Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH IMUNOLOGI

“A REVIEW OF MICRONUTRIENTS AND THE IMMUNE SYSTEM”

DOSEN PEMBIMBING :

1. Dr. Eva Yunirtha,Sst,M,Biomed


2. dr. Linda Murni Thaufik, M.Kes
3. Neni Fitra Hayati, S. Sit,M.Kes

KELOMPOK 6 :
1. Aulia Rahma Putri (192210654)
2. Aynul Husna ( 192210655 )
3. Feby Aysah (192210661)
4. Qori Agustin (192210673)
5. Rara Rahmadini Liza (192210674)
6. Shinta Bela Pertiwi (192210681)
7. Sifa Zaujiah (192210682)

POLTEKKES KEMENKES RI PADANG


SARJANA TERAPAN GIZI DAN DIETETIKA IIA
2020/2021

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur senantiasa selalu kami panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan
limpahan rahmat, Taufik dan Hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah
ini. Shalawat serta salam tak lupa kami curahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah
menunjukkan jalan kebaikan dan kebenaran didunia dan akhirat kepada umat manusia.

Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah imunologi kami susun dengan segala
kemampuan kami dan semaksimal mungkin. Namun, kami menyadari bahwa dalam penyusunan
makalah ini tentu tidaklah sempurna dan masih banyak kesalahan serta kecurangan. Maka dari itu
kami sebagai penyusun makalah ini mohon kritik, saran, dan pesan dari semua yang membaca
makalah ini terutama dosen imunologi yang kami harapkan sebagai bahan koreksi untuk kelompok
kami.

2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...........................................................................................................................2

BAB I....................................................................................................................................................4

PENDAHULUAN.................................................................................................................................4

A. Latar Belakang........................................................................................................................4

B. Rumusan Masalah...................................................................................................................4

C. Tujuan Penulisan.....................................................................................................................5

D. Manfaat Penulisan...................................................................................................................5

BAB II...................................................................................................................................................6

PEMBAHASAN...................................................................................................................................6

A. Pengertian Mikronutrien dan Sistem Kekebalan Tubuh.....................................................6

B. Jenis-Jenis Mikronutrien........................................................................................................7

C. Mikronutrien Terintegrasi dengan Fungsi Kekebalan Tubuh.............................................9

D. Dampak Status Mikronutrien terhadap Respon Kekebalan Tubuh dan Risiko Infeksi. .17

E. Pengaruh Suplementasi terhadap Risiko Infeksi................................................................19

BAB III................................................................................................................................................23

PENUTUP...........................................................................................................................................23

A. KESIMPULAN......................................................................................................................23

B. SARAN...................................................................................................................................23

DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................................24

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Saat ini, masih banyak kondisi penyebab kematian pada anak yang menjadi tantangan
kita seperti infeksi virus maupun bakteri baik pada masa perinatal, postnatal, dan malnutrisi
54% masih terjadi. Hubungan nutrisi dan infeksi sangat besar di negara berkembang terutama
di negara kita, Indonesia. Infeksi dapat memperparah kondisi pasien malnutrisi karena adanya
peningkatan metabolisme seperti diare, muntah atau malabsorbsi. Sebaliknya jika anak
mengalami malnutrisi atau defisiensi mikronutrien dapat menyebabkan pertahanan tubuh
berkurang sehingga dapat menyebabkan terjadinya infeksi. Mikronutrien terdiri dari vitamin
dan mineral yang sangat berguna untuk berbagai fungsi dalam tubuh kita.
Secara umum, imunitas pada manusia dibagi dua yaitu alami dan buatan.Setiap tahap
respon kekebalan tubuh tergantung kehadiran mikronutrients tertentu, yang memiliki peran
sinergis berdasarkan bentuk tindakan saling melengkapi. Respon yang meradang
menjembatani kesenjangan antara kekebalan bawaan dan adaptif, dan diatur oleh vitamin A,
C, E, dan B6, Besi, seng, dan tembaga.Titik tangkap (site of action) mikronutrien dalam
sistem imun ada tiga yaitu: sebagai barier epitel (vitamin A, C, E dan zinc), imunitas selular
(Fe, asam folat, vitamin A, B6, B12, C, D, E, Selenium) dan untuk produksi antibodi (asam
folat, zinc, vitamin A, B6, B12, D, E, Selenium). Mikronutrients merupakan bagian integral
dari sistem kekebalan dan keterbatasannya dapat membuat sistem kekebalan tubuh menurun
dan orang menjadi lebih rentan terhadap infeksi. Maka dari itu, makalah ini disusun agar kita
dpat memahami betapa pentingnya mikronutrients untuk sistem imun tubuh dan bagaimana
penerapannya dalam kehidupan sehari-hari.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan mikronutrien dan sistem kekebalan tubuh?
2. Apa saja jenis-jenis mikronutrien?
3. Bagaimana proses terintegrasinya mikronutrien dengan fungsi kekebalan tubuh?
4. Bagaimana dampak status mikronutrien terhadap respon kekebalan tubuh dan resiko
infeksi?
5. Apa pengaruh suplementasi terhadap resiko infeksi?

C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui pengertian mikronutrien dan sistem kekebalan tubuh

4
2. Mengetahui jenis-jenis mikronutrien
3. Mengetahui proses terintegrasinya mikronutrien dengan fungsi kekebalan tubuh
4. Mengetahui dampak status mikronutrien terhadap respon kekebalan tubuh dan resiko
infeksi
5. Mengetahui pengaruh suplementasi terhadap resiko infeksi

D. Manfaat Penulisan
1. Bagi Pembaca
Dapat menambah wawasan pembaca untuk mengetahui lebih lanjut tentang peran
mikronutrients dalam sistem imun serta dapat mengaplikasikannya dalam kehidupan
sehari-hari.
2. Bagi Penulis
Dapat memperdalam pemahaman tentang materi melalui data-data dari berbagai referensi
dan dapat meningkatkan karya tulis berikutnya.

5
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Mikronutrien dan Sistem Kekebalan Tubuh

Zat gizi adalah senyawa dari makanan yang digunakan tubuh untuk fungsi fisiologis
normal. Definisi yang luas ini mencakup senyawa yang digunakan langsung untuk produksi
energi yang membantu dalam metabolisme (koenzim), untuk membangun struktur tubuh atau
untuk membantu dalam sel tertentu. Suatu zat gizi sangat penting untuk organisme dalam
kelangsungan siklus hidup dan terlibat dalam fungsi organisme.

Berdasarkan jumlah yang dibutuhkan oleh tubuh, zat gizi terbagi ke dalam dua golongan,
yaitu makronutrien dan mikronutrien. Dalam pembahasan ini kita akan membahas mengenai
Mikronutrien. Mikronutrien adalah komponen yang diperlukan agar mikronutrien dapat
berfungsi dengan baik. Mikronutrien dibutuhkan dalam jumlah kecil atau sedikit, tetapi ada di
dalam makanan. Mikronutrien terdiri atas mineral dan vitamin. Mikronutrienmenggunakan satuan
miligram (mg) untuk sebagian besar mineral dan vitamin.

Sistem Kekebalan Tubuh/Sistem Imunitas adalah sistem pertahanan atau kekebalan


tubuh yang memiliki peran dalam mengenali dan menghancurkan benda-benda asing atau sel
abnormal yang merugikan tubuh. Sistem imun tidak memiliki tmepat khusus di tubuh dan tidak
dikontrol oleh otak,dll.

Imunitas adalah kemampuan tubuh untuk melawan hampir semua organisme atau toksin
yang masuk ke jaringan atau organ (Syaifuddin, 2011).

Imunitas juga berupa reaksi yang terjadi antara antigen-antibodi. Antigen dapat berupa
benda asing, pada umumnya adalah mikroorganisme, beberapa jenis obat, protein hewani dan
nabati, termasuk serbuk sari dan jaringan asing, seperti pada transplantasi organ (Watson,2011).

Jadi dapat disimpulkan bahwa sistem pertahanan/kekebalan tubuh (sistem imun)


adalah sistem pertahanan yang berperan dalam mengenal, menghancurkan, dan menetralkan
benda-benda asing atau sel abnormal yang berpotensi merugikan bagi tubuh. Mekanisme
pertahanan tubuh manusia meliputi pertahanan tubuh bawaan (pertahanan non-spesifik) dan
pertahanan adaptif (pertahanan spesifik).

6
B. Jenis-Jenis Mikronutrien

Di bawah ini adalah beberapa mikronutrien penting yang saat ini terkait dengan masalah
kesehatan masyarakat, yaitu:

1) Vitamin

Berdasarkan sifatnya vitamin dibedakan menjadi dua jenis, yaitu vitamin yang larut dalam air
dan vitamin yang larut dalam lemak. Vitamin larut air terdiri dari vitamin B dan vitamin C,
sedangkan vitamin larut lemak terdiri dari vitamin A, vitamin D, vitamin E, dan vitamin K.

 Vitamin A baik untuk kesehatan mata, kulit, dan daya tahan tubuh. Makanan yang
mengandung vitamin A adalah wortel, brokoli, dan bayam.
 Vitamin B memiliki peranan yang cukup penting di dalam tubuh. Sayangnya, tubuh tidak
dapat memproduksi vitamin B sehingga tubuh memerlukan asupan vitamin B dari
pengonsumsian makanan atau suplemen vitamin B. Umumnya, vitamin B diperlukan
untuk mendorong reaksi kimia yang memerankan peranan penting untuk menjalankan
fungsi tubuh.Makanan yang mengandung vitamin B adalah daging, susu, dan kacang
hijau.
 Vitamin C baik untuk daya tahan tubuh dan bisa menyembuhkan sariawan. Makanan
yang mengandung vitamin C di antaranya jeruk, tomat, dan stroberi.
 Vitamin D baik untuk kesehatan tulang dan gigi. Makanan yang mengandung vitamin D
di antaranya olahan susu, kacang-kacangan, dan telur.
 Vitamin K baik untuk membantu proses pembekuan darah. Makanan yang mengandung
vitamin K umumnya berasal dari sayur-sayuran hijau seperti sawi, kangkung, dan bayam.
 Vitamin E baik untuk menjaga kesehatan kulit. Makanan yang mengandung vitamin E di
antaranya alpukat dan kacang-kacangan.

2) Mineral

Mineral adalah zat gizi mikro yang memiliki peran penting dalam proses metabolisme tubuh.
Berdasarkan kebutuhan dan kesediaannya dalam tubuh, mineral dibagi menjadi dua jenis yaitu
mineral makro dan mineral mikro.

Mineral makro diperlukan tubuh ≥ 100 mg/hr, terdiri dari kalsium dan fosfor yang baik untuk
pembentukan tulang dan gigi. Selain itu, mineral makro juga dapat membantu proses pembekuan
darah. Makanan yang mengandung mineral makro di antaranya susu, keju, dan alpukat.

Sedangkan mineral mikro diperlukan tubuh < 100 mg/hari, terdiri dari zat besi yang berfungsi
meningkatkan kemampuan belajar, membantu sistem kekebalan tubuh, dan menyalurkan oksigen

7
ke seluruh tubuh. Makanan yang mengandung mineral mikro adalah hati, telur, kismis, dan
kacang-kacangan.

 Zat Besi

Zat besi merupakan mineral esensial bagi pembentukan hemoglobin yang berfungsi
untuk membawa oksigen dari paru-paru ke seluruh jaringan tubuh, elektron ke dalam sel, dan
membentuk enzim zat gizi besi yang dibutuhkan untuk produksi energi seluler, sistem
kekebalan tubuh, dan fungsi otak.

Defisiensi zat besi dapat menyebabkan anemia. Anemia merupakan gangguan gizi
yang banyak dijumpai di dunia, terutama di negara berkembang. Anemia dapat menyebabkan
gangguan perkembangan fisik dan otak pada anak, meningkatkan resiko kematian anak-anak,
menurunkan produktivitas kerja orang dewasa, penyebab prematuritas, bayi berat lahir
rendah, kematian ibu, meningkatkan resiko terjadinya pendarahan dan infeksi saat
melahirkan.

 Zat Seng (zinc)

Zat seng adalah salah satu zat gizi mikro yang menarik perhatian para ahli gizi akhir-
akhir ini karena fungsinya bagi tubuh. Zat seng merupakan komponen dari enzim atau sebagai
katalisator pada kegiatan lebih dari 200 enzim. Zat seng berperan dalam fungsi metabolisme
seperti reaksi-reaksi yang berkaitan dengan sintesis dan degradasi karbohidrat, protein, lemak
dan asam nukleat. Di samping itu, seng juga berperan dalam proses replikasi sel, fungsi
kekebalan tubuh, penglihatan, mencegah kerusakan sel akibat radikal bebas, pengembangan
fungsi reproduksi laki-laki dan pembentukan sperma, perkembangan janin, kondisi bayi yang
akan dilahirkan, perkembangan fungsi pengecapan dan nafsu makan, serta kesehatan tulang.

Protein hewani seperti daging, hati, kerang, tiram dan telur merupakan sumber zat
seng yang sangat baik.

Defisiensi seng disebabkan karena rendahnya asupan, penyerapan, meningkatnya


kebutuhan serta pengeluaran zat seng. Diare serta infeksi kronis seperti penyakit paru-paru
juga dapat menyebabkan defisiensi seng. Defisiensi seng dapat menyebabkan gangguan
pertumbuhan, fungsi pencernaan, kekebalan, reproduksi, sistem saraf, otak, kelenjar tiroid,
metabolisme vitamin A, nafsu makan serta memperlambat penyembuhan luka. Pada anak-
anak dapat menyebabkan terhambatnya pertumbuhan dan anak menjadi rentan terhadap
infeksi sedangkan pada ibu hamil berkaitan dengan komplikasi saat melahirkan.

 Yodium

8
Yodium merupakan komponen penting dalam sintesis hormon tiroid, yaitu hormon
yang berfungsi mengatur suhu tubuh, metabolisme dasar, reproduksi, pertumbuhan dan
perkembangan, pembentukan sel darah merah serta fungsi otot dan saraf. Dalam darah,
yodium terdapat dalam bentuk yodium bebas atau terikat dengan protein (Protein-Bound
Iodine/PBI). Laut merupakan sumber utama yodium. Karena itu makanan laut seperti ikan,
udang, kerang, rumput laut merupakan sumber yodium paling baik. Ikan laut mengandung
yodium yang lebih banyak dibandingkan dengan ikan air tawar. Sayur-sayuran dan buah-
buahan sedikit mengandung yodium. Untuk mencukupi kebutuhan yodium sekaligus
mengatasi masalah defisiensi yodium, maka dilakukan penambahan yodium pada garam.

Defisiensi yodium dapat menyebabkan pembesaran kelenjar tiroid (goiter).


Kekurangan yodium yang parah di awal kehamilan dapat menyebabkan gangguan
pertumbuhan dan perkembangan janin, dan dalam keadaan parah dapat menyebabkan
gangguan pertumbuhan pada bayi yang dilahirkan yang disebut kretinisme (cebol).
Kretinisme yang parah dapat menyebabkan bisu, tuli dan gangguan mental. Kekurangan
yodium juga dapat menyebabkan kemampuan belajar yang rendah dan penurunan kepandaian
(IQ). Kekurangan yodium banyak terdapat di daerah yang letaknya jauh dari laut seperti
pegunungan.

Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi kekurangan zat gizi mikro. Pertama
adalah dengan penganekaragaman/diversifikasi makanan, dan kedua adalah dengan fortifikasi
yaitu dengan penambahan satu atau lebih zat gizi mikro ke dalam makanan, misalnya fortifikasi
besi pada susu formula, atau sereal.

C. Mikronutrien Terintegrasi dengan Fungsi Kekebalan Tubuh

1) Hambatan Fisik dan Biokimia

Garis pertahanan pertama terdiri dari permukaan eksternal dan internal tubuh (kulit
dan semua selaput lendir), yang membentuk penghalang fisik dan kimiawi terhadap bakteri,
virus, jamur, parasit, serbuk sari, debu, dan bahan kimia beracun. Integritas struktural dan
fungsional dari penghalang fisik memerlukan pemeliharaan agar dapat berfungsi secara
optimal. Mikronutrien memainkan peran penting dalam proses ini. Misalnya, zat besi penting
untuk diferensiasi dan pertumbuhan jaringan epitel, vitamin A, dan seng penting untuk
integritas struktural dan fungsi sel kulit dan mukosa. Komposisi mikrobiota usus (misalnya,

9
keseimbangan antara mikroorganisme komensal dan patogen) dipengaruhi oleh vitamin D , A,
B6, dan B12 dan folat. Vitamin C diperlukan untuk mempromosikan sintesis kolagen di
jaringan epitel. Ini lebih jauh meningkatkan diferensiasi keratinosit dan sintesis lipid serta
proliferasi dan migrasi fibroblas. Antioksidan makanan atau eksogen seperti vitamin C dan E,
bekerja sama dengan pertahanan antioksidan endogen, membantu melindungi membran sel
dari kerusakan yang disebabkan oleh radikal bebas yang dihasilkan selama metabolisme
normal, serta melalui paparan racun dan polutan. Meskipun spesies oksigen reaktif (ROS)
sangat penting untuk komunikasi sel , misalnya, pada konsentrasi tinggi mereka dapat
mengubah sifat komponen struktural dan fungsional sel seperti lipid dan protein. Oleh karena
itu, antioksidan diperlukan untuk mengurangi peningkatan konsentrasi ke tingkat yang lebih
fisiologis, melindungi sel dari kerusakan dan memulihkan sinyal sel.
Penghalang fisik dapat ditutupi oleh rambut atau struktur seperti rambut dan
menghasilkan cairan yang kaya akan bahan kimia seperti keringat, air liur, lendir, empedu,
dan asam lambung; semuanya dirancang untuk menjebak atau menyaring bahan asing dan
mencuci atau memindahkannya (misalnya melalui batuk atau bersin) keluar dari tubuh, atau
mengandung antimikroba, asam atau enzim untuk menghambat pertumbuhan mikroorganisme
atau untuk menghancurkannya. Calcitriol (bentuk aktif vitamin D) merangsang ekspresi
beberapa peptida anti-mikroba dalam sel epitel, seperti yang melapisi saluran pernapasan,
melindungi paru-paru dari infeksi. Ini juga merangsang ekspresi protein persimpangan ketat,
E-cadherin, dan connexin 43 di saluran pencernaan, yang berfungsi sebagai prekursor
struktural dari persimpangan celah dan menyediakan jalur komunikasi antara sitosol dan
lingkungan ekstraseluler dari penghalang usus . Mereka juga mempertahankan fungsi
penghalang epitel ginjal , dan meningkatkan fungsi penghalang epitel kornea. Saluran
pencernaan adalah garis pertahanan penting di mana sel epitel menyediakan penghalang fisik
dan biokimia dan bekerja bersama dengan sel kekebalan dan mikroflora usus (beberapa di
antaranya menghasilkan serangkaian senyawa seperti bakteriosin) untuk memperkuat
penghalang usus, melawan mematikan patogen, dan membatasi kontak langsungnya dengan
epitel.

2) Kekebalan bawaan

Beberapa bahan asing menemukan cara untuk menembus penghalang fisik dan
biokimia ini, tetapi menghadapi garis pertahanan kedua yang diaktifkan oleh kehadiran
molekul antigen "asing" pada partikel penyerang yang dikenal sebagai pola molekuler terkait
patogen. Pertahanan tersebut meliputi zat anti-mikroba dalam serum (seperti interferon (IFN)
dan komplemen), fagosit, dan sel NK, yang kesemuanya berperan dalam proses inflamasi.

a) Zat Anti-mikroba

10
Ada beberapa zat antimikroba yang menghambat pertumbuhan mikroba. Interferon
mempertahankan tubuh dengan mencegah replikasi virus. Suplementasi selenium pada orang
dewasa (50 atau 100 µg per hari selama 15 minggu) meningkatkan produksi IFNγ, sedangkan
vitamin A menurunkan regulasi; vitamin C, seng dan zat besi juga dapat berperan dalam
produksinya. Protein komplemen menandai patogen dan meningkatkan opsonisasi oleh
fagosit. Mereka juga menarik sel kekebalan lain dari darah, mengganggu membran sel
bakteri, dan melawan virus dengan menghancurkan selubungnya atau sel yang terinfeksi
virus. Tingkat serum protein komplemen ditingkatkan oleh vitamin C , dan seng menghambat
aktivitas komplemen.

Protein pengikat zat besi (misalnya, transferin, laktoferin, ferritin, dan hemoglobin)
menyerap zat besi bernutrisi dan menghambat pertumbuhan bakteri tertentu. Defensins dan
cathelicidins adalah peptida antimikroba yang disintesis dalam neutrofil, monosit, dan sel NK.
Mereka dapat membunuh berbagai mikroba, terutama bakteri, dan menarik sel dendritik
antigen-presenting (DC) dan sel mast. Kalsitriol, bentuk aktif vitamin D, mengatur ekspresi
peptida antimikroba yang kuat ini, sedangkan tembaga memiliki sifat antimikroba intrinsik
yang menghancurkan berbagai mikroorganisme.

b) Sel Pembunuh Alami dan Fagosit

Jika patogen melewati pertahanan antimikroba, sel NK diaktifkan untuk menargetkan


dan menyerang sel inang yang menampilkan protein membran plasma abnormal atau tidak
biasa, dan membunuh sel menggunakan sitotoksin. Vitamin A membantu mengatur jumlah
dan fungsi sel NK, sedangkan vitamin B6, B12, C, dan E, folat, dan seng mempertahankan
atau meningkatkan aktivitas sitotoksiknya.

Ketika sel NK membunuh sel yang terinfeksi, mikroba di dalamnya dilepaskan dan
dihancurkan melalui fagositosis oleh neutrofil dan makrofag, yang bermigrasi ke daerah yang
terinfeksi. Neutrofil mendominasi pada tahap awal infeksi tetapi mati dengan cepat. Monosit
mengikuti neutrofil dan, begitu berada di jaringan, membesar dan berkembang menjadi
makrofag fagositik aktif. Makrofag yang tinggal di jaringan melakukan fungsi spesifik
jaringan mulai dari pengawasan kekebalan, respons terhadap infeksi, resolusi peradangan, dan
pembersihan puing-puing seluler. Makrofag diketahui mengandung sejumlah besar zat besi,
sedangkan monosit dan makrofag (dan DC dan timus) mengandung reseptor vitamin D.
Makrofag yang teraktivasi dapat mensintesis kalsitriol dari kalsidiol yang bersirkulasi, dan
kalsitriol meningkatkan proliferasi dan diferensiasi monosit menjadi makrofag. Kalsitriol juga
mendorong pergerakan dan kemampuan fagositik makrofag, dan meningkatkan potensi

11
ledakan oksidatifnya. Vitamin C merangsang produksi dan fungsi leukosit, terutama
pergerakan neutrofil dan monosit, dan siap dimobilisasi selama infeksi. Dalam penelitian
terbaru, neutrofil yang diisolasi dari individu sehat diisi sebelumnya dengan asam
dehidroaskorbat untuk meningkatkan kadar vitamin C intraseluler. Kadar yang meningkat ini
tidak mempengaruhi produksi superoksida atau kemotaksis tetapi melemahkan pembentukan
perangkap ekstraseluler neutrofil (NET), menunjukkan bahwa asupan vitamin C oral yang
lebih tinggi dapat mengurangi kerusakan jaringan yang terkait dengan pembentukan NET.
Magnesium memodulasi aktivasi neutrofil darah tepi dan eosinofil dari pasien eosinofilik,
dengan konsentrasi tinggi magnesium yang mengurangi produksi anion superoksida.

Fagositosis oleh sel kekebalan melibatkan beberapa langkah yang sangat


terkoordinasi. Awalnya, fagosit bermigrasi ke daerah yang terinfeksi dan menempel pada
mikroba atau bahan asing, diperkuat oleh protein komplemen. Fagosit menelan mikroba dan
mencernanya, menghasilkan ROS dalam ledakan oksidatif atau pernapasan. Akhirnya,
kombinasi enzim pencernaan, peptida antimikroba dan protein, dan oksidan membunuh
mikroba di dalam fagosom. Vitamin A berkontribusi pada aktivitas ledakan fagositik dan
oksidatif makrofag, sementara kalsitriol meningkatkan fagositosis, sintesis superoksida, dan
pembunuhan bakteri. Aktivitas antioksidan vitamin C dan E sangat penting untuk melindungi
dari kerusakan radikal bebas selama ledakan oksidatif, dan tingkat tinggi vitamin C dalam
neutrofil diperlukan untuk melawan tingkat stres oksidatif yang tinggi. Vitamin C juga
meregenerasi antioksidan termasuk vitamin E dan glutathione ke keadaan aktif mereka, dan
memiliki peran dalam apoptosis dan pembersihan neutrofil yang dihabiskan oleh makrofag
dari tempat infeksi. Menurunnya fungsi sel-T merupakan ciri khas imunosenescence dan
kemungkinan besar disebabkan oleh produksi prostaglandin E2 penekan sel T dari makrofag.
Pada model hewan, intervensi vitamin E membalikkan perubahan ini dengan menghambat
produksi PGE (2) oleh makrofag, sehingga secara tidak langsung melindungi fungsi sel-T.
Selenium sangat penting untuk fungsi selenoprotein, yang bertindak sebagai regulator redoks
dan antioksidan seluler dan dengan demikian penting untuk fungsi leukosit dan sel NK. Ini
juga membantu (melalui glutathione peroksidase) untuk melindungi dari stres oksidatif
dengan menghilangkan radikal bebas yang berlebihan dan berpotensi merusak. Seng
meningkatkan aktivitas fagositik makrofag peritoneal untuk Escherichia coli dan
Staphylococcus aureus dan defisiensi seng menurunkan kapasitas fagositik monosit pada
anak-anak yang menderita E. colidiare yang diinduksi, tetapi suplementasi memperbaikinya.
Peran seng dalam memodulasi aktivitas ledakan oksidatif tidak jelas. Seng memiliki efek
antioksidan yang melindungi terhadap ROS dan spesies nitrogen reaktif, dan itu
mempengaruhi aktivitas protein antioksidan. Pembentukan ROS oleh neutrofil untuk
membunuh patogen membutuhkan zat besi. Aktivasi kompleks oksidase NADPH

12
menghasilkan anion superoksida (O 2 - ) yang mengalami pelepasan menjadi hidrogen
peroksida (H 2O 2 ). Melalui reaksi Fenton, H 2 O 2 mengoksidasi besi besi untuk
menghasilkan OH -yang sangat reaktif . Melalui reaksi seperti Fenton, tembaga juga dapat
mengkatalisasi pembentukan ROS dan dengan demikian digunakan untuk membunuh
patogen, sementara itu juga bertindak sebagai pemulung radikal bebas. Magnesium
membantu melindungi DNA dari kerusakan oksidatif dan terlibat dalam regulasi apoptosis.

Fagositosis dapat dimediasi oleh sitokin seperti tumor necrosis factor (TNF), terutama
diproduksi oleh makrofag, yang menstimulasi akumulasi neutrofil dan makrofag di tempat
peradangan dan menstimulasi mereka untuk membunuh mikroba. Produksi TNF-α meningkat
dengan calcitriol.

c) Respon Peradangan

Jaringan dapat dirusak oleh patogen atau faktor lain seperti racun, polutan, trauma,
dan suhu yang ekstrim. Ini menimbulkan respons inflamasi yang menghilangkan bahan asing
di lokasi cedera, secara signifikan mengurangi penyebaran patogen ke jaringan lain, dan
mempersiapkan situs tersebut untuk perbaikan jaringan. Demam yang menyertai peradangan
meningkatkan efek IFN, menghambat beberapa pertumbuhan mikroba, dan mempercepat
reaksi tubuh yang membantu perbaikan. Setelah cedera, vasokonstriksi kapiler terjadi
sebentar diikuti oleh vasodilatasi, akibat pelepasan histamin dari sel mast, basofil, dan
trombosit untuk meningkatkan aliran darah dan permeabilitas vaskular. Respon fisiologis ini
dapat mengencerkan produk bakteri dan racun di lokasi luka atau infeksi dan mendorong
masuknya fagosit yang memperkuat respon inflamasi saat diaktifkan oleh adanya PAMP atau
opsin pada patogen. Fagosit yang diaktifkan melepaskan sitokin / kemokin pro dan anti-
inflamasi, bradikinin, prostaglandin, leukotrien, dan komplemen, yang membuat kapiler
melebar, membanjiri jaringan dengan cairan, dan meningkatkan jumlah neutrofil untuk
melawan patogen. Selanjutnya, makrofag direkrut untuk membersihkan sel-sel mati dan
puing-puing dan penyembuhan terjadi.

Vitamin A membantu mengatur produksi IL-2 dan TNF-α proinflamasi, yang


mengaktifkan aksi mikroba makrofag. Pemberian vitamin D mengurangi ekspresi sitokin pro-
inflamasi dan meningkatkan ekspresi sitokin anti-inflamasi oleh makrofag melalui
peningkatan regulasi MAPK fosfatase-1 dan penekanan aktivasi p38. Vitamin E menurunkan
produksi prostaglandin E2 (yang memiliki aktivitas imunosupresif), dan vitamin C
memodulasi produksi sitokin dan menurunkan kadar histamin. Pada 2229 orang dewasa yang
terdaftar dalam studi Framingham Offspring, mereka yang memiliki tingkat pyridoxal 5′-
phosphate (PLP) terendah, bentuk aktif vitamin B6, memiliki tingkat peradangan kronis
tertinggi, sedangkan mereka yang memiliki tingkat PLP tertinggi memiliki tingkat peradangan

13
kronis yang paling rendah. skor peradangan. PLP adalah kofaktor di lebih dari 150 reaksi
enzimatik dan dapat membantu mengatur peradangan dengan bertindak di jalur yang
menghasilkan metabolit dengan efek imunomodulator. Studi in vitro dan in vivo
menunjukkan bahwa status kaya zat besi mempromosikan fenotipe makrofag seperti M2
(yang terkait dengan penyembuhan luka dan perbaikan jaringan) dan secara negatif mengatur
respons pro-inflamasi M1 (seperti produksi ROS) melalui pengurangan NF -kB p65
translokasi nuklir. Seng adalah agen anti-inflamasi, sedangkan tembaga penting untuk
produksi dan respons IL-2 terhadap sel imun adaptif dan terakumulasi di tempat inflamasi.

3) Imunitas Adaptif

Imunitas adaptif adalah proses yang jauh lebih lambat yang melindungi tubuh dari
agen penyerang tertentu, yang sekali lagi dipicu oleh antigen. Sel T dan B (limfosit)
berkembang di sumsum tulang merah dan matang di sana (sel B) atau di timus (sel T). Ada
tiga jenis sel T dewasa. Sel CD8 + T sitotoksik membunuh sel targetnya setelah pengenalan
antigen peptida yang dikomplekskan dengan molekul major histocompatibility complex
(MHC) pada membran sel target. CD4 +Sel T helper (Th) membantu B dan sel T lainnya
untuk memenuhi fungsinya. Sel T regulator (Treg) adalah subpopulasi khusus dari sel T yang
penting untuk induksi dan pemeliharaan toleransi perifer; Oleh karena itu, mereka adalah
kunci dalam mencegah respon imun yang berlebihan dan autoimunitas. Bergantung pada
sitokin yang dikeluarkannya dan respons imun yang dihasilkannya, sel Th selanjutnya
dibedakan menjadi sel Th1 dan Th2. Sel Th1 terutama memproduksi IFNγ dan IL-2 dan
cenderung memulai respons terhadap bakteri dan virus intraseluler; Sel Th2 mengeluarkan
beberapa IL lainnya (IL-4, IL-5, IL-10, dan IL-13), dan memicu respon imun terhadap
mikroorganisme ekstraseluler. Perkembangan dan diferensiasi sel Th1 dan Th2 bergantung
pada vitamin A, yang mendukung respon antiinflamasi Th2 dengan menekan produksi
limfosit Th1 dari IL-12, TNF-α, dan IFNγ. Sebaliknya, vitamin E diketahui menekan respon
Th2 . Vitamin E, serta vitamin B6, folat, dan seng, menjaga respon imun yang dimediasi Th1,
sedangkan vitamin D menghambat aktivitas sel Th1.

Sebelum paparan pertama terhadap antigen tertentu, hanya beberapa limfosit yang
dapat mengenalinya; limfosit ini menjalani seleksi klonal (yaitu, proliferasi dan diferensiasi)
untuk membentuk populasi sel yang identik dan terspesialisasi yang dapat mengenali antigen
spesifik yang sama dengan limfosit asli. Diferensiasi dan proliferasi limfosit dimodulasi oleh
vitamin C, E, dan B6, sedangkan vitamin B6 juga berperan dalam pematangannya. Vitamin D
adalah hormon imunosupresif ; kalsitriol menghambat proliferasi dan diferensiasi sel T dan B,
tetapi produksi kalsitriol oleh DC "program" sel T yang menuju ke epidermis, yang penting
untuk pengawasan kekebalan jangka panjang dan pemeliharaan integritas penghalang.

14
Sebaliknya, vitamin C dan B12 memfasilitasi produksi sel T, terutama sel T sitotoksik. Seng
juga penting untuk perkembangan, diferensiasi, dan aktivasi limfosit T, sedangkan besi,
tembaga, dan selenium penting dalam diferensiasi dan proliferasinya. Akuisisi properti
mucosal-homing oleh sel T dan B dimediasi oleh vitamin A.

Respon imun adaptif dimediasi oleh sel T dan B: sel efektor (sel Th aktif, sel T
sitotoksik aktif, dan sel plasma), yang akhirnya mati setelah respon imun selesai, dan sel
memori (sel Th memori, memori sitotoksik T sel, dan sel B memori), yang memiliki rentang
hidup panjang yang seringkali berlangsung selama beberapa dekade. Respon imun adaptif
melibatkan respon antibodi atau yang dimediasi sel untuk membersihkan patogen. Dalam
respons antibodi, sel B yang diaktifkan mengeluarkan antibodi yang bersirkulasi dalam darah
dan cairan untuk menandai patogen yang akan dihancurkan oleh fagosit. Dalam respons yang
dimediasi sel, sel T yang diaktifkan membunuh sel inang yang menghadirkan antigen asing di
permukaan selnya atau merangsang sel kekebalan lain untuk membunuh patogen. Jika antigen
muncul kembali di dalam tubuh,baik respon imun yang dimediasi sel maupun yang dimediasi
oleh antibodi jauh lebih cepat dan intens; dalam beberapa jam, sel T memori mampu
berkembang biak dan berdiferensiasi menjadi sel Th atau sel T sitotoksik, dan sel B menjadi
sel plasma. Vitamin D menghambat fungsi efektor sel T helper dan sel T sitotoksik, tetapi
mendorong perkembangan Treg yang meredam inflamasi yang dimediasi oleh imun.

a) Pengenalan Antigen

Respon imun adaptif dimulai dengan pengenalan antigen sebagai diri atau bukan
diri. Semua sel dan trombosit berinti, tetapi tidak sel darah merah, di dalam tubuh
memiliki molekul MHC kelas I (MHC-I) di permukaan sel yang menghadirkan antigen
sendiri, sedangkan antigen kelas II MHC (MHC-II) muncul di permukaan sel. sel penyaji
antigen (APC, termasuk DC, makrofag, dan sel B) yang utamanya menginternalisasi
antigen eksogen. APC memecah antigen menjadi peptida yang berasosiasi dengan
molekul MHC-II dan dimasukkan ke dalam membran plasma sel untuk presentasi
antigen. Kalsitriol dikenal untuk meningkatkan pemrosesan antigen, sedangkan vitamin D
memiliki peran dalam penurunan regulasi MHC-II. Calcitriol memiliki efek
penghambatan pada diferensiasi dan pematangan DC, dan membantu program DC untuk
toleransi. Magnesium memainkan peran kunci dalam pengikatan antigen ke makrofag.

15
Setiap reseptor sel T (TCR) yang unik mampu mengenali kompleks antigen-
MHC tertentu. Pengenalan antigen oleh TCR adalah sinyal pertama dalam aktivasi sel T.
Sel T mengabaikan kompleks yang berasal dari antigen sendiri tetapi memicu respons
imun jika fragmen antigen berasal dari protein asing - proses yang disertai dengan sinyal
kedua, seperti adanya IL-2. Produksi IL-2 ditingkatkan oleh vitamin E dan seng penting
dalam menjaga toleransi kekebalan karena menginduksi perkembangan sel Treg dan
menghambat perkembangan sel Th17 dan Th9 yang pro-inflamasi.

b) Imunitas yang Dimediasi Sel

Selama imunitas yang dimediasi sel, sel T yang diaktifkan membunuh sel inang
yang menghadirkan antigen asing di permukaan selnya atau merangsang sel imun lain
untuk membunuh patogen. Awalnya, sel Th yang sedang beristirahat mengenali kompleks
antigen eksogen-MHC-II di permukaan APC, berinteraksi dengan APC (dengan bantuan
protein CD4), menerima sinyal kedua (misalnya, IL-2), dan menjadi aktif. Vitamin E
membantu membentuk sinapsis imun yang efektif antara sel APC dan Th. Sel Th yang
teraktivasi menjalani seleksi klonal untuk membentuk populasi sel Th aktif dan memori.
Sel Th aktif kemudian mulai mengeluarkan berbagai sitokin seperti ILs (yang dapat
bertindak sebagai costimulator untuk sel B, menyebabkan sel plasma mengeluarkan
antibodi, atau mengaktifkan sel NK). IL-2 diperlukan untuk hampir semua respons imun,
dan merupakan pemicu utama proliferasi sel T. Produksi dan aktivitas sitokin diatur oleh
zat besi. Vitamin E meningkatkan produksi IL-2, sedangkan vitamin D menghambat
produksi IL-2 dan IFNγ. Tembaga memiliki peran dalam imunitas seluler (termasuk
proliferasi sel-T dan aktivitas NK, dan defisiensi tembaga mengurangi ekspresi IL-2
dalam sel-T manusia). Seng mempengaruhi pembentukan sitokin seperti IL-2, IL-6, dan
TNF-α . Aktivitas sel-T dipengaruhi oleh vitamin E dan B6 dan homeostasis seng, dan
dengan kemungkinan efek sinergis antara vitamin A dan seng.

Sel T sitotoksik (CD8 + ) mengenali kompleks antigen endogen-MHC-I pada


permukaan sel tubuh yang terinfeksi dan diaktivasi oleh IL-2, IFN, atau sitokin lain yang
diproduksi oleh sel Th aktif. Setelah diaktifkan, sel T sitotoksik menjalani seleksi klonal
dan ekspansi menjadi sel T sitotoksik aktif dan memori. Proliferasi sel T sitotoksik
diinduksi oleh seng, sedangkan vitamin B12 dapat bertindak sebagai imunomodulator dan
meningkatkan jumlah sel T sitotoksik . Sel T sitotoksik aktif menyerang sel inang yang
menampilkan antigen tersebut, sedangkan sel T sitotoksik memori dengan cepat
berkembang biak dan berdiferensiasi menjadi sel T sitotoksik aktif dan memori tambahan.

c) Imunitas yang Dimediasi Antibodi

16
Imunitas yang dimediasi antibodi (humoral) terutama bekerja melawan patogen
ekstraseluler dalam cairan tubuh ekstraseluler, seperti darah dan getah bening. Selama
proses ini, sel B memecah antigen, menggabungkannya dengan antigen mandiri MHC-II,
dan memindahkan kompleks yang dihasilkan ke dalam membran plasma sel B. Sel Th
mengenali kompleks antigen-MHC-II dan menghasilkan IL-2 dan sitokin lain untuk
mengaktifkan sel B. Setelah diaktifkan, sel B mengalami seleksi klonal dan ekspansi
menjadi sel plasma dan sel B memori. Sel plasma mensintesis dan mengeluarkan
antibodi, yang mengikat antigen tertentu, sedangkan sel B memori tidak mensekresikan
antibodi tetapi sebaliknya dengan cepat berkembang biak dan berdiferensiasi menjadi
lebih banyak sel plasma dan sel B memori jika antigen muncul kembali di masa
mendatang. Antibodi (dan sitokin) disintesis dari asam amino; jadi,seperti semua protein,
mereka membutuhkan vitamin B6 dan B12 dan folat selama sintesis dan metabolisme
endogen. Pada pasien dengan defisiensi B12, penurunan kadar sel CD8 + diamati, seperti
rasio CD4 / CD8 yang tinggi dan aktivitas sel NK yang ditekan. B12 diperlukan untuk
replikasi sel dan pembelahan sel dan ini mungkin menjelaskan pengaruhnya terhadap sel
B yang berkembang biak dengan cepat. Vitamin C meningkatkan kadar antibodi serum,
dan tembaga dan selenium berperan dalam produksi antibodi. Magnesium juga bertindak
sebagai kofaktor untuk sintesis antibodi. Kalsitriol memiliki efek penghambatan, dan
menekan produksi antibodi sel B yang digerakkan oleh IL-2.

Antibodi menetralkan antigen, melumpuhkan bakteri, dan menggumpalkan


patogen, sehingga meningkatkan konsumsi mikroba oleh fagosit; antibodi juga
mengaktifkan komplemen, yang meningkatkan fagositosis dengan menarik fagosit ke
tempat infeksi. Pembangkitan respon antibodi yang tepat terhadap antigen membutuhkan
jumlah folat dan vitamin A yang cukup (yang mempengaruhi berfungsinya sel B).
Misalnya, sel B yang diaktivasi dengan asam retinoat (suatu metabolit vitamin A) yang
diproduksi oleh sel-sel DC jaringan limfoid yang terkait dengan usus mengekspresikan
reseptor pelacak usus tingkat tinggi, sebuah faktor yang dapat berkontribusi pada
keseimbangan antara kekebalan dan toleransi di usus. Selain itu, vitamin A diperlukan
untuk respon antibodi IgA yang dimediasi sel B terhadap antigen bakteri. Seng terlibat
dalam produksi antibodi, terutama IgG. Analisis microarray dari perubahan populasi
limfosit-T pada defisiensi zinc moderat menunjukkan perubahan ekspresi 1200 gen yang
berhubungan dengan proliferasi, kelangsungan hidup, dan respon sel-T.

D. Dampak Status Mikronutrien terhadap Respon Kekebalan Tubuh dan Risiko Infeksi

Tubuh membutuhkan tingkat mikronutrien yang optimal untuk fungsi kekebalan yang
efektif, dengan kebutuhan yang berbeda di setiap tahap kehidupan. Telah diketahui dengan baik

17
bahwa defisiensi mikronutrien yang nyata (klinis) berdampak buruk pada sistem kekebalan dan
mempengaruhi individu terhadap infeksi. Misalnya, defisiensi mikronutrien diketahui
meningkatkan risiko morbiditas dan mortalitas yang terkait dengan campak, pneumonia, dan
penyakit diare —semua infeksi umum yang ditemukan di seluruh dunia dan di antara penyebab
utama kematian. Bahkan di negara-negara industri, beberapa defisiensi mikronutrien tersebar luas
dan dapat memperburuk risiko infeksi. Tingkat keparahan dari setiap efek kesehatan yang
merugikan sangat bergantung pada luas dan durasi defisiensi mikronutrien.

Ada jauh lebih sedikit informasi tentang efek kesehatan ketika status mikronutrien
suboptimal (daripada defisiensi klinis), termasuk level apa yang dapat didefinisikan sebagai
"suboptimal" (terutama pada populasi berbeda di mana level "optimal" dapat bervariasi, yaitu,
level yang akan memberikan fungsi yang dioptimalkan atau perlindungan terhadap risiko
kesehatan), dan bagaimana menentukan tingkat mikronutrien yang optimal dalam hal fungsi
kekebalan. Kebanyakan orang mengetahui rekomendasi dietary allowance (RDA) untuk semua
nutrisi, yang merupakan tingkat asupan harian rata-rata yang diperlukan untuk menghindari
defisiensi klinis atau subklinis pada sebagian besar (97-98%) populasi umum yang sehat.
Meskipun nilai referensi ini berguna bagi mereka yang merencanakan dan menilai asupan nutrisi,
kelangkaan data berarti bahwa saat ini tidak mungkin untuk memberikan indikasi tingkat yang
diperlukan untuk mengoptimalkan perlindungan kekebalan dan ketahanan terhadap infeksi. Bisa
jadi nilai ini jauh lebih tinggi daripada RDA. Misalnya, dalam kasus vitamin C, RDA secara
global berkisar antara 40 dan 110 mg. Namun, profilaksis infeksi membutuhkan asupan vitamin C
diet 100-200 mg / hari (yaitu, lebih tinggi dari RDA) untuk memberikan tingkat plasma yang
cukup, jika tidak jenuh dan dengan demikian mengoptimalkan tingkat sel dan jaringan.
Pengobatan infeksi yang terjadi membutuhkan dosis yang lebih tinggi (mungkin sekitar 6 g /
hari ) untuk mengkompensasi peningkatan respon inflamasi dan kebutuhan metabolik. Pada orang
tua, penelitian menggunakan vitamin E dosis tinggi, menunjukkan bahwa asupan di atas tingkat
yang direkomendasikan saat ini dapat membantu memulihkan fungsi sel-T dan kemanjuran vaksin
(yang menurun seiring bertambahnya usia). Satu studi telah menunjukkan bahwa suplementasi
harian dengan 200 IU α-tokoferol sintetis selama satu tahun secara signifikan menurunkan risiko
tertular infeksi saluran pernapasan bagian atas. Berkenaan dengan vitamin B6, suplementasi pada
wanita muda dalam dosis hingga 2,1 mg / hari (yaitu, lebih tinggi dari RDA 1,3 mg / hari) selama
satu minggu meningkatkan proliferasi limfosit dengan cara yang bergantung pada dosis.
Selanjutnya, penelitian yang menyelidiki peran selenium lagi infeksi virus menunjukkan bahwa
suplementasi dengan selenium hingga 200 μg / hari (yaitu, lebih tinggi dari RDA 55 μg / hari
pada orang dewasa) dapat digunakan sebagai terapi tambahan yang aman pada infeksi virus
(misalnya, HIV, virus influenza tipe A), juga pada koinfeksi oleh HIV dan M. tuberculosis untuk
membantu pelepasan virus, untuk mendukung kemoterapi dan / atau untuk meningkatkan

18
kebugaran dan kualitas kehidupan pasien. Sebuah penelitian yang signifikan menunjukkan bahwa
RDA untuk vitamin D tidak mungkin meningkatkan kadar serum yang dibutuhkan untuk fungsi
sistem kekebalan yang memadai.

Namun, kesenjangan sudah ada antara asupan mikronutrien dan minimal, mungkin
persyaratan konservatif yang ditetapkan oleh RDA. Misalnya, kekurangan vitamin A, zat besi,
dan yodium umum terjadi, terutama di negara berkembang, dan merupakan salah satu kontributor
utama beban penyakit global. Kekurangan vitamin D dan kalsium juga lazim, yang meningkatkan
risiko rakhitis. Asupan kalium juga diakui tidak memadai di sebagian besar negara, yang dapat
meningkatkan risiko hipertensi, dan penyakit kardiovaskular. Proporsi yang signifikan dari
populasi umum di negara-negara industri memiliki asupan mikronutrien tertentu yang tidak
memadai, dan beberapa defisiensi mikronutrien sering terjadi secara bersamaan pada anak-anak
dan orang dewasa di seluruh dunia. Data terbaru dari Laporan Gizi dan Kesehatan Eropa dan
Departemen Pertanian Amerika Serikat menunjukkan bahwa, bergantung pada mikronutrien, kira-
kira 25-50% orang memiliki asupan yang cukup atau bahkan kelebihan banyak zat gizi mikro.
Namun demikian, sekitar 25-75% orang memiliki asupan makanan yang kurang dari AKG,
tergantung pada mikronutrien. Di Eropa, asupan yang dilaporkan tidak mencukupi untuk vitamin
D dan E, folat, dan selenium di semua kelompok umur. Asupan juga tidak mencukupi untuk:
vitamin A, seng, dan magnesium pada anak-anak> 10 tahun dan orang dewasa; vitamin C pada
anak laki-laki> 10 tahun dan dewasa; zat besi pada anak-anak dan orang dewasa, tetapi tidak pada
orang dewasa yang lebih tua; vitamin B12 pada orang dewasa; dan vitamin B6 pada orang dewasa
yang lebih tua. Di AS, asupan makanan untuk semua mikronutrien tampaknya kurang dari
perkiraan kebutuhan rata-rata atau asupan yang memadai, tetapi terutama untuk vitamin A, D, dan
E, kalsium, magnesium, seng, dan kalium pada semua orang dewasa; vitamin C terutama pada
perokok dewasa; vitamin B6 pada orang tua; folat pada wanita; dan tembaga pada wanita. Penting
juga untuk mempertimbangkan sumber makanan mikronutrien dalam penilaian kekurangan
mikronutrien, karena dapat sangat mempengaruhi ketersediaan hayati mikronutrien. Sebagai
contoh, diketahui bahwa ketersediaan hayati unsur-unsur seperti besi, seng, atau magnesium
dalam pola makan nabati rendah, terutama karena adanya komponen yang menghambat
ketersediaan hayati mineral.

Banyak faktor yang dapat mempengaruhi status mikronutrien. Kekurangan makanan


bergizi atau kelompok makanan tertentu karena ketersediaan, pendapatan, atau pilihan gaya hidup
yang terbatas (misalnya, vegetarian atau veganisme) berdampak. Gaya hidup yang penuh tekanan,
sering kali disertai dengan kurang tidur dan aktivitas fisik yang berkurang, dapat meningkatkan
stres oksidatif dan dengan demikian meningkatkan kebutuhan antioksidan seperti vitamin C dan
E, serta magnesium untuk membantu memperbaiki DNA. Kondisi kesehatan tertentu, seperti
diabetes dan obesitas, juga memiliki efek buruk pada status mikronutrien, seperti halnya faktor

19
genetik / polimorfisme (misalnya, pada vitamin yang larut dalam lemak seperti kolekalsiferol).
Polusi udara juga dapat mengurangi konsentrasi mikronutrien tubuh tertentu, seperti vitamin D
jika polusi mengurangi paparan sinar matahari dan dengan demikian produksi kulit. Perubahan
musiman dapat menurunkan kadar mikronutrien, dengan konsentrasi serum vitamin D yang lebih
rendah, misalnya, di bulan-bulan musim dingin yang gelap atau di iklim utara, atau sebaliknya di
negara-negara panas di mana penyerapan vitamin D diblokir oleh tabir surya atau pakaian
pelindung. Beberapa mikronutrien (misalnya magnesium, seng, dan zat besi) dapat hilang selama
berkeringat di negara panas atau selama berolahraga; ini tidak dapat disintesis di dalam tubuh dan
perlu diganti melalui makanan. Faktanya, peningkatan pengeluaran energi menggunakan
simpanan mikronutrien tubuh untuk menghasilkan lebih banyak energi, menghasilkan tingkat
vitamin B, vitamin C, kalsium, zat besi, seng, dan magnesium yang rendah pada individu yang
aktif, atau antioksidan seperti vitamin C dan E, yang mungkin diperlukan untuk memerangi
oksidatif stres yang disebabkan oleh polusi.

Tubuh juga bisa kehilangan mikronutrien saat terkena patogen, yang menyebabkan sistem
kekebalan menjadi semakin aktif. Hilangnya diperparah selama infeksi aktif (termasuk vitamin A,
C, dan E, kalsium, seng, dan zat besi), dan kadar plasma hanya kembali normal setelah gejala
membaik. Asupan mikronutrien yang memadai penting untuk membantu pemulihan dari infeksi,
dibuat lebih sulit oleh fakta bahwa asupan makanan dapat menurun selama sakit, dan penggunaan
antibiotik juga dapat menghabiskan mikronutrien tertentu. Misalnya, kadar vitamin C dalam
plasma dengan cepat turun menjadi setengah dari konsentrasi semula selama infeksi, ke tingkat
yang menunjukkan status suboptimal dengan risiko. defisiensi (yaitu, ≤50 μmol / L ). Namun,
asupan vitamin C yang tinggi diperlukan untuk mengatasi penurunan konsentrasi setelah infeksi
(dosis gram), atau bahkan hanya untuk membantu mengurangi risiko infeksi (100-200 mg / hari),
mungkin sulit. untuk dicapai ketika data menunjukkan bahwa orang sudah sering gagal mencapai
AKG vitamin C saat ini (25–90 mg / hari, tergantung pada usia), dan bahwa asupan vitamin C
yang tidak memadai sudah lebih tersebar luas daripada yang disadari banyak orang.

E. Pengaruh Suplementasi terhadap Risiko Infeksi

Vitamin dan mineral memiliki peran yang bervariasi di setiap tahap sistem kekebalan dan
respons imun cenderung terganggu ketika tingkat zat gizi mikro tidak mencukupi. Data
menunjukkan bahwa banyak orang memiliki asupan mikronutrien harian yang tidak mencukupi,
bahkan ketika makanan bergizi lebih mudah tersedia. Melengkapi diet dengan kekurangan
mikronutrien telah terbukti meningkatkan berbagai fungsi kekebalan spesifik, sementara

20
suplementasi dengan beberapa mikronutrien (MMN) mungkin juga memiliki manfaat yang
signifikan pada sel kekebalan dan respon. Ketersediaan hayati berpotensi berpengaruh pada
kemanjuran suplemen. Perlu dicatat bahwa sumber suplemen mikronutrien harus dipertimbangkan
(yaitu, makanan versus suplemen), terutama untuk mineral; bentuk organik selenium lebih
tersedia secara hayati daripada senyawa an-organik, sedangkan garam sulfat, glukonat, dan
fumarat besi memiliki ketersediaan yang baik , tidak seperti bentuk oksidanya.

a) Mikronutrien dalam Mengurangi Risiko Infeksi Akut

Vitamin A. Ada bukti rendah sampai sedang bahwa suplementasi vitamin A (50.000-
200.000 IU setiap 4-6 bulan) pada anak-anak dapat mengurangi kejadian diare dan campak.
Namun, analisis lain pada anak-anak tidak menemukan bahwa vitamin A secara signifikan
mengurangi kejadian pneumonia atau infeksi saluran pernapasan bawah (RTI).

Vitamin C. Pengaruh vitamin C dalam mengurangi risiko flu biasa telah lama
diperdebatkan. Satu analisis dari sebagian besar penelitian berkualitas tinggi menentukan
bahwa tidak ada penurunan insiden pada populasi umum, tetapi suplementasi vitamin C (≥0,2
g / hari) pada mereka yang secara teratur menjalani latihan fisik yang berat mengurangi
kejadian flu biasa lebih dari setengah. Bukti berkualitas rendah selanjutnya mendukung
penurunan risiko RTI atas pada atlet setelah suplementasi vitamin C (0,3-2,0 g / hari), tanpa
manfaat tambahan dari penambahan vitamin E atau seng. Penurunan yang signifikan dalam
risiko pneumonia telah dilaporkan setelah suplementasi vitamin C pada orang dewasa dan
anak-anak, terutama ketika asupan makanan rendah (studi kualitas rendah hingga sedang).
Akhirnya, ada bukti rendah sampai sedang yang menunjukkan bahwa suplementasi vitamin C
(100 mg / hari) selama kehamilan dapat mengurangi risiko infeksi saluran kemih.

Vitamin D. Lima meta-analisis dari sebagian besar penelitian berkualitas tinggi


menunjukkan bahwa vitamin D (300-3653 IU / hari) pada orang dewasa dan anak-anak dapat
mengurangi risiko RTI. Hasil yang lebih baik dicapai pada mereka dengan status vitamin D
rendah pada awal percobaan, dengan rasio odds yang lebih rendah untuk pengurangan risiko
dengan status vitamin D rendah (0,30) versus tinggi (0,75). Bukti kualitas rendah hingga
sedang mendukung potensi manfaat suplementasi vitamin D dalam mengurangi risiko RTI
bagian atas, tuberkulosis, dan influenza pada orang dewasa dan anak-anak, meskipun analisis
lain tidak menemukan efek seperti itu terhadap RTI, pneumonia , tuberkulosis, atau diare .

Seng. Sebagian besar bukti berkualitas tinggi menunjukkan bahwa suplementasi


dengan seng (5-50 mg / hari) dapat mengurangi kejadian otitis media pada anak-anak yang
lebih muda atau kurang gizi. Penurunan insiden RTI yang lebih rendah setelah suplementasi
seng (20-140 mg / minggu) pada anak-anak didukung oleh bukti rendah hingga sedang, tetapi

21
hasil ini tergantung pada kriteria yang digunakan untuk menentukan RTI yang lebih rendah;
penurunan yang lebih besar diamati dengan menggunakan kriteria klinis tertentu,
dibandingkan dengan yang didasarkan pada laporan pengasuh atau "pneumonia non-parah"
dari Organisasi Kesehatan Dunia . Analisis dari sebagian besar penelitian berkualitas tinggi
telah menunjukkan bahwa risiko RTI atau pneumonia dan diare atau disentri dapat berkurang
pada anak-anak setelah pemberian seng. Namun, analisis studi kualitas rendah hingga sedang
tidak menemukan efek perlindungan seng (5 hingga ≥20 mg / hari) terhadap risiko RTI atau
malaria pada anak-anak, meskipun ada penurunan mortalitas yang terkait dengan RTI, diare,
dan malaria; penambahan zat besi ke seng tidak memberikan manfaat tambahan.

Besi. Bukti sedang dan tinggi menunjukkan bahwa suplementasi zat besi pada anak-
anak mengurangi risiko RTI, tetapi tidak mengurangi risiko keseluruhan infeksi atau penyakit
lain seperti diare atau parasitemia malaria.

MMN (Multiple Mikro Nutrien). Pada anak-anak, penelitian kualitas rendah sampai
sedang menunjukkan bahwa suplementasi MMN dapat mengurangi risiko infeksi dan infeksi
ulang dari cacing. Suplementasi MMN menghasilkan lebih sedikit episode infeksi pada orang
dewasa muda (bukti rendah sampai sedang). Pada orang dewasa yang lebih tua, suplementasi
MMN mengurangi jumlah rata-rata hari yang dihabiskan dengan infeksi, tetapi tampaknya
tidak memiliki efek menguntungkan pada jumlah keseluruhan episode yang dialami (semua
bukti rendah hingga sedang). Dinyatakan bahwa suplementasi mungkin lebih bermanfaat pada
orang dewasa yang lebih tua jika mereka kekurangan gizi dan ditambah selama lebih dari
enam bulan.

b) Mikronutrien dalam Manajemen Infeksi Akut

Vitamin A. Suplementasi dengan vitamin A pada anak-anak setelah pneumonia non-


campak dapat mengurangi kekambuhan bronkopneumonia dan waktu untuk remisi (bukti
kualitas rendah sampai sedang). Bukti rendah hingga sedang juga menunjukkan ada
penurunan yang signifikan dalam kematian akibat diare dan penyakit pernapasan yang terkait
dengan campak setelah pemberian vitamin A pada anak-anak. Namun, vitamin A setelah
pneumonia pada anak-anak tidak dapat secara signifikan mengurangi mortalitas, durasi
penyakit, atau durasi rawat inap.

Vitamin C. Sebagian besar bukti berkualitas tinggi menunjukkan bahwa


suplementasi vitamin C (≥0,2 g / hari, atau dosis terapeutik 4-8 g / hari) pada orang dewasa
dan anak-anak dengan flu biasa dapat secara signifikan mengurangi durasinya dan keparahan,
mempersingkat waktu kurungan di dalam ruangan, dan meredakan gejala flu termasuk nyeri
dada, demam, dan menggigil . Manfaat terbesar dapat dilihat pada anak-anak, meskipun tidak

22
ada uji coba terapeutik yang melihat efek vitamin C dalam mengobati flu biasa pada anak-
anak; tidak ada manfaat yang konsisten dalam uji terapeutik tertentu pada orang dewasa .
Pada orang tua dengan pneumonia, vitamin C secara signifikan dapat mengurangi keparahan
penyakit dan risiko kematian, terutama jika kadar plasma awalnya rendah (bukti rendah
hingga sedang). Durasi pneumonia juga dapat dikurangi setelah suplementasi vitamin C pada
orang dewasa, efek yang bergantung pada dosis. Tidak ada manfaat yang telah diamati pada
pneumonia yang didapat di rumah sakit pada orang dewasa setelah suplementasi dengan
vitamin C, atau pada tingkat pemberantasan Helicobacter pylori dengan vitamin C dengan
vitamin E atau vitamin C saja pada orang dewasa.

Vitamin D. Bukti rendah sampai sedang menunjukkan mungkin ada manfaat


potensial dari suplementasi vitamin D pada orang dewasa dan anak-anak dengan tuberkulosis,
influenza, atau RTI atas. Namun, hasil yang tidak meyakinkan diamati setelah suplementasi
dengan vitamin D sebagai tambahan untuk antibiotik pada anak-anak dengan pneumonia; ada
pengurangan yang signifikan dalam durasi rawat inap, tetapi hanya sedikit manfaat pada
resolusi penyakit akut dan angka kematian, dan tidak ada efek menguntungkan pada demam.

Seng. Durasi flu biasa dapat dikurangi pada orang dewasa dan anak-anak setelah
pemberian seng> 75 mg / hari, tetapi tidak pada dosis yang lebih rendah; jenis garam seng
yang digunakan juga dapat berpengaruh, dengan manfaat yang lebih besar dengan seng asetat
dibandingkan dengan garam seng lainnya (kebanyakan penelitian berkualitas tinggi). Namun,
seng (10-20 mg / hari) tidak memiliki efek signifikan pada pneumonia pada anak-anak, gagal
mengurangi waktu pemulihan dari pneumonia berat , durasi tinggal di rumah sakit, waktu
untuk pemulihan klinis , atau waktu untuk pemulihan dari efek pneumonia berat termasuk
takipnea dan penarikan dada (semua bukti rendah hingga sedang).

MMN(Multiple Mikro Nutrien). Suplementasi dengan MMN hingga sepuluh kali


asupan referensi makanan belum terbukti memiliki efek menguntungkan pada orang dewasa
dan anak-anak dengan tuberkulosis, dengan bukti yang tidak cukup untuk menunjukkan
apakah MMN meningkatkan "penyembuhan", "penyelesaian pengobatan", atau "proporsi
orang yang tetap sputum positif selama 8 minggu pertama ”(studi kualitas rendah sampai
sedang).

23
BAB III

PENUTUP

1. Kesimpulan

Mikronutrien adalah komponen yang diperlukan agar mikronutrien dapat


berfungsi dengan baik. Mikronutrien dibutuhkan dalam jumlah kecil atau sedikit, tetapi
ada di dalam makanan. Mikronutrien terdiri atas mineral dan vitamin. Mikronutrien
menggunakan satuan miligram (mg) untuk sebagian besar mineral dan vitamin. Jenis
mikronutrien yaitu vitamin, mineral, zat besi, zat seng, serta yodium. Sistem Kekebalan
Tubuh/Sistem Imunitas adalah sistem pertahanan atau kekebalan tubuh yang memiliki
peran dalam mengenali dan menghancurkan benda-benda asing atau sel abnormal yang
merugikan tubuh. Sistem imun tidak memiliki tmepat khusus di tubuh dan tidak dikontrol
oleh otak,dll.

Defisiensi mikronutrien yang nyata (klinis) berdampak buruk pada sistem kekebalan dan
mempengaruhi individu terhadap infeksi. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi status
mikronutrien. Kekurangan makanan bergizi atau kelompok makanan tertentu karena ketersediaan,
pendapatan, atau pilihan gaya hidup yang terbatas (misalnya, vegetarian atau veganisme)
berdampak. Gaya hidup yang penuh tekanan, sering kali disertai dengan kurang tidur dan aktivitas
fisik yang berkurang, dapat meningkatkan stres oksidatif dan dengan demikian meningkatkan
kebutuhan antioksidan seperti vitamin C dan E, serta magnesium untuk membantu memperbaiki
DNA

2. Saran

Makalah ini hanya disusun dari beberapa literatur saja, untuk menambah pengetahuan
pembaca disarakan untuk menambah bacaan dari literatur lainnya yang berakitan dengan
Mikronutrien dan Sistem Kekebalan Tubuh.

24
Daftar Pustaka

Aidah, Siti Nur dan Tim Penerbit KBM Indonesia. 2020. Sistem Imunitas Manusia.
Yogyakarta, Tim Penerbit KBM Indonesia

25

Anda mungkin juga menyukai