Anda di halaman 1dari 36

LAPORAN PRAKTIKUM

TEKNOLOGI HASIL PETERNAKAN DAN PERIKANAN

PENGOLAHAN IKAN ASAP

DOSEN PENGAMPU : Ir. SURHAINI, MP

Ir. INDRIYANI, MP

ASISTEN DOSEN : NATHANIEL ARLES DAELI (J1A116001)

STEVEN WELLYNTON (J1A116063)

OLEH :

NAMA : LITSA HELPA SAKINAH

NIM : J1A117063

KELAS : THP-R002

TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

UNIVERSITAS JAMBI

2020
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Subsektor perikanan dan peternakan merupakan andalan utama sumber pangan
dan gizi bagi masyarakat indonesia. Ikan, selain merupakan sumber protein, juga diakui
sebagai "functional food" yang mempunyai arti penting bagi kesehatan karena
mengandung asam lemak tidak jenuh berantai panjang (terutama yang tergolong asam
lemak omega-3), vitamin,serta makro dan mikro mineral. Dibandingkan negara lain,
sumbangan perikanan dalam penyediaan protein di indonesia termasuk besar, yakni
55% . Namun demikian, jumlah ikan yang tersedia belum memenuhi kondisi ideal
kecukupan gizi sebesar 26,55 kg ikan/kapita/tahun. Dengan produksi ikan sebesar 4,80
juta ton, maka jumlah ketersediaan ikan hanya 19,20 kg/kapita pada tahun 1998.
Diperkirakan angka konsumsi ikan secara aktual berada di bawah angka ketersediaan
tersebut, karena masih tingginya angka susut hasil ("loss") baik kuantitas, kualitas,
maupun nilai gizinya (Heruwati, 2002).
Ikan asap merupakan salah satu produk olahan yang digemari konsumen baik
di Indonesia maupun di mancanegara karena rasanya yang khas dan aroma yang sedap
spesifik. Proses pengasapan ikan di Indonesia pada mulanya masih dilakukan secara
tradisional menggunakan peralatan yang sederhana serta kurang memperhatikan aspek
sanitasi dan hygienis sehingga dapat memberikan dampak bagi kesehatan dan
lingkungan. Kelemahan-kelemahan yang ditimbulkan oleh pengasapan tradisional
antara lain kenampakan kurang menarik (hangus sebagian), kontrol suhu sulit
dilakukan dan mencemari udara (polusi) (Swastawati , 2011).
Pengasapan dapat didefinisikan sebagai proses penetrasi senyawa volatil pada
ikan yang dihasilkan dari pembakaran kayu yang dapat menghasilkan produk dengan
rasa dan aroma spesifik umur simpan yang lama karena aktivitas anti bakteri,
menghambat aktivitas enzimatis pada ikan sehingga dapat mempengaruhi kualitas ikan
asap. Senyawa kimia dari asap kayu umumnya berupa fenol (yang berperan sebagai
antioksidan), asam organik, alkohol, karbonil, hidrokarbon dan senyawa nitrogen
seperti nitro oksida, aldehid, keton, ester, eter, yang menempel pada permukaan dan
selanjutnya menembus ke dalam daging ikan ( Isamu,2012).

1.2 Tujuan
Praktikum ini bertujuan untuk mengetahui proses pengasapan pada ikan dan
mengetahui organoleptik ikan asap.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Morfologi Ikan Tongkol


Ikan tongkol terklasifikasi dalam ordo Goboioida, family Scombridae, genus
Auxis, spesies Auxis thazard. Ikan tongkol masih tergolong pada ikan Scombridae,
bentuk tubuh seperti betuto, dengan kulit yang licin .Sirip dada melengkung, ujungnya
lurus dan pangkalnya sangat kecil. Ikan tongkol merupakan perenang yang tercepat
diantara ikan-ikan laut yang berangka tulang. Sirip-sirip punggung, dubur, perut, dan
dada pada pangkalnya mempunyai lekukan pada tubuh, sehingga sirip-sirip ini dapat
dilipat masuk kedalam lekukan tersebut, sehingga dapat memperkecil daya gesekan
dari air pada waktu ikan tersebut berenang cepat. Dan dibelakang sirip punggung dan
sirip dubur terdapat sirip-sirip tambahan yang kecil-kecil yang disebut finlet
(Nainggolan E, 2009)
Ikan tongkol dapat mencapai ukuran panjang 60– 65 cm dengan berat 1.720 gr
pada umur 5 tahun. Panjang pertama kali matang gonad ialah 29– 30 cm. Ikan tongkol
temasuk ikan pelagis yang hidup pada kedalaman hingga 50 m di daerah tropis dengan
kisaran suhu 27– 28C. Ikan tongkol merupakan jenis ikan pelagis yang tersebar di
sekitar perairan samudera atlantik, hindia dan pasifik.
Ikan tongkol memiliki 10– 12 jari-jari sirip punggung, 10– 13 jari-jari halus
sirip punggung, 10– 14 jari-jari halus sirip dubur, dengan warna punggung kebiru-
biruan, ungu tua bahkan berwarna hitam pada bagian kepala. Sebuah pola 15 garis-
garis halus, miring hampir horisontal, garis bergelombang gelap di daerah scaleless
diatas gurat sisi (linea lateralis). Bagian bawah agak putih (cerah). Dada dan sirip perut
ungu, sisi bagian dalam mereka hitam. Badan kuat, memanjang dan bulat. Gigi kecil
dan berbentuk kerucut, dalam rangkaian tunggal. Sirip dada pendek, tapi mencapai
garis vertikal melewati batas anterior dari daerah scaleless atas corselet. Sebuah flap
tunggal besar (proses interpelvic) antara sirip perut. Tubuh telanjang kecuali untuk
corselet, yang dikembangkan dengan baik dan sempit di bagian posterior (tidak lebih
dari 5 skala yang luas di bawah asal-sirip punggung kedua). Sebuah keel pusat yang
kuat pada setiap sisi dasar sirip ekor-kecil antara 2 keel. makanannya berupa ikan kecil,
cumi-cumi, krustasea planktonik (megalops), dan larva stomatopod. Karena
kelimpahan mereka, mereka dianggap sebagai elemen penting dari rantai makanan,
khususnya sebagai hijauan untuk spesies lain bagi kepentingan komersial. Diincar oleh
ikan yang lebih besar, termasuk tuna lainnya. Dipasarkan segar dan beku juga
digunakan kering atau asin, asap, dan kaleng. (Nainggolan E, 2009).
Adapun Klasifikasi ikan tongkol yaitu :
Phylum : Chordata
Sub phylum : Vertebrata
Class : Pisces
Sub class : Teleostei
Ordo : Percomorphi
Sub ordo : Scromboidea
Family : Scromboidae
Genus : Auxis
Species : thazard

2.2. Prinsip Pengasapan


Pengasapan merupakan cara pengolahan atau pengawetan dengan
memanfaatkan kombinasi perlakuan pengeringan dan pemberian senyawa kimia alami
dari hasil pembakaran bahan bakar alami. Melalui pembakaran akan terbentuk senyawa
asap dalam bentuk uap dan butiran-butiran tar serta dihasilkan panas. Senyawa asap
tersebut menempel pada ikan dan terlarut dalam lapisan air yang ada di permukaan
tubuh ikan, sehingga terbentuk aroma dan rasa yang khas pada produk dan warnanya
menjadi keemasan atau kecoklatan (Wibowo, 1996).
Menurut Afrianto, dan Liviawati (1991) dalam proses pengasapan ikan, unsur
yang paling berperan adalah asap yang dihasilkan dari pembakaran kayu. Berdasarkan
penelitian laboratorium, asap mempunyai kandungan kimia sebagai berikut : air, asam
asetat, alkohol, aldehid, keton, asam formiat, phenol, karbon dioksida.
Ternyata yang dapat meningkatkan daya awet ikan dalam proses pengasapan
bukan asap, melainkan unsur–unsur kimia yang terkandung dalam asap. Unsur kimia
itu dapat berperan sebagai :
a) Desinfektan yang menghambat pertumbuhan atau membunuh
mikroorganisme penyebab pembusukan ikan yang terdapat dalam tubuh ikan.
b) Pemberi warna pada tubuh ikan, sehingga ikan yang telah diawetkan dengan
proses pengasapan berwarna kuning keemasan dan dapat membangkitkan selera
konsumen. Menurut Oki dan Heru (2007) kulit ikan yang sudah diasapi biasanya akan
menjadi mengkilap. Hal ini disebabkan karena terjadinya reaksi-reaksi kimia di antara
zat-zat yang terdapat dalam asap, yaitu antara formaldehid dengan phenol yang
menghasilkan lapisan damar tiruan pada permukaan ikan sehingga menjadi mengkilap.
Untuk berlangsungnya reaksi ini diperlukan suasan asam dan asam ini telah tersedia di
dalam asap itu sendiri.
c) Bahan pengawet, karena unsur kimia yang terkandung dalam asap mampu
memberikan kekuatan pada tubuh ikan untuk melawan aktivitas bakteri penyebab
ketengikan.

2.3. Tujuan pengasapan


Bahan mentah perlu diperhatikan sebab akan menentukan mutu produk ikan asap
yang Menurut Wibowo (1996) pada dasarnya, ada dua tujuan utama dalam pengasapan
ikan. Tujuan pertama untuk mendapatkan daya awet yang dihasilkan asap. Tujuan
kedua yaitu untuk memberikan aroma yang khas tanpa peduli daya awetnya. Ketelitian
pekerjaan dari setiap tahap serta jenis dan kesegaran ikan akan menentukan mutu hasil
asapan. Kesegaran atau mutu dihasilkan.

2.4. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Pengasapan Ikan


Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pengasapan (Wibowo, 1996), antara lain :
a. Suhu Pengasapan
Pada awal pengasapan, ikan masih basah dan permukaan kulitnya diselimuti
lapisan air. Dalam keadaan ini asap akan mudah menempel pada lapisan air permukaan
ikan. Agar penempelan dan pelarutan asap dapat berjalan efektif, suhu pengasapan
awal sebaiknya rendah. Jika dilakukan pada suhu tinggi, lapisan air pada permukaan
tubuh ikan akan cepat menguap dan daging ikan akan cepat matang. Kondisi ini akan
menghambat proses penempelan asap sehingga pembentukan warna dan aroma asap
kurang baik. Setelah warna dan aroma terbentuk dengan baik, suhu pengasapan dapat
dinaikkan untuk membantu proses pengeringan dan pematangan ikan.
b. Kelembaban Udara
Kisaran kelembaban udara (Rh) yang ideal untuk pengasapan adalah 60% - 70%
dan suhunya sekitar 29°C. Jika Rh yang lebih tinggi dan 79% proses pengeringan
selama pengasapan berjalan lambat karena panas dari hasil pembakaran masih belum
mampu mengurangi kelembaban. Sebaliknya jika Rh kurang dari 60%, permukaan ikan
akan terlalu cepat matang.
c. Jenis Kayu
Jenis kayu menentukan mutu asap yang dihasilkan dan pada akhirnya
menentukan mutu ikan asap. Untuk pengasapan dingin sebaiknya menggunakan serbuk
gergaji dari jenis kayu keras sedangkan untuk pengasapan panas menggunakan batang
atau potongan kayu keras dari jenis separo kayu jati. Jenis- jenis kayu yang
mengandung resin atau damar seperti kayu pinus kurang baik untuk pengasapan karena
menghasilkan rasa pahit pada ikan, sehingga tidak enak untuk dikonsumsi.
d. Perlakuan sebelum pengasapan
Biasanya dengan penggaraman ikut menentukan mutu pengasapan. Faktor
lain yang berpengaruh adalah mutu ikan yang akan diasap, jumlah asap dan ketebalan
asap. Mutu ikan akan berpengaruh karena bila ikan yang diasap sudah mengalami
kemunduran mutu maka produk yang dihasilkan juga akan tidak sesuai dengan
harapan. Sedangkan jumlah asap dan ketebalan asap akan berpengaruh pada cita rasa,
bau dan warna. Semakin tebal asap semakin baik pula produk yang akan dihasilkan.

2.5 Cara Pengasapan Ikan


Pengasapan adalah cara pengolahan atau pengawetan dengan memanfaatkan
kombinasi perlakuan pengeringan dan pemberian senyawa kimia alami dari hasil
pembakaran bahan bakar alami. Hasil pembakaran akan membentuk senyawa asap
dalam bentuk uap dan butiran-butiran serta menghasilkan panas. Senyawa tersebut
menempel pada ikan dan terlarut dalam lapisan air yang ada di permukaan tubuh ikan,
sehingga terbentuk bau yang khas serta warna ikan menjadi berubah keemasan hingga
kecoklatan (Adawyah, 2007). Warna keemasan hingga kecoklatan merupakan proses
kimia yang penting yaitu karbonil-amino. Mekanisme yang mendominasi pada proses
pengasapan adalah absorpsi uap, sehingga parameter fisik yang mempengaruhi
kecepatan absorpsi asap adalah densitas asap, kelembapan relative, dan kondisi
permukaan produk (Estiasih & Ahmadi, 2011). Permukaan yang basah akan
mengabsorpsi lebih cepat dari permukaan yang kering. Pengasapan pada ikan adalah
cara yang digunakan untuk mengawetkan ikan dengan memanfaatkan asap hasil dari
pembakaran kayu atau bahan organik yang lainnya. Asap dari kayu menghasilkan
senyawa bernama senyawa fenol dan formal dehida. Kedua senyawa tersebut
mengandung zat yang dapat membunuh bakteri-bakteri pembusuk atau bersifat
antibakteria. Tujuan dari pengasapan ikan ini adalah untuk mengawetkan ikan dengan
memanfaatkan bahan-bahan alam, untuk memberikan rasa dan aroma khas, untuk
pengembangan cita rasa, untuk menciptakan produk baru dan untuk mengembangkan
warna (Adawyah, 2007).
Proses pembuatan ikan asap (Hildebrandt, 2003 dalam Amri, 2006) terdiri dari
beberapa tahap. Tahap yang pertama persiapan ikan dengan memilih ikan yang segar
atau ikan yang telah dibekukan dan harus dilelehkan (thawing) terlebih dahulu
sebelum diasap. Ikan dicuci dan dibersihkan dari durinya dengan cara diiris (fillet)
dan kulit dapat dibiarkan atau dihilangkan dari daging ikan. Tahap kedua
penggaraman dalam kondisi dingin dan pastikan ikan terendam sempurna. Waktu
perendaman 30 menit sampai 5 jam tergantung pada jenis ikan dan beratnya. Tahap
ketiga pengeringan, sebelum pengeringan ikan dicuci dalam waktu singkat atau tidak
dicuci dengan konsekuen akhir ikan akan terasa lebih asin. Pengeringan dilakukan
dengan cara menempatkan ikan pada rak-rak bersusun dan dijauhkan dari jangkauan
serangga dan binatang lainnya. Waktu pengeringan yang dipakai adalah 1 jam. Tahap
terakhir yaitu pengasapan. Metode pengasapan yang dilakukan tergantung pada
macam alat mengasap yang digunakan. Suhu yang digunakan untuk mengasap adalah
± 90o C dengan lama waktu yang bervariasi mulai dari 1 jam 25 menit sampai 3 jam
tergantung berat tubuh ikan yang diasap. Jika pengasapan dingin yang digunakan
maka suhu diatur 15-30o C (rata-rata 25o C) selama 4-6 minggu. Pada pengasapan
panas suhu berkisar 30o-90oC, dimana pengasapan panas dengan suhu 30o -50oC
yang dilanjutkan dengan suhu pengasapan 50o- 80oC.
BAB III
METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat


Praktikum ini dilaksanakan pada hari Kamis, 7 Mei 2020 Pukul 10.00 WIB di
Laboratorium Pengolahan, Fskultas Teknologi Pertanian, Universitas Jambi, Jambi.
3.2 Alat dan Bahan
Bahan yang digunakan dalam praktikum ini yaitu ikan bandeng, garam,
serabut kelapa, dan air. Sedangkan alat yang digunakan panggangan, pisau, dan
baskom.
3.3 Prosedur Kerja
Pertama-tama dibersihkkan ikan dari sisik dan insang, lalu dicuci bersih dan
ditiriskan, setelah ditiriskan rendam ikan dalam larutan garam dengan konsentrasi 20-
25% direndam selama 30-60 menit, kemudian buat asap, lalu diatur ikan diatas rak
pengasapan dan lakukan proses pengasapan dengan suhu 60-700C sampai kering dan
memiliki warna yang coklat mengkilap. Setelah itu digoreng dan dilakukan pengujian
organoleptik terhadap ikan asap tersebut pengamatan pada parameter keseluruhan.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil
Tabel 1. Hasil analisis rata-rata nilai uji mutu hedonik tekstur ikan tongkol asap pada
perlakuan lama pengasapan yang berbeda.
Lama Pengasapan Nilai Rata-rata
2 Jam 6.40
3 Jam 6.33
3.5 Jam 7.80
4 Jam 6.80
Keterangan :
9 : amat sangat suka
8 : sangat suka
7 : suka
6 : agak suka
5 : netral
4 : agak tidak suka
3 : tidak suka
2 : sangat tidak suka
1 : amat sangat tidak suka

Dari tabel diatas dapat kita ketahui bahwa hasil analisis uji mutu hedonik
tekstur yang disukai oleh panelis yaitu pada lama pengasapan 3.5 jam dengan nilai
rata-rata 7.33 hal ini menunjukan bahwa pada perlakuan pengasapan 3.5 jam tekstur
ikan asap tongkol tersebut disukai panelis dibandingkan lama pengasapan 2 jam, 3
jam dan 4 jam, lama pengasapan dan suhu mempengaruhi tekstur ikan asap tongkol
tersebut, tekstur ikan menjadi cukup kering, padat dan kompak pada parameter tekstur.
Uji mutu hedonic menunjukkan terjadinya perbedaan nyata dari masing-masing
perlakuan. Adanya suhu tinggi dan lama pengasapan yang digunakan pada proses pengasapan
berbeda pada proses pengasapan, menyebabkan kandungan air pada ikan memberikan tekstur
ikan asap yang berbeda antara satu dengan yang lainnya.
Simko (2005) menyatakan selama pengasapan berlangsung terjadi fluktuasi suhu
yang tinggi, sehingga menyebabkan kadar airnya berkurang dan menghasilkan tekstur
menjadi lebih keras, sebaliknya bila kadar air tinggi menyebabkan tekstur menjadi lebih
lunak.
Penelitian Yeti (1990) memberikan pernyataan yang sama bahwa pengujian
organoleptik pada parameter tekstur pada suhu 750C memiliki nilai rata-rata tertinggi dan
teksturnya cukup kering sehingga berbeda nyata dengan perlakuan lainnya. Hal ini
disebabkan panelis lebih menerima tekstur yang cukup kering dibandingkan tekstur yang
kering diakibatkan fluktuasi suhu yang tinggi.

Tabel 2. Hasil analisis rata-rata nilai uji mutu hedonik warna ikan tongkol asap pada
perlakuan lama pengasapan yang berbeda.
Lama Pengasapan Nilai Rata-rata
2 Jam 6.40
3 Jam 6.27
3.5 Jam 7.53
4 Jam 6.60

Dari tabel dapat kita ketahui rata- rata nilai perlakuan lama pengasapan yang paling
disukai panelis yaitu pada lama pengasapan 3.5 jam sebesar 7.50 sedangkan pada perlakuan
lama pemanasan 3 jam memiliki nilai paling rendah yaitu dengan rata-rata nilai 6.27 Ini
dipengaruhi oleh bahan bakar serta pemanasan selama pengasapan, sehingga komposisi kimia
seperti senyawa fenol pada ikan asap memberikan warna yang berbeda antara satu dengan
yang lainnya.
Menurut Giullen dan Manzanos, (2002). asap dapat berperan sebagai pemberi warna
pada tubuh ikan sehingga ikan yang diawetkan dengan proses pengasapan berwarna kuning
keemasan. Semakin tinggi konsentrasi asap yang diberikan maka warna ikanpun akan
semakin gelap atau kecokelatan. Warna pada ikan mempengaruhi penilaian terhadap
konsumen karena selain menarik dan juga membangkitkan selera konsumen untuk
menikmatinya. Hal ini yang menjadi pendukung mengapa panelis suka terhadap lama
pengasapan 3.5 jam.

Tabel 3. Hasil analisis rata-rata nilai uji mutu hedonik aroma ikan tongkol asap pada
perlakuan lama pengasapan yang berbeda
Lama Pengasapan Nilai Rata-rata
2 Jam 6.80
3 Jam 6.67
3.5 Jam 7.73
4 Jam 6.27

Dari tabel diatas dapat kita lihat rata-rata nilai uji mutu hedonik aroma ikan tongkol
asap yang paling disukai panelis yaitu pada lama pengasapan 3.5 jam dengan nilai rata-rata
7.73 sedangkan nilai rata-rata yang paling rendah yaitu pada perlakuan lama pemanasan 4
jam dengan nilai rata-rata 6.27 jam. Hal ini menyebabkan panelis lebih menyukai aroma ikan
asap yang memiliki aroma asap yang lembut sampai cukup tajam atau tajam, tidak tengik,
tanpa bau busuk, dan tanpa bau apek dan asam. Semakin tinggi konsentrasi asap yang
diberikan maka aroma dan rasa asap pada ikan pun akan semakin meningkat.

Tabel 4. Hasil analisis rata-rata nilai uji hedonik rasa ikan tongkol asap pada perlakuan lama
pengasapan yang berbeda
Lama Pengasapan Nilai Rata-rata
2 Jam 6.40
3 Jam 6.70
3.5 Jam 7.13
4 Jam 6.97

Dari tabel diatas dapat kita lihat rata-rata nilai uji hedonik rasa ikan tongkol asap
yang paling disukai panelis yaitu pada lama pengasapan 3,5 jam dengan rata-rata nilai 7.13
sedangkan nilai rata-rata terendah pada lama pemanasan 2 jam dengan nilai rata-rata 6.40.
Hal ini dipengaruhi oleh bahan bakar yang digunakan dalam proses pengasapan seperti fenol,
suhu, dan kepadatan asap.
Beberapa faktor yang mempengaruhi kualitas produk ikan asap, diantaranya yaitu
yang berhubungan dengan proses pengasapan, seperti jenis kayu/bahan bakar, komposisi
asap, suhu, kelembaban, kecepatan dan kepadatan asap. Hal inilah yang menyebabkan panelis
menyukai perlakuan dengan lama pemanasan 3.5 jam, karena ikan asap yang dihasilkan terasa
enak dan gurih.

Tabel. 5 Hasil analisis rata-rata nilai uji mutu hedonik penerimaan keseluruhan ikan tongkol
asap pada perlakuan lama pengasapan yang berbeda
Lama Pengasapan Nilai Rata-rata
2 Jam 6.40
3 Jam 6.27
3.5 Jam 7.53
4 Jam 6.60

Dari tabel diatas dapat diketahui rata-rata nilai uji hedonik penerimaan
keseluruhan ikan tongkol pada lama pengasapan 3.5 jam dengan rata-rata nilai 7.53
sedangkan rata-rata nilai paling rendah yaitu pada lama pengasapan 2 jam dengan
rata-rata nilai 6.40. Hal inilah yang mempengaruhi tingkat kesukaan panelis dari segi
rasa, aroma, warna dan tekstur, rata-rata panelis menyukai lama pengasapan 3.5 jam
dengan nilai rata-rata 7.53. Panelis lebih menyukai aroma ikan asap yang memiliki aroma
asap yang lembut sampai cukup tajam atau tajam, tidak tengik, tanpa bau busuk, dan tanpa
bau apek dan asam, warna pada ikan mempengaruhi penilaian terhadap konsumen karena
selain menarik dan juga membangkitkan selera konsumen untuk menikmatinya, panelis lebih
menerima tekstur yang cukup kering dibandingkan tekstur yang kering diakibatkan fluktuasi
suhu yang tinggi.
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Dari data yang telah diperoleh dapat disimpulkan bahwa Perlakuan 3.5 jam
merupakan produk yang disukai oleh panelis dan memberikan pengaruh berbeda nyata
(p<0,05) serta memiliki nilai tertinggi terhadap parameter kenampakan, aroma, rasa,
tekstur dan warna.

5.2 Saran
Dalam pengolahan ikan asap ini, harus memperhatikan kualitas dan kuantitas
ikan.
DAFTAR PUSTAKA

Adawyah, Rabiatul. 2007. Pengolahan dan Pengawetan Ikan. Bumi Aksara. Jakarta.

Afrianto, E dan Liviawaty, E. 1991. Pengawetan dan Pengolahan Ikan. Kanisius.


Yogyakarta.

Giullén MD and Manzanos MJ. 2002. Study of the volatile composition of an aqueous
oak smoke preparation. Food Chemistry 79:283-292

Nainggolan, E. 2009. Morfologi Ikan Tongkol.


http://www.scribd.com/doc/32301208/Laporan-Tongkol/ [14 Oktober 2010]

Simko P. 2005. Factors affecting elimination of polycyclic aromatic hydrocarbons


from smoked meat foods and liquid smoke flavourings: a review of molecular
nutrition. Food Research 49:637-647

Towadi.K., Harmain.R.M., Dali.F.A. (2013). Pengaruh Lama Pengasapan Yang


Berbeda Terhadap Mutu Organoleptik dan Kadar Air pada Ikan Tongkol
(Euthynnus affinis) Asap. Jurnal Nike, 1(3), 177–185.
http://ejurnal.ung.ac.id/index.php/nike/article/view/1238

Wibowo, S. 1996. Industri Pengasapan Ikan. Penebar Swadaya. Jakarta

Yeti. I. 1990. Pola Perubahan kadar air dan NIlai organoleptik ikan lais(Cryptopterus
limpok).asap setelah mengalami perlakuan suhudan lama pengasapan.Institut
Pertanian Bogor : Skripsi
LAPORAN PRAKTIKUM

TEKNOLOGI HASIL PETERNAKAN DAN PERIKANAN

PENGOLAHAN IKAN ASIN

DOSEN PENGAMPU : Ir. SURHAINI, MP

Ir. INDRIYANI, MP

ASISTEN DOSEN : NATHANIEL ARLES DAELI (J1A116001)

STEVEN WELLYNTON (J1A116063)

OLEH :

NAMA : LITSA HELPA SAKINAH

NIM : J1A117063

KELAS : THP-R002

TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

UNIVERSITAS JAMBI

2020
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Ikan bersifat perishable food atau mudah mengalami proses pembusukan atau
kemunduran mutu. Ikan cepat mengalami pembusukan disebabkan oleh beberapa hal,
yaitu karena tubuh ikan mempunyai kadar air yang tinggi (80%) dan pH mendekati
netral sehingga merupakan media yang baik untuk pertumbuhan mikroorganisme lain,
daging ikan mengandung sedikit sekali jaringan pengikat atau tendon, sehingga mudah
dicerna oleh enzim autolysis, daging ikan banyak mengandung asam lemak tidak jenuh,
yang mudah mengalami proses oksidasi (Fida, 2007).
Ikan merupakan sumber protein hewani yang potensial dan sangat dibutuhkan
oleh masyarakat. Biasanya kadar protein ikan 15-20 % tergantung jenis ikannya.
Meskipun demikian, ikan merupakan produk yang cepat busuk karena kadar airnya
yang tinggi (70-80%) sehingga memicu proses pembusukan oleh bakteri. Ikan yang
telah dikeringkan memiliki kelebihan, yaitu kadar protein per 100 g bahannya menjadi
lebih tinggi. Pengeringan ikan merupakan cara pengawetan ikan yang tertua. panas
matahari dan tiupan angin. Pada prinsipnya, pengeringan merupakan cara pengawetan
ikan dengan mengurangi kadar air pada tubuh ikan sebanyak mungkin, sehingga
kegiatan- kegiatan bakteri terhambat dan jika mungkin, mematikan bakteri tersebut
(Fida, 2007).
Salah satu kelemahan ikan sebagai bahan makanan ialah sifatnya yang mudah
busuk setelah ditangkap dan mati. Oleh karena itu, ikan perlu ditangani dengan baik
agar tetap dalam kondisi yang layak dikonsumsi oleh konsumen. Setelah dilakukan
penanganan awal berupa sortasi, grading dan pembersihan, maka penanganan
selanjutnya antara lain pendinginan, pembekuan, penggaraman, pengeringan dan lain
sebagainya. Teknik pengawetan yaitu pendinginan, pembekuan, penggaraman dan
pengeringan. Pada proses pengawetan dengan cara penggaraman sebenarnya terdiri
dari dua proses yaitu proses penggaraman dan proses pengeringan. Ikan yang digarami
dan dikeringkan menjadi awet karena garam dapat menghambat atau membunuh
bakteri penyebab kebusukan. Selain itu dengan dilakukannnya pengeringan kadar air
dalam ikan yang menjadi faktor dasar pertumbuhan bakteri semakin kecil sehingga
proses pengawetan dapat lebih sempurna (Fida, 2007).
Metode pengawetan dengan cara penggaraman merupakan metode pengawetan
yang sederhana dan ekonomis, hal ini karena media utama yang menjadi bahan dasar
dari dalam pelaksanaan hanya memerlukan garam dan proses pengeringannya yang
masih tradisional hanya dengan bantuan sinar matahari saja. Oleh karena itu dilapisan
masyarakat sebagian besar metode pengawetan yang dilakukan adalah penggaraman
dan pengeringan (Fida, 2007).

1.2 Tujuan
Adapun tujuan dari praktikum ini yaitu untuk mengetahui cara atau metode
pembuatan ikan asin dan perbedaan larutan garam dari jenis ikan yaitu ikan bandeng.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ikan Bandeng


Ikan bandeng adalah ikan yang sering dijumpai di Indonesia. Ikan bandeng
sering dibudidayakan oleh orang Indonesia. Di Asia Tenggara, bandeng (Chanos
chanos) adalah ikan yang popular dikonsumsi. Ikan bandeng merupakan spesies satu-
satunya yang masih ada dalam familia Chanidae (bersama enam genus tambahan
dilaporkan pernah ada namun sudah punah). Bahasa Bugis dan Makasar dikenal
sebagai ikan bolu, dan dalam bahasa Inggris milkfish (Novianto, 2011).
Ikan memiliki karakteristik berbadan langsing, sirip bercabang serta lincah di
air, memiliki sisik seperti kaca dan berdaging putih. Ikan bandeng memiliki keunikan,
yaitu mulutnya tidak bergigi dan makanannya adalah tumbuh-tumbuhan dasar laut.
Panjang usus bandeng 9 kali panjang badannya (Murtidjo, 1989 dalam Novianto,
2011).
Ikan bandeng hidup diperairan pantai, muara sungai, hamparan hutan bakau,
lagon, daerah genangan pasang surut dan sungai. Ikan bandeng dewasa biasanya
berada diperairan littoral (Novianto, 2011). Pemijahan secara alami berlangsung
dalam kelompok kecil tersebar di sekitar pantai dengan karakteristik habitat perairan
jernih, dasar perairan berpasir dan berkarang dengan kedalaman antara 10-30 m
(Muslim, 2004).
2.2 Klasifikasi Ikan Bandeng
Menurut Saanin Jilid 1 & 2 (1984 &1995), klasifikasi ikan bandeng (Chanos
chanos) adalah sebagai berikut :
Phylum : Chordata S
ubphylum : Vertebrata
Classis : Pisces
Subclassis : Teleostei
Ordo : Malacopterygii
Familia : Chanidae
Genus : Chanos
Species : Chanos chanos

2.3 Morfologi Ikan Bandeng


Ciri-ciri utama untuk klasifikasi bandeng adalah sirip ekor panjang dan
bercagak dengan sebelas atas lebih panjang, dengan rumus D 14-16; A 10-11; P 16-
17; V 11-12, sisik garis sisi 75-80. Tubuh bandeng berbentuk seperti “torpedo”,
seluruh permukaan tubuh tertutup oleh sisik bertipe cycloid yang berwarna perak
cerah dan di bagian belakang agak perak kehijauan (Gambar 2.1). Pada bagian tengah
tubuh terdapat garis lateral yang memanjang dari operculum sampai ke ekor. Sirip
dada dan sirip perut dilengkapi dengan sisik tambahan yang besar, sirip anus
menghadap kearah bagian belakang. Selaput bening (adipose ayelid) menutupi mata
dan kiri kanan bagian kepala. Mulut relatif kecil tidak bergigi terletak simetris di
bagian depan kepala. Empat pasang lengkung insang terletak di kiri kanan kepala,
terlindung, oleh tutup insang yang terdiri dari tiga bagian yaitu o perculum, sub
operculum dan pra-operculum dan empat jari-jari branchiostegal terletak di bagian
bawah kepala. Bandeng jantan memiliki ciri-ciri warna sisik tubuh cerah mengkilap
keperakan serta memiliki dua lubang kecil di bagian anus yang tampak jelas pada
jantan dewasa. Bandeng betina dapat diidentifikasi dari ciri-ciri perut agak buncit dan
terdapat tiga lubang di bagian anus yang tampak jelas pada batina dewasa. Di alam
jumlah jantan lebih banyak (60-70%) dibandingkan dengan jumlah betina. Ciri-ciri
morfologi yang dapat digunakan untuk membedakan jenis kelamin hanya dapat
dikenali oleh para ahli yang sudah berpengalaman (Muslim, 2004).

Gambar 2.1 Morfologi ikan bandeng


2.4 Penggaraman
Penggaraman merupakan proses pengawetan yang banyak dilakukan di
berbagai negara, termasuk Indonesia. Proses tersebut menggunakan garam sebagai
media pengawet, baik yang berbentuk kristal maupun larutan. Selama proses
penggaraman, terjadi penetrasi garam ke dalam tubuh ikan dan keluarnya cairan dari
tubuh ikan karena perbedaan konsentrasi. Cairan itu dengan cepat dapatmelarutkan
kristal garamatau mengencerkanlarutan garam. Bersamaan dengan keluarnya cairan
daridalam tubuh ikan, partikel garam akan memasuki tubuh ikan. Lama kelamaan
kecepatan proses pertukaran garam dan cairan semakin lambat dengan menurunnya
konsentrasi garam di luar tubuh ikan dan meningkatnya konsentrasi garam di dalam
tubuh ikan. Bahkan pertukaran garam dan cairan tersebut berhenti sama sekali setelah
terjadi keseimbangan. Proses itumengakibatkan pengentalan cairan tubuh yang masih
tersisa dan penggumpalan protein (denaturasi serta pengerutan sel-sel tubuh ikan
sehingga sifat dagingnya berubah) (Suryanto, 2003).
Selama proses penggaraman berlangsung terjadi penetrasi garam ke dalam
tubuh ikan dan keluarnya cairan dari tubuh ikan karena adanya perbedaan konsentrasi.
Cairan tersebut dengan cepat akan melarutkan kristal garam atau mengencerkan larutan
garam. Bersamaan dengan keluarnya cairan dari dalam tubuh ikan, partikel garam pun
masuk ke dalam tubuh ikan. Ikan yang telah mengalami proses penggaraman, sesuai
dengan prinsip yang berlaku, akan mempunyai daya simpan tinggi karena garam dapat
berfungsi menghambat atau menghentikan reaksi autolisis danmembunuh bakteri yang
terdapat di dalam tubuh ikan. Cara kerja garam di dalam menjalankan fungsi kedua
sebagai berikut. Garam menyerap cairan tubuh ikan, selain itu garam juga menyerap
cairan tubuh bakteri sehingga proses metabolisme bakteri terganggu karena
kekurangan cairan, akhirnya bakteri mengalami kekeringan dan mati (Budiman, 2004).

2.5 Metode Penggaraman


Pengawetan ikan dengan cara penggaraman terdiri dari 2 proses yaitu,proses
penggaraman dan proses pengeringan. Adapun tujuan dari prosespenggaraman yakni
untuk memperpanjang masa awet dan daya simpan ikan.Ikan yang digarami dapat
menghambat atau membunuh bakteri penyebabkebusukan ikan (Adawiyah, 2007).
2.5.1. Penggaraman Kering (Dry Salting)
Metode penggaraman keringmenggunakan kristal garam yangdicampurkan
dengan ikan. Pada umumnya,ikan yang berukuran besar dibuang isi perutdan badannya
dibelah dua. Dalam proses penggaraman ikan ditempatkandidalam wadah yang kedap
air. Ikan disusun rapi dalam wadah selapis demiselapis dengan setiap lapisan ikan
ditaburi garam. Lapisan paling atas dan palingbawah wadah merupakan lapisan garam.
Garam yang digunakan pada prosespenggaraman umumnya berjumlah 10 % - 35 %
dari berat ikan yang digarami.Pada waktu ikan bersentuhan dengan kulit atau daging
ikan (yang basah/berair),garam itu mula-mula akan membentuk larutan pekat. Larutan
ini kemudian akanmeresap kedalam daging ikan melalui proses osmosa. Jadi, kristal
garam tidaklangsung menyerap air, tetapi terlebih dahulu berubah jadi larutan.
Semakin lamalarutan akan semakin banyak dan ini berarti kandungan air dalam tubuh
ikansemakin berkurang (Budiman, 2008).
2.5.2. Penggaraman Basah (Wet Salting)
Penggaraman basah menggunakan larutan garam 30-50% (setiap 100 liter
larutan garam berisi 30-50 kg garam). Ikan dimasukan kedalam larutan itu dan diberi
pemberat agar semua ikan terendam, tidak ada yang terapung. Ikan direndam dalam
jangka waktu tertentu tergantung pada ukuran dan tebal ikan serta erajat keasinan yang
diinginkan. Didalam proses osmosis, kepekaan makin lama makin berkurang, karena
air dari dalam daging ikan secara berangsur-angsur masuk kedalam larutangaram,
sementara sebagian molekul garam masuk kedalam daging ikan. Karenakecenderungan
daging ikan penurunan kepekaan larutan garam itu, maka prosesosmosis akan semakin
lambat dan pada akhirnya berhenti. Larutan garam yanglewat jenuh adalah jumlah
garam lebih banyak dari jumlah yang dapat dilarutkan sehingga dapat dipergunakan
untuk memperlambat kecenderungan itu (Adawiyah, 2007).
Bedanya dengan penggaraman kering adalah larutan garam perendamikan
dibuat lebih dulu sehingga konsentrasi larutan ini disesuaikan dengan seleradan
keperluan. Umumya larutan garam yang digunakan 30% - 50% (setiap 100liter larutan
garam berisi 30-50 kg garam). Kench salting hampir sama denganpenggaraman kering,
tetapi larutan garam yang terbentuk dibiarkan mengalirkeluar dari wadah. Wadah yang
digunakan tidak kedap air tetapi berupakeranjang. Ikan yang dilumuri garam ditumpuk
dalam keranjang dan dipadatkanserta ditutup rapat (Moeljanto, 1992).
2.5.3. Penggaraman Campuran (Kench Salting)
Pada dasarnya, teknik penggaraman ini sama dengan pengaramankering (dry
salting) tetapi tidak mengunakan bak /wadah penyimpanan. Ikandicampur dengan
garam dan dibiarkan diatas lantai atau geladak kapal, larutanair yang terbentuk
dibiarkan mengalir dan terbuang. Kelemahan dari cara iniadalah memerlukan jumlah
garam yang lebih banyak dan proses penggaramanberlangsung sangat lambat
(Budiman, 2008).

2.6 Jenis-Jenis Garam


Garam dapur yang mempunyai nama kimia sodium klorida (rumus kimia:
NaCl) adalah senyawa kimia yang tersusun dari sodium (Na) dan klorida (Cl). Sodium
(Na) adalah salah satu elemen penting dalam tubuh untuk proses metabolisme sel, dan
merupakan mineral dalam darah dan cairan limpa. Sodium (Na) juga diperlukan tubuh
untuk menjaga fungsi saraf dan otot. Kebutuhan tubuh terhadap sodium bisa
didapatkan dari asupan makanan. Sumber sodium yang murah meriah adalah garam
dapur. Jelasnya, garam dapur yang kita gunakan untuk memasak tidak hanya sebagai
pelengkap rasa, tetapi juga untuk memenuhi kebutuhan sodium dalam menjaga
keseimbangan fungsi tubuh. Garam dapur atau sodium klorida (rumus kimia: NaCl).
tidak hanya diproduksi dari air laut saja. Bahan kimia ini bisa juga ditambang dari
dalam bumi, yaitu dari endapan mineral sodium klorida yang terbentuk lama dan
tertutup lapisan bumi (Martini, 2010).
Garam meja merupakan olahan dari garam laut, butirannya lebih halus, dan
biasanya diberi tambahan mineral lainnya. Namun, garam meja mempunyai kandungan
iodium lebih sedikit. Garam meja merupakan olahan dari garam laut, butirannya lebih
halus, dan biasanya diberi tambahan mineral lainnya. Namun, garam meja mempunyai
kandungan iodium lebih sedikit. Garam meja diproses dengan cara yang sangat murni.
Sehingga membentuk butiran yang halus dan lembut. Meskipun garam bukan sumber
yodium yang utama, tapi di dalamnya terkandung zat yang sangat penting untuk
kesehatan tiroid. Nutrisi tersebut, pertama kali ditambahkan ke dalam garam pada
tahun 1920. Bertujuan untuk mencegah gondok dan gangguan neurokognigtif, yang
muncul akibat kurang yodium (Ishikawa, 1988).

2.7 Pengeringan
Pengeringan adalah suatu cara untuk mengeluarkan atau mengilangkan
sebagian air dari suatu bahan dengan menguapkan sebagian besar air yang di kandung
melalui penggunaan energi panas. Biasanya, kandungan air bahan tersebut di kurangi
sampai batas sehingga mikroorganisme tidak dapat tumbuh lagi di dalamya.
Keuntungan pengeringan adalah bahan menjadi lebih awet dan volume bahan menjadi
lebih kecil sehingga mempermudah dan menghemat ruang pengangkutan dan
pengepakan, berat bahan juga menjadi berkurang sehingga memudahkan transpor,
dengan demikian di harapkan biaya produksi menjadi lebih murah (Murniyati, 2000).
Di samping keuntungan-keuntunganya, pengeringan juga mempunyai beberapa
kerugian yaitu karena sifat asal bahan yang di keringkan dapat berubah, misalnya
bentuknya, misalnya bentuknya, sifat-sifat fisik dan kimianya, penurunan mutu dan
sebagainya. Kerugian yang lainya juga disebabkan beberapa bahan kering perlu
pekerjaan tambahan sebelum di pakai, misalnya harus di basahkan kembali
(rehidratasi) sebelum di gunakan. Agar pengeringan dapat berlangsung, harus di
berikan energi panas pada bahan yang di keringkan, dan di perlukan aliran udara untuk
mengalirkan uap air yang terbentuk keluar dari daerah pengeringan. Penyedotan uap
air ini daoat juga di lakukan secara vakum. Pengeringan dapat berlangsung dengan baik
jika pemanasan terjadi pada setiap tempat dari bahan tersebut, dan uap air yang di ambil
berasal dari semua permukaan bahan tersebut. Factor-faktor yang mempengaruhi
pengeringan terutama adalah luas permukaan benda, suhu pengeringan, aliran udara,
tekanan uap di udara, dan waktu pengeringan (Murniyati, 2000).
Pengeringan merupakan proses mengurangi kadar air bahan sampai batas
dimana perkembangan mikroorganisme dan kegiatan enzim yang dapat menyebabkan
pembusukan terhambat atau terhenti. Semakin banyak kadar air dalam suatu bahan,
maka semakin cepat pembusukannya oleh mikroorganisme. Dengan demikian bahan
yang dikeringkan dapat mempunyai waktu simpan yang lebih lama dan kandungan
nutrisinya masih ada. Akan tetapi misalnya pada ikan asin, dilakukan penggaraman
terlebih dulu sebelum dikeringkan. Ini dilakukan agar spora yang dapat meningkatkan
kadar air dapat dimatikan (Desroirer, 2008).

2.8 Metode Pengeringan


Pengawetan secara pengeringan dilakukan setelah dilakukan proses
penggaraman. Pengeringan adalah suatu proses pengawetan pangan yang sudah lama
dilakukan oleh manusia. Metode pengeringan ada dua, yaitu metode pengeringan
secara alami dan buatan / mekanis) (Desroirer, 2008).
2.8.1 Pengeringan Alami
Metode pengeringan secara alami adalah suatu proses pengeringan yang
dilakukan dengan menggunakan media angin dan sinar matahari. Dalam pengeringan
alam, ikan dijemur diatas rak-rak yang dipasang miring (+15o) kearah datangnya angin
dan diletakkan ditempat terbuka supaya terkena sinar matahari dan hembusan angin
secara langsung. Keunggulan pengeringan alami adalah proses sangat sederhana,
murah dan tidak memerlukan peralatan khusus sehingga gampang dilakukan oleh
semua orang. Pengeringan dengan sinar matahari merupakan jenis pengeringan tertua,
dan hingga saat ini termasuk cara pengeringan yang populer di kalangan petani
terutama di daerah tropis. Teknik pengeringan yang dilakukan dengan secara langsung
maupun juga tidak langsung (dikeringanginkan), dengan rak-rak maupun lantai semen
atau tanah serta penampung bahan lainnya (Moeljanto, 1992).
Pada proses pengeringan ini, angin berfungsi untuk memindahkan uap air yang
terlepas dari ikan, dari atas ikan ke tempat lain sehingga penguapan berlangsung lebih
cepat. Tanpa adanya pergerakan udara, misalnya jika penjemuran ditempat tertutup
(tanpa adanya hembusan angin), pengeringan akan berjalan lambat. Selain tiupan
angin, pengeringan alami juga dipengaruhi oleh intensitas cahaya matahari pada saat
penjemuran berlangsung. Makin tinggi intensitasnya maka proses pengeringan akan
semakin cepat berlangsung begitupun sebaliknya. Oleh karena itu, proses pengeringan
alami sering terhambat pada saat musim penghujan karena intensitas cahaya matahari
sangat kurang. Karena lambatnya pengeringan, proses pembusukan kemungkinan tetap
berlangsung selama proses pengeringan (Budiman, 2008).
2.8.2 Pengeringan Mekanis
Pada metode pengeringan secara mekanis, ikan disusun diatas rak-rak
penyimpanan didalam ruangan tertutup yang dilengkapi dengan beberapa lubang
ventilasi. Kedalam ruangan tersebut, ditiupkan hawa panas yang dihasilkan dari elemen
pemanas listrik. Hawa panas ditiupkan dengan sebuah kipas angin atau blower supaya
mengalir ke arah rak-rak ikan. Angin yang membawa uap air dari tubuh ikan akan
keluar dari lubang-lubang ventilasi. Pengeringan mekanis memiliki beberapa
keunggulan antara lain Ketinggian suhu, kelembaban dan kecepatan udara mudah
diatur. Sanitasi dan higiene lebih mudah dikendalikan. Tidak memerlukan tempat yang
luas. Waktu pengeringan menjadi lebih teratur (tidak terpengaruh oleh adanya musim
hujan (Hardjosentono, 2009).
Pengeringan dengan pemanas buatan mempunyai beberapa tipe alat dimana
pindah panas berlangsung secara konduksi atau konveksi, meskipun beberapa dapat
pula dengan cara radiasi. Alat pengering dengan pindah panas secara konveksi pada
umumnya menggunakan udara panas yang dialirkan, sehingga enersi panas merata ke
seluruh bahan. Alat pengering dengan pindah panas secara konduksi pada umumnya
menggunakan permukaan padat sebagai penghantar panasnya (Hardjosentono, 2009).

2.9 Ikan Asin


Ikan asin merupakan bahan makanan yang terbuat dari daging ikan yang
diawetkan dengan menambahkan banyak garam. Prosedur kerja dalam pembuatan ikan
asin adalah lakukan penyiangan ikan dengan membuang insang,sisik dan isi perut
kemudin ikan dibelah menjadi dua atau dalam bentuk fillet butterfly ikan.metode
penggaraman yang digunakan adalah metode penggaraman kombinasi antara
penggaraman kering dan basah. Faktor-faktor yang mempengaruhi dari produk suatu
ikan asin adalah ketebalan daging ikan, konsentrasi garam, jenis garam, kandungan
lemak pada suatu daging ikan, dan suhu pada tubuh ikan (Mucthadi, 1992).
Ikan asin merupakan bahan makanan yang terbuat dari daging ikan yang
diawetkan dengan menambahkan banyak garam. Dengan metode pengawetan ini
daging ikan yang biasanya membusuk dalam waktu singkat dapat disimpan di suhu
kamar untuk jangka waktu berbulan-bulan, walaupun biasanya harus ditutup rapat.
Ikan sebagai bahan makanan yang mengandung protein tinggi dan mengandung asam
amino essensial yang diperlukan oleh tubuh, disamping itu nilai biologisnya mencapai
90%, dengan jaringan pengikat sedikit sehingga mudah dicerna oleh konsumen
(Adawyah, 2007).
Dengan demikian prinsip pembuatan olahan ikan asin merupakan salah satu
cara untuk memperpanjang daya simpan dan menambah nilai jual dari poduk tersebut.
Sehingga hal ini sangat penting diketahui bagi kita terutama seorang praktikan jurusan
perikanan sebagai seorang akademisi dan merupakan ranah bidang ilmu pengetahuan
kita. Cara pengawetan ini merupakan usaha yang paling mudah dalam menyelamatkan
hasil tangkapan nelayan. Dengan penggaraman proses pembusukan dapat dihambat
sehingga ikan dapat disimpan lebih lama. Penggunaan garam sebagai bahan pengawet
terutama diandalkan pada kemampuannya menghambat pertumbuhan bakteri dan
kegiatan enzim penyebab pembusukan ikan yang terdapat dalam tubuh ikan (Tarwiyah,
2001).
BAB III
METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat


Praktikum ini dilaksanakan pada hari Kamis, 7 Mei 2020 Pukul 10.00 WIB di
Laboratorium Pengolahan, Fskultas Teknologi Pertanian, Universitas Jambi, Jambi.

3.2 Alat dan Bahan


Pada pembuatan ikan asin bahan yang digunakan adalah ikan bandeng, air,
dan garam. Sedangkan alat yang digunakan adalah timbangan, baskom, panci, pisau,
piring, talenan, dan nampan.

3.3 Prosedur Kerja


Siapkan alat dan bahan yang akan digunakan, lalu ikan akan diolah disiangi
dan dicuci bersih pada air mengalir. Ikan yang telah bersih ditiriskan dan ditimbang
beratnya. Selanjutnya timbang garam sebanyak 20-30% untuk ikan bandeng. Tahapan
selanjutnya wadah penggaraman ikan disiapkan dan pada dasar wadah dialasi garam
setebal 3 cm. Lalu ikan asin disusun secara teratur dan menumpuk dan disetiap garam
setealah tumpukannya dilapisi garam, begitu selanjutnya hingga ikan tersusun semua.
Serta pada bagian paling atas dilumuri garam setebal 5 cm. Lalu tutup rapat dan
disimpan selama 2-3 hari. Setelah proses penggaraman selesai ikan dicuci kembali
dan dilakukan pengamatan serta penimbangan. Tahap akhir ikan dijemur hingga
kering dan lakukan pengamatan serta ditimbang kembali untuk kemudian dimasak
dengan cara digoreng lalu dilakukan uji organoleptik parameter keseluruhan pada
ikan asin.
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil
Tabel 1. Nilai rata-rata uji organoleptik ikan bandeng

Parameter Perlakuan
A B C D E F G H I
Penampakan 6,24 6,09 6,03 5,72 5,73 5,83 6,56 5,48 6,56
Rasa 5,56 6,03 6,14 6,14 6,06 6,63 5,83 7,02 6,13
Tekstur 6,41 6,25 6,19 6,23 6,50 6,57 6,11 6,03 5,79
Aroma 6,66 6,29 6,47 6,33 6,09 6,19 6,03 5,77 6,10
Nilai :

1. Sangat tidak suka


2. Tidak suka
3. Agak tidak suka
4. Netral
5. Agak suka
6. Suka
7. Sangat suka

4.2 Pembahasan
4.2.1 Kenampakan
Berdasarkan tabel 1. uji hedonik parameter kenampakan menunjukkan bahwa
pengaruh konsentrasi dan lama penggaraman tidak memberikan perbedaan yang nyata
pada kenampakan ikan bandeng asin kering (P<0.05). Pada parameter kenampakan
panelis lebih meyukai perlakuan G dan I dengan masing-masing rata-rata nilai 6,56.
Sedangkan rata-rata nilai paling kecil terdapat pada perlakuan D dengan rata-rata nilai
5,72.
Ikan bandeng termasuk ikan yang berlemak tinggi, sehingga penetrasi garam
dalam tubuh ikan menjadi tidak sempurna dan mengakibatkan kristal garam lebih
banyak tertinggal pada bagian luar tubuh ikan bandeng asin kering. Kenampakan ikan
bandeng asin terlihat sama untuk semua perlakuan dan tidak terdapat kerusakan fisik
serta tidak adanya perubahan warna yang berarti, selain itu konsentrasi garam dan lama
penggaraman yang semakin tinggi, membuat penerimaan panelis cenderung semakin
menurun. Konsentrasi garam dan lama penggaraman yang semakin tinggi diduga
menyebabkan kenampakan ikan bandeng asin kering terlihat lebih putih karena kristal
garam yang terdapat pada permukaan tubuh ikan sehingga tingkat kesukaan panelis
berkurang. Sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Rinto, dkk. 2009, yang
menyatakan bahwa konsentrasi garam tinggi pada pengolahan ikan asin dan
dilakukannya penggaraman berulang akan menyebabkan ikan asin menjadi lebih putih
karena adanya kristal garam. Ditambahkan juga oleh Rahmani, dkk. (2007) bahwa
semakin tinggi konsentrasi garam dan lama penggaraman menyebabkan semakin
banyak butiran garam pada ikan asin. Pada proses penggaraman bahan pangan yang
dilanjutkan dengan pengeringan sering terjadi pencoklatan (browning) karena
terjadinya oksidasi lemak pada ikan, sehingga mengurangi nilai penerimaan panelis
terhadap kenampakan. Hadiwiyoto (2012) menyatakan bahwa, oksidasi lemak,
degradasi protein dan komponen-komponen lainnya dapat menyebabkan kerusakan
sel-sel daging sehingga kenampakan fisik ikan akan berubah. Ditambahkan oleh Haris
(1996) dalam Lestary (2007) bahwa molekul-molekul oksigen yang kontak dengan
produk akan segera memasuki rantai reaksi dan menyebabkan terjadinya oksidasi
lemak, kerusakan vitamin, protein dan oksidasi pigmen, sehingga terjadi perubahan
warna pada produk.

4.2.2 Rasa
Berdasarkan tabel 1. uji hedonik parameter rasa menunjukkan bahwa pengaruh
konsentrasi dan lama penggaraman memberikan perbedaan yang nyata pada
kenampakan ikan bandeng asin kering (P>0.05). Pada parameter rasa panelis lebih
meyukai perlakuan H dengan rata-rata nilai 7,02. Sedangkan rata-rata nilai paling kecil
terdapat pada perlakuan A dengan rata-rata nilai 5,56. Perlakuan A (agak suka) dengan
kriteria mutu enak, spesifik jenis, sedikit rasa tambahan dan nilai tertinggi berdasarkan
kesukaan panelis pada Perlakuan H (suka) dengan kriteria mutu sangat enak, spesifik
jenis, tanpa rasa tambahan. Berdasarkan nilai rata-rata pada uji hedonik, terlihat bahwa
semakin tinggi konsentrasi garam dan lama penggaraman, semakin rendah pula nilai
penerimaan panelis terhadap rasa dari ikan bandeng asin kering.
Konsentrasi garam yang tinggi dan penggaraman yang semakin lama diduga
menyebabkan tingkat keasinan ikan bandeng asin kering semakin tinggi. Selain itu,
penilaian dari panelis mungkin berpengaruh terhadap penilaian rasa dari ikan bandeng
asin kering yaitu ada yang menyukai produk dengan konsentrasi garam yang tinggi dan
ada juga yang tidak menyukai.
Menurut Moelyanto (1982) dalam Syamsiar (1986), bahwa jumlah garam yang
digunakan sangat menentukan tingkat keasinan dan daya simpan ikan asin yang
dihasilkan. Ditambahkan juga bahwa jumlah garam yang ideal untuk penggaraman
ikan-ikan berukuran sedang seperti mujair, kembung, layang dan jenis ikan lainnya
berkisar antara 15% - 25% dari berat ikan sesudah disiangi.

4.2.3 Tekstur
Berdasarkan tabel 1. uji hedonik parameter tekstur menunjukkan bahwa
pengaruh konsentrasi dan lama penggaraman tidak memberikan perbedaan yang nyata
pada kenampakan ikan bandeng asin kering (P<0.05). Pada parameter tekstur panelis
lebih meyukai perlakuan F dengan rata-rata nilai 6,57. Sedangkan rata-rata nilai paling
kecil terdapat pada perlakuan I dengan rata-rata nilai 5,79. Penilaian panelis cenderung
meningkat dengan bertambahnya konsentrasi garam dan lama penggaraman. Kadar air
yang semakin rendah terjadi karena konsentrasi garam meningkat dan lama
penggaraman meningkat sehingga tekstur ikan menjadi padat dan kompak serta
berpengaruh pada tingkat penerimaan panelis terhadap tekstur ikan bandeng asin
kering.
4.2.4 Aroma
Berdasarkan tabel 1. uji hedonik parameter aroma menunjukkan bahwa
pengaruh konsentrasi dan lama penggaraman tidak memberikan perbedaan yang nyata
pada kenampakan ikan bandeng asin kering (P<0.05). Pada parameter aroma panelis
lebih meyukai perlakuan A dengan rata-rata nilai 6,66. Sedangkan rata-rata nilai paling
kecil terdapat pada perlakuan H dengan rata-rata nilai 5,77.

Sesuai yang dilaporkan oleh Rahmani, dkk. (2007), bahwa perlakuan


konsentrasi garam dan lama perendaman tidak memberikan perbedaan yang nyata
terhadap tingkat kesukaan panelis untuk aroma ikan gabus asin, karena kemungkinan
garam tidak terlalu memberikan pengaruh pada aroma ikan asin. Menurut Rahayu, dkk.
(1992) dalam Rochima (2005), meskipun oksidasi lemak dapat mengakibatkan
ketengikan (rancidity), namun apabila prosesnya belum berlanjut, maka akan
menghasilkan aroma yang justru disukai oleh konsumen. Berdasarkan hasil pengujian
hedonik pada parameter aroma dari ikan bandeng asin kering terlihat bahwa Perlakuan
A memiliki nilai rata-rata tertinggi, dengan bertambahnya konsentrasi garam dan lama
penggaraman membuat penilaian panelis semakin meningkat. Penyebabnya diduga
karena proses oksidasi yang belum berlanjut sehingga ketengikan terhambat prosesnya.
Selain itu ikan bandeng asin ini belum mengalami penyimpanan sehingga proses
perombakan lemak oleh enzim belum terjadi.
BAB V

KESIMPULAN

5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian maka didapatkan kesimpulan bahwa konsentrasi
garam 15% selama 7 jam penggaraman merupakan kombinasi yang tepat untuk
mendapatkan ikan bandeng asin kering terbaik. Konsentrasi garam dan lama
penggaraman tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap parameter kenampakan,
tekstur, aroma, tetapi berpengaruh nyata terhadap rasa ikan bandeng asin kering.

5.2 Saran
Dalam pengolahan ikan asin ini, harus memperhatikan kualitas dan kuantitas
ikan.
DAFTAR PUSTAKA

Adawiyah. 2007. Pengolahan dan Pemgawetan Ikan. Bumi Aksara. Jakarta


Budiman, M.S. 2004. Teknik Penggaraman dan Pengeringan. Departemen
Budiman. 2008. Pengawetan dan Pengolahan Bahan Pangan. Penerbit UIP.
Jakarta.
Desroirer. 2008. Pengawetan dan Pengolahan Bahan Pangan .Uip. Jakarta.
Fida, Ruhil. 2007.Teknologi Pasca Panen. SPP Negeri Sembawa. Palembang.
Hadiwiyoto, S. 2012. Hubungan Keadaan Kimiawi dan Mikrobiologik Ikan
Pindang Naya Pada Penyimpanan Suhu Kamar Dengan Sifat
Organoleptiknya. Agritech Volume 15 Nomor 1, 2, 3. dari
http://jurnal.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/ 15123951923.pdf.
Hardjosentono. 2009. Mesin-mesin Pertanian. Bumi Aksara. Jakarta.
Ishikawa, K.1988. Macam-Macam Garam. IPB Press. Bogor.
Lestary, M. 2007. Pemanfaatan Biji Picung (Pangium Edule Reinw.) dan Kitosan
sebagai Alternatif Pengganti Formalin pada Proses Pengawetan Ikan
Cucut (Charcharimus Sp.) Asin di Muara Angke, Jakarta Utara. dari http:
//repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/48567/C07mle.pdf?seq
uence=1. Diakses tanggal 17 Desember 2012.
Martini, K. 2010. Garam dalam Kehidupan Sehari-hari. UNS Press. Surakarta.
Moeljanto, R. 1992. Pengawetan dan Pengolahan Hasil Perikanan. Penebar
Murniyati. 2000.Proses Pengeringan. Kanisius. Yogyakarta.
Murtidjo BA. 1989. Tambak Air Payau : Budidaya Bandeng dan Udang.
Yogyakarta : Kanisius. Pendidikan Nasional.
Rahmani, Yunianta, Martati, E. 2007. Pengaruh Metode Penggaraman Basah
Terhadap Karakteristik Ikan Asin Gabus (Ophiocephalus Striatus). Jurnal
Teknologi Pertanian. Volume 8 Nomor 3 (Desember 2007).
http://jtp.ub.ac.id/index.php /jtp/article/download/243/634. Diakses tanggal
17 Desember 2012.
Rinto, Arafah, E., Utama, B. Susila. 2009. Kajian Keamanan Pangan (Formalin,
Garam Dan Mikrobia) Pada Ikan Sepat Asin Produksi Indralaya. Jurnal
Pembangunan Manusia. Volume 8 Nomor 2 Tahun 2009. Diakses dari
http://balitbangnovda.sumselprov.go.id/data /download/20100414130927.pdf.
Tanggal 11 Desember 2012.
Saanin H. 1984. Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan. Jaarta : Bina Cipta.
Suryanto, 2003. Penggaraman dan Pengeringan. Departemen Pendidikan. Jakarta
Swadaya. Jakarta.
Tarwiyah. 2001. Cara Pengasinan Ikan. PT Penebar Swadaya. Jakarta.
Tumbelaka, A., Naiu, A. S., & Dali, F. A. (2013). Pengaruh Konsentrasi Garam dan
Lama Penggaraman terhadap Nilai Hedonik Ikan Bandeng ( Chanos chanos)
Asin Kering. Jurnal Ilmiah Perikanan Dan Kelautan, 1(1), 48–54.

Anda mungkin juga menyukai