Anda di halaman 1dari 15

A.

Definisi Diversifikasi Pangan


Diversifikasi pangan adalah sebuah program yang mendorong masyarakat untuk
memvariasikan makanan pokok yang dikonsumsinya sehingga tidak terfokus pada
satu jenis makanan pokok saja. Kasryno, et al (1993) memandang diversifikasi pangan
sebagai upaya yang sangat erat kaitannya dengan peningkatan kualitas sumber daya
manusia, pembangunan pertanian di bidang pangan dan perbaikan gizi masyarakat.
Diversifikasi pangan ini tercakup aspek produksi, konsumsi, pemasaran, dan distribusi.
Berdasarkan aspek produksi, diversifikasi berarti perluasan spektrum komoditas
panganbaik dalam hal perluasan pemanfaatan sumber daya, pengusahaan komoditas
maupun pengembangan produksi komoditas pangan.Hal tersebut mengindikasikan
bahwa diversifikasi mencakup pengertian diversifikasi horisontal
maupun vertikal.Sisi konsumsi, diversifiksi pangan mencakup aspek perilaku yang
didasari baik oleh pertimbangan ekonomis seperti pendapatan dan harga komoditas,
maupun non ekonomis seperti kebiasaan, selera dan pengetahuan. Pertemuan antara
sektor produksi dan konsumsi tidak terlepas dari peranan pemasaran dan distribusi
komoditas pangan tersebut.
Sementara, Soetrisno (1998) mendefinisikan diversifikasi pangan lebih sempit (dalam
konteks konsumsi pangan) yaitu sebagai upayamenganekaragamkan jenis pangan
yang dikonsumsi, mencakup pangan sumber energi dan zat gizi, sehingga memenuhi
kebutuhan akan pangan dan gizi sesuai dengan kecukupan baik ditinjau dari kuantitas
maupun kualitasnya.

Menurut Suhardjo dan Martianto (1992) semakin beragam konsumsi pangan maka
kualitas pangan yang dikonsumsi semakin baik. Oleh karena itu dimensi diversifikasi
pangan tidak hanya terbatas pada pada diversifikasi konsumsi makanan pokok saja,
tetapi juga makanan pendamping.

Di Indonesia, diversifikasi pangan dimaksudkan untuk memvariasikan konsumsi


masyarakat Indonesia agar tidak terfokus pada nasi. Indonesia memiliki beragam hasil
pertanian yang sebenarnya bisa difungsikan sebagai makanan pokok
seperti sukun, ubi, talas, jagung, kentang dan sebagainya yang dapat menjadi faktor
pendukung utama diversifikasi pangan.
Diversifikasi pangan pada pemerintahan Indonesia menjadi salah satu cara untuk
menuju swasembada beras dengan minimalisasi konsumsi beras sehingga total
konsumsi tidak melebihi produksi. Pada dasarnya diversifikasi pangan mencakup tiga
lingkup pengertian yang saling berkaitan, yaitu diversifikasi konsumsi pangan,
diversifikasi ketersediaan pangan, dan diversifikasi produksi pangan. Keppres No. 68
tentang Ketahanan Pangan pasal 9 disebutkan bahwa diversifikasi pangan
diselenggarakan untuk meningkatkan ketahanan pangan dengan memperhatikan
sumberdaya, kelembagaan dan budaya lokal (Hanafie 2010).

Diversifikasi pangan diartikan sebagai pengurangan konsumsi beras yang


dikompensasi oleh penambahan konsumsi bahan pangan non-beras diiringi dengan
ditambahnya makanan pendamping. Diversifikasi konsumsi pangan juga dapat
didefinisikan sebagai jumlah jenis makanan yang dikonsumsi, sehingga semakin
banyak jenis makanan yang dikonsumsi akan semakin beranekaragam. Dimensi
diversifikasi konsumsi pangan tidak hanya terbatas pada pangan pokok tetapi juga
pangan jenis lainnya, karena konteks diversifikasi tersebut adalah meningkatkan mutu
gizi masyarakat secara kualitas dan kuantitas, sebagai usaha untuk meningkatkan
kualitas sumberdaya manusia.

B. Pentingnya Diversifikasi Pangan

Ketergantungan konsumsi pangan terhadap beras tidaklah menguntungkan bagi


ketahanan pangan, terutama yang terkait dengan aspek stabilitas kecukupan
pangan.Dampak positif dari kebijakan diversifikasi konsumsi pangan antara lain:

1. Memperkuat ketahanan pangan


Masalah ketahanan pangan menjadi isu penting oleh karena itu upaya menurunkan
peranan beras dan menggantikannya dengan jenis pangan lain menjadi penting
dilakukan dalam rangka menjaga ketahanan pangan dalam jangka panjang. Upaya
tersebut dapat dilakukan dengan mengembengkan dan mengintroduksi bahan pangan
alternative pengganti beras yang berharaga murah dan memiliki kandungan gizi yang
tidak jauh berbeda dengan beras.

2. Meningkatkan pendapatan petani dan agroindustry pangan


Petani akan memproduksi komoditas yang banyak dibutuhkan oleh konsumen dan yang
memiliki harga cukup tinggi. Mereka tidak akan lagi tergantung pada komoditas padi
sebagi sumber pendapatan usaha taninya, tetapi dapat mencoba tanaman lain yang
memiliki nilai ekonomis lebih tinggi.

3. Menghemat devisa Negara


Keberhasilan diversifikasi konsumsi tidak hanya memperkuat ketahanan pangan
masyarakat tetapi juga bermanfaat bagi penghematan devisa Negara yang berarti
meringankan beban keuangan Negara apalagi disaat terjadi krisis ekonomi ini.

Menurut Hutabarat dan Pasandaran (1987), Pasandaran dan Simatupang (1990) dan
Amang dan Sawit (2001), untuk mengembangkan diversifikasi pangan perlu dilakukan
upaya melalui:

1. Pengembangan dan pembangunan agroindustri bahan pangan non-beras, agar


konsumen dapat mengkonsumsi secara langsung. Agroindustri komoditas pangan non-
beras tersebut sebaiknya dibangun di daerah-daerah pedesaan, dengan harapan akan
dapat menciptakan kesempatan kerja bagi masyarakat desa dan dapat meningkatkan
kualitas hidup dan mutu gizi masyarakat. Meningkatnya daya beli masyarakat akan
berpengaruh terhadap makin beragamnya jenis pangan yang dikonsumsi, makin
banyak pangan yang mengandung nilai gizi tinggi dikonsumsi dan cenderung makin
berkurangnya proporsi pendapatan yang dipergunakan untuk pangan. Diversifikasi
pangan dapat berjalan baik bila dikaitkan dengan pembangunan agroindustri,
khususnya yang berlokasi di pedesaan.
2. Kampanye intensif tentang diversifikasi pangan disertai dengan penyediaan dan
kemudahan untuk mendapatkan bahan pangan non-beras yang siap dikonsumsi
tersebut di pasaran, harganya terjangkau dan dapat bersaing dengan harga beras serta
adanya kesinambungan dalam penyediaannya.
3. Peningkatan produksi pangan non-beras perlu lebih ditingkatkan lagi, tetapi tidak
mengganggu kemantapan produksi beras.
Diversifikasi pangan tidak dimaksudkan untuk menggantikan beras, tetapi mengubah
pola konsumsi masyarakat sehingga masyarakat akan mengkonsumsi lebih banyak
jenis pangan.

C. Kendala Diversifikasi Konsumsi Pangan


Walaupun upaya diversifikasi sudah dirintas sejak dasawarsa 60-an, namun sampai
saat ini masih belum berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Pola pangan lokal
seperti jagung dan ubikayu telah ditinggalkan, berubah ke pola beras dan pola mie.
Kualitas pangan juga masih rendah, kurang beragam, masih didominasi pangan
sumber karbohidrat terutama dari padi-padian.

Ketergantungan akan beras yang masih tinggi dikalangan masyarakat dan


meningkatnya tingkat partisipasi dan konsumsi mie secara signifikan menjadikan upaya
diversifikasi konsumsi pangan seperti mengalami stagnansi dan salah arah. Banyak
faktor yang mempengaruhi hal tersebut dan diantara faktor tersebut saling berkaitan
satu dengan yang lain. Pada hakekatnya faktor-faktor yang mempengaruhi diversifikasi
konsumsi pangan adalah sama dengan dengan faktor yang mempengaruhi konsumsi
pangan yaitu sosial, budaya, ekonomi, pengetahuan, ketersediaan pangan dan lain-
lainnya, namun setiap orang mempunyai penekanan yang berbeda. Seperti yang telah
disampaikan oleh   Hardjana (1994) bahwa dalam hal konsumsi pangan, konsumen
bertindak tidak hanya atas dasar pertimbangan ekonomi, tetapi juga didorong oleh
berbagai penalaran dan perasaan seperti kebutuhan, kepentingan dan kepuasan baik
bersifat pribadi maupun sosial.

Soehardjo (1995) menekankan bahwa walaupun selera dan pilihan konsumen didasari
pada nilai-nilai sosial, ekonomi, budaya, agama dan pengetahuan, namun tampaknya
unsur-unsur prestise menjadi sangat menonjol.   Banyak faktor yang menyebabkan
terhambatnya diversifikasi konsumsi pangan. Ariani (2006) menunjukkan kendala
tersebut antara lain:
1. Beras memang lebih enak dan mudah diolah
2. Adanya konsep makan yang keliru, belum dikatakan makan kalau belum makan
nasi
3. Beras sebagai komoditas superior
4. Ketersediaan beras melimpah dan harganya murah
5. Pendapatan rumah tangga
6. Terbatasnya teknologi pengolahan dan promosi pangan non beras (pangan
lokal)
7. Kebijakan pangan yang tumpang tindih
8. Adanya kebijakan impor gandum, jenis product development cukup banyak dan
promosi yang gencar.

D. Diversifikasi Konsumsi Pangan pada Masyarakat Indonesia


Program diversifikasi pangan bertujuan untuk menggali dan meningkatkan penyediaan
berbagai komoditas pangan sehingga terjadi penganekaragaman konsumsi pangan
masyarakat. Kegiatan yang dilaksanakan antara lain dengan meningkatkan usaha
diversifikasi secara horizontal melalui pemanfaatan sumber daya yang beraneka ragam
dan diversifikasi vertikal melalui pengembangan berbagai hasil olahan pertanian serta
diversifikasi regional melalui upaya penganekaragaman produk yang dihasilkan untuk
dikonsumsi berdasarkan potensi pangan lokal.

Program diversifikasi pangan dapat diusahakan secara simultan di tingkat nasional,


regional (daerah) maupun keluarga. Upaya tersebut sebetulnya sudah dirintis sejak
awal dasawarsa 60-an, dimana pemerintah telah menyadari pentingnya dilakukan
diversifikasi tersebut. Saat itu pemerintah mulai menganjurkan konsumsi bahan-bahan
pangan pokok selain beras sehingga yang menonjol adalah anjuran untuk
mengkombinasikan beras dengan jagung, sehingga pernah populer istilah”beras
jagung”.Ada dua arti dari istilah itu, yaitu campuran beras dengan jagung, dan
penggantian konsumsi beras pada waktu-waktu tertentu dengan jagung. Kebijakan ini
ditempuh sebagai reaksi terhadap krisis pangan yang terjadi saat itu. Pada akhir Pelita I
(1974), secara eksplisit pemerintah mencanangkan kebijaksanaan diversifikasi pangan
melalui Instruksi Presiden (Inpres) No. 14 tahun 1974 tentang Perbaikan Menu
Makanan Rakyat (UPMMR), dan disempurnakan melalui Inpres No.20 tahun 1979.
Maksud dari instruksi tersebut adalah untuk lebih menganekaragamkan jenis pangan
dan meningkatkan mutu gizi makanan rakyat baik secara kualitas maupun kuantitas
sebagai usaha untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia.
Namun dalam perjalanannya, tujuan diversifikasi konsumsi pangan lebih ditekankan
sebagai usaha untuk menurunkan tingkat konsumsi beras, dan diversifikasi konsumsi
pangan hanya diartikan pada penganekaragaman pangan pokok, tidak pada
keanakeragaman pangan secara keseluruhan. Sehingga banyak bermunculan berbagai
pameran dan demo masak-memasak yang menggunakan bahan baku non beras
seperti dari sagu, jagung, ubi kayu atau ubi jalar, dengan harapan masyarakat akan
beralih pada pangan non beras. Namun kenyataanya usaha tersebut kurang berhasil
untuk mengangkat citra pangan non beras dan mengubah pola pangan pokok
masyarakat.

Pada tahun 1991/1992 pemerintah melalui Departemen Pertanian mulai menggarap


diversifikasi konsumsi melalui Program Diversifikasi Pangan dan Gizi (DPG). Berbeda
dengan kondisi dasa warsa 60-an yang semata-mata karena terjadi krisis pangan, DPG
dilakukan tatkala Indonesia sudah pernah mencapai swasembada beras, dan
masyarakat tergantung pada beras. Program DPG bertujuan untuk mendorong
meningkatnya ketahanan pangan di tingkat rumah tanggadan mendorong
meningkatnya kesadaran masyarakat terutama di pedesaan untuk mengkonsumsi
pangan yang beranekaragam dan bermutu gizi seimbang. Fokus program DPG lebih
diarahkan pada upaya pemberdayaan kelompok rawan pangan di wilayah miskin
dengan memanfaatkan pekarangan pada jangkauan sasaran wilayah program yang
terbatas, sehingga upaya yang dilakukan adalah meningkatkan ketersediaan
keanekaragaman pangan di tingkat rumah tangga.

Pada tahun anggaran 1998/1999 dilakukan revitalisasi program DPG untuk


memberikan respon yang lebih baik dalam rangka meningkatkan diversifikasi pangan
pokok. Upaya ini dilaksanakan dengan perubahan orientasi dari pendekatan sempit
(pemanfaatan pekarangan untuk menyediakan aneka ragam kebutuhan pangan) ke
arah yang lebih luas yaitu pemanfaatan pekarangan/kebun sekitar rumah guna
pengembangan pangan lokal alternatif.

Pembinaannya pun tidak terbatas pada aspek budi daya tetapi juga meliputi aspek
pengolahan dan penanganan pasca panen agar pangan lokal alternatif ini dapat
memenuhi selera masyarakat (Program DPG Pusat, 1998). Departemen Kesehatan
juga melaksanakan program diversifikasi konsumsi pangan secara tidak langsung
melalui program perbaikan gizi yang tujuan utamanya untuk menurunkan angka
prevalensi Kurang Energi Protein (KEP), Kurang Vitamin A (KVA), Gangguan Yodium
(GAKI), dan anemia

Kebijakan atau program secara langsung dan tidak langsung yang terkait dengan
diversifikasi konsumsi pangan terus digulirkan oleh pemerintah melalui berbagai
kegiatan dan dilakukan oleh banyak instansi. Sebagai contoh gerakan sadar pangan
dan gizi yang dilaksanakan oleh Departemen Kesehatan, program diversifikasi pangan
dan gizi oleh Departemen Pertanian (1993-1998) dan lain-lain. Dari sisi kelembagaan,
pada tahun 1989 pada kabinet Pembangunan VI juga dibentuk Kantor Menteri Negara
Urusan Pangan yang meluncurkan slogan “Aku Cinta Makanan Indonesia (ACMI)”.
Pada tahun 1996 telah lahir Undang-undang no. 7 tentang Pangan, kemudian pada
tahun 2002 muncul Kepres No. 68 tentang Ketahanan Pangan. Pada tahun 2001, pada
era Kabinet Gotong Royong telah dibentuk Dewan Ketahanan Pangan (DKP) yang
dipimpin langsung oleh Presiden (Suyono, 2002). Kepres ini kemudian diperbaharui
melalui Perpres No 83 tahun 2006 tentang Dewan ketahanan pangan, dimana
mempunyai tugas untuk mengkoordinasikan program ketahanan pangan termasuk
tujuan untuk mengembangkan diversifikasi pangan.

Dalam usaha perwujudan ketahanan pangan pada umumnya dan diversifikasi konsumsi
pangan pada khususnya juga dituangkan dalam Undang-undang nomor 25 tahun 2000
tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) melalui Program Peningkatan
Ketahanan Pangan. Program ini salah satunya bertujuan untuk menjamin peningkatan
produksi dan konsumsi yang lebih beragam (Krisnamurthi, 2003). Dari tahun ke tahun
pola konsumsi masyarakat Indonesia terus mengalami perubahan.

Berikut ini dipaparkan pola konsumsi zat gizi pada masyarakat di Indonesia pada
Konsumsi Sumber Karbohidrat. Tingkat partisipasi konsumsi beras di berbagai wilayah
cukup tinggi, yaitu rata-rata hampir mencapai 100 persen, yang berarti hampir semua
rumah tangga telah mengkonsumsi beras (Tabel 2). Kecenderungan tersebut tidak
hanya terjadi pada rumah tangga perkotaan tetapi juga rumah tangga di pedesaan,
walaupun umumnya tingkat partisipasi di desa masih lebih rendah daripada di kota. Bila
dilihat antar pulau, maka tingkat partisipasi konsumsi beras tidak jauh berbeda antara
pulau yang satu dengan pulau yang lain, yaitu hampir 100 persen. Partisipasi konsumsi
beras yang masih rendah hanya terjadi di pedesaan Maluku dan Papua (yang dikenal
wilayah dengan ekologi sagu yaitu sekitar 80 persen.

Jumlah orang yang mengkonsumsi beras selama tahun 1990 sampai 1996 dapat
dikatakan relatif tidak berubah, karena perubahannya masih sangat kecil, dibawah satu
persen. Kecenderungan tersebut terjadi di semua pulau, baik di kota maupun di desa.
Perbedaanya adalah kalau di kota, tingkat partisipasi konsumsi beras pada kurun waktu
tersebut menunjukkan sedikit penurunan, sebaliknya di desa masih menunjukkan
peningkatan. Laju tingkat partisipasi konsumsi beras secara agregat di kota tahun 1990-
1996 adalah -0,1 persen per tiga tahun, sedangkan untuk desa lajunya 1,1 persen per
tiga tahun.
Berdasarkan keragaman produk yang ada, seharusnya tingkat partisipasi konsumsi
pada rumah tangga perkotaan menurun secara signifikan, dikarenakan di wilayah ini
banyak terdapat produk-produk alternatif yang dapat berperan sebagai subsitusi beras,
baik dalam bentuk mentah maupun olahan, tersedia dalam berbagai kemasan yang
praktis, mudah diperoleh dan dihidangkan. Kenyataanya beras masih mendominasi
dalam pola konsumsi pangan masyarakat, sehingga perubahannya sangat kecil.
Berdasarkan data perkembangan tingkat partisipasi konsumsi beras tersebut dapat
diartikan bahwa program diversifikasi konsumsi pangan yang salah satu tujuannya
untuk menurunkan tingkat konsumsi beras dapat dibilang masih jalan di tempat.
Tingkat konsumsi beras sekitar 100 kg/kapita/tahun walaupun cenderung menurun dari
tahun ke tahun dengan laju penurunan sebesar 4,2 persen pada periode 1999-2004
(Tabel 3). Demikian pula untuk konsumsi umbi-umbian juga cenderung menurun.
Peningkatan laju konsumsi ubi jalar sebetulnya lebih disebabkan peningkatan konsumsi
pada tahun 2004, yaitu dari 2,7 kg menjadi 3,3 kg/kapita/tahun. Selera masyarakat
terhadap pangan berubah seiring dengan semakin maraknya jenis pangan olahan yang
siap saji dan praktis, serta dapat diperoleh dengan mudah. Belum lagi adanya
perubahan gaya hidup masyarakat yang jelas berpengaruh pula pada gaya makan.
Mungkin orang akan gengsi mengkonsumsi jagung dan ubi kayu karena komoditas
tersebut sudah mempunyai trade mark sebagai barang inferior, yang hanya cocok untuk
kalangan bawah.
Masyarakat mengalihkan fungsi jagung dan ubi kayu, tidak lagi sebagai makanan pokok
tetapi sebagai makanan selingan atau snack, sehingga jumlah yang dikonsumsi juga
sangat terbatas. Keragaan data tersebut menunjukkan bahwa pangan lokal seperti
jagung dan ubi kayu telah ditinggalkan oleh masyarakat, dan pangan global seperti mie
menunjukkan kebalikannya. Harapan diversifikasi konsumsi pangan untuk
meningkatkan konsumsi pangan lokal, maka tampaknya salah jalan, arah diversifikasi
konsumsi pangan telah melenceng. Sebaliknya dengan maraknya jenis mie dengan
berbagai harga, rasa dan jenis telah mampu mempengaruhi konsumen untuk mencoba
dan menyenanginya. Konsumsi mi ini terus meningkat dari tahun ke tahun, bahkan rata-
rata konsumsi mi instant mencapai 28 bungkus per tahun
Perkembangan menarik dalam konsumsi pangan karbohidrat adalah cenderung
berubahnya pola konsumsi pangan pokok kelompok masyarakat berpendapatan
rendah, terutama di pedesaan, yang mengarah kepada beras dan bahan pangan
berbasis tepung terigu, termasuk mie kering, mie basah, mie instan.Perubahan ini perlu
diwaspadai karena gandum adalah komoditas impor dan belum diproduksi di Indonesia,
sehingga arah perubahan pola konsumsi itu dapat menimbulkan ketergantungan
pangan pada impor.
 Diversifikasi konsumsi pangan pokok tidak dimaksudkan untuk mengganti beras secara
total tetapi   mengubah pola konsumsi pangan masyarakat sehingga masyarakat akan
mengkonsumsi lebih banyak jenis pangan dan lebih baik gizinya. Pangan yang
dikonsumsi akan beragam, bergizi dan berimbang. Di Indonesia terdapat pedoman
untuk mengukur diversifikasi konsumsi pangan termasuk pangan pokok yang dikenal
dengan Pola Pangan Harapan (PPH). PPH yang diharapkan mencapai angka 100,
namun PPH penduduk Indonesia sampai pada tahun 2008 baru sebesar 81,9.
Pemerintah menetapkan melalui PP No. 22 tahun 2009, pada tahun 2015 PPH
mencapai 95, yang berarti setiap tahun harus meningkat sekitar 2,5. Dalam konsep
PPH, setiap orang untuk setiap hari dianjurkan mengkonsumsi pangan seperti berikut:
1. Padi-padian 275 gr
2. Umbi-umbian 100 gr
3. Pangan hewani150 gr
4. Minyak+Lemak 20 gr
5. Buah/biji berminyak 10 gr
6. Kacang-kacangan 35 gr
7. Gula : 30,0 gr
8. Sayur + buah : 250 gr
Data tersebut mengindikasikan bahwa dalam setahun kebutuhan dari kelompok padi-
padian yang terdiri beras, jagung dan terigu untuk konsumsi langsung penduduk
sebesar 99 kg/kapita.

Memperhatikan data pada Tabel 3 dengan menjumlah konsumsi beras, jagung dan
terigu untuk tahun 2008 mencapai 119 kg/kapita, yang berarti lebih besar dari
seharusnya. Belum lagi bila dilihat   proporsi dari ketiga jenis pangan tersebut yang
sangat bisa pada beras. Upaya diversifikasi konsumsi pangan dari padi-padian dapat
dilakukan dengan mengurangi konsumsi beras dan meningkatkan konsumsi pangan
dari komoditas jagung. Untuk terigu, karena bahan baku gandum harus diimpor maka
sebaiknya konsumsi terigu dan turunannya dikurangi.   Sementara konsumsi dari umbi-
umbian seharusnya sebesar 36 kg/kapita/tahun yang berasal dari ubikayu, ubijalar,
sagu dan umbi-umbi lainnya. Namun kenyataannya 71 Prosiding Pekan Serealia
Nasional, 2010 ISBN: 978-979-8940-29-3 baru 16,2 kg/kapita/tahun yang berarti masih
kurang dari setengahnya.

Kebijakan terakhir, pemerintah menetapkan kebijakan percepatan diversifikasi


konsumsi pangan berbasisi sumberdaya lokal dengan dua strategi yaitu internalisasi
penganekeragaman konsumi pangan dan pengembangan bisnis dan industri pangan
lokal. Proses internalisasi dilakukan melalui dua cara yaitu advokasi, kampanye dan
sosialisasi tentang konsumsi pangan yang beragam, bergizi seimbang dan aman pada
berbagai tingkatan kepada aparat dan masyarakat serta pendidikan konsumsi pangan
melalui pendidikan formal dan non formal. Sementara, pengembangan bisnis dan
industri pangan lokal dilakukan melalui fasilitasi kepada UMKM untuk pengembangan
bisnis pangan segar, industri bahan baku, industri pangan olahan dan pangan siap saji
yang aman berbasis sumberdaya lokal dan advokasi, sosialisasi dan penerapan
standar mutu dan keamanan pangan bagi pelaku usaha pangan terutama usaha skala
rumahtangga dan UMKM.

Apabila mengkaji diversifikasi konsumsi pangan pokok maka perlu kembali ke masalah
desentralisasi pangan yaitu bahan pangan lokal. Meskipun konsumsi beras cenderung
menurun namun kontribusinya terhadap total energi masih diatas 60 persen sedangkan
umbi-umbian baru menyumbang energi sekitar 3 persen. Aneka umbi-umbian
mempunyai prospek yang cukup luas untuk dikembangkan   sebagai substitusi beras
dan untuk diolah menjadi makanan bergengsi. Kegiatan ini memerlukan dukungan
pengembangan teknologi proses dan pengolahan serta strategi pemasaran yang baik
untuk mengubah image pangan inferior menjadi pangan normal bahkan superior.

Seringkali pemerintah hanya menganjurkan masyarakat untuk melakukan diversifikasi


konsumsi pangan dan bersifat hanya menyuruh tanpa didukung oleh ketersediaan
bahannya yang dapat diperoleh secara mudah. Dalam memenuhi permintaan
konsumen, salah satu faktor yang sangat penting dalam mensukseskan program
diversifikasi pangan adalah melaksanakan product development. Produk ini merupakan
upaya menciptakan suatu produk baru yang memiliki sifat, antara lain sangat praktis,
tersedia dalam segala ukuran, kalau digunakan tidak ada sisanya dan mudah diperoleh
di mana saja. Dengan semakin sibuknya kehidupan setiap anggota rumah tangga dan
tidak cukupnya waktu untuk memasak makanan maka bentuk makanan yang siap olah
dan siap santap merupakan pilihan yang terbaik.

E. Hubungan Antara Diversifikasi Konsumsi dan Ketahanan Pangan


Masyarakat (mayoritas bergantung pada beras)

Diversifikasi pangan pada masyarakat Indonesia masih rendah. Karena mayoritas


masyarakat masih menggantungkan beras sebagai sumber pangan utamanya. Hal
tersebut dapat kita lihat dari pola konsumsi beras yang mendominasi pola konsumsi
pangan utama sebagian besar masyarakat Indonesia. Padahal, dalam konsep
ketahanan pangan, diversifikasi pangan merupakan salah satu syarat untuk mencapai
ketahanan pangan yang tangguh. Melalui penataan pola konsumsi yang tidak
tergantung pada satu sumber pangan, memungkinkan masyarakat dapat menetapkan
pangan pilihan sendiri. Sehingga ketergantungan pada satu jenis komoditas pangan
dapat dihindari. Apabila terjadi gagal panen maupun masalah distribusi pada jenis
pangan tertentu, tidak akan mempengaruhi pola konsumsi masyarakat. Karena
masyarakat memiliki berbagai pilihan konsumsi.

Diversifikasi konsumsi pangan merupakan salah satu pilar ketahanan pangan


masyarakat. Langkah ini hanya membutuhkan waktu yang lebih pendek jika
dibandingkan dengan program lain, seperti ekstensifikasi dan intensifikasi. Diversifikasi
juga mendorong masyarakat (petani) lebih kreatif dalam memanfaatkan lahan yang ada
dengan menanam tanaman yang dapat menjadi bahan makanan pokok selain padi,
seperti jagung, ketela, dan umbi-umbian lainnya.

Pola konsumsi masyarakat yang didominasi oleh beras telah menyebabkan rendahnya
daya terima terhadap pangan sumber karbohidrat lainnya, seperti jagung, singkong
maupun sagu. Padahal, ditinjau dari potensi sumberdaya lokal wilayah, sumberdaya
alam kita memiliki potensi ketersediaan pangan yang beranekaragam, baik pangan
untuk sumber karbohidrat, protein, lemak, vitamin, dan mineral. Kita bisa mencermati
hal ini, dimana setiap wilayah di Indonesia mempunyai sumber pangan lokal tersendiri
seperti Madura dan Nusa Tenggara dengan jagung, Maluku dan Papua dengan sagu,
Sumatera dengan ubi, Jawa dan Bali serta Sulawesi Selatan dengan berasnya.

Upaya diversifikasi, kita dapat menaikkan pamor pangan lokal untuk menggantikan atau
setidak-tidaknya berdampingan dengan beras menjadi menu utama, dan
membangkitkan ketahanan pangan keluarga masing-masing, yang berujung pada
peningkatan ketahanan pangan nasional. Selain konsumsi yang beragam juga pola
produksinya akan ikut beragam. Dengan demikian, jika suatu saat terjadi kemelut salah
satu bahan pangan pokok (beras) kita tidak akan kerepotan, misal repot impor beras
yang dapat menimbulkan eksploitasi ekonomi-politik oleh negara-negara eksportir.

Diversifikasi pangan dapat memenuhi kebutuhan gizi masyarakat karena tidak ada satu
pun makanan di dunia ini yang mengandung semua zat gizi yang dibutuhkan tubuh,
selain ASI. Pola konsumsi yang beraneka ragam, maka kebutuhan zat gizi masyarakat
dapat terpenuhi dari berbagai jenis makanan yang dikonsumsi. Terutama kebutuhan zat
gizi mikro. Dengan pola konsumsi yang beraneka ragam, kebutuhan akan vitamin dan
mineral dapat terpenuhi.

Apabila mengkaji diversifikasi konsumsi pangan pokok maka perlu kembali ke masalah
desentralisasi pangan yaitu bahan pangan lokal. Meskipun konsumsi beras cenderung
menurun namun kontribusinya terhadap total energi masih diatas 60 persen sedangkan
umbi-umbian baru menyumbang energi sekitar 3 persen. Aneka umbi-umbian
mempunyai prospek yang cukup luas untuk dikembangkan sebagai substitusi beras dan
untuk diolah menjadi makanan bergengsi. Kegiatan ini memerlukan dukungan
pengembangan teknologi proses dan pengolahan serta strategi pemasaran yang baik
untuk mengubah image pangan inferior menjadi pangan normal bahkan superior.
Seringkali pemerintah hanya menganjurkan masyarakat untuk melakukan diversifikasi
konsumsi pangan dan bersifat hanya menyuruh tanpa didukung oleh ketersediaan
bahannya yang dapat diperoleh secara mudah. Dalam memenuhi permintaan
konsumen, salah satu faktor yang sangat penting dalam mensukseskan program
diversifikasi pangan adalah melaksanakan product development. Produk ini merupakan
upaya menciptakan suatu produk baru yang memiliki sifat, antara lain sangat praktis,
tersedia dalam segala ukuran, kalau digunakan tidak ada sisanya dan mudah diperoleh
di mana saja. Dengan semakin sibuknya kehidupan setiap anggota rumah tangga dan
tidak cukupnya waktu untuk memasak makanan maka bentuk makanan yang siap olah
dan siap santap merupakan pilihan yang terbaik.

F. Pola Konsumsi Pangan Pokok

Selain beras, komoditas yang berperan sebagai pangan pokok adalah umbi-umbian,
jagung, sagu dan pisang. Pola pangan pokok yang beragam ini sebetulnya sudah
terjadi sejak dahulu, seperti sagu banyak dikonsumsi oleh masyarakat di Papua dan
Maluku, serta jagung dikonsumsi oleh masyarakat di NTT. Namun akibat terlalu
dominan dan intensifnya kebijakan pemerintah di bidang perberasan secara
berkelanjutan, mulai dari industri hulu sampai industri hilir mengakibatkan pergese-ran
pangan pokok dari pangan lokal seperti jagung dan umbi-umbian ke pangan pokok
nasional yaitu:

1. Jagung (Zea mays L.)


Jagung merupakan tanaman golongan rumputan kedua yang paling luas dibudidayakan
di Indonesia setelah padi.Komoditas ini memiliki potensi untuk menyangga kebutuhan
pangan non beras karena kandungan terbesar biji jagung adalah karbohidrat, dan
potensial digunakan sebagai bahan baku industri.

Menurut Grubben dan Soetjipto (1996) jagung dapat digunakan sebagai bahan baku
berbagai industri pangan, minuman, kimia dan farmasi serta industri lainnya. Dari 100
kg jagung dapat diperoleh 3.5-4 kg minyak jagung, 27-30 kg bungkil, pakan, gluten,
serat dan sebagainya, serta 64-67 kg pati, dan sisanya 15-25 kg hilang atau terbuang.
Jagung berpotensi untuk dikembangkan sebagai bahan baku diversifikasi pangan
karena mengandung Karbohidrat yang setara dengan serealia lainnya dan fisikokimia
dari pati jagung memiliki karakteristik fungsional sebagai dietary fiber, beta karotin dan
besi

2. Ubi Kayu/Singkong/Ketela Pohon (Manihot esculenta crantz)


Di Indonesia, ketela pohon menjadi pangan pokok setelah beras dan jagung. Di
beberapa tempat, tanaman ubi kayu ini dianggap sebagai cadangan pangan dan
lumbung hidup. Umbi singkong merupakan sumber energi yang kaya karbohidrat
namun sangat miskin protein. Sumber protein yang bagus justru terdapat pada daun
singkong karena mengandung asam amino metionin. Umbi akar singkong banyak
mengandung glukosa dan dapat dimakan mentah. Rasanya sedikit manis, ada pula
yang pahit tergantung pada kandungan racun glukosida yang dapat membentuk asam
sianida. Umbi yang rasanya manis menghasilkan paling sedikit 20 mg HCN per
kilogram umbi akar yang masih segar, dan 50 kali lebih banyak pada umbi yang
rasanya pahit. Pada jenis singkong yang manis, proses pemasakan sangat diperlukan
untuk menurunkan kadar racunnya. Dari umbi ini dapat pula dibuat tepung tapioka. Ubi
Jalar/Ketela Rambat (Ipomoea batatas L.) Ubi jalar atau ketela rambat (Ipomoea
batatas L.) adalah sejenis tanaman budidaya. Bagian yang dimanfaatkan adalah
akarnya yang membentuk umbi dengan kadar gizi (karbohidrat) yang tinggi. Di Afrika,
umbi ubi jalar menjadi salah satu sumber makanan pokok yang penting. Di Asia,
selaindimanfaatkan umbinya, daun muda ubi jalar juga dibuat sayuran. Terdapat pula
ubi jalar yang dijadikan tanaman hias karena keindahan daunnya. Ubi jalar terutama
yang berdaging umbi oranye atau kuning memiliki potensi unggulan pada kandungan
beta karoten (provitamin A) yang tinggi. Beta karoten atau provitamin A dalam ubi jalar
diketahui memiliki banyak manfaat bagi tubuh, karena selain mampu memenuhi
kebutuhan vitamin A juga berfungsi sebagai antioksidan untuk melawan radikal bebas
dalam tubuh.

https://fahrurrozzi7.wordpress.com/2015/06/02/diversifikasi-pangan-di-indonesia/

Anda mungkin juga menyukai