Anda di halaman 1dari 12

BAB 1.

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang

Ikan tergolong bahan makanan yang mudah sekali busuk oleh sebab itu agar
sampai di tangan konsumen masih dalam keadaan baik, diperlukan cara-cara
penanganan yang baik,dari sekian banyak upaya manusia untuk mempertahankan
mutu ikan yang umum dilakukan adalah pengolahan secara tradisional dari
pengawetan hasil ikan yang ditangkap diantaranya teknologi pengawetan ikan
dengan cara pemindangan. (Adawyah, 2007). Ikan pindang merupakan salah satu
hasil olahan yang cukup populer di Indonesia, dalam urutan hasil olahan
tradisional menduduki tempat kedua setelah ikan asin. Dilihat dari sudut program
peningkatan konsumsi protein masyarakat, ikan pindang mempunyai prospek
yang lebih baik dari pada ikan asin. Hal ini mengingat bahwa ikan pindang
mempunyai cita-rasa yang lebih lezat dan tidak begitu asin jika dibandingkan
dengan ikan asin sehingga dapat dimakan dalam jumlah yang lebih banyak.
Kelebihan ikan pindang dan ikan asin ialah ikan pindang merupakan produk yang
siap untuk dimakan (ready to eat). Di samping itu juga praktis semua jenis ikan
dari berbagai ukuran dapat diolah menjadi ikan pindang (Badan Riset Kelautan
dan Perikanan. 2010).

Dibanding pengolahan ikan asin, pemindangan mempunyai beberapa


keuntungan, yaitu: (1) cara pengolahannya sederhana dan tidak memerlukan alat
yang mahal, (2) hasilnya berupa produk matang yang dapat langsung dimakan
tanpa perlu dimasak terlebih dahulu, (3) rasanya cocok dengan selera masyarakat
Indonesia pada umumnya, (4) dapat dimakan dalam jumlah yang relatif banyak,
sehingga sumbangan proteinnya cukup besar bagi perbaikan gizi masyarakat
(Astawan, 2013). Berbeda dengan pembuat ikan asin walaupun pindang di olah
dengan mempergunakan garam namun yang diperoleh hasil yang berbeda karena
pada pengolahan pindang selain penggaraman juga dikombinasikan dengan proses
pemanasan sehingga produk yang dihasilkan mempunyai karakteristik tersendiri.
Dari segi taknologi pengawetan produk pindang dapat diklasifikasikan sebagai
produk setengah awet (semi preserved), dibandingkan dengan ikan segar pindang
masih mungkin sampai mencapai pelosok desa, meningat masih kurang
tersedianya fasilitas pendingin ikan. Dengan demikian upaya untuk
memasyarakatkan makan ikan memperoleh jangkauan yang lebih luas.

1.2. Tujuan
Tujuan dari praktikum ini adalah :
1. Untuk mengetahui cara pembuatan ikan pindang rebus dan ikan
pindang kukus
2. Untuk mengetahui perbedaan hasil uji kesukaan ikan pindang rebus
dan ikan pindang kukus
3. Untuk mengetahui perbedaan tekstur dan warna ikan pindang rebus
dan ikan pindang kukus menggunakan alat
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pindang Ikan


Pemindangan adalah pengolahan ikan yang dilakukan dengan cara merebus
ikan dalam susana bergaram selama waktu tertentu. Setelah selesai pemasakan,
biasanya wadah di mana ikan disusun langsung digunakan sebagai wadah
penyimpanan dan pengangkutan untuk dipasarkan (Adawyah, 2007).
Berdasarkan cara perebusan ikan dalam suasana bergaram maka teknik
penggaraman dapat dibedakan atas 2 kategori yaitu pemindangan garam dan
pemindangan air garam (Kanisius, 2012). Adapun cara pemindangan, adalah
sebagai berikut :
1. Pindang garam : adalah suatu cara pemindangan dimana ikan
dilumuri garam atau disusun berlapis lapis diselingi garam dalam wadah
yang kedap air (dapat menampung air), seperti paso / pendil, wajan, panci
dll.kemudian.direbus.
2. Pindang duri lunak (presto) : adalah suatu cara pemindangan
dimana ikan yang telah digarami dimasak dengan menggunkan wadah / panci
bertekanan.
Proses pengolahan ikan pindang (Desrosier, 2010) :
a. Tahap 1 : Penyiangan dan pencucian. Tahapan proses ini adalah
mengelompokan ikan berdasar pada jenis, ukuran dan tingakat
kesegarannya. Kemudian ikan disiangi dengan membuang sisik, sirip,
insang , isi perut dan kotoran lainnya. Kebanyakan pemindang tidak
melakukan proses penyiangan ini, karena dianggap pemborosan kerja dan
waktu, mengingat ikan toh selanjutnya akan dimasak, juga memperkecil
resiko kerusakan karena penyiangan.
b. Tahap 2 : Penyusunan ikan. Ikan disusun secara teratur ke dalam periuk,
untuk menjamin bahwa proses kematangan ikan merata. Periuk yang
digunakan terbuat dari tanah liat, disamping untuk meneralisir panas yang
terlalu tinggi juga menyebarkan panas secara merata keseluruh bagian.
Pada proses ini tidak dilakukan seleksi ikan yang baik dan yang sudah
mendekati
c. Tahap 3 : Penggaraman ikan. Penggaraman dalam proses pemindangan
berfungsi untuk memberikan rasa gurih, menurunkan kadar cairan dalam
tubuh ikan, dan mencegah atau menghambat pertumbuhan bakteri
pembusuk maupun organisme lain. Kecepatan penetrasi garam kedalam
daging ikan dipengaruhi oleh konsentrasi garam, kemurnian garam, jenis
dan ukuran ikan, kadar lemak dan suhu . Garam yang ditaburkan pada ikan
banyaknya bergantung pada berat ikan. Kebiasaan masyarakat dalam
pemberian garam tanpa ditimbang sesuai dengan berat ikan dan pula
kualitas garam yang digunakan tidak terjamin kemurniannya.
d. Tahap 4 : Perebusan ikan. Perebusan berfungsi untuk membuat ikan
menjadi masak. Pada proses ini api yang digunakan sekitar 600 selama 2 –
12 jam. Lama perebusan ini bergantung pada ukuran ikan yang
dipindang.Semakin besar ukurang ikan , semakin lama waktu perebusan .
Tanda ikan telah maska pada proses perebusan adalah, terdapat retakan-
retakan, terutama pada bagian daging, kepala dan ekor. Untuk melihat
apakah ikan sudah masak atau belum, kebiasaan yang dilakukan
masyarakat adalah dengan melihat kedalam periuk, dan dengan pijitan
tangan pada tubuh ikan, maka dapat dipekirakan apakah ikan tersebut
masak atau belum. Sering terjadbahwa ikan yang direbus terlalu masak,
sehingga pada saat diangkat ada bagian-bagian yang lepas (ikan tidak utuh
lagi).
Persyaratan mutu dan keamanan ikan pindang menurut SNI 2717:2017 dapat
dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Syarat mutu dan keamanan ikan pindang


Parameter Uji Satuan Persyaratan
a. Sensori - Min. 7*
b. Kimia Pindang air garam Pindang garam
Kadar air % (bobot) Maks. 60 Maks. 50
Kadar garam % (bobot) Maks. 10 Maks. 20
Histamin mg/kg Maks. 100 Maks. 100
c. Cemaran mikroba n C M M
ALT Koloni/g 5 2 1,0x104 1,0x105
E. coli APM/g 5 1 <3 3,6
Salmonella /25 g 5 0 Negatif Td
Staphylococcus
Koloni/g 5 1 1,0x102 1,0x103
aureus
d. Cemaran logam
Kadmium (Cd)** mg/kg Maks. 0,1
Timbal (Pb) mg/kg Maks. 0,5
Merkuri (Hg)** mg/kg Maks. 0,5
Arsen (As)** mg/kg Maks. 1,0
CATATAN:

* Untuk setiap parameter sensori


** Apabila diperlukan
n Jumlah contoh uji
c 2 kelas pengambilan contoh: jumlah maksimum contoh yang
diperbolehkan melebihi batas persyaratan maksimum yang
tercantum pada m
3 kelas pengambilan contoh: jumlah maksiumum contoh yang
persyaratannya berada antara m dan M dan tidak boleh
satupun
contoh melebihi batas persyaratan maksimum yang tercantum
m pada M serta contoh yang lain harus kurang dari nilai m
M 2 kelas pengambilan contoh : batas persyaratan maksimum
Td 3 kelas pengambilan contoh : batas persyaratan maksimum
Maks Tidak diberlakukan
Min Maksimum
Minimum
Sumber: Badan Standarisasi Nasional (2017)

2.2 Bahan Yang Digunakan


2.2.1 Ikan Banyar (Ikan Kembung)
Ikan kembung (Rastrelliger kanagurta L.) merupakan ikan air laut yang
banyak ditemui pada musim puncak (Maret - Juni). Pemanfaatan ikan kembung
banyak digunakan oleh masyarakat luas karena ikan kembung banyak
mengandung Omega 3 dan Omega 6 yang baik bagi pencegahan penyakit dan
kecerdasan otak. Omega 3 dan Omega 6 termasuk dalam asam lemak tak jenuh
jamak esensial yang berguna untuk memperkuat daya tahan otot jantung,
meningkatkan kecerdasan otak, menurunkan kadar trigliserida dan mencegah
penggumpalan darah (Irmawan, 2009). Ikan kembung tergolong ikan pelagik yang
menghendaki perairan yang bersalinitas tinggi.Ikan ini suka hidup secara
bergerombol dan makanannya berupa plankton besar kasar, Copepode atau
Crustacea (Kriswantoro dan Sunyoto, 2010). .
Ikan kembung banyak ditemukan di tiga perairan laut di Indonesia, yaitu
Selat Makasar (Kabupaten Barru yang terletak di wilayah pesisir Sulawesi
Selatan), laut Flores dan teluk Bone. Pada musim penangkapan, ikan kembung
diproduksi dalam jumlah yang banyak. Produksi ikan kembung di kabupaten
Barru pada tahun 2003 mencapai 2519,3 ton dan tahun 2004 sebesar 3544,1 ton.
Ini menandakan bahwa penangkapan ikan kembung jantan merupakan salah satu
sumberdaya perikanan yang cukup potensial di daerah tersebut (Irmawan, 2009).
Ikan kembung dikenal sebagai mackarel fish yang termasuk ikan
ekonomis dan potensi tangkapanya naik tiap tahunnya (KKP, 2011). Ikan ini
memiliki rasa cukup enak dan gurih sehingga banyak digemari oleh masyarakat.
Pemanfaatan ikan kembung menjadi produk bernilai tambah masih terbatas.Hal
ini terkait dengan tingginya kandungan lemak pada ikan kembung (Santoso et al,
2011).Berdasarkan Yunus (2000) menyatakan bahwa pemanfaatan sumberdaya
ikan melebihi batas potensial kecuali ikan pelagis. Jenis ikan pelagis diantaranya
ikan kembung, selar, teri, tongkol komo, layang, udang putih/jerbung, cumi-cumi,
guaman/tigawaja, manyung dan biji nangka.

2.2.2 Bawang Putih


Bawang putih atau tanaman dengan nama latin “Allium sativum” atau
dalam bahasa Inggris disebut dengan nama Garlic ini termasuk bumbu dapur yang
sangat popular di Asia. Indonesia mengenal bawang putih dengan nama yang
bervariasi. Nama lokal yang sering digunakan adalah daerah Madura
menyebutnya sebagai bhabang pote. Sunda menyebutnya bawang bodas, bawang
pulak di daerah Tarakan, lasuna moputih daerah Minahasa, pia moputi daerah
Gorontalo, lasuna kebo daerah Makassar, bawa de are daerah Halmahera, bawa
bodudo daerah Ternate, bawa fiufer daerah Papua, lasuna daerah Karo, kasuna
daerah Bali, Lasuna pute daerah Bugis, Bawang handak daerah Lampung, Kalfeo
foleu untuk daerah Timor dan sebutan bawang di daerah Jawa. Jenis bawang putih
unggul yang dibudidayakan di Indonesia adalah lumbu hijau dan lumbu kuning
yang tumbuh di dataran tinggi, dan lumbu putih untuk di dataran rendah. Varietas
lain yang merupakan hasil modifikasi ketiga varietas itu juga berkembang di
berbagai daerah dengan mengusung nama lain, seperti bawang jenis cirebon,
tawangmangu, santong, sumbawa, jatibarang, bogor, obleg, idocos (Filipina), dan
thailand. Bawang putih termasuk klasifikasi tumbuhan terna berumbi lapis atau
siung yang bersusun. Bawang putih tumbuh secara berrumpun dan berdiri tegak
sampai setinggi 30 -75 cm, mempunyai batang semu yang terbentuk dari pelepah-
pelepah daun. Helaian daunnya mirip pita, berbentuk pipih dan memanjang. Akar
bawang putih terdiri dari serabut-serabut kecil yang bejumlah banyak. Dan setiap
umbi bawang putih terdiri dari sejumlah anak bawang (siung) yang setiap
siungnya terbungkus kulit tipis berwarna putih. Bawang putih yang semula
merupakan tumbuhan daerah dataran tinggi, sekarang di Indonesia, jenis tertentu
dibudidayakan di dataran rendah. Bawang putih berkembang baik pada ketinggian
tanah berkisar 200-250 meter di atas permukaan laut. Ada lagi varietas bawang
putih yang disebut bawang lanang. Ini adalah bawang yang hanya terdiri dari satu
siung. Sesungguhnya, bawang lanang ini merupakan bawang putih biasa yang
tumbuh di lingkungan yang tak sesuai. Alhasil, bawang ini tak berkembang
dengan baik, dan hanya berkembang satu siung (Tajudin, 2003)

2.2.3 Bawang Merah


Bawang merah merupakan tanaman semusim yang berbentuk rumput,
berbatang pendek dan berakar serabut. Daunnya panjang serta berongga seperti
pipa. Pangkal daunnya dapat berubah fungsi seperti menjadi umbi lapis. Oleh
karena itu, bawang merah disebut umbi lapis. Tanaman bawang merah
mempunyai aroma yang spesifik yang marangsang keluarnya air mata karena
kandungan minyak eteris alliin. Batangnya berbentuk cakram dan di cakram inilah
tumbuh tunas dan akar serabut. Bunga bawang merah berbentuk bongkol pada
ujung tangkai panjang yang berlubang di dalamnya. Bawang merah berbunga
sempurna dengan ukuran buah yang kecil berbentuk kubah dengan tiga ruangan
dan tidak berdaging. Tiap ruangan terdapat dua biji yang agak lunak dan tidak
tahan terhadap sinar matahari (Sunarjono, 2004)
2.2.4 Daun Salam
Salam adalah nama tumbuhan yang merupakan penghasil rempah dan
merupakan salah satu tanaman obat di Indonesia. Tumbuhan salam merupakan
tumbuhan yang banyak ditanam untuk menghasilkan daunnya. Daun salam
mengandung minyak atsiri (sitral, eugenol), tanin, dan flavonoid. Senyawa
flavonoid dapat menghambat transportasi asam amino leusin dan bersifat
toksisitas terhadap serangga (Sunarjono, 2004).
2.2.5 Garam
Garam adalah benda padat berwarna putih berbentuk kristal yang merupakan
kumpulan senyawa dengan bagian terbesar Natrium Chlorida (>80%) serta
senyawa lainnya, seperti Magnesium Chlorida, Magnesium Sulfat, dan Calsium
Chlorida. Sumber garam yang didapat di alam berasal dari air laut, air danau asin,
deposit dalam tanah, tambang garam, sumber air dalam tanah (Burhanuddin S,
2001).Komponen-komponen tersebut mempunyai peranan yang penting bagi
tubuh manusia sehingga diperlukan konsumsi garam dengan ukuran yang tepat
untuk menunjang kesehatan manusia.Konsumsi garam per orang per hari
diperkirakan sekitar 5 – 15 gram atau 3 kilogram per tahun per orang (Adawyah,
2007). Menurut Desrosier (2010) dalam Adawyah (2007), ada tiga sumber utama
garam, yaitu :
1. Garam solar ialah garam yang diperoleh dengan cara penguapan dari air
garam baik yang dari laut maupun yang dari danau garam daratan.
2. Tambang garam atau garam sumber ialah garam yang biasanya dinyatakan
sebagai batu garam, diperoleh dari pertambangan yang beroperasi sedalam
seribu kaki atau lebih dibawah permukaan bumi.
3. Garam yang diperoleh dari penguapan dengan sinar matahari mengandung
kotoran kimia dan mikrobia halofisilis yang toleran terhadap garam.
Garam tambang atau garam sumber pada umumnya bebas dari
kontaminasi organisme ini.

2.3 Faktor Yang Mempengaruhi Produk


Keberhasilan proses pemindangan ikan sangat dipengaruhi oleh mutu bahan –
bahan yang digunakan dan kondisi lingkungan. Selain ikan, bahan utama
pembuatan ikan pindang adalah garam. Bahan – bahan yang akan digunakan harus
memenuhi syarat tertentu agar ikan pindang yang dihasilkan bermutu baik.
Faktor-faktor yang harus dipenuhi adalah :
1. Ikan harus segar
Meskipun ikan dengan tingkat kesegaran yang berbeda - beda dapat digunakan
sebagai bahan baku pembuatan ikan pindang, ikan yang telah membusuk
sebaiknya tidak digunakan. Penggunaan ikan dengan tingkat kesegaran rendah
akan menghasilkan produk akhir yang kurang baik (hancur), sehingga harga jual
rendah. Selain itu, penggunaan ikan dengan tingkat kesegaran rendah akan
menghasilkan ikan pindang yang terlalu asin. Hal ini terjadi karena proses
penetrasi garam kedalam daging ikan yang kurang segar berlangsung terlalu cepat
(Afrianto dan Liviawaty, 2009).
2. Mutu garam harus baik.
Selanjutnya Afrianto dan Liviawaty (2009) menyatakan bahwa mutu garam
akan mempengaruhi kecepatan penetrasi garam kedalam tubuh ikan. Kecepatan
penetrasi garam kedalam tubuh ikan sangat tergantung pada kadar NaCl yang
dikandungnya. Semakin tinggi kadar NaCl yang dikandung, semakin cepat pula
penetrasi berlangsung. Kemurnian garam sangat mempengaruhi mutu ikan
pindang yang dihasilkan. Sebaiknya tidak sembarangan menggunakan garam.
Masih banyak garam yang mengandung bakteri, lumpur, kotoran, dan elemen-
elemen tertentu (MgCl2, CaCl2, MgSO4, CaSO4, Fe dan Cu). Jadi sebaiknya
digunakan garam murni yang mengandung NaCl (95%).
3. Kondisi lingkungan harus sehat
Kondisi lingkungan harus benar – benar diperhatikan karena dapat
mempengaruhi produk ikan pindang. Agar ikan pindang yang dihasilkan bermutu
baik dan mempunyai daya awet tinggi, faktor – faktor sanitasi harus diperhatikan.
Alat dan bahan yang digunakan harus bersih, demikian pula halnya tempat
penyimpanan ikan hasil pemindangan (Afrianto dan Liviawaty, 2009).
BAB 5. PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Pada praktikum ini dapat disimpulkan :
1. Pemindangan dilakukan dengan metode rebus dan juga kukus
2. Dari uji kesukaan secara keseluruhan ikan pindang yang dikukus paling
disukai oleh panelis
3. Untuk uji warna ikan pindang yang dikukus memiliki warna yang lebih
cerah dibandingkan dengan ikan pindang yang direbus. Sedangkan untuk
tekstur ikan pindang yang direbus memiliki tekstur yang lebih keras/padat
dibandingkan dengan ikan yang dikukus.
5.2 Saran
Adapun saran untuk praktikum pembuatan ikan pindang kali ini yaitu agar
alat-alat yang digunakan saat di laboratorium lebih dilengkapi sehingga
memudahkan praktikan dalam melakukan praktikum.
DAFTAR PUSTAKA

Adawyah, R. 2007. Pengolahan dan Pengawetan Ikan. Jakarta: Bumi Aksara


Afrianto, E dan E. Liviawaty. 2009. Pengawetan dan Pengolahan Ikan.
Yogyakarta: Kanisius.
Badan Standar Nasional. 2017. SNI Pindang Ikan. Jakarta: Badan Standar
Nasional.
Burhanuddin. 2001. Strategi Pengembangan Industri Garam di Indonesia.
Yogyakarta: Kanisius
Charles M, Mankoo A. 2005. Surimi seafood flavor. Dalam: Park JW (2 nd eds).
Surimi and Surimi Seafood. Taylor dan Francis Group: CRC press
Desrosier, N. W. 1988. Teknologi Pengawetan Pangan. Universitas Indonesia
Press. Jakarta.
Fajriyati, M. 2012. Sifat-sifat Organoleptik Pengolahan produk. Universitas
Negeri. Bangka Blitung (UBB): Bangka Blitung.
Irmawan, S. 2009. Status perikanan ikan kembung di Kabupaten Barru. Malang:
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Brawijaya Malang.
Kanisius. 1989. Pengawetan dan Pengolahan Ikan. Yogyakarta: Anggota IKAPI.
Kriswantoro, M dan Sunyoto, Y. A. 1986.Mengenal Ikan Laut. Jakarta: Karya
baru..
Santoso et al, 2011. Mikro Alga Untuk Penyerapan Emisi CO2 dan Pengolahan
Limbah Cair di lokal industri.Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis
3 (2) Hal.62-70
Sunarjono, H. 2004. Bertanam 30 Jenis Sayur. Jakarta : Penebar Swadaya.
Tajudin, 2003. Khasiat dan Manfaat Bawang Putih. Jakarta : Agromedia Pustaka
Yunus, M., Adnan dan R. Mamin.2000. Upaya Peningkatan Daya Tahan dan
Mutu Organoleptik Ikan Layang dan Cakalang.Makassar: Jurnal Insani-
UNM

Anda mungkin juga menyukai