OLEH:
KELOMPOK 7
Lama pengasapan daging se’i yang ada umumya kira-kira 15-45 menit
sedangkan suhunya tidak diketahui pasti, karena masih menggunakan alat
pemanggangan yang tradisional. Besar suhunya hanya dapat dilihat dari jauh bara
api ketempat pemanggangan daging se’i yang ada. Contohnya di Kota Kupang:
Kota Bambu Kuning – Oebobo jarak antara bara api kepemanggangan se’i babi
kira-kira 1 meter, berbeda dengan Kota Green Garden-Oebufu, Kota Baun, Kota
Aroma-Oebobo, Kota Pondok Sawah-Oebufu dan Kota Petra Oebufu yang jarak
antara bara api kepemanggangan se’i babi lebih pendek dari 1 meter.
Daging se’i ialah daging sapi, babi maupun ikan marlin yang disayat
memanjang antara setengah sampai satu meter dan diasapi di baraapi yang
merupakan hasil pembakaran dari batang tanaman kosambi, sampai setengah
matang. Daging se’i merupakan kuliner khas suku Rote. Se'i sebenarnya model
pengawetan daging dengan cara diasap agar bias bertahan lama. Dari sejarahnya,
suku Rote biasa berburu rusa di hutan. Mana kala mendapatkan buruannya,
sebagian mereka makan dan sebagiannya lagi akan dibuat se'i agar bias dimakan
dalam waktu yang berbeda sekaligus sebagai persediaan makanan. Daging se'i
memiliki tekstur warna merah cerah, hamper mirip dengan daging segar, padahal
sudah disimpan dalam waktu sekian lama. Warna merah inilah yang membuat
cirri khas se'i. Untuk menghasilkan warna merah pada se'i, digunakan kayu
kesambi yang dibakar untuk menghasilkan asap, sedang daun mudanya untuk
menutupi daging (Kompasiana.com 3 November 2016).
Berdasarkan hasil pengujian daging se’i babi yang diambil dari 6 tempat
pembuatan daging se’i babi di Kota Kupang dengan metode MPN, menunjukkan
bahwa telah tercemar bakteri Coliform dimana cemaran bakteri tersebut telah
melampaui batas maksimum, cemaran bakteri Coliform pada daging asap sesuai
dengan Standar Nasional Indonesia (SNI) 7388:2009. Menurut Ahmad Akhsan
(2011) bakteri Coliform adalah indikator kualitas makanan, makin sedikit
kandungan bakteri Coliform, artinya kualitas makanan semakin baik begitu pula
dengan sebaliknya. Tetapi sering sekali terjadi pengotoran dan pencemaran
makanan dengan kotoran-kotoran sampah. Oleh karena itu makanan dapat
menjadi sumber atau perantara berbagai penyakit seperti tipus, desentri dan
kolera. Bakteri – bakteri yang dapat menyebabkan penyakit tersebut salah satunya
adalah bakteri Coliform.
Dari hasil observasi yang lakukan awal kontaminasi mungkin berawal dari
proses penyembelihan ternak babi yang ada di Kota Kupang, Sjamsul Bahri
(2008) mengatakan bahaya atau hazard yang berkaitan dengan keamanan pangan
asal ternak dapat terjadi pada setiap mata rantai mulai dari praproduksi di
produsen, pascaproduksi sampai produk tersebut didistribusikan dan disajikan
kepada konsumen. Usmiati (2004) mengatakan daging sangat sensitif terhadap
mikroba pembusuk karena sifat fisikokimianya (aktifitas air, pH, nutrisi)
mendukung pertumbuhan mikroba. Sebagian besar patogen terdapat pada kulit
atau permukaan luar daging yang terkontaminasi selama proses penyembelihan.
Oleh karena itu, walaupun ternak dipotong sehat jika proses penyembelihan tidak
memenuhi syarat maka kecendrungan menimbulkan kontaminasi dari
bakteribakteri patogen seperti Coliform. Proses pembuatan se’i babi yang ada di
Kota Kupang menggunakan alat-alat yang sederhana yang artinya masih
menggunakan alat-alat tanpa bantuan mesin melainkan menggunakan tangan, para
pekerja yang ada di ke 6 tempat pembuatan daging se’i babi tidak memikirkan
kebersihan saat proses pembuatan daging se’i tersebut, seperti contoh para pekerja
tidak membersihkan tangan dari proses penyembelihan ternak babi yang akan
dijadikan daging se’i, tidak menggunakan sarung tangan saat proses pembuatan
daging se’i tersebut, proses pembuatan daging se’i tersebut dilakukan di dapur
yang mana dapat dilalui orang-orang yang ada disekitar proses pembuatan daging
se’i, alatalat yang digunakan selama proses pembuatan daging se’i tidak hegiene
masih banyak debu yang menempel dan juga air yang digunakan berwarna keruh
berbanding terbalik seperti yang dikatakan Widiastuti (2008) bahwa air tidak
berwarna merupakan air yang cocok untuk pengolahan bahan pangan.
Peningkatan pola makan yang siap saji hingga penambahan bahan
pengawet, pewarna dan perasa buatan pada makanan dapat mempengaruhi
terjadinya penyakit degeneratif, seperti tekanan darah tinggi, gangguan jantung,
stroke, kanker, diabetes melitus dan penyakit lainnya (Yuliarti, 2009). Pola diet
kurang sehat dan kurang seimbang seperti konsumsi makanan tinggi lemak,
rendah serat, serta kurang buah dan sayur diketahui memiliki hubungan yang erat
dengan peningkatan resiko diabetes mellitus (Kusharisupeni, 2010).
Hal utama yang paling membedakan pola makan non vegetarian dengan
pola makan vegetarian adalah pada nonvegetarian mengonsumsi makanan sumber
protein hewani dan lemak hewani (lauk pauk) (Pamungkas & Margawati, 2013).
Asupan lemak yang tinggi akan diserap dalam bentuk kilomikron untuk dibawa ke
hepar kemudian akan diubah menjadi berbagai fraksi lemak didalam darah untuk
digunakan sesuai dengan fungsinya (Lestrina, Siahaan & Nainggolan, 2017). Hal
serupa didukung oleh Tjokroprawiro (2014) apabila asupan lemak berlebihan
akan terakumulasi dijaringan adipose terutama rongga perut yang merupakan
prediktor terjadinya sindroma metabolic menyebabkan faktor risiko diabetes
mellitus yang cukup tinggi. Pola makan vegetarian yang mengonsumsi sumber zat
bioaktif seperti isoflavon yang terdapat pada kacang-kacangan dan biji-bijian serta
tinggi serat dapat menghambat radikal bebas atau Reactive Oxygen Spesies (ROS)
(Alrabadi, 2012). Reactive Oxygen Spesies (ROS) berperan sebagai perusak
membran mitokondria dan endotel pembuluh darah sehingga menyebabkan
mikroangiopati yang mengganggu pemberian nutrisi melalui pembuluh darah ke
jaringan terganggu (Widayati, 2017). Reactive Oxygen Spesies (ROS) yang
berbahaya bagi organ adalah radikal bebas hidroksil (OH¯ ) dikarenakan yang
paling reaktif menyerang molekul biologis (Siahaan, Nainggolan dan Lestrina,
2015).
Anita (2014) mengatakan juga bahwa bila radikal bebas ini tinggi akan
mengganggu kerja insulin dalam pengeluaran glukosa hepatic, menurunkan
pengambilan glukosa di otot skeleton, glikolisis, sintesis glikogen, serta sekresi
insulin dari sel β pankreas sehingga berdampak pada peningkatan kadar glukosa
dalam darah. Pola makan nonvegetarian lebih banyak mengonsumsi protein
hewani untuk mencukupi kebutuhan protein dibandingkan dengan protein nabati.
Daging sering mengandung nitrosamin yang merupakan hasil penguraian bahan
pengawet daging sodium nitrit ketika daging dibakar atau digoreng. Apabila
sodium nitrit digunakan secara berlebihan akan menghambat pertumbuhan sel-sel
yang berfungsi sebagai antioksidan dan terbentuknya nitrosamin yang bersifat
karsinogenik (Sembiring & Susanna, 2011). Setiyani dan Wirawanni (2012)
mengatakan nitrosamin bukan hanya menyebabkan kanker tapi juga dapat
merusak sel beta. Nitrosamin ditemukan bersifat toksik bagi sel β pankreas dan
meningkatkan risiko DM tipe 1 dan tipe 2 pada beberapa penelitian epidemiologi.
Untuk mencegah terbentuknya nitrosamin sebaiknya dianjurkan untuk
menambahkan zat yang dapat menghambat proses tersebut seperti asam askorbat
dan vitamin E (Pratiwi, 2008).
Daging asap memiliki kandungan garam yang tinggi sehingga bisa membuat
kadar natrium dalam darah melonjak. Natrium adalah mineral dan elektrolit yang
penting untuk keseimbangan cairan di dalam tubuh. Namun bila kadarnya dalam
darah terlalu tinggi bisa menyebabkan dehidrasi, hipertensi, penyakit ginjal, dan
penyakit jantung. Orang-orang yang memiliki kondisi ini harus menghindari
mengonsumsi daging asap.
3. Kanker
Zat yang dihasilkan dari proses pengolahan daging asap bersifat karsinogen,
yaitu memicu penyakit kanker. Beberapa penyakit kanker yang sudah terbukti
dapat disebabkan oleh zat ini adalah kanker pankreas, kanker usus, kanker prostat,
dan kanker payudara. Penelitian mengungkapkan bahwa wanita yang
mengonsumsi daging asap lebih dari satu kali dalam seminggu meningkatkan
risiko kanker payudara sebesar 47% dibanding dengan wanita yang makan daging
asap satu kali seminggu.
Hau, Erda Eni Rame. 2019. Pengaruh Kemasan Serta Kondisi Dan Lama
Penyimpanan Terhadap Pertumbuhan Staphylococcusaureus Pada Daging
Se’i Babi. Kupang: Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Nusa Cendana.