Anda di halaman 1dari 20

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Pangan merupakan kebutuhan esensial bagi setiap manusia yang berguna untuk
memulihkan dan memperbaiki jaringan tubuh yang rusak, mengatur proses di dalam tubuh,
perkembangbiakan, dan menghasilkan energi untuk kepentingan berbagai metabolisme
(Thahir et al,. 2005) .
O l e h s e b a b i t u , p a n g a n h a r u s mempunyai jaminan keamanan dari cemaran-
cemaran yang berbahaya. Cemaran tersebut dapat berupa cemaran biologis (bakteri
patogenik, parasit, cacing, k a p a n g ) , kimia (cemaran logam berat, dan
r e s i d u antibiotika), fisika (serpihan kaca, potongan kayu, logam, batu, rambut,
benang,d l l ) , atau lainnya yang dapat mengganggu, merugikan, dan
m e m b a h a y a k a n kesehatan (Schimdt et al., 2003;Bahri et al., 2005).
Bahan pangan asal ternak yang terdiri atas daging, telur, susu, dan hasil
olahannya memiliki kandungan protein tinggi (Supardi dan & Sukamto,
1 9 9 9 ) . Kandungan gizi yang tinggi tersebut, memungkinkan pangan asal ternak sebagai
media yang sangat baik bagi pertumbuhan berbagai macam cemaran biologis. Oleh
karena itu, bahan pangan tersebut tidak akan ada artinya bila tidak aman bagi kesehatan
(Winarno, 1996; Thahir et al ., 2005).
Foodborne illness (infection/intoxication) yaitu penyakit akibat keracunan atau infeksi
karena mengonsumsi makanan terkontaminasi mikroorganisme. Foodborne illness masih
menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia karena kurangnya higiene perorangan
dan sanitasi lingkungan sehubungan dengan pengolahan bahan makanan dan proses memasak
(Supraptini, 2002).

Foodborne illness seringkali diberitakan akibat mengkonsumsi hidangan pesta, makanan


jajanan, makanan catering, bahkan makanan segar. Data nasional yang dirangkum Badan
POM selama 4 tahun (2004-2007) juga menjelaskan, bahwa industri jasa boga (catering) dan
produk makanan rumah tangga memberikan kontribusi paling besar (31%) dibandingkan
dengan makanan olahan (20%), jajanan (13%) dan lain-lain (5%) (BPKN, 2007). Data dari
Badan POM tentang kejadian luar biasa (KLB) foodborne illness dari tahun 2001-2006
menunjukkan peningkatan baik dari jumlah kejadian maupun jumlah korban yang sakit dan
meninggal. Walaupun demikian, korban meninggal diperkirakan mungkin hanya 1% saja
(BPKN, 2007). Tan pada tahun 2013 melaporkan bahwa penyebab foodborne di Indonesia
adalah mikroorganisme (Tan, 2013).
Tingkat kontaminasi makanan oleh Escherichia coli masih cukup tinggi yaitu 65,5%
(Djaja, 2008).
Escherichia coli dapat ditemukan pada daging sapi mentah atau undercooked, susu
yang tidak dipasteurisasi, buah dan sayur mentah (Foodsafety.gov, 2014). Bacillus subtillis
juga dilaporkan sebagai salah satu etiologi foodborne illness pada daging atau sayuran isi
pastry/kue, daging atau produk unggas yang telah dimasak, roti atau roti manis, sandwich,
dan seafood (Cambridge, 2014).

2 Teknologi bidang kedokteran khususnya di bidang antibiotika banyak memberikan


kemudahan bagi kehidupan manusia. Selain dampak positif juga timbul dampak negatif yang
tidak dapat dicegah, misalnya semakin meningkatnya kemampuan mikroba penyebab infeksi
untuk mempertahankan diri melalui mekanisme-mekanisme adaptasi sehingga makin sulit
untuk diberantas. Selain itu, penggunaan preparat atau sediaan antimikroba secara tidak
rasional berdampak pada munculnya strain baru yang resisten terhadap antimikroba
(Wahjono, 1994).
Adanya fakta-fakta tersebut maka diperlukan alternatif lain untuk mengeliminasi
mikroba tersebut, yaitu dengan menggunakan bahan alami antimikroba.
Daun salam (Syzygium polyanthum) berasal dari tanaman asli Indonesia. Daun salam
selain digunakan sebagai bumbu, juga dapat dijadikan bahan obat tradisional. Daun salam
secara empiris telah digunakan untuk obat hipertensi, diabetes, asam urat, diare, dan maag
(Utami & Puspaningtyas, 2013). Malik dan Ahmad mendapatkan bahwa daun salam memiliki
efek antimikroba (Malik & Ahmad, 2013).
Kandungan daun salam yang bersifat antimikroba adalah minyak atsiri/essential oil,
tanin, flavonoid, alkaloid, dan saponin (Sudarsono, 2002; Dalimartha, 2003). Latar belakang
penelitian ini menarik minat penulis untuk melakukan penelitian untuk mengamati sifat
antimikroba daun salam terhadap E.coli dan Bacillus subtilis dengan menilai pembentukkan
zona inhibisi yang terbentuk dengan tes sensitivitas masing-masing bakteri tersebut pada agar
MHA.
1.2 Rumusan Masalah
1. Pengertian food borne intoxications
2. Penyebab dari foodborne intoxications
3. Gejala dari foodborne intoxications
4. Pencegahan
5. Seperti apa proses didalam tubuh ketika terjadi foodborne intoxications

1.3 Tujuan

1. Dapat mengetahui penyebab dari foodborne intoxications


2. Dapat mengetahui gejala dari foodborne intoxications
3. Dapat mengetahui seperti apa proses didalam
4. Untuk mengetahui faktor-faktor perilaku hidup bersih dan sehat yang berhubungan
dengan kejadian food borne disease
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Fodborne Intoxication


 Foodborne intoxication adalah penyakit yang disebabkan oleh menelan racun yang
berasal dari jaringan tumbuhan atau hewan, produk metabolisme mikroorganisme
dalam makanan, atau bahan kimia yang ditambahkan ke makanan sengaja, kebetulan,
atau sengaja pada setiap titik dari rantai makanan (Braeunig, 2008).
Foodborne intoxication terjadi akibat mengonsumsi makanan yang telah
mengandung racun. Racun ini terlepas elama pertumbuhan bakteri (enterotoksin).
Penyakit yang dilatarbelakangi oleh toksin ini biasanya cepat bermanisfestasi (Yahya,
2012).
Foodborne intoxication memiliki periode inkubasi yang singkat (menit sampai
jam) ditandai dengan kurangnya demam.

 Food borne disease adalah penyakit akibat makanan yang terkontaminasi oleh
mikroorganisme atau racun. Makanan yang telah terkontaminasi oleh mikroorganisme
atau racun masuk ke dalam tubuh melalui proses pencernaan yang dapat
menyebabkan penyakit, seperti syndrome gastrointestinal atau gejala neurologic.
Setiap tahunnya, di Amerika Serikat timbulnya food borne disease ini melebihi 80
juta kasus. Frekuensi penyakit ini memang kurang mewabah, tetapi akan
menimbulkan potensi yang sangat berbahaya bahkan kematian [1]. Kejadian food
borne disease seperti diare, typhoid dan infeksi cacing, masih cukup rentan terhadap
anak usia sekolah. Penyebab utamanya karena kurangnya perilaku menjaga
kebersihan dan kesehatan, sehingga agen dengan mudah masuk ke dalam tubuh
melalui makanan yang di konsumsi. Salah satu faktor yang mempengaruhi
terbentuknya perilaku anak sekolah dalam menjaga kebersihan dan kesehatan terkait
pencegahan food
 Borne disease adalah faktor sekolah dan lingkungannya [2]. Permenkes No.
2269/MENKES/ PER/XI/2011 menetapkan bahwa Perilaku Hidup Bersih dan Sehat
(PHBS) adalah sekumpulan perilaku yang dipraktikkan atas dasar kesadaran sebagai
hasil pembelajaran yang menjadikan seseorang dapat menolong dirinya sendiri di
bidang kesehatan dan berperan aktif dalam mewujudkan kesehatan masyarakat [3].
Berdasarkan data WHO, setiap tahunnya sekitar 2,2 juta orang di negara-negara
berkembang terutama anak-anak meninggal dunia akibat berbagai penyakit yang
disebabkan oleh kurangnya air minum yang aman, sanitasi dan hygiene yang buruk.
Sementara itu, terdapat bukti bahwa pelayanan sanitasi yang memadai, persediaan air
yang aman, sistem pembuangan sampah, serta pendidikan

hygiene dapat meningkatkan angka kematian akibat diare sampai 65%, serta penyakit-
penyakit lainnya sebanyak 26%.[4] Hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2013, menunjukkan
bahwa insiden dan period prevalen diare di Indonesia adalah 3,5% dan 7%. Dari 33 provinsi
di Indonesia terdapat 5 provinsi dengan insiden dan period prevalen diare tertinggi yaitu
Papua (6,3% dan 14,7%), Sulawesi Selatan (5,2% dan 10,2%), Aceh (5,0% dan 9,3%), See
discussions, stats, and author profiles for this publication at: Sulawesi Barat (4,7% dan 10,1%),
dan Sulawesi Tengah (4,4% dan 8,8%).
WHO telah memerkirakan bahwa 600 juta penduduk dunia mengalami keracunan setiap
tahunnya, dan sebanyak 420.000 orang di antaranya meninggal, termasuk 125.000 anak usia
di bawah 5 tahun[11] . Namun, tak ada manusia yang dapat hidup tanpa makanan dan
minuman. Makanan dan minuman tersebut diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan
manusia sebagai makhluk hidup. Oleh karena itu, satu langkah yang bisa kita lakukan adalah
mengupayakan pencegahan keracunan makanan (foodborne disease). Pada dasarnya,
tumbuhan dan hewan yang kita makan memiliki kemampuan untuk mencegah pertumbuhan
mikroba. Namun seiring kematian tumbuhan dan hewan tersebut, kemampuan
antimikrobanya pun akan lenyap sehingga mikroba seperti bakteri, virus, fungi dan parasit
mampu mengontaminasi makanan tersebut. Ketika mikroba berada dalam bahan pangan, atau
mengeluarkan toksin ke dalam bahan pangan, dan bila bahan pangan tersebut diolah dengan
cara yang tidak tepat, maka dapat menimbulkan foodborne disease[6] .
Foodborne disease merupakan penyakit yang timbul akibat kontaminasi makanan oleh
mikroba maupun zat kimia berbahaya. Seperti yang kita ketahui, mikroba memiliki faktor
virulensi yang memungkinkan dirinya mampu menginfeksi manusia. Oleh karena itu,
foodborne disease oleh mikroba lebih dapat berakibat fatal. Bakteri dan fungi merupakan
mikroorganisme yang paling sering dijumpai sebagai penyebab utama foodborne disease.
Pada negara-negara berkembang seperti Indonesia yang sarana dan prasarana dalam upaya
pencegahannya masih belum memadai, kasus foodborne disease akibat mikroba telah
dilaporkan sebanyak lebih dari 150 juta kasus[8].
Bahaya dari foodborne disease dapat kita lihat dari manifestasi kliniknya. Beberapa di
antaranya yang paling umum adalah diare, mual-mual dan muntah. Namun, perlu digaris
bawahi bahwa diare akibat keracunan oleh mikroba ini dapat berujung pada kematian jika
tidak ditangani dengan tepat. Berdasarkan deklarasi pada konferensi Internasional Alma-Ata
tahun 1978, setiap tahun di negara berkembang, terdapat sekitar 150 juta kasus diare yang
30% dari angka tersebut disebabkan oleh kontaminasi mikroba sehingga mengakibatkan
sekitar 3 juta anak meninggal [8] .
World Health 2 Organization (WHO) juga pernah melaporkan bahwa diare akibat
foodborne disease merupakan penyebab utama penyakit dan kematian di negara berkembang
dan kurang berkembang, yang diperkirakan mencapai 1,9 juta orang per tahun[5] . Selain
diare, terdapat berbagai macam gejala spesifik yang muncul pada penderita berdasarkan
mikroba yang tertelan. Pada foodborne disease yang berkelanjutan, bahkan penderita dapat
mengalami hepatitis, asites, serta kerusakan otak dan saraf. Semua tanda dan gejala klinik
tersebut sangat bergantung dari mikroba yang terbawa oleh makanan. Keberadaan mikroba
yang terbawa oleh makanan bergantung pada kesesuaian habitat dan lamanya kontak antara
makanan dengan mikroba penyebab foodborne disease.
Beberapa faktor yang dapat meningkatkan risiko terjadinya kerusakan makanan dan
memicu munculnya perkembangan mikroba dalam makanan adalah adanya nutrisi bakteri
pada makanan, pH dan suhu optimum bakteri, rendahnya senyawa antimikroba, perbedaan
kondisi suhu antara produksi dan konsumsi, waktu penyimpanan yang terlalu lama, serta
proses pengolahan bahan pangan yang tidak higienis. Makanan yang belum matang ataupun
sudah matang dapat menjadi medium yang mendukung pertumbuhan mikroba. Selain itu,
berbagai produk makanan seringkali menjadi tempat bersarangnya toksin dari bakteri dan
fungi. Tidak seperti bakteri dan fungi, virus tidak dapat bereplikasi dalam makanan sehingga
makanan hanya berperan sebagai pembawa virus. Foodborne disease oleh virus umumnya
disebabkan karena adanya transmisi virus dari tangan maupun alat masak dan alat makan.
Sementara parasit yang umum dijumpai pada makanan adalah jenis cacing dan protozoa.
Bakteri patogen yang sering ditemukan pada penderita foodborne disease di negara
berkembang seperti Indonesia di antaranya E.
coli (15-20%), Shigella sp.(5-15%), Salmonella sp. (1- 5%), Vibrio colerae (5-10%),
Campylobacter jejuni (15-20%). Terdapat juga parasit cacing seperti Fasciola hepatica dan
protozoa seperti Giardia lamblia, Entamoeba histolytica, serta berbagai virus rota (15-20%)
[8] .
Campylobacter jejuni adalah bakteri Gram negatif yang sangat produktif tumbuh di
lingkungan dengan suhu 42-45⁰C [1] . Menariknya, bakteri ini merupakan penyebab utama
diare pada anak, melebihi diare akibat Salmonella sp. C. jejuni biasa ditemukan pada daging
sapi dan ayam yang belum matang serta susu yang disimpan terlalu lama. Seseorang yang
terinfeksi C. jejuni akan mengalami demam, malaise, nyeri perut, dan diare yang dapat
disertai darah. Namun seperti bakteri pada umumnya, C. jejuni akan mati pada proses
pemanasan atau pasteurisasi sehingga foodborne akibat C. jejuni dapat ditangani dengan
pemanasan makanan yang cukup atau pasteurisasi. Bakteri penyebab foodborne disease
lainnya yang cukup marak diberitakan adalah E.coli. Bakteri Gram negatif ini sebenarnya
merupakan salah satu mikroflora dalam saluran pencernaan manusia yang tumbuh optimum
pada suhu 37⁰C [1]. Artinya bakteri tersebut memang berkembang secara alami pada usus
manusia. Namun E. coli bersifat patogen oportunistik oleh karena itulah 3 kasus diare yang
disebabkan oleh E.coli hanya terjadi saat pertahanan tubuh seseorang sedang melemah atau
karena jumlah bakteri E. coli pada tubuh melebihi batas normal. Contoh kasus pada tahun
2012 silam, terjadi keracunan masal akibat makanan yang mengandung E. coli, Salmonella
sp., dan Staphylococcus sp. di Klaten, Jawa Timur[4].
Kasus tersebut mengakibatkan sebanyak 101 orang warga mengalami keracunan dengan
61 orang di antaranya dirawat inap di rumah sakit. Setelah dilakukan pengecekan terhadap
makanan, alat masak dan bahan baku makanan oleh Laboratorium Badan Pengawasan Obat
dan Makanan (BPOM) kota Semarang, terbukti bahwa semua alat dan bahan mengandung
bakteri yang jumlahnya melebihi batas normal. Padahal dengan pemanasan bahan makanan
yang cukup serta pencucian alat masak yang benar, ketiga bakteri tersebut dapat dihambat
perkembangannya. Dari kasus ini dapat kita simpulkan bahwa persiapan dan pengolahan
makanan mampu memegang peranan yang sangat penting dalam pencegahan foodborne
disease. Foodborne disease akibat virus ditandai dengan gastroenteritis.
Gastroenteritis merupakan inflamasi pada usus atau lambung akibat virus. Gastroenteritis
memiliki manifestasi klinik diare air, mual, muntah dan kadang demam hingga menimbulkan
dehidrasi, lelah, lemas, kulit kering, dan mata yang menjadi cekung. Rotavirus merupakan
virus famili Rutaviridae yang menyerang dan memasuki sel enterosit yang matang pada ujung
vili usus kecil. Virus ini menyebabkan perubahan pada struktur dari mukosa usus kecil,
berupa pemendekkan vili[2]. Rotavirus menempel dan masuk dalam sel epitel tanpa kematian
sel yang dapat menimbulkan diare. Sel epitel yang dimasuki oleh virus akan mensintesis dan
mensekresikan senyawa yang menimbulkan respon imun dari penderita dalam bentuk
perubahan morfologi dan fungsi sel epitel. Selain mikroba, senyawa kimia juga berperan
dalam kejadian foodborne disease. Tidak hanya senyawa kimia sintetis, namun senyawa
kimia yang dihasilkan oleh tumbuhan atau fungi pun dapat meracuni orang yang
mengonsumsinya. Salah satu senyawa kimia berbahaya yang dihasilkan oleh fungi adalah
aflatoksin. Aflatoksin merupakan salah satu jenis dari mikotoksin yang dihasilkan oleh fungi
spesies Aspergillus flavus dan Aspergillus parasiticus[3] [7] .
Aspergillus flavus menghasilkan aflatoksin B1 and B2 dan asam siklopiazonat sedangkan
Aspergillus parasiticus menghasilkan aflatoksin B1, B2, G1 dan G2. Aflatoksin bersifat
toksik dan merupakan substansi yang sangat karsinogenik[3] . Setelah masuk kedalam tubuh,
aflatoksin dapat dimetabolisme oleh hati menjadi senyawa reaktif atau mengalami
dihidroksilasi menjadi senyawa yang kurang berbahaya (AflatoksinM1v). Tetapi jika paparan
aflatoksin berlangsung beberapa minggu hingga beberapa bulan maka akan muncul gejala
disfungsi hati seperti nyeri ulu hati, jaundice dan jika diperiksa lebih lanjut, akan didapati
abnormalitas nilai enzim hati seperti SGOT dan SGPT. Komoditas utama yang dikontaminasi
oleh aflatoksin adalah singkong, cabai, jagung, kacang, beras, dan gandum. 4 Produk
transformasi aflatoksin terkadang ditemukan di telur, produk susu, dan daging karena hewan
memakan padi-padian yang terkontaminasi. Adapun parasit cacing kelas Trematoda yakni
Fasciola hepatica dapat mengontaminasi makanan. Telur cacing F. hepatica dari feses hospes
definitif (hewan ternak), di lingkungan berair akan matang dan berkembang menjadi
mirasidium. Mirasidium menginvasi tubuh hospes intermediet (siput) untuk berkembang
menjadi serkaria, keluar dari tubuh siput dan menjadi metaserkaria[9] .
Metaserkaria akan beredar pada berbagai tanaman, atau rumput-rumputan yang dimakan
hewan ternak. Metaserkaria yang menempel pada tanaman atau sayuran yang dimakan
mentah, atau hati hewan ternak yang dimasak tidak matang, akan berpenetrasi ke dalam
dinding saluran pencernaan dan semakin lama akan mencapai hati lalu memakan sel hati dan
menyebabkan anemia berat. Dengan mengetahui penyebab dan bahaya dari foodborne
disease, maka berikut adalah beberapa langkah umum untuk mengurangi risiko terjadinya
foodborne disease, diantaranya: 1. Peningkatan sanitasi Sayur dan buah yang baru dipetik
atau baru dibeli dapat dipastikan membawa sejumlah mikroba patogen. Oleh karena itu,
pastikan sayuran dan buahbuahan yang akan dikonsumsi telah dicuci dengan air mengalir.
Air yang digunakan harus terjamin kebersihannya karena mikroba juga dapat terbawa dari air
yang digunakan untuk mencuci makanan[10].
Tidak lupa memastikan kebersihan tangan sebelum kontak dengan makanan atau
minuman. 2. Pemanasan makanan mentah Tujuan pemanasan atau pemasakan bahan
makanan hingga benar-benar matang adalah agar sel vegetatif dan spora mikroba patogen dan
pembusuk dapat terbunuh. Dengan pemanasan, toksin yang terdapat pada bahan makanan
yang sensitif terhadap panas juga akan rusak sehingga selain mencegah foodborne disease,
pemanasan juga berguna untuk meningkatkan waktu simpan. 3. Kondisi penyimpanan yang
tepat Mikroba patogen dapat berkembang biak dengan baik di suhu ruangan. Oleh karena itu,
menjaga makanan pada suhu dibawah 5oC atau diatas 60oC akan menyebabkan melambatnya
bahkan terhentinya pertumbuhan mikroba patogen tersebut. Untuk skala industri, terdapat
metode Modified Atmosphere Packaging yang dilakukan dengan menyimpan makanan dalam
wadah dengan konsentrasi CO2 lebih dari 10%. CO2 efektif mengurangi pembusukan buah
oleh fungi dengan mekanisme inhibitor kompetitif terhadap kerja gas etilen. Selain itu, saat
hendak disimpan, beberapa faktor intrinsik yang memengaruhi pertumbuhan mikroba dalam
makanan seperti aktifitas air, dan pH harus diperhatikan. Aktivitas air (Aw) menunjukkan
jumlah air di dalam makanan yang dapat digunakan oleh mikroba untuk pertumbuhannya.
Mikroba mempunyai kebutuhan Aw minimal yang berbeda-beda untuk pertumbuhannya. Di
bawah Aw minimal 5 tersebut mikroba tidak dapat tumbuh atau berkembang biak. Oleh
karena itu salah satu cara untuk mengawetkan makanan adalah dengan menurunkan Aw
bahan tersebut.
Reduksi Aw bertujuan mencegah perkecambahan spora mikroba, mencegah produksi
toksin dari kapang dan bakteri toksigenik. Sebagai contoh, nilai minimal Aw untuk bakteri
Gram negatif adalah 0,97[1] maka makanan yang diindikasikan mengandung bakteri Gram
negatif harus memiliki Aw yang lebih rendah dari 0,97. Prinsip reduksi Aw adalah dehidrasi,
penghilangan air dengan kristalisasi dan penambahan zat terlarut. Modifikasi pH diperlukan
untuk mencegah tumbuhnya berbagai mikroba. Secara umum, pH untuk pertumbuhan
bakteri, ragi, dan fungi berfilamen secara berturut-turut adalah 6.0-8.0, 4.5-6.0, dan 3.5-4.0,
dengan pengecualian untuk jenis bakteri laktobasilus dan bakteri asam asetat tumbuh
optimum pada pH 5.0 dan 6.0[1] .
Penurunan pH merupakan salah satu prinsip pengawetan pangan untuk mencegah
pertumbuhan mikroba. Prinsip ini dilakukan dengan cara menambahkan asam ke dalam
makanan seperti dalam pembuatan acar atau asinan. Cara lain adalah dengan fermentasi. 4.
Pemberantasan hospes intermediet Foodborne disease akibat parasit bergantung pada adanya
hospes definitif, intermediet, dan reservoir.
Cara pencegahan yang dapat dilakukan diantaranya dengan pengontrolan hospes
intermediate (siput) dengan moluskisida. Sehingga parasit tidak memiliki media untuk
tumbuh dan menginfeksi manusia. 5. Penyuluhan dan edukasi terhadap masyarakat Pihak
pemerintah seperti Dinas Kesehatan maupun LSM terkait dapat mengadakan penyuluhan.
Dalam UU RI No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan pasal 17 ayat 1 menyebutkan bahwa
pemerintah bertanggung jawab atas ketersediaan akses terhadap informasi, edukasi dan
fasilitas pelayanan kesehatan untuk meningkatkan dan memelihara derajat kesehatan
setinggi-tingginya. Penyuluhan dapat difokuskan pada daerah-daerah yang prevalensi
foodborne disease-nya terbilang tinggi. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa
beberapa mikroba patogenik dapat menginfeksi tubuh dengan bertransmisi melalui pangan
yang dikonsumsi oleh manusia. Di Indonesia, mikroba patogenik tersebut antara lain
Campylobacter jejuni, Salmonella sp., Escherichia coli, Rotavirus, Aspergillus flavus
penghasil aflatoksin, dan parasit Fasciola hepatica.
Bahan pangan yang terkontaminasi mikroba atau toksin mikroba tersebut dapat
menimbulkan manifestasi klinik seperti mual, muntah, nyeri perut, diare, dehidrasi, hingga
kematian. Maka, sangat penting untuk melakukan peningkatan sanitasi, memanaskan
makanan mentah, menyimpan bahan pangan atau makanan dengan cara dan kondisi yang
tepat, memberantas hospes intermediet bagi parasit, serta diadakannya penyuluhan dari
pemerintah untuk masyarakat, agar prevalensi foodborne disease menurun dan derajat
kesehatan masyarakat dapat meningkat.

B. Penyebab dan Gejala Foodborne Intoxication


Ada tiga penyebab umum foodborne intoxication yaitu :
 Staphylococcal food poisoning
 Botulism
 Mikotoksin
 Penyebab umumnya adalah:
a. Kuman, misalnya Salmonella, Campylobacter dan Listeria,
b. Virus, misalnya Norovirus dan Hepatitis A,
c. Racun, misalnya racun yang dibuat oleh kuman seperti Staphylococcus
aureus atau Bacillus cereus, dan Ciguatoxin.

 Gejalanya tak tentu - tergantung dari penyebabnya dan bisa termasuk


menceret, muntah, mual, sakit perut dan demam. Gejala lainnya mungkin
sakit kepala, sakit kuning atau baal. Berkembangnya gejala ini bisa
berjam-jam, berhari-hari atau lebih lama lagi dan biasanya berlangsung
beberapa hari atau ada kalanya lebih lama.

Siapa pun bisa terkena penyakit bawaan makanan, tetapi ada orang yang lebih
rentan terkena sakit parah, yakni:
a. anak kecil,
b. orang lansia,
c. orang yang sistem ketahanannya tertekan,
d. wanita hamil.

Tabel 1. Foodborne Intoxication, Mikrobia Penyebab, dan Gejala Utamanya


Tipe Penyakit Mikrobia PenyebabKelompok Tipe gejala utama
Mikrobia
Staph poisoning
Staphylococcus Aureus strains Bacteria, Gm+a
(enterotoksin
stapilokoki)
Botulism Clostridium Bacteria, Gm+ Nongastric
(neurotoksin) botulinum strains
Mycotoxin poisoningMycotoxins Molds Nongastric
producing mold
strains, e g
Aspergillus flavus
1. Staphylococcus Aureus Foodborne Intoxication
Penyebab
Staphylococcal food poisoning merupakan kasus keracunan makanan yang
disebabkan oleh Enterotoksin yang di hasilkan oleh Staphylococcus Aureus. Kuman
stafilokokus akan mati sewaktu makanan di masak, tetapientrotoksin yang dihasilkan
memiliki sifat tahan panas sehingga dapat bertahan pada temperatur100 derajat C
selama beberapa menit (Andiyani, dkk, 2010).
Staphylococcus aureus merupakan bakteri yang umum ditemukan pada kulit
dan dalam hidung hingga 25% dari orang sehat dan binatang. Staphylococcus aureus
adalah penting karena memiliki kemampuan untuk membuat tujuh racun yang
berbeda yang sering bertanggung jawab untuk keracunan makanan (Boyen dan
McKinney, 2009).
S. aureus dapat mengkontaminasi makanan melalui kontak tubuh secara
langsung, melalui fragmen kulit, atau melalui droplet pernapasan yang dihasilkan
ketika orang batuk dan bersin. Kebanyakan S. aureus hasil penyakit bawaan makanan
dari kontaminasi makanan oleh penjamah makanan, penggiling daging, pisau, wadah
penyimpanan, dan blok memotong. Sementara tingkat rendah dari bakteri S. aureus
ada di banyak makanan, teknik penanganan makanan yang tepat dapat mencegah
kontaminasi lebih lanjut atau pertumbuhan dalam makanan, sehingga mencegah
produksi toksin (Boyen dan McKinney, 2009).
Staphylokokus banyak ditemukan dalam bagian-bagian tubuh, seperti di
hidung, tenggorok dan di kulit manusia, selain itu juga dapat ditemukan menempel
pada debu di dalam kamar. Organisme ini dapat menyebabkan infeksi pad manusia
dan binatang. Staphylokokus juga dapat mengkontaminasi makanan, seperti salad,
custard, susu, dan produk yang dihasilkannya. Masa inkubasi penyaki takibat
organism ini relative pendek, yaitu sekitar 1-6 jam karena toksin yang dihasilkan
organism ini (Andiyani, dkk, 2010).
Infeksi pada manusia terjadi karena konsumsi makanan yang terkontaminasi
toksin. Toksin tersebut memiliki laju reaksi yang cepat dan langsung menyerang usus
dan system saraf pusat (SSP). Gejala penyakit ini, antara lain mual, muntah, diare,
nyeri abdomen, dan terdapatnya darah dan lender dalam feses. Kematian akibat
penyakit ini jarang terjadi. Penderita dapat sembuh kembali dalam waktu 2-3 hari
(Andiyani, dkk, 2010).
Keracunan akibat staphylococcal biasanya mengikuti konsumsi ofstarchy
makanan, terutama salad kentang, puding dan kue. Ketika offendingfood adalah
daging, daging babi (termasuk ham dan salami) dan produk unggas biasanya menjadi
sumber. Ham dapat menjadi terkontaminasi dengan staphylococci selama praktek
boning, mengiris dan menahan tanpa memadai refrigerationfor beberapa jam sebelum
disajikan. Selain itu, ham sangat asin memungkinkan pertumbuhan staphylococcus
tetapi menghambat bakteri lainnya. Makanan lain yang biasa terlibat kaleng atau pot
daging atau ikan, menekan lidah, daging sapi, keju, produk susu lainnya, krim atau
custard diisi kue, salad kentang, dan pasta salad. Sumber biasa patogen, yang
menyebabkan bentuk keracunan makanan, mungkin hidung, tenggorokan, bisul,
jerawat, atau luka yang terinfeksi di tangan personil pelayanan makanan.

Gejala
Racun staphylococcal yang cepat bertindak, kadang-kadang menyebabkan
penyakit hanya dalam 30 menit. Gejala biasanya berkembang dalam waktu satu
sampai enam jam setelah makan makanan yang terkontaminasi. Pasien biasanya
mengalami hal berikut ini: mual, muntah, kram perut, dan diare. Penyakit ini biasanya
ringan dan kebanyakan pasien sembuh setelah satu sampai tiga hari. Dalam sebuah
minoritas kecil pasien penyakit bisa lebih parah (CDC, 2006).

2. Botulism
Penyebab
Botulism atau botulisme merupakan penyakit Gastroenteristi akut yang
disebabkan oleh Eksotoksin yang di produksi Crostiridium Botulinum. Organisme
anaerobic ini banyak ditemukan di dalam debu, tanah, dan dalam saluran usus hewan.
Dalam makanan kaleng, organism ini akan membentuk spora. Masa inkubasi
botulisme cepat sekitar 12-36 jam.
C. botulinum menguraikan delapan exotoxins antigen dibedakan (A, B, C1,
C2, D, E, F dan G). Tipe A adalah racun yang paling ampuh, diikuti oleh jenis B dan
F racun. Tipe A, B dan E yang umumnya terkait dengan botulisme sistemik pada
manusia (Nigam dan Nigam, 2010).
Semua neurotoksin botulinum diproduksi sebagai relatif tidak aktif, rantai
polipeptida tunggal dengan massa molekul sekitar 150 kDa dengan tingkat tinggi
urutan asam amino homologi antara toksin jenis. Rantai polipeptida terdiri dari berat
(H) rantai dan lampu (L) rantai sekitar 100 dan 50 kDa masing-masing, dihubungkan
oleh ikatan disulfida. Botulinum toxin neurotoxin kompleks juga dikaitkan dengan
berbagai protein beracun lainnya, yang juga mungkin memiliki sifat hemagglutinating
(Andiyani, dkk, 2010).
Agar lebih aman, sebelum dikonsumsi, makanan kaleng sebaiknya dimasak
dahulu pada temperature 100 derajat C selama beberapa menit karena toksin Cl.
Botulinum bersifat Thermolabil (tidak tahan panas). Pemberian obat quinidine
hidroklorida per oral dengan dosis 20-40 mg/kg berat badan dapat mengurangi
terjadinya Neoromuscularblok, di samping perawatan yang baik juga sangat
bermanfaat dalam pengobatan batulisme (Andiyani, dkk, 2010.

Gejala
Gejala penyakit berbeda dengan kasus Bacterial Food Poisoning yang lain
karena eksotoksin bekerja pada system saraf parasimpatik. Gejala Gastrointestinal
yang ditimbulkan ringan walau ada beberapa gejala yang tampak dominan, seperti
Disfagia, Diplopia, Ptosis, Disarthria, kelemahan pada otot dan terkadang
Quadriplegia, walau demam biasa tidak ada, penyakit ini dapat menyebabkan
penurunan kesadaran dan berakibat fatal. Kematian terrjadi dalam waktu 4-8 hari
akibat kegagalan pernapasan atau jantung (Andiyani, dkk, 2010).
Gejala klasik dari botulism termasuk penglihatan ganda, penglihatan kabur,
kelopak mata terkulai, cadel bicara, kesulitan menelan, mulut kering, dan kelemahan
otot. Bayi dengan botulisme tampil lesu, makan buruk, mengalami konstipasi, dan
memiliki tangisan yang lemah dan otot miskin. Ini semua adalah gejala kelumpuhan
otot yang disebabkan oleh toksin bakteri. Jika tidak diobati, gejala-gejala ini dapat
berkembang menjadi menyebabkan kelumpuhan otot-otot pernapasan, lengan, kaki,
dan bagasi. Dalam foodborne botulism, gejala umumnya mulai 18 hingga 36 jam
setelah makan makanan yang terkontaminasi, tetapi mereka dapat terjadi sedini 6 jam
atau hingga akhir 10 hari (CDC, 2010).
3. Mycotocsin
Penyebab
Diproduksi oleh :
a. A.flavus, A.parasiticus: aflatoksin
b. A.nidulans, A.vesicolor: sterigmatocystin
c. Penisilliumviridicatum: ochratoksin
Resistant terhadap panas

Gejala
Menimbulkan gejala imunosupresif pada berbagai hewan dan manusia

C. Cara Pencegahan
1. Staphylococcus Food Poisoning
Pencegahan
Hal ini penting untuk mencegah kontaminasi makanan dengan
Staphylococcus sebelum toksin dapat diproduksi (CDC, 2006):
a) Cuci tangan dan di bawah kuku keras dengan sabun dan air sebelum menangani
dan menyiapkan makanan.
b) Jangan menyiapkan makanan jika Anda memiliki hidung atau infeksi mata.
c) Jangan mengolah atau menyajikan makanan untuk orang lain jika Anda
memiliki luka atau infeksi kulit di tangan Anda atau pergelangan tangan.
d) Jauhkan dapur dan makanan daerah-melayani bersih dan disterilkan.
e) Jika makanan akan disimpan lebih dari dua jam, menjaga makanan panas panas
(lebih dari 140 ° F) dan makanan dingin dingin (40 ° F atau di bawah).
f) Toko makanan yang dimasak dalam lebar, wadah dangkal dan dinginkan secepat
mungkin.

2. Botulism
Pencegahan
Banyak kasus botulisme dapat dicegah . Botulisme telah sering dari
makanan kalengan rumah dengan kandungan asam rendah, seperti asparagus,
kacang hijau, bit, dan jagung dan disebabkan oleh kegagalan untuk mengikuti
metode pengalengan yang tepat . Namun, sumber yang tampaknya tidak mungkin
atau tidak biasa ditemukan setiap dekade , dengan masalah umum penanganan yang
tidak tepat selama pembuatan , eceran , atau oleh konsumen ; beberapa contoh yang
cincang bawang putih dalam minyak , kaleng saus keju , paprika chile , tomat , jus
wortel , dan kentang panggang dibungkus foil (CDC, 2010).
Di Alaska, botulisme bawaan makanan disebabkan oleh fermentasi ikan dan
makanan permainan air lainnya . Orang yang melakukan pengalengan rumah harus
mengikuti prosedur higienis yang ketat untuk mengurangi kontaminasi makanan ,
dan hati-hati mengikuti petunjuk pada safe rumah pengalengan termasuk
penggunaan Canners tekanan / kompor seperti yang direkomendasikan melalui
penyuluhan kabupaten atau dari Departemen Pertanian AS . Minyak diresapi dengan
bawang putih atau bumbu harus didinginkan . Kentang yang telah dipanggang
sementara dibungkus dalam aluminium foil harus disimpan panas sampai disajikan
atau didinginkan . Karena toksin botulinum dihancurkan oleh suhu tinggi, orang
yang mengonsumsi makanan kalengan rumah harus mempertimbangkan merebus
makanan selama 10 menit sebelum makan untuk memastikan keamanan (CDC,
2010).
Pendidikan publik tentang pencegahan botulisme merupakan kegiatan yang
sedang berlangsung. Informasi tentang pengalengan yang aman secara luas tersedia
untuk konsumen (CDC, 2010).

Penanggulangan
Luka botulism dapat dicegah dengan segera mencari perawatan medis untuk
luka yang terinfeksi dan dengan tidak menggunakan narkoba suntik . Sebagian besar
kasus botulisme pada bayi tidak dapat dicegah karena bakteri yang menyebabkan
penyakit ini adalah dalam tanah dan debu . Bakteri dapat ditemukan di dalam rumah
di lantai , karpet , dan meja bahkan setelah dibersihkan. Madu bisa mengandung
bakteri yang menyebabkan botulisme pada bayi begitu , anak-anak berusia kurang
dari 12 bulan tidak boleh diberi makan madu . Madu aman bagi orang usia 1 tahun
dan lebih tua (CDC, 2010).
Orang di departemen kesehatan negara bagian dan di CDC memiliki
pengetahuan tentang botulisme dan tersedia untuk berkonsultasi dengan dokter 24
jam sehari. Jika antitoksin diperlukan untuk mengobati pasien, dapat dengan cepat
dikirim ke dokter mana saja di negara ini. Diduga wabah botulisme dengan cepat
diselidiki, dan jika mereka melibatkan produk komersial, tindakan pengendalian
yang tepat dikoordinasikan antara kesehatan masyarakat dan badan pengatur.
Dokter harus segera melaporkan kasus dugaan botulisme ke departemen kesehatan
negara mereka (CDC, 2010).

3. Mycotoxin
Pencegahan
Pencegahan yang dapat dilakukan adalah :
a. Pengemasan anaerob
b. Penurunan aw sampai 0.6
c. Pembekuan
d. Mencegah pertumbuhan jamur dengan pengawet

D. Proses dalam tubuh


1. Staphylococcus Aureus
Yang umumnya terdapat pada lipatan kulit seperti perineum dan aksila serta
berada di nares anterior.Staphylococcus Aureus juga dapat membentuk koloni
pada luka yang kronis, seperti eksin,varises,dan ulkus decubitus.MRSA memiliki
cara penyebaran yang sama dengan strain staphylococcus lain yang sensitive
(Royal college of nursing,2005).

2. Mycotocsin
Salah satunya jenis dari Mycotocsin yaitu alflatoksin,aflatoksin tersebut AFB1
memiliki efek toksik yang paling tinggi.Mikotoksin ini bersifat karsinogenik,
hepatatoksik dan metagenik sehingga menjadi perhatian badan kesehatan dunia
(WHO) dan dikategorikan sebagai karsinogenik golongan 1A.Selain itu, aflatoksin
juga bersifat immunosuppresif yang dapat menurunkan system kekebalan tubuh.
3. Botulisme
Dalam makanan kaleng oksigen hanya ada dalam jumlah sangat sedikit sehingga
ketika bakteri C.botulinum masuk maka racun akan dihasilkan. Racun yang
dihasilkan akan termakan manusia saat makanan kaleng dikonsumsi.Jenis bakteri
ini termasuk yang tahan terhadap panas, tidak mati kalau dimasak , apalagi kalau
makanan kaleng langsung dikonsumsi dikonsumsi tanpa dimasak ulang. Kondisi
yang dialami karena keracunan makanan umumnya langsung pada kelumpuhan
syaraf otak dan tulang belakang.
KESIMPULAN
 Foodborne intoxication adalah penyakit yang disebabkan oleh menelan racun yang
berasal dari jaringan tumbuhan atau hewan, produk metabolisme mikroorganisme
dalam makanan, atau bahan kimia yang ditambahkan ke makanan sengaja, kebetulan,
atau sengaja pada setiap titik dari rantai makanan (Braeunig, 2008).
 Food borne disease adalah penyakit akibat makanan yang terkontaminasi oleh
mikroorganisme atau racun. Makanan yang telah terkontaminasi oleh mikroorganisme
atau racun masuk ke dalam tubuh melalui proses pencernaan yang dapat
menyebabkan penyakit, seperti syndrome gastrointestinal atau gejala neurologic.
 Disebabkan oleh patogen yang ditularkan makanan, bersifat infeksius dan
menghasilkan toksin. Untuk mencegah dan mengendalikan cara disenfektan atapun
pemblansiran. Sedangkan untuk menanggulanginya diagnosa penyebabnya melalui
pemeriksaan laboratorium dan lakukan perawatan sesuai dengan penyebabnya.
DAFTAR PUSTAKA

Andini, L., Hasyim, W., dan Sawotongm F. 2010. Keracunan Makanan. Makalah.

Braeunig, Juliane. 2008. Foodborne Infections, Intoxications, and Zoones. Risiken Arkennan-
Gasundalt Schutzen.

Boyer, Renee dan McKinney, J. 2012. Common Foodborne Pathogen: Staphylococcus


Aureus. Food Science & Technology, Virginia Tech; Julie McKinney.
http://pubs.ext.vt.edu/2910/2910-7032/2910-7032.html. Diakkses pada tanggal 7 Maret
2014.
Center for Diseases Control and Prevention. 2006. Staphylococcal Food Poisoning. National
Center for Immunization and Respiratory Diseases: Division of Bacterial Diseases:
Spanish.

Center for Diseases Control and Prevention. 2010. Botulism. Centers for Disease Control and
Prevention   1600 Clifton Rd. Atlanta, GA 30333: USA.

Nigam, A dan Nigam, P.K. 2010. Botulinum Toxin.


http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2856357/. Diakkses pada tanggal 7
Maret 2014.

Yahya, Racdian. 2012. Mengenal Toksikologi kakanan.


http://www.dheanbj.com/2012/11/apa-itu-toksikologi-makanan.html. Diakses pada
tanggal 7 Maret 2014.
Healthy Tadulako Journal (Herman, Muh. Ryman, & Sherlina : 1-14)
www.mhcs.health.nsw.gov.au/../pdf/publication-pdfs/diseases-and.../doh-7120-ind.
Widyastuti, Palupi (ed). 2002. Penyakit Bawaan Makanan: Fokus Pendidikan Kesehatan. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran ECG.

Anda mungkin juga menyukai