Anda di halaman 1dari 7

Kasus Pelanggaran Kode Etik Insinyur

1. Blow Out Lumpur Lapindo

Pada awalnya sumur tersebut direncanakan hingga kedalaman 8500 kaki (2590 meter)
untuk mencapai formasi Kujung (batu gamping). Sumur tersebut akan dipasang selubung bor
(casing) yang ukurannya bervariasi sesuai dengan kedalaman untuk mengantisipasi potensi
circulation loss (hilangnya lumpur dalam formasi) dan kick (masuknya fluida formasi tersebut ke
dalam sumur) sebelum pengeboran menembus formasi Kujung.

Sesuai dengan desain awalnya, Lapindo “sudah” memasang casing 30 inchi pada
kedalaman 150 kaki, casing 20 inchi pada 1195 kaki, casing (liner) 16 inchi pada 2385 kaki dan
casing 13-3/8 inchi pada 3580 kaki (Lapindo Press Rilis ke wartawan, 15 Juni 2006). Ketika
Lapindo mengebor lapisan bumi dari kedalaman 3580 kaki sampai ke 9297 kaki, mereka
“belum” memasang casing 9-5/8 inchi yang rencananya akan dipasang tepat di kedalaman batas
antara formasi Kalibeng Bawah dengan Formasi Kujung (8500 kaki).

Diperkirakan bahwa Lapindo, sejak awal merencanakan kegiatan pemboran ini dengan
membuat prognosis pengeboran yang salah. Mereka membuat prognosis dengan mengasumsikan
zona pemboran mereka di zona Rembang dengan target pemborannya adalah formasi Kujung.
Padahal mereka membor di zona Kendeng yang tidak ada formasi Kujung-nya. Alhasil, mereka
merencanakan memasang casing setelah menyentuh target yaitu batu gamping formasi Kujung
yang sebenarnya tidak ada. Selama mengebor mereka tidak meng-casing lubang karena kegiatan
pemboran masih berlangsung. Selama pemboran, lumpur overpressure (bertekanan tinggi) dari
formasi Pucangan sudah berusaha menerobos (blow out) tetapi dapat di atasi dengan pompa
lumpurnya Lapindo (Medici).

Setelah kedalaman 9297 kaki, akhirnya mata bor menyentuh batu gamping. Lapindo
mengira target formasi Kujung sudah tercapai, padahal mereka hanya menyentuh formasi Klitik.
Batu gamping formasi Klitik sangat porous (bolong-bolong). Akibatnya lumpur yang digunakan
untuk melawan lumpur formasi Pucangan hilang (masuk ke lubang di batu gamping formasi
Klitik) atau circulation loss sehingga Lapindo kehilangan/kehabisan lumpur di permukaan.

Akibat dari habisnya lumpur Lapindo, maka lumpur formasi Pucangan berusaha
menerobos ke luar (terjadi kick). Mata bor berusaha ditarik tetapi terjepit sehingga dipotong.
Sesuai prosedur standard, operasi pemboran dihentikan, perangkap Blow Out Preventer (BOP) di
rig segera ditutup & segera dipompakan lumpur pemboran berdensitas berat ke dalam sumur
dengan tujuan mematikan kick.

Kemungkinan yang terjadi, fluida formasi bertekanan tinggi sudah terlanjur naik ke atas
sampai ke batas antara open-hole dengan selubung di permukaan (surface casing) 13 3/8 inchi.
Di kedalaman tersebut, diperkirakan kondisi geologis tanah tidak stabil & kemungkinan banyak
terdapat rekahan alami (natural fissures) yang bisa sampai ke permukaan. Karena tidak dapat
melanjutkan perjalanannya terus ke atas melalui lubang sumur disebabkan BOP sudah ditutup,
maka fluida formasi bertekanan tadi akan berusaha mencari jalan lain yang lebih mudah yaitu
melewati rekahan alami tadi & berhasil. Inilah mengapa surface blowout terjadi di berbagai
tempat di sekitar area sumur.

Kasus lumpur Lapindo menunjukkan ketiadaan etika rekayasa yang merupakan salah satu
kode etik engineer. Dalam proses perencanaan dan pelaksanaan pengeboran di Sidoarjo
kebanyakan ahli hanya berpikir kaku yang hanya berorientasi pada kebutuhan industri tanpa
pernah peduli implikasi dari teknologi yang mereka gunakan di masyarakat. Mereka yang
awalnya bertujuan untuk menyejahterakan masyarakat malah sebaliknya menyusahkan
masyarakat dan juga menyulitkan pemerintah karena banyaknya dana yang harus ditanggung
oleh pemerintah. Ketiadaan etika rekayasa adalah salah satu faktor yang mesti menjadi pelajaran
penting agar kasus seperti lumpur Lapindo tidak terulang kembali.

2. Runtuhnya Rukan Cendrawasih, Samarinda (Juni 2014)

Bangunan rumah kantor (Rukan) tiga lantai yang terletak di kompleks Cendrawasih
Permai, Jl. Ahmad Yani, Kecamatan Sungai Pinang Kota Samarinda Kalimantan Timur runtuh
pada tanggal 3 Juni 2014 saat masih dalam proses pengerjaan yang menyebabkan 12 pekerjanya
tewas. Bangunan ini memiliki lebar 25 m dan panjang 100 m dengan biaya konstruksi senilai
kurang lebih 15 Milyar rupiah.

Keruntuhan Bangunan

Dari observasi yang dilakukan penyebab keruntuhan bangunan ini sangatlah kompleks
diantaranya:
 Pertama, Kegagalan pondasi. Hal ini didasarkan keterangan bahwa pengerjaan
pengerukan lahan sampai lantai 1 selesai dikerjakan hanya memerlukan waktu enam
bulan. Padahal kondisi tanah eksisting adalah rawa dan merupakan tanah lempung
sehingga memerlukan waktu lama untuk terkonsolidasi jika tanpa penanganan khusus
seperti vertical drain.
 Kedua, Kegagalan Struktur Utama. Struktur utama yang dimaksud adalah balok- kolom.
Hal ini didasarkan fakta bahwa pekerja sempat diminta untuk mengecek kolom yang
retak di lantai 2. Meskipun tidak ada data detail mengenai dimensi dan lokasi keretakan
akan tetapi hal ini seharusnya telah menjadi indikasi awal bahwa ada masalah dengan
struktur yang sedang dibangun. Apalagi apabila didasarkan pada filosofi desain struktur
yang benar yaitu “strong column- weak beam” yang artinya kolom tidak boleh
mengalami kegagalan struktur terlebih dahulu daripada balok. Kegagalan kolom ini
sendiri diduga karena adanya deviasi antara perencanaan dan pelaksanaan dimana
kontraktor mengurangi dimensi kolom dan jumlah tulangan yang dipakai.
 Ketiga, Kesalahan sistem perancah pengecoran lantai. Penyebab awal keruntuha adalah
lantai 3 yang sedang dikerjakan secara tiba- tiba roboh. Selain karena kolom yang
mengalami kegagalan, maka sistem perancah yang dipakai juga patut dicurigai tidak
dirancang dengan benar. Dari dokumentasi yang ada terlihat bahwa sistem perancah yang
digunakan menggunakan scafolding besi dan beberapa menggunakan kayu dolken.
Bekisting dan sistem perancah seharusnya didesain secara detail baik dalam desain
maupun metode pemasangannya. Inspeksi harus dilakukan secara ketat termasuk
pengecekan terhadap kekuatan beton yang telah dicor yang akan menopang perancah
tersebut.

Perancah dolken patah

 Keempat, organisasi proyek tidak benar. Proyek rukan ini diketahui tidak memiliki
konsultan perencana. Desain bangunan yang digunakan tidak diketahui darimana
dibuatnya. Pengawasan proyek ini pun hanya dilakukan oleh mandor dari pemborong.
 Kelima, adanya pengalihan pekerjaan secara serampangan. Kontraktor proyek rukan ini
semula PT. Firma Abadi yang beralamat di Surabaya menyerahkan sepenuhnya pekerjaan
kepada perseorangan/ individu yang merupakan pemborong berinisial NI yang beralamat
di Samarinda yang kemudian menyerahkan lagi kepada mandor yang berinisial S.
Pengalihan pekerjaan ini meliputi keseluruhan pekerjaan dan sama sekali tidak ada
pengawasan dari Kontraktor utama.
3. Runtuhnya Jembatan Mahakam II, Tenggarong (November 2011)

Jembatan yang merupakan tipe Gantung (Suspension Bridge) ini memiliki panjang total
710 m. Keruntuhan terjadi pada tanggal 26 November 2011 sekitar sepuluh tahun setelah
diresmikan.

Jembatan Tenggarong Runtuh

Identifikasi penyebab keruntuhan ini merupakan hasil investigasi yang dilakukan oleh tim
LPPM UGM pada tanggal 27 November 2011 (sehari setelah kejadian).
Berdasarkan fakta yang ditemukan di lapangan menunjukkan bahwa jatuhnya truss
jembatan beserta hangernya terjadi akibat kegagalan konstruksi pada alat sambung kabel
penggantung vertikal (clamps and sadle) yang menghubungkan dengan kabel utama.

Clamps and Sadle

Ada beberapa kemungkinan yang menyebabkan alat sambung ini mengalami kegagalan
diantaranya:
 Kurang baiknya perawatan jembatan yang menyebabkan konstruksi alat penggantung
kabel vertikal tidak berfungsi dengan baik dan tidak terdeteksi kemungkinan adanya
kerusakan dini.
 Kelelahan (fatigue) pada bahan konstruksi alat penggantung kabel vertikal akibat
kesalahan desain dalam pemilihan bahan atau sering terjadi kelebihan beban rencana
(over load) yang mempercepat proses terjadinya degradasi kekuatan.
 Kualitas bahan konstruksi alat sambung kabel penggantung ke kabel utama yang tidak
sesuai dengan spesifikasi dan standar perencanaan yang ditetapkan.
 Kesalahan prosedur dalam pelaksanaan perawatan konstruksi atau kesalahan dalam
menyusun standar operasional dan perawatan konstruksi yang direncanakan.
 Kemungkinan terjadinya penyimpangan kaidah teknik sipil dalam perencanaan karena
seharusnya konstruksi alat penyambung harusnya lebih kuat daripada kabel penggantung
yang disambungkan dalam kabel utama.
 Kesalahan desain dalam menentukan jenis bahan/ material untuk alat penyambung kabel
penggantung vertikal yang dibuat dari besi tuang/ cor (cas iron) atau kesalahan dalam
menentukan jenis atau kapasitas kekuatan alat tersebut.

4. Robohnya Jembatan Penghubung Gedung Perpustakan Daerah DKI


(November 2014)

Bangunan jembatan penghubung ini menghubungkan gedung Badan Perpustakaan dan


Arsip Daerah Provinsi DKI Jakarta. Keruntuhan terjadi pada tanggal 3 November 2014.

Jembatan Penghubung runtuh

Keruntuhan terjadi diakibatkan sistem perancah yang mengalami kegagalan. Scafolding


yang digunakan merupakan scafolding besi dengan kondisi yang sudah tidak layak pakai:
 Kondisi scafolding banyak yang sudah keropos dan ada beberapa yang sudah bolong.
 Pemasangan scafolding tidak dilengkapi dengan bracing, sehingga scafolding tidak stabil.
Adanya perlemahan scafolding yang tidak dihitung seperti adanya jalan akses untuk
kendaraan dibawah struktur yang sedang dibangun.
Scafolding bengkok

5. Kasus Etika Bisnis Indomie di Taiwan


Akhir-akhir ini makin banyak dibicarakan perlunya pengaturan tentang perilaku bisnis
terutama menjelang mekanisme pasar bebas. Dalam mekanisme pasar bebas diberi kebebasan
luas kepada pelaku bisnis untuk melakukan kegiatan dan mengembangkan diri dalam
pembangunan ekonomi. Disini pula pelaku bisnis dibiarkan bersaing untuk berkembang
mengikuti mekanisme pasar.
Dalam persaingan antar perusahaan terutama perusahaan besar dalam memperoleh
keuntungan sering kali terjadi pelanggaran etika berbisnis, bahkan melanggar peraturan yang
berlaku. Apalagi persaingan yang akan dibahas adalah persaingan produk impor dari Indonesia
yang ada di Taiwan. Karena harga yang lebih murah serta kualitas yang tidak kalah dari produk-
produk lainnya.
Kasus Indomie yang mendapat larangan untuk beredar di Taiwan karena disebut
mengandung bahan pengawet yang berbahaya bagi manusia dan ditarik dari peredaran. Zat yang
terkandung dalam Indomie adalah methyl parahydroxybenzoate dan benzoic acid (asam
benzoat). Kedua zat tersebut biasanya hanya boleh digunakan untuk membuat kosmetik, dan
pada Jumat (08/10/2010) pihak Taiwan telah memutuskan untuk menarik semua jenis
produk Indomie dari peredaran. Di Hongkong, dua supermarket terkenal juga untuk sementara
waktu tidak memasarkan produk dari Indomie.
Kasus Indomie kini mendapat perhatian Anggota DPR dan Komisi IX akan segera
memanggil Kepala BPOM Kustantinah. “Kita akan mengundang BPOM untuk menjelaskan
masalah terkait produk Indomie itu, secepatnya kalau bisa hari Kamis ini,” kata Ketua Komisi IX
DPR, Ribka Tjiptaning, di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (12/10/2010). Komisi IX
DPR akan meminta keterangan tentang kasus Indomie ini bisa terjadai, apalagi pihak negara luar
yang mengetahui terlebih dahulu akan adanya zat berbahaya yang terkandung di dalam produk
Indomie.
A Dessy Ratnaningtyas, seorang praktisi kosmetik menjelaskan, dua zat yang terkandung
di dalam Indomie yaitu methyl parahydroxybenzoate dan benzoic acid (asam benzoat) adalah
bahan pengawet yang membuat produk tidak cepat membusuk dan tahan lama. Zat berbahaya ini
umumnya dikenal dengan nama nipagin. Dalam pemakaian untuk produk kosmetik sendiri
pemakaian nipagin ini dibatasi maksimal 0,15%.
Ketua BPOM Kustantinah juga membenarkan tentang adanya zat berbahaya bagi
manusia dalam kasus Indomie ini. Kustantinah menjelaskan bahwa benar Indomie mengandung
nipagin, yang juga berada di dalam kecap dalam kemasam mie instan tersebut. tetapi kadar kimia
yang ada dalam Indomie masih dalam batas wajar dan aman untuk dikonsumsi, lanjut
Kustantinah.
Tetapi bila kadar nipagin melebihi batas ketetapan aman untuk di konsumsi yaitu 250 mg
per kilogram untuk mie instan dan 1.000 mg nipagin per kilogram dalam makanan lain kecuali
daging, ikan dan unggas, akan berbahaya bagi tubuh yang bisa mengakibatkan muntah-muntah
dan sangat berisiko terkena penyakit kanker.
Menurut Kustantinah, Indonesia yang merupakan anggota Codex Alimentarius
Commision, produk Indomie sudah mengacu kepada persyaratan Internasional tentang regulasi
mutu, gizi dan kemanan produk pangan. Sedangkan Taiwan bukan merupakan anggota Codec.
Produk Indomie yang dipasarkan di Taiwan seharusnya untuk dikonsumsi di Indonesia. Dan
karena standar di antara kedua negara berbeda maka timbulah kasus Indomie ini.
Pemimpin perusahaan ”INDOMIE” harus mengetahui dengan benar dan pasti komposisi
kandungan zat-zat yang ada dalam produk indomie tersebut. Agar tidak menimbulkan masalah
kesehatan khusus nya dapat menimbulkan penyakit kanker. Tidak hanya untuk produk eksport
saja, tetapi produk indomie yang beredar didalam negri harus dites dahulu kadar zat-zat yang
menguntungkan maupun merugikan bagi tubuh sang konsumen. Jika produk Indomie yang
dipasarkan di dalam negri sudah baik dan layak dikonsumsi oleh masyarakat barulah produk
tersebut boleh di pasarkan ke luar negri.

Anda mungkin juga menyukai