Oleh:
Nama: Sandra Ayu Cantika
NPM: 240120180505
1. Pendahuluan
Dua krisis besar yang sedang melanda dunia saai ini adalah krisis pangan dan
krisis energi. Krisis energi dipicu oleh kian menipisnya energi yang berasal dari
bahan bakar fosil, sedangkan krisis pangan dipicu oleh fenomena pemanasan global
dan tidak meratanya distribusi pangan. Kebutuhan pangan merupakan penggerak
esensial roda perekonomian masyarakat dunia sehingga ketika isu perubahan iklim
mencuat, hal tersebut menimbulkan kekhawatiran tersendiri pada persoalan
ketahanan pangan.
Untuk menghadapi krisis tersebut dibutuhkan komoditi alternatif untuk
diversifikasi baik bahan pangan maupun bahan energi. Indonesia memiliki potensi
pangan lokal yang luar biasa besar akan tetapi walaupun stok pangan
banyaktersedia, potensi tersebut belum termanfaatkan dengan baik. Indonesia
masih banyak melakukan impor untuk bahan-bahan makanan pokok, padahal impor
tersebut seharusnya dapat ditekan, bahkan ditiadakan dengan cara lebih
mengoptimalkan potensi sumber pangan lokal yang ada di Indoensia. Ini dapat
digolongkan sebagai salah satu faktor utama yang menyebabkan kegiatan dalam
ketahanan pangan menjadi tidak maksimal. Fenomena tersebut kemudian
berdampak pada tidak stabilnya ketahanan pangan negara Indonesia. Ubi kayu,
jagung, sagu, kelapa sawit, jarak pagar, sebenarnya sangat potensial digunakan baik
untuk diversifikasi pangan dan energi maupun hanya energi.
Pembangunan selayaknya harus mengenali karakter sumber daya alam
lingkungan agar dapat dikelola dengan tepat bagi kelanjutan hidup manusia
sekarang dan di masa mendatang. Sumber daya lingkungan bukan objek eksploitasi
melainkan potensi yang harus dikelola dan dirawat agar tetap menjalankan
fungsinya selaku penopang kehidupan manusia. Di dalam memanfaatkan kekayaan
lingkungan secara baik, efisien, dan efektif maka semestinya kita mengenal lebih
teliti karakter sumber daya alam tersebut agar pemanfaatan potensi kekayaan alam
yang ada dapat tepat sasaran dan berkesinambungan demi keberlanjutan
pembangunan.
Akan tetapi, masalah yang saat ini ada adalah perhatian pemerintah dan
masyarakat terhadap pengembangan potensi pangan lokal masih sangatlah kurang,
seringkali sudah muncul tetapi lebih banyak dalam seminar dan lokakarya serta
pernyataan-pernyataan yang menjanjikan tetapi tidak berlanjut dalam
implementasi. Hal ini mungkin disebabkan baik pemerintah maupun masyarakat
dalam berbagai profesi belum terlalu menyadari bagaimana pentingnya
pengembangan potensi pangan lokal untuk mewujudkan ketahanan pangan nasional
untuk kedepannya.
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk menggali lebih dalam dan
mengkaji potensi diversifikasi pangan berbasis potensi lokal yang ada di Indonesia
untuk solusi terwujudnya ketahanan pangan nasional. Ruang lingkup dari makalah
ini adalah mengenai potensi pangan lokal yang ada di Indonesia dan strategi
pengoptimalan potensi tersebut dalam mewujudkan ketahanan pangan nasional.
Gambar 1. Comro
(Sumber: Nurmilawati, 2011)
Combro atau kadang disebut comro atau gemet merupakan makanan khas
dari Jawa Barat. Combro terbuat dari parutan singkong yang dibentuk bulat yang
bagian dalamnya diisi dengan sambal oncom kemudian digoreng, karena itulah
dinamai combro yang merupakan kependekan dari oncom di jero (bahasa Sunda).
Namun nama tradisionalnya combro bukan comro).
2) Tiwul
Gambar 2. Tiwul
(Sumber: Nurmilawati, 2011)
Tiwul adalah makan pokok pengganti beras yang terbuat dari ketela pohon
atau singkong. Penduduk Wonosobo, Gunung Kidul, Wonogiri, Pacitan dan Blitar
dikenal mengonsumsi jenis makananini sehari-hari.
Tiwul dibuat dari gaplek. Sebagai makanan pokok, kandungan kalorinya
lebih rendah daripada beras namun cukupmemenuhi sebagai bahan makanan
pengganti beras. Tiwul dipercaya mencegah penyakit maag, perut keroncongan,
dan lain sebagainya. Tiwul pernah digunakan untuk makanan pokok sebagian
penduduk Indonesia pada masa penjajahan Jepang dan sekarang tiwul dibuat jadi
tiwul instan. Dari Kebumen, Banyumas dan Cilacap dikenal makanan serupa yang
disebut oyek. Meskipun sama-sama berasal dari gaplek, kedua jenis makanan ini
berbeda dalam proses pembuatannya, sehingga rasanya pun sedikit berbeda.
3) Getuk
Gambar 3. Getuk
(Sumber: Nurmilawati, 2011)
Getuk (bahasa Jawa: gethuk) adalah makanan ringan yang terbuat dengan
bahan utama ketela pohon atau singkong. Getuk merupakan makanan yang mudah
ditemukan di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Pembuatan getuk dimulai dari
singkong dikupas kemudian kukus atau perebusan, setelah matang kemudian
ditumbuk atau dihaluskan dengan cara digiling lalu diberi pemanis gula
dan pewarna makanan. Untuk penghidangan biasanya ditaburi dengan parutan
buah kelapa.
Getuk dikenal ada dua macam. Getuk pada saat singkong yang sudah
masak pada waktu suhu masih panas ditaburi potongan-potongan kecil gula jawa
sehingga berwarna coklat tidak merata tumbukan getuk ini bentuknya kasar. Getuk
lindri, adalah dengan cara singkong masak digiling halus dengan gula pasir,
dibubuhi pewarna makanan dan vanili dan setelah itu dicetak kecil-kecil
memanjang dan dirapatkan memanjang ini serupa dengan mie hingga berbentuk
memajang dengan ketebalan sekitar 2cm lebar 4cm, setelah itu dipotong-potong
berbentuk panjang sekitar 5cm dan lebar 4cm.
4) Misro
Gambar 4. Misro
(Sumber: Nurmilawati, 2011)
Misro adalah makanan khas dari Jawa Barat yang terbuat dari
parutan singkong yang bagian dalamnya diisi dengan gula merah kemudian
digoreng, karena itulah dinamai Misro yang merupakan kependekan dari amis
di jero (bahasa Sunda, artinya: manis di dalam). Bentuknya bulat dan makanan ini
enak disantap saat hangat.
5) Sawut
Gambar 5. Sawut
(Sumber: Nurmilawati, 2011)
Sawut adalah salah satu makanan atau jajanan tradisional yang terbuat dari
bahan singkong yang diparut kasar dan diberi campuran gula merah serta ditaburi
kelapa parut. Rasa sawut yang enak, manis, dan lezat membuat jajanan ini banyak
disukai oleh semua lapisan masyarakat Indonesia. Kue sawut ini adalah salah satu
kudapan dari Jawa Tengah.
3. Penutup
Pada tahap awal, perlu adanya gerakan-gerakan nyata untuk mewujudkan
ketahanan pangan berbasis kearifan lokal ini. Beberapa langkah jangka pendek
yang dapat dilakukan antara lain adalah sebagai berikut. Dengan menghentikan
kebijakan beras raskin. Beras raskin akan membuat masyarakat cenderung selalu
mengandalkan beras dan tidak mau beralih ke produk pangan yang lain, jadi
pengurangan jatah beras raskin ini kemudian diikuti dengan menghentikan
kebijakan beras raskin akan sangat membantu sebagai solusi jangka pendek.
Kemudian mengembangkan pasar produk-produk pangan lokal di kota-kota
provinsi, kabupaten, dan kecamatan juga menjadi salah satu solusi. Dengan
berkembangnya produk-produk pangan lokal di daerah-daerah, otomatis
masyarakat akan melihat peluang usaha dan cenderung akan tergerak untuk ikut
mengembangkan produk lokal yang ada di daerahnya.
Sosialisasi produk lokal sebagai diversifikasi makanan pokok dan
keunggulannya di kota-kota secara berkelanjutan, sosialisasi sangatlah penting
dalam turut serta membentuk pola pikir masyarakat akan perlunya langkah
diversifikasi makanan pokok dengan makanan lokal dan keunggulan produk lokal
yang ada. Selanjutnya adalah membiasakan memanfaatkan makanan lokal dan
penganan lokal pada acara-acara kedinasan maupun acara dalam keluarga. Semua
solusi hanya akan menjadi wacana belaka apabila pelaksanaannya tidak ada,
langkah yang paling mudah dilakukan adalah dengan membiasakan memanfaatkan
makanan lokal pada acara-acara keluarga maupun kedinasan, dengan semua pihak
memanfaatkan produk lokal maka derajat produk lokal juga akan semakin
meningkat sehingga pengembangan selanjutnya akan semakin mudah.
Setelah langkah-langkah jangka pendek terlaksana secara berkelanjutan,
perlu juga langkah jangka panjang yang harus dilakukan. Beberapa langkah yang
dapat dilakukan adalah sebagai berikut.
a. Meningkatkan mutu produk pangan (dalam aspek nilai gizi, cita rasa,
penampilan produk, keamanan pangan, dan kemasan).
b. Mengembangkan alternatif aneka produk pangan.
c. Peningkatan kualitas sumber daya manusia pedesaan di daerah penghasil
komoditas dalam hal pengolahan, promosi, dan pemasaran produk.
d. Mengembangkan jaringan pemasaran melalui kegiatan kemitraan antara
petani dengan pihak-pihak yang terkait dalam kegiatan pemasaran (toko,
warung, distributor).
e. Gerakan konsumsi pangan lokal yang sinergi dengan kebijakan dan promosi
pengembangan pangan lokal baik pada industri jasa makanan (hotel dan
restoran) maupun pada toko-toko, warung, dan distributor.
Hal-hal pendukung yang dapat dilakukan untuk mewujudkan pemanfaatan
kearifan dan potensi pangan lokal untuk ketahanan pangan antara lain adalah
dengan menjaga ketersediaan pangan sesuai potensi wilayah masing-masing,
mengembangkan kerja sama jaringan dan informasi pangan lokal dalam daerah dan
antardaerah, upaya diversifikasi konsumsi pangan, serta meningkatkan motivasi
masyarakat dalam penyelenggaraan ketahanan pangan berbasis kearifan lokal.
Potensi pangan lokal di Indonesia semuanya harus digali dan dikembangkan.
Tumbuhan yang sesuai dengan kondisi lingkungan dan lahan pada wilayah tertentu
diolah dan dikembangkan, dan tumbuhan yang sudah berkembang sesuai
ekosistemnya dan mempunyai nilai produksi pada suatu wilayah harus tetap diolah
dan dikembangkan pada wilayah itu. Apabila hal tersebut dapat dikembangkan
maka kekayaan alam yang ada di Indonesia dapat berkembang sesuai karakter
wilayahnya masing-masing dan akan memperkaya keanekaragaman pangan secara
nasional.
Sentra produksi padi tidak dapat dipaksakan ada di mana-mana walaupun
saat ini padi merupakan makanan pokok masyarakat Indonesia. Dengan kondisi
curah hujan yang beragam, pewilayahan komoditas dapat dilakukan sehingga setiap
daerah dapat menghasilkan komoditas yang berbeda dalam waktu berbeda.
Ketahanan pangan ini bisa dicapai jika daerah memaksimalkan potensi pangan
masing-masing. Setiap daerah bisa mengembangkan pangan khas lokal yang bisa
dijadikan identitas dan kekuatan lokal yang luar biasa. Merujuk pada pengalaman
di Amerika Serikat, yang memberi identitas untuk masing-masing negara bagian
dengan potensi lokal, seperti Florida yang disebut orange state, Georgia sebagai
peach state, dan Wisconsin sebagai American dairy land. Tidak menutup
kemungkinan hal tersebut juga dapat diterapkan di Indonesia, bahkan
kemungkinannya sangat besar mengingat potensi produk khas daerah di Indonesia
sangatlah beragam jauh lebih besar apabila dibandingkan dengan Amerika. Bahkan,
pangan Indonesia tergolong unik dan jenisnya lebih beragam. Sehingga langkah ini
sangat potensial untuk dijadikan referensi.
Sekalipun demikian, sumber daya tersebut masih perlu untuk terus
dikembangkan. Perlu juga dikemas dengan memerhatikan kecenderungan pasar.
Hal ini karena baik pasar lokal maupun luar negeri terus menuntut kemampuan daya
saing dari produk pangan nasional.
Upaya ketahanan pangan berbasis kearifan lokal di daerah akan memperkaya
komoditas pangan di Indonesia, sekaligus turut mendorong kemandirian pangan
pada tingkat lokal maupun nasional pada masa yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
Direktorat Jenderal Perkebunan. 2010. Cetak Biru Road Map Swasembada Gula
Nasional 2010-2014. Jakarta: Kementerian Pertanian.
Food Review Referensi Industri & Teknologi Pangan Indonesia Volume VI No. 10
Oktober 2011.
Louhenapessy, J.E. dkk. 2010. Sagu: Harapan Dan Tantangan. Jakarta: Bumi
Aksara.