Anda di halaman 1dari 17

I.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Udang rebon (Acetes erythraeus) merupakan salah satu jenis udang yang

tingkat konsumsinya sangat besar dikalangan masyarakat. Udang rebon memiliki

harga yang murah dan kandungan gizi yang tidak kalah dari jenis udang lainnya.

udang rebon tidak hanya dapat dikonsumsi dalam keadaan kering, namun juga

sering dikonsumsi dalam bentuk udang rebon basah.

Peranan udang terhadap ekspor komoditi perikanan cukup tinggi yaitu

mencapai 13,15%. Hasil tangkapan udang rebon dilihat dari tahun 2007-2012

yakni 371,3 ton; 632,5 ton; 234,8 ton; 3,2 ton; 3274,5 ton; dan 689,9 ton. Pada

periode tahun 2012 pendapatan dari penangkapan udang rebon sebesar Rp.

3.657.812.420 (DKP Cilacap, 2012).

Usaha pengolahan ikan dan udang mulai berkembang, sehingga banyak

variasi produk ikan dan udang olahan di pasaran. Pengawetan adalah salah satu

cara untuk mempertahankan kesegaran dan mutu ikan. Pengawetan bertujuan

untuk menghambat kegiatan mikroorganisme yang dapat menimbulkan

pembusukan. Salah satu cara pengawetan adalah dengan cara fermentasi. Hanya

saja produk olahan dalam bentuk fermentasi masih sangat kecil yaitu 1,08%

(Irianto, 2008).

Fermentasi merupakan salah satu cara pengolahan tradisional sekaligus

teknik pengawetan yang telah banyak dilakukan dan kenal oleh masyarakat

Indonesia dan Asia tenggara pada umunya. Hal ini terjadi karena proses

fermentasi dilakukan dengan metode yang sederhana, relatif murah, dan


menghasilkan produk akhir yang spesifik baik rasa maupun aroma. Salah satu

produk yang memanfaatkan proses fermentasi adalah cincalok.

Cincalok merupakan salah satu produk fermentasi hasil perikanan yang

terkenal dibeberapa daerah seperti Kalimantan dan Riau. Cincalok dibuat dari

udang rebon dan dolah melalui proses fermentasi dengan penambahan garam dan

gula dalam kondisi anaerob. Untuk mempercepat proses fermentasi,

mempermudah proses aplikasi dan meningkatkan peluang keberhasilan

pembuatan produk maka dapat menggunakan metode back-slopping.

Metode Back-slopping merupakan satu metode dalam proses fermentasi

skala rumah tangga. Metode tersebut menggunakan kultur dari hasil fermentasi

sebelumnya. Melalui metode backslop,diharapkan diperoleh produk fermentasi

yang sejenis dalam waktu singkat. Selanjutnya dalam fermentasi terjadi

penguraian senyawa-senyawa kompleks terutama protein, menjadi senyawa yang

lebih sederhana dalam keadaan terkontrol. Saat fermentasi berlangsung, protein

dihidrolisis menjadi asam amino dan peptida, lemak diuraikan menjadi asam

lemak dan gliserol, dan karbohidrat difermentasi menjadi asam laktat.

Berdasarkan hal tersebut penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang

karakteristik mutu kimia dan sensori cincalok yang dubuat dengan metode back-

slopping.

1.2. Rumusan Masalah

Permasalahan dalam proses fermentasi pada umumnya adalah produk

akhir yang tidak konsisten akibat kontaminasi zat kimia dan bakteri yang tidak

dinginkan dalam ferementasi. Oleh karena itu penulis tertarik untuk melakukan
penelitian tentang karakteristik mutu kimia dan sensorik Cincalok yang dibuat

dengan Metode back˗slopping.

1.3. Tujuan dan Manfaat

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakterristik kimia dan sensori

pada produk cincalok yang menggunakan metode back-slopping. Manfaat

penelitian ini adalah untuk memberi informasi bagi masyarakat tentang

kandungan gizi udang rebon yang difermentasi menjadi cincalok dengan

menggunakan metode back-slopping.


II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Klasifikasi dan Deskripsi Udang Rebon (Mysis relicta)

Udang rebon memiliki Klasifikasi yaitu kingdom: Animalia, filum:

Crustaceae, class: Arthropoda, Ordo : Malacostraca, famili : Penaeidae, genus :

Penaeus, species : Mysis relicta (Loven, 1862).

Udang merupakan salah satu sumber protein hewani yang cukup tinggi.

Disamping memiliki testur yang lembut, udang sangat disukai oleh hampir

seluruh lapisan masyarakat. Salah satu jenis udang yang sring dikonsumsi adalah

udang rebon (Mysis relicta). Udang ini umumnya dimanfaatkan sebagai bahan

baku pembuatan terasi dan sebagai pakan ternak (Suparmi et al., 2017).

Menurut BPS (2013), usaha budidaya udang banyak dilakukan di provinsi

aceh, khususnya di kabupaten Bireueun. Produksi budidaya udang di daerah ini

per tahun mencapai 966 ton dan banyak terdapat diperairan laut Indonesia

termasuk di wilayah Kecamatan Ma’rang,Kabupaten Pangkep (pangkajene dan

kepulauan). Hasil penangkapan nelayan berupa udang rebon di wilayah ini sangat

melimpah terutama antara bulan November sampai Februari (Mardiyati, 2017).

2.2. Komposisi Gizi

Udang rebon memiliki kandungan protein yang tinggi. Dari setiap 100 g

udang rebon basah mengandung 16,2 g protein. Berlawanan dengan kandungan

protein, kandungan lemak pada udang rebon termasuk rendah yaitu hanya 1,2 g

dari 100 g berat udang. Kandungan gizi lainnya dalam 100 g udang rebon dapat

dilihat pada Tabel 1.


Tabel 1. Kandungan gizi udang rebon per 100 g
Kandungan gizi Satuan Jumlah
Kalori KKal 81
Protein Gr 16,2
Lemak Gr 1,2
Karbohidrat Gr 0,7
Kalsium Mg 757
Fosfor Mg 292
Zat besi Mg 2,2
Vitamin A Mg 60
Vitamin B1 Mg 0,04
Air G 79,0

Sumber : Direktorat Gizi Depkes, 1991

2.3. Fermentasi

Proses fermentasi merupakan suatu usaha untuk mengawetkan bahan

makanan melalui penguraian zat yang bersifat kompleks menjadi zat yang lebih

sederhana. Produk yang dihasilkan memiliki sifat berbeda dari aslinya dan warna

khas sesuai dengan bahan baku yang digunakan (Rosmaniar, 2018).

Fermentasi secara teknik dapat didefinisikan sebagai suatu proses oksidasi

anaerobik atau partikel anaerobik karbohidrat yang menghasilkan alcohol serta

beberapa asam, namun banyak proses fermentasi yang menggunakan substrat

protein dan lemak. Hasil fermentasi diperoleh karena terjadinya metabolism

mikroba pada suatu bahan pangan dalam keadaan anaerob dengan hasil

penguraiannya adalah air, CO2, energi dan sejumlah asam organik lainnya, seperti

asam laktat, asam asetat, etanol, serta bahan-bahan organic yang mudah menguap.

Perkembangan mikroba-mikroba dalam keadaan anaerob biasanya dicirikan

sebagai proses fermentasi (Mumtianah, 2014).

Metode fermentasi produk makanan dapat menjadi 3 metode berdasarkan

sumber mikroorganisme yang digunakan yaitu natural fermentation, back-


slopping, dan controlled fermentation. Natural fermentation merupakan proses

fermentasi yang terjadi secara spontan, melibatkan mikroorganisme indigenous,

dan memerlukan kondisi lingkungan yang tepat. Kelemahan metode tersebut

adalah membutuhkan proses yang relative lama, produk yang dihasilkan memiliki

mutu tidak stabil,kemungkinan gagal cukup tinggi, serta rentan dicemari oleh

bakteri pathogen (Adam & Nout, 2001)

Back-slopping merupakan proses fermentasi menggunakan sebagian hasil

fermentasi produk sebelumnya yang diinokulasikan ke bahan baku baru. Hasil

produk fermentasi sebelumnya diharapkan mengandung mikroorganisme yang

dapat melakukan fermentasi pada bahan baku baru sehingga menghasilkan produk

yang sejenis (Hutkins, 2006). Metode tersebut memiliki kelebihan yaitu proses

fermentasi lebih cepat dan keberhasilan fermentasi cukup tinggi dibandingkan

dengan Natural fermentation. Kelemahan metode back-slop adalah apabila

digunakan dalam jangka waktu yang lama, kemungkinan akan terjadi penurunan

mutu produk. Selain itu, tingkat kegagalan metode tersebut cukup tinggi

dibandingkan dengan controlled fermentation (Ray & Bhunia, 2008).

controlled fermentation merupakan proses fermentasi dengan skala

industri menggunakan pure culture. Kultur yang digunakan dapat berasal dari

kultur tunggal (single culture) atau kultur campuran (mixed culture). Kelebihan

dari metode ini adalah dapat menghasilkan produk dalam jumlah besar, produk

yang dihasilkan relatif stabil, dan tingkat kegagalan serta pencemaran oleh bakteri

pathogen relatif rendah (Ray & Bhunia, 2008).


2.4. Cincalok

Cincalok merupakan produk fermentasi ikan atau pun udang yang telah

dikenal dari generasi ke generasi oleh masyarakat dan menjadi makanan

tradisional khas Kalimantan Barat dan berkembang di Provinsi Riau. Proses

fermentasinya terjadi secara alami atau scara spontan dengan bantuan mkiroba

serta lingkungan yang terkontrol.

Cincalok terbuat dari bahan udang rebon yang kemudian diberi

penambahan gula dan garam dengan perbandingan tertentu yang selanjutnya

disimpan selama kurun waktu tertentu. Proses fermentasi dilakukan secara

anaerob agar dapat merangsang pertumbuhannya bakteri asam laktat (Dyastuti,

2013). Cincalok memikili kenampakan warna pink muda cerah, aroma asam dan

amis agak menonjol yang pas khas cincalok berasa campuran antara sedikit asam

dan sedikit asin yang pas khas cincalok dan tekstur agak padat, sedikit berair

(Rosmaniar, 2018).

Makanan ini dapat dikonsumsi secara mentah maupun dimasak. Cincalok

ini dibedakan berdasarkan rasa yang dihasilkan yaitu rasa asin dan manis.

Perbedaaan ras pada makanan ini karena perbedaan jumlah garam dan gula yang

digunakan. Umumnya setiap produsen memiliki resep pembuatan cincalok yang

berbeda-beda. Produk fermentasi udang yang mirip dengan cincalok adalah ronto,

balao-balao dan rusip (Koesoemawardhani et al., 2013).

2.5. Asam Amino

Asam amino adalah suatu kompoen organik yang mengandung gugus

amino dan karboksil. Susunan kadar asam amino dapat menentukan kualitas

protein. Protein yang mengandung semua asam amino penting dalam jumlah yang
diperlukan tubuh, maka protein ini mempunyai mutu yang tinggi. Jika mengalami

kekurangan salah satu atau lebih asam amino esensial maka protein ini termasuk

mutu yang rendah (Winarno, 2008).

Asam amino biasanya larut dalam air dan tidak larut dalam pelarut organic

non polar yaitu eter, aseton, dan klorofom (Sitompul, 2004). Berdasarkan sifat

kimia rantai sampingnya, asam amino dapat dibagi menjadi empat kelompok,

yaitu asam amino yang bersifat basa lemah, asam lemah, hidrofilik jika polar dan

hidrofobik jika nonpolar (Almatsier, 2006). Tidak semua asam amino dapat dibuat

dalam tubuh kita, bila ditinjau dari segi pembentukannya asam amino dibagi ke

dalam dua golongan, yaitu asam amino eksogen dan asam amino endogen. Asam

amino eksogen disebut juga asam amino esensial dan asam amino endogen

disebut juga asam amino non esensial (Winarno, 2008).

Protein dalam sel-sel tubuh dibentuk dari asam amino. Bila ada kelebihan

asam amino dari jumlah yang digunakan untuk biosintesis protein, maka

kelebihan asam amino akan diubah menjadi asam keto yang dapat masuk kedalam

siklus asam sitrat dan diubah menjadi urea. Hati merupakan organ tubuh tempat

katabolisme dan anabolisme. Asam amino yang terdapat dalam darah berasal dari

tiga sumber, yaitu melalui dinding usus, hasil penguraian protein dalam sel dan

hasil sisntesis asam amino dalam sel (Duncan, 2005).


III. METODE PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat

Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Februari 2020 yang bertempat

di Laboratorium Teknologi Hasil Perikanan, Laboratorium Kimia Hasil

Perikanan, dan Laboratorium Terpadu Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan

Kelautan Universitas Riau.

3.2. Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam proses pembuatan cincalok yaitu udang

rebon (Acetes sp.), gula, garam, sebagai bahan tambahan . bahan kimia untuk

analisa prosimat (H2SO4 98%, H2BO3 2%, NaOH 50%, Cu kompleks, Dietil Eter,

indikator pp, indicator campuran dan HCL 0,1M ), dan analisis asam amino (HCL,

larutan deviratisasi, ortoftalaldehida, natrium hidroksida, asam borat, larutan btij

30%, 2-merkaptoetanol, larutan standar asam amino, na-edta, methanol,

tetrahidrofuran (THF), na-asetat 5, air).

Alat yang digunakan dalam penelitian yaitu wadah, toples kaca, lakban,

anaerob jar, anaerob gen, pH meter, cawan porselin, gelas kimia 50 ml, Gelas

ukur 10 ml, lampu spirtus, pipet volume, rak tabung, tabung reaksi, labung

kjeldahl, timbangan analitik, Erlenmeyer, oven, labu ukur, pipet tetes, soxhlet, dan

kertas saring.

3.3. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode eksperimen yaitu melakukan analisis

kimia dan sensoris pada produk cincalok dengan mengunakan metode fermentasi
back-slopping. Hasil data yang diperoleh dianalisis dan disajikan dalam bentuk

tabel dan gambar.

3.4. Prosedur Penelitian

3.4.1.

3.4.2. Pengukuran pH (Mumtianah, 2014)

Pengukuran pH dilakukan dengan cara berikut :

Sebanyak 1 g sampel cincalok dilarutkan dalam 10 ml aquades dan

dihomogenkan, kemudian pH diukur. Pengukuran pH dilakukan dengan

menggunakan pH meter yang sebelumnya telah dikaliberasi dengan buffer pH 4.0

dan pH 7.0.

3.4.3. Analisis Prosimat

3.4.3.1. Analisis kadar air (AOAC 2005)

Analisis kadar air dilakukan menurut prosedur AOAC (2005), adalah

sebagai berikut : 1). Cawan porselen yang sudah bersih dikeringkan dalam oven

pada suhu 105-110ºC selama 1 jam. Kemudian didinginkan didalm desikator

selama 30 menit dan ditimbang beratnya (A) gram. 2). Sampel ditimbang

sebanyak 2 gram, lalu masukkan kedalam cawan porselen. Kemudian timbang

beratnya (B) gram dan dikeringkan dalam oven pada suhu 105-110ºC selama 6-8

jam. 3). Selanjutnya sampel dinginkan dalam desikator, lalu dilakukan

penimbangan beberapa kali samai didapatkan berap tetap (C) gram. setelah itu

kadar air dihitung dengan rumus :

(B−C)
Kadar Air (%) = (B−A) x 100 %

Keterangan : A = berat cawan kosong (gram)


B = berat cawan dengan ikan (gram)
C = berat cawan dengan ikan setelah dikeringkan (gram)
3.4.3.2. Analisis kadar air

Analisis kadar abu dilakukan menurut prosedur SNI (2006), yaitu sebagai

berikut : cawan dibersihkan dan dikeringkan didalam oven selama 30 menit

dengan suhu 105ºC, lalu didiinginkan dalm desikaor dan kemudian ditimbang.

Sampel sebanyak 1-2 gram ditimbang lalu masukkan ke dalam cawan dan

kemudian dibakar diatas kompor listrik sampai tidak berasap lagi dan selanjutnya

dimasukkan ke dalam tanur pengabuan (600 ºC). cawan didinginkan di dalam

desikator lalu ditimbang. Kadar abu ditentukan degan rumus :

Berat Abu
(%) Kadar Air = X 100 %
Berat Sampel

3.4.3.3. Analisis kadar protein (AOAC 2005)

Analisis protein dilakukan menurut prosedur AOAC (2005), adalah

sebagai berikut : prinsip analisis ini adalah menetapkan protein berdasarkan

oksidasi bahan-bahan berkarbon dan konversi nitrogen menjadi amonia.

Selanjutnya ammonia bereaksi dengan kelebihan asam membentuk amonia m

sulfat. Setelah larutan menjadi basa, amonia diuapkan untuk dserap dalam larutan

asam borat. Jumlah nitrogen yang terkandung ditentukan dengan titrasi HCL.

Cara penentuannya meliputi tahap destruksi, desilasi, dan titrasi. Mula-

mula sampel ditimbang sebanyak 0,5 gram, masukan dalm labu kjeldhal

kemudian ditambahkan 5 gram kjeldahl sebagi katalis yang berupa campuran

CuSO4, 5H2O dan K2SO4, tambahkan 10 ml H2SO4 pekat. Destruksi sampai

larutan berwarna jernih, angkat labu kjeldahl dan diingkan, setelah dingin lakukan

destilasi dengan menggunkan kje;tech system yang sebelumnya larutan sampel

diberi penambahn NaOH, larutan asam standar berupa asam borat dan indicator
metilenblue. Setelah larutn mencapai 200 ml lakukan titrasi dengan HCL 0,1 N

sampai warna berubah menjadi biru muda.

(𝑚𝑙 𝐻𝐶𝐿 − 𝑚𝑙 𝐵𝑙𝑎𝑛𝑘𝑜)𝑥𝑁 𝐻𝐶𝐿𝑥100𝑥6,25


(%)𝑘𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑝𝑟𝑜𝑡𝑒𝑖𝑛 =
𝑚𝑙 𝑐𝑜𝑛𝑡𝑜ℎ

3.4.3.4. Analisis kadar lemak (AOAC 2005)

Analisis kadar lemak dilakukan menurut prosedur AOAC (2005), adalah

sebagai berikut : sebanyak 5 gram sampel dibungkus dalam kertas saring dan

dimasukkan ke dalam labu soxhlet (labu sebelumnya dikeringkan dalam oven,

dimasukan ke dalam desikator lalu ditimbang). Dimasukan pelarut hexane

kemudian lakukan reflux selama 6 jam. Lalu labu berisi reflux dipanaskan dalam

oven dengan suhu 105ºC. setelah itu didinginkan dalam desikator dan ditimbang

kadar lemak ditentukan dengan rumus :

𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑙𝑒𝑚𝑎𝑘
𝑘𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑙𝑒𝑚𝑎𝑘 = 𝑥 100%
𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙

3.4.4. Analisis asam amino

Komposisi asam amio diderivatisasi dengan menggunakan HPLC menurut

proses AOAC (2005) yang dimodifikasi. Sebelum digunakan, perangkat HPLC

harus dibilas dulu dengan eluen yang akan digunakan selama 2-3 jam. Begitu pula

syringe yang akan digunakan dibilas dengan akuades. Analisis asam amino

dengan menggunakan HPLC terdiri atas 4 tahap, yaitu :

1). Tahap pembuatan hidrolisat protein

Pembuatan hidrolisat protein dilakukan dengan menambahkan sampel

sebanyak 3 mg, dihaluskan dan dihidrolisis menggunakan HCL 6 N sebanyak 1

ml, dan kemudian dipanaskan dalam oven pada suhu 110ºC selama 24 jam.

Pemanasan dalam oven dilaukan untuk menghilakan gas udara yang ada pada
sampel agar tidak mengganggu kromatogram yang dihasilkan. Selain itu,

pemanasan dilakukan untuk mempercepat reaksi hidrolisis.

2). Tahap pengeringan

Sampel yang telah dihidrolisis pada suhu kamar dipindahkan isinya ke

dalam labu evaporator 50 ml, dibilas dengan 2 ml HCL 0,01 N dan cairan bilasan

dimasukan kedalam labu evaporator. Proses ini diulangi hingga 2-3 kali. Sampel

kemudian dikeringkan menggunakan rotary evaporator selama 15-30 menit untuk

mengubah sistein menjadi sistin. Sampel yang sudah kering ditambah dengan 5 ml

HCL 0,01 N kemudian disaring dengan kertas saring milipore.

3). Tahap derivatisasi

Larutan derivatisasi dibuat dengan menambahkan buffer kalium borat pH

10,4 pada sampel dengan perbandingan 1:1, kemudian ke dalam vial kosong yan

bersih masukan 50 µl sampel dan tambahkan 250 µl pereaksi Ortoflaaldehida

(OPA) dengan perbandingan 1:5, biarkan 1 menit agar derivatisasi berlangsung

sempurna. Proses derivatisasi dilakukan agar detector mudah untuk medeteksi

seyawa yang ada pada sampel. Larutan stok OPA dibuat dengan cara

mencampurkan 50 mg OPA ke dalam 4 ml methanol dan 0,025 ml

merkaptoetanol, dikocok hati-hati dan tambahkan larutan brij 30 % sebanyak

0,050 ml dan buffer kalium borat 1 M, pH 10,4 sebanyak 1 ml. simpan larutan

dalam botol berwarna gelap pada suhu 4ºC dan akan stabil selama 2 minggu

4). Tahap injeksi ke HPLC

Injeksi ke dalam HPLC sebanyak 5 µl. tunggu sampai pemisahan semua

asam amino selesai. Waktu yang diperlukan sektas 25 menit. Untuk perhitungan

kosentrasi asam amino yang ada pada bahan, dilakukan pembuatan kromatogram
standar dengan menggunakan asam amino yang telah siap pakai yang mengalami

perlakukan yang sama dengan sampel.

Kadar asam amino dalam 100 gram bahan dihitung dengan rumus :

luas daerah sampel


µmol asam amino x C x fp
luas daerah standar

keterangan : C = kosentrasi standar asam amino (0,5 µmol/ml)

Fp = factor pengeceran (5 ml)


DAFTAR PUSTAKA

Adam, M. R. & M. J. R. Nout. 2001. Fermentation and food safety. Aspen


Publication, Gaithersburg: xi+307 hlm.

Badan Pusat Statistik. 2013. Jumlah Usaha Pertanian Subsektor Peternakan.


http://st2013.bps.go.id/dev/st2013/index.php/site.index. Diakses tanggal 2
Desember 2019.

Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Cilacap. 2012. Data produksi


penangkapan ikan dan udang di Kabupaten Cilacap, Cilacap.

Dyastuti, EA, Risa N, Puji A. 2013. Uji organoleptic cincalok dengan


penambahan serbuk bawang putih (Allium sativum) dan serbuk cabai
(Capsium Annuum L). fakultas MIPA Universitas Tanjungpura. Pontianak.
2(2): 70-73.

Hukins, R. W. 2006. Microbiology and technology of fermented food. Blackwell


Publishing, lowa: xi+473 hlm.

Irianto, H.E. 2008. Produk Ikan Fermentasi Tradisional Indonesia. Jakarta: Balai
Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan.
Badan Riset Kelautan dan Perikanan.

Koesoemawardhani D, Rizal S dan Tauhid M. 2013. Perubahan sifat mikrobiologi


dan kimiawi rusip selama fermentasi. Agritech 33(3):348-355.

Loven. 1862. Mysis relicta. https://en.wikipedia.org/wiki/mysis_relicta. Diakeses


pada tanggal 2 Desember 2019.

Mardiyati, S. 2017. IBM Kelompok Wanita Nelayan Pengolah Udang Rebon Di


Kecamatan Ma’rang Kabupaten Pangkep. Fakultas Pertanian Universitas
Muhammadiyah, Makassar.
Mumtianah O N, Endang K dan Anto B. 2014. Teknologi Proses Pengolahan
Pangan. Alfabeta. Bandung.

Ray, B. & A. Bhunia. 2008. Fundamental food microbiology.4th ed. CRC Press
Boca Raton:xxxvii+492 hlm.

Rosmaniar. 2018. Pengaruh penambahan jumlah garam yang berbeda pada


cincalok udang rebon (acetes eryhraeus) terhadap penerimaan konsumen.
Jurnal Online Mahasiswa. Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas
Riau. Pekanbaru

Suparmi, Amrizal dan Dahlia. 2017. Fortifikasi Hidrolisat Udang Rebon (Mysis
relicta) pada Sagu Instan sebagai Produk Unggulan Daerah Riau. Lembaga
Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Riau.

Winarno F.G. 2008. Kimia pangan dan Gizi. Jakarta Gramedia Pustaka Utama.
KARAKTERISTIK MUTU KIMIA DAN SENSORI
CINCALOK YANG DIBUAT DENGAN
METODE BACK˗SLOPPING

OLEH
STEFANI RANI AUDINA

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN


UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
2019

Anda mungkin juga menyukai