Anda di halaman 1dari 11

TUGAS PAPER

TEKNOLOGI PANGAN DAN GIZI

OLEH:

KELOMPOK 7

1. APRIANJEN YEHENTINA KEKADO 1807010068


2. SIMPLISIA YEREMIANTI 1807010022
3. TESA MATELDA BOBOY 1807010227
4. SOLEMAN AYUB LAY 1807010087
5. MARIA ADE NOVIAN 1807010062

6. MARIA MAGDALENA DEMBI 1807010365


TAMAR
7. MIASNIUSON TAMU INA 1807010450
DAPAJIANGU
8. YUSTINA ANJELA UN 1807010270

9. JENI RAMBU KAITA RIWA 1807010314

10. JOSS BRYAN 1807010303

PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS NUSA CENDANA
KUPANG
2021
PENGASAPAN PADA MAKANAN KHAS NTT (SE’I)

Pengasapan adalah proses kombinasi di mulai dari penggaraman,


pemanasan, pengeringan dan pelekatan komponen asap pada bahan pangan.
Tujuan dari pengasapan adalah meningkatkan flavor penampakan serta dapat
mengawetkan bahan, memperbaiki warna dan mengempukan bahan daging serta
juga dapat meningkatkan nilai ekonomi produk yang diasap. Dalam materi ini
kelompok kami mau membahas pengasapan terlebih khusus pada makanan khas
NTT yaitu se’i. Se’i merupakan makanan khas NTT yang sangat familiar
ditelinga masyarakat NTT, yang akan kami bahas dalam materi ini berupa proses
pengasapan se’i, kebiasaan makan daging se’i pada masyarakat NTT, masa
penyimpanannya dan jenis pengemasan serta dampak risiko mengonsumsi
makanan khas ini.

A. PROSES PENGASAPAN MAKANAN KHAS NTT

Pengasapan merupakan salah satu teknologi yang telah dilakukan nenek


moyang masyarakat Nusa Tenggara Timur (NTT) untuk penganekaragaman
daging (daging babi maupun sapi). Kusmujadi dan Lilis (2006) mengatakan
pengasapan merupakan salah satu cara untuk mengawetkan daging menggunakan
kombinasi antara penggunaan panas dan zat kimia yang dihasilkan dari
pembakaran kayu. Jenis kayu sebagai sumber asap sebaiknya berasal dari kayu
keras yang menghasilkan asap dengan mutu dan volume asap sesuai yang
diharapkan. Dalam proses pembuatan daging misalnya daging se’i babi
menggunakan kayu kosambi. Kayu kosambi mengandung selulosa, hemiselulosa
dan lignin dan mengandung zat kimia dari hasil pembakaran atau yang disebut
dengan asap. Senyawa kimia yang utama yang terdapat didalam asam antara lain
asam formiat, asetat, butirat, kaprilat, vanilat dan asams iringat, dimetoksi fenol,
metal glioksal, furfural, methanol, etanol, oktanol, asetaldehid, diasetil, aseton,
dan 3,4-benzinpiren. Senyawa kimia tersebut dapat berperan sebagai bakteri
ostatik, bakteri osidal dan dapat menghambat oksidasi lemak. Selama pengasapan
berlangsung, senyawa kimia yang terdapat didalam asap akan menempel pada
daging yang akan memberikan efek preservative sehingga dapat menghambat
pertumbuhan mikroba yang pada akhirnya masa simpan lebih lama daripada
daging segar.

Lama pengasapan daging se’i yang ada umumya kira-kira 15-45 menit
sedangkan suhunya tidak diketahui pasti, karena masih menggunakan alat
pemanggangan yang tradisional. Besar suhunya hanya dapat dilihat dari jauh bara
api ketempat pemanggangan daging se’i yang ada. Contohnya di Kota Kupang:
Kota Bambu Kuning – Oebobo jarak antara bara api kepemanggangan se’i babi
kira-kira 1 meter, berbeda dengan Kota Green Garden-Oebufu, Kota Baun, Kota
Aroma-Oebobo, Kota Pondok Sawah-Oebufu dan Kota Petra Oebufu yang jarak
antara bara api kepemanggangan se’i babi lebih pendek dari 1 meter.

B. KEBIASAAN MAKAN DAGING SE’I PADA MASYARAKAT NTT

Kupang merupakan suatu daerah yang berada di selatanPulau Timor,


Provinsi Nusa Tenggara Timur. Kupang memiliki dua jenis sector pariwisata yaitu
wisata alam dan wisata budaya. Kupang terkenal dengan kulinernya yang unik
yaitu daging se’i. Daging se’i merupakan salah satu produkan daging sapi, babi
dan daging rusa. Daging se’i asap dimana tujuan pengasapan adalah untuk
memperoleh daging dengan rasa dan aroma yang khas. Pengolahan daging se’i
dilakukan sangat tradisional dengan peralatan yang sederhana yang dapat
menyebabkan terjadinya kontaminasi. Ketenaran daging ini menjadikan Kupang
sebagai tempat dengan makanan tradisonal terpopuler dalam ajang Anugerah
Pesona Indonesia (API) 2017.

Daging se’i ialah daging sapi, babi maupun ikan marlin yang disayat
memanjang antara setengah sampai satu meter dan diasapi di baraapi yang
merupakan hasil pembakaran dari batang tanaman kosambi, sampai setengah
matang. Daging se’i merupakan kuliner khas suku Rote. Se'i sebenarnya model
pengawetan daging dengan cara diasap agar bias bertahan lama. Dari sejarahnya,
suku Rote biasa berburu rusa di hutan. Mana kala mendapatkan buruannya,
sebagian mereka makan dan sebagiannya lagi akan dibuat se'i agar bias dimakan
dalam waktu yang berbeda sekaligus sebagai persediaan makanan. Daging se'i
memiliki tekstur warna merah cerah, hamper mirip dengan daging segar, padahal
sudah disimpan dalam waktu sekian lama. Warna merah inilah yang membuat
cirri khas se'i. Untuk menghasilkan warna merah pada se'i, digunakan kayu
kesambi yang dibakar untuk menghasilkan asap, sedang daun mudanya untuk
menutupi daging (Kompasiana.com 3 November 2016).

Konsumen biasanya akan memperhatikan beberapa karakteristik yang


dijadikan pegangan dalam memilih daging babi yang berkualitas antara lain:
warna, keempukan, rasa, dan kegurihan setelah dimasak. Salah satu tempat
kuliner makanan se’i di Nusa Tenggara Timur yang terkenal adalah se’i babi
Baun. Tempat kuliner ini berdiri sejak tahun 1997 dan terletak di Kelurahan Teun
baun Kecamatan Amarasi Barat Kabupaten Kupang. Dengan memanfaatkan
bahan-bahan sederhana seperti kayu api, daun kusambi, dan daun kelapa tempat
ini dapat menghasilkan daging se’i dengan kualitas rasa yang khas, keempukan
daging yang gurih, dan aroma yang khas. Produk daging se’i memiliki keunikan
dan spesifikasi baik aroma, warnanya yang merah, maupun tekstur yang empuk
dan rasanya yang lezat. Pengolahan se’i juga bertujuan untuk memperpanjang
daya tahan simpan, serta meningkatkan nilai gizi dan nilai ekonomi daging sapi
maupun daging babi.

C. MASA PENYIMPANAN DAN JENIS PENGEMASAN

Kualitas daging Se’i selama penyimpanan sangat ditentukan oleh kemasan


dan kondisi penyimpanan, daging asap ada yang dipasarkan dengan kemasan
maupun tanpa kemasan sehingga masa simpan produk pasti berbeda. Selain itu,
daging Se’i yang tidak dikemas dengan baik akan terkontaminasi oleh bakteri
patogen akan membahayakan kesehatan konsumen. Penurunan mutu daging Se’i
biasanya terjadi akibat penguraian komponen daging oleh mikroba, enzim dan
oksidasi lemak yang berlangsung selama penyimpanan, yang akan menyebabkan
perubahan sensoris (rasa, tekstur, bau dan warna); oleh karena itu salah satu cara
untuk mencegah kontaminasi mikroba dan oksigen selama penyimpanan perlu
dilakukan. Salah satu cara memperpanjang umur simpan daging asap adalah
dengan kemasan vakum. Pengemasan vakum dapat memperpanjang masa simpan
produk 3-5 kali lebih lama dibandingkan tanpa vakum (Jay, 1996). Pengemasan
vakum juga dapat menghambat kontaminasi bakteri patogen pada ikan asap
selamapenyimpanan.

Pada kehidupan sehari-hari terkadang terdapat penyimpangan temperatur


pada saat penyimpanan produk olahan ini. Hal ini yang dikhawatirkan dapat
meningkatkan pertumbuhan bakteri S. aureus. Apabila jumlah bakteri S. aureus
minimun mencapai 1 x 105CFU/g akan menyebabkan terbentuknya enterotoksin
pada produk pangan (Salasia et al., 2009). Enterotoksin merupakan enzimyang
mampu bertahan dalam kondisi panas dan tahan terhadap suasana yang bersifat
basa di dalam usus yang dapat menyebabkan keracunan makanan (Jawetz et al.,
2004).

S. aureus merupakan salah satu mikroba patogen yang dapat menyebabkan


food intoxication. Bakteri S. aureus tidak tahan pada suhu pemanasan namun
toksin yang dihasilkannya tahan terhadap panas sehingga tidak dapat dihancurkan
dengan pemanasan yang biasa dilakukan ketika memasak. Toksin yang dihasilkan
oleh S. aureus tidak menimbulkan perubahan fisik pada makanan yang telah
terkontaminasi baik berupa perubahan warna, tekstur, bau atau rasa makanan.
Kontaminasi bakteri S. aureus juga dapat terjadi melalui peralatan, pekerja dan
sanitasi yang belum dapat dijaga dengan baik (Lancette & Bennet, 2001).

Secara keseluruhan terlihat jelas bahwa pertumbuhan paling tinggi dari


bakteri S. aureus pada sampel yang berasal dari keempat depo selama 5 hari
penyimpanan terlihat pada sampel dengan kemasan biasa tanpa vacuum yang
disimpan pada suhu ruangan. Trend ini sama pada sampel dari seluruh depot.
Tingginya S. aureus yang terlihat jelas pada sampel ini dibanding dengan sampel
lain disebabkan karena suhu penyimpanan ini yang mendukung pertumbuhan dari
bakteri S. aureus. Pertumbuhan yang lebih cepat pada suhu 270C- 350C
disebabkan karena suhu tersebut berada pada rentang suhu optimum pertumbuhan
bakteri S. aureus. S. aureus tumbuh dengan optimum pada suhu 35oC-37oC
dengan waktu pembelahan 0,47 jam. Pada suhu tersebut akan terjadi perubahan
kegiatan zat-zat dan mikroorganisme yang dapat menimbulkan bertambahnya
jumlah mikroorganisme di dalam bahan makanan (Prescott et al.,2002).

Sebaliknya, penyimpanan sampel pada suhu refrigerator (50C – 80C)


menyebabkan pertumbuhan bakteri lebih lambat. Hal ini disebabkan karena
prinsip dari penyimpanan pada suhu dingin adalah untuk menghambat atau
memperlambat kecepatan reaksi metabolisme mikroorganisme sehingga dengan
suhu dingin kecepatan reaksi akan berkurang. Akan tetapi penggunaan suhu
dingin tidak dapat membunuh mikroorganisme (Siburian, 2012). Hal ini sesuai
dengan penelitian yang disampaikan oleh Valero et al. (2009) yang menyatakan
bahwa S. aureus dapat tumbuh dengan suhu penyimpanan terendah 8°C pada
kondisi pH dan Aw optimum. Suhu di bawah 8°C pertumbuhan S. aureus
terhambat karena di bawah suhu 7.5 °C sudah tidak ada pertumbuhan.
Penyimpanan pada suhu dingin menyebabkan pertumbuhan S. aureus terhambat
dikarenakan pada suhu ini, air bebas yang ada di dalam sel cenderung untuk
membentuk kristal es sehingga sel akan mengalami dehidrasi.

D. DAMPAK RESIKO MENGONSUMSI MAKANAN KHAS NTT (SE’I)


DENGAN TREN PENYAKIT DEGENERATIF

Berdasarkan hasil pengujian daging se’i babi yang diambil dari 6 tempat
pembuatan daging se’i babi di Kota Kupang dengan metode MPN, menunjukkan
bahwa telah tercemar bakteri Coliform dimana cemaran bakteri tersebut telah
melampaui batas maksimum, cemaran bakteri Coliform pada daging asap sesuai
dengan Standar Nasional Indonesia (SNI) 7388:2009. Menurut Ahmad Akhsan
(2011) bakteri Coliform adalah indikator kualitas makanan, makin sedikit
kandungan bakteri Coliform, artinya kualitas makanan semakin baik begitu pula
dengan sebaliknya. Tetapi sering sekali terjadi pengotoran dan pencemaran
makanan dengan kotoran-kotoran sampah. Oleh karena itu makanan dapat
menjadi sumber atau perantara berbagai penyakit seperti tipus, desentri dan
kolera. Bakteri – bakteri yang dapat menyebabkan penyakit tersebut salah satunya
adalah bakteri Coliform.

Dari hasil observasi yang lakukan awal kontaminasi mungkin berawal dari
proses penyembelihan ternak babi yang ada di Kota Kupang, Sjamsul Bahri
(2008) mengatakan bahaya atau hazard yang berkaitan dengan keamanan pangan
asal ternak dapat terjadi pada setiap mata rantai mulai dari praproduksi di
produsen, pascaproduksi sampai produk tersebut didistribusikan dan disajikan
kepada konsumen. Usmiati (2004) mengatakan daging sangat sensitif terhadap
mikroba pembusuk karena sifat fisikokimianya (aktifitas air, pH, nutrisi)
mendukung pertumbuhan mikroba. Sebagian besar patogen terdapat pada kulit
atau permukaan luar daging yang terkontaminasi selama proses penyembelihan.
Oleh karena itu, walaupun ternak dipotong sehat jika proses penyembelihan tidak
memenuhi syarat maka kecendrungan menimbulkan kontaminasi dari
bakteribakteri patogen seperti Coliform. Proses pembuatan se’i babi yang ada di
Kota Kupang menggunakan alat-alat yang sederhana yang artinya masih
menggunakan alat-alat tanpa bantuan mesin melainkan menggunakan tangan, para
pekerja yang ada di ke 6 tempat pembuatan daging se’i babi tidak memikirkan
kebersihan saat proses pembuatan daging se’i tersebut, seperti contoh para pekerja
tidak membersihkan tangan dari proses penyembelihan ternak babi yang akan
dijadikan daging se’i, tidak menggunakan sarung tangan saat proses pembuatan
daging se’i tersebut, proses pembuatan daging se’i tersebut dilakukan di dapur
yang mana dapat dilalui orang-orang yang ada disekitar proses pembuatan daging
se’i, alatalat yang digunakan selama proses pembuatan daging se’i tidak hegiene
masih banyak debu yang menempel dan juga air yang digunakan berwarna keruh
berbanding terbalik seperti yang dikatakan Widiastuti (2008) bahwa air tidak
berwarna merupakan air yang cocok untuk pengolahan bahan pangan.
Peningkatan pola makan yang siap saji hingga penambahan bahan
pengawet, pewarna dan perasa buatan pada makanan dapat mempengaruhi
terjadinya penyakit degeneratif, seperti tekanan darah tinggi, gangguan jantung,
stroke, kanker, diabetes melitus dan penyakit lainnya (Yuliarti, 2009). Pola diet
kurang sehat dan kurang seimbang seperti konsumsi makanan tinggi lemak,
rendah serat, serta kurang buah dan sayur diketahui memiliki hubungan yang erat
dengan peningkatan resiko diabetes mellitus (Kusharisupeni, 2010).

Arundhana (2012) mengatakan bahwa vegetarian memiliki inisiden yang


lebih rendah terhadap penyakit diabetes, hipertensi, jantung, dan batu empedu
dibandingkan dengan yang nonvegetarian. Hal ini dikarenakan pada kelompok
vegetarian dalam penelitian tersebut memiliki IMT (Indeks Masa Tubuh) yang
lebih rendah dibandingkan nonvegetarian.

Nonvegetarian merupakan orang yang mengkonsumsi makanan yang


berasal dari mengkonsumsi segala jenis seperti daging sapi, babi, ayam ataupun
ikan. Peningkatan tingkat nonvegetarian yang terjadi di Indonesia menyebabkan
peningkatan resiko terjadinya berbagai penyakit degeneratif seperti hipertensi
,gangguan jantung, stroke, kanker, diabetes mellitus dan penyakit lainnya. Hal ini
dikarenakan pola makan nonvegetarian memiliki kalori tinggi dan serat rendah
serta memiliki kandungan lemak tinggi (Subagyo, 2009).

Hal utama yang paling membedakan pola makan non vegetarian dengan
pola makan vegetarian adalah pada nonvegetarian mengonsumsi makanan sumber
protein hewani dan lemak hewani (lauk pauk) (Pamungkas & Margawati, 2013).
Asupan lemak yang tinggi akan diserap dalam bentuk kilomikron untuk dibawa ke
hepar kemudian akan diubah menjadi berbagai fraksi lemak didalam darah untuk
digunakan sesuai dengan fungsinya (Lestrina, Siahaan & Nainggolan, 2017). Hal
serupa didukung oleh Tjokroprawiro (2014) apabila asupan lemak berlebihan
akan terakumulasi dijaringan adipose terutama rongga perut yang merupakan
prediktor terjadinya sindroma metabolic menyebabkan faktor risiko diabetes
mellitus yang cukup tinggi. Pola makan vegetarian yang mengonsumsi sumber zat
bioaktif seperti isoflavon yang terdapat pada kacang-kacangan dan biji-bijian serta
tinggi serat dapat menghambat radikal bebas atau Reactive Oxygen Spesies (ROS)
(Alrabadi, 2012). Reactive Oxygen Spesies (ROS) berperan sebagai perusak
membran mitokondria dan endotel pembuluh darah sehingga menyebabkan
mikroangiopati yang mengganggu pemberian nutrisi melalui pembuluh darah ke
jaringan terganggu (Widayati, 2017). Reactive Oxygen Spesies (ROS) yang
berbahaya bagi organ adalah radikal bebas hidroksil (OH¯ ) dikarenakan yang
paling reaktif menyerang molekul biologis (Siahaan, Nainggolan dan Lestrina,
2015).

Anita (2014) mengatakan juga bahwa bila radikal bebas ini tinggi akan
mengganggu kerja insulin dalam pengeluaran glukosa hepatic, menurunkan
pengambilan glukosa di otot skeleton, glikolisis, sintesis glikogen, serta sekresi
insulin dari sel β pankreas sehingga berdampak pada peningkatan kadar glukosa
dalam darah. Pola makan nonvegetarian lebih banyak mengonsumsi protein
hewani untuk mencukupi kebutuhan protein dibandingkan dengan protein nabati.
Daging sering mengandung nitrosamin yang merupakan hasil penguraian bahan
pengawet daging sodium nitrit ketika daging dibakar atau digoreng. Apabila
sodium nitrit digunakan secara berlebihan akan menghambat pertumbuhan sel-sel
yang berfungsi sebagai antioksidan dan terbentuknya nitrosamin yang bersifat
karsinogenik (Sembiring & Susanna, 2011). Setiyani dan Wirawanni (2012)
mengatakan nitrosamin bukan hanya menyebabkan kanker tapi juga dapat
merusak sel beta. Nitrosamin ditemukan bersifat toksik bagi sel β pankreas dan
meningkatkan risiko DM tipe 1 dan tipe 2 pada beberapa penelitian epidemiologi.
Untuk mencegah terbentuknya nitrosamin sebaiknya dianjurkan untuk
menambahkan zat yang dapat menghambat proses tersebut seperti asam askorbat
dan vitamin E (Pratiwi, 2008).

 Dampak Makan Daging Asap Bagi Kesehatan

Sebenarnya makan daging asap tidak langsung menyebabkan beberapa


penyakit. Ini bergantung dari seberapa sering Anda mengonsumsinya. Jadi,
langkah bijak yang bisa Anda lakukan adalah dengan membatasi konsumsi daging
asap. Ini dilakukan untuk menghindari Anda dari beberapa risiko penyakit,
seperti:

1. Infeksi perut dan kanker

Makan daging asap meningkatkan risiko infeksi perut karena terkontaminasi


bakteri E. coli dan Listeria monocytogenes. Infeksi bakteri E. coli dapat membuat
seseorang menderita sakit perut disertai diare. Sementara itu infeksi bakteri L.
monocytogenes menyebabkan listeriosis, yaitu kondisi demam, sakit kepala, dan
sakit perut.

2. Hipertensi, penyakit jantung dan penyakit ginjal

Daging asap memiliki kandungan garam yang tinggi sehingga bisa membuat
kadar natrium dalam darah melonjak. Natrium adalah mineral dan elektrolit yang
penting untuk keseimbangan cairan di dalam tubuh. Namun bila kadarnya dalam
darah terlalu tinggi bisa menyebabkan dehidrasi, hipertensi, penyakit ginjal, dan
penyakit jantung. Orang-orang yang memiliki kondisi ini harus menghindari
mengonsumsi daging asap.

3. Kanker

Zat yang dihasilkan dari proses pengolahan daging asap bersifat karsinogen,
yaitu memicu penyakit kanker. Beberapa penyakit kanker yang sudah terbukti
dapat disebabkan oleh zat ini adalah kanker pankreas, kanker usus, kanker prostat,
dan kanker payudara. Penelitian mengungkapkan bahwa wanita yang
mengonsumsi daging asap lebih dari satu kali dalam seminggu meningkatkan
risiko kanker payudara sebesar 47% dibanding dengan wanita yang makan daging
asap satu kali seminggu.

4. Stroke dan diabetes


Sebuah studi yang dilakukan oleh ahli dari Harvard School of Public Health
menunjukkan bahwa mengonsumsi daging asap atau daging olahan yang
berlebihan, bisa meningkatkan risiko stroke dan diabetes tipe 2.
DAFTAR PUSTAKA

Wibawantara,I dkk. 2017. Perbedaan Kadar Glukosa Darah Vegetarian Dan


Nonvegetarian. Jurnal Ners Widya Husada. 4(1): 9-16.
Simamora,Anita dkk. 2013. Kualitas Daging Se’i Babi Di Kota Madya Kupang
Ditinjau Dari Total Coliform Dan pH.IMV.2(3) : 296-309.

Simamora, A. K., Suarjana, I. G. K., & Suada, I. K. (2013). Kualitas Daging Se ’ i


Babi Di Kota Madya Kupang Ditinjau Dari Total Coliform Dan pH.
Indonesia Medicus Veterinus, 2(3), 296–309.

Hau, Erda Eni Rame. 2019. Pengaruh Kemasan Serta Kondisi Dan Lama
Penyimpanan Terhadap Pertumbuhan Staphylococcusaureus Pada Daging
Se’i Babi. Kupang: Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Nusa Cendana.

Anda mungkin juga menyukai