Anda di halaman 1dari 66

Water and Food Borne Disease

Kelompok 4
Iga Berliana 152110101116
Ghina Farizka W. 152110101117
Bagus Dwi Atmoko 152110101117
Avisyah Damayanty 152110101134
Citra Al Karina 152110101138
Alya Fauziyah 152110101141
Hibatul Wafiroh 152110101147
Food- and water-borne disease may be
caused by toxins created by growing bacteria, toxins
produced by the harmful algal species, or
contamination of food and/or water with certain
bacteria, viruses or parasites.
Many cases of food poisoning happen when
someone eats food that has harmful bacteria in it.
The bacteria or the toxins produced by them can
then make the person sick. Bacteria also can get
into the water supply and make someone sick.
 Food Infection: Adalah masuknya
mikroorganisme dalam makanan, berkembang biak
sangat banyak dan dimakan orang dimana
mikroorganisme tersebut menyebabkan sakit.
 Food Poisoning: Adalah bahan makanan yang
memang mengandung bahan racun alami maupun
makanan diberi zat-zat racun yang mempunyai
tujuan komersial maupun nilai-nilai ekonomis,
dapat juga disebabkan oleh makanan yang sudah
tercemar oleh mikroorganime menghasilkan
racun
 How can someone come into contact
with food- or water-borne bacteria?
 Food- or water-borne illnesses are not
spread from casual contact with another
person. A person can come into contact
with food- or water-borne bacteria by eating
or drinking something that has bacteria in it.
 Penyakit yang menular melalui air
disebabkan oleh:
 Pencemarah limbah kimia dan polusi industri,
seperti tingginya tingkat nitrat dan logam berat di
dalam sumber air dari pabrik dan pertanian.
 Pencemaran bakteri, virus, dan parasit penyebab
penyakit. Sebagian besar polusi ini dibawa oleh
hewan dan kotoran manusia. Satu gram feses
mengandung 100 milyar mikroba.
Faktor penyebab prevalensi penyakit
bawaan makanan
Menurut WHO
 Industrialisasi
 Urbanisasi
 Perubahan gaya hidup
The U.S. Centers for Disease Control and
Prevention define the greatest threats of food-
and water-borne disease to be from among the
following bacteria:
 Salmonella species
 Shigella dysenteriae
 Escherichia coli O157:H7 (E. coli)
 Vibrio cholerae
 Cryptosporidium parvum (C. parvum)
Keracunan makanan yang di
sebabkan bakteri
Salmonella  Salmonellosis
Staphylococcus  staphylococcal
Clostridia  Botulisme

Food poisoning
Transmisi
Mengkonsumsi makanan dan minuman yang
terkontaminasi bakteri atau racun tersebut.
 Salmonella dengan toksin LT biasanya
menginfeksi ternak, unggas, telur
 toksin botulinum terdapat dalam makanan
yang diawetkan dengan cara kurang
sempurna
 Enterotoksin dari Staphylococcus biasanya
menginfeksi kue dengan saus yang terbuat
dari telur,susu, dan daging olahan.
Gejala
Salmonella: diare berdarah, demam, sakit
kepala, stamina turun
Staphylococcus: mual, muntah,
retching,kram perut, dan rasa lemas
Clostridia: kesulitan berbicara, pupil
melebar, penglihatan ganda, mulut terasa
kering, mual, muntah, dan tidak dapat
menelan
Pencegahan
 Melalui proses pemasakan yang benar
 Menyimpan makanan yang mudah
busuk di dalam lemari es
 Penerapan sterilisasi panas dan
penggunaan nitrit pada daging yang
dipasteurisasi pada industri .
Fish poisoning
 Keracunan makanan akibat mengkonsumsi hasil
perikanan beracun yang disebabkan racun
tetrodotoxin, ciguatoxin, dan lainnya.
 Keracunan tetrodotoxin biasa terjadi setelah
mengkonsumsi jenis spesies ikan buntal “puffer”
(Fugu sp).
 ciguatoxin dihasilkan oleh plakton dinoflagellata
berukuran kecil yang dinamakan Gambierdiscus
toxicus
 Keracunan juga bisa diakibatkan mengkonsumsi
hasil perikanan dimana pada tempat organisme itu
hidup sering terjadi pasang merah atau red tide
Ciguatera Fish
Poisoning(Ciguatoxic)
Racun ini bisa berada pada semua ikan, tetapi
mencapai konsentrasi yang paling tinggi pada ikan
pemakan segala yang merupakan struktur rantai makanan
tertinggi.
Racun ini diproduksi oleh dinoflasgelata berukuran kecil
yang dinamakan Gambierdiscus toxicus yang hidupnya
berkoloni pada permukaan batu, dermaga, bangkai kapal
ataupun pada alga (blades of algae).
gejala berupa sakit kepala, muntah-muntah dan gejala
kelainan syaraf seperti rasa gatal hebat serta gemetar di
jari tangan maupun kaki juga ketidakmampuan
membedakan panas dan dingin
Paralytic Shellfish
Poison
 Senyawa toksik utamanya adalah saxitoxin yang bersifat
neurotoxin. Keracunan toksin ini dikenal dengan istilah
”Paralytic Shellfish Poisoning” (PSP).
 Keracunan ini disebabkan karena mengkonsumsi kerang-
kerangan yang memakan dinoflagelata beracun seperti
Alexandrium catenella, A. tamarensis, dan Pyrodinium bahamense.
 Kerang-kerangan menjadi beracun di saat dinoflategelata
sedang melimpah karena laut sedang pasang merah atau red
tide.
 gejala seperti rasa terbakar pada lidah, bibir dan mulut yang
selanjutnya merambat ke leher, lengan dan kaki. Kemudian
berlanjut menjadi mati rasa sehingga gerakan menjadi sulit
Diarrhetic Shellfish
Poison
 Komponen utama diarrhetic shellfish poison adalah okadaic acid.
Komponen yang lain adalah pectenotoxin dan yessotoxin. Toksin ini
diproduksi oleh alga laut Dinophysis fortii dimana melalui rantai
makanan mengakibatkan remis mengandung racun tersebut.
 Keracunan yang disebabkan oleh toksin Okadaic acid ini disebut
”Diarrhetic Shellfish Poisoning” (DSP).
 Keracunan ini diakibatkan mengkonsumsi kepah (mussel) dan remis
(scallop).
 Gejala utama keracunan DSP adalah diare yang akut, dimana
serangannya lebih cepat dibandingkan dengan keracunan makanan
akibat bakteri. Selain itu, mual, muntah, sakit perut, kram dan
kedinginan.
 mempunyai efek sebagai promotor tumor.
Pencegahan
 Tidak mengkonsumsi ikan-ikan karang
yang berukuran sangat besar yang
melebihi ukuran yang umum ditangkap
nelayan setempat (predator puncak)
 Menyimpan ikan segar dengan benar dan
sesegera mungkin
Food poisoning due to organic or
inorganic toxins
 adalah penyakit yang disebabkan konsumsi
makanan atau minuman yang mengandung
bakteri, toksin, parasit, virus ataupun
bahan kimia yang mampu memicu
timbulnya gangguan pada fungsi normal
tubuh.
Campylobacter Enteritis
Campylobacteriosis adalah infeksi oleh
bakteri Campylobacter, jenis yang paling
sering menginfeksi adalah C. jejuni.
Campylobacteriosis termasuk dalam infeksi
bakteri yang paling umum menyerang
manusia, khususnya melalui makanan yang
terkontaminasi bakteri.
DIAGNOSA
 Diagnosis ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan
darah, tinja atau cairan tubuh lainnya.
 Sejumlah besar C. jejuni umumnya ada dalam kotoran
individu yang mengalami diare,namun untuk
mengisolasinya diperlukan media khusus yang
mengandung antibiotik dan atmosfer mikroaerofilik
khusus (5% oksigen). Namun, kebanyakan
laboratorium klinik memiliki perlengkapan untuk
mengisolasi Campylobacter spp. apabila diperlukan.
Penularan
 Transmisi melalui vektor, antara lain hewan liar dan hewan
domestik. Burung liar yang menjadi vektor antara lain merpati,
burung camar dan gagak. Burung liar ini juga dapat menyebarkan
pathogen ini ke air danau sehingga mengkontaminasi air disekitarnya
sehingga air menjadi sumber dari C. jejuni.
 Melalui hubungan seksual tertentu yang melibatkan mulut/lidah dan
anus,
 Melalui proses menelan makanan (biasanya unpasteurized (mentah)
dan susu yang tidak dimasak atau sajian unggas yang tidak bersih),
 Melalui air minum yang tidak dimasak dengan benar.
 Kontak dengan unggas, ternak, binatang peliharaan dalam rumah
(terutama kucing dan anjing) juga dapat menyebabkan penyakit.
Binatang yang diternakkan untuk daging adalah sumber utama
campylobacteriosis.
GEJALA
 Gejalanya terdiri dari diare, nyeri perut dan
kram, yang bisa sangat berat. Diare mungkin
berdarah, dan bisa timbul demam antara
37,8-40oCelsius.
 Gejala tambahan untuk infeksi sistemik
meliputi nyeri sendi disertai merah dan
membengkak, nyeri perut serta pembesaran
hati dan limpa. Kadang infeksi bisa menyerang
katup jantung (endokarditis) dan selaput otak
dan medulla spinalis (meningitis).
 Masa inkubasi penyakit atau infeksi bakteri
C. jejuni bisa berlangsung selama 8-10
hari.
Pencegahan
 Mengkonsumsi makanan atau bahan pangan segar daripada makanan
atau bahan pangan yang telah diawetkan
 Mengkonsumsi makanan yang telah diproses dekontaminasi yang
terkontrol dengan baik seperti pasteurisasi, sterilisasi dan direbus,
 Contoh makanan yang aman yaitu susu yang telah dipasteurisasi,
roti, tepung, jam, madu, pikel, dan manisan buah.
 Pencegahan yang lain yaitu dengan menjaga kebersihan diri
(mencuci tangan dengan sabun, khususnya selama mengolah
makanan.) dan kebersihan lingkungan.
 Pasteurisasi susu dan pemberian khlorin pada air minum dapat
merusak bakteri.
 Pengobatan dengan antibiotika dapat mengurangi pengeluaran
kotoran.
Fasciolopsiasis
 Fasciolopsiasis adalah penyakit kecacingan
yang disebabkan oleh cacing Fasciolopsis
buski. Cacing ini merupakan salah satu
parasit trematoda terbesar yang dapat
menginfeksi manusia dan bermanifestasi di
dalam lumen usus.
Diagnosis
 Cara Diagnosis Fasciolopsiasis Diagnosis
pasti dengan menemukan telur pada
pemeriksaan tinja atau menemukan cacing
dewasa dalam tinja atau muntahan.
 Cara infeksi : memakan tumbuhan air yg
mengandung metaserkaria tanpa dimasak
dgn sempurna.
Masa inkubasi
 2-3 bulan
 Distribusi geografik : China, Taiwan,
Thailand, Malaysia, Laos, India, Vietnam dan
Indonesia
Gejala Klinis Fasciolopsiasis
 Peradangan akibat perlekatan cacing pada
mukosa usus Ulserasi yang agak dalam
pada luka Abses dengan sakit di daerah
epigastrium
 Mual Diare ringan sampai berat
 Pada infeksi yang berat dapat terjadi
oedem dan ascites Anemia ringan
Pencegahan
 Pencegahan fasciolopsiasis dapat dilakukan
dengan cara memasak tumbuhan air
sebelum dimakan, serta jangan buang air
besar sembarangan terutama di lokasi
perairan yang ditumbuhi tumbuhan air.
Fascioliasis
 Merupakan penyakit parasit yang menyerang
semua jenis ternak. Kerugian yang
ditimbulkannya cukup besar, yaitu penurunan
berat badan hewan terserang.
 Fascioliasis adalah penyakit zoonosis yang
disebabkan oleh cacing trematoda Fasciola
gigantica maupun Fasciola hepatica. Cacing
tersebut bermigrasi dalam parenkim hati,
berkembang dan menetap dalam saluran
empedu
Diagnosa
 Penyakit ini dapat didiagnosa berdasarkan
pemeriksaan mikroskopis dari tinja dan
patologis jaringan terserang.
Penularan
 Sumber utama penularan fasciolosis pada manusia adalah
dari kebiasaan masyarakat yang gemarmengkonsumsi
tanaman/tumbuhan air, seperti selada air dalam keadaan
mentah yang tercemar metaserkaria cacing Fasciola hepatica.
 Penularan ditentukan oleh keberadaan siput dari Famili
Lymnaeidae, keberadaan hewan mamaliapeka lain di sekitar
tempat tinggal penduduk dan iklim .
 Penggunaan air
yang tercemar metaserkaria Fasciola spp.,misalnya air
tersebut diminum dalam keadaan mentah.
 kebiasaan sebagian masyarakat di Eropa yang gemar
mengkonsumsi hati mentah.
 Masa inkubasi Fascioliasis menginfeksi
padamanusia sangat bervariasi, karena
dapat berlangsung dalam beberapa hari,
dalam 6 minggu atau antara 2-3 bulan.
Bahkan dapat lebih lama dari
waktu tersebut
Distribusi Geografis
Penyakit ini ditemukan tersebar di dunia. Di
Indonesia ditemukan hampir di seluruh
daerah, terutama di daerah yang basah
Gejala Klinis
 Hewan terserang ditandai dengan nafsu
makan turun, kurus, oedema
submandibula (bottle jaw), selaput lendir
mata pucat dan diare.
Pencegahan
 Kandang harus dijaga tetap bersih dan kandang sebaiknya
tidak dekat kolam atau selokan. Siput-siput di sekitar kandang
dimusnahkan untuk memeutus siklus hidup Fasciola.
 Memasak makanan sampai benar-benar matang
 Konsumen harus menghindari konsumsi selada air
yang mentah.
 Kalaupun tetap harus mengkonsumsi sayuran mentah,
sebaiknya sayuran tersebut dicuci dahuludengan larutan cuka
atau larutan potassium permanganat sebelum dikonsumsi
 Pengendalian siput dengan moluskisida jika memungkinkan, pe
ngobatan
pada masyarakat yangterinfeksi untuk mengurangi resevoir inf
eksi
Clonorchis sinensis
 Nama lain :
1. Chinese liver fluke
2. Oriental liver fluke
3. Trematoda hati china
 Nama penyakit : Klonorkiasis
Gejala
 Stadium Ringan : tidak ada gejala. Gejala gangguan
rasa nyaman pada abdomen kuadran kanan atas
dengan awitan yang bertahap, anoreksia, gangguan
pencernaan, nyeri atau distensi abdomen dan buang
air besar yang tidak teratur.
 Stadium progresif : perasaan lemah, menurunnya
nafsu makan, BB turun, gangguan rasa nyaman di
daerah epigastrium, perut rasa penuh, diare, edema,
anemia dan pembesaran hati.
 Stadium Lanjut : sindrom portal (pembesaran hati,
ikterus, ascites, edema, sirosis hepatitis, hipertensi
porta dan perdarahan gastrointestinal atas).
Periode Inkubasi
 Tidak bisa diperkirakan; masa inkubasi
bervariasi menurut jumlah cacing yang
ada. Gejala dimulai dengan masuknya
cacing yang imatur ke dalam sistem
empedu dalam waktu satu bulan sesudah
larva yang berbentuk kista (metaserkaria)
termakan oleh pasien.
Distribusi
 Infeksi klonorkiasis merupakan penyakit
endemis di kawasan Pasifik Barat: Cina,
Hong Kong SAR, Jepang, Malaysia, Republik
Korea, Singapura,Thailand dan Vietnam.
 Di Eropa: wilayah timur Federasi Rusia
Control Prevention
 Industri: pembuangan ekskreta dan air limbah/khusus kotor yang
aman untuk mencegah kontaminasi pada air sungai; pengolahan air
limbah untuk keperluan akuakultur; iradiasi ikan air tawar;
pembekuan dingin; perlakuan panas, misalnya pengalengan.
 Tempat pengelolaan makanan/rumah tangga: memasak ikan air tawar
sampai benar-benar matang.
 Konsumen harus menghindari konsumsi ikan air tawar yang mentah
atau kurang matang.
 Lain-lain: pengendalian siput dengan moluskisida jika memungkinkan;
pengobatan pada masyarakat yang terinfeksi untuk mengurangi
reservoir infeksi; pemberantasan anjing dan kucing liar.
 Pemakaian jamban yang tidak mencemari air sungai.
Opisthorchis felineus
 Nama lain : Cod liver fluke
 Nama penyakit : Opistorkiasis

 Gejala :
1. Reaksi peradangan.
2. Demam, nyeri abdomen, pening dan urtikaria.
3. Poliferasi sel-sel epitel saluran empedu.
4. Gejala lanjut : fibrosis.
5. Gejala sedang : nyeri, hepatomegali obstruksi lien.
6. Infeksi berat : gangguan pencernaan, ikterus, eosinofilia lokal, edema wajah dan
kadang asites.
7. Kasus kronis dapat menyebabkan diare, flatulensi, intoleransi makanan
berlemak, nyeri epigastrium serta abdomen kuadran kanan atas, ikterus,
demam, hepatomegali, rasa lemah, anoreksia dan pada beberapa kasus,
emasiasi (tubuh yang menjadi kurus) serta edema.
Diagnosis
 Menemukan telur dalam tinja dan cairan
duodenum.
 Telur O. felineus mirip dengan C. sinensis,
jadi untuk membedakan kedua kasus
tersebut dengan mengetahui riwayat
penderita.
Periode inkubasi
 2—4 minggu; kadang-kadang saja 1
minggu.
Distribusi
 Opisthorchis viverrini: Kamboja, Republik
Demokratis Rakyat Laos,Thailand.
 Opisthorchis felineus: Eropa: negara Baltik, Jerman
Timur, Kazakhstan, Polandia, Federasi Rusia
Ukraina;Asia: India, Jepang,Thailand.
 Daerah yang sangat endemis di Polandia dan
Desna Basin.
 Di daerah endemis kucing merupakan hospes
reservoir yang terpenting sebagai sumber penular.
Control Prevention
 Industri: pembuangan ekskreta dan air limbah/khusus kotor yang aman
untuk mencegah kontaminasi pada air sungai; pengolahan air limbah
untuk keperluan akuakultur; iradiasi ikan air tawar; pembekuan dingin;
perlakuan panas, misalnya pengalengan.
 Tempat pengelolaan makanan/rumah tangga: memasak ikan air tawar
sampai benar-benar matang.
 Konsumen harus menghindari konsumsi ikan air tawar yang mentah
atau kurang matang.
 Lain-lain: pengendalian siput dengan moluskisida jika memungkinkan;
pengobatan pada masyarakat yang terinfeksi untuk mengurangi
reservoir infeksi; pemberantasan anjing dan kucing liar.
 Pemakaian jamban yang tidak mencemari air sungai.
 Perbaikan sanitasi.
 Tidak minum air mentah yang terkontaminasi O. felineus.
Diagnosis
 Menemukan adanya telur dalam
sputum/cairan pleura dan tinja.
 Reaksi serologi ( ELISA dan Western blot)
sangat membantu menegakkan diagnosis.
Periode Inkubasi
 Stadium akut: beberapa hari sampai
minggu.
 Stadium kronis: gejala paru-paru dimulai
sekitar 3 bulan kemudian.
Distribusi
 Kejadian Benua Afrika misalnya Kamerun,
Nigeria; benua Amerika misalnya Ekuador,
Peru; benua Asia misalnya Cina, Jepang,
Republik Demokratik Rakyat Laos, Filipina,
Republik Korea,Thailand.
 Di Indonesia ditemukan autokhton pada
binatang sedangkan pada manusia hanya
pada kasus impor saja.
Control Prevention
 Industri: pembuangan ekskreta dan air limbah kotor
secara aman untuk mencegah kontaminasi pada sungai.
 Tempat pengelolaan makanan/rumah tangga: memasak
kepiting dan udang sampai benar-benar matang, dan
penanganan bahan pangan ini secara higienis.
 Konsumen harus menghindari konsumsi kepiting atau
udang yang mentah atau kurang-matang.
 Lain-lain: pengendalian siput dengan moluskisida jika
memungkinkan; pengobatan pada masyarakat yang
terinfeksi untuk mengurangi reservoir infeksi;
pemberantasan anjing dan kucing liar.
DIPHYLLOBOTHRIUM LATUM
Cacing pita ikan (fish tapeworm) dikenal sebagai
spesies yang berbeda sejak tahun 1602 oleh plater di
Switzerland.dengan adanya deskripsi skoleks yang kelas pada
tahun 1977 bonnet dapat membedakan cacing ini dari cacing
pita babi T.solium.
Cacing ini pertama kali diperiksa di Amerika oleh
Wemland pada tahun 1858 dan selanjutnya oleh Leidy pada
tahun 1879 pada penderita yang mendapat infeksi di Eropa.
Perkembangan fokus endemik diAmerika Utara oleh imigran
yang terinfeksi pertama kali dilaporkan pada tahu 1906. Hal
tersebut menggambarkan transplantasi parasit dari Old word
kelingkungan baru.
• Patologi dan Gejala Klinis
 Penyakit ini biasanya tidak menimbulkan gejala
berat,mungkin hanya gejala saluraan cerna seperti
diare, tidak nafsu makan dan tidak enak perut.
Bila cacing hidup dipermukaan usus halus dapat
timbul anemia hiperkrommakrositer, karena
cacing ini banyak menyerap vitamin B12, sehingga
timbul gejala defisiensi vitamin tersebut.
 Bila jumlah cacing banyak,mungkin terjadi
sumbatan usus secara mekanik atau terjadi
obstruksi usus,karena cacing-cacing itu menjadi
seperti benang kusut.
• Diagnosis
Cara menegakkan diagnosis penyakit
ini adalah dengan menemukan telur atau
proglotid yang dikeluarkan dalam tinja.
• Distribusi
Penyakit ini di Indonesia tidak
ditemukan tetapi banyak dijumpai di negara
yang banyak dijumpai di negara yang banyak
makan ikan salem mentah atau kurang
matang.
Banyak binatang seperti anjing, kucing,
dan babi berperan sebagai hospes reservoar
dan perlu diperhatikan.
• Pencegahan
 Untuk mencegah terjadinya infeksi, ikan
tawar yang tersangka mengandung bibit
penyakit harus terlebih dahulu dimasak
dengan sempurna sebelum dihidangkan.
Anjing sebagai hospes reservoar sebaiknya
diberi obat cacing.
 Memasak ikan sampai betul-betul matang
atau membekukannya sampai -10 derajat
Celsius.
Taenia Saginata
 Taenia saginata disebut juga cestoda usus
(Brooker, 2008). Habitat cacing ini dalam
tubuh manusia terletak pada usus halus
bagian atas.
 Morfologi cacing dewasa berwarna putih,
tembus sinar, dan panjangnya dapat
mencapai 4-25 meter, walaupun
kebanyakan 5 meter atau kurang.
Taenia saginata dewasa terdiri dari skoleks
(kepala) berbentuk segiempat yang berukuran 1-2
mm dan dilengkapi dengan empat buah alat
penghisap (sucker) menyerupai mangkuk, sebuah
leher dan sebuah strobila yang panjangnya berkisar
dari 35 mm sampai 6 mm (Hartono, 2005).
Tidak ada rostelum maupun kait pada skoleks.
Leher Taenia saginata berbentuk segi empat
menunjang dengan lebar sekitar 0,5 milimeter. Ruas-
ruas tidak jelas dan di dalamnya tidak terlihat
struktur (Handojo dan Margono, 2008; Marianto,
2011).
• Gejala Klinis
Gejala yang sering muncul pada penderita cacing
pita Cestoda adalah perut mulas tanpa sebab, nafsu makan
menurun, mual, kekurangan gizi, berat badan menurun.
Cara infeksinya melalui oral karena memakan
daging babi atau sapi yang mentah atau setengah matang
dan mengandung larva cysticercus. Di dalam usus halus,
larva itu menjadi dewasa dan dapat menyebabkan gejala
gastero- intestinal seperti rasa mual, nyeri di daerah
epigastrium, napsu makan menurun atau meningkat, diare
atau kadang-kadang konstipasi. Selain itu, gizi penderita
bisa menjadi buruk se-hingga terjadi anemia malnutrisi.
Pada pemeriksaan darah tepi didapat kaneosinofilia. Semua
gejala tersebut tidak spesifik bahkan sebagian besar kasus
taeniasis tidak menunjukkan gejala (asimtomatik).
• Diagnosis
Diagnosis ditegakakan dengan
menemukan proglotid yang keluar secara
aktif melalui anus. Diagnosa genus
dengan menemukan telur dalam tinja, sebab
telur Taenia saginata tak dapat dibedakan
dari telur Taenia solium.
• Distribusi
 Penyebaran cacing adalah kosmopolit,
didapatkan di Eropa, Timur Tengah, Afrika,
Asia, Amerika Utara, Amerika Latin, Rusia
dan juga Indonesia, yaitu Bali, Jakarta, dan
lain-lain.
• Pencegahan
 Untuk mencegah terjadinya penularan taeniasis, dilakukan
tindakan-tindakan sebagai berikut (Soedarto, 2008; CFSPH, 2005;
Marianto, 2011):
a) Mengobati penderita, untuk mengurangi sumber infeksi, dan
menecegah terjadinya autoinfeksi.
b) Peningkatan kinerja pengawasan daging yang dijual, agar bebas
larva cacing(sistiserkus). Pengawasan yang dilakukan pada negara
endemis biasanyaadalah inspeksi di rumah potong. Namun, biasan
ya adalah inspeksitersebut tidak dapat menyaring semua kasus
yang sangat ringan (Garcia dkk ,2003; Soedarto, 2008; Ideham
dan Pusarawati, 2007; Marianto, 2011).
c) Memasak daging sampai di atas 56 C, untuk membunuh kista
cacing,mendinginkan daging hingga (-10) C hingga lebih dari 5
hari, dan mengasinkan dalam larutan garam 25% selama lebih dari
5 hari, untukmencegah resistensi larva (Natadisastra, 2009).
d) Menjaga kebersihan lingkungan dan tidak
memberikan tinja manusia sebagaimakanan
babi, tidak membuang tinja di sembarang
tempat (Ideham danPusarawati, 2007; WHO,
2009; Marianto, 2011).
e) Pada daerah endemik, sebaiknya tidak
memakan buah dan sayur yang tidak
dimasak yang tidak dapat dikupas (Soedarto,
2008; Marianto, 2011).
f) Hanya meminum air yang telah dikemas
dalam botol, air yang disaring, atauair yang
dididihkan selama 1 menit (Soedarto, 2008;
Marianto, 2011).
f) Dapat dilakukan pemberian pendidikan mengenai
kesehatan (Garcia dkk ,2003; Marianto, 2011).
g) Obat yang baik adalah niclosamide atau
quinakrin HCL dengan dosis yangsama dengan
D. Latum. Obat ini disertai dengan pemberian
praziquanteldengan dosis 10 mg/kg berat
badan.Obat lain dengan biothionol
diberikan peroral 40-
60mg/kg berat badan. Mebendazol, dengan dosis
300 mg pemberian dua kali perhari selama 3 hari
(Natadisastra dkk, 2009).
h) Meningkatkan pendidikan komunitas dalam
kesehatan (kebersihan,mempersiapkan makanan,
dan sebagainya) (WHO, 2009; Marianto, 2011).
Dapus
 H. M. Muslim, M.Kes. 2009. Parasitologi
untuk Keperawatan. Jakarta : EGC.
 Who. 2005. Penyakit Bawaan Makanan
Fokus Pendidikan Kesehatan. Jakarta :
EGC.
 Webber, Roger. 2005. Communicable
Disease Epidemiology and Control (A
Global Perspective). London : CABI
Publishing
 Sandjaja, Dr. Bernardus, DMM, DTM&H,
MSPH. 2007. Helmintologi Kedokteran.
Prestasi Pustaka : Jakarta.
 Utama, Dr. Hendra.2009.Parasitologi
Kedokteran.Balai Penerbit FKUI:Jakarta.
 https://patient.info/doctor/campylobacter-enteritis
 http://medlab.id/fasciolopsis-buski/
 http://wiki.isikhnas.com/images/a/a4/Penyakit_FAS
CIOLOSIS.pdf
 http://ejournal.litbang.depkes.go.id/index.php/MPK
/article/view/1151
 http://medicastore.com/penyakit/209/Infeksi_Cam
pylobacter.html
 https://www.amazine.co/23022/gejala-pengobatan-
infeksi-bakteri-campylobacter-jejuni/

Anda mungkin juga menyukai