SAMBUTAN BUPATI
KATA PENGANTAR
RINGKASAN EKSEKUTIF ii
I PENDAHULUAN 1
1.1. Latar Belakang 1
1.2. Kerangka Konsep Ketahanan Pangan dan Gizi 3
1.3. Metodologi 6
2 KETERSEDIAAN PANGAN 11
2.1. Lahan Pertanian 11
2.2. Produksi Pangan 13
2.3. Sarana dan Prasarana Ekonomi 24
2.4. Strategi Pemenuhan Ketersediaan Pangan 25
3 AKSES PANGAN 27
3.1. Tingkat Kesejahteraan Rumahtangga 27
3.2. Akses Penghubung 29
3.4. Strategi Peningkatan Akses Pangan 31
4 PEMANFAATAN PANGAN 32
4.1. Akses Air Bersih 32
4.2. Akses Tenaga Kesehatan 33
4.3.Dampak (outcome) Dari Status Kesehatan 34
4.4. Strategi Pemenuhan Pangan 37
6 REKOMENDASI KEBIJAKAN 45
i
RINGKASAN EKSEKUTIF
2. Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan (Food Security and Vulnerability Atlas – FSVA)
merupakan peta tematik yang menggambarkan visualisasi geografis dari hasil analisa
data indikator kerentanan terhadap kerawanan pangan. Informasi dalam FSVA
menjelaskan lokasi wilayah rentan terhadap kerawanan pangan dan indikator utama
daerah tersebut rentan terhadap kerawanan pangan.
4. Indikator pada aspek ketersediaan pangan adalah (1) Rasio luas lahan baku sawah
terhadap luas lahan total; (2) Rasio jumlah sarana dan prasarana ekonomi terhadap
jumlah rumah tangga. Indikator pada akses pangan adalah (1) Rasio penduduk dengan
tingkat kesejahteraan terendah terhadap total jumlah penduduk; (2) Desa dengan akses
penghubung kurang memadai. Indikator pada aspek pemanfaatan pangan adalah: (1)
Rasio rumah tangga tanpa akses air bersih; (2) Rasio tenaga kesehatan terhadap
penduduk.
ii
6. Hasil analisis FSVA 2021 menunjukkan bahwa desa rentan pangan Prioritas 1-3 sebanyak
72 Desa dari 160 desa dan 17 kelurahan di Kabupaten Kupang atau (30,7 %) yang terdiri
dari 6 desa ( 3,4 %) Prioritas 1; 29 desa ( 6,4 % ) Prioritas 2; dan 37 desa ( 20,9 % )
Prioritas 3 .
7. Karakteristik desa rentan pangan ditandai dengan Rasio Luas lahan baku sawah terhadap
lahan total, Rasio jumlah sarana ekonomi terhadap Rumah tangga, Rasio Prioritas Akses
Jalan, Rasio Tingkat Kesejahteraan, Rasio Tenaga Kesehatan / Jumlah Penduduk, dan
Rasio Rumah Tangga Tanpa Akses Air Bersih mendapatkan skor yang rendah atau berada
pada prioritas 1.
iii
a. Penanganan kemiskinan melalui penyediaan lapangan kerja, padat karya, redistribusi
lahan; pembangunan infrastruktur dasar (jalan, listrik, rumah sakit), dan pemberian
bantuan sosial; serta pembangunan usaha produktif/UMKM/padat karya untuk
menggerakan ekonomi wilayah
b. Peningkatan akses air bersih melalui penyediaan fasilitas dan layanan air bersih;
sosialisasi dan penyuluhan
c. Penyediaan tenaga kesehatan
d. Peningkatan pelayanan Kwalitas kesehatan.
e. pencegahan dan pengentasan Penyakit menular
f. Peningkatan Diversifikasi dan ketahanan pangan masyarakat
iv
BAB I
PENDAHULUAN
Perekonomian Kabupaten Kupang tahun 2020, tergantung atau didominasi pada sektor
Pertanian yang masih mempunyai peranan tinggi terhadap PDRB atas dasar harga berlaku
yakni 43,70 persen. Sektor perdagangan besar, eceran, reparasi mobil dan sepeda motor
merupakan kontributor tertinggi kedua dengan kontribusi 12,76 persen, kemudian sektor
konstruksi 11,35 persen. PDRB atas dasar harga berlaku menurut lapangan usaha tahun
2016 – 2020 meningkat dibandingkan tahun sebelumnya, di mana tahun 2016 PDRD kab
kupang atas dasar harga berlaku mencapai 6.020.701,7 Milyar, meningkat di tahun 2017
mencapai 6.557.410,9 Milyar, tahun 2018 mencapai 7.143.735,7 Milyar, Tahun 2019
mencapai 7.712.993,7 Milyar, tahun 2020 mencapai 7.764.126,8 Milyar atau naik walaupun
tidak signifikan dari tahun sebelumnya tahun 2019, dengan pertumbuhan ekonomi sebesar
0,65 %.
Kenaikan dan penurunan terjadi di semua sub sektor yang ada dalam sektor lapangan usaha.
Sub sektor pertanian, kehutanan, perikanan mengalami kenaikan dari 3.271.894,2 Milyar
tahun 2019 menjadi 3.392.793,9 Milyar pada tahun 2020. Namun sektor pertambangan dan
penggalian mengalami penurunan tahun 2020 yakni 116.661,3 Milyar dari 139.926,5 Milyar
(tahun 2019). Selain itu ada sektor Industri Pengolahan mengalami penurunan, yaitu dari
146.903,7 milyar menjadi 144.922,3 Milyar ; sektor Pengadaan Listrik dan Gas naik dari
2.056,7 Miliar menjadi 2.232,7 milyar ; dan sektor Pengadaan Air, Pengolahan sampah,
limbah dan daur ulang naik dari 2.022,6 Milyar menjadi 2.084,0 Milyar. Sektor Konstruksi
1
menunjukkan penurunan dari 964.532,3 Milyar menjadi 881.349,3 Milyar, sektor
perdagangan besar dan eceran Reparasi Mobil dan Sepeda motor turun dari 1.024.811,4
Milyar menjadi 991.086,8 Milyar, sektor Transportasi dan pergudangan turun dari 406.489,8
Milyar menjadi 396.508,7 milyar, sektor Penyediaan akomodasi dan makan minum turun
dari 13.934,5 milyar menjadi 12.919,1 milyar rupiah. Sektor Informasi dan komunikasi naik
dari 306.789,4 milyar menjadi 339.515,6 milyar rupiah, sektor jasa keuangan dan asuransi
naik dari 48.909,1 milyar menjadi 51.376,1 milyar rupiah, sektor real Estate turun dari
107.607,2 milyar menjadi 106.111,0 milyar, sektor Jasa Perusahaan turun dari 3.201,8 milyar
menjadi 2.286,3 milyar rupiah, sektor Administrasi pemerintahan pertahanan dan jaminan
sosial wajib naik dari 885.222,9 milyar menjadi 919.044,6 milyar, sektor Jasa Pendidikan naik
dari 308.923,1 milyar menjadi 320.742,2 milyar, sektor Jasa kesehatan dan kegiatan sosial
naik dari 66.966,2 milyar menjadi 73.361,5 milyar, sektor jasa lainnya turun dari 12.802,5
menjadi 11.131,5 milyar rupiah. Kondisi ini menunjukkan bahwa sejak tahun 2016 sampai
dengan tahun 2020 PDRB Kabupaten Kupang Atas Dasar Harga Berlaku menurut lapangaan
usaha senantiasa mengalami kenaikan namun masih sangat banyak hal yang harus dilakukan
oleh pemerintah dan para pemegang kepentingan (stakeholder) dalam melakukan
pembangunan.
Undang-undang No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan Pasal 114 dan Peraturan Pemerintah
No. 17 tahun 2015 tentang Ketahanan Pangan dan Gizi Pasal 75 mengamanatkan
Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berkewajiban
membangun, menyusun, dan mengembangkan Sistem Informasi Pangan dan Gizi yang
terintegrasi, yang dapat digunakan untuk perencanaan, pemantauan dan evaluasi, stabilisasi
pasokan dan harga pangan serta sebagai sistem peringatan dini terhadap masalah pangan
dan kerawanan pangan dan gizi.
Informasi tentang ketahanan dan kerentanan pangan penting untuk memberikan informasi
kepada para pembuat keputusan dalam pembuatan program dan kebijakan, baik di tingkat
pusat maupun tingkat lokal, untuk lebih memprioritaskan intervensi dan program
berdasarkan kebutuhan dan potensi dampak kerawanan pangan yang tinggi. Informasi
tersebut dapat dimanfaatkan sebagai salah satu instrumen untuk mengelola krisis pangan
dalam rangka upaya perlindungan/penghindaran dari krisis pangan dan gizi baik jangka
pendek, menengah maupun panjang.
Dalam rangka menyediakan informasi ketahanan pangan yang yang akurat dan
komprehensif, disusunlah Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan/Food Security and
Vulnerability Atlas-FSVA sebagai instrumen untuk monitoring ketahanan pangan wilayah. Di
tingkat nasional FSVA disusun sejak tahun 2002 bekerja sama dengan World Food
Programme (WFP). Kerjasama tersebut telah menghasilkan Peta Kerawanan Pangan (Food
Insecurity Atlas - FIA) pada tahun 2005. Pada tahun 2009, 2015, 2018 disusun Peta
Ketahanan dan Kerentanan Pangan (Food Security and Vulnerability Atlas – FSVA).
2
Sebagai tindak lanjut penyusunan FSVA Nasional disusun pula FSVA Provinsi dengan analisis
sampai tingkat kecamatan dan FSVA Kabupaten dengan analisis sampai tingkat desa.
Dengan demikian, permasalahan pangan dapat dideteksi secara cepat sampai level yang
paling bawah. FSVA kabupaten telah disusun sejak tahun 2012 dan dimutakhirkan pada
tahun 2016. Untuk mengakomodir perkembangan situasi ketahanan pangan dan pemekaran
wilayah desa, maka dilakukan pemutakhiran FSVA Kabupaten pada tahun 2019.
Seperti halnya FSVA Nasional dan Provinsi, FSVA Kabupaten menyediakan sarana bagi para
pengambil keputusan untuk secara cepat dalam mengidentifikasi daerah yang lebih rentan,
dimana investasi dari berbagai sektor seperti pelayanan jasa, pembangunan manusia dan
infrastruktur yang berkaitan dengan ketahanan pangan dapat memberikan dampak yang
lebih baik terhadap penghidupan, ketahanan pangan dan gizi masyarakat pada tingkat desa.
Pengembangan FSVA tingkat desa merupakan hal yang sangat penting, dimana kondisi
ekologi dan kepulauan yang membentang dari timur ke barat, kondisi iklim yang dinamis
dan keragaman sumber penghidupan masyarakat menunjukkan adanya perbedaan situasi
ketahanan pangan dan gizi di masing-masing wilayah. FSVA Kabupaten akan menjadi alat
yang sangat penting dalam perencanaan dan pengambilan keputusan untuk mengurangi
kesenjangan ketahanan pangan.
3
menambahkan aspek penyakit infeksi sebagai penyebab masalah gizi disamping ketahanan
pangan rumahtangga, maka International Food Policy Research Institute (IFPRI) menyebut
konsep ketahanan pangan FAO tersebut sebagai Food and Nutrition Security. Pada tahun
2012 FAO1 mengajukan definisi food security menjadi food and nutrition security untuk
menyempurnakan konsep dan definisi sebelumnya.
Upaya FAO ini sejalan dengan upaya Standing Committee on Nutrition (SCN), suatu lembaga
non struktural yang juga berada di bawah United Nations (PBB) yang pada tahun 2013 2 juga
merekomendasikan penyempurnaan definisi ketahanan pangan (food security) menjadi
ketahanan pangan dan gizi (food and nutrition security). Dalam pemahaman baru ini,
perwujudan ketahanan pangan tidak hanya berorientasi pada upaya penyediaan pangan
dalam jumlah yang cukup bagi setiap individu, namun juga harus disertai upaya untuk
meningkatkan efektivitas pemanfaatan pangan bagi terciptanya status gizi yang baik bagi
setiap individu. Dalam konteks ini optimalisasi utilisasi pangan tidak cukup hanya dari
kualitas pangan yang dikonsumsi, namun juga harus didukung oleh terhindarnya setiap
individu dari penyakit infeksi yang dapat mengganggu tumbuh kembang dan kesehatan
melalui kecukupan air bersih dan kondisi sanitasi lingkungan dan higiene yang baik.
Kerangka pikir ketahanan pangan dan gizi ini dituangkan dalam Gambar 1.1.
4
Ketersediaan pangan adalah kondisi tersedianya pangan dari hasil produksi dalam negeri,
cadangan pangan, serta pemasukan pangan (termasuk didalamnya impor dan bantuan
pangan) apabila kedua sumber utama tidak dapat memenuhi kebutuhan. Ketersediaan
pangan dapat dihitung pada tingkat nasional, regional, kecamatan dan tingkat masyarakat.
Akses pangan adalah kemampuan rumah tangga untuk memperoleh cukup pangan yang
bergizi, melalui satu atau kombinasi dari berbagai sumber seperti: produksi dan persediaan
sendiri, pembelian, barter, hadiah, pinjaman dan bantuan pangan. Pangan mungkin tersedia
di suatu daerah tetapi tidak dapat diakses oleh rumah tangga tertentu jika mereka tidak
mampu secara fisik, ekonomi atau sosial, mengakses jumlah dan keragaman makanan yang
cukup.
Pemanfaatan pangan merujuk pada penggunaan pangan oleh rumah tangga dan
kemampuan individu untuk menyerap dan memetabolisme zat gizi. Pemanfaatan pangan
juga meliputi cara penyimpanan, pengolahan dan penyiapan makanan, keamanan air untuk
minum dan memasak, kondisi kebersihan, kebiasaan pemberian makan (terutama bagi
individu dengan kebutuhan makanan khusus), distribusi makanan dalam rumah tangga
sesuai dengan kebutuhan individu (pertumbuhan, kehamilan dan menyusui), dan status
kesehatan setiap anggota rumah tangga. Mengingat peran yang besar dari seorang ibu
dalam meningkatkan profil gizi keluarga, terutama untuk bayi dan anak-anak, pendidikan ibu
sering digunakan sebagai salah satu proxy untuk mengukur pemanfaatan pangan rumah
tangga.
Dampak gizi dan kesehatan merujuk pada status gizi individu, termasuk defisiensi
mikronutrien, pencapaian morbiditas dan mortalitas. Faktor-faktor yang berhubungan
dengan pangan, serta praktek-praktek perawatan umum, memiliki kontribusi terhadap
dampak keadaan gizi pada kesehatan masyarakat dan penanganan penyakit yang lebih luas.
Kerentanan dalam peta ini selanjutnya merujuk pada kerentanan terhadap kerawanan
pangan dan gizi. Tingkat kerentanan individu, rumah tangga atau kelompok masyarakat
ditentukan oleh pemahaman terhadap faktor-faktor risiko dan kemampuan untuk
mengatasi situasi tertekan.
Kerawanan pangan dapat menjadi kondisi yang kronis atau transien. Kerawanan pangan
kronis adalah ketidakmampuan jangka panjang untuk memenuhi kebutuhan pangan
minimum dan biasanya berhubungan dengan struktural dan faktor-faktor yang tidak
berubah dengan cepat, seperti iklim setempat, jenis tanah, sistem pemerintahan daerah,
infrastruktur publik, sistim kepemilikan lahan, distribusi pendapatan dan mata pencaharian,
hubungan antar suku, tingkat pendidikan, sosial budaya/adat istiadat dll.
Kerawanan pangan transien adalah ketidakmampuan sementara yang bersifat jangka
pendek untuk memenuhi kebutuhan pangan minimum yang sebagian besar berhubungan
dengan faktor dinamis yang dapat berubah dengan cepat/tiba-tiba seperti penyakit
menular, bencana alam, pengungsian, perubahan fungsi pasar, tingkat hutang dan migrasi.
Perubahan faktor dinamis tersebut umumnya menyebabkan kenaikan harga pangan yang
5
lebih mempengaruhi penduduk miskin dibandingkan penduduk kaya, mengingat sebagian
besar dari pendapatan penduduk miskin digunakan untuk membeli makanan. Kerawanan
pangan transien yang berulang dapat menyebabkan kerawanan aset rumah tangga,
menurunnya ketahanan pangan dan akhirnya dapat menyebabkan kerawanan pangan
kronis.
1.3. Metodologi
Kerentanan pangan dan gizi adalah masalah multi-dimensional yang memerlukan analisis
dari sejumlah parameter. Kompleksitas masalah ketahanan pangan dan gizi dapat dikurangi
dengan mengelompokkan indikator proxy ke dalam tiga kelompok yang berbeda tetapi
saling berhubungan, yaitu ketersediaan pangan, keterjangkauan/akses rumah tangga
terhadap pangan dan pemanfaatan pangan secara individu. Pertimbangan gizi, termasuk
ketersediaan dan keterjangkauan bahan pangan bergizi tersebar dalam ketiga kelompok
tersebut.
Indikator
Kerentanan terhadap kerawanan pangan tingkat nasional, provinsi maupun kabupaten,
memiliki karakteristik masing-masing sehingga tidak semua indikator nasional maupun
provinsi dapat digunakan untuk memetakan kerentanan terhadap kerawanan pangan di
tingkat kabupaten. Pemilihan indikator FSVA Kabupaten didasarkan pada: (i) hasil review
terhadap pemetaan daerah rentan rawan pangan yang telah dilakukan sebelumnya; (ii)
tingkat sensitivitas dalam mengukur situasi ketahanan pangan dan gizi; (iii) keterwakilan
pilar ketahanan pangan dan gizi; dan (iv) ketersediaan data pada seluruh desa.
Indikator yang digunakan dalam FSVA Kabupaten terdiri dari 6 (enam) indikator yang
mencerminkan tiga aspek ketahanan pangan.
Tabel 1.1. Indikator FSVA Kabupaten 22021
Indikator Definisi Sumber Data
A. Aspek Ketersediaan Pangan
Rasio luas lahan Pertanian Luas lahan Pertanian BPS; Pusat Data
terhadap luas wilayah desa dibandingkan luas wilayah desa Informasi Kementan
2020
Rasio jumlah sarana dan Jumlah sarana dan prasarana Potensi Desa 2020, BPS
prasarana ekonomi terhadap ekonomi (pasar, minimarket, Jumlah Rumah Tangga
jumlah rumah tangga toko, warung, restoran dll) 2020 dari Sensus
dibandingkan jumlah rumah Penduduk (SP) 2019
tangga desa
B. Aspek Akses terhadap Pangan
Rasio jumlah penduduk Jumlah penduduk dengan status Data Terpadu Program
dengan tingkat kesejahteraan kesejahteraan terendah Penanganan Fakir
terendah terhadap jumlah (penduduk dengan tingkat Miskin (SK.71/2018)
penduduk desa kesejahteraan pada Desil 1) Jumlah Rumah Tangga
dibandingkan jumlah penduduk 2020 dari Sensus
6
Indikator Definisi Sumber Data
desa Penduduk 2019
Desa yang tidak memiliki Desa yang tidak memiliki akses Potensi Desa 2020, BPS
akses penghubung memadai penghubung memadai dengan
melalui darat atau air atau kriteria: (1) Desa dengan sarana
udara transportasi darat tidak dapat
dilalui sepanjang tahun; (2)
Desa dengan sarana
transportasi air atau udara
namun tidak tersedia angkutan
umum
C. Aspek Pemanfaatan Pangan
Rasio jumlah rumah tangga Jumlah rumah tangga desil 1 s/d Data Terpadu Program
tanpa akses air bersih 4 dengan sumber air bersih Penanganan Fakir
terhadap jumlah rumah tidak terlindung dibandingkan Miskin (SK.71/2018)
tangga desa jumlah rumah tangga desa
Rasio jumlah tenaga Jumlah tenaga kesehatan terdiri Potensi Desa 2020, BPS
kesehatan terhadap jumlah atas: 1) Dokter umum/spesialis; Jumlah penduduk 2020
penduduk desa 2) dokter gigi; 3) bidan; 4)
tenaga kesehatan lainnya
(perawat, tenaga kesehatan
masyarakat, tenaga gizi,
apoteker/asisten apoteker)
dibandingkan jumlah penduduk
desa
Metode Analisis
2. Analisis Komposit
Metodologi yang diadopsi untuk analisis komposit adalah dengan menggunakan metode
pembobotan. Metode pembobotan digunakan untuk menentukan tingkat kepentingan
relatif indikator terhadap masing-masing aspek ketahanan pangan. Metode pembobotan
dalam penyusunan FSVA mengacu pada metode yang dikembangkan oleh The Economist
Intelligence Unit (EIU) dalam penyusunan Global Food Security Index (EIU 2016 dan 2017)
dan International Food Policy Research Institute (IFPRI) dalam penyusunan Gobal Hunger
Index (IFPRI 2017). Goodridge (2007) menyatakan jika variabel yang digunakan dalam
perhitungan indeks berbeda, maka perlu dilakukan secara tertimbang (pembobotan) untuk
membentuk indeks agregat yang disesuaikan dengan tujuannya.
7
Langkah-langkah perhitungan analisis komposit adalah sebagai berikut:
a. Standarisasi nilai indikator dengan menggunakan z-score dan distance to scale (0 – 100)
b. Menghitung skor komposit kabupaten/kota dengan cara menjumlahkan hasil perkalian
antara masing-masing nilai indikator yang sudah distandarisasi dengan bobot indikator,
dengan rumus:
𝟗
𝒀(𝒋) = ∑ 𝒂𝒊𝑿𝒊𝒋………………………………………………………...… (1)
𝒏=𝟏
Dimana:
Yj : Skor komposit kabupaten/kota ke-j
ai : Bobot masing-masing indikator
Xij : Nilai standarisasi masing-masing indikator pada kabupaten/kota ke-j
Besaran bobot masing-masing indikator dibagi sama besar untuk setiap aspek ketahanan
pangan, karena setiap aspek memiliki peran yang sama besar terhadap penentuan
ketahanan pangan wilayah. Bobot untuk setiap indikator mencerminkan signifikansi atau
pentingnya indikator tersebut dalam menentukan tingkat ketahanan pangan suatu
wilayah.
No Indikator Bobot
1. Rasio luas lahan Pertanian terhadap luas wilayah desa 1/6
2. Rasio jumlah sarana dan prasarana ekonomi terhadap jumlah 1/6
rumah tangga
Sub Total 1/3
3. Rasio jumlah penduduk dengan tingkat kesejahteraan 1/6
terendah terhadap jumlah penduduk desa
4. Desa yang tidak memiliki akses penghubung memadai 1/6
8
indikator individu dengan cut off point indikator individu hasil standarisasi z-score dan
distance to scale (0-100).
………………………………………………………...… (2)
Dimana:
Kj : cut off point komposit ke-J
ai : Bobot indikator ke-i
Cij : Nilai standarisasi cut off point indikator ke-I kelompok ke-j
3. Pemetaan
Hasil analisis indikator individu dan komposit kemuadian divisualisasikan dalam bentuk peta.
Peta-peta yang dihasilkan menggunakan pola warna seragam dalam gradasi warna merah
dan hijau. Gradasi merah menunjukkan variasi tingkat kerentanan pangan tinggi dan gradasi
hijau menggambarkan variasi kerentanan pangan rendah. Untuk kedua kelompok warna
tersebut, warna yang semakin tua menunjukkan tingkat yang lebih tinggi dari ketahanan
atau kerentanan pangan.
9
10
BAB 2
KETERSEDIAAN PANGAN
Mayoritas bahan pangan yang diproduksi maupun didatangkan dari luar wilayah harus
masuk terlebih dahulu ke pasar sebelum sampai ke rumah tangga. Oleh karena itu, selain
kapasitas produksi pangan, keberadaan sarana dan prasarana penyedia pangan seperti
pasar akan terkait erat dengan ketersediaan pangan di suatu wilayah.
1. Yudisthira ( 2013 ) Analisis Dampak Alih Fungsi Lahan Pertanian terhadap Ketahanan
Pangan di
Kabupaten Bekasi Jawa Barat . Fakultas Ekonomi.
11
Dari 160 desa dan 17 Kelurahan di Kabupaten Kupang, terdapat 26 desa masuk dalam
prioritas 1 (14,7%), 27 desa prioritas 2 (15,3 % ), 36 Desa prioritas 3 (20,3%), 35 Desa
Prioritas 4 (19,8% ), 27 Desa Prioritas 5 (15,3% ), 26 Desa masuk dalam prioritas 6 (14,7% ).
Kecamatan yang memiliki rasio lahan prioritas 1-3 sebagian besar tersebar di Kecamatan
Amfoang Selatan, Kecamatan Amabi Oefeto, Kecamatan Amabi Oefeto Timur, Kecamatan
Amfoang Barat Daya, Kecamatan Amfoang Utara, Kecamatan Fatuleu Tengah, Kecamatan
Takari, Kecamatan Taebenu, Kecamatan Kuapang Timur, Kecamatan Semau, Dan Kecamatan
Amarasi.
Tabel 2.1 Sebaran rasio luas baku lahan sawah terhadap total lahan berdasarkan prioritas
12
Jumlah Desa Priotitas 1-6
Indikator Luas Lahan Pertanian
1 <= 0,0000
26 26
2 Ø 0,0000 – 0,0010
27 27 3 Ø 0,0010 – 0,0077
4 Ø 0,0077 – 0,263
5 Ø 0,0263 – 0,592
35 36
6 Ø 0,0592
13
Tabel 2.2 Produksi Serealia Pokok dan Umbi-umbian 2016-2020 (Ton)
Produksi Produksi Produksi Produksi Produksi Rata Rata
No Serelia Lima
2016 2017 2018 2019 2020 Tahun
Amfoang Selatan
Amfoang Utara
Kupang Tengah
Fatuleu Barat
Takari
Amfoang Tengah
Nekamese
Kupang Barat
Fatuleu
Taebenu
Sulamu
Amarasi
Amfoang Timur
Semau Selatan
Amarasi Selatan
Amarasi Timur
Kupang Timur
Fatuleu Tengah
Amarasi Barat
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
Tahun 2020, total produksi serealia dan umbi-umbian bervariasi yakni padi 21.776,68 ton,
jagung 51.345 ton, ubi kayu 18.001,80 ton, dan ubi jalar 944,56 ton.
Total produksi serealia dan laju pertumbuhan produksi tahun 2016-2020 menunjukkan
pertumbuhan sebesar 8,30 %, yaitu dari total produksi tahun 2016 sebesar 100.406,02 ton,
Tahun 2017 naik menjadi 181.881,80 ton, tahun 2018 naik menjadi 270.578,84 ton pada
tahun 2019 turun menjadi 113.141,97 dan tahun 2020 turun menjadi 97.068,04 ton.
Sebaran total produksi serealia selama 5 tahun terbesar terjadi pada tahun 2018, yaitu
sebesar 270.528,84 ton dan terkecil pada tahun 2020 sebesar 92.068,04 ton, Data Produksi
serealia pertahun dan laju pertumbuhannya dapat dilihat pada Tabel 2.3.
14
Tabel 2.3 Produksi Total Serelia per Tahun dan Laju Pertumbuhan Produksi
Tahun 2016 s/d Tahun 2020 ( Ton )
Total Produksi Serelia Laju
NO Kecamatan Tahun Tahun Tahun Tahun Tahun Pertumbuhan
2016 2017 2018 2019 2020
15
Padi
Produksi padi pada tingkat kecamatan di Kabupaten Kupang selama 5 tahun terakhir
(2016-2020) telah dianalisis dan disajikan pada Tabel 2.4 Produksi padi mengalami
peningkatan dari tahun 2016 dengan produksi 39.937,51 ton naik pada tahun 2017 menjadi
79.265,76 ton , naik tahun 2018 menjadi 141.546,74 ton namun tahun 2019 mengalami
penurunan 67.321,67 dan tahun 2020 mengalami penurunan menjadi 21.776,68 ton .
Peningkatan terjadi di semua kecamatan karena pada tahun 2016 sampai tahun 2018
disebakan karena curah hujan yang cukup didukung dengan penambahan sarana prasarana
/ alsintan pertanian, penggunaan benih / bibit bermutu / berlabel.
namun tahun 2019 dan tahun 2020 terjadi perubahan iklim dimana terjadi kemarau
panjang, bencana seroja yang menyebakan kerusakan dimana-mana yang berdampak pada
penurunan produksi tanaman pangan pada umunya . Data Produksi Padi tahun 2016 – 2020
(Ton) laju pertumbuhan dapat dilihat pada Tabel produksi Padi.
16
Tabel 2.4 Produksi P a d i
Tahun 2016 s/d Tahun 2020 ( Ton ) Laju Pertumbuhan
Produksi Padi Laju
NO Kecamatan Tahun Tahun Tahun Tahun Tahun Pertumbuhan
2016 2017 2018 2019 2020
12 141 Amabi Oefeto Timur 19,25 120,75 288,93 205,00 53,25 176,62
20 181 Amfoang Barat Daya 445,50 975,00 929,50 387,50 187,50 - 57,91
23 191 Amfoang Barat Laut 559,50 1.255,50 1.834,13 1.038,25 1.095,00 95,71
17
18
Jagung
Pada tahun 2018, produksi jagung mencapai 53.345 ton. Hal ini menunjukkan terjadi
peningkatan dari tahun 2016 dengan total produksi sebesar 41.331,31 ton dengan laju pertumbuhan
dari tahun 2016 ke tahun 2020 mencapai 24 persen. dengan total produksi jagung sebesar 53.345
ton yang berarti terjadi peningkatan produksi pada tahun 2016 disebabkan karena ketersediaan air
cukup, penambahan jumlah alsintan, penggunaan benih / bibit bermutu berlabel semakin
meningkat. Sebaran produksi jagung terbesar terjadi pada tahun 2018, yaitu sebesar 98.149,7 ton.
Berdasarkan data produksi jagung tahun 2020, maka Kontribusi terbesar terjadi di 7 Kecamatan
yakni Kecamatan Fatuleu dengan total produksi 5.841 ton, Kecamatan Kupang Timur total produksi
4.554 ton, Kecamatan Amarasi 3.306 ton, Kecamatan Sulamu 3.295,35 ton, Kecamatan Semau
sebanyak 2.370 ton, dan Kecamatan Semau Selatan sebesar 2.252 ton. Secara rinci produksi jagung
tahun 2016-2020 disajikan pada Tabel 2.5.
Tabel 2.5 Data Produksi Jagung Tahun 2016 – 2020 ( Ton )
Produksi J a g u n g
NO Kecamatan Tahun
Tahun 2016 2017 Tahun 2018 Tahun 2019 Tahun 2020
19
PRODUKSI JAGUNG 2016 - 2020
14000
12000
10000
8000
6000
4000
2000
0
Kupang Tengah
Amarasi Selatan
Taebenu
Amarasi
Amarasi Barat
Takari
Amarasi Timur
Amfoang Selatan
Sulamu
Fatuleu
Fatuleu Tengah
Kupang Timur
Fatuleu Barat
Ubi Kayu
Produksi ubi kayu Tahun 2016 sebesar 14.855,60 ton, tahun 2017 meningkat 28.478,50
ton, tahun 2018 meningkat 29.116,30 ton, tahun 2019 menurun 9.901,90 ton, tahun 2020
meningkat 18.001,80 ton, Berdasarkan Data produksi secara umum dari tahun 2016 – 2020
terjadi peningkatan dimana produksi ubi kayu tahun 2016 mencapai 14.855,60 meningkat
menjadi 18.001,80 ton dengan laju pertumbuhan sebesar 21 persen.
Daerah yang merupakan sentra produksi ubi kayu terbesar pada tahun 2017 dan 2018
meliputi Kecamatan Takari dengan total mencapai 6.742,50 ton, Kecamatan Amarasi dengan
total produksi mencapai 4.941,30 ton, Kecamatan Amarasi Barat sebesar 3.600 ton,
Kecamatan Amabi Oefeto Timur sebesar 2.345 ton. Rincian produksi ubi kayu tahun 2016-
2020 disajikan pada Tabel 2.6.
20
Tabel 2.6 Data Produksi Ubi Kayu Tahun 2016 s/d Tahun 2020 .
Produksi U b i K a y u
NO Kecamatan Tahun Tahun Tahun Tahun Tahun
2016 2017 2018 2019 2020
21
Ubi Jalar
Produksi ubi jalar terbesar selama kurun waktu 5 tahun (2016 - 2020) terjadi pada
tahun 2016, yaitu sebesar 4.281,60 ton, Kecamatan Amarasi Selatan merupakan
penyumbang terbesar, yaitu sebesar 3.657,50 ton, Kecamatan Amfoang tengah sebesar 182
Ton, Kecamatan Amfoang Tengah sebesar 182 ton, Kecamatan Amfoang Utara sebesar 136
ton, Kecamatan Takari sebesar 100 ton. Rincian produksi ubi jalar tahun 2016 – 2020
disajikan pada Tabel 2.7.
Tabel 2.7 Data Produksi Ubi Jalar Tahun 2016 – 2020 ( Ton )
Produksi U b i J a l a r
Kecamatan Tahun Tahun Tahun Tahun Tahun
NO
2016 2017 2018 2019 2020
3 Kupang Barat - - - -
4 Nekamese - - - -
6 Taebenu - - - -
13 Amabi Oefeto - - - -
14 Sulamu - - - 48,96
15 Fatuleu - - - -
19 Amfoang Selatan - - - -
22
136,00 355,00 245,00 301,00
Amfoang Selatan
Amarasi Barat
Takari
Amarasi
Amfoang Tengah
Taebenu
Semau
Sulamu
Fatuleu
Kupang Timur
Semau Selatan
Amarasi Selatan
Amarasi Timur
Fatuleu Barat
Amabi Oefeto Timur
Fatuleu Tengah
Amabi Oefeto
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
23
2.3. SARANA DAN PRASARANA EKONOMI
Rasio jumlah sarana dan prasarana penyedia pangan terhadap jumlah rumah tangga adalah
perbandingan antara jumlah sarana dan prasarana penyedia pangan (pasar, minimarket,
toko, warung, restoran, dll) dengan jumlah rumah tangga di desa. Sarana dan prasarana
penyedia pangan diasumsikan sebagai tempat penyimpan pangan (stok pangan) yang
diperoleh dari petani sebagai produsen pangan maupun dari luar wilayah, yang selanjutnya
disediakan bagi masyarakat untuk konsumsi. Oleh karena itu, semakin tinggi rasio sarana
dan prasarana penyedia pangan terhadap jumlah rumah tangga di desa maka diasumsikan
semakin baik tingkat ketersediaan pangan di desa tersebut.
Dari 160 desa dan 17 Kelurahan di Kabupaten Kupang, 47 desa masuk dalam prioritas 1
(26,6 %), 23 desa prioritas 2 ( 13,0 %) dan 31 desa prioritas 3 (17,5 %) dari aspek sarana dan
prasarana penyedia pangan terhadap jumlah rumah tangga.
24
Tabel 2.8 Sebaran rasio sarana prasarana ekonomi berdasarkan prioritas
No. Prioritas Rasio Sarana Ekonomi Jumlah Desa Persentase
1 Prioritas 1 <= 0,0093 47 26,6
2 Prioritas 2 0,0093 – 0,0197 23 13,0
3 Prioritas 3 0,0197 – 0,0307 31 17,5
4 Prioritas 4 0,0307 – 0,0515 32 18,1
5 Prioritas 5 0,0515 – 0,0654 19 10,7
6 Prioritas 6 0,0654 25 14,1
25
c. Pemupukan berimbang, baik pupuk organik maupun bio hayati
d. Pengelolaan air
e. Memperkuat pengawasan, koordinasi dan supervisi untuk peningkatan produktivitas
pertanian
26
BAB 3
AKSES TERHADAP PANGAN
Keterjangkauan pangan atau akses terhadap pangan adalah kemampuan rumah tangga
untuk memperoleh cukup pangan, baik yang berasal dari produksi sendiri, stok, pembelian,
barter, hadiah, pinjaman dan bantuan pangan. Pangan mungkin tersedia di suatu wilayah
tetapi tidak dapat diakses oleh rumah tangga tertentu karena terbatasnya: (1) Akses
ekonomi: kemampuan keuangan untuk membeli pangan yang cukup dan bergizi; (2) Akses
fisik: keberadaan infrastruktur untuk mencapai sumber pangan; dan/atau (3) Akses sosial:
modal sosial yang dapat digunakan untuk mendapatkan dukungan informal dalam
mengakses pangan, seperti barter, pinjaman atau program jaring pengaman sosial. Dalam
penyusunan FSVA Kabupaten, indikator yang digunakan dalam aspek keterjangkauan
pangan hanya mewakili akses ekonomi dan fisik saja, yaitu: (1) Rasio jumlah penduduk
dengan tingkat kesejahteraan terendah terhadap jumlah penduduk desa; dan (2) Desa yang
tidak memiliki akses penghubung memadai melalui darat, air atau udara.
27
Berbagai program penanggulangan kemiskinan sudah dijalankan oleh pemerintah termasuk
pemerintah Kabupaten Kupang. Rasio kemiskinan menurun dalam beberapa tahun terakhir,
jumlah penduduk miskin Kabupaten kupang terus menurun dari 23,43 % pada tahun 2016,
naik menjadi 22,91% pada tahun 2017, turun menjadi 23,10 % pada Tahun 2018, turun
menjadi 23,03 % pada Tahun 2019,dan turun menjadi 22,77 % pada tahun 2020.
Pada tingkat desa berdasarkan data Data Terpadu Program Penanganan Fakir Miskin tahun
2020, terdapat di 11 Kecamatan di 35 desa ( 19,8 % ) yang memiliki rasio rumah tangga
dengan dengan tingkat kesejahteraan terendah masuk kedalam Prioritas 1, sebanyak 21
Desa ( 11,86 %) masuk prioritas 2, dan 38 desa ( 21,46 % ) masuk Prioritas 3. Oleh karena itu,
program-program penanggulangan kemiskinan Kabupaten ke depan masih harus
ditingkatkan dan diprioritaskan di 94 desa tersebut.
Tabel 3.2 Sebaran desa dengan tingkat kesejahteraan terendah berdasarkan skala prioritas
Prioritas Range Jumlah Desa Persentase
1 >= 0,3456 35 19,8 %
2 0,2388 - < 0,3456 21 11,9 %
3 0,1032 - < 0,2388 38 21,5 %
4 0,0556 - < 0,1032 31 17,5 %
5 0,0282 - < 0,0556 28 15,8 %
6 < 0,0282 24 13,6 %
28
3.2 AKSES TRANSPORTASI
Pada sektor pertanian, faktor yang menyebabkan tingkat pendapatan yang rendah adalah
rendahnya harga komoditas pertanian di tingkat petani/produsen (farm gate price) di
daerah perdesaan dibandingkan dengan harga di perkotaan untuk komoditas dengan
kualitas sama (komoditas belum diubah atau diproses). Rendahnya harga komoditas
pertanian ditingkat petani merupakan akibat dari tingginya biaya transportasi untuk
pemasaran hasil pertanian dari desa surplus. Biaya transportasi akan lebih tinggi pada moda
kendaraan bermotor-melewati jalan setapak dan jalan kecil dengan tenaga manusia atau
hewan, misalnya pada daerah yang tidak memiliki akses jalan yang memadai. Dalam sebuah
29
kajian cepat mengenai penyebab kemiskinan pada desa terpencil di 5 kabupaten di
Indonesia diketahui bahwa tingginya biaya transportasi merupakan penyebab utama
terjadinya kemiskinan tersebut. Tingginya harga komoditas pertanian di tingkat petani akan
meningkatkan pendapatan yang diterima oleh masyarakat petani. Walaupaun demikian,
peningkatan pendapatan saja tanpa dibarengi dengan perbaikan akses terhadap pelayanan
jasa dan infrastruktur belum cukup untuk menjamin kesejahteraan masyarakat petani.
Berdasarkan data PODES (Potensi Desa) 2020, BPS, di Kabupaten Kupang , hampir semua
desa memiliki akses penghubung bagi kendaraan roda 4 sepanjang tahun. Desa yang bisa
dilalui kendaraan roda 4 sepanjang tahun kecuali saat tertentu (ketika turun hujan, longsor,
pasang, dll) terdapat di Kecamatan Amfoang Selatan (Desa Fatusuki, Fatumetan),
Kecamatan Amfoang Barat Daya (Desa Nefoneut, Letkole ) dan Kecamatan Amfoang Barat
Laut (Desa Saukibe, Faumes, Timau, Honuk, Oelfatu, dan Desa Soliu). Sementara desa yang
bisa dilalui kendaraan roda 4 sepanjang tahun kecuali sepanjang musim hujan terdapat di
17 desa yang terbagi di Kecamatan Kecamatan Fatuleu (Desa Sillu, Oebola Dalam),
Kecamatan Kupang Tengah (Desa Mata Air), Kecamatan Fatuleu Barat (Desa Kalali, Poto,
Naitae, Nuataus), Kecamatan Takari (Desa Benu, Fatukona), Kecamatan Amfoang Barat Daya
(Desa Manubelon, dan Bioba Barutaen), Kecamatan Kecamatan Amfoang Utara (Desa Afoan,
Kolabe, Bakuin, Lilmus), Kecamatan Amfoang Timur (Desa Nunuana dan Desa Kifu).
Sedangkan Desa yang dapat dilalui kendaraan roda 4 sepanjang tahun terdapat di 150 desa
yang terbagi di Kecamatan Semau (Desa Bokonusan , Otan , Uitao , Huilelot , Uiasa , Hansisi ,
Batuinan dan Letbaun ), Semau Selatan (Desa Naikean, Akle, Uitiuhana, Onansila), Amfoang
Tengah (Desa Fatumonas , Binafun , Bonmuti , Bitobe), Kecamatan Kupang Barat (Desa
Sumlili, Oematnunu, Kuanheum, Bolok, Nitneo, Batakte, Manulai 1, Oenesu, Oenaek,
Tesabela, Lifuleo, Tablolong), Kecamatan Nekamese (Desa Bone, taloetan, Usapi sonbai,
Tasikona, Oenif, Oepaha, Oemasi, Oelomin, Tunfeu, Oben, dan desa Besmarak) , Kecamatan
Kupang Tengah (Desa Oelnasi, Desa Oelpuah, Oebelo, Noelbaki, Tarus, Penfui Timur, Tanah
merah), Kecamatan Taebenu (Desa Oeletsala, Kuaklalo, Bokong, Baumata Timur, Oeltua,
Baumata, baumata Barat, dan Desa Baumata Utara), Kecamatan Amarasi (Desa Oesena,
Nonbes, Kotabes, Ponain, Tesbatan, Apren, oenoni, Tesbatan II, dan Oenoni II), Kecamatan
Amarasi Barat (Desa Nekbaun, Merbaun , Erbaun, Teunbaun, Tunbaun, Soba, Niukbaun dan
Desa Toobaun), Kecamatan Amarasi Selatan (Desa Sahraen, Retraen , Buraen , Nekmese dan
Desa Sonren), Kecamatan Amarasi Timur (Desa Pakubaun, Oebesi, Rabeka dan Enoraen,
Kecamatan Kupang Timur (Desa Oefafi, Tuatuka, Pukdale, Oesao, naibonat, Nunkurus,
babau, Merdeka, Tuapukan, Manusak, Oesao II, Oelatimo, dan Desa Tanah Putih),
Kecamatan Amabi Oefeto Timur (Desa Pathau, Muke, Oemolo, Oemofa, Seki, Nunmafo
30
Oenuntono, Enolanan, Oeniko, Oenanunu), Kecamatan Amabi oefeto (Desa Fatukanutu,
Kairane, Niunbaun , Raknamo, Fatuteta, Kuanheum, dan Desa Oefeto), Kecamatan Sulamu
(Desa Sulamu, Pitai, Pariti, Oeteta , Bipolo, Pantulan, dan Desa Pantai Beringin), Kecamatan
Fatuleu (Desa Camplong 2, Camplong 1, Naunu , Oebola , ekateta , Tolnako , Kuimasi , dan
Desa Kiuoni), Kecamatan Fatuleu Tengah (Desa Nunsaen, Oelbiteno, Passi, dan Desa
Nonbaun), Kecamatan Fatuleu Barat (Desa Tuakau), Kecamatan Takari (Desa Takari,
Hueknutu, Tanini, Hueknutu, Noelmina, Kauniki , oelnaineno, Oesusu dan Desa Tuapanaf),
Kecamatan Amfoang Selatan (Desa Ohaem 1 , Leloboko , Lelogama , Oelbanu , Ohaem II),
Kecamatan Amfoang Timur (Desa Netemnanu,Netemnanu Selatan dan Netemnanu Utara),
Amfoang Utara (Desa Naikliu, dan Desa Fatunaus).
Jalan merupakan moda transportasi utama di Kabupaten Kupang akan tetapi terdapat
beberapa kecamatan di mana moda transportasi air masih menjadi bagian penting dari
moda transportasinya. Kondisi geografis hanya memungkinkan mengunakan moda
transportasi air. Masyarakat menggunakan perahu motor sebagai moda transportasinya,
contohnya di wilayah Kabupaten Rajabasa. Data yang akurat untuk moda transportasi air
tidak tersedia, jenis transportasi ini tidak dimasukkan sebagai salah satu indikator akses
infrastruktur. Di kabupaten Kupang untuk transportasi ke daerah kepulauan masih
menggunakan perahu motor, dan Kapal Feri, yakni ke Kecamatan Semau dan Kecamatan
Semau Selatan.
31
BAB 4
PEMANFAATAN PANGAN
Aspek ketiga dari konsep ketahanan pangan adalah pemanfaatan pangan. Pemanfaatan
pangan meliputi: (1) Pemanfaatan pangan yang bisa diakses oleh rumah tangga; dan (2)
Kemampuan individu untuk menyerap zat gizi secara efisien oleh tubuh. Pemanfaatan
pangan juga meliputi cara penyimpanan, pengolahan, dan penyajian makanan termasuk
penggunaan air selama proses pengolahannya serta kondisi budaya atau kebiasaan dalam
pemberian makanan terutama kepada individu yang memerlukan jenis pangan khusus
sesuai dengan kebutuhan masing-masing individu (saat masa pertumbuhan, kehamilan,
menyusui, dll) atau status kesehatan masing-masing individu. Dalam penyusunan FSVA
Kabupaten, aspek pemanfaatan pangan meliputi indikator sebagai berikut: (1) Rasio jumlah
rumah tangga tanpa akses air bersih terhadap jumlah rumah tangga; dan (2) Rasio jumlah
penduduk desa per tenaga kesehatan terhadap kepadatan penduduk.
4.1 AKSES TERHADAP AKSES AIR BERSIH
Rasio jumlah rumah tangga tanpa akses air bersih terhadap jumlah rumah tangga
merupakan perbandingan antara jumlah rumah tangga Desil 1-4 dengan sumber air bersih
tidak terlindung dengan jumlah rumah tangga di desa. Air bersih adalah air yang digunakan
32
untuk keperluan sehari-hari yang kualitasnya memenuhi syarat kesehatan dan dapat
diminum apabila telah dimasak3. Sumber air bersih yang tidak terlindungi berpotensi
meningkatkan angka kesakitan serta menurunkan kemampuan dalam menyerap makanan
yang pada akhirnya akan mempengaruhi status gizi individu.
Tabel 4.1 Sebaran desa berdasarkan rumah tangga tangga tanpa akses air bersih
berdasarkan skala prioritas
Prioritas Range Jumlah Desa Persentase
1 >= 0,3925 46 26,0
2 0,2364 - < 0,3925 30 17
3 0,1322 - < 0,2364 23 13,0
4 0,0363 - < 0,0132 30 17
5 0,0066 - < 0,0363 27 15,3
6 < 0,0066 21 11,9
Rasio jumlah penduduk desa per tenaga kesehatan terhadap kepadatan penduduk adalah
jumlah penduduk desa per tenaga kesehatan yang terdiri dari: (1) Dokter umum/spesialis;
(2) Dokter gigi; (3) Bidan; dan (4) Tenaga kesehatan lainnya (perawat, tenaga kesehatan
3
Permenkes 416 Tahun 1990
33
masyarakat, tenaga gizi, apoteker/asisten apoteker) dibandingkan dengan kepadatan
penduduk. Tenaga kesehatan berperan penting dalam menurunkan angka kesakitan
enduduk (morbiditas) dan meningkatkan pengetahuan masyarakat akan pentingnya
makanan yang beragam bergizi seimbang dan aman.
Rasio jumlah penduduk desa per tenaga kesehatan terhadap kepadatan penduduk
menunjukkan kemampuan jumlah tenaga kesehatan yang ada di wilayah desa untuk
melayani masyarakat. Jumlah tenaga kesehatan yang memadai akan meningkatkan status
pemanfaatan pangan masyarakat.
Tabel 4.2 Sebaran rasio tenaga kesehatan di desa berdasarkan skala prioritas
Prioritas Range Jumlah Desa Persentase
1 >= 36 26 14,7
2 16 -< 36 32 18,1
3 9 -< 16 39 22,0
4 4 -< 9 38 21,5
5 2 -< 4 23 13,0
6 <2 19 10,7
34
Tabel 4.3 Penderita Gizi Buruk 2016-2020
Penderita Gizi Buruk
No. Kecamatan
2016 2017 2018 2019 2020
1 Semau 3 1 59 53 41
2 Semau Selatan 0 24 69 28 16
3 Kupang Barat 0 8 103 76 61
4 Nekamese 0 27 69 63 60
5 Kupang Tengah 3 4 137 130 122
6 Taebenu 0 0 39 25 21
7 Amarasi 9 0 107 28 23
8 Amarasi Barat 12 4 55 58 54
9 Amarasi Selatan 4 7 89 81 76
10 Amarasi Timur 0 6 24 16 23
11 Kupang Timur 4 2 173 175 178
12 Amabi oefeto Timur 5 0 95 68 45
13 Amabi Oefeto 0 2 29 26 23
14 Sulamu 2 2 104 78 23
15 Fatuleu 1 14 133 109 101
16 Fatuleu Tengah 1 4 45 98 112
17 Fatuleu Barat 1 0 45 47 55
18 Takari 4 4 140 89 76
19 Amfoang Selatan 0 10 71 104 125
20 Amfoang Barat Daya 1 1 24 15 25
21 Amfoang Tengah 5 0 92 87 89
22 Amfoang Utara 8 16 34 54 78
23 Amfoang Barat Laut 3 2 27 16 15
24 Amfoang Timur 3 1 32 26 12
Jumlah 69 139 1.795 1.550 1.454
Sumber :Dinas Kesehatan Kab.Kupang, Data Diolah 2021
Gambar 4.1 Grafik Penderita Gizi Buruk
600
Gizi Buruk 2016 s/d 2020
500
400
300 2020
200 2019
100 2018
0 2017
Nekamese
Takari
Amfoang Selatan
Amfoang Barat Daya
Amfoang Tengah
Sulamu
Amarasi Timur
Kupang Timur
Taebenu
Amarasi Barat
Amabi oefeto
Fatuleu
Amarasi Selatan
Amarasi
Fatuleu Tengah
Amabi Oefeto timur
Amfoang Timur
Fatuleu Barat
Semau
2016
35
Angka kematian balita dan ibu saat melahirkan merupakan dampak dari status kesehatan
dan gizi. Angka kematian balita tahun 2020 di Kabupaten Kupang adalah 97 jiwa. Sementara
angka kematian ibu saat melahirkan di Kabupaten Kupang berjumlah 11 orang. Angka
kematian balita tertinggi terdapat di Kecamatan Kupang Timur (16 jiwa) dan terendah
terdapat di Kecamatan Kupang Tengah, Kecamatan Sulamu, Kecamatan Fatuleu, Kecamatan
Amarasi Barat, Kecamatan Amfoang Tengah, masing masing 1 jiwa. Angka kematian ibu saat
melahirkan di Kecamatan Sulamu (3 orang), Kecamatan Kupang Tengah (2 jiwa), Kecamatan
Takari (2 orang), Kecamatan Amfoang Utara (2 orang), kecamatan Fatuleu (1 0rang), dan
Kecamatan Fatuleu Barat (1 orang). Untuk lebih lengkap dapat dilihat pada Tabel 4.4.
Tabel 4.4 Jumlah Kematian Balita dan Ibu Saat Melahirkan per Kecamatan Tahun 2020
Jumlah Kematian Jumlah Kematian
No. Kecamatan Total
Ibu Balita
1 Semau 0 2 2
2 Semau Selatan 0 4 4
3 Kupang Barat 0 9 9
4 Nekamese 0 6 6
5 Kupang Tengah 2 1 3
6 Taebenu 0 5 5
7 Amarasi 0 7 7
8 Amarasi Barat 0 1 1
9 Amarasi Selatan 0 4 4
10 Amarasi Timur 0 3 3
11 Kupang Timur 0 16 16
12 Amabi oefeto Timur 0 8 8
13 Amabi Oefeto 0 3 3
14 Sulamu 3 1 4
15 Fatuleu 1 1 2
16 Fatuleu Tengah 0 5 5
17 Fatuleu Barat 1 3 4
18 Takari 2 8 10
19 Amfoang Selatan 0 0 0
20 Amfoang Barat Daya 0 2 2
21 Amfoang Tengah 0 1 1
22 Amfoang Utara 2 2 4
23 Amfoang Barat Laut 0 0 0
24 Amfoang Timur 0 5 5
Jumlah 11 97 108
36
KEMATIAN IBU DAN BALITA 2020
18
16
14
12
10
8
6
4
2
0
Nekamese
Kupang Timur
Takari
Sulamu
Fatuleu
Semau Selatan
Amarasi Barat
Amarasi Selatan
Amarasi Timur
Amfoang Utara
Amarasi
Kupang Barat
Fatuleu Tengah
Amfoang Tengah
Amfoang Timur
Fatuleu Barat
Amfoang Selatan
Amabi Oefeto
Semau
Gambar 4.2 Grafik Jumlah Kematian Balita dan Ibu Saat Melahirkan per Kecamatan
37
nasional. Untuk mencegah dan mengatasi masalah kekurangan gizi secara efektif, perlu
prioritas untuk kelompokrentan gizi, memahami penyebab kurang gizi adalah multidimensi,
intervensi yang tepat dan efektif untuk mengatasi penyebabnya, dan meningkatkan
komitmen serta investasi dalam bidang gizi. Berikut ini adalah rekomendasi untuk mengatasi
masalah gizi:
1. Fokus pada kelompok rentan gizi, termasuk:
a. Anak usia di bawah dua tahun. Usia dua tahun pertama di dalam kehidupan adalah
usia yang paling kritis sehingga disebut “jendela peluang (window of opportunity)”
karena mencegah kurang gizi pada usia ini akan sangat berarti untuk kelompok ini
pada khususnya dan masyarakat pada umumnya. Meskipun kerusakan sudah terjadi
dan seharusnya dihindari sejak dari usia 9 bulan sampai usia 24 bulan, kerentanan
anak terhadap penyakit dan resiko kematian masih tinggi di usia lima tahun pertama.
Itulah sebabnya banyak intervensi kesehatan dan gizi yang difokuskan pad anak di
bawah lima tahun. Intervensi kesehatan dan gizi harus difokuskan pada anak di
bawah dua tahun, akan tetapi apabila anggaran memadai maka perlu dilakukan juga
untuk anak di bawah lima tahun.
b. Anak-anak kurang gizi ringan. Kelompok ini memiliki resiko lebih tinggi untuk
meninggal karena meningkatnya kerentanan terhadap infeksi. Anak yang terdeteksi
kurang gizi seharusnya di rawat dengan tepat untuk mencegah mereka menjadi gizi
buruk.
c. Ibu hamil dan menyusui, karena kelompok ini memerlukan kecukupan gizi bagi
pertumbuhan an perkembangan janin, dan untuk menghasilkan ASI (Air Susu Ibu)
untuk bayi mereka.
d. Kurang gizi mikro untuk semua kelompok umur, terutama pada anak-anak, ibu hamil
dan menyusui. Kekurangan gizi mikro pada semua kelompok umur cukup tinggi
disebabkan karena asupan karbohidrat yang tinggi, rendahnya asupan protein
(hewani) sayur dan buah serta makanan yang berfortifikasi. Pada kondisi ini biasanya
prevalensi stunting pada balita juga cukup tinggi.
2. Perencanaan dan penerapan intervensi multi-sektoral untuk mengatasi TIGA penyebab
dasar kekurangan gizi (pangan, kesehatan dan pengasuhan).
Satu sektor saja (sektor kesehatan atau pendidikan atau pertanian) tidak dapat
mengatasi masalah gizi secara efektif karena masalah tersebut adalah multi sektor.
a. Intervensi langsung dengan manfaat langsung terhadap gizi (terutama melalui Sektor
Kesehatan):
Memperbaiki gizi dan pelayanan ibu hamil, terutama selama 2 trimester pertama
usia kehamilan: makan lebih sering, beraneka ragam, dan bergizi; minum pil besi
atau menggunakan suplemen gizi mikro tabor (Sprinkle) setiap hari;
memeriksakan kehamilan sekurangnya 4 kali selama periode kehamilan.
38
Promosi menyusui ASI selama 0-24 bulan: inisial menyusui dini segera sesudah
bayi lahir; menyusui ASI ekslusif sampai 6 bulan pertama, melanjutkan pemberian
ASI sampai 24 bulan; melanjutkan menyusui walaupun anak sakit.
Meningkatkan pola pemberian makanan tambahan untuk anak usia 6-24 bulan;
mulai pemberian makanan tambahan sejak anak berusia 7 bulan; pemberian
makanan lebih sering, jumlah sedikit, beraneka ragam dan bergizi (pangan
hewani, telur, kacang-kacangan, polong-polongan, kacang tanah, sayur, buah dan
minyak); hindari pemberian jajan yang tidak sehat.
Pemantauan berat dan tinggi badan bayi 0-24 bulan atau jika sumber daya
memungkinkan, untuk anak 0-59 bulan secara teratur, untuk mendeteksi kurang
gizi secara dini sehingga bias dilakukan intervensi sedini mungkin. Meningkatkan
komunikasi mengenai berat badan anak, cara mencegah dan memperbaiki
kegagalan berat dan tinggi anak dengan keluarga.
Mengatasi masalah kurang gizi akut pada balita dengan menyediakan fasilitas
fasilitas dan manajemen berbasis masyarakat berdasarkan pedoman dari
WHO/UNICEF dan Departemen Kesehatan.
Memperbaiki asupan gizi mikro: promosi garam beryodium; penganekaragaman
asupan makanan; fortifikasi makanan; pemberian bil besi untuk ibu hamil;
pemberian vitamin A setiap 6 bulan sekali untuk anak 6-24 bulan (atau anak 6-59
bulan jika alokasi anggaran mencukupi), serta ibu menyusui dalam jangka waktu 1
bulan setelah melahirkan atau masa nifas; pemberian obat cacing.
b. Intervensi tidak langsung dengan manfaat tidak langsung terhadap gizi (terutama
melalui sektor di luar kesehatan)
3. Prioritas dan peningkatan investasi serta komitmen dalam hal gizi untuk mengatasi
masalah gizi.
Dampak ekonomi akibat kekurangan gizi pada anak-anak adalah sangat tinggi.
Kekurangan gizi pada anak akan menyebabkan hilangnya produktivitas pada masa
dewasa, dan tingginya biaya pelayanan kesehatan dan pendidikan. Ada beberapa
macam bentuk dari malnutrisi pada masa anak-anak yang dapat menyebabkan hilangnya
produktivitas mereka pada masa dewasa yang berkaitan dengan rendahnya kemampuan
kognitif. Kekurangan energi-protein berkontribusi sebesar 10% dari hilangnya
produktivitas pada masa dewasa, kekurangan zat besi (anemia) berkontribusi sebesar
4% dan kekurangan zat yodium sebesar 10%. Malnutrisi pada masa anak-anak juga
berpotensi menyebabkan hilangnya produktivitas tenaga kerja kasar.
Investasi di bidang gizi merupakan salah satu jenis intervensi pembangunan yang paling
efektif dari segi biaya, karena memiliki rasio manfaat-biaya yang tinggi, bukan hanya untuk
individu, tetapi juga pembangunan negara yang berkelanjutan, sebab intervensi ini dapat
melindungi kesehatan, mencegah kecacatan dan dapat memacu produktivitas ekonomi dan
menjaga kelangsungan hidup.
39
BAB 5
KETAHANAN DAN KERENTANAN PANGAN KOMPOSIT
40
Berdasarkan hasil analisis tersebut, dari 177 desa dan 16 Kelurahan yang ada di Kabupaten
Kupang, maka didapatkan 6 desa (Prioritas 1), 29 desa (Prioritas 2), 37 desa (Prioritas 3), 57
desa (Prioritas 4), 38 desa (Prioritas 5) dan 10 desa (Prioritas 6).
Tabel 5.1. Sebaran Jumlah Desa berdasarkan Prioritas
1 6 3,4%
2 29 6,4%
3 37 20,9%
4 57 32,2%
5 38 21,5%
6 10 5,6%
JUMLAH 177 100%
KOMPOSIT PRIORITAS 1
AMFOANG SELATAN 1
AMFOANG BARAT DAYA 1
1
AMFOANG UTARA 2
AMFOANG BARAT LAUT 2
41
Desa rentan terhadap kerawanan pangan prioritas 2 terdapat di wilayah Kecamatan Amarasi
Timur (Desa Enoraen), Kecamatan Amabi oefeto Timur (Desa Pathau dan Desa Oeniko)
Kecamatan Fatuleu (Desa Kiuoni, Desa Sillu), Kecamatan Fatuleu Tengah (Desa Nonbaun),
Kecamatan Fatuleu Barat (Desa Kalali, Desa Naitae, dan Desa Nuataus) dan Kecamatan
Takari (Desa Benu, Desa Tanini, dan Desa Fatukona), Kecamatan Amfoang Selatan (Desa
Fatusuki, Desa Leloboko dan Desa Ohaem II), Kecamatan Amfoang Barat Daya (Desa
Nefoneut), Kecamatan Amfoang Tengah (Desa Binafun dan Desa Bonmuti), Kecamatan
Amfoang Utara (Desa Afoan, Desa Fatunaus dan Desa Kolabe), Kecamatan Amfoang Barat
Laut (Desa Saukibe, Desa Faumes, Desa Oelfatu dan Desa Soliu), Kecamatan Amfoang Timur
(Desa Nunuana, Desa Kifu, Desa Netemnanu Selatan dan Desa Netemnanu). (Gambar 5.2).
PRIORITAS KOMPOSIT 2
4 1 2
2
4 1
3
3
3
2
1 3
Desa rentan terhadap kerawanan pangan prioritas 3 terdapat di wilayah Kecamatan Semau
(Desa Huilelot dan Desa Letbaun), Kecamatan Amarasi Barat (Desa Erbaun), Kecamatan
Taebenu (Desa Bokong dan Desa Baumata Utara), Kecamatan Amabi Oefeto Timur (Desa
Seki, Desa Enolanan dan Desa Oenaunu), Kecamatan Amabi Oefeto (Desa Niunbaun, Desa
Fatuknutu, Desa Raknamo, dan Desa Fatuteta) dan Kecamatan Sulamu (Desa Pitai)
Kecamatan Fatuleu (Desa Camplong II, Desa Naunu, Desa Oebola, Desa Tolnaku, dan Desa
Oebola Dalam), Kecamatan Fatuleu tengah (Desa Nunsaen, Desa Oelbiteno, dan Desa Pasi),
Kecamatan fatuleu Barat (Desa Poto dan Desa Tuakau), Kecamatan Takari (Desa Noelmina,
Desa Kauniki, Desa Hueknutu, Desa Tuapanaf, dan Desa Oelnaineno), Kecamatan Amfoang
Selatan (Desa Ohaem I, Desa Lelogama, dan Desa Oelbanu), Kecamatan Amfoang Barat Daya
(Desa Manubelon dan Desa Biobabarutaen), Kecamatan Amfoang Tengah (Desa Botobe, dan
42
Desa Fatumonas), Kecamatan Amfoang Utara (Desa Naikliu), dan Kecamatan Amfoang Timur
(Desa Netemnanu Utara). (Gambar 5.3). Sebaran jumlah Desa Prioritas 3 per kecamatan.
KOMPOSIT PRIORITAS 3
SEMAU 2
1 1 2 AMABI OEFETO TIMUR 3
2 3 TAEBENU 2
2 AMABI OEFETO 4
2
SULAMU 1
3 FATULEU 5
4 FATULEU TENGAH 3
FATULEU BARAT 2
5 1 TAKARI 5
AMFOANG SELATAN 3
5 AMFOANG BARAT DAYA 2
2
3 AMFOANG TENGAH 2
AMFOANG UTARA 1
AMFOANG TIMUR 1
AMARASI BARAT 1
43
BAB 6
REKOMENDASI KEBIJAKAN
Penyebab kerentanan terhadap kerawanan pangan pada suatu wilayah berbeda dengan
wilayah lainnya, dengan demikian cara penyelesaiannya juga berbeda. Peta ini membantu
memahami keadaan diantara wilayah (desa), dan dengan demikian akan membantu para
pengambil kebijakan untuk dapat menentukan langkah-langkah yang tepat dalam
menangani isu-isu ketahanan pangan yang relevan di wilayahnya.
Fokus lokasi penanganan kerentanan pangan di wilayah desa diprioritaskan pada:
a. Desa-desa prioritas 1-3 yang tersebar di Kecamatan pada tabel dibawah ini.
Tabel. 6.1 Desa Prioritas 1
No KECAMATAN DESA PRIORITAS
1 AMFOANG SELATAN FATUMETAN
2 AMFOANG BARAT DAYA LETKOLE Prioritas 1
3 AMFOANG UTARA BAKUIN
4 AMFOANG UTARA KOLABE
5 AMFOANG BARAT LAUT TIMAU
6 AMFOANG BARAT LAUT HONUK
44
19 AMFOANG UTARA AFOAN
20 FATUNAUS
21 KOLABE
22 AMFOANG BARAT LAUT FAUMES
23 OELFATU
24 SAUKIBE
25 SOLIU
26 AMFOANG TIMUR KIFU
27 NETEMNANU
28 NETEMNANU SELATAN
29 NUNUANA
27 OELNAINENO
45
28 TUAPANAF
29 AMFOANG SELATAN LELOGAMA
30 OELBANU
31 OHAEM
32 AMFOANG BARAT DAYA BIOBA BARUTAEN
33 MANUBELON
34 AMFOANG TENGAH BITOBE
35 FATUNAUS
36 AMFOANG UTARA NAIKLIU
37 AMFOANG TIMUR NETEMNANU UTARA
b. Desa-desa yang lokasinya jauh dari ibu kota kabupaten atau di wilayah yang berbatasan
dengan kabupaten lain
c. Desa-desa di Kepulauan yang menghadapi kendala akses fisik terhadap sumber pangan.
d. Desa-desa pemekaran yang fasilitas, infrastruktur dan kapasitas SDMnya masih terbatas.
Masalah Infrastruktur
Pembangunan Infrastruktur Dasar Perbaikan infrastrukur
Terbatasnya akses terhadap air
bersih (air bersih)
46
Program-program peningkatan ketahanan pangan dan penanganan kerentanan pangan
wilayah kabupaten diarahkan pada kegiatan:
47