Anda di halaman 1dari 37

MAKALAH

EPIDEMIOLOGI PENYAKIT MENULAR

PENYAKIT YANG DAPAT DICEGAH DENGAN IMUNISASI


(PD3I)
Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Epidemiologi Penyakit Menular

Oleh :

KELOMPOK I

Widyasmara Nur T 122110101085


Rizki Afriliana 142110101018
Maulidia Nur Rohma 142110101019
Nurul Fadilah 142110101025
Nurul Khotimah 142110101037
Faza Qonitatul’An 142110101042
Siti Indriyati Affierni 142110101078

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT


UNIVERSITAS JEMBER
TAHUN 2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayah-Nya sehingga penyusunan Makalah Epidemiologi Penyakit
Menular yang berjudul “Penyakit Yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi(PD3I)”
ini dapat diselesaikan dengan baik dan tepat pada waktunya.

Terima kasih penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah


berkontribusi dalam penyusunan Makalah Epidemiologi Penyakit Menular ini:

1. Irma Prasetyowati, S.KM., M.Kes. dan Yunus Ariyanto, , S.KM.,


M.Kes., selaku Dosen Pengampu Mata Kuliah Epidemiologi Penyakit
Menular
2. Teman – teman Fakultas Kesehatan Masyarakat yang mengikuti Mata
Kuliah Epidemiologi Penyakit Menular yang telah membantu dalam
pembuatan makalah ini.
3. Semua pihak yang tidak dapat kami sebutkan satu per satu.

Penyusunan Makalah Epidemiologi Penyakit Menular telah disusun


seoptimal mungkin. Penulis mengharapkan semoga dari Makalah Epidemiologi
Penyakit Menular ini dapat diperoleh manfaat dan tambahan ilmu pengetahuan
bagi penulis dan pembaca, penulis juga mengharapkan saran yang membangun
demi kesempurnaan Makalah Epidemiologi Penyakit Menular.

Jember, April 2017

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................. i


DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. iii
BAB 1. PENDAHULUAN ..................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang .............................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ......................................................................................... 2
1.3 Tujuan ........................................................................................................... 3
1.3.1 Tujuan Umum ........................................................................................ 3
1.3.2 Tujuan Khusus ....................................................................................... 3
1.4 Manfaat ..................................................................................................... 3
1.4.1 Manfaat Bagi Mahasiswa .................................................................. 3
1.4.2 Manfaat Bagi Fakultas Kesehatan Masyarakat ................................. 3
BAB 2. PEMBAHASAN ........................................................................................ 4
2.1 Pengertian PD3I ............................................................................................ 4
2.2 Jenis PD3I ..................................................................................................... 4
2.2.1 Tuberkulosis ........................................................................................... 4
2.2.2 Poliomyelitis .......................................................................................... 8
2.2.3 Difteri ................................................................................................... 12
2.2.4 Batuk Rejan atau Pertusis..................................................................... 15
2.2.5 Tetanus ................................................................................................. 18
2.2.6 Campak ................................................................................................ 22
2.2.7 Hepatitis B............................................................................................ 26
BAB 3. PENUTUP ............................................................................................... 31
1.5 Kesimpulan ............................................................................................. 31
1.6 Saran ....................................................................................................... 31
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 32

ii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Penyakit Difteri .................................................................................... 12


Gambar 2 Penyakit Pertusis ................................................................................. 16

iii
1

BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Menurut Winslow dalam Chandra (2009) Ilmu Kesehatan Masyarakat
(Public Health) adalah ilmu dan seni untuk mencegah penyakit, memperpanjang
hidup, dan meningkatkan kesehatan, melalui usaha - usaha pengorganisasian
masyarakat untuk perbaikan sanitasi lingkungan, pemberantasan penyakit menular
dan tidak menular, pendidikan untuk kebersihan perorangan, pengorganisasian
pelayanan –pelayanan medis dan perawatan untuk diagnosis dini dan pengobatan,
pengembangan rekayasa sosial untuk menjamin setiap orang terpenuhi kebutuhan
hidup yang layak dalam memelihara kesehatannya.
Permasalahan penyakit menular mempunyai perhatian khusus, banyak
cara yang dilakukan sebagai penanggulangan penyakit menular, salah satunya
dengan pemberian imunisasi dasar. Menurut WHO Imunisasi telah terbukti
sebagai salah satu upaya kesehatan masyarakat yang sangat penting. Program
imunisasi telah menunjukan keberhasilan yang luar biasa dan merupakan usaha
yang sangat hemat biaya dalam mencegah penyakit menular.
Imunisasi merupakan usaha memberikan kekebalan pada bayi dan anak
dengan memasukan vaksin kedalam tubuh agar membuat anti gen untuk
mencegah terhadap penyakit tertentu. Vaksin ini merupakan bahan yang dipakai
untuk merangsang pembentukan zat anti yang dimasukan kedalam tubuh melalui
suntikan seperti vaksin BCG, DPT, Campak, Polio dan Hepatitis.
Di Indonesia sendiri, UNICEF mencatat sekitar 30.000-40.000 anak setiap
tahun menderita serangan campak. Berdasarkan data yang diperoleh, Indonesia
merupakan salah satu dari 10 negara yang termasuk angka tinggi pada kasus anak
tidak diimunisasi, yakni sekitar 1,3 juta anak. (Majalah Farmacia Edisi September
2012, Halaman:54).
Pada dasarnya manusia memiliki tiga imunitas yaitu imunitas didapat,
imunitas aktif, dan imunitas pasif. Imunitas didapat diperoleh karena pernah
menderita suatu penyakit yang menstimulasi sistem perubahan alami tubuh atau
2

karena pernah menderita suatu penyakit yang menstimulasi sistem perubahan


alami tubuh atau karena sengaja (secara buatan) menstimulasi sistem pertahanan
melalui imunisasi. Pada imunisasi aktif, tubuh membentuk antibodinya sendiri.
Hal ini dapat dilakukan melalui pemberian vaksin atau karena harus merespons
patogen penyakit tertentu yang menginvasi tubuh. Imunsasi aktif dan didapat
memang serupa. Imunitas pasif didapat melalui transfer transplasental imunitas
ibu terhadap penyakit ke janinnya. Imunitas pasif juga dapat diperoleh dengan
memasukkan antibodi yang sudah terbentuk ke dalam penderita yang rentan.
Tujuan pemberian vaksin adalah agar tubuh dapat memiliki antibodi yang
dapat bekerja dengan cara yang spesifik dan dalam jalur yang dapat ditelusuri di
dalam sistem pertahanan tubuh. Terdapat beberapa penyakit yang dapat dicegah
dengan imunisasi dan penyakit tersebut mempunyai karakteristik serta sumber
penyebabnya sehingga pencegahan dapat dilakukan sebelumnya akhirnya
penyakit tersebut berkembang.

1.2 Rumusan Masalah


a. Apa definisi penyakit Tuberkulosis, Poliomyelitis, Difteri, Pertusis,
Tetanus, Campak, dan Hepatitis B?
b. Bagaimana gejala dari penyakit Tuberkulosis, Poliomyelitis, Difteri,
Pertusis, Tetanus, Campak, dan Hepatitis B ?
c. Bagaimana sumber penularan dari penyakit Tuberkulosis, Poliomyelitis,
Difteri, Pertusis, Tetanus, Campak, dan Hepatitis B ?
d. Bagaimana penyebab penyakit dari penyakit Tuberkulosis, Poliomyelitis,
Difteri, Pertusis, Tetanus, Campak, dan Hepatitis B ?
e. Bagaimana pencegahan dari Tuberkulosis, Poliomyelitis, Difteri, Pertusis,
Tetanus, Campak, dan Hepatitis B ?
3

1.3 Tujuan

1.3.1 Tujuan Umum


Mengetahui tentang Penyakit Yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi
(PD3I)

1.3.2 Tujuan Khusus


a. Mengetahui definisi penyakit Tuberkulosis, Poliomyelitis, Difteri,
Pertusis, Tetanus, Campak, dan Hepatitis B
b. Mengetahui gejala dari penyakit Tuberkulosis, Poliomyelitis, Difteri,
Pertusis, Tetanus, Campak, dan Hepatitis B
c. Mengetahui sumber penularan dari penyakit Tuberkulosis, Poliomyelitis,
Difteri, Pertusis, Tetanus, Campak, dan Hepatitis B.
d. Mengetahui penyebab penyakit dari penyakit Tuberkulosis, Poliomyelitis,
Difteri, Pertusis, Tetanus, Campak, dan Hepatitis B
e. Mengetahui pencegahan dari penyakit Tuberkulosis, Poliomyelitis, Difteri,
Pertusis, Tetanus, Campak, dan Hepatitis B.

1.4 Manfaat

1.4.1 Manfaat Bagi Mahasiswa


a. Menambah pengetahuan tentang Penyakit Yang Dapat Dicegah Dengan
Imunisasi (PD3I)

1.4.2 Manfaat Bagi Fakultas Kesehatan Masyarakat


a. Menambah referensi tentang Penyakit Yang Dapat Dicegah
Dengan Imunisasi (PD3I)
4

BAB 2. PEMBAHASAN

2.1 Pengertian PD3I


Salah satu indikator yang penting untuk mengetahui derajat kesehatan di
suatu negara adalah banyaknya bayi (umur 0-12 bulan) yang meninggal per 1000
kelahiran hidup (AKB). Penyebab kematian pada bayi di Indonesia salah satunya
dikarenakan terkena penyakit yang sebenarnya dapat dicegah dengan imunisasi.
Dengan imunisasi, sebenarnya tubuh akan membuat antibody yang membuat anak
kebal terhadap penyakit. Bahan yang dipakai untuk merangsang pembentukan zat
antibody disebut vaksin.

2.2 Jenis PD3I


Ada 7 macam penyakit menular yang dapat diupayakan pencegahan
dengan imunisasi, yaitu:
1. Tuberkulosis
2. Poliomyelitis
3. Difteri
4. Pertusis
5. Tetanus
6. Campak
7. Hepatitis B

2.2.1 Tuberkulosis
Tuberkulosis atau TBC merupakan penyakit infeksi bakteri
Mycobacterium tuberculosis pada tubuh. Bakteri ini menyerang berbagai bagian.
Misalnya saja kelenjar getah bening dan organ-organ sistem peredaran darah.
Kasus TBC terbanyak ada pada organ paru-paru.
a. Penyebab
Penyebab penyakit TBC memang infeksi bakteri Mycobacterium
tuberculosis. Akan tetapi kemampuan laten bakteri ini dalam membentuk fase
inaktif di dalam tubuh membuat banyak faktor saling berhubungan, sehingga
akhirnya menimbulkan penyakit seperti yang kita kenal. Faktor-faktor yang
menjadi penyebab penyakit TBC di antaranya adalah sebagai berikut.
5

1). Sistem kekebalan tubuh penderita yang lemah.


2). Bakteri Mycobacterium tuberculosis yang tumbuh menjadi agresif
3). Lingkungan yang kotor sehingga kemungkinan penularan dan penyebaran
bakteri menjadi lebih besar.

b. Gejala
Bila seseorang sudah terinfeksi bakteri Mycobacterium tuberculosis dan
bakteri sudah tidak dalam kondisi laten alias sudah aktif, tubuh orang itu akan
memberikan gejala-gelaja penyakit TBC yang bisa dilihat. Berikut ini gejala-
gejala TBC tersebut.

1). Merasa tidak sehat, lemah, letih, dan lesu.


2). Hilang nafsu makan dan nafsu minum.
3). Batuk-batuk dengan dahak berwarna kekuningan atau kehijauan (awal
TBC) dan dahak yang bercampur darah (TBC akut).
4). Sakit otot.
5). Napas tersengal/bernapas pendek-pendek.
6). Detak jantung yang cepat.
7). Turun berat badan drastis.
8). Demam dan berkeringat di malam hari
9). Sakit dada, sakit punggung, atau sakit ginjal, atau sakit ketiganya.

c. Cara Penularan
Penularan tuberkulosis dari seseorang penderita ditentukan oleh
banyaknya kuman yang terdapat dalam paru-paru penderita, pesebaran kuman
tersebut diudara melalui dahak berupa droplet. Penderita TB-Paru yang
mengandung banyak sekali kuman dapat terlihat lansung dengan mikroskop pada
pemeriksaan dahaknya (penderita bta positif) adalah sangat menular. Penderita TB
Paru BTA positif mengeluarkan kuman - kuman keudara dalam bentuk droplet
yang sangat kecil pada waktu batuk atau bersin. Droplet yang sangat kecil ini
mengering dengan cepat dan menjadi droplet yang mengandung kuman
tuberkulosis. Dan dapat bertahan diudara selama beberapa jam. Droplet yang
6

mengandung kuman ini dapat terhirup oleh orang lain. Jika kuman tersebut sudah
menetap dalam paru dari orang yang menghirupnya, maka kuman mulai
membelah diri (berkembang biak) dan terjadilah infeksi dari satu orang keorang
lain.

d. Pencegahan
Agar orang yang sehat tidak tertular penyakit TBC, ada dua jalan, yaitu
tindakan dari orang yang sehat dan tindakan dari penderita TBC itu sendiri.
Usahakanlah penderita TBC tidak membuang ludah, batuk dan bersin di
sembarang tempat. Ada baiknya dilakukan di tempat yang terkena sinar matahari
langsung. Jadi, seperti yang dikatakan di atas, kamar penderita TBC harus
mendapatkan sinar matahari langsung. Sinar matahari akan membunuh bakteri-
bakteri TBC yang tersebar.
Ada baiknya bagi seorang yang sehat menghindari kontak bicara pada
jarak yang dekat dengan penderita TBC. Atau Anda bisa menggunakan masker,
namun hal ini masih tetap rentan. Bila penderita TBC batuk atau bersin, sebaiknya
orang yang sehat menutup mulut. Satu hal yang perlu diperhatikan, yaitu arah
angin. Jangan sampai angin berhembus mengarah ke orang yang sehat setelah
sebelumnya melalui orang yang menderita TBC. Bukan mencegah arah anginnya,
namun kita yang harus menghindari angin tersebut yang bisa merupakan angin
karena alam atau angin karena kipas angin dll. Ingat, bakteri TBC bisa terbawa
oleh angin.
Jemur tempat tidur penderita TBC di panas matahari langsung, ini untuk
menghindari hidupnya bakteri di tempat tidur tersebut. Pada bayi, jangan pernah
melewatkan imunisasi BCG, ini penting untuk mencegah dari terserangnya
penyakit TBC di kemudian hari.
Dari semua hal-hal diatas, daya tahan tubuh orang yang sehat sangat
berperan dalam mencegah penularan TBC. Karena rasanya sulit untuk
menghindari terhirupnya bakteri TBC di saat tinggal serumah dengan penderita
TBC. Bila seseorang itu memiliki daya tahan tubuh yang kuat, walaupun bakteri
TBC masuk, sistem pertahanan tubuhnya akan memusnahkannya. Apa saja yang
7

harus dilakukan untuk memiliki daya tahan tubuh yang kuat ini? Tidak lain adalah
rajin berolahraga, konsumsi cukup makanan yang seimbang, terapkan pola hidup
sehat seperti tidur yang cukup dan tidak merokok.
1). Strategi DOTS
Pada tahun 1994, pemerintah Indonesia bekerjasama dengan badan
Kesehatan Dunia (WHO), melaksanakan suatu evaluasi bersama ("WHO-
Indonesia Joint Evaluation") yang menghasilkan rekomendasi Perlunya
segera dilakukan perubahan mendasar pada strategi penanggulangan TB di
Indonesia, yang kemudian disebut sebagai"STRATEGI DOTS" Sejak itu
dimulailah era baru pemberantasan TB di Indonesia (Depkes, 1999 dalam
Permatasari, 2005).
Berdasarkan The Indonesian Association of Pulmonologists (1998)
dalam Permatasari (2005) Istilah DOTS (Directly Observed Treatment
Shortcourse) dapat diartikan sebagai pengawasan langsung menelan obat
jangka pendek. setiap hari oleh Pengawas Menelan Obat (PMO). Tujuannya
mencapai angka kesembuhan yang tinggi, mencegah putus berobat,
mengatasi efek samping obat jika timbul dan mencegah resistensi. Sebelum
pengobatan pertama kali dimulai DOTS harus dijelaskan kepada pasien
tentang cara dan manfaatnya. Seorang PMO harus ditentukan dan
dihadirkan di poliklinik untuk diberi penerangan tentang DOTS dan tugas-
tugasnya. PMO haruslah seseorang yang mampu mernbantu pasien sampai
sembuh selama 6 bulan dan sebaiknya merupakan anggota keluarga pasien
yang diseganinya.
Ada 5 kunci utama dalam strategi DOTS yaitu (Depkes, 1999
dalam Permatasari, 2005):
a). Komitmen
b). Diagnosa yang benar dan baik
c). Ketersediaan dan lancarnya distribusi obat
d). Pengawasan penderita menelan obat
e). Pencatatan dan pelaporan penderita dengan sistem kohort
8

e. Pengobatan
Obat yang digunakan untuk TBC digolongkan atas dua kelompok yaitu
obat primer dan sekunder. Obat primer untuk TBC adalah isoniazid (INH),
Rifampisin, Etambutol, Streptomisin, dan Pirazinamid. Sebagian besar
penderita TBC sembuh dengan obat-obat ini. Selain itu ada juga obat sekunder
untuk TBC yaitu Exionamid, Paraaminosalisilat, Sikloserin, Amikasin,
Kapreomisin dan Kanamisin. Penggunaan obat-obat primer dan sekunder
tergantung dari tingkat keparahan TBC yang diderita.
Biasanya penderita TBC dapat sembuh total selama kurang lebih enam
bulan dengan mengonsumsi obat-obatan primer setiap hari. Butuh biaya besar
untuk mengonsumsi obat-obatan ini setiap hari selama enam bulan ? betul. Namun
pemerintah Indonesia sudah menyediakan obat-obatan ini di tiap-tiap Puskesmas
dalam kemasan yang eksklusif dan GRATIS.

2.2.2 Poliomyelitis
Polio atau poliomyelitis adalah penyakit virus yang sangat mudah
menular dan menyerang sistem saraf, khususnya pada balita yang belum
melakukan vaksinasi polio. Pada kasus yang parah, penyakit ini bisa
menyebabkan kesulitan bernapas, kelumpuhan, atau dan kematian.
Sejak awal tahun 2014, WHO (World Health Organization) telah
menyatakan Indonesia sebagai salah satu negara yang bebas dari penyakit ini
berkat program vaksinasi polio yang luas, bersama dengan negara lainnya di Asia
Tenggara, Pasifik Barat, Eropa, dan Amerika. Namun, penyakit ini masih rentan
di negara seperti Afganistan dan Pakistan, dan Nigeria.
a. Penyebab
Penyakit polio disebabkan oleh polio virus yang umumnya masuk
melalui makanan atau minuman yang terkontaminasi dengan tinja yang
mengandung virus tersebut. Sama halnya seperti cacar, polio hanya menjangkiti
manusia. Dalam tubuh manusia, virus polio menjangkiti tenggorokan dan usus.
Selain melalui kotoran, virus polio juga bisa menyebar melalui tetesan cairan yang
9

keluar saat penderitanya batuk atau bersin. Dalam beberapa kondisi, infeksi virus
ini dapat menyebar ke aliran darah dan menyerang sistem saraf.

b. Gejala
Kebanyakan penderita polio tidak menyadari bahwa diri mereka
terinfeksi karena virus polio pada awalnya hanya menimbulkan sedikit gejala atau
bahkan tidak sama sekali. Penderita polio dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu
polio non-paralisis, polio paralisis, dan sindrom pasca-polio.

1). Polio non-paralisis


Polio non-paralisis adalah tipe polio yang tidak menyebabkan
kelumpuhan. Gejalanya tergolong ringan. Berikut ini adalah gejala polio
non-paralisis yang umumnya berlangsung antara satu hingga sepuluh hari.

a). Muntah
b). Lemah otot
c). Demam
d). Meningitis
e). Merasa letih
f). Sakit tenggorokan
g). Sakit kepala
h). Kaki, tangan, leher, dan punggung terasa kaku dan sakit

2). Polio paralisis


Polio paralisis adalah tipe polio yang paling parah dan dapat
menyebabkan kelumpuhan. Polio paralisis bisa dibagi berdasarkan bagian
tubuh yang terjangkit, seperti batang otak, saraf tulang belakang, atau
keduanya. Gejala awal polio paralisis sering kali sama dengan polio non-
paralisis, seperti sakit kepala dan demam. Gejala polio paralisis biasanya
terjadi dalam jangka waktu sepekan, di antaranya adalah sakit atau lemah
otot yang serius, kaki dan lengan terasa terkulai atau lemah, dan kehilangan
refleks tubuh.
10

Beberapa penderita polio paralisis bisa mengalami kelumpuhan


dengan sangat cepat atau bahkan dalam hitungan jam saja setelah terinfeksi
dan kadang-kadang kelumpuhan hanya terjadi pada salah satu sisi tubuh.
Saluran pernapasan mungkin bisa terhambat atau tidak berfungsi, sehingga
membutuhkan penanganan medis darurat.

3). Sindrom pasca-polio


Sindrom pasca-polio biasanya menimpa orang-orang yang rata-rata
30-40 tahun sebelumnya pernah menderita penyakit polio. Gejala yang
sering terjadi di antaranya:

a). Sulit bernapas atau menelan.


b). Sulit berkonsentrasi atau mengingat.
c). Persendian atau otot makin lemah dan terasa sakit.
d). Kelainan bentuk kaki atau pergelangan.
e). Depresi atau mudah berubah suasana hati.
f). Gangguan tidur dengan disertai kesulitan bernapas.
g). Mudah lelah.
h). Massa otot tubuh menurun (atrophia).
i). Tidak kuat menahan suhu dingin.

c. Cara Penularan
Penyebaran utamanya melalui kontak dengan manusia. Pejamu (host)
virus ini memang hanya manusia. Di luar tubuh manusia, virus ini hanya mampu
bertahan hidup sebentar. Virus ini disebarkan melalui rute orofecal (melalui
makanan dan minuman) dan melalui percikan ludah. Kemudian virus berkembang
biak di tenggorokan dan usus dan kemudian menyebar ke kelenjar getah bening,
masuk ke dalam darah, serta menyebar ke seluruh tubuh. Sasaran virus polio
terutama adalah sistem saraf yaitu ke otak, sumsum tulang belakang dan simpul -
simpul saraf. Orang-orang yang belum divaksinasi akan memiliki tingkat risiko
terjangkit polio yang tinggi jika melakukan atau mengalami hal-hal seperti berikut
ini.
11

1). Tinggal serumah dengan penderita polio.


2). Sistem kekebalan tubuh yang menurun.
3). Bepergian ke daerah di mana polio masih kerap terjadi.
4). Telah melakukan operasi pengangkatan amandel.

d. Pencegahan
Meskipun telah dinyatakan sebagai negara bebas polio oleh WHO, tidak
menutup kemungkinan bahwa virus ini masih bisa muncul kembali di Indonesia.
Hal ini dapat terjadi apabila orang yang terjangkit polio dari negara lain memasuki
Indonesia, dan menularkan virus ini kepada orang lainnya. Maka dari itu, langkah
pencegahan melalui vaksinasi masih sangat penting dilakukan. Hal ini bertujuan
untuk memberikan kekebalan terhadap penyakit polio seumur hidup, terutama
pada anak-anak.
Anak-anak harus diberikan empat dosis vaksin polio tidak aktif, yaitu
pada saat mereka berusia 2 bulan, 4 bulan, antara 6 – 18 bulan, dan yang terakhir
adalah pada usia antara 4 - 6 tahun. Vaksin polio dengan virus tidak aktif memiliki
kemungkinan mendekati 100 persen untuk secara efektif mencegah polio setelah
tiga kali penyuntikan, dan aman bagi orang yang sistem kekebalan tubuhnya
lemah. Efek samping yang umumnya terjadi setelah pemberian suntikan adalah
rasa sakit dan kemerahan pada titik penyuntikan. Orang dewasa yang harus
mendapatkan serangkaian vaksin polio adalah mereka yang belum pernah
divaksinasi atau status vaksinasinya tidak jelas. Dosis vaksinasi polio pada orang
dewasa adalah dua dosis pertama dengan jarak waktu antara 4-8 bulan, dan dosis
ketiga antara 6-12 bulan setelah pemberian dosis kedua. Selain itu, vaksinasi pada
orang dewasa juga dapat dilakukan jika akan berpergian ke negara dengan kasus
polio aktif atau berinteraksi dengan penderita polio.
Sebagian orang yang diberikan vaksin polio bisa mengalami alergi.
Reaksi alergi yang mungkin terjadi dan biasanya muncul setelah beberapa menit
hingga beberapa jam adalah pusing, lemas, tenggorokan bengkak, sulit bernapas,
pucat, serak, biduran, dan jantung berdetak kencang. Segera temui dokter jika
mengalami gejala alergi setelah suntikan.
12

e. Pengobatan
Belum ada pengobatan yang dapat menyembuhkan polio jika virus polio
sudah menjangkiti seseorang. Namun ada beberapa hal yang bisa dilakukan
sebagai perawatan pendukung untuk mencegah komplikasi dan membuat
penderita merasa lebih nyaman, seperti terapi fisik untuk mencegah hilangnya
fungsi otot, obat pereda nyeri, pola makan yang bernutrisi, istirahat yang cukup,
dan alat bantu pernapasan jika diperlukan. Lamanya pengobatan tergantung dari
tingkat keparahan infeksi virus yang masuk dan menyerang tubuh.

2.2.3 Difteri
Penyakit difteri merupakan penyakit infeksi akut pada saluran pernafasan
bagian atas. Penyakit ini dominan menyerang anak-anak, biasanya bagian tubuh
yang diserang adalah tonsil, faring hingga laring yang merupakan saluran
pernafasan bagian atas. Ciri difteri ialah terbentuknya lapisan yang khas selaput
lendir pada saluran nafas, serta adanya kerusakan otot jantung dan saraf. Hal
tersebut dapat digambarkan sebagai berikut :

Gambar 1 Penyakit Difteri

Kejadian difteri masih tinggi di belahan dunia termasuk Indonesia. Pada


tahun 2011 Indonesia merupakan negara tertinggi kedua setelah India yaitu 806
kasus. Jumlah ini meningkat dibandingkan tahun 2010 dimana Indonesia juga
merupakan negara tertinggi kedua dengan kasus difteri yaitu 385 kasus
(WHO,2012).
13

a. Penyebab
Penyebab penyakit difteri pada dasarnya diakibatkan oleh bakteri yang
diberi nama Corynebacterium diphteriae. Penyebab terjadinya penyakit difteri
juga dipengaruhi oleh :
1). Status imunisasi
2). Status Gizi
3). Lingkungan fisik rumah (pencahayaan alami, ventilasi rumah, kepadatan
hunian, jenis dinding dan lantai rumah)

Berikut faktor risiko yang dapat menyebabkan kejadian difteri :


a). Faktor predisposisi (predisposing factor) : umur, jenis kelamin dan
penyakit yang telah atau pernah diderita akan memberikan kepekaan
terhadap agen penyakit.
b). Faktor yang mempermudah (anabling factor) : penghasilan rendah, gizi
rendah, perumahan tidak sehat dan akses rendah ke pelayanan kesehatan
dan hal-hal yang memungkinkan prses terjadinya penyakit.
c). Faktor pendorong (precipitating faktor) : pemaparan dengan agen penyakit
atau substansi yang mengganggu kesehatan akan memulai proses
terjadinya penyakit.
d). Faktor penguat (reinforcing factor) : pemaparan yang berulang-ulang atau
kerja kera, kehamilan akan memperberat penyakit yang sudah berproses.

b. Gejala
Kejadian penyakit difteri dapat dilihat dari gejala yang ditimbulkannya
yaitu :
1). Demam, suhu tubuh meningkat sampai 38,9° celcius.
2). Batuk dan pilek yang ringan.
3). Sakit dan pembengkakan pada tenggorokan.
4). Mual, muntah, dan sakit kepala.
5). Adanya pembentukan selaput di tenggorokan berwarna putih ke abu-abuan
kotor.
6). Kaku leher.
14

c. Cara Penularan
Difteri bisa menular dengan cara kontak langsung maupun tidak
langsung. Air ludah yang berterbangan saat penderita berbicara, batuk atau bersin
membawa serta bakteri difteri. Melalui pernafasan bakteri masuk ke dalam tubuh
orang disekitarnya, maka terjadilah penularan penyakit difteri dari seorang
penderita kepada orang-orang sekitarnya.Kemudian bakteri tersebut tumbuh pada
mukosa saluran nafas bagian atas terutama tonsil, kadang-kadang di daerah kulit,
konjungtiva atau genital. Bakteri kemudian memproduksi toksin.
Toksin yang terbentuk diserap melalui membran sel mukosa,
menimbulkan peradangan dan kerusakan epitel diikuti oleh nekrosis. Pada
keadaan lebih lanjut, toksin yang diproduksi bakteri ini semakin banyak,
menyebabkan daerah nekrosis bertambah luas dan bertambah dalam, sehingga
menimbulkan terbentuknya membran palsu pada tonsil, faring, laring dan pada
keadaan berat bahkan bisa meluas sampai ke trakea dan terkadang ke bronkus,
diikuti pembengkakan jaringan lunak di bawah mukosanya.

d. Pencegahan
Pencegahan terhadap difteri dapat dilakukan dengan pemberian
vaksinasi, yang dapat dimulai pada saat bayi berusia 2 bulan dengan pemberian
DPT ataupun DT. Waktu pemberian DPT 5 x sebelum umur 7 tahun, atau DT
kalau anak itu tidak tahan vaksin antipertusis. Selain difteri juga dapat dicegah
dengan pemeliharaan lingkungan fisik rumah. Pencegahan juga dapat dilakukan
kepada orang yang kontak dekat dengan penderita dengan cara sebagai berikut :
1). Melakukan pengontrolan sampai 7 hari untuk timbulnya tanda dan gejala
Diphtheria
2). Pemberian antibiotika seperti Erythromicin atau Penicillin
3). Booster DPT, DT atau Td walaupun sudah diimunasi dulu lengkap, atau
mulai seri imunasi.
15

e. Pengobatan
Pengobatan difteri tidak bisa dilakukan sendiri di rumah, segeralah di
rawat di rumah sakit jangan sampai terlambat, hal ini dikarenakan difteri sangat
menular. Pengobatan difteri membutuhkan antitoksin (ADS) dan antibiotik. ADS
dan antibiotik diberikan secara bersama karena ADS tidak dapat digunakan untuk
eliminasi bakteri penyebab, begitu juga sebaliknya, antibiotik tidak dapat
menggantikan peran ADS untuk menetralisasi toksin difteri.
Dalam hal ini, ADS memiliki keterbatasan karena hanya dapat
menetralisasi toksin yang beredar atau belum berikatan dengan sel/jaringan. Oleh
karena itu, ADS harus segera diberikan ketika diagnosis difteri ditegakkan. ADS
akan efektif bila diberikan pada 3 hari pertama sejak timbul gejala. Penundaan
ADS akan meningkatkan risiko komplikassi dan kematian.
Pemberian antibiotik dibutuhkan untuk eliminasi bakteri penyebab dan
mencegah penularan penyakit. Golongan penisilin dan eritromisin merupakan
antibiotik pilihan utama. Namun demikian, uji kepekaan bakteri terhadap
antibiotik perlu terus dilakukan untuk mengetahui perkembangan resistensi
bakteri karena telah dilaporkan adanya penurunan kepekaan bakteri penyebab
terhadap eritromisin dan antibiotik lainnya.

2.2.4 Batuk Rejan atau Pertusis


Pertusis adalah infeksi saluran pernapasan akut berupa batuk yang sangat
berat atau batuk intensif. Nama lain dari penyakit ini yaitu tussis quinta, wooping
cough, batuk seratus hari atau batuk rejan. Biasanya penyakit ini menyerang anak-
anak balita, tetapi juga dapat menyerang siapa saja. Berikut gambaran dari
penyakit pertusis :
16

Gambar 2 Penyakit Pertusis

a. Penyebab
Penyebab penyakit pertusis pada dasarnya diakibatkan oleh bakteri yang
diberi nama Bordettela pertusis. Bakteri ini merupakan Gram-negatif berbentuk
kokobasilus. Organisme ini menghasilkan toksin yang merusak epitel saluran
pernapasan dan memberikan efek sistemik berupa sindrom yang terdiri dari batuk
yang spasmodik dan paroksismal disertai nada mengi karena pasien berupaya
keras untuk menarik napas, sehingga pada akhir batuk disertai bunyi yang khas.

b. Gejala
Kejadian penyakit difteri dapat dilihat dari gejala yang ditimbulkannya,
sebagai berikut :
1). Minggu pertama
a). Panas
b). Batuk ringan yang lalu semakin meningkat frekuensinya
c). Pilek atau muncul cairan hidung
2). Minggu kedua
a). Batuk tidak juga sembuh meski talah minum obat
b). Biasanya batuk bertambah parah ketika malam hari
c). Batuk biasanya diakhiri dengan muntah
d). Nafas berat, menimbulkan bunyi “wup” oleh karena itu disebut “wooping
cough”
e). Terjadi perdarahan pada selaput mata
17

3). Minggu ketiga


a). Batuk tetap belum sembuh
b). Dapat terjadi komplikasi yang menimbulkan radang pada paru-paru dan
otak

c. Cara Penularan
Pertusis merupakan airborne disease, artinya bakteri ini ditularkan
melalui udara. Selain itu juga disebut sebagai droplet infection karena dapat
menular melalui percikan air ludah ketika batuk. Penyakit ini utamanya sangat
menular sekitar dua minggu pertama sebelum terjadi batuk yang khas.

d. Pencegahan
Cara terbaik untuk mengontrol penyakit ini adalah dengan imunisasi.
Banyak laporan mengemukakan bahwa terdapat penurunan angka kejadian
pertusis dengan adanya pelaksanaan program imunisasi. Pencegahan dapat
dilakukan melalui imunisasi aktif dan pasif.

1). Imunisasi pasif


Dalam imunisasi pasif dapat diberikan human hyperimmune globulin,
ternyata berdasarkan beberapa penelitian di klinik terbukti tidak efektif
sehingga akhir-akhir ini tidak lagi digunakan untuk pencegahan.
2). Imunisasi aktif
Remaja usia 11-18 tahun (terutama usia 11-12 tahun) harus mendapat
dosis tunggal Tdap 0,5 mL i.m. di daerah m. deltoideus. Kontraindikasi bila
terdapat riwayat reaksi anafilaksis terhadap komponen vaksin dan
ensefalopati (koma, kejang lama) dalam 7 hari pemberian vaksin pertusis.
Pencegahan penyebarluasan penyakit dilakukan dengan cara:

1). Isolasi: mencegah kontak dengan individu yang terinfeksi, diutamakan


bagi bayi dan anak usia muda, sampai pasien setidaknya mendapatkan
antibiotik sekurang-kurangnya 5 hari dari 14 hari pemberian secara
lengkap. Atau 3 minggu setelah batuk paroksismal reda bilamana pasien
tidak mendapatkan antibiotik.
18

2). Karantina: kasus kontak erat terhadap kasus yang berusia <7 tahun,
tidak diimunisasi, atau imunisasi tidak lengkap, tidak boleh berada di
tempat publik selama 14 hari atau setidaknya mendapat antibiotic selama 5
hari dari 14 hari pemberian secara lengkap.
3). Disinfeksi: direkomendasikan untuk melakukan pada alat atau
ruangan yang terkontaminasi sekret pernapasan dari pasien
pertusis

e. Pengobatan
Segera berobat ke dokter, karena anak yang telah mendapat vaksinasi
DPT masih dapat terkena penyakit pertusis tetapi dengan infeksi yang sangat
ringan. Pemberian eritomisin, klaritromisin, atau azitromisin telah menjadi pilihan
pertama untuk pengobatan dan profilaksis. Eritromisin (40-50 mg/kgbb/hari
dibadi dalam 4 dosis peroral, maksimum 2 gram per hari) dapat mengeleminasi
organisme dari nasofaring dalam 3-4 hari. Eritromisin dapat mengeleminasi
pertusis bila diberikan pada pasien dalam stadium kataral sehingga
memperpendek periode penularan.
Penelitian membuktikan bahwa golongan makrolid terbaru yaitu
azitromisin (10-12 mg/kgbb/hari, sekali sehari selama 5 hari, maksimal 500
mg/hari) atau klaritromisin (15-20 mg/kgbb/hari dibagi dalam 2 dosis peroral,
maksimum 1 gram perhari selama 7 hari) sama efektif dengan eritromisin, namun
memiliki efek samping lebih sedikit. Terapi suportif terutama untuk menghindari
faktor yang menimbulkan serangan batuk, mengatur hidrasi dan nutrisi. Oksigen
hendaknya diberikan pada distres pernapasan yang akut dan kronik.

2.2.5 Tetanus
Penyakit tetanus adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh toksin
kuman Clostridium tetani yang bermanifestasi dengan kejang otot secara
paroksimal dan diikuti kekauan seluruh badan. Kekauan tonus otot selalu tampak
pada otot masseter dan otot rangka.
Clostridium tetani adalah kuman yang berbentuk batang, berspora,
golongan gram positif, dan hidup anaerob.Kuman ini mengeluarkan toksin yang
19

bersifat neurotoksik (tetanus spasmin), yang mula-mula akan menyebabkan


kejang otot dan saraf tepi setempat.
Penyakit tetanus kebanyakan terdapat pada anak-anak yang belum
mendapatkan imunisasi tetanus (DPT) dan pada umumnya terdapat pada anak dari
keluarga yang belum mengerti pentingnya imunisasi dan pemeliharaan kesehatan
seperti lingkungan dan perorangan. Tetanus neonatorum merupakan penyebab
kejang yang dijumpai pada bayi baru lahir, bukan karena trauma kelahiran atau
asfiksia tetapi disebabkan oleh infksi selama neonatal yang terjadi akibat
pemotongan tali pusat atau perawatannya yang tidak septik.

a. Penyebab

Penyakit tetanus disebabkan oleh toksin kuman Clostridium tetani yang


bermanifestasi dengan kejang otot secara paroksimal dan diikuti kekauan seluruh
badan. Kekauan tonus otot selalu tampak pada otot masseter dan otot rangka.

b. Gejala

Waktu selama 3 hari sampai 4 minggu setelah kuman masuk melalui luka,
racun Clostridium tetani akan merusak sistem saraf dan akan segera muncul gejala
seperti kejang dan kekauan otot rahang (lockjaw), postur badan kaku dan tidak
dapat ditekuk karena kekauan otot leher dan punggung (opistottonus), dinding
perut mengeras seperti papan, gangguan menelan, muka seperti meringai/tertawa
(risus sardonicus). Pasien tetanus mudah sekali mengalami kejang terutama
apabila mendapatkan rangsangan seperti suara berisik, sehinnga perlu di isolasi di
ruang tersendiri. Tetanus pada bayi lahir (tetanus neonatarum), yang
penularannya trejadi saan pemotongan tali pusar

c. Cara Penularan

Colostridium tetani didukung oleh adanya luka yang dalam dengan


perawatan yang salah.kuman ini juga tersebar di tanah dan tempat kotor besi
berkarat sampai pada tusuk sate bekas. Basil ini bila kondisinya baik (di dalam
20

tubuh manusis) akan mengeluarkan toksin. Toksin ini dapat menghancurkan sel
darah meah, merusak leukosit, dan merupakan tetanospasmin, yaitu toksin yang
neurotropik yang dapat menyebabkan ketegangan dan spasme otot. Infksi selama
neonatal yang terjadi akibat pemotongan tali pusat atau perawatannya yang tidak
septik. Bentuk spora yang menginfeksi luka akan berubah menjadi bentuk
vegetatif yang kemudian mengeluarkan dua macam racun yaitu tetanolisin dan
tetanospasmin (merusak sel-sel saraf).

d. Pencegahan dan Pengobatan

Pencegahan tetanus dilakukan mellai upaya sterilitas alat, pembersihan dan


perawatan luka dan segerra mengobati luka infeksi. Upaya yang paling efktif
adalah melalui imunisasi aktif dan pasif. Pada penyakit tetanus berat, risiko
terjadinya kematian sangat tinggi. Obat antibiotik imunisasi pasif atau antitetanus
belum tentu mampu memperbaiki keadaan penyakit. Cara yang paling efektif
adalah mencegah sebelum terkena tetanus melalui vaksinasi.
1). Imunisasi Pasif
Imunisasi pasif ditujukan pada seseorang yang mengalami luka kotor,
diperoleh demgan memberikan serum yang sudah mengandung antitoksin
heterolog (ATS) atau antitoksin homolog (immunoglobulin antitetanus).

Tabel Pemberian Vaksin Tetanus pada Orang yang Mengalami Luka


Vaksinasi Luka Bersih Luka Kotor
sebelumnya Toksoid ATS Toksoid ATS
Tidak ada/tidak pasti Ya* Tidak Ya* Ya
1x DT atau DPT Ya* Tidak Ya* Ya
2x DT atau DPT Ya* Tidak Ya* Ya
3x DT atau DPT Tidak + Tidak Tidak ++ Tidak

 = seri imunisasi yang harus dilengkapi.


+ = kecuali booster terakhir sudah 10 tahun yang lalu atau lebih.
++ = kecuali booster terakhir sudah 5 tahun yang lalu atau lebih.
DT = vaksinasi difteri tetanus.
DPT = vaksinasi difteri pertussis tetanus.
21

2). Imunisasi Aktif


Imunisasi aktif didapat dengan menyuntikkan toksoid tetanus dengan tujuan
merangsang tubuh membentuk antibody. Vaksin tetanus diberikan pada;
a). Bayi dan anak usia kurang dari 10 tahun.
b). Ibu hamil.
c). Semua orang dewasa.
Vaksin tetanus memiliki berbagai kemasan seperti preparat tunggal (TT),
kombinasi dengan toksoid difteri dan pertussis (dT, DT, DTwP, DtaP) dan
kombinasi dengan komponen lain seperti Hib dan hepatitis B.
Pada anak-anak, vaksin tetanus diberikan sebagai bagian dari vaksin DPT
(difteri, pertussis dan tetanus). DPT dierikan satu seri yang terdiri atas 5
suntikan pada usia 2 bulan, 4 bulan, 6 bulan, 15-18 bulan dan terakhir saat
sebelum masuk sekolah (4-6 tahun). Bagi orang dewasa, sebaiknya enerima
booster dalam bentuk TT (tetanus toksoid) setiap tahun.
Pencegahan tetanus neonatorum, wanita hamil dengan persalinan berisiko
tinggi paling tidak mendapatkan 2 kali dosis vaksin TT. Dosis TT kedua
sebaiknya diberikan paling tidak 4 minggu setelah pemberian dosis
pertama, dan dosis kedua sebaiknya diberikan paling tidak 2 minggu
sebelum persalinan. Ibu hamil yang sebelumnya pernah menerima TT 2 x
pada waktu calon pengantin atau pada kehamilan sebelumnya, maka
diberikan booster TT 1 kali saja.
Vaksin tetanus tidak boleh diberikan pada orang dengan riwayat reaksi
alergi berat (anafilaksis) pada pemberian sebelumnya, pada orang yang
alergi terhadap komponen vaksin dan wanita hamil. Pemberian vaksin DPT
pada anak-anak harus ditunda jika anak mengalami demam tinggi, memiliki
kelainan saraf atau mengalami gangguan pertumbuhan.
Nama Vaksinasi Tetanus
Sasaran imunisasi Bayi dan anak usia kurang dari 10 tahun, ibu hamil
dan semua orang dewasa.
Macam vaksin Toxoid
22

Dosis Anak-anak 5 dosis


Dewasa yang sudah mendapat imunisasi lengkap
cukup diberikan booster
Ibu hamil 2 dosis.
Jadwal Pemberian Pada anak-anak, vaksin tetanus diberikn sebagai
bagian dari vaksin DPT.
 Usia 2 bulan
 Usia 4 bulan
 Usia 6 bulan
 Usia 15 s/d 18 bulan
 Usia 4 s/d 6 tahun
Bagi yang dewasa sebaiknya menerima booster
dalam bentuk TT (tetanus toksoid) setiap 10 tahun.
Ibu hamil mendapatkan dua dosis tetanus toxoid.

Cara pemberian Suntikan intra muscular/otot


Efektivitas 90%
Kontraindikasi Ibu hamil
Alergi terhadap vaksin
Efek samping Rasa nyeri, warna kemerahan dan bengkak di tempat
penyuntikan, serta demam, reaksi alergi berat
(jarang).

2.2.6 Campak
Campak juga dikenal dengan nama morbili atau morbillia dan rubeola
(bahasa Latin), yang kemudian dalam bahasa Jerman disebut dengan nama
masern, dalam bahasa Islandia dikenal dengan nama mislingar dan measles dalam
bahasa Inggris. Campak adalah penyakit infeksi yang sangat menular yang
disebabkan oleh virus, dengan gejala-gejala eksantem akut, demam, kadang
kataral selaput lendir dan saluran pernapasan, gejala-gejala mata, kemudian diikuti
23

erupsi makulopapula yang berwarna merah dan diakhiri dengan deskuamasi dari
kulit.
a. Penyebab

Agent campak adalah measles virus yang termasuk dalam famili


paramyxoviridae anggota genus morbilivirus. Virus campak sangat sensitif
terhadap temperatur sehingga virus ini menjadi tidak aktif pada suhu 37 derajat
Celcius atau bila dimasukkan ke dalam lemari es selama beberapa jam. Dengan
pembekuan lambat maka infektivitasnya akan hilang.

b. Gejala

Penyakit campak terdiri dari 3 stadium, yaitu:


1). Stadium kataral (prodormal)
Biasanya stadium ini berlangsung selama 4-5 hari dengan gejala
demam, malaise, batuk, fotofobia, konjungtivitis dan koriza. Menjelang akhir
stadium kataral dan 24 jam sebelum timbul eksantema, timbul bercak Koplik.
Bercak Koplik berwarna putih kelabu, sebesar ujung jarum timbul pertama
kali pada mukosa bukal yang menghadap gigi molar dan menjelang kira-kira
hari ke 3 atau 4 dari masa prodormal dapat meluas sampai seluruh mukosa
mulut. Secara klinis, gambaran penyakit menyerupai influenza dan sering
didiagnosis sebagai influenza.
2). Stadium erupsi
Stadium ini berlangsung selama 4-7 hari. Gejala yang biasanya
terjadi adalah koriza dan batuk-batuk bertambah. Timbul eksantema di
palatum durum dan palatum mole. Kadang terlihat pula bercak Koplik.
Terjadinya ruam atau eritema yang berbentuk makula-papula disertai naiknya
suhu badan. Mula-mula eritema timbul di belakang telinga, di bagian atas
tengkuk, sepanjang rambut dan bagian belakang bawah. Kadang-kadang
terdapat perdarahan ringan pada kulit. Rasa gatal, muka bengkak. Ruam
kemudian akan menyebar ke dada dan abdomen dan akhirnya mencapai
anggota bagian bawah pada hari ketiga dan akan menghilang dengan urutan
seperti terjadinya yang berakhir dalam 2-3 hari.
24

3). Stadium konvalesensi


Erupsi berkurang meninggalkan bekas yang berwarna lebih tua
(hiperpigmentasi) yang lama-kelamaan akan menghilang sendiri. Selain
hiperpigmentasi pada anak Indonesia sering ditemukan pula kulit yang
bersisik. Selanjutnya suhu menurun sampai menjadi normal kecuali bila ada
komplikasi.

c. Cara Penularan
Campak ditularkan melalui penyebaran droplet, kontak langsung, melalui
sekret hidung atau tenggorokan dari orang yang terinfeksi. Masa penularan
berlangsung mulai dari hari pertama sebelum munculnya gejala prodormal
biasanya sekitar 4 hari sebelum timbulnya ruam, minimal hari kedua setelah
timbulnya ruam.

d. Pencegahan

1). Pencegahan Tingkat Awal (Priemordial Prevention)


Pencegahan tingkat awal berhubungan dengan keadaan penyakit
yang masih dalam tahap prepatogenesis atau penyakit belum tampak yang
dapat dilakukan dengan memantapkan status kesehatan balita dengan
memberikan makanan bergizi sehingga dapat meningkatkan daya tahan
tubuh.
2). Pencegahan Tingkat Pertama (Primary Prevention)
Pencegahan tingkat pertama ini merupakan upaya untuk mencegah
seseorang terkena penyakit campak, yaitu :
a) Memberi penyuluhan kepada masyarakat mengenai pentingnya
pelaksanaan imunisasi campak untuk semua bayi.
b) Imunisasi dengan virus campak hidup yang dilemahkan, yang
diberikan pada semua anak berumur 9 bulan sangat dianjurkan
karena dapat melindungi sampai jangka waktu 4-5 tahun.
3). Pencegahan Tingkat Kedua (Secondary Prevention)
25

Pencegahan tingkat kedua ditujukan untuk mendeteksi penyakit


sedini mungkin untuk mendapatkan pengobatan yang tepat. Dengan demikian
pencegahan ini sekurang-kurangnya dapat menghambat atau memperlambat
progrefisitas penyakit, mencegah komplikasi, dan membatasi kemungkinan
kecatatan, yaitu :
a) Menentukan diagnosis campak dengan benar baik melalui
pemeriksaan fisik atau darah.
b) Mencegah perluasan infeksi. Anak yang menderita campak jangan
masuk sekolah selama empat hari setelah timbulnya rash.
Menempatkan anak pada ruang khusus atau mempertahankan
isolasi di rumah sakit dengan melakukan pemisahan penderita pada
stadium kataral yakni dari hari pertama hingga hari keempat
setelah timbulnya rash yang dapat mengurangi keterpajanan
pasien-pasien dengan risiko tinggi lainnya.
c) Pengobatan simtomatik diberikan untuk mengurangi keluhan
penderita yakni antipiretik untuk menurunkan panas dan juga obat
batuk. Antibiotika hanya diberikan bila terjadi infeksi sekunder
untuk mencegah komplikasi.
d) Diet dengan gizi tinggi kalori dan tinggi protein bertujuan untuk
meningkatkan daya tahan tubuh penderita sehingga dapat
mengurangi terjadinya komplikasi campak yakni bronkhitis, otitis
media, pneumonia, ensefalomielitis, abortus, dan miokarditis yang
reversibel.
4). Pencegahan Tingkat Ketiga (Tertiary Prevention)
Pencegahan tingkat ketiga bertujuan untuk mencegah terjadinya
komplikasi dan kematian. Adapun tindakan-tindakan yang dilakukan pada
pencegahan tertier yaitu :
5). Penanganan akibat lanjutan dari komplikasi campak.
Pemberian vitamin A dosis tinggi karena cadangan vitamin A akan
turun secara cepat terutama pada anak kurang gizi yang akan menurunkan
imunitas
26

2.2.7 Hepatitis B
Penyakit yang disebabkan oleh virus hepatitis B yang merusak hati.
Penyebaran penyakit terutama melalui suntikan yang tidak aman, dari ibu ke bayi
selama proses persalinan, melalui hubungan seksual. Infeksi pada anak biasanya
tidak menimbulkan gejala. Gejala yang ada adalah lemah, gangguan perut dan
gejala lain seperti flu, urine menjadi kuning, kotoran menjadi pucat. Warna
kuning bisa terlihat pula mata ataupun kulit. Penyakit ini bisa menjadi kronis dan
menimbulkan Cirrhosis hepatis, kanker hati dan menimbulkan kematian.
a. Penyebab
Virus Hepatitis B adalah virus (Deoxyribo Nucleic Acid) DNA terkecil
berasal dari genus Orthohepadnavirus famili Hepadnaviridae berdiameter 40-42
nm (Hardjoeno, 2007). Masa inkubasi berkisar antara 15-180 hari dengan rata-rata
60-90 hari (Sudoyo et al, 2009). Bagian luar dari virus ini adalah protein envelope
lipoprotein, sedangkan bagian dalam berupa nukleokapsid atau core (Hardjoeno,
2007).

b. Gejala
Gejala dari penyakit Hepatitis B ini sangat bervariasi terkadang mirip
dengan Hepatitis A dan mirip flu. Namun pada stadium prodromal sering
ditemukan kemerahan kulit dan nyeri sendi, hilangnya nafsu makan, mual kadang
disertai dengan muntah, lemah, pusing, sakit perut terutama disekeliling atau
disekitar hati, urine berwarna gelap, kulit dan mata berwarna kuning (jaundice)
nyeri sendi dan disertai dengan demam dan akan sembuh dalam 2 minggu namun
dari hasil penelitian yang dilakukan oleh para dokter ternyata hanya sedikit
penderita penyakit Hepatitis B yang menjadi ikterik (Naga, 2012).Secara khusus
tanda dan gejala terserangnya hepatitis B yang akut adalah demam, sakit perut dan
kuning (terutama pada area mata yang putih/sklera). Namun bagi penderita
hepatitis B kronik akan cenderung tidak tampak tanda-tanda tersebut, sehingga
penularan kepada orang lain menjadi lebih beresiko.
27

Tanda gejala hepatitis B biasanya muncul setelah dua sampai tiga bulan
setelah anda terinfeksi dan gejalanya dapat berfariasi dari yang ringan sampai
prarah. Tanda dan gejala hepatitis B antara lain :
1). Nyeri pada area perut
2). Urin yang berwarna gelap
3). Nyeri sendi
4). Hilang nafsu makan
5). Mual dan muntah
6). Lemah dan kelelahan
7). Kulit dan area putih pada mata menjadi kuning

c. Cara Penularan
1). Penularan Horizontal
Cara penularan horizontal yang dikenal ialah: tranfusi darah yang
terkontaminasi oleh HBV, mereka yang sering mendapat hemodialisa.
Selain itu HBV dapat masuk kedalam tubuh kita melalui luka atau lecet
pada kulit dan selaput lendir misalnya tertusuk jarum (penularan parenteral)
atau luka benda tajam, menindik telinga, pembuatan tato, pengobatan tusuk
jarum (akupuntur), penggunaan alat cukur bersama, kebiasaan menyuntik
diri sendiri, menggunakan jarum suntik yang kotor/kurang steril.
Penggunaan alat-alat kedokteran dan perawatan gigi yang sterilisasinya
kurang sempurna / kurang memenuhi syarat akan dapat menularkan HBV.
Di daerah endemis berat diduga nyamuk, kutu busuk, parasit, dan
lain-lain dapat juga menularkan HBV, walaupun belum ada laporan. Cara
penularan tersebut disebut penularan perkutan. Sedangkan cara penularan
non-kutan diantaranya ialah melalui semen, cairan vagina, yaitu kontak
seksual (baik homoseks maupun heteroseks) dengan pengidap/penderita
HVB, atau melalui saliva yang bercium ciuman dengan penderita/pengidap,
dapat juga dengan jalan tukar pakai sikat gigi, dan lainnya. Hal ini
dimungkinkan disebabkan karena selaput lendir tubuh yang melapisinya
terjadi diskontinuitas, sehingga virus hepatitis B mudah menembusnya.
28

2). Penularan Vertikal


Penularan secara vertikal dapat diartikan sebagai penularan infeksi
dari seorang ibu pengidap/penderita HBV kepada bayinya sebelum
persalinan, pada saat persalinan dan beberapa saat setelah persalinan.
Apabila seorang ibu menderita HBV akut pada perinatal yaitu pada
trisemester ketiga kehamilan, maka bayi yang baru dilahirkan akan tertulari
(Budi, 2011).
Virus Hepatitis B juga dapat terjangkit melalui sentuhan dengan
darah atau cairan tubuh yang tercemar. Hal ini akan menyebabkan 100 kali
lebih mudah terjangkit dari pada HIV. Penyakit ini akan terdeteksi melalui
pemeriksaan fungsi hati. Menurut Chin (2006) bagian tubuh yang
memungkinkan terjadinya penularan HBV antara lain adalalah darah, air
ludah atau saliva , cairan cerebrospinal, peritoneal, cairan pericardial, cairan
amniotik, semen, cairan vagina dan lain-lain.
Penularan infeksi virus hepatitis B juga dapat melalui berbagai cara
sepaerti parenteral yaitu terjadi penembusan kulit atau mukosa misalnya
melalui tusuk jarum atau benda yang sudah tercemar virus hepatitis B dan
pembuatan tatto dan non parenteral yaitu persentuhan yang erat dengan
benda yang tercemar virus hepatitis B. Sebagai antisipasi, biasanya terhadap
darah-darah yang diterima dari pendonor akan di tes terlebih dulu apakah
darah yang diterima reaktif terhadap Hepatitis, Sipilis dan HIV namun tidak
semua yang positif Hepatitis B perlu ditakuti.
Dari hasil pemeriksaan darah dapat terungkap apakah ada riwayat
pernah kena dan sekarang sudah kebal, atau bahkan virusnya sudah tidak
ada. Bagi pasangan yang hendak menikah, tidak ada salahnya untuk
memeriksakan pasangannya untuk penularan penyakit ini. Hepatitis C dapat
tertular melalui darah dan plasma yang syringe. Hepatitis D dapat tertular
melalui darah dan cairan beku yang terkontaminasi, jarum suntik dan
hubungan seks. Hepatitis E dapat tertular melalui air yang terkontaminasi,
dari orang ke orang dengan fecal oral (Chin, 2006).
29

d. Pencegahan
Pengendalian penyakit ini lebih dimungkinkan melalui pencegahan
dibandingkan pengobatan yang masih dalam penelitian. Pencegahan dilakukan
meliputi pencegahan penularan penyakit dengan kegiatan Health Promotion
dan Spesifik Protection, maupun pencegahan penyakit dengan imunisasi aktif dan
pasif (Hadi, 2000).
Ada 3 (tiga) kegiatan utama yang dapat dilakukan sebagai upaya
pencegahan penyakit Hepatitis, yakni melalui pencegahan primer, sekunder dan
tersier. Pencegahan primer yakni dengan cara promosi Perilaku Hidup Bersih dan
Sehat (PHBS), imunisasi pada bayi, imunisasi pada remaja dan dewasa (catch up
immunization). Pencegahan sekunder melalui, deteksi dini dengan skrining
(penapisan), penegakan diagnosa dan pengobatan. Sedangkan pencegahan tersier
lebih kepada untuk mencegah keparahan dan rehabilitasi, monitoring pengobatan
untuk mengetahui efektifitas dan resistensi terhadap obat pilihan (Depkes RI,
2009).
Timbulnya Hepatitis B dalam barak-barak atau panti perawatan sering
merupakan petunjuk sanitasi dan higiene perorangan yang buruk.
Pengendaliannya langsung ditunjukkan pada pencegahan terkontaminasinya
makanan, air, atau sumber-sumber lainnya oleh tinja. Kebersihan seperti mencuci
tangan setelah buang air besar atau sebelum makan, penggunaan piring dan alat
makan sekali pakai, dan menjaga kebersihan perorangan. Pemakaian disinfektan
natrium hipoklorit 0,5%- sangat penting dalam mencegah penyebaran (Jawetz,
1995). Orang yang dekat dengan penderita mungkin memerlukan terapi
imunoglobulin. Imunisasi Hepatitis A bisa dilakukan dalam bentuk sendiri
(Havrix) atau bentuk kombinasi dengan vaksin Hepatitis B (Twinrix). imunisasi
Hepatitis B dilakukan tiga kali, yaitu dasar, satu bulan dan 6 bulan kemudian.

e. Pengobatan
Tujuan pengobatan VHB adalah untuk mencegah atau menghentikan
radang hati (liver injury) dengan cara menekan replikasi virus atau menghilangkan
injeksi. Dalam pengobatan hepatitis B, titik akhir yang sering dipakai adalah
hilangnya pertanda replikasi virus yang aktif secara menetap.
30

Obat-obat yang digunakan untuk menyembuhkan hepatitis antara lain


obat antivirus, dan imunomulator. Pengobatan antivirus harus diberikan sebelum
virus sempat berintegrasi ke dalam denom penederita. Jadi pemberiannya
dilakukan sedini mungkin sehingga kemungkinan terjadi sirosis dan hepatoma
dapat dikurangi. Yang termasuk obat antivirus adalah interferon (INF). Sedangkan
obat imunomodulator yang menekan atau merangsang sistem imun misalnya
transfer faktor, immune RNA, dan imunosupresi.
31

BAB 3. PENUTUP

1.5 Kesimpulan
PD3I merupakan singkatan atau kependekan dari Penyakit yang Dapat
Dicegah dengan Imunisasi. Dengan imunisasi, sebenarnya tubuh akan membuat
antibody yang membuat anak kebal terhadap penyakit. Bahan yang dipakai untuk
merangsang pembentukan zat antibody disebut vaksin.
Ada 7 macam penyakit menular yang dapat diupayakan pencegahan
dengan imunisasi, yaitu:
1. Tuberkulosis
2. Poliomyelitis
3. Difteri
4. Pertusis
5. Tetanus
6. Campak
7. Hepatitis B

1.6 Saran
a. Bagi Pemerintah dan petugas kesehatan
Memudahkan akses pelayanan imunisasi bagi seluruh masyarakat
Indonesia dalam semua usia, baik yang berada di daerah perkotaan maupun di
daerah pelosok. Dan meningkatkan lagi mutu pelayanan terutama pelayanan
pada masyarakat yang kurang mampu.
b. Bagi masyarakat
Memperhatikan kesehatan keluarganya dengan memberikan imunisasi
lengkap sedini mungkin terutama saat bayi baru lahir di tempat pelayanan
kesehatan di daerah setempat untuk mengurangi resiko terkena penyakit
menular.
32

DAFTAR PUSTAKA

A.H Markum. 2002. Imunisasi, Edisi Ketiga. Jakarta: Fakultas Kedokteran UI


Press.
Andareto, Obi.2015.Penyakit Menular Di Sekitar Anda.Jakarta: Pustaka Ilmu
Semesta
Cahyono, J.B. Suharjo B. 2010. Vaksinasi Cara Ampuh Cegah Penyakit Infeksi.
Yogyakarta : Kanisius
Chandra, B. (2009). Ilmu Kedokteran Pencegahan & Komunitas . Jakarta: EGC.

Farida, Nur.2010.Kid and Global Disease.Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana


Indonesia
Lestari,Kusuma Scorpia.2012. Faktor-Faktor yang Berhubungan Dengan Kejadian
Difteri Di Kabupaten Sidoarjo.Tesis.Fakultas Kesehatan
Masyarakat.Universitas Indonesia.Depok [Online].Tersedia :
http://lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20300954-T30478%20-
%20Faktor%20faktor.pdf (di akses Tanggal 19 April 2017)

Muttaqin, Arif. 2008. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem


Pernapasan. Jakarta: Salemba Medika.
Noor, N. N. 2000. Dasar Epidemiologi. Jakarta : Rineka Cipta.
Permatasari, Amira. 2005. Pemberantasan Penyakit TB Paru dan Strategi DOTS.
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.[online]. Tersedia :
http://library.usu.ac.id/download/fk/paru-amira.pdf (di akses Tanggal 19
April 2017)

Ranuh, dkk. 2008. Pedoman Imunisasi di Indonesia. Jakarta: Satgas Imunisasi


IDAI
Sunarno dkk.2015.Pengembangan Metode Diagnostik Cepat Laboratorium untuk
Indentifikasi Penyebab Difteri.Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/22315/4/Chapter%20II.pdf (di
akses Tanggal 19 April 2017)
33

http://www.indonesian-publichealth.com/penyakit-yang-dapat-dicegah-dengan
imunisasi/ (di akses Tanggal 19 April 2017)

http://jdihukum.jatengprov.go.id/?wpfb_dl=360 (di akses Tanggal 19 April 2017)

http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/20831/Chapter%20II.pdf?
sequence=4 (di akses Tanggal 19 April 2017)

http://www.uda.ac.id/jurnal/files/Rosita%20Saragih3.pdf (di akses Tanggal 19


April 2017)
file:///C:/Users/deka/Downloads/2856-2846-1-PB%20(1).pdf (di akses Tanggal
19 April 2017)

Anda mungkin juga menyukai