahanan pangan. Metode pembobotan
dalam penyusunan FSVA mengacu pada metode yang dikembangkan oleh The Economist
Intelligence Unit (EIU) dalam penyusunan Global Food Security Index (EIU 2016 dan 2017)
dan International Food Policy Research Institute (IFPRI) dalam penyusunan Gobal Hunger
Index (IFPRI 2017). Goodridge (2007) menyatakan jika variabel yang digunakan dalam
perhitungan indeks berbeda, maka perlu dilakukan secara tertimbang (pembobotan) untuk
membentuk indeks agregat yang disesuaikan dengan tujuannya.

7
Langkah-langkah perhitungan analisis komposit adalah sebagai berikut:

a. Standarisasi nilai indikator dengan menggunakan z-score dan distance to scale (0 – 100)
b. Menghitung skor komposit kabupaten/kota dengan cara menjumlahkan hasil perkalian
antara masing-masing nilai indikator yang sudah distandarisasi dengan bobot indikator,
dengan rumus:
𝟗
𝒀(𝒋) = ∑ 𝒂𝒊𝑿𝒊𝒋………………………………………………………...… (1)
𝒏=𝟏
Dimana:
Yj : Skor komposit kabupaten/kota ke-j
ai : Bobot masing-masing indikator
Xij : Nilai standarisasi masing-masing indikator pada kabupaten/kota ke-j

Besaran bobot masing-masing indikator dibagi sama besar untuk setiap aspek ketahanan
pangan, karena setiap aspek memiliki peran yang sama besar terhadap penentuan
ketahanan pangan wilayah. Bobot untuk setiap indikator mencerminkan signifikansi atau
pentingnya indikator tersebut dalam menentukan tingkat ketahanan pangan suatu
wilayah.

Tabel 1.2 Bobot Indikator Individu

No Indikator Bobot
1. Rasio luas lahan Pertanian terhadap luas wilayah desa 1/6
2. Rasio jumlah sarana dan prasarana ekonomi terhadap jumlah 1/6
rumah tangga
Sub Total 1/3
3. Rasio jumlah penduduk dengan tingkat kesejahteraan 1/6
terendah terhadap jumlah penduduk desa
4. Desa yang tidak memiliki akses penghubung memadai 1/6

Sub Total 1/3


5 Rasio jumlah rumah tangga tanpa akses air bersih terhadap 1/6
jumlah rumah tangga desa
8 Rasio jumlah tenaga kesehatan terhadap jumlah penduduk 1/6
desa
Sub Total 1/3

c. Mengelompokan desa/kelurahan ke dalam 6 kelompok prioritas berdasarkan cut off


point komposit. Skor komposit yang dihasilkan pada masing-masing wilayah
dikelompokkan ke dalam 6 kelompok berdasarkan cut off point komposit. Cut off point
komposit merupakan hasil penjumlahan dari masing-masing perkalian antara bobot

8
indikator individu dengan cut off point indikator individu hasil standarisasi z-score dan
distance to scale (0-100).

………………………………………………………...… (2)

Dimana:
Kj : cut off point komposit ke-J
ai : Bobot indikator ke-i
Cij : Nilai standarisasi cut off point indikator ke-I kelompok ke-j

Wilayah yang masuk ke dalam kelompok 1 adalah desa/kelurahan yang cenderung


memiliki tingkat kerentanan yang lebih tinggi daripada desa/kelurahan dengan kelompok
diatasnya, sebaliknya wilayah pada kelompok 6 merupakan desa/kelurahan yang
memiliki ketahanan pangan paling baik. Penting untuk menegaskan kembali bahwa
sebuah desa/kelurahan yang diidentifikasikan sebagai relatif lebih tahan pangan
(kelompok Prioritas 4-6), tidak berarti semua kpenduduk di dalamnya juga tahan pangan.
Demikian juga, tidak semua penduduk di desa/kelurahan Prioritas 1-3 tergolong rentan
pangan.

3. Pemetaan
Hasil analisis indikator individu dan komposit kemuadian divisualisasikan dalam bentuk peta.
Peta-peta yang dihasilkan menggunakan pola warna seragam dalam gradasi warna merah
dan hijau. Gradasi merah menunjukkan variasi tingkat kerentanan pangan tinggi dan gradasi
hijau menggambarkan variasi kerentanan pangan rendah. Untuk kedua kelompok warna
tersebut, warna yang semakin tua menunjukkan tingkat yang lebih tinggi dari ketahanan
atau kerentanan pangan.

9
10
BAB 2

KETERSEDIAAN PANGAN

Undang-undang Pangan No. 18 tahun 2012 mendefinisikan ketersediaan pangan sebagai


kondisi tersedianya pangan dari hasil produksi dalam negeri dan cadangan pangan nasional
serta impor apabila kedua sumber utama tidak dapat memenuhi kebutuhan. Produksi
pangan adalah kegiatan atau proses menghasilkan, menyiapkan, mengolah, membuat,
mengawetkan, mengemas, mengemas kembali, dan/atau mengubah bentuk Pangan.
Sedangkan cadangan pangan nasional adalah persediaan pangan di seluruh wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia untuk konsumsi manusia dan untuk menghadapi masalah
kekurangan pangan, gangguan pasokan dan harga, serta keadaan darurat. Penyediaan
pangan diwujudkan untuk memenuhi kebutuhan dan konsumsi pangan bagi masyarakat,
rumah tangga dan perseorangan secara berkelanjutan.

Mayoritas bahan pangan yang diproduksi maupun didatangkan dari luar wilayah harus
masuk terlebih dahulu ke pasar sebelum sampai ke rumah tangga. Oleh karena itu, selain
kapasitas produksi pangan, keberadaan sarana dan prasarana penyedia pangan seperti
pasar akan terkait erat dengan ketersediaan pangan di suatu wilayah.

2.1. LAHAN PERTANIAN


Rasio luas lahan Pertaanian terhadap luas wilayah kabupaten adalah perbandingan antara
luas baku lahan Pertanian dengan luas wilayah desa. Rasio lahan Pertanian terhadap luas
wilayah desa digunakan sebagai salah satu indikator dalam aspek ketersediaan pangan
karena lahan Pertanian memiliki korelasi yang positif terhadap tingkat ketersediaan pangan
dengan mempengaruhi kapasitas produksi pangan1. sebab itu, semakin tinggi rasio luas
lahan Pertanian terhadap luas wilayah desa maka diasumsikan ketersediaan pangan juga
akan semakin baik, begitu pula sebaliknya.

1. Yudisthira ( 2013 ) Analisis Dampak Alih Fungsi Lahan Pertanian terhadap Ketahanan
Pangan di
Kabupaten Bekasi Jawa Barat . Fakultas Ekonomi.

11
Dari 160 desa dan 17 Kelurahan di Kabupaten Kupang, terdapat 26 desa masuk dalam
prioritas 1 (14,7%), 27 desa prioritas 2 (15,3 % ), 36 Desa prioritas 3 (20,3%), 35 Desa
Prioritas 4 (19,8% ), 27 Desa Prioritas 5 (15,3% ), 26 Desa masuk dalam prioritas 6 (14,7% ).
Kecamatan yang memiliki rasio lahan prioritas 1-3 sebagian besar tersebar di Kecamatan
Amfoang Selatan, Kecamatan Amabi Oefeto, Kecamatan Amabi Oefeto Timur, Kecamatan
Amfoang Barat Daya, Kecamatan Amfoang Utara, Kecamatan Fatuleu Tengah, Kecamatan
Takari, Kecamatan Taebenu, Kecamatan Kuapang Timur, Kecamatan Semau, Dan Kecamatan
Amarasi.

Tabel 2.1 Sebaran rasio luas baku lahan sawah terhadap total lahan berdasarkan prioritas

Prioritas Rasio lahan Pertanian Jumlah Desa Persentase


1 <= 0,0000 26 14,7%
2  0,0000 – 0,0010 27 15,3%
3  0,0010 – 0,0077 36 20,3%
4  0,0077 – 0,263 35 19,8%
5  0,0263 – 0,592 27 15,3%
6  0,0592 26 14,7%

12
Jumlah Desa Priotitas 1-6
Indikator Luas Lahan Pertanian

1 <= 0,0000
26 26
2 Ø 0,0000 – 0,0010

27 27 3 Ø 0,0010 – 0,0077
4 Ø 0,0077 – 0,263
5 Ø 0,0263 – 0,592
35 36
6 Ø 0,0592

2.2. PRODUKSI PANGAN


Pemerintah Kabupaten Kupang telah mempromosikan produksi pertanian dan telah
mengadopsi beberapa tindakan perlindungan bagi petani. Pertanian (termasuk peternakan,
Perkebunan , kehutanan, dan perikanan) telah memberikan kontribusi sebesar 42,81 % dari
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Kupang pada tahun 2018 dengan
pertumbuhan ekonomi mencapai 5,9 % dan memberikan peluang yang signifikan untuk
berkontribusi dalam meningkatkan ketahanan pangan, penanggulangan kemiskinan, dan
dinamika pertumbuhan ekonomi. Padi dan jagung merupakan bahan pokok di Kabupaten
Kupang yang menyumbang hampir sebagian dari total produksi serealia kabupaten.
Berdasarkan Tabel 2.2 dan Gambar 2.2, produksi serelia dan umbi-umbian di Kabupaten
Kupang mengalami peningkatan sejak tahun 2016. Peningkatan ini terutama disebabkan
oleh bertambahnya luas tanam dan peningkatan produktivitas. Produksi padi meningkat
selama 5 tahun, yaitu dari pencapaian produksi 39.937,51 ton tahun 2016 meningkat pada
tahun 2017 menjadi 79.265,76 ton, pada tahun 2018 meningkat menjadi 142.546,74 ton,
namun pada tahun 2019 menurun 67.321,68 ton dan tahun 2020 juga menurun menjadi
21.776,68 ton disebabkan karena kondisi iklim yang tidak menentu juga terjadi bencana
alam.

13
Tabel 2.2 Produksi Serealia Pokok dan Umbi-umbian 2016-2020 (Ton)
Produksi Produksi Produksi Produksi Produksi Rata Rata
No Serelia Lima
2016 2017 2018 2019 2020 Tahun

1 Padi 39.937,51 79.265,76 142.546,74 67.321,67 21.776,68 333.427,01

2 Jagung 41.331,31 71.695,64 98.149,70 35.096,30 51.345,00 256.541,95


Ubi
3 Kayu 14.855,60 28.478,50 29.116,30 9.901,90 18.001,80 85.952,66

4 Ubi Jalar 4.281,60 2.441,90 716,10 822,10 944,56 8.450,61


Sumber: Kabupaten Dalam Angka 2016-2020, BPS
Dianalisis pada Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kab. Kupang

DATA PRODUKSI SERELIA TAHUN 2016 - 2020


140 000,00
120 000,00
100 000,00
80 000,00
60 000,00
40 000,00
20 000,00
-

Amfoang Selatan

Amfoang Utara
Kupang Tengah

Fatuleu Barat
Takari

Amfoang Tengah
Nekamese
Kupang Barat

Fatuleu

Amfoang Barat Daya


Semau

Taebenu

Sulamu
Amarasi

Amfoang Timur
Semau Selatan

Amarasi Selatan
Amarasi Timur
Kupang Timur

Amfoang Barat Laut


Amabi Oefeto

Fatuleu Tengah
Amarasi Barat

Amabi Oefeto Timur

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24

Datenreihen1 Datenreihen2 Datenreihen3 Datenreihen4 Datenreihen5

Tahun 2020, total produksi serealia dan umbi-umbian bervariasi yakni padi 21.776,68 ton,
jagung 51.345 ton, ubi kayu 18.001,80 ton, dan ubi jalar 944,56 ton.
Total produksi serealia dan laju pertumbuhan produksi tahun 2016-2020 menunjukkan
pertumbuhan sebesar 8,30 %, yaitu dari total produksi tahun 2016 sebesar 100.406,02 ton,
Tahun 2017 naik menjadi 181.881,80 ton, tahun 2018 naik menjadi 270.578,84 ton pada
tahun 2019 turun menjadi 113.141,97 dan tahun 2020 turun menjadi 97.068,04 ton.
Sebaran total produksi serealia selama 5 tahun terbesar terjadi pada tahun 2018, yaitu
sebesar 270.528,84 ton dan terkecil pada tahun 2020 sebesar 92.068,04 ton, Data Produksi
serealia pertahun dan laju pertumbuhannya dapat dilihat pada Tabel 2.3.

14
Tabel 2.3 Produksi Total Serelia per Tahun dan Laju Pertumbuhan Produksi
Tahun 2016 s/d Tahun 2020 ( Ton )
Total Produksi Serelia Laju
NO Kecamatan Tahun Tahun Tahun Tahun Tahun Pertumbuhan
2016 2017 2018 2019 2020

1 Semau 1.387,50 5.452,50 6.732,50 1.460,15 2.970,40 114,08

2 Semau Selatan 5.762,00 2.714,00 7.145,95 1.809,60 2.436,60 - 57,71

3 Kupang Barat 1.928,25 3.572,90 7.719,30 1.478,65 1.960,00 1,65

4 Nekamese 1.370,52 3.636,10 4.731,30 344,28 2.610,90 90,50

5 Kupang Tengah 7.502,92 13.251,02 15.094,50 14.182,90 8.303,90 10,68

6 Taebenu 883,50 2.960,75 4.523,25 3.700,15 3.831,75 333,70

7 Amarasi 6.452,10 14.891,15 13.368,38 1.197,00 5.476,50 - 15,12

8 Amarasi Barat 7.263,30 6.132,70 5.992,50 4.689,10 2.932,20 - 59,63

9 Amarasi Selatan 10.461,50 6.107,35 10.019,50 722,24 4.596,50 - 56,06

10 Amarasi Timur 1.467,90 5.406,50 6.321,15 295,00 2.002,50 36,42

11 Kupang Timur 6.148,21 28.137,55 55.921,05 31.846,00 5.905,05 - 3,95

12 Amabi Oefeto Timur 742,25 5.340,75 4.518,93 920,40 2.662,50 258,71

13 Amabi Oefeto 2.293,30 5.370,00 6.325,00 1.760,00 1.731,55 - 24,50

14 Sulamu 4.634,90 11.794,70 18.200,25 11.121,40 3.752,26 - 19,04

15 Fatuleu 6.013,12 7.775,02 10.104,35 2.745,70 6.342,78 5,48

16 Fatuleu Tengah 1.699,50 4.438,56 2.312,75 2.203,40 3.851,40 126,62

17 Fatuleu Barat 1.994,15 10.497,15 16.968,85 4.357,70 3.747,50 87,92

18 Takari 9.711,60 15.786,20 21.173,21 3.475,90 10.161,40 4,63

19 Amfoang Selatan 5.153,50 3.983,25 5.907,68 998,10 2.746,80 - 46,70

20 Amfoang Barat Daya 1.325,10 1.507,60 1.704,50 517,50 503,00 - 62,04

21 Amfoang Tengah 2.629,55 5.188,10 7.910,63 5.907,00 4.138,75 57,39

22 Amfoang Utara 2.050,25 6.567,50 10.946,50 4.714,15 1.727,00 - 15,77

23 Amfoang Barat Laut 1.477,00 2.783,70 5.479,73 4.643,25 4.322,50 192,65

24 Amfoang Timur 10.054,10 8.586,75 21.407,10 8.052,40 3.354,30 - 66,64

Jumlah 100.406,02 181.881,80 270.528,84 113.141,97 92.068,04 - 8,30


Sumber Data : BPS Kabupaten Kupang

15
Padi
Produksi padi pada tingkat kecamatan di Kabupaten Kupang selama 5 tahun terakhir
(2016-2020) telah dianalisis dan disajikan pada Tabel 2.4 Produksi padi mengalami
peningkatan dari tahun 2016 dengan produksi 39.937,51 ton naik pada tahun 2017 menjadi
79.265,76 ton , naik tahun 2018 menjadi 141.546,74 ton namun tahun 2019 mengalami
penurunan 67.321,67 dan tahun 2020 mengalami penurunan menjadi 21.776,68 ton .
Peningkatan terjadi di semua kecamatan karena pada tahun 2016 sampai tahun 2018
disebakan karena curah hujan yang cukup didukung dengan penambahan sarana prasarana
/ alsintan pertanian, penggunaan benih / bibit bermutu / berlabel.
namun tahun 2019 dan tahun 2020 terjadi perubahan iklim dimana terjadi kemarau
panjang, bencana seroja yang menyebakan kerusakan dimana-mana yang berdampak pada
penurunan produksi tanaman pangan pada umunya . Data Produksi Padi tahun 2016 – 2020
(Ton) laju pertumbuhan dapat dilihat pada Tabel produksi Padi.

16
Tabel 2.4 Produksi P a d i
Tahun 2016 s/d Tahun 2020 ( Ton ) Laju Pertumbuhan
Produksi Padi Laju
NO Kecamatan Tahun Tahun Tahun Tahun Tahun Pertumbuhan
2016 2017 2018 2019 2020

1 100 Semau 637,50 727,50 1.843,00 233,75 409,50 - 35,76

2 101 Semau Selatan 1.512,00 880,00 1.976,25 225,00 8,00 - 99,47

3 110 Kupang Barat 1.623,25 2.450,00 3.150,00 1.012,65 817,00 - 49,67

4 111 Nekamese 246,22 378,56 483,00 200,98 335,40 36,22

5 120 Kupang Tengah 6.266,52 9.864,92 12.942,60 11.730,40 6.276,40 0,16

6 121 Taebenu 502,50 764,00 1.274,35 510,65 623,50 24,08

7 130 Amarasi 422,10 1.210,65 5.292,38 1.109,50 168,00 - 60,20

8 131 Amarasi Barat 220,80 345,20 402,50 67,60 21,20 - 90,40

9 132 Amarasi Selatan 2.058,50 2.350,35 2.411,50 722,24 110,50 - 94,63

10 133 Amarasi Timur 463,80 487,50 588,15 64,00 327,90 - 29,30

11 140 Kupang Timur 4.309,65 23.652,45 43.494,75 22.550,00 1.345,05 - 68,79

12 141 Amabi Oefeto Timur 19,25 120,75 288,93 205,00 53,25 176,62

13 142 Amabi Oefeto 535,50 1.312,50 2.475,00 974,40 140,35 - 73,79

14 150 Sulamu 1.481,55 6.675,55 13.671,45 7.700,00 396,55 - 73,23

15 160 Fatuleu 69,12 461,12 574,65 646,40 180,48 161,11

16 161 Fatuleu Tengah 572,00 1.226,06 1.205,75 664,40 1.139,60 99,23

17 162 Fatuleu Barat 710,15 6.667,85 10.624,15 2.950,50 930,30 31,00

18 170 Takari 4.827,60 4.752,40 9.919,71 3.038,40 2.504,40 - 48,12

19 180 Amfoang Selatan 1.674,00 1.458,25 2.240,18 768,00 1.191,00 - 28,85

20 181 Amfoang Barat Daya 445,50 975,00 929,50 387,50 187,50 - 57,91

21 182 Amfoang Tengah 1.240,25 1.925,00 3.859,43 2.495,50 1.070,00 - 13,73

22 190 Amfoang Utara 1.465,75 2.062,50 4.441,50 1.781,15 682,50 - 53,44

23 191 Amfoang Barat Laut 559,50 1.255,50 1.834,13 1.038,25 1.095,00 95,71

24 192 Amfoang Timur 8.074,50 7.262,15 16.623,90 6.245,40 1.763,30 - 78,16

Jumlah 39.937,51 79.265,76 142.546,74 67.321,67 21.776,68 - 45,47


Sumber Data : BPS Kab Kupang diolah pada Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan

17
18
Jagung
Pada tahun 2018, produksi jagung mencapai 53.345 ton. Hal ini menunjukkan terjadi
peningkatan dari tahun 2016 dengan total produksi sebesar 41.331,31 ton dengan laju pertumbuhan
dari tahun 2016 ke tahun 2020 mencapai 24 persen. dengan total produksi jagung sebesar 53.345
ton yang berarti terjadi peningkatan produksi pada tahun 2016 disebabkan karena ketersediaan air
cukup, penambahan jumlah alsintan, penggunaan benih / bibit bermutu berlabel semakin
meningkat. Sebaran produksi jagung terbesar terjadi pada tahun 2018, yaitu sebesar 98.149,7 ton.
Berdasarkan data produksi jagung tahun 2020, maka Kontribusi terbesar terjadi di 7 Kecamatan
yakni Kecamatan Fatuleu dengan total produksi 5.841 ton, Kecamatan Kupang Timur total produksi
4.554 ton, Kecamatan Amarasi 3.306 ton, Kecamatan Sulamu 3.295,35 ton, Kecamatan Semau
sebanyak 2.370 ton, dan Kecamatan Semau Selatan sebesar 2.252 ton. Secara rinci produksi jagung
tahun 2016-2020 disajikan pada Tabel 2.5.
Tabel 2.5 Data Produksi Jagung Tahun 2016 – 2020 ( Ton )

Produksi J a g u n g
NO Kecamatan Tahun
Tahun 2016 2017 Tahun 2018 Tahun 2019 Tahun 2020

1 100 Semau 750 4725 4889,5 1187,5 2.370,00


2 101 Semau Selatan 4250 1672 4852,6 1454 2.252,00
3 110 Kupang Barat 275 1042,5 4473,3 466 1.020,00
4 111 Nekamese 664,3 2095,34 2998,8 84,8 2.047,50
5 120 Kupang Tengah 716,4 2095,6 1907,4 2271,6 1.815,00
6 121 Taebenu 381 2196,75 2386,4 3055,5 3.208,25
7 130 Amarasi 3780 8705,7 4557,6 87,5 3.306,00
8 131 Amarasi Barat 4725 2187,5 3510 75 1.020,00
9 132 Amarasi Selatan 1677,5 1782 5089,5 0 2.110,00
10 133 Amarasi Timur 720 3753 4382,4 81 1.035,00
11 140 Kupang Timur 652,96 4316,4 11931,3 9296 4.554,00
12 141 Amabi Oefeto Timur 690 2875 2310 702,5 2.609,25
13 142 Amabi Oefeto 1700 3927 3850 476 1.591,20
14 150 Sulamu 2583,35 4378,15 3628,8 3410 3.295,35
15 160 Fatuleu 5888 6982,4 7577,5 1778 5.841,00
16 161 Fatuleu Tengah 1127,5 2840 957 1196,8 2.348,80
17 162 Fatuleu Barat 990,5 3451 6084 1324 2.716,00
18 170 Takari 4784 4600 4497,5 437,5 1.500,80
19 180 Amfoang Selatan 2017,5 1250 3262,5 230,1 981,60
20 181 Amfoang Barat Daya 181,5 423,3 462 130 282,00
21 182 Amfoang Tengah 304,3 1607,5 2833,2 2660 1.993,75
22 190 Amfoang Utara 312,5 3010 4620 1855 790,00
23 191 Amfoang Barat Laut 357,5 652,5 2574 1175 1.095,00
24 192 Amfoang Timur 1802,5 1127 4514,4 1662,5 1.562,50
Jumlah 41331,31 71695,64 98149,7 35096,3 51.345,00
Sumber Data : Kupang Dalam Angka 2016 – 2021

19
PRODUKSI JAGUNG 2016 - 2020
14000
12000
10000
8000
6000
4000
2000
0

Kupang Tengah

Amarasi Selatan
Taebenu
Amarasi
Amarasi Barat

Takari
Amarasi Timur

Amfoang Selatan

Amfoang Barat Laut


Amfoang Utara
Semau Selatan

Amfoang Barat Daya


Nekamese
Semau

Sulamu
Fatuleu
Fatuleu Tengah
Kupang Timur

Fatuleu Barat

192 Amfoang Timur


Amfoang Tengah
Kupang Barat

Amabi Oefeto Timur


Amabi Oefeto
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24

Produksi J a g u n g Produksi J a g u n g Produksi J a g u n g


Produksi J a g u n g Produksi J a g u n g

Ubi Kayu
Produksi ubi kayu Tahun 2016 sebesar 14.855,60 ton, tahun 2017 meningkat 28.478,50
ton, tahun 2018 meningkat 29.116,30 ton, tahun 2019 menurun 9.901,90 ton, tahun 2020
meningkat 18.001,80 ton, Berdasarkan Data produksi secara umum dari tahun 2016 – 2020
terjadi peningkatan dimana produksi ubi kayu tahun 2016 mencapai 14.855,60 meningkat
menjadi 18.001,80 ton dengan laju pertumbuhan sebesar 21 persen.
Daerah yang merupakan sentra produksi ubi kayu terbesar pada tahun 2017 dan 2018
meliputi Kecamatan Takari dengan total mencapai 6.742,50 ton, Kecamatan Amarasi dengan
total produksi mencapai 4.941,30 ton, Kecamatan Amarasi Barat sebesar 3.600 ton,
Kecamatan Amabi Oefeto Timur sebesar 2.345 ton. Rincian produksi ubi kayu tahun 2016-
2020 disajikan pada Tabel 2.6.

20
Tabel 2.6 Data Produksi Ubi Kayu Tahun 2016 s/d Tahun 2020 .

Produksi U b i K a y u
NO Kecamatan Tahun Tahun Tahun Tahun Tahun
2016 2017 2018 2019 2020

1 Semau - - - 32,50 180,50

2 Semau Selatan - 76,50 232,00 93,60 119,60

3 Kupang Barat 30,00 80,40 96,00 - 123,00

4 Nekamese 460,00 1.162,20 1.249,50 58,50 228,00

5 Kupang Tengah 520,00 1.290,50 240,50 180,90 212,50

6 Taebenu - - 862,50 134,00 -

7 Amarasi 2.250,00 4.941,30 3.510,00 - 2.002,50

8 Amarasi Barat 2.317,50 3.600,00 2.080,00 4.427,50 1.800,00

9 Amarasi Selatan 3.068,00 787,50 2.518,50 - 2.376,00

10 Amarasi Timur 279,00 1.134,00 1.335,00 150,00 627,20

11 Kupang Timur 1.185,60 157,50 495,00 - 6,00

12 Amabi Oefeto Timur 33,00 2.345,00 1.920,00 11,40 -

13 Amabi Oefeto 57,80 130,50 309,60 -

14 Sulamu 570,00 741,00 900,00 11,40 11,40

15 Fatuleu 56,00 331,50 1.952,20 321,30 321,30

16 Fatuleu Tengah - 200,00 127,50 296,00 296,00

17 Fatuleu Barat 106,60 253,50 211,20 83,20 83,20

18 Takari - 6.399,30 6.742,50 - 6.062,40

19 Amfoang Selatan 1.462,00 1.275,00 405,00 - 574,20

20 Amfoang Barat Daya 684,00 102,50 306,00 - 33,50

21 Amfoang Tengah 903,00 1.265,60 952,50 562,50 737,00

22 Amfoang Utara 136,00 1.140,00 1.640,00 777,00 175,00

23 Amfoang Barat Laut 560,00 875,70 1.071,60 2.340,00 2.025,00

24 192 Amfoang Timur 177,10 189,00 268,80 112,50 7,50

Jumlah 14.855,60 28.478,50 29.116,30 9.901,90 18.001,80

21
Ubi Jalar
Produksi ubi jalar terbesar selama kurun waktu 5 tahun (2016 - 2020) terjadi pada
tahun 2016, yaitu sebesar 4.281,60 ton, Kecamatan Amarasi Selatan merupakan
penyumbang terbesar, yaitu sebesar 3.657,50 ton, Kecamatan Amfoang tengah sebesar 182
Ton, Kecamatan Amfoang Tengah sebesar 182 ton, Kecamatan Amfoang Utara sebesar 136
ton, Kecamatan Takari sebesar 100 ton. Rincian produksi ubi jalar tahun 2016 – 2020
disajikan pada Tabel 2.7.
Tabel 2.7 Data Produksi Ubi Jalar Tahun 2016 – 2020 ( Ton )

Produksi U b i J a l a r
Kecamatan Tahun Tahun Tahun Tahun Tahun
NO
2016 2017 2018 2019 2020

1 Semau - - 6,40 10,40

2 Semau Selatan - 85,50 85,10 37,00 57,00

3 Kupang Barat - - - -

4 Nekamese - - - -

5 Kupang Tengah - - 4,00 - -

6 Taebenu - - - -

7 Amarasi - 33,50 8,40 - -

8 Amarasi Barat - - 119,00 91,00

9 Amarasi Selatan 3.657,50 1.187,50 - -

10 Amarasi Timur 5,10 32,00 15,60 - 12,40

11 Kupang Timur - 11,20 - -

12 Amabi Oefeto Timur - - 1,50 -

13 Amabi Oefeto - - - -

14 Sulamu - - - 48,96

15 Fatuleu - - - -

16 Fatuleu Tengah - 172,50 22,50 46,20 67,00

17 Fatuleu Barat 186,90 124,80 49,50 18,00

18 Takari 100,00 34,50 13,50 - 93,80

19 Amfoang Selatan - - - -

20 Amfoang Barat Daya 14,10 6,80 7,00 - -

21 Amfoang Tengah 182,00 390,00 265,50 189,00 338,00


22 Amfoang Utara 79,50

22
136,00 355,00 245,00 301,00

23 Amfoang Barat Laut - - 90,00 107,50

24 Amfoang Timur - 8,60 32,00 21,00

Jumlah 4.281,60 2.441,90 716,10 822,10 944,56


Sumber : BPS Kabupaten Kupang

DATA PRODUKSI UBI JALAR TAHUN 2016 - 2020


4 000,00
3 500,00
3 000,00
2 500,00
2 000,00
1 500,00
1 000,00
500,00
-
Kupang Tengah

Amfoang Selatan
Amarasi Barat

Takari

192 Amfoang Timur


Amfoang Utara
Amfoang Barat Laut
Amfoang Barat Daya
Nekamese
Kupang Barat

Amarasi

Amfoang Tengah
Taebenu
Semau

Sulamu
Fatuleu
Kupang Timur
Semau Selatan

Amarasi Selatan
Amarasi Timur

Fatuleu Barat
Amabi Oefeto Timur

Fatuleu Tengah
Amabi Oefeto

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24

Datenreihen1 Datenreihen2 Datenreihen3 Datenreihen4 Datenreihen5

23
2.3. SARANA DAN PRASARANA EKONOMI
Rasio jumlah sarana dan prasarana penyedia pangan terhadap jumlah rumah tangga adalah
perbandingan antara jumlah sarana dan prasarana penyedia pangan (pasar, minimarket,
toko, warung, restoran, dll) dengan jumlah rumah tangga di desa. Sarana dan prasarana
penyedia pangan diasumsikan sebagai tempat penyimpan pangan (stok pangan) yang
diperoleh dari petani sebagai produsen pangan maupun dari luar wilayah, yang selanjutnya
disediakan bagi masyarakat untuk konsumsi. Oleh karena itu, semakin tinggi rasio sarana
dan prasarana penyedia pangan terhadap jumlah rumah tangga di desa maka diasumsikan
semakin baik tingkat ketersediaan pangan di desa tersebut.

Dari 160 desa dan 17 Kelurahan di Kabupaten Kupang, 47 desa masuk dalam prioritas 1
(26,6 %), 23 desa prioritas 2 ( 13,0 %) dan 31 desa prioritas 3 (17,5 %) dari aspek sarana dan
prasarana penyedia pangan terhadap jumlah rumah tangga.

24
Tabel 2.8 Sebaran rasio sarana prasarana ekonomi berdasarkan prioritas
No. Prioritas Rasio Sarana Ekonomi Jumlah Desa Persentase
1 Prioritas 1 <= 0,0093 47 26,6
2 Prioritas 2 0,0093 – 0,0197 23 13,0
3 Prioritas 3 0,0197 – 0,0307 31 17,5
4 Prioritas 4 0,0307 – 0,0515 32 18,1
5 Prioritas 5 0,0515 – 0,0654 19 10,7
6 Prioritas 6  0,0654 25 14,1

Sebaran Rasio Sarana Prasarana Ekonomi


Berdasarkan Prioritas
50
40
30
20
10
0
0,0093 – 0,0197 – 0,0307 – 0,0515 –
<= 0,0093 Ø 0,0654
0,0197 0,0307 0,0515 0,0654
Prioritas 1 Prioritas 2 Prioritas 3 Prioritas 4 Prioritas 5 Prioritas 6
1 2 3 4 5 6
Jumlah Desa 47 23 31 32 19 25
Persentase 26,6 13 17,5 18,1 10,7 14,1

2.4 STRATEGI PEMENUHAN KETERSEDIAAN PANGAN


Laju pertumbuhan penduduk Kabupaten Kupang dari tahun 2016-2020 mencapai 15,94 %
per tahun sementara pertumbuhan produksi padi dan jagung mencapai 76 % dan 110,6 %.
Rata-rata kepemilikan lahan petani di Kabupaten Kupang adalah sebesar 0,5 – 1 ha. Rasio
lahan pertanian dibandingkan lahan total adalah sebesar 0,6705 Sementara itu , Rasio
sarana ekonomi penyedia pangan pada prioritas 1-3 mencapai 0,0654 %. Hal tersebut
menjadi tantangan dalam pemenuhan ketersediaan pangan.

Strategi untuk Meningkatkan Ketersediaan Pangan.


Kebijakan kabupaten mengenai ketersediaan pangan pada periode 2019-2024 ,Program
Peningkatan Layanan Pertanian daerah bertujuan untuk (i) meningkatkan produktivitas; (ii)
perluasan lahan sawah; (iii) mengurangi dampak iklim-terkait resiko; (iv) memperkuat
kelembagaan bagi petani. Strategi untuk masing-masing tujuan adalah sebagai berikut:

(i) Peningkatan produktivitas


a. Pendirian Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman dan Sumber Daya Terpadu (SLPTT)
b. Perbaikan penggunaan varietas tanaman

25
c. Pemupukan berimbang, baik pupuk organik maupun bio hayati
d. Pengelolaan air
e. Memperkuat pengawasan, koordinasi dan supervisi untuk peningkatan produktivitas
pertanian

(ii) Perluasan lahan sawah


a. Pengembangan lahan sawah
b. Optimalisasi penggunaan lahan
c. Pengembangan dan rehabilitasi Jaringan Irigasi Tingkat Usaha Tani (JITUT) dan
Jaringan Irigasi Desa (JIDES)
d. Pembangunan sumur pompa dan dam/embung

(iii) Pengurangan dampak iklim terkait resiko


a. Pengendalian Organisme Penganggu Tanaman (OPT)
b. Mengurangi kehilangan hasil (susut) pada saat panen dan pengolahan hasil panen

(iv) Penguatan kelembagaan bagi petani


a. Kredit dan energi untuk ketahanan pangan
b. Lembaga Mandiri dan Mengakar pada Masyarakat
c. Kredit Usaha Rakyat (KUR) dan Lembaga Distribusi Pangan Masyarakat
d. Pemasaran produk pertanian, antara lain Toko Tani Indonesia ( TTI ) ,
e. Bantuan Pemerintah ( banper ) Pemeberdayaan Lumbung Pangan Masyarakat

(V) Program peningkatan Diversifikasi dan ketahanan Pangan Masyarakat


a) Kegiatan Pengembangan Pemanfaatan Pekarangan Pangan Lestari (P2L) dan
Pengenalan Konsumsi Pangan B2SA
b) Kegiatan Pengembangan Diversifikasi Pengolahan Pangan Berbasis Sumber Daya
Lokal
c) Kegiatan Peningkatan Ketersediaan dan Cadangan Pangan
d) Kegiatan Pengembangan Lumbung Pangan Masyarakat
e) Kegiatan Peningkatan Akses Pangan Masyarakat dan Pemantauan Harga Pangan
Strategis
f) Kegiatan Pemantauan Pasokan, Harga, dan Stabilisasi Harga Pangan Strategis

26
BAB 3
AKSES TERHADAP PANGAN

Keterjangkauan pangan atau akses terhadap pangan adalah kemampuan rumah tangga
untuk memperoleh cukup pangan, baik yang berasal dari produksi sendiri, stok, pembelian,
barter, hadiah, pinjaman dan bantuan pangan. Pangan mungkin tersedia di suatu wilayah
tetapi tidak dapat diakses oleh rumah tangga tertentu karena terbatasnya: (1) Akses
ekonomi: kemampuan keuangan untuk membeli pangan yang cukup dan bergizi; (2) Akses
fisik: keberadaan infrastruktur untuk mencapai sumber pangan; dan/atau (3) Akses sosial:
modal sosial yang dapat digunakan untuk mendapatkan dukungan informal dalam
mengakses pangan, seperti barter, pinjaman atau program jaring pengaman sosial. Dalam
penyusunan FSVA Kabupaten, indikator yang digunakan dalam aspek keterjangkauan
pangan hanya mewakili akses ekonomi dan fisik saja, yaitu: (1) Rasio jumlah penduduk
dengan tingkat kesejahteraan terendah terhadap jumlah penduduk desa; dan (2) Desa yang
tidak memiliki akses penghubung memadai melalui darat, air atau udara.

3.1 PENDUDUK DENGAN TINGKAT KESEJAHTERAAN TERENDAH

27
Berbagai program penanggulangan kemiskinan sudah dijalankan oleh pemerintah termasuk
pemerintah Kabupaten Kupang. Rasio kemiskinan menurun dalam beberapa tahun terakhir,
jumlah penduduk miskin Kabupaten kupang terus menurun dari 23,43 % pada tahun 2016,
naik menjadi 22,91% pada tahun 2017, turun menjadi 23,10 % pada Tahun 2018, turun
menjadi 23,03 % pada Tahun 2019,dan turun menjadi 22,77 % pada tahun 2020.

Tabel 3.1 Persentase Populasi di Bawah Garis Kemiskinan Kabupaten Kupang.


Tahun
Keterangan
2016 2017 2018 2019 2020
Persentase penduduk 23,43 22,91 23,10 23,03 22,77
miskin
Sumber: Kabupaten Dalam Angka, BPS

Pada tingkat desa berdasarkan data Data Terpadu Program Penanganan Fakir Miskin tahun
2020, terdapat di 11 Kecamatan di 35 desa ( 19,8 % ) yang memiliki rasio rumah tangga
dengan dengan tingkat kesejahteraan terendah masuk kedalam Prioritas 1, sebanyak 21
Desa ( 11,86 %) masuk prioritas 2, dan 38 desa ( 21,46 % ) masuk Prioritas 3. Oleh karena itu,
program-program penanggulangan kemiskinan Kabupaten ke depan masih harus
ditingkatkan dan diprioritaskan di 94 desa tersebut.
Tabel 3.2 Sebaran desa dengan tingkat kesejahteraan terendah berdasarkan skala prioritas
Prioritas Range Jumlah Desa Persentase
1 >= 0,3456 35 19,8 %
2 0,2388 - < 0,3456 21 11,9 %
3 0,1032 - < 0,2388 38 21,5 %
4 0,0556 - < 0,1032 31 17,5 %
5 0,0282 - < 0,0556 28 15,8 %
6 < 0,0282 24 13,6 %

28
3.2 AKSES TRANSPORTASI

Kurangnya akses terhadap infrastruktur menyebabkan kemiskinan, dimana masyarakat yang


tinggal di daerah terisolir atau terpencil dengan kondisi geografis yang sulit dan
ketersediaan pasar yang buruk kurang memiliki kesempatan ekonomi dan pelayanan jasa
yang memadai. Dengan kata lain, kelompok miskin ini masih kurang mendapatkan akses
terhadap program pembangunan pemerintah. Investasi pada infrastruktur, khususnya
infrastruktur transportasi (jalan, pelabuhan, bandara dan lain-lain), listrik, infrastruktur
pertanian (irigasi), fasilitas pendidikan dan kesehatan dapat sepenuhnya mengubah suatu
wilayah sehingga menciptakan landasan pertumbuhan ekonomi dan partisipasi yang lebih
besar dari masyarakat yang tinggal di daerah terpencil.

Pada sektor pertanian, faktor yang menyebabkan tingkat pendapatan yang rendah adalah
rendahnya harga komoditas pertanian di tingkat petani/produsen (farm gate price) di
daerah perdesaan dibandingkan dengan harga di perkotaan untuk komoditas dengan
kualitas sama (komoditas belum diubah atau diproses). Rendahnya harga komoditas
pertanian ditingkat petani merupakan akibat dari tingginya biaya transportasi untuk
pemasaran hasil pertanian dari desa surplus. Biaya transportasi akan lebih tinggi pada moda
kendaraan bermotor-melewati jalan setapak dan jalan kecil dengan tenaga manusia atau
hewan, misalnya pada daerah yang tidak memiliki akses jalan yang memadai. Dalam sebuah

29
kajian cepat mengenai penyebab kemiskinan pada desa terpencil di 5 kabupaten di
Indonesia diketahui bahwa tingginya biaya transportasi merupakan penyebab utama
terjadinya kemiskinan tersebut. Tingginya harga komoditas pertanian di tingkat petani akan
meningkatkan pendapatan yang diterima oleh masyarakat petani. Walaupaun demikian,
peningkatan pendapatan saja tanpa dibarengi dengan perbaikan akses terhadap pelayanan
jasa dan infrastruktur belum cukup untuk menjamin kesejahteraan masyarakat petani.

Keterbelakangan infrastruktur menghalangi laju perkembangan suatu wilayah. Infrastruktur


yang lebih baik akan menarik investasi yang lebih besar pada berbagai sektor, yang pada
akhirnya dapat menjadi daya dorong bagi penghidupan yang berkelanjutan.

Berdasarkan data PODES (Potensi Desa) 2020, BPS, di Kabupaten Kupang , hampir semua
desa memiliki akses penghubung bagi kendaraan roda 4 sepanjang tahun. Desa yang bisa
dilalui kendaraan roda 4 sepanjang tahun kecuali saat tertentu (ketika turun hujan, longsor,
pasang, dll) terdapat di Kecamatan Amfoang Selatan (Desa Fatusuki, Fatumetan),
Kecamatan Amfoang Barat Daya (Desa Nefoneut, Letkole ) dan Kecamatan Amfoang Barat
Laut (Desa Saukibe, Faumes, Timau, Honuk, Oelfatu, dan Desa Soliu). Sementara desa yang
bisa dilalui kendaraan roda 4 sepanjang tahun kecuali sepanjang musim hujan terdapat di
17 desa yang terbagi di Kecamatan Kecamatan Fatuleu (Desa Sillu, Oebola Dalam),
Kecamatan Kupang Tengah (Desa Mata Air), Kecamatan Fatuleu Barat (Desa Kalali, Poto,
Naitae, Nuataus), Kecamatan Takari (Desa Benu, Fatukona), Kecamatan Amfoang Barat Daya
(Desa Manubelon, dan Bioba Barutaen), Kecamatan Kecamatan Amfoang Utara (Desa Afoan,
Kolabe, Bakuin, Lilmus), Kecamatan Amfoang Timur (Desa Nunuana dan Desa Kifu).

Sedangkan Desa yang dapat dilalui kendaraan roda 4 sepanjang tahun terdapat di 150 desa
yang terbagi di Kecamatan Semau (Desa Bokonusan , Otan , Uitao , Huilelot , Uiasa , Hansisi ,
Batuinan dan Letbaun ), Semau Selatan (Desa Naikean, Akle, Uitiuhana, Onansila), Amfoang
Tengah (Desa Fatumonas , Binafun , Bonmuti , Bitobe), Kecamatan Kupang Barat (Desa
Sumlili, Oematnunu, Kuanheum, Bolok, Nitneo, Batakte, Manulai 1, Oenesu, Oenaek,
Tesabela, Lifuleo, Tablolong), Kecamatan Nekamese (Desa Bone, taloetan, Usapi sonbai,
Tasikona, Oenif, Oepaha, Oemasi, Oelomin, Tunfeu, Oben, dan desa Besmarak) , Kecamatan
Kupang Tengah (Desa Oelnasi, Desa Oelpuah, Oebelo, Noelbaki, Tarus, Penfui Timur, Tanah
merah), Kecamatan Taebenu (Desa Oeletsala, Kuaklalo, Bokong, Baumata Timur, Oeltua,
Baumata, baumata Barat, dan Desa Baumata Utara), Kecamatan Amarasi (Desa Oesena,
Nonbes, Kotabes, Ponain, Tesbatan, Apren, oenoni, Tesbatan II, dan Oenoni II), Kecamatan
Amarasi Barat (Desa Nekbaun, Merbaun , Erbaun, Teunbaun, Tunbaun, Soba, Niukbaun dan
Desa Toobaun), Kecamatan Amarasi Selatan (Desa Sahraen, Retraen , Buraen , Nekmese dan
Desa Sonren), Kecamatan Amarasi Timur (Desa Pakubaun, Oebesi, Rabeka dan Enoraen,
Kecamatan Kupang Timur (Desa Oefafi, Tuatuka, Pukdale, Oesao, naibonat, Nunkurus,
babau, Merdeka, Tuapukan, Manusak, Oesao II, Oelatimo, dan Desa Tanah Putih),
Kecamatan Amabi Oefeto Timur (Desa Pathau, Muke, Oemolo, Oemofa, Seki, Nunmafo
30
Oenuntono, Enolanan, Oeniko, Oenanunu), Kecamatan Amabi oefeto (Desa Fatukanutu,
Kairane, Niunbaun , Raknamo, Fatuteta, Kuanheum, dan Desa Oefeto), Kecamatan Sulamu
(Desa Sulamu, Pitai, Pariti, Oeteta , Bipolo, Pantulan, dan Desa Pantai Beringin), Kecamatan
Fatuleu (Desa Camplong 2, Camplong 1, Naunu , Oebola , ekateta , Tolnako , Kuimasi , dan
Desa Kiuoni), Kecamatan Fatuleu Tengah (Desa Nunsaen, Oelbiteno, Passi, dan Desa
Nonbaun), Kecamatan Fatuleu Barat (Desa Tuakau), Kecamatan Takari (Desa Takari,
Hueknutu, Tanini, Hueknutu, Noelmina, Kauniki , oelnaineno, Oesusu dan Desa Tuapanaf),
Kecamatan Amfoang Selatan (Desa Ohaem 1 , Leloboko , Lelogama , Oelbanu , Ohaem II),
Kecamatan Amfoang Timur (Desa Netemnanu,Netemnanu Selatan dan Netemnanu Utara),
Amfoang Utara (Desa Naikliu, dan Desa Fatunaus).

Jalan merupakan moda transportasi utama di Kabupaten Kupang akan tetapi terdapat
beberapa kecamatan di mana moda transportasi air masih menjadi bagian penting dari
moda transportasinya. Kondisi geografis hanya memungkinkan mengunakan moda
transportasi air. Masyarakat menggunakan perahu motor sebagai moda transportasinya,
contohnya di wilayah Kabupaten Rajabasa. Data yang akurat untuk moda transportasi air
tidak tersedia, jenis transportasi ini tidak dimasukkan sebagai salah satu indikator akses
infrastruktur. Di kabupaten Kupang untuk transportasi ke daerah kepulauan masih
menggunakan perahu motor, dan Kapal Feri, yakni ke Kecamatan Semau dan Kecamatan
Semau Selatan.

3.3 STRATEGI PENINGKATAN AKSES PANGAN


Strategi Pengurangan Kemiskinan, Peningkatan Akses terhadap Pangan
Strategi Pemerintah Daerah Kabupaten Kupang untuk menanggulangi kemiskinan seperti
yang termuat dalam RPJMD Kabupaten Kupang tahun 2019 – 2024 diantaranya:
 Mempercepat pemenuhan pelayanan kebutuhan dasar masyarakat miskin
 Mendorong tumbuh dan berkembangnya lembaga keuangan mikro dan sarana
pendukung perekonomian sampai tingkat perdesaan.
 Mendorong tumbuh dan berkembangnya pusat-pusat agrobisnis dan agroindustri.
 Mendorong tumbuh dan berkembangnya wilayah strategis dan cepat tumbuh.
 Mendorong pemerataan pembangunan infrastruktur antara desa-kota, pulau-pulau kecil
dan daerah terisolir.
 Mendorong pengembangan pelabuhan secara terpadu dengan pengembangan jaringan
transportasi lainnya dalam melayani kawasan perkotaan dan perdesaan.

31
BAB 4
PEMANFAATAN PANGAN

Aspek ketiga dari konsep ketahanan pangan adalah pemanfaatan pangan. Pemanfaatan
pangan meliputi: (1) Pemanfaatan pangan yang bisa diakses oleh rumah tangga; dan (2)
Kemampuan individu untuk menyerap zat gizi secara efisien oleh tubuh. Pemanfaatan
pangan juga meliputi cara penyimpanan, pengolahan, dan penyajian makanan termasuk
penggunaan air selama proses pengolahannya serta kondisi budaya atau kebiasaan dalam
pemberian makanan terutama kepada individu yang memerlukan jenis pangan khusus
sesuai dengan kebutuhan masing-masing individu (saat masa pertumbuhan, kehamilan,
menyusui, dll) atau status kesehatan masing-masing individu. Dalam penyusunan FSVA
Kabupaten, aspek pemanfaatan pangan meliputi indikator sebagai berikut: (1) Rasio jumlah
rumah tangga tanpa akses air bersih terhadap jumlah rumah tangga; dan (2) Rasio jumlah
penduduk desa per tenaga kesehatan terhadap kepadatan penduduk.
4.1 AKSES TERHADAP AKSES AIR BERSIH

Rasio jumlah rumah tangga tanpa akses air bersih terhadap jumlah rumah tangga
merupakan perbandingan antara jumlah rumah tangga Desil 1-4 dengan sumber air bersih
tidak terlindung dengan jumlah rumah tangga di desa. Air bersih adalah air yang digunakan
32
untuk keperluan sehari-hari yang kualitasnya memenuhi syarat kesehatan dan dapat
diminum apabila telah dimasak3. Sumber air bersih yang tidak terlindungi berpotensi
meningkatkan angka kesakitan serta menurunkan kemampuan dalam menyerap makanan
yang pada akhirnya akan mempengaruhi status gizi individu.
Tabel 4.1 Sebaran desa berdasarkan rumah tangga tangga tanpa akses air bersih
berdasarkan skala prioritas
Prioritas Range Jumlah Desa Persentase
1 >= 0,3925 46 26,0
2 0,2364 - < 0,3925 30 17
3 0,1322 - < 0,2364 23 13,0
4 0,0363 - < 0,0132 30 17
5 0,0066 - < 0,0363 27 15,3
6 < 0,0066 21 11,9

4.2 RASIO TENAGA KESEHATAN

Rasio jumlah penduduk desa per tenaga kesehatan terhadap kepadatan penduduk adalah
jumlah penduduk desa per tenaga kesehatan yang terdiri dari: (1) Dokter umum/spesialis;
(2) Dokter gigi; (3) Bidan; dan (4) Tenaga kesehatan lainnya (perawat, tenaga kesehatan

3
Permenkes 416 Tahun 1990

33
masyarakat, tenaga gizi, apoteker/asisten apoteker) dibandingkan dengan kepadatan
penduduk. Tenaga kesehatan berperan penting dalam menurunkan angka kesakitan
enduduk (morbiditas) dan meningkatkan pengetahuan masyarakat akan pentingnya
makanan yang beragam bergizi seimbang dan aman.
Rasio jumlah penduduk desa per tenaga kesehatan terhadap kepadatan penduduk
menunjukkan kemampuan jumlah tenaga kesehatan yang ada di wilayah desa untuk
melayani masyarakat. Jumlah tenaga kesehatan yang memadai akan meningkatkan status
pemanfaatan pangan masyarakat.
Tabel 4.2 Sebaran rasio tenaga kesehatan di desa berdasarkan skala prioritas
Prioritas Range Jumlah Desa Persentase
1 >= 36 26 14,7
2 16 -< 36 32 18,1
3 9 -< 16 39 22,0
4 4 -< 9 38 21,5
5 2 -< 4 23 13,0
6 <2 19 10,7

4.3 DAMPAK (OUTCOME) DARI STATUS KESEHATAN


Ketahanan pangan merupakan salah satu aspek yang mempengaruhi status kesehatan dan
gizi masyarakat. Status gizi anak ditentukan oleh asupan makanan dan penyakit yang
dideritanya. Status gizi anak balita diukur dengan 3 indikator yaitu:
1. Berat Badan Kurang dan Berat Badan Sangat Kurang yang biasa dikenal dengan
underweight (berat badan berdasarkan umur (BB/U) dengan Zscore dari-2 dari median
menurut referensi WHO 2005, yang mengacu kepada gabungan dari kurang gizi akut dan
kronis);
2. Pendek atau stunting (tinggi badan berdasarkan umur (TB/U) dengan Zscore kurang dari-
2 dari median menurut referensi WHO 2005, yang mengacu ke kurang gizi kronis jangka
panjang); dan
3. Kurus atau wasting (berat badan berdasarkan tinggi badan (BB/TB) dengan Zscore
kurang dari-2 dari median menurut referensi WHO 2005, yang mengacu kepada kurang
gizi akut atau baru saja mengalami kekurangan gizi).
Jumlah penderita gizi buruk di Kabupaten Kupang pada tahun 2016-2020 sebanyak 5.007
balita. Jumlah penderita gizi buruk yang tinggi ditemukan di Kecamatan Kupang Timur (532
balita) dan Kecamatan Kupang Tengah (396 balita), dan terendah ditemukan di Kecamatan
Amfoang Barat Laut (63 balita), Kecamatan Amfoang Barat Daya (66 Balita) dan Kecamatan
Amarasi Timur (69 balita).

34
Tabel 4.3 Penderita Gizi Buruk 2016-2020
Penderita Gizi Buruk
No. Kecamatan
2016 2017 2018 2019 2020
1 Semau 3 1 59 53 41
2 Semau Selatan 0 24 69 28 16
3 Kupang Barat 0 8 103 76 61
4 Nekamese 0 27 69 63 60
5 Kupang Tengah 3 4 137 130 122
6 Taebenu 0 0 39 25 21
7 Amarasi 9 0 107 28 23
8 Amarasi Barat 12 4 55 58 54
9 Amarasi Selatan 4 7 89 81 76
10 Amarasi Timur 0 6 24 16 23
11 Kupang Timur 4 2 173 175 178
12 Amabi oefeto Timur 5 0 95 68 45
13 Amabi Oefeto 0 2 29 26 23
14 Sulamu 2 2 104 78 23
15 Fatuleu 1 14 133 109 101
16 Fatuleu Tengah 1 4 45 98 112
17 Fatuleu Barat 1 0 45 47 55
18 Takari 4 4 140 89 76
19 Amfoang Selatan 0 10 71 104 125
20 Amfoang Barat Daya 1 1 24 15 25
21 Amfoang Tengah 5 0 92 87 89
22 Amfoang Utara 8 16 34 54 78
23 Amfoang Barat Laut 3 2 27 16 15
24 Amfoang Timur 3 1 32 26 12
Jumlah 69 139 1.795 1.550 1.454
Sumber :Dinas Kesehatan Kab.Kupang, Data Diolah 2021
Gambar 4.1 Grafik Penderita Gizi Buruk

600
Gizi Buruk 2016 s/d 2020
500
400
300 2020
200 2019
100 2018
0 2017
Nekamese

Takari

Amfoang Barat Laut


Amfoang Utara
Kupang Tengah
Kupang Barat
Semau Selatan

Amfoang Selatan
Amfoang Barat Daya
Amfoang Tengah
Sulamu
Amarasi Timur
Kupang Timur
Taebenu

Amarasi Barat

Amabi oefeto

Fatuleu
Amarasi Selatan
Amarasi

Fatuleu Tengah
Amabi Oefeto timur

Amfoang Timur
Fatuleu Barat
Semau

2016

35
Angka kematian balita dan ibu saat melahirkan merupakan dampak dari status kesehatan
dan gizi. Angka kematian balita tahun 2020 di Kabupaten Kupang adalah 97 jiwa. Sementara
angka kematian ibu saat melahirkan di Kabupaten Kupang berjumlah 11 orang. Angka
kematian balita tertinggi terdapat di Kecamatan Kupang Timur (16 jiwa) dan terendah
terdapat di Kecamatan Kupang Tengah, Kecamatan Sulamu, Kecamatan Fatuleu, Kecamatan
Amarasi Barat, Kecamatan Amfoang Tengah, masing masing 1 jiwa. Angka kematian ibu saat
melahirkan di Kecamatan Sulamu (3 orang), Kecamatan Kupang Tengah (2 jiwa), Kecamatan
Takari (2 orang), Kecamatan Amfoang Utara (2 orang), kecamatan Fatuleu (1 0rang), dan
Kecamatan Fatuleu Barat (1 orang). Untuk lebih lengkap dapat dilihat pada Tabel 4.4.
Tabel 4.4 Jumlah Kematian Balita dan Ibu Saat Melahirkan per Kecamatan Tahun 2020
Jumlah Kematian Jumlah Kematian
No. Kecamatan Total
Ibu Balita
1 Semau 0 2 2
2 Semau Selatan 0 4 4
3 Kupang Barat 0 9 9
4 Nekamese 0 6 6
5 Kupang Tengah 2 1 3
6 Taebenu 0 5 5
7 Amarasi 0 7 7
8 Amarasi Barat 0 1 1
9 Amarasi Selatan 0 4 4
10 Amarasi Timur 0 3 3
11 Kupang Timur 0 16 16
12 Amabi oefeto Timur 0 8 8
13 Amabi Oefeto 0 3 3
14 Sulamu 3 1 4
15 Fatuleu 1 1 2
16 Fatuleu Tengah 0 5 5
17 Fatuleu Barat 1 3 4
18 Takari 2 8 10
19 Amfoang Selatan 0 0 0
20 Amfoang Barat Daya 0 2 2
21 Amfoang Tengah 0 1 1
22 Amfoang Utara 2 2 4
23 Amfoang Barat Laut 0 0 0
24 Amfoang Timur 0 5 5
Jumlah 11 97 108

36
KEMATIAN IBU DAN BALITA 2020
18
16
14
12
10
8
6
4
2
0
Nekamese

Kupang Timur

Takari
Sulamu

Amfoang Barat Laut


Kupang Tengah
Taebenu

Fatuleu
Semau Selatan

Amarasi Barat
Amarasi Selatan
Amarasi Timur

Amfoang Utara
Amarasi
Kupang Barat

Amfoang Barat Daya


Amabi oefeto Timur

Fatuleu Tengah

Amfoang Tengah

Amfoang Timur
Fatuleu Barat

Amfoang Selatan
Amabi Oefeto
Semau

Jumlah Kematian Ibu Jumlah Kematian Balita

Gambar 4.2 Grafik Jumlah Kematian Balita dan Ibu Saat Melahirkan per Kecamatan

4.4. STRATEGI PENINGKATAN PEMANFAATAN PANGAN


Strategi Untuk Memperbaiki Status Gizi dan Kesehatan Kelompok Rentan .
Masalah gizi kronis (stunting) masih tetap tinggi di Kabupaten Kupang, masalah gizi kronis
merupakan akibat kurang optimalnya pertumbuhan janin dan bayi di usia dua tahun
pertama kehidupannya, terutama gabungan dari kurangnya asupan gizi, paparan terhadap
penyakit yang tinggi serta pola pengasuhan yang kurang tepat. Semua faktor ini dapat
menyebabkan kerusakan yang tidak dapat diperbaiki, yang akhirnya dapat menyebabkan
meningkatnya beban penyakit dan kematian pada balita.
Kurang gizi pada usia dini, terutama stunting dapat menghambat perkembangan fisik dan
mental yang akhirnya mempengaruhi prestasi dan tingkat kehadiran di sekolah. Anak yang
kurang gizi lebih cenderung untuk masuk sekolah lebih lambat dan lebih cepat putus
sekolah. Dampak ke masa depannya adalah mempengaruhi potensi kemampuan mencari
nafkah, sehingga sulit keluar dari lingkaran kemiskinan. Anak yang menderita kurang berat
badan menurut umur (kurang gizi) dan secara cepat berat badannya meningkat, maka pada
saat dewasa cenderung untuk menderita penyakit kronik yang terkait gizi (kencing manis,
tekanan darah tinggi dan penyakit jantung koroner). Dampak jangka panjang, oleh kurang
gizi pada masa anak-anak juga menyebabkan rendahnya tinggi badan dan pada ibu-ibu
dapat melahirkan bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR), yang akhirnya
menyebabkan terulangnya lingkaran masalah ini pada generasi selanjutnya.
Untuk menurunkan prevalensi stunting, maka intervensi gizi harus segera direncanakan dan
dilakukan secara efektif pada semua tingkatan, mulai dari rumah tangga sampai tingkat

37
nasional. Untuk mencegah dan mengatasi masalah kekurangan gizi secara efektif, perlu
prioritas untuk kelompokrentan gizi, memahami penyebab kurang gizi adalah multidimensi,
intervensi yang tepat dan efektif untuk mengatasi penyebabnya, dan meningkatkan
komitmen serta investasi dalam bidang gizi. Berikut ini adalah rekomendasi untuk mengatasi
masalah gizi:
1. Fokus pada kelompok rentan gizi, termasuk:
a. Anak usia di bawah dua tahun. Usia dua tahun pertama di dalam kehidupan adalah
usia yang paling kritis sehingga disebut “jendela peluang (window of opportunity)”
karena mencegah kurang gizi pada usia ini akan sangat berarti untuk kelompok ini
pada khususnya dan masyarakat pada umumnya. Meskipun kerusakan sudah terjadi
dan seharusnya dihindari sejak dari usia 9 bulan sampai usia 24 bulan, kerentanan
anak terhadap penyakit dan resiko kematian masih tinggi di usia lima tahun pertama.
Itulah sebabnya banyak intervensi kesehatan dan gizi yang difokuskan pad anak di
bawah lima tahun. Intervensi kesehatan dan gizi harus difokuskan pada anak di
bawah dua tahun, akan tetapi apabila anggaran memadai maka perlu dilakukan juga
untuk anak di bawah lima tahun.
b. Anak-anak kurang gizi ringan. Kelompok ini memiliki resiko lebih tinggi untuk
meninggal karena meningkatnya kerentanan terhadap infeksi. Anak yang terdeteksi
kurang gizi seharusnya di rawat dengan tepat untuk mencegah mereka menjadi gizi
buruk.
c. Ibu hamil dan menyusui, karena kelompok ini memerlukan kecukupan gizi bagi
pertumbuhan an perkembangan janin, dan untuk menghasilkan ASI (Air Susu Ibu)
untuk bayi mereka.
d. Kurang gizi mikro untuk semua kelompok umur, terutama pada anak-anak, ibu hamil
dan menyusui. Kekurangan gizi mikro pada semua kelompok umur cukup tinggi
disebabkan karena asupan karbohidrat yang tinggi, rendahnya asupan protein
(hewani) sayur dan buah serta makanan yang berfortifikasi. Pada kondisi ini biasanya
prevalensi stunting pada balita juga cukup tinggi.
2. Perencanaan dan penerapan intervensi multi-sektoral untuk mengatasi TIGA penyebab
dasar kekurangan gizi (pangan, kesehatan dan pengasuhan).
Satu sektor saja (sektor kesehatan atau pendidikan atau pertanian) tidak dapat
mengatasi masalah gizi secara efektif karena masalah tersebut adalah multi sektor.
a. Intervensi langsung dengan manfaat langsung terhadap gizi (terutama melalui Sektor
Kesehatan):
 Memperbaiki gizi dan pelayanan ibu hamil, terutama selama 2 trimester pertama
usia kehamilan: makan lebih sering, beraneka ragam, dan bergizi; minum pil besi
atau menggunakan suplemen gizi mikro tabor (Sprinkle) setiap hari;
memeriksakan kehamilan sekurangnya 4 kali selama periode kehamilan.

38
 Promosi menyusui ASI selama 0-24 bulan: inisial menyusui dini segera sesudah
bayi lahir; menyusui ASI ekslusif sampai 6 bulan pertama, melanjutkan pemberian
ASI sampai 24 bulan; melanjutkan menyusui walaupun anak sakit.
 Meningkatkan pola pemberian makanan tambahan untuk anak usia 6-24 bulan;
mulai pemberian makanan tambahan sejak anak berusia 7 bulan; pemberian
makanan lebih sering, jumlah sedikit, beraneka ragam dan bergizi (pangan
hewani, telur, kacang-kacangan, polong-polongan, kacang tanah, sayur, buah dan
minyak); hindari pemberian jajan yang tidak sehat.
 Pemantauan berat dan tinggi badan bayi 0-24 bulan atau jika sumber daya
memungkinkan, untuk anak 0-59 bulan secara teratur, untuk mendeteksi kurang
gizi secara dini sehingga bias dilakukan intervensi sedini mungkin. Meningkatkan
komunikasi mengenai berat badan anak, cara mencegah dan memperbaiki
kegagalan berat dan tinggi anak dengan keluarga.
 Mengatasi masalah kurang gizi akut pada balita dengan menyediakan fasilitas
fasilitas dan manajemen berbasis masyarakat berdasarkan pedoman dari
WHO/UNICEF dan Departemen Kesehatan.
 Memperbaiki asupan gizi mikro: promosi garam beryodium; penganekaragaman
asupan makanan; fortifikasi makanan; pemberian bil besi untuk ibu hamil;
pemberian vitamin A setiap 6 bulan sekali untuk anak 6-24 bulan (atau anak 6-59
bulan jika alokasi anggaran mencukupi), serta ibu menyusui dalam jangka waktu 1
bulan setelah melahirkan atau masa nifas; pemberian obat cacing.
b. Intervensi tidak langsung dengan manfaat tidak langsung terhadap gizi (terutama
melalui sektor di luar kesehatan)
3. Prioritas dan peningkatan investasi serta komitmen dalam hal gizi untuk mengatasi
masalah gizi.
Dampak ekonomi akibat kekurangan gizi pada anak-anak adalah sangat tinggi.
Kekurangan gizi pada anak akan menyebabkan hilangnya produktivitas pada masa
dewasa, dan tingginya biaya pelayanan kesehatan dan pendidikan. Ada beberapa
macam bentuk dari malnutrisi pada masa anak-anak yang dapat menyebabkan hilangnya
produktivitas mereka pada masa dewasa yang berkaitan dengan rendahnya kemampuan
kognitif. Kekurangan energi-protein berkontribusi sebesar 10% dari hilangnya
produktivitas pada masa dewasa, kekurangan zat besi (anemia) berkontribusi sebesar
4% dan kekurangan zat yodium sebesar 10%. Malnutrisi pada masa anak-anak juga
berpotensi menyebabkan hilangnya produktivitas tenaga kerja kasar.
Investasi di bidang gizi merupakan salah satu jenis intervensi pembangunan yang paling
efektif dari segi biaya, karena memiliki rasio manfaat-biaya yang tinggi, bukan hanya untuk
individu, tetapi juga pembangunan negara yang berkelanjutan, sebab intervensi ini dapat
melindungi kesehatan, mencegah kecacatan dan dapat memacu produktivitas ekonomi dan
menjaga kelangsungan hidup.

39
BAB 5
KETAHANAN DAN KERENTANAN PANGAN KOMPOSIT

Sebagaimana disebutkan di dalam Bab 1, bahwa kondisi kerentanan terhadap kerawanan


pangan kronis secara komposit ditentukan berdasarkan 6 indikator yang berhubungan
dengan ketersediaan pangan, akses pangan dan penghidupan, serta pemanfaatan pangan
dan gizi, yang dijelaskan secara rinci pada Bab Dua, Tiga dan Empat. Peta kerentanan
terhadap kerawanan pangan komposit (Peta 6.1) ditetapkan melalui Analisis Pembobotan.
5.1. KONDISI KETAHANAN PANGAN
Peta komposit menjelaskan kondisi kerentanan terhadap kerawanan pangan suatu wilayah
(kecamatan) yang disebabkan oleh kombinasi dari berbagai dimensi kerawanan pangan.
Berdasarkan hasil pembobotan, desa-desa dikelompokkan ke dalam 6 prioritas. Prioritas 1
merupakan prioritas utama yang menggambarkan tingkat kerentanan yang paling tinggi,
sedangkan prioritas 6 merupakan prioritas yang relatif lebih tahan pangan. Dengan kata lain,
wilayah (desa) prioritas 1 memiliki tingkat resiko kerentanan terhadap kerawanan pangan
yang lebih besar dibandingkan wilayah (desa) lainnya sehingga memerlukan perhatian
segera. Meskipun demikian, wilayah (desa) yang berada pada prioritas 1 tidak berarti semua
penduduknya berada dalam kondisi rawan pangan, juga sebaliknya wilayah (desa) pada
prioritas 6 tidak berarti semua penduduknya tahan pangan.

40
Berdasarkan hasil analisis tersebut, dari 177 desa dan 16 Kelurahan yang ada di Kabupaten
Kupang, maka didapatkan 6 desa (Prioritas 1), 29 desa (Prioritas 2), 37 desa (Prioritas 3), 57
desa (Prioritas 4), 38 desa (Prioritas 5) dan 10 desa (Prioritas 6).
Tabel 5.1. Sebaran Jumlah Desa berdasarkan Prioritas

Prioritas Jumlah Desa Persentase (%)

1 6 3,4%
2 29 6,4%
3 37 20,9%

4 57 32,2%
5 38 21,5%

6 10 5,6%
JUMLAH 177 100%

Desa rentan terhadap kerawanan pangan prioritas 1 terdapat di wilayah Kecamatan


Amfoang Selatan (Desa Fatumetan) , Kecamatan Amfoang Barat Daya (Desa Letkole)
Kecamatan Amfoang Utara (Desa Bakuin dan Desa Lilmus) dan Kecamatan Amfoang Barat
Laut (Desa Timau dan Desa Honuk). (Gambar 5.1).
Gambar 5.1 Sebaran Jumlah Desa Priroitas 1 Per Kecamatan

KOMPOSIT PRIORITAS 1

AMFOANG SELATAN 1
AMFOANG BARAT DAYA 1
1
AMFOANG UTARA 2
AMFOANG BARAT LAUT 2

41
Desa rentan terhadap kerawanan pangan prioritas 2 terdapat di wilayah Kecamatan Amarasi
Timur (Desa Enoraen), Kecamatan Amabi oefeto Timur (Desa Pathau dan Desa Oeniko)
Kecamatan Fatuleu (Desa Kiuoni, Desa Sillu), Kecamatan Fatuleu Tengah (Desa Nonbaun),
Kecamatan Fatuleu Barat (Desa Kalali, Desa Naitae, dan Desa Nuataus) dan Kecamatan
Takari (Desa Benu, Desa Tanini, dan Desa Fatukona), Kecamatan Amfoang Selatan (Desa
Fatusuki, Desa Leloboko dan Desa Ohaem II), Kecamatan Amfoang Barat Daya (Desa
Nefoneut), Kecamatan Amfoang Tengah (Desa Binafun dan Desa Bonmuti), Kecamatan
Amfoang Utara (Desa Afoan, Desa Fatunaus dan Desa Kolabe), Kecamatan Amfoang Barat
Laut (Desa Saukibe, Desa Faumes, Desa Oelfatu dan Desa Soliu), Kecamatan Amfoang Timur
(Desa Nunuana, Desa Kifu, Desa Netemnanu Selatan dan Desa Netemnanu). (Gambar 5.2).

PRIORITAS KOMPOSIT 2

4 1 2
2
4 1
3
3
3
2
1 3

AMARASI TIMUR 1 AMABI OEFETO TIMUR 2 FATULEU 2

FATULEU TENGAH 1 FATULEU BARAT 3 TAKARI 3

AMFOANG SELATAN 3 AMFOANG BARAT DAYA 1 AMFOANG TENGAH 2

AMFOANG UTARA 3 AMFOANG BARAT LAUT 4 AMFOANG TIMUR 4

Gambar 5.2 Sebaran Jumlah Desa Prioitas 2 per Kecamatan

Desa rentan terhadap kerawanan pangan prioritas 3 terdapat di wilayah Kecamatan Semau
(Desa Huilelot dan Desa Letbaun), Kecamatan Amarasi Barat (Desa Erbaun), Kecamatan
Taebenu (Desa Bokong dan Desa Baumata Utara), Kecamatan Amabi Oefeto Timur (Desa
Seki, Desa Enolanan dan Desa Oenaunu), Kecamatan Amabi Oefeto (Desa Niunbaun, Desa
Fatuknutu, Desa Raknamo, dan Desa Fatuteta) dan Kecamatan Sulamu (Desa Pitai)
Kecamatan Fatuleu (Desa Camplong II, Desa Naunu, Desa Oebola, Desa Tolnaku, dan Desa
Oebola Dalam), Kecamatan Fatuleu tengah (Desa Nunsaen, Desa Oelbiteno, dan Desa Pasi),
Kecamatan fatuleu Barat (Desa Poto dan Desa Tuakau), Kecamatan Takari (Desa Noelmina,
Desa Kauniki, Desa Hueknutu, Desa Tuapanaf, dan Desa Oelnaineno), Kecamatan Amfoang
Selatan (Desa Ohaem I, Desa Lelogama, dan Desa Oelbanu), Kecamatan Amfoang Barat Daya
(Desa Manubelon dan Desa Biobabarutaen), Kecamatan Amfoang Tengah (Desa Botobe, dan

42
Desa Fatumonas), Kecamatan Amfoang Utara (Desa Naikliu), dan Kecamatan Amfoang Timur
(Desa Netemnanu Utara). (Gambar 5.3). Sebaran jumlah Desa Prioritas 3 per kecamatan.

KOMPOSIT PRIORITAS 3

SEMAU 2
1 1 2 AMABI OEFETO TIMUR 3
2 3 TAEBENU 2
2 AMABI OEFETO 4
2
SULAMU 1
3 FATULEU 5
4 FATULEU TENGAH 3
FATULEU BARAT 2
5 1 TAKARI 5
AMFOANG SELATAN 3
5 AMFOANG BARAT DAYA 2
2
3 AMFOANG TENGAH 2
AMFOANG UTARA 1
AMFOANG TIMUR 1
AMARASI BARAT 1

Gambar 5.3 Sebaran Jumlah Desa Prioritas 3 per Kecamatan

5.2. FAKTOR PENYEBAB KERENTANAN PANGAN


Desa rentan terhadap kerawanan pangan Prioritas 1 , Prioritas 2 , dan prioritas 3 secara
umum disebabkan oleh: Terbatasnya lahan sawah terhadap lahan Total, Terbatasnya
jumlah sarana ekonomi terhadap Rumah Tangga, dan Tingginya jumlah Penduduk tidak
Sejahtera terhadap jumlah penduduk, Akses Penghubung kurang memadai, Tingginya
Rumah Tangga tanpa air bersih, Rendahnya jumlah tenaga kesehatan terhadap jumlah
penduduk, Anomali iklim, dan Bencana Alam.

43
BAB 6
REKOMENDASI KEBIJAKAN

Penyebab kerentanan terhadap kerawanan pangan pada suatu wilayah berbeda dengan
wilayah lainnya, dengan demikian cara penyelesaiannya juga berbeda. Peta ini membantu
memahami keadaan diantara wilayah (desa), dan dengan demikian akan membantu para
pengambil kebijakan untuk dapat menentukan langkah-langkah yang tepat dalam
menangani isu-isu ketahanan pangan yang relevan di wilayahnya.
Fokus lokasi penanganan kerentanan pangan di wilayah desa diprioritaskan pada:

a. Desa-desa prioritas 1-3 yang tersebar di Kecamatan pada tabel dibawah ini.
Tabel. 6.1 Desa Prioritas 1
No KECAMATAN DESA PRIORITAS
1 AMFOANG SELATAN FATUMETAN
2 AMFOANG BARAT DAYA LETKOLE Prioritas 1
3 AMFOANG UTARA BAKUIN
4 AMFOANG UTARA KOLABE
5 AMFOANG BARAT LAUT TIMAU
6 AMFOANG BARAT LAUT HONUK

Tabel. 6.2 Desa Prioritas 2


No KECAMATAN DESA PRIORITAS
1 AMARASI TIMUR ENORAEN
2 AMABI OEFETO TIMUR OENIKO Prioritas 2
3 PATHAU
4 FATULEU KIUONI
5 SILLU
6 FATULEU TENGAH NONBAUN
7 FATULEU BARAT KALALI
8 NAITAE
9 NUATAUS
10 TAKARI BENU
11 FATUKONA
12 TANINI
13 AMFOANG SELATAN FATUSUKI
14 LELOGMA
15 OHAEM II
16 AMFOANG BARAT DAYA NEFONEUT
17 AMFOANG TENGAH BINAFUN
18 BONMUTI

44
19 AMFOANG UTARA AFOAN
20 FATUNAUS
21 KOLABE
22 AMFOANG BARAT LAUT FAUMES
23 OELFATU
24 SAUKIBE
25 SOLIU
26 AMFOANG TIMUR KIFU
27 NETEMNANU
28 NETEMNANU SELATAN
29 NUNUANA

Tabel. 6.3 Desa Prioritas 3


No KECAMATAN DESA PRIORITAS
1 SEMAU HUILELOT Prioritas 3
2 LETBAUN
3 TAEBENU BAUMATA UTARA
4 BOKONG
5 AMARASI BARAT ERBAUN
6 AMABI OEFETO TIMUR ENOLANAN
7 OENAUNU
8 SEKI
9 AMABI OEFETO FATUKANUTU
10 FATUTETA
11 NIUNBAUN
12 RAKNAMO
13 SULAMU PITAI
14 FATULEU CAMPLONG II
15 NAUNU
16 OEBOLA
17 OEBOLA DALAM
18 TOLNAKU
19 FATULEU TENGAH NUNSAEN
20 OELBITENO
21 PASI
22 FATULEU BARAT POTO
23 TUAKAU
24 TAKARI HUEKNUTU
25 KAUNIKI
26 NOELMINA

27 OELNAINENO

45
28 TUAPANAF
29 AMFOANG SELATAN LELOGAMA
30 OELBANU
31 OHAEM
32 AMFOANG BARAT DAYA BIOBA BARUTAEN
33 MANUBELON
34 AMFOANG TENGAH BITOBE
35 FATUNAUS
36 AMFOANG UTARA NAIKLIU
37 AMFOANG TIMUR NETEMNANU UTARA

b. Desa-desa yang lokasinya jauh dari ibu kota kabupaten atau di wilayah yang berbatasan
dengan kabupaten lain
c. Desa-desa di Kepulauan yang menghadapi kendala akses fisik terhadap sumber pangan.
d. Desa-desa pemekaran yang fasilitas, infrastruktur dan kapasitas SDMnya masih terbatas.

Upaya-upaya untuk meningkatkan ketahanan pangan ditekankan pada penyebab utama


kerentanan pangan di desa seperti digambarkan pada diagram di bawah ini.

Gambar 6.1 Kerangka Intervensi untuk Meningkatkan Ketahanan Pangan

Masalah Ketersediaan Membuka lahan pertanian baru


Pangan Meningkatkan Kapasitas Produksi Pembangunan Pertanian dan
Luas lahan pertanian (sawah) Mengembangkan potensi lahan
yang mengalami penurunan Pedesaan
pertanian non sawah
Keterbatasan sarana penyediaan Penyediaan sarana dan prasarana

Masalah Akses Pangan Penyediaan Lapangan Kerja

Daya beli terbatas karena Mempermudah akses pangan


Jaring pengaman sosial rumah Peningkatan Akses Pangan
kemiskinan
tangga miskin

Masalah Infrastruktur
Pembangunan Infrastruktur Dasar Perbaikan infrastrukur
Terbatasnya akses terhadap air
bersih (air bersih)

Masalah Kesehatan dan Gizi


Penyediaan Tenaga Kesehatan
Peningkatan fasilitas dan tenaga
Distribusi tenaga kesehatan yang
tidak merata kesehatan

46
Program-program peningkatan ketahanan pangan dan penanganan kerentanan pangan
wilayah kabupaten diarahkan pada kegiatan:

a. Peningkatan penyediaan pangan di daerah non sentra produksi dengan


mengoptimalkan sumberdaya pangan lokal.
b. Pembukaan lahan pertanian baru (Perluasan Areal), Ekstensifikasi, Intensifikasi,
Rehabilitilasi, dan Integrated Farming System.
c. Penanganan kemiskinan melalui penyediaan lapangan kerja, padat karya, redistribusi
lahan; pembangunan infrastruktur dasar (jalan, air bersih), dan pemberian bantuan
sosial; serta pembangunan usaha produktif/UMKM/padat karya untuk menggerakan
ekonomi wilayah.
d. Peningkatan akses air bersih melalui penyediaan fasilitas dan layanan air bersih;
sosialisasi dan penyuluhan.

e. Penyediaan tenaga kesehatan.

47

Anda mungkin juga menyukai