Anda di halaman 1dari 27

SERAT PANGAN DALAM PERSPEKTIF ILMU GIZI

UNIVERSITAS GADJAH MADA


Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar
pada Fakultas Teknologi Pertanian
Universitas Gadjah Mada

Oleh:
Prof.Dr.Ir. Yustinus Marsono, M.S.

SERAT PANGAN DALAM PERSPEKTIF ILMU GIZI

UNIVERSITAS GADJAH MADA

Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar


pada Fakultas Teknologi Pertanian
Universitas Gadjah Mada

Diucapkan di depan Rapat Terbuka Majelis Guru Besar


Universitas Gadjah Mada
pada tanggal 2 Juni 2004
di Yogyakarta

Oleh:
Prof.Dr.Ir. Yustinus Marsono, M.S.

3
SERAT PANGAN DALAM PERSPEKTIF ILMU GIZI
Pendahuluan
Fenomena dibidang kesehatan yang sekarang sedang dihadapi
dunia pada umumnya dan Indonesia khususnya adalah semakin
meningkatnya penyakit degeneratif dari tahun ke tahun. Penyakit ini
selain disebabkan oleh ketidak mampuan tubuh untuk melakukan
regenerasi sel secara normal juga dipicu oleh ketidak seimbangan
asupan zat gizi. Penelitian dalam tiga dasa warsa terakhir menunjukkan bahwa serat pangan menyumbangkan peran yang signifikan dalam
pencegahan berbagai penyakit degeneratif. Akan tetapi kesadaran
tentang pentingnya serat pangan di masyarakat Indonesia baru mulai
terasa dalam beberapa tahun terakhir. Dalam pidato pengukuhan ini
saya mencoba untuk mengetengahkan beberapa hal yang berkaitan
dengan masalah tersebut.
Meskipun nilai dari serat pangan sudah disadari oleh bangsa
Yunani sejak abad ke empat sebelum masehi dan mulai mendapat
perhatian pada awal abad ke 19, namun masih sedikit kalangan yang
merespon positip (BNF, 1990). Perhatian khusus mengenai
karbohidrat dalam diet telah meningkat sejak dilontarkannya hipotesis
the Sacharine disease (Cleave, 1956), yang menyatakan bahwa
banyaknya penyakit non infeksi yang diderita masyarakat barat
disebabkan oleh tingginya konsumsi gula atau refined carbohydrate.
Sedangkan istilah dietary fibre sebenarnya sudah muncul pada
pertengahan abad dua puluh (Hipsley, 1953). Namun, era serat pangan
baru mulai pada tahun tujuh puluhan, yaitu sejak dikemukakannya
dietary fibre hypothesis, yang menyatakan bahwa ada kaitan antara
kesehatan dengan kandungan dinding sel tanaman dalam diet
(Trowell, 1972). Definisi serat pangan yang dikemukakan oleh
Trowell (1972) kemudian diredefinisi oleh Trowell dan koleganya
sebagai dinding sel tumbuhan yang tahan terhadap hidrolisis oleh
enzim di dalam usus halus manusia meliputi polisakarida bukan pati
(non starch polysaccharide) dan lignin (Trowell et al., 1976). Dalam
perkembangan selanjutnya definisi tersebut telah mengalami beberapa
kali perubahan karena tinjauan struktur kimia maupun efek fisiologis
serat pangan. Definisi terbaru diberikan oleh the American Asso-

4
ciation of Cereal Chemist (AACC) pada tahun 2001 (Anonim, 2001)
yang menyatakan bahwa serat pangan adalah bagian tumbuhan yang
dapat dimakan atau analog dengan karbohidrat, yang tahan terhadap
pencernaan dan absorpsi di dalam usus halus manusia dan mengalami
fermentasi sebagian atau seluruhnya di dalam usus besar. Serat pangan
meliputi polisakarida, karbohidrat analog, oligosakarida, lignin, dan
bahan yang terkait dengan dinding sel tanaman (waxes, cutin,
suberin). Serat pangan memberikan efek fisiologis menguntungkan
meliputi laksasi, dan atau mengatur kolesterol darah, dan atau
mengatur glukosa darah. Karbohidrat analog yang dimaksudkan
dalam definisi ini meliputi dekstrin tak tercerna, pati resisten (resistant
starch) dan senyawa karbohidrat sintetis (polydekstrosa, metil selulosa
dan hydroxypropylmethyl selulosa). Dalam bahasa Indonesia ada
beberapa istilah sebagai terjemahan dietary fibre, ada yang menyebut
sebagai serat makanan (Dedy Muchtadi et al., 1995), serat diet
(Priyanto Triwitono, 1994), serat makan (Suyitno, 1995), dan serat
pangan (Marsono, 1996). Di Indonesia ada perbedaan pengertian
antara pangan dengan makanan. Departemen Kesehatan R.I. menyatakan bahwa makanan adalah produk olahan dari suatu bahan yang
dapat dimakan oleh manusia. Sedangkan pangan didefinisikan segala
sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air baik diolah maupun
tidak, diperuntukkan sebagai bahan makanan atau minuman bagi
konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku
pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan,
pengolahan dan atau pembuatan makanan atau minuman (Anonim,
1996). Istilah serat makanan selain membatasi hanya berlaku untuk
produk yang sudah mengalami pengolahan juga membatasi
bentuknya, karena tidak mengakomodasi serat yang berada dalam
bentuk minuman. Pengertian dietary fibre mencakup seluruh bagian
tanaman yang tidak dapat dicerna enzim pencernaan manusia, tanpa
membedakan apakah mengalami proses pengolahan atau tidak, tanpa
melihat apakah untuk kepentingan diet atau bukan, dan tanpa
mempertimbangkan apakah serat tersebut dapat dimakan atau tidak,
maka istilah dietary fibre dalam bahasa Indonesia lebih tepat
disebut sebagai serat pangan (Marsono, 1996). Ini juga senada dengan
istilah lain yang menyebut dietary fibre sebagai plant fibre (Anderson
& Chen, 1979) atau plantix (Spiller et al, 1976).

5
Penelitian mengenai serat pangan di Indonesia menghadapi
banyak kendala diantaranya adalah keterbatasan alat dan bahan kimia
terutama ensim, serta besarnya biaya. Oleh karena itu saya mengusulkan penentuan serat pangan by difference, yaitu berat bahan
dikurangi dengan jumlah air, protein, lemak, abu, pati dan gula (mono
dan disakarida). Ini selaras dengan definisi serat pangan menurut
AACC (Anonim, 2001) bahwa komponen serat pangan meliputi
polisakarida bukan pati dan karbohidrat analog, oligosakarida, lignin,
dan senyawa terkait dengan dinding sel, yang semuanya itu merupakan bagian dari bahan dikurangi dengan jumlah air, protein, lemak,
abu, pati dan gula (mono dan disakarida). Meskipun disadari bahwa
penentuan serat pangan dengan cara ini kurang akurat, tetapi untuk
tujuan pemberian informasi gizi pendekatan serat pangan by difference lebih teliti dibanding dengan menyatakan jumlah serat kasar
(crude fibre), karena serat kasar hanya terdiri dari selulosa dan lignin.
Dalam serat pangan terdapat komponen selain kedua komponen
penyusun serat kasar tersebut misalnya hemiselulosa, oligosakarida,
pektin, gum dan mungkin juga waxes, cutin dan suberin maka pada
umumnya nilai serat kasar dari suatu bahan lebih kecil daripada serat
pangannya.
Berdasarkan sifat kelarutannya serat pangan dibedakan menjadi
serat larut (soluble fibre) dan serat tidak larut (insoluble fibre) yang
ternyata juga memiliki perbedaan dalam sifat fisiologisnya. Secara
kimiawi serat tidak larut terutama terdiri dari selulosa, hemiselulosa
dan lignin, sedang serat larut terdiri dari pektin dan polisakarida lain
misalnya gum (BNF, 1990). Kedua jenis serat ini memiliki sifat yang
berbeda serta memberikan efek fisiologis yang berbeda pula
(Marsono, 1995).
Di Indonesia pengetahuan tentang serat pangan belum begitu
populer. Istilah serat pangan lebih banyak dikenal melalui iklan
produk fiber di TV daripada penjelasan resmi oleh lembaga terkait
misalnya Depkes atau Sekolah. Kenyataan mengenai tingginya prevalensi penyakit degeneratif beberapa tahun terakhir ini mengharuskan
kita untuk lebih menyadari tentang peran serat pangan yang selama ini
tidak pernah kita perhatikan. Sudah saatnya kurikulum di SD, SLTP
maupun SMU pada mata pelajaran ilmu kesehatan atau ilmu gizi juga
membicarakan materi mengenai serat pangan, sehingga anak didik

6
kita dan masyarakat pada umumnya mendapatkan informasi yang
lebih komplit dan akurat.
Dalam definisi yang dikemukanan oleh AACC (2001), salah
satu karbohidrat analog adalah pati resisten (resistant starch),
sedangkan komponen serat yang lain adalah oligosakarida. Dalam
uraian ini nanti juga akan dibicarakan mengenai pati resisten dan
oligosakarida khususnya fruktooligosakarida (FOS), yang akhir-akhir
ini mendapat perhatian semakin meningkat dari kalangan peneliti dan
industri. Dalam ilmu gizi terminologi pati resisten relatip baru, dan
merupakan perkembangan dalam pemahaman mengenai karbohidrat
dalam ilmu gizi. Sampai dengan akhir tahun delapan puluhan dalam
ilmu gizi dinyatakan bahwa pati mulai dicerna di dalam mulut dan
disempurnakan di dalam usus halus manusia. Akan tetapi banyak hasil
penelitian baik in vitro maupun in vivo menunjukkan bahwa tidak
semua pati yang dikonsumsi dapat dicerna dengan sempurna. Timbulnya istilah pati resisten (resistant starch) bermula dari adanya
fenomena bahwa pemanasan kembali serta pendinginan pati yang
telah mengalami gelatinisasi dapat merubah struktur pati yang
mengarah pada terbentuknya kristal baru yang tidak larut, berupa pati
teretrogradasi (retrograded starch). Peristiwa ini banyak terjadi
mengingat kebanyakan makanan berkabohidrat tinggi seperti sereal
dan umbi-umbian diolah dengan pemanasan (dengan atau tanpa
adanya air) yang sering dilanjutkan dengan pengeringan dan atau
penggorengan sebelum dikonsumsi. Pemanasan pati disertai air berlebihan akan mengakibatkan pati mengalami gelatinisasi, suatu proses
yang meliputi hidrasi dan kerusakan granula pati yang bersifat
ireversibel dan pelarutan granula pati (Wursch, 1989) yang apabila
mendapat perlakuan lain akan mengakibatkan terjadinya retrogradasi
(Thomas & Atwell, 1999). Gelatinisasi dan retrogradasi yang sering
terjadi selama pengolahan bahan berpati dapat mempengaruhi kecernaan pati di dalam usus halus. Sebagai contoh sejumlah pati pada
kentang, pisang, kacang-kacangan (Fleming & Vose, 1979; Englyst &
Cumming, 1986; McBurney et al., 1988) serta berbagai produk olahan
misalnya roti tawar, corn flakes dan nasi (Wolever et al., 1986;
Englyst & Cummings, 1985, Marsono et al., 1993) ditemukan tidak
tercerna dengan sempurna di dalam usus halus manusia dan hewan
yang ditandai dengan adanya pati dalam digesta (isi usus) di usus

7
besar. Fraksi pati ini disebut pati resisten (Englyst & Cummings,
1987a). Secara fisiologis, pati resisten didefinisikan sebagai jumlah
dari pati dan hasil pencernaan pati yang tidak diserap di dalam usus
halus individu sehat (Asp, 1992).
Kenyataan bahwa tidak semua pati dapat dicerna sempurna di
dalam usus besar telah mendorong Englyst et al. (1992) mengusulkan
klasifikasi pati berdasarkan kecernaannya menjadi 3 jenis yaitu: (i)
Rapidly digestible starch = RDS, (ii) Slowly digestible starch = SDS
dan (iii) Resistant starch = RS. Resisitant starch atau pati resisiten
dikelompokkan lagi menjadi tiga yaitu (a) RS-1 yaitu pati yang secara
fisik sulit dicerna, misalnya pati pada biji-bijian utuh atau tidak
mengalami penggilingan, (b) RS-2 yaitu granula pati yang resisten,
misalnya pati kentang dan pisang mentah dan (c) RS-3 yaitu pati teretrogradasi atau pati yang resisten karena proses pengolahan misalnya
dijumpai pada roti tawar dan corn flakes. Akhir-akhir ini penggolongan RS ditambah lagi satu kelompok pati resisten (RS-4) yaitu pati
modifikasi atau modified starch (Thomas & Atwell, 1999, Brouns et
al., 2002). Bukti bahwa pengolahan dapat menghasilkan pati resisten
telah banyak dilakukan dalam banyak penelitian beberapa tahun
terakhir ini, misalnya pada nasi tanak, tepung beras, rice pop dan rice
cakes (Marsono & Topping, 1993), umbi dan sukun yang mengalami
pengukusan dan pembuatan ceriping (Marsono, 1999) dan pisang
kepok serta pisang tanduk yang mengalami pengukusan dilanjutkan
pendinginan maupun pembekuan serta ceriping pisang (Marsono,
2002a). Keberadaan pati resisten dapat dipengaruhi oleh berbagai
faktor meliputi proses pengolahan, tipe pati (amilosa atau amilopektin), keadaan fisik bahan (derajat hidrasi, ukuran partikel) serta
adanya komponen lain misalnya lipida (British Nutrition Foundation
= BNF, 1990).
Sejalan dengan berkembangnya makanan fugsional, beberapa
tahun terakhir ini telah terjadi pengembangan produk baru yaitu
fruktooligosakarida (FOS) atau sering disebut oligofruktosa. Secara
kimiawi produk ini tidak termasuk kelompok polisakarida bukan pati
(non starch polysaccharide=NSP) tetapi di dalam usus halus tidak
mengalami degradasi, sehingga akan mencapai usus besar dan nasibnya sama seperti polisakarida bukan pati. Oligosakarida termasuk
dalam kategori serat pangan menurut redefinisi yang dikemukakan

8
oleh Trowell dan koleganya tahun 1976 (Trowel et al., 1976), atau
pada definisi yang diberikan oleh AACC (Anonim, 2001). Salah satu
oligosakarida yang akhir-akhir ini banyak mendapat perhatian dan
banyak ditambahkan dalam suplemen makanan adalah inulin. Secara
kimiawi inulin adalah polimer fruktan dengan derajat polimerisasi 2
sampai 60, merupakan rantai fruktosil yang dihubungkan oleh ikatan
(2-1) dan diakhiri dengan sebuah unit glukosil (Dysseler et al. 1993).
Karena struktur inilah maka inulin resisten terhadap hidrolisis
enzimatis di dalam usus halus dan akan mengalami fermentasi oleh
mikroflora di dalam kolon. Jadi inulin mempunyai kesamaan aktivitas
fisiologis seperti polisakarida bukan pati (non starch polysaccharides). Senyawa ini bisa ditemui di dalam berbagai tanaman yang
dapat dimakan misalnya pisang, barley, bawang putih, tomat, akar
asparagus dan terigu (Spiegel et al., 1994). Inulin merupakan oligofruktosa yang banyak diusahakan secara komersial dan telah dilaporkan memiliki efek fisiologis sangat menguntungkan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa penambahan oligofruktosa dalam diet
dapat meningkatkan kesehatan usus besar (Menne et al., 2000; den
Hond et al., 2000). Karena alasan manfaat kesehatan tersebut oligofruktosa atau inulin sekarang banyak diperdagangkan sebagai suplemen makanan, sebagai prebiotik dan promotor aktivitas bakteri bifido
(bifidobacteria) dengan berbagai nama dagang.
Sifat fisik dan kimia serta efek fisiologis serat pangan
Pengetahuan serat pangan menjadi menarik karena efek fisiologis yang ditimbulkan, maka sebagian besar penelitian mengenai
serat pangan diarahkan untuk menggali efek fisiologisnya. Efek
fisiologis berkaitan dengan sifat fisik dan kimia serat pangan dan
fraksi-fraksinya. Sifat-sifat spesifik serat pangan yang berkaitan
dengan efek fisiologisnya meliputi: fermentabilitas, kapasitas pengikatan air, absorpsi molekul organik, viskositas dan sifat penukar ion.

9
a. Fermentabilitas
Seperti sudah tersurat dalam definisi, serat pangan tidak dapat
dicerna di dalam usus halus, tetapi akan mengalami degradasi
mikrobiologis (fermentasi) di dalam kolon sebagian atau seluruhnya.
Fermentasi tersebut menghasilkan asam lemak rantai pendek (ShortChain Fatty Acids = SCFA) terutama asam asetat, propionat dan
butirat serta asam valerat, iso valerat, iso butirat dalam jumlah yang
lebih kecil. Di samping itu juga dihasilkan gas methane (CH4), karbon
dioksida (CO2) dan hydrogen (H2). Fermentabilitas serat pangan
mempengaruhi "keruahan feses" karena jumlah masa bakteri dalam
feses tersebut. Dengan kata lain sifat meruah feses merupakan
gabungan dari sifat serat sendiri yang tidak tercerna dan masa bakteri
yang tumbuh pada substrat serat tersebut. Efektivitas fermentasi tergantung dari jenis serat pangan dan berpengaruh pada sifat laksative
yang ditimbulkan. Polisakarida bukan selulolasa lebih mudah
terdegradasi oleh bakteri dan memberi andil asam lemak rantai pendek
yang dipercayai dapat menyehatkan kolon. Pektin hampir terfermentasi secara komplit dan tidak mempunyai efek laksative. Sifat
fermentabilitas ini sekarang banyak dimanfaatkan dalam penyediaan
makanan prebiotik. Pada prinsipnya makanan prebiotik adalah
makanan yang justru tidak dapat dicerna di dalam usus halus sehingga
lolos ke dalam kolon dan merupakan substrat bagi mikroflora. Agar
efek prebiotik bisa maksimum konsumsi prebiotik sebaiknya juga
disertai dengan konsumsi probiotik yang merupakan mikroflora yang
dapat memfermentasi prebiotik di samping menjaga keseimbangan
mikroflora di dalam kolon.
b. Kapasitas pengikatan air
Serat pangan terutama serat tidak larut memiliki sifat mampu
menahan air (water holding capacity =WHC). Sifat ini berkaitan
dengan residu gula dengan gugus polar bebas (Schneeman, 1986).
Pektin, gum, mucilages dan sebagian hemiselulose mempunyai WHC
yang tinggi. Hidrasi dari serat akan menghasilkan pembentukan
matrik gel. Hal ini dalam usus halus dapat menghasilkan viskositas
digesta yang tinggi dan dapat memberikan efek memperlambat pengo-

10
songan usus, difusi dan absorpsi zat gizi. Pada umumnya serat yang
WHC-nya tinggi lebih mudah difermentasi dari pada yang WHC-nya
rendah. Kapasitas pengikatan air juga dipengaruhi oleh ukuran
partikel serat (Marsono et al., 1993) dan mempunyai pengaruh yang
besar pada sifat laksative serat (Slavin, 1990). Serat dengan ukuran
partikel halus mempunyai WHC yang rendah serta menghasilkan berat
feses yang lebih kecil (Marsono & Topping, 1999, Bird et al., 2000).
Kapasitas pengikatan air yang tinggi dimanifestasikan dengan tingginya kadar air feses pada individu yang asupan seratnya tinggi,
seperti sudah banyak dilaporkan baik pada hewan coba maupun manusia. Sifat ini penting sebab dapat mengurangi waktu transit di dalam
kolon dan menaikkan berat feses.
c. Absorpsi molekul organik
Serat pangan mempunyai kemampuan mengikat molekul organik misalnya asam empedu, kolesterol dan toksin. Studi in vitro
menunjukkan bahwa lignin sangat potensial untuk mengabsorpsi asam
empedu tetapi sebaliknya selulosa hanya mimiliki kemampuan yang
kecil. Kemampuan mengikat molekul asam empedu secara in vivo
dapat ditelusuri dengan mengukur ekskresi asam empedu dan steroid
di dalam feses. Kemampuan ini juga dipercaya sebagai salah satu
mekanisme penurunan kolesterol oleh serat pangan. Masih sangat
sedikit penelitian yang mengungkap kemampuan serat pangan
mengikat toksin, tetapi telah diketahui bahwa dengan asupan serat
yang tinggi, karsinogen di dalam kolon dan rektum diencerkan dan
dengan demikian juga mempunyai waktu kontak dengan mukosa yang
lebih pendek.
d. Viskositas
Komponen utama serat pangan adalah polisakarida bukan pati
(non starch polysaccharide) yang bersifat kental atau viskus. Sifat
tersebut ditentukan oleh struktur kimianya yaitu kandungan gugus
methoxy, rantai cabang polimer dan sifat hidrofilik atau hidrophobiknya (BNF, 1990). Gum dan pektin termasuk dalam kelompok serat
larut air. Banyak penelitian menunjukkan bahwa gum dan pektin

11
menaikkan viskositas isi usus sehingga menunda pengosongan perut,
memperpanjang waktu transit (dari mulut sampai caecum) dan mengurangi kecepatan absorpsi di dalam usus halus, sebagian antara lain
disebabkan oleh kenaikan ketebalan lapisan air dipermukaan usus
halus dan sebagian lagi karena perintangan gerakan zat gizi di dalam
lumen. Sedangkan serat tidak larut (misalnya dalam bekatul) tidak
memiliki sifat tersebut, tetapi serat ini mempercepat pengosongan
usus dan transit sepanjang usus. Serat tidak larut menaikkan jumlah
feses sebab tahan terhadap degradasi bakteri, serat larut lebih mudah
difermentasi oleh bakteri sehingga mengakibatkan kenaikan masa
bakteri. Penambahan polisakarida murni dalam makanan atau minuman dapat menurunkan kecepatan absorpsi gula dan menurunkan glukosa plasma post prandial (Blackburn et al., 1984). Serat pangan dapat
memodulasi dan mengurangi kecepatan pencernaan dan absorpsi
lewat 3 mekanisme yaitu (i) mengurangi kecepatan pengisian dan
pengosongan usus, (ii) penghambatan aktivitas ensim oleh serat
pangan dan (iii) penghambatan difusi dan absorpsi zat gizi, ensim dan
substrat di dalam usus halus.
e. Potensi sebagai penukar ion
Sifat fisik serat pangan yang tidak kalah pentingnya adalah
kemampuannya sebagai penukar ion. Sifat ini dapat merupakan sifat
negatif serat pangan karena dapat mengurangi availabilitas mineral
serta absorpsi elektrolit. Jumlah gugus karboksil bebas pada residu
gula serta kandungan asam uronat polisakarida mempunyai kaitan
yang erat dengan sifat ini (Schneeman, 1986). Polisakarida asam
dengan gugus COOH bebas seperti pektin dan lignin dapat mengikat
logam misalnya Fe, dan dapat menghambat absorpsi. Fitat yang
keberadaannya di dalam pangan sering diasosiasikan dengan serat
memegang peran yang penting pada pengikatan mineral.

12
Efek Serat Pangan pada Kesehatan
a. Serat pangan dan diabetes mellitus
Salah satu tujuan terapi diet bagi penderita diabetes tipe II atau
Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM) adalah untuk
mempertahankan level glukosa dan lipid darah sedekat mungkin
dengan level normal sehingga mengurangi risiko komplikasi mikro
maupun makrovaskuler. Banyak penelitian menunjukkan bahwa
suplementasi serat pangan dalam diet tinggi karbohidrat dapat menurunkan kadar glukosa darah pada penderita NIDDM. Diet yang tinggi
karbohidrat tetapi tidak tinggi serat pangan ternyata tidak menghasilkan efek serupa, meyakinkan bahwa serat pangan mempunyai peranan
yang penting dalam menghasilkan efek tersebut. Tiap jenis makanan
dapat memberikan respon glukosa yang spesifik dan berbeda satu
dengan yang lain. Penambahan serat larut (soluble fibre) pada makanan telah banyak dilaporkan dapat menyebabkan penurunan postpandrial glukosa darah dan respon insulin. Akan tetapi gejala serupa tidak
dijumpai pada penambahan serat tidak larut (insoluble fibre) seperti
bekatul gandum atau selulosa. Hal itu disebabkan oleh perbedaan sifat
fisiologis dari kedua serat tersebut. Beberapa mekanisme telah diusulkan oleh para peneliti antara lain serat pangan larut (soluble fibre)
dapat membentuk gel yang viskus sehingga menghambat absorpsi
glukosa (Pastors et al., 1991, Smith et al., 1996), dan meningkatkan
sensitivitas insulin (Anderson et al., 1991, Smith et al., 1996). Keuntungan yang diharapkan dengan kenaikan asupan serat pangan
untuk individu yang menderita diabetes meliputi: (i) mengurangi
postprandial glisemia, (ii) mengurangi konsentrasi glukose basal, (iii)
menaikkan sensitivitas pada insulin dan (iv) mengurangi konsentrasi
kholesterol.
Terkait dengan terapi diet untuk penderita diabetes, pada tahun
80-an Jenkins mengusulkan bahwa pemilihan makanan untuk penderita diabetes sebaiknya tidak hanya didasarkan pada jumlah dan kadar
karbohidrat makanan, tetapi juga harus diperhatikan indeks glisemiknya (Jenkins et al., 1981). Indeks Glisemik (IG) dapat didefinisikan sebagai perbandingan antara luas kurva glukosa darah makanan
yang diuji yang mengandung karbohidrat total setara 50 gram gula,
terhadap luas kurva glukosa darah setelah makan 50 gram glukosa,

13
pada hari yang berbeda dan pada orang yang sama (Truswell, 1992).
Jadi nilai Indeks Glisemik makanan sangat ditentukan oleh respon
glukosa makanan yang bersangkutan. Secara umum respon glukosa
makanan dipengaruhi oleh banyak faktor yaitu; (1) ukuran partikel, (2)
kerusakan integritas dinding sel, (3) ketersediaan pati dan proses
pengolahan yang dilakukan (gelatinisasi, retrogradasi), (4) rasio amilosa dan amilopektin, (5) adanya lemak dan protein (6) adanya
polisakarida (terutama yang bersifat viskus) dan adanya zat antigizi
(inhibitor amilase, fitat, lektin, tannin dan sebagainya) (BNF, 1990).
Dalam penentuan Indeks Glisemik digunakan makanan standar berupa
glukosa atau roti tawar, oleh karena itu data Indeks Glisemik yang ada
saat ini ada yang didasarkan pada makanan standar glukosa, ada pula
yang makanan standarnya roti tawar. Untuk membandingkan Indeks
Glisemik makanan harus digunakan standar yang sama. Sebagai pedoman bila digunakan makanan standar roti tawar nilai Indeks Glisemik
harus dikalikan 0,7 bila ingin dibandingkan dengan Indeks Glisemik
yang makanan standarnya glukosa. Di negara-negara maju daftar
Indeks Glisemik berbagai jenis makanan sudah tersedia. Thorburn et
al., 1986 melaporkan Indeks Glisemik maltosa, laktosa, madu, sukrosa
dan fruktosa berturut-turut adalah 108, 90, 75, 60 dan 20 dengan
standar glukosa 100. Di Australia, beras dan produk-produk beras
dilaporkan memiliki Indeks Glisemik berkisar dari 66 (beras putih
Doongara) sampai 93 (beras putih Pelde) sedangkan bekatul memiliki
Indeks Glisemik 19 (Miller et al., 1992). Sementara itu, Brand et al.
(1990) melaporkan Indeks Glisemik kentang, corn flakes, dan roti
tawar berturut-turut adalah 70-97, 80 dan 70. Pasta dan kebanyakan
buah-buahan memiliki Indeks Glisemik berkisar 40-50 dan 23-70,
sedangkan kacang-kacangan berkisar 25-45. Di Amerika telah dipublikasi daftar Indeks Glisemik yang merupakan review data dari berbagai
belahan dunia, meliputi 565 item makanan dengan relawan uji normal
(sehat), penderita IDDM (Insulin Dependent Diabetes Mellitus) atau
penderita NIDDM (Foster-Powell & Miller, 1995).
Di Indonesia, daftar Indeks Glisemik masih sangat terbatas.
Penelitian pada beberapa makanan khas Indonesia menunjukkan bahwa dengan makanan standar roti tawar (IG=100), uwi (Dioscorea
alata LINN) mempunyai nilai Indeks Glisemik 73, sedangkan sukun
(Artocarpus communis FORST), singkong dan pisang tanduk masing-

14
masing adalah 90, 73 dan 92 (Marsono, 2001). Peneliti yang sama
juga melaporkan bahwa Indeks Glisemik garut (Maranta arundinacea
LINN) sangat rendah yaitu 14, sedangkan gembili (Dioscorea
aculeata), kimpul (Xanthosoma violaceum SCHOOT) dan ganyong
(Canna edulis KER) , masing-masing adalah 90, 95 dan 105 (Marsono, 2002). Kacang-kacangan memiliki Indeks Glisemik yang relatif
rendah yaitu 26, 30, 31, 35, 51 dan 76 berturut-turut untuk kacang
merah (Vigna umbellata), kacang kapri (Pisum sativum LINN), kedelai (Glicine max MERR), gudhe (Cajanus cajan MILLSPAUGH),
kacang tunggak (Vigna sinensis ENDL) dan kacang hijau (Phaseolus
aureus) (Marsono et al., 2002). Kacang buncis (Phaseolus vulgaris)
dan kacang panjang (Vigna sesquipedalis) memiliki Indeks Glisemik
masing-masing masing-masing adalah 43 dan 86 (Marsono et al.,
2003).
Angka-angka Indeks Glisemik tersebut dapat dipakai sebagai
acuan dalam pemilihan makanan untuk menekan kenaikan glukosa
darah penderita diabetes. Namun perlu diingat bahwa respon glukosa
tidak ditentukan oleh makanan tunggal, tetapi semua makanan yang
disantap. Jadi tidak ada artinya bila kita makan makanan dengan
indeks glisemik rendah tetapi makanan penyertanya adalah sumber
gula. Assosiasi Diabetes Inggris menganjurkan bahwa paling sedikit
50% enersi harus berasal dari makanan yang memiliki Indeks
Glisemik rendah dan kaya karbohidrat komplek terutama serat pangan
(BNF, 1990).
b. Serat pangan dan hiperlipidemia
Salah satu komplikasi metabolik penderita diabetes adalah
timbulnya hiperkolesterolemia, yang dipercayai merupakan salah satu
faktor risiko penyakit jantung koroner. Oleh karena itu kontrol lipida
darah merupakan tindakan penting yang harus dilakukan oleh penderita diabetes. Pengendalian lipida darah dapat dilakukan dengan mengurangi asupan, mengurangi sintesis atau menaikkan ekskresi lipida.
Diet tinggi serat telah diyakini dapat membantu menurunkan kolesterol, meskipun tidak semua serat memiliki efektivitas yang sama. Serat
larut air (soluble fibre) telah terbukti dapat menurunkan plasma
kolesterol darah penderita diabetes baik pada orang dengan level

15
kolesterol normal atau pada orang hiperlipidemia, tetapi efek tersebut
tidak dijumpai pada serat tidak larut lair (insoluble fibre).
Pengaruh serat pangan yang lebih penting dan relevan dengan
hiperlipidemia adalah kemampuan serat pangan untuk mengikat asam
empedu. Serat pangan larut telah terbukti baik dalam penelitian in
vitro maupun in vivo, mempunyai kemampuan untuk mengikat asam
empedu. Hal tersebut dapat memacu ekskresi sterol dan secara tidak
langsung dapat menurunkan kolesterol yang disirkulasi (Malkki,
2001). Dukungan dari teori ini telah datang dari studi yang dilakukan
pada pasien ileostomi. Pada pasien tersebut, diet tinggi serat menaikkan ekskresi sterol secara signifikan dan diikuti dengan penurunan
total dan LDL (Low Density Lipoprotein) kolesterol. Cholestyramine,
obat penurun kolersterol pada penderita hiperkolesterolaema bekerja
dengan prinsip ini dan telah menunjukkan dapat menurunkan insiden
sakit jantung koroner. Serat pangan yang bersifat viskus yaitu serat
larut (soluble fibre) juga dapat menghambat absorpsi kolesterol di
dalam usus halus sehingga menurunkan availabilitas kolesterol bagi
tubuh. Pada saat yang sama sintesis kolesterol di dalam liver juga
dihambat sebagian disebabkan oleh pengurangan sekresi insulin yang
mengaktifkan enzim untuk sintesis kolesterol dan sebagian lain disebabkan oleh penyimpangan komposisi asam empedu terutama konsentrasi asam deoksi kolik yang tinggi dapat mencegah sintesis kolesterol
(Marlett, 1997). Hal yang tidak kalah menarik ialah bahwa produk
dari fermentasi yaitu asam lemak rantai pendek atau Short Chain Fatty
Acid (SCFA) terutama asam propionat dapat juga memberikan
kontribusi pada efek penurunan kolesterol dari serat. Hara et al.
(1999) melaporkan bahwa pada tikus, SCFA dapat menekan sintesis
kolesterol baik di liver maupun di usus.
Ada lima mekanisme untuk menjelaskan mengapa serat pangan
dapat menurunkan kolesterol yaitu (1) serat pangan dapat meningkatkan ekskresi empedu, (2) serat pangan menghambat absorpsi kolesterol, (3) serat pangan menurunkan availabilitas kolesterol karena
kemampuannya untuk mengikat senyawa organik, (4) asam lemak
rantai pendek (SCFA) yang dihasilkan dalam fermentasi serat dapat
mencegah sintesis kolesterol, dan (5) serat pangan dapat menurunkan
densitas enersi makanan sehingga mengurangi sintesis kolesterol.
Teori ini memberi harapan bagi kita yang ingin menikmati makanan

16
berkolesterol yaitu dengan cara mengkonsumsi bersamaan dengan
makanan yang mengandung banyak serat.
c. Serat pangan dan penyakit saluran pencernaan
Beberapa penyakit saluran pencernaan makanan misalnya
konstipasi, divertikulosis, hemoroid dan kanker kolon, berkaitan erat
dengan asupan serat pangan. Kecurigaan bahwa konstipasi merupakan
penyakit karena kekurangan serat pangan, mulai muncul pada tahun
tujuh puluhan. Burkitt dan koleganya mendapati bahwa orang-orang
Eropa yang tinggal di Afrika Selatan ternyata lebih banyak menderita
konstipasi daripada penduduk asli yang tinggal ditempat yang sama.
Studi mereka akhirnya membuka pemahaman yang sangat berarti
dalam bidang ilmu gizi. Berkat publikasi mereka serat pangan kemudian banyak diteliti di berbagai belahan dunia. Sifat meruah (bulky)
serat pangan merupakan jawaban mengapa bahan ini dipercayai dapat
mencegah konstipasi. Sifat meruah sangat erat kaitannya dengan sifat
laksative, yaitu memudahkan buang air besar. Rasa sakit atau ketidak
nyamanan akibat konstipasi bukanlah akibat akhir dari kekurangan
serat pangan. Bila sakit ini tidak segera diatasi, risiko timbulnya
penyakit lain seperti divertikulosis, hemoroid dan kanker kolon semakin besar. Banyak penelitian telah membuktikan bahwa serat pangan
tidak larut air (insoluble fibre) mempunyai sifat mudah menahan air
sehingga menyebabkan feses meruah (bulky) dan mudah dikeluarkan.
Sifat meruah juga disebabkan oleh bertambahnya masa bakteri dalam
feses yang kaya akan serat, sebab serat pangan merupakan substrat
yang sangat baik untuk pertumbuhan mikroflora di dalam kolon. Akan
tetapi sifat laksative tersebut lebih terlihat pada serat tidak larut air
dibanding dengan serat larut air.
Prevalensi kanker kolon dan rektum sangat tinggi di beberapa
negara Eropa, Amerika Utara dan Australia, tetapi relatip rendah di
negara-negara Afrika, Asia dan Amerika Tengah. Banyak studi menyimpulkan bahwa kanker kolon dan rektum tidak disebabkan oleh
faktor genetik, tetapi karena faktor lingkungan yaitu budaya atau
kebiasaan yang berkaitan dengan diet. Studi mengenai pengaruh serat
pangan terhadap kanker kolon dan rektum memberikan hasil yang
tidak seragam, ada yang menunjukkan pengaruh positip tapi juga ada

17
yang negatip. Beberapa mekanisme yang diusulkan untuk menjelaskan
bagaimana serat pangan dapat mencegah kanker kolon dan rektum
telah disampaikan oleh Kelompok Kerja The British Nutrition Foundation yaitu ; (i) sifat meruah feses yang kaya serat pangan menyebabkan pengenceran isi kolon, mempercepat transit sehingga mengurangi aksi karsinogenik dan mengurangi substrat untuk produksi
karsinogen oleh bakteri, (ii) asam lemak rantai pendek (SCFA) hasil
fermentasi serat memberikan suasana asam dan dapat menetralkan
ammonia, sehingga memberikan kondisi yang tidak cocok untuk
pertumbuhan sel tumor, (iii) asam butirat salah satu SCFA dapat
menekan pertumbuhan sel kanker (BNF, 1990). Hubungan yang
berlawanan antara konsumsi serat pangan dan risiko terhadap kanker
kolon telah banyak dibuktikan pada beberapa penelitian meskipun
juga ada penelitian yang memberikan hasil yang tidak sama (Jacobs,
1989; Young & Gibson, 1991).
Di samping efek-efek kesehatan tersebut di atas banyak publikasi juga menyatakan bahwa serat pangan dapat membantu mencegah
kegemukan, mencegah batu empedu dan karies gigi (BNF, 1990).
Berapa banyak asupan serat pangan diperlukan untuk mendapatkan
efek kesehatan yang diinginkan?. Berbagai negara memberikan
rekomendasi yang sedikit berbeda yaitu antara 10-13g/1000kcal per
hari atau sekitar 30-40g per hari (BNF, 1990). Di Indonesia rekomendasi asupan serat pangan baru diusulkan pada Widya Karya Nasional
Pangan dan Gizi (WNPG) VIII tanggal 17-19 Mei 2004 yaitu sebesar
10-13g/1000 kcal (Hardinsyah & Victor Tambunan, 2004). Untuk
mencapai kecukupan yang dianjurkan kita dapat mengkonsumsi serat
dari berbagai sumber pangan kaya serat. Kandungan serat pangan
beberapa jenis pangan dapat dilihat pada table 1-A, 1-B dan 1-C (lihat
lampiran).
Penutup
Uraian secara ringkas ini memberikan gambaran betapa serat
pangan sebagai salah satu zat gizi telah mengalami perkembangan
pemahaman. Faktor yang mendukung kenaikan daya tarik serat
pangan adalah sifat-sifat serat, efek fisiologis serta manfaatnya bagi
kesehatan. Begitu besarnya pengaruh serat pangan dalam kesehatan,

18
sehingga pada awal popularitasnya, serat pangan pernah disebut
sebagai zat gizi ajaib (Flath, 1975). Sifat-sifat fisik serat pangan
memberikan efek fisiologis yang spesifik dengan demikian juga
mempunyai pengaruh kesehatan yang spesifik pula. Sebagai negara
yang padat penduduk dengan asupan zat gizi yang sangat variatip
kemungkinan efek negatip karena rendahnya asupan serat pangan
mungkin tidak begitu terasa. Akan tetapi bukan berarti kita harus
melupakan atau mengabaikan. Rekomendasi mengenai kecukupan
asupan serat pangan yang diusulkan oleh WNPG VIII perlu disosialisasikan kepada masyarakat sebagai bahan pertimbangan perancangan
dan pengelolaan diet untuk berbagai keperluan. Sosialisasi mengenai
manfaat dan sumber-sumber serat pangan kepada seluruh lapisan
masyarakat juga perlu di berikan agar masyarakat yang selama ini
menerima informasi serat pangan lewat iklan produk di TV atau radio
juga mendapat informasi yang imbang dari sumber lain yang lebih
kompeten. Bagi Institusi Pendidikan yang mempelajari pangan sudah
waktunya tidak hanya mengajarkan serat kasar (crude fibre) kepada
para mahasiswanya, tetapi juga serat pangan (dietary fibre). Sedangkan bagi awam pengetahuan serat pangan juga sangat diperlukan agar
bisa menjaga diri dan memiliki referensi dalam memilih makanan
untuk menu hariannya. Semoga informasi singkat ini bermanfaat bagi
kita semua.

19
DAFTAR PUSTAKA
Anderson, J.W and Chen, W J-L, 1979. Plant fiber, carbohydrate and
lipid metabolism. Am. J. Clin. Nutr. 32: 346-363.
Anderson, J.W., Zeigle, J.A., Deakin, D.A., Floore, T.L., Dillon,
D.W., Wood, C.L., Oelgent, P.R. and Whitley, R.J., 1991.
Metabolic effects of high carbohydrate, high fiber diets for
Insuline Dependent Diabetic Individuals. Am. J. Clin. Nutr. 54:
936-943.
Anonim, 1996. Undang-undang Pangan (UU RI No. 7 Th. 1996,
tanggal 4 November 1996), dihimpun oleh H.S. Tunggal,
Penerbit Harvarindo, Jakarta.
Anonim, 2001. AACC report, 2001. The definition of dietary fibre.
Cereal Foods World 46: 112-126.
Asp, N-G, 1992. Resistant Starch. Eur. J. Clin. Nutr. 46 (Suppl.2):1
Bird AR, Hayakawa T., Marsono Y, Gooden JM, Record IR, Correll
RL and Topping DL 2000. Coarse brown rice increases fecal
and large bowel short chain fatty acids and starch but lower
calcium in the large bowel of pigs. J. Nutr., 130: 1780-1787.
Blackburn, N.A., Redfern, J.S., Jarjis, M. (1984). The mechanism of
action of guar gum in improving glucose tolerance in man.
Clin. Sci., 66: 329-326.
Brand, JC., Crossman, S., Pang E., Colagiuri S and Truswell AS.,
1990. Low glycaemic recipes and table of glycaemic indices of
foods. Sydney: University of Sydney Nutrition research Foundation.
British Nutrition Foundation (BNF), 1990. Complex carbohydrates in
foods. The report of the British Nutrition Foundation's Task
Force, Chapman and Hall, London.
Brouns, F., Kettlitz, B. & Arrigoni, E., 2002. Resistant starch and
The Butyrate Revolution. Trends in Food Science & Technology 13: 251-261.
Cleave, T.L., 1956. The neglect of natural principles in current medical practice. J.R. Nav. Med. Serv. 42: 55-82.

20
Dedy Muchtadi, Puspitasari-Nienaber, N.L. & Linda Susana, 1995.
Substitusi partial tepung terigu dengan bekatul sebagai sumber
serat makanan dan niasin dalam pembuatan roti manis dan
biscuit. Buletin Teknologi & Industri Pangan, 6 (1) : 48-52.
Den Hond, E., Geypens, B., Ghoos, Y., 2000. Effect of high performance chicory inulin on constipation. Nutr. Res. 20: 731-736.
Dysseler, P., Hoffem, D., Fockedey, J., Quemener, B., Thibault, J-F.,
& Coussement, P., 1993. Inulin : Determination of Inulin and
oligofructose in food products. Proceeding of a Workshop held
on October 21 and 22, 1993 in Carry Le Rouret-Marseille,
France.
Englyst, H.N. and Cummings, J.H., 1985. Digestion of the polysacharides of some cereal foods in the human intestine. Am. J.
Clin. Nutr. 42: 778-787.
Englyst, H.N. and Cummings, J.H., 1986. Digestion of the carbohydrates of banana (Musa paradisiaca sapientum) in the human
small intestine. Am. J. Clin. Nutr. 44: 42-50
Englyst, H.N. and Cummings, J.H., 1987a. Resistant Starch, a new
food component: a classification of starch for nutritional purposes. In: Morton, I.D. (Ed.), Cereals in A European Contex.
Chichester: First European Conference on Food Science &
Technology, Ellis Horwood, pp. 221-233
Flath, C.I., 1975. The Miracle Nutrient. M. Evans & Co., New York.
Fleming, S.E. and Vose, J.R., 1979. Digestibility of raw and cooked
starches from legume seeds using the laboratory rat. J. Nutr.
109: 2067-2075.
Foster-Powell, K & Miller, J.B., 1995. International table of Glisemic
Index. Am. J. Clin. Nutr. 62: 871S-893S.
Hara, H., Haga, S., Aoyama, Y. & Kiriyama, S., 1999. Short-Chain
fatty acids suppress cholesterol syntesis in rat liver and intestine. J. Nutr. 129: 942-948.
Hardinsyah & Victor Tambunan, 2004. Angka kecukupan energi,
protein, lemak dan serat makanan. Program dan abstrak Widya
Karya Nasional Pangan dan Gizi VIII, Jakarta 17-19 Mei 2004.

21
Heaton, K.W., Marcus, S.N., Emmett, P.M. and Balton, C.H., 1988.
Particle size of wheat, maize, and oat test meal: effects on plasma glucose and insulin responses and on the rate of starch
digestion in vitro. Am. J. Clin. Nutr. 47: 675-682
Hipsley, E.H. 1953. Dietary fibre and pregnancy toxaemia. British
Medical Journal 2: 420-422.
Jacobs, L.R.,1988. Dietary Fiber and the Intestinal Mocosa in :
Cummings, J.H. (Ed): The Role of Dietary Fiber in Enteral
Nutrition. Abbott International LTD, Illinois.
Jenkins, D.J.A., Wolever, T.M.S., Taylor R., Barker H.M, Fielder H.,
Baldwin J.M., Bowling A.C., Newman H.C., Jenkins A.L. and
Goff D.F., 1981. Glycemic Index of Foods: a physiological basis for carbohydrate exchange. Am. J. Clin. Nutr. 34: 362-366.
Malkki, Y., 2001. Physical Properties of Dietary Fiber as Keys to
Physiological Functions. Cereal Foods World (5) 46: 196-199.
Marlett, J.A., 1997. Sites and mechanisms for the hypocholesterolemic actions of soluble dietary fiber sources. Adv. Exp. Med.
Biol. 427: 109.
Marsono, Y., Illman, R.J., Clarke, J.M., Trimble, R.P. and Topping,
D.L., 1993. Plasma lipids and large bowel volatile fatty acids in
pigs fed on white rice, brown rice and rice bran. Br. J. Nutr. 70:
503-513.
Marsono, Y. and Topping, D.L., 1993. Complex carbohydrates in
Australian rice products-influence of microwave cooking and
food processing. Food Science and Technology, LWT 26: 364370.
Marsono, Y., 1995. Fermentation of Dietary Fibre in thew Human
Large Intestine: A review. Indonesian Food and Nutr. Progress, 2: 48-53.
Marsono, 1996. Dietary fibre dalam makanan dan minuman fungsional. Kursus singkat Makanan Fungsional, PAU Pangan dan
Gizi UGM, Yogyakarta.
Marsono, Y. and Topping, D.L., 1999. Effects of particle size of rice
on resistant starch and SCFA of the digesta in caestomised
pigs. Indonesian Food and Nutr. Progress 6:44-50

22
Marsono, Y., 1999. Perubahan kadar Resistant Starch (RS) dan Komposisi kimia beberapa bahan pangan kaya karbohidrat dalam
pengolahan. Agritech 19: 124-127.
Marsono, Y., 2001. Glycemic Index of selected Indonesian starchy
foods. Indonesian Food and Nutr. Progress: 8:15-20.
Marsono, Y., 2002. Pengaruh pengolahan terhadap resistant starch
pisang kepok dan pisang tanduk. Agritech 22(2): 56-59.
Marsono, Y., 2002. Indek glisemik umbi-umbian. Agritech 22(1): 1316
Marsono, Y., Priyanto Triwitono dan Sri Kanoni, 2003. Indeks glisemik kacang buncis (Phaseolus vulgaris) dan kacang panjang
(Vigna sesquipedalis) serta uji efek hipoglisemiknya pada tikus
SD. Seminar Nasional PATPI, Yogyakarta, 22-23 Juli 2003.
Marsono, Y., Wiyono, P., dan Zuheid Noor 2002. Index Glisemik
kacang-kacangan. Jurnal Teknologi & Industri Pangan XIII
(3): 211-216.
McBurney, M.I., Thompson, L.U., Cuff, D.C. and Jenkins, D.J.A.,
1988. Comparison of ileal effluents, dietary fibers, and whole
foods in predicting the physiologic importance of colonic fermentation. Am. J. Gastroenterol. 63: 536-540.
Menne, E., Guggenbuhl, N. and Roberfroid, M., 2000. Chicory inulin
hydrolysate has a prebiotic effect in humans. J. Nutr. 130:
1197-1199.
Miller, J.B., Pang, E., and Brasmall, L. (1992). Rice: a high or low
glycemic index foods. Am. J. Clin. Nutr. 56: 1034-6.
Englyst, H.N., Kingman, S.M. and Cummings, J.H., 1992. Classification and measurement of nutritionally important starch
fractions. In: Asp (ed): Resistant Starch: Proceeding from the 2
nd plenary meeting of EURESTA. Eur. J. Clin. Nutr. 46: S33S50.
Pastors, J.G., Blaisdell, P.W., Balm, T.K., Asplin C.M. and Pohl, S.L.,
1991. Psyllium fiber reduces rise in postprandial glucose and
insulin concentration in patients with Non-Insullin-Dependent
Diabetes. Am. J. Clin. Nutr., 53: 1431-1435.
Priyanto Triwitono, 1994. Sifat fisis dan khemis serat diet nangka
muda pada gudeg-kering. Tesis. Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

23
Schneeman, B.O., 1986. Dietary fiber: Physical and Chemical Properties, Methods of Analysis, and Physiological Effects. Food
Tech. : 104-110.
Schneeman, B.O., 1987. Dietary Fiber and Gastrointestinal Function.
Nutr. Rev. 45 (5): 129-132.
Schneeman, B.O., 1989. Dietary Fiber (A Scientific Status Summary
by the Institute of Food Technologists Expert Panel on Food
Safety & Nutrition). Institute of Food Technologists, Illinois.
Slavin, J.L., 1990. Dietary Fiber: Mechanisms or Magic on Disease
Prevention?. Nutr. Today Nov/Dec: 6-10.
Smith, D.C., Habito, R., Barnett, M. and Collier, G.R., 1996. Dietary
guar gum improves insulin sensitivity in Streptozotocininduced diabetics rats. J. Nutr. 127: 359-364.
Spiegel , J.E, Rose, R., Karabell, P., Frankos, VB.H. & Schmitt, D.F.,
1994. Safety and benefits of Fructooligosaccharides as Food
Ingridients. Food Tech.: 85-89.
Spiller, G.A., Fassett-Cornelius, G. & Briggs, G., 1976. A new term
for plant fibers in nutrition. Am., J. Clin., Nutr. 29: 417-427.
Thomas, D.J. & Atwell, W.A., 1999. Starches. Eagan Press, St. Paul,
Minisota, USA.
Thorbun AW., Brand J.C., and Truswell A.S., 1986. The glycaemic
index of foods. Med. J. Aust. 144: 580-582.
Trowell, H. (1972). Definition of dietary fiber and the hypothesis that
it is a protective factor in certain disease. Am. J. Clin. Nutr. 29:
417.
Trowell, H.C., Southgate, D.A.T., Wolever, T.M.S., Leeds, A.R., Gassull, M.A. and Jenkins, D.J.A. 1976. Dietary fiber redefined.
Lancet a: 967.
Truswell, A.S. (1992) Glycaemic index of foods. Eur. J. Clin. Nutr.
46 (Suppl;. 2): S91-S101.
Wolever, T.M.S., Cohen, Z., Thompson, L.U. (1986). Ileal loss of
available carbohydrates in man: comparison of breath method
with direct measurement using a human ileostomy model. Am.
J. Gastroenterology 81: 115-122.
Wursch, P., 1989. Starch in human nutrition. In: Bourne, GH (ed):
Nutritional value of cereal products, beans and starches. World
Rev. Nutr. Diet. 60: 199-256.

24
Young, G.P. and Gibson, P.R., 1991. Contrasting effects of butyrate
on proliferation and differentiation of normal and neoplastic
cells. In: Roche, A.F., Silverman, E. & Redferm, D.E. (Eds.).
Short Chain Fatty Acids: Metabolism and Clinical Importance.
Report on the Tenth ROSS CONFERENCE on Medical
Research. Ross Laboratory, Columbus, Ohio.

25
LAMPIRAN
Table 1-A. Dietary Fiber content of selected foods 9g/100 g edible
portion)
Product
Bakery Products:
Bagels, plain
Bread
Bran
Cracket wheat
Mixed-grain
Oatmeal
Rey
Wheat
White
Whole-wheat
Cake mixes
Chocolate, prepared
Yellow, prepared
Cookies
Chocholate chip
Fig bars
Oatmeal
Crackers
Matzo, plain
Saltines
Wheat

Moisture

Total Dietary Fiber

31.6

2.1

37.7
35.9
38.2
36.7
37.0
37.0
37.1
38.3

8.5
5.3
6.3
3.9
6.2
3.5
1.9
7.4

33.3
40.0

2.2
0.8

4.0
16.7
5.7

2.7
4.6
2.9

6.1

2.9
2.6
5.5

3.2

Sumber: Matthews, R.H. and Pehrrson, P.R. (1988) dalam Schneeman, B.O. (1989).

26
Table 1-B. Dietary Fiber content of selected foods 9g/100 g edible
portion) - lanjutan
Product

Moisture

Total Dietary
Fiber

Taco shells
6.0
8.0
Tortillas
43.6
5.2
Corn
26.2
2.9
Flour
Breakfast Cereals, Ready-to-Eat
2.9
18.8
Bran flakes
8.3
13.4
Brann flakes with raisins
2.8
2.0
Corn flakes, plain
3.1
3.0
Oat flakes, fortified
1.5
1.5
Puffed wheat, sugar coated
2.4
1.2
Rice, crispy
Cereal grains
85.8
1.4
Farina, cooked
73.1
1.7
Rice, brown, cooked
0.5
Rice, white, cooked
Fruit and fruit Products
83.9
2.2
Apples, with skin
88.4
1.5
Applesauce, unsweetened
74.3
1.6
Bananas
86.8
2.4
Oranges
88.1
0.2
Orange juice, prepared
32.4
7.2
Prune, dried
91.6
2.6
Straberries
Sumber: Matthews, R.H. and Pehrrson, P.R. (1988) dalam Schneeman, B.O. (1989).

27
Table 1-C. Dietary Fiber content of selected foods 9g/100 g edible
portion) lanjutan
Product

Moisture

Total Dietary
Fiber

3.3
72.6
68.2
1.1
2.6

11.2
7.7
5.8
6.6
6.8

64.7

1.6

2.5

4.4
15.1
4.8
2.8
6.5

93.3
90.7
87.8
69.6
94.9
81.7
75.4
52.9
94.0
89.1

1.3
2.8
3.2
3.7
1.7
3.4
1.5
4.2
1.3
1.5

Legumes, Nuts, and Seeds


Almonds, oil-roasted
Baked bean, plain
Chickpeas, canned, drained
Peanut butter, chunky
Sunflower seeds,oil-roasted
Pasta
Spaghtti, cooked
Snacks
Corn chips
Popcorn, air-popped
Potato chips
Pretzels
Tortilla chips
Vegetables and vetegable products

Bean, snap, canned, drained


Broccoli, raw
Carrots, raw
Corn, cooked
Lettuce, Romaine
Peas, canned, drained
Potato, baked, fresh
Potato, French-fried
Tomato, raw
Tomato sauce
Vegetables, mixes, frozen, 83.2
cooked
Sumber: Matthews, R.H. and Pehrrson,
man, B.O. (1989).

3.8
P.R. (1988) dalam Schnee-

Anda mungkin juga menyukai