Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN P5

JEJAK KARBON, JEJAK KITA DI BUMI

DISUSUN OLEH:
SALSABILLA TRI CAHYANI
SHEILAN NAOMI
STEVEN DWI ANDIKA
WA ODE RIZKI AMALIAH
WAODE IMNAH RAMNAHYANTI
NURWAHIDAH

SMA NEGERI 4 KENDARI


TAHUN AJARAN 2023/2024
Tahapan dalam projek ‘Jejak Karbon, Jejak Kita di Bumi’

1. Perubahan iklim, realitas dan miskonsepsinya

Secara umum, perubahan iklim disebut sebagai fenomena pemanasan global,


dimana terjadi peningkatan gas rumah kaca pada lapisan atmosfer dan berlangsung untuk
jangka waktu tertentu. Penyebab perubahan iklim dan pemanasan global terdiri dari
berbagai faktor yang berbeda serta menimbulkan dampak bagi kehidupan manusia.

Terdapat banyak miskonsepsi yakni pemahaman yang salah yang terjadi di


masyarakat mengenai perubahan iklim seperti apa faktor-faktor yang mempengaruhi
perubahan iklim, akibat dari perubahan iklim, atau solusi untuk mengatasi perubahan
iklim. Berikut beberapa miskonsepsi dan yang umumnya terjadi di masyarakat beserta
realitnya:

1. Miskonsepsi: Perubahan iklim tidak ada hubungannya dengan aktivitas manusia.


Realita: Sebagian besar ilmuwan dan pakar lingkungan sepakat bahwa aktivitas
manusia adalah faktor utama yang mempengaruhi perubahan iklim global saat ini.
Aktivitas manusia, seperti pembakaran bahan bakar fosil (minyak bumi, gas alam,
batu bara), penggundulan hutan, pelepasan emisi gas rumah kaca ke atmosfer, yang
menjadi penyebab efek pemanasan global yang dikenal sebagai “efek rumah kaca”
yang dapat mempercepat laju perubahan iklim.

2. Miskonsepsi: Perubahan iklim hanyalah fenomena alamiah dan siklus alamiah.


Realita: Sebagian besar bukti ilmiah menunjukkan bahwa aktivitas manusia adalah
faktor utama yang mempengaruhi perubahan iklim global saat ini. Meskipun terdapat
variasi alami dalam iklim bumi, bukti menunjukkan bahwa perubahan iklim saat ini
jauh lebih cepat dan lebih luas di bandingkan dengan perubahan siklus alamiah yang
terjadi dalam sejarah bumi. konsentrasi gas rumah kaca yang menahan panas di
atmosfer telah meningkat secara dramatis sejak Revolusi Industri. Lebih lanjut, bukti
menunjukkan bahwa kenaikan suhu global saat ini berkorelasi dengan peningkatan
aktivitas manusia, seperti pembakaran bahan bakar fosil dan deforestasi. Meskipun
perubahan iklim merupakan fenomena alamiah, aktivitas manusia telah mempercepat
proses tersebut.

3. Miskonsepsi: Perubahan iklim hanya berdampak pada iklim global dan tidak pada
lingkungan local.
Realita: Perubahan iklim global memiliki dampak yang signifikan pada lingkungan
lokal. Meskipun perubahan iklim terjadi pada skala global, dampaknya di rasakan di
seluruh dunia, termasuk pada ekosistem, spesies, dan kehidupan manusia di setiap
negara, daerah, dan kota. Perubahan iklim dapat menyebabkan perubahan drastis pada
cuaca dan kondisi lingkungan, seperti suhu udara yang lebih tinggi, kenaikan
permukaan air laut, peningkatan frekuensi dan intensitas bencana alam, dan
perubahan pola curah hujan yang dapat mempengaruhi sumber daya alam, seperti air,
tanah, dan keanekaragaman hayati, yang menjadi dasar kehidupan manusia dan
keberlangsungan ekonomi manusia. Misalnya, perubahan iklim dapat menyebabkan
kekeringan dan bencana banjir, yang dapat mengganggu produksi pangan, air bersih,
dan energi. Selain itu, perubahan iklim dapat mempengaruhi ekosistem laut dan darat,
yang dapat memengaruhi penyebaran penyakit, kelangsungan hidup spesies, dan
kesehatan manusia.

4. Miskonserpsi: Perubahan iklim hanya menyebabkan kenaikan suhu dan tidak


memiliki efek lainnya.
Realita: Faktanya, perubahan iklim memiliki dampak yang kompleks dan beragam
pada lingkungan dan kehidupan manusia, selain dari kenaikan suhu global. Dampak
perubahan iklim tersebut seperti perubahan pola cuaca (peningkatan intensitas
bencana alam seperti badai tropis, siklon, banjir, kekeringan, dan angin kencang),
kenaikan permukaan air laut (terjadi karena pencairan es di kutub dan gletser,
sehingga menyebabkan banjir bandang, erosi pantai, dan mempengaruhi kehidupan
binatang dan tumbuhan di wilayah pesisir), perubahan dalam ekosistem (penyebaran
spesies baru, kelangkaan makanan, dan perubahan dalam lingkungan hidup yang
dalam jangka panjang dapat memengaruhi keanekaragaman hayati dan ketersediaan
sumber daya alam), kesehatan manusia (penyebaran penyakit dan kualitas udara yang
buruk akibat polusi dan asap dari kebakaran hutan), serta ekonomi dan sosial
(dampak pada pertanian, pariwisata, dan infrastruktur, serta mempengaruhi
kesejahteraan dan ketidakadilan sosial).

5. Miskonsepsi: Perubahan iklim tidak mempengaruhi kehidupan manusia secara


langsung.
Realita: Perubahan iklim memiliki dampak langsung dan tidak langsung pada
kehidupan manusia, termasuk Kesehatan (dengan memperparah kualitas udara,
meningkatkan risiko terjadinya bencana alam, dan memicu penyebaran penyakit yang
berbahaya seperti malaria, dengue, dan demam berdarah), keamanan (dengan
meningkatkan konflik dan ketidakstabilan politik akibat persaingan atas sumber daya
alam yang semakin berkurang), produksi pangan (dengan mengurangi hasil panen,
merusak tanah dan hama tanaman, dan mempengaruhi ketersediaan air yang di
gunakan dalam pertanian), serta ekonomi (dengan merusak infrastruktur, mengurangi
kegiatan ekonomi dan pariwisata, dan meningkatkan biaya untuk membangun ulang
akibat kerusakan akibat bencana alam).

6. Miskonsepsi: Penyebab utama perubahan iklim adalah lubang ozon yang semakin
menipis.
Realita: Faktanya, meskipun lubang ozon dapat mempengaruhi iklim secara lokal,
tidak ada hubungan langsung antara lubang ozon dan perubahan iklim global.
Penyebab utama perubahan iklim global adalah peningkatan emisi gas rumah kaca ke
atmosfer, seperti karbon dioksida, metana, dan gas lainnya yang di lepaskan dari
kegiatan manusia, seperti industri, transportasi, dan pertanian. Gas-gas ini
memperkuat efek rumah kaca alami, yang menyebabkan peningkatan suhu rata-rata
bumi dan perubahan iklim global yang kita alami saat ini.
7. Miskonsepsi: Perubahan iklim hanya akan terjadi di masa depan, bukan saat ini.
Realita: Faktanya, kita telah melihat dampak perubahan iklim pada lingkungan dan
masyarakat di seluruh dunia saat ini. Dampak-dampak tersebut antara lain
peningkatan suhu rata-rata (menyebabkan es laut mencair dan kenaikan permukaan
air laut), peningkatan intensitas bencana alam (seperti banjir, kekeringan, badai
tropis, dan kebakaran hutan, yang telah mempengaruhi jutaan orang di seluruh
dunia), perubahan dalam ekosistem (pergeseran dalam jangkauan geografis dan
perubahan dalam pola migrasi dan reproduksi), serta dampak pada Kesehatan
manusia (dengan meningkatkan risiko penyakit seperti demam berdarah,
meningkatkan polusi udara, dan memperparah kondisi penyakit pernapasan).

8. Miskonsepsi: Fenomena banjir hanya terjadi di musim hujan saja.


Realita: Banjir dapat terjadi kapan saja sepanjang tahun dan bahkan bisa lebih parah
terutama di musim panas saat tanah terpanggang dan keras yang meningkatkan
lapisan air sehingga banjir dapat terjadi.

2. Gas efek rumah kaca: baik atau buruk?

Gas efek rumah kaca adalah gas yang menahan sinar matahari gelombang panjang
(infra merah) oleh gas-gas rumah kaca sehingga terperangkap di permukaan bumi dan
tidak dapat keluar ke angkasa. Hal tersebut membuat bumi semakin panas dan
menimbulkan kondisi yang disebut sebagai efek rumah kaca (Green House Effect) yakni
naiknya suhu bumi.

a. Penyebab Efek Rumah Kaca

Peningkatan gas rumah kaca di atmosfer dan perubahan efek rumah kaca
disebabkan oleh berbagai faktor. Mayoritas penyebabnya berasal dari kerusakan alam
yang kita timbulkan. Berikut ini beberapa penyebab peningkatan gas rumah kaca dan
efek rumah kaca yang tidak optimal.

1. Penggundulan Hutan dan Pembukaan Lahan

Hutan memiliki peranan penting bagi kehidupan manusia di bumi. Tumbuhan dan
pohon-pohon mampu menyerap gas karbon dioksida yang ada di udara dan melepaskan
oksigen melalui proses fotosintensis. Akibatnya, hutan bermanfaat untuk menyediakan
udara yang bersih. Satu pohon dewasa dapat menyediakan kebutuhan oksigen bagi sekitar
2-10 orang per hari. Selain menghasilkan udara yang segar, hutan juga berfungsi sebagai
katalis untuk “mendinginkan bumi” akibat pemanasan global. Namun sangat
disayangkan, melihat pengaruh hutan yang sangat besar bagi manusia masih banyak
oknum yang melakukan penggundulan hutan. Karena penggundulan hutan ini, secara
otomatis gas CO2 semakin banyak di udara. Pohon yang ditebangi tanpa menerapkan
tebang pilih menjadikan jumlah pohon semakin menyusut. Pembukaan lahan, seperti
yang kita ketahui bahwa Indonesia memiliki penduduk dengan jumlah yang besar.
Pembukaan hutan ini tak jarang dijadikan sebagai lahan perumahan. Menghilangkan
hutan dengan cara pembukaan lahan dan tidak mencoba menanam pohon kembali setelah
itu, akan sangat berpengaruh terhadap suhu bumi dan mengakibatkan efek rumah kaca.

2. Penggunaan Bahan Bakar Fosil

Bahan bakar fosil merupakan salah satu sumber energi dari dalam bumi dan
terbentuk dari sisa-sisa binatang dan tumbuhan. Bahan bakar fosil sampai saat ini masih
banyak digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Bahan bakar fosil antara lain
batu bara, gas alam, dan minyak bumi. Penggunaan bahan bakar fosil dalam jumlah besar
akan sangat berdampak pada kualitas udara. Selain itu, bahan bakar fosil dapat
meningkatkan konsentrasi gas rumah kaca pada atmosfer.

3. Penggunaan Pupuk Kimia

Pupuk anorganik yang secara terus menerus dapat memberikan dampak negatif.
Kandungan Nitrous Oksida yang dilepaskan ke udara akan menghasilkan efek rumah
kaca.

4. Pencemaran dan Polusi Laut Limbah Industri yang tidak diolah dengan baik
dan dibuang begitu saja ke laut akan menyebabkan pencemaran laut. Akibatnya,
ekosistem di laut yang berfungsi untuk menyerap CO2 tidak akan maksimal. Salah satu
ekosistem yang hidup di laut dan memiliki peran penting dalam penyerapan CO2 dan
menghasilkan 70% O2 adalah Fitoplankton.

5. Limbah Peternakan

Limbah hasil peternakan seperti kotoran sapi, menghasilkan gas rumah kaca.
Kandungan gas yang dihasilkan adalah CO2 dan CH4 (metana). Limbah peternakan
harus diolah dengan baik, karena jika tidak diolah dengan baik dan dibiarkan secara
terus-menerus akan menimbulkan dampak efek rumah kaca yang dihasilkan.

6. Limbah Rumah Tangga

Limbah hasil dari kegiatan rumah tangga yang berasal dari kamar mandi, dapur,
cucian limbah industri rumah tangga dan juga kotoran manusia. Limbah rumah tangga
apabila tidak bisa diolah dengan baik akan berdampak buruk pada lingkungan. Karena
Gas metana dan CO2 yang berasal dari bakteri-bakteri pengurai sampah lambat laun akan
semakin banyak jika dibiarkan menumpuk

7. Sampah Plastik

Berdasarkan beberapa sumber menyatakan bahwa sampah plastik di dunia telah


mencapai angka 1.3 Miliar ton setiap tahunnya, dan menurut data World Bank angka ini
akan terus meningkat dari tahun ke tahun. Sampah plastik yang menumpuk di berbagai
tempat di belahan dunia ini akan mengeluarkan gas metana dan etilen ketika terkena
paparan sinar matahari dan merusak. Kandungan gas metana menempati posisi kedua
faktor perusak lingkungan. Metana merupakan salah satu gas rumah kaca yang bisa
menangkap panas dalam atmosfer dan kemudian dipancarkan selama kegiatan produksi
batu bara, gas alam serta minyak bumi.

8. Penggunaan Tisu yang Berlebihan

Seringkali kita tidak menyadari bahwa penggunaan tisu yang berlebihan pada
kegiatan sehari-hari. Padahal tisu yang kita gunakan diproduksi dari serat kayu pohon.
Semakin banyak tisu yang digunakan maka semakin banyak pohon yang akan ditebang
untuk pembuatan tisu. Setelah mengetahui beberapa penyebab terjadinya efek rumah
kaca, maka selanjutnya kita akan melihat dampak efek rumah kaca.

b. Fungsi dari Emisi Gas Rumah Kaca Pada Kehidupan Manusia

Segala sesuatu yang berlebihan memang akan menimbulkan sebuah efek yang
sangat berbahaya. Begitu pula halnya dengan gas rumah kaca. Apabila gas tersebut masih
berada dalam batas yang wajar maka bisa membawa manfaat yang baik bagi bumi yang
kita tinggali ini. Gas rumah kaca dalam batas yang wajar akan memberikan sebuah efek
penghangat bagi bumi.

Panas dari matahari bisa tertahan oleh gas tersebut dan membuat kondisi menjadi
nyaman untuk manusia. Bisa dibayangkan jika gas tersebut tidak ada sama sekali dan
panas dari matahari langsung keluar dipantulkan dan tidak ada yang tertinggal di dalam
atmosfer. Kondisi bumi sudah pasti akan mengalami penurunan tempratur yang sangat
drastis dan menjadi tidak bisa untuk ditinggali.

2. Dampak Negatif Emisi Gas Rumah Kaca

Dalam jumlah yang berlebih, gas rumah kaca tentunya akan mengakibatkan
dampak yang negatif bagi keberlangsungan manusia di muka bumi ini. Kondisi gas
rumah kaca yang sifatnya tidak bisa hilang membuat kondisi permukaan bumi menjadi
tidak stabil dan bisa menimbulkan dampak negatif yang lain. Di bawah ini merupakan
dampak negatif gas rumah kaca yang bisa timbul apabila jumlahnya berada melebihi
batas.

a. Ketidakstabilan Iklim

Apabila gas rumah kaca menjadi terlalu banyak otomatis menyebabkan


iklim menjadi tidak stabil. Suhu di bumi ketika memasuki musim kemarau
ataupun musim dingin menjadi ekstrim dan bahkan bisa menyebabkan musim
akan mengalami pergeseran apabila gas tersebut sudah berada dalam level yang
berbahaya.

b. Meningkatnya Permukaan Air Laut

Suhu yang meningkat otomatis membuat permukaan es pada kutub dan


gunung es bisa menjadi mencair. Dengan banyaknya es yang mencair bisa
mengakibatkan meningkatnya permukaan air laut. Kondisi ini tentunya bisa
menimbulkan banjir pada wilayah yang lebih rendah apabila tidak segera diatasi.
c. Meningkatnya Suhu Secara Global

Gas yang terlalu banyak berada pada atmosfer menyebabkan panas dari
matahari tidak bisa keluar dan terus terperangkap di dalam bumi. Kondisi efek
rumah kaca ini mengakibatkan suhu bumi secara global akan mengalami
peningkatan dan ekosistem dari bumi akan sangat terganggu apabila suhu terus
mengalami peningkatan secara drastis.

3. Jejak karbon (Carbon Footprint)

Jejak karbon (Carbon Footprint) adalah jumlah karbon atau gas rumah kaca yang
dihasilkan dari berbagai aktivitas manusia dalam kurun waktu tertentu. Jejak karbon
merupakan suatu instrumen penting dalam mengukur kontribusi individu, komunitas,
industri, produk, dan lainnya terhadap perubahan iklim. Dengan menghitung jejak
karbon, suatu industri dapat mengetahui sumber emisinya dan dapat meminimalkan
penggunaannya sejak dini.

Berikut beberapa sumber yang dapat menimbulkan jejak karbon:

1. Penggunaan Kendaraan yang menggunakan bahan bakar fosil (bensin, solar, atau
gas).
Proses pembakaran bahan bakar di atas akan menimbulkan jejak karbon. Dengan
bepergian menggunakan kendaraan pribadi, artinya kita berkontribusi untuk
menghasilkan lebih banyak gas emisi (CO2).Apalagi jika kita terjebak macet. Mesin
kendaraan akan menjadi panas dan melepas gas emisi ke udara. Semakin banyak
kendaraan berbahan bakar fosil digunakan, akan menambah lebih banyak pelepasan
jejak karbon ke udara.

2. Penggunaan Energi Listrik dan Air


Penggunaan energi listrik untuk keperluan sehari-hari, misalnya TV, AC, lampu,
kulkas, mesin cuci, microwave dan berbagai peralatan listrik lainnya ternyata
berbanding lurus dengan dihasilkannya gas emisi. Kok bisa begitu? Jawabannya ada
pada sumber energi listrik yang kita gunakan. Kebanyakan, sumber energi listrik
masih berasal dari pembakaran bahan fosil pada pembangkit listrik.
Begitupun dengan penyalahgunaan air. dibutuhkan banyak energi untuk
mengelola air bersih, dan itu masih didapat dari penggunaan energi fosil. Jadi mari
kita kurang-kurangi membuang atau menyalahgunakan air bersih.

3. Konsumsi Makanan
Makanan yang kita konsumsi ternyata juga menjadi salah satu sumber gas emisi.
Terutama jika makanan tersebut berpotensi menjadi gunungan sampah. Mulai dari
ekstraksi bahan baku, proses produksi, proses distribusi, hingga barang tersebut
sampai di tangan kita, ternyata meninggalkan jejak karbon.
Misalnya, bagi kalian yang suka makan daging sapi, jejak karbon yang dihasilkan
sangat tinggi. Karena daging sapi merupakan salah satu penghasil gas emisi terbesar
di dunia. Maksudnya di sini, dalam proses pengadaannya, lho. Bayangkan, berapa
liter bensin dan solar yang dibutuhkan untuk mengantarkan dan memproses makanan
sapi. Hingga akhirnya, memproses dagingnya juga.
Belum lagi bila dagingnya harus didatangkan dari luar negeri. Entah dari
Amerika, Jepang, atau Australia. Jejak karbonnya bertambah karena proses
distribusinya makin panjang. Contoh lainnya, 1 kg kopi yang berasal dari luar negeri
juga menghasilkan jejak karbon sebesar 4.82 kg. Hal ini disebabkan oleh proses
perkebunan, pengolahan, pengemasan, distribusi, hingga akhirnya kopi tersebut
diseduh dan kita nikmati.

Tiga hal di atas meski kelihatan sepele, namun membawa dampak besar terhadap
bumi dan kehidupan lainnya. Laporan dari The Lancet Countdown on Health & Climate
Change menunjukkan rata-rata 306 kejadian bencana akibat cuaca ekstrem tiap tahunnya
dari tahun 2007- 2016, dan meningkat 46% sejak tahun 2000.

Pada tahun 2017, terdapat 797 bencana iklim di dunia dan menyebabkan kerugian
ekonomi higga USD129 Miliar. Hal ini diakibatkan oleh:

1. Cuaca Ekstrim dan Bencana Alam


Semakin tinggi jejak karbon yang kita hasilkan, semakin tinggi pula dampak
negatif yang berikan terhadap bumi. Jejak karbon menyebabkan kenaikan suhu bumi
yang sangat ekstrim Peningkatan suhu 0,45-0,75°C yang dapat menimbulkan badai
tropis (siklon) serta berbagai bencana alam seperti banjir atau kekeringan. Perubahan
curah hujan ± 2,5 mm/hari

2. Perubahan Produksi Rantai Makanan


Perubahan iklim yang disebabkan oleh jejak karbon juga menimbulkan perubahan
produksi rantai makanan. Beberapa tanaman sulit untuk tumbuh dengan baik. Daerah
yang memproduksi padi (beras) jadi kehilangan kemampuan karena iklim semakin
panas.

3. Penyebaran Penyakit
Jejak Karbon juga berpengaruh terhadap kesehatan tubuh, misalnya penyebaran
penyakit menular seperti malaria. Hal ini disebabkan oleh semakin luasnya
pergeseran wilayah tropis ke wilayah sub-tropis, berbagai penyakit tropis juga akan
menyebar di berbagai daerah.

4. Rusaknya Ekosistem Laut


Jejak karbon juga mengakibatkan rusaknya ekosistem laut. Semakin banyak gas
emisi yang diserapkan oleh laut, akan menyebabkan kadar asam semakin tinggi dan
merusak berbagai ekosistem laut. Berbagai hewan laut akan sulit untuk bertahan
hidup. Selain itu menimbulkan pula kenaikan air muka laut dan kenaikan suhu di 5,8
juta km2 wilayah perairan Indonesia. Hal ini berbahaya bagi kapal nelayan <10GT.

5. Es di Kutub Mencair
Kenaikan suhu bumi yang disebabkan oleh semakin tingginya jejak karbon, juga
mengakibatkan lapisan es di kutub semakin menipis. Hal ini menyebabkan ekosistem
di kutub menjadi terganggu dan naiknya permukaan laut.

6. Berkurangnya Air Bersih


Dampak jejak karbon selanjutnya adalah berkurangnya kadar air bersih di bumi.
Hal ini disebabkan oleh semakin tingginya jejak karbon dan berpotensi membuat
suhu bumi meningkat dan naiknya permukaan air laut. Jika air bersih sudah
berkurang, air seperti apa yang akan kita gunakan? Dampak lain yang biasa kita
rasakan yaitu kekeringan.

Studi Bappenas menunjukkan bahwa kebijakan ketahanan iklim pada 4 sektor


prioritas (air, kesehatan, kelautan perikanan, dan pertanian) berpotensi menurunkan risiko
kehilangan PDB hingga 50.4% pada tahun 2024. Sebagai ilustrasi, tanpa intervensi
kebijakan, potensi kehilangan ekonomi di Indonesia akibat perubahan iklim dapat
mencapai Rp115 Triliun pada tahun 2024.

Tak bisa dipungkiri bahwa manusia menjadi kontributor utama dalam


menghasilkan emisi karbon. Oleh sebab itu, mengubah gaya hidup diharapkan dapat
menjadi solusi dalam mengurangi jejak karbon. Berikut ini cara-cara yang dapat kita
terapkan sebagai upaya dalam mengurangi jejak karbon:

1. Mengurangi konsumsi produk hewani


2. Tidak membuang-buang makanan
3. Bepergian dengan berjalan kaki atau bersepeda jika memungkinkan
4. Menggunakan moda transportasi umum
5. Mengurangi kebiasaan belanja barang yang tidak dibutuhkan
6. Menghindari penggunaan plastik
7. Menggunakan air bersih secukupnya
8. Membeli barang dari perusahaan yang ramah lingkungan
9. Mematikan perangkat elektronik jika tidak digunakan
10. Menggunakan perangkat elektronik yang hemat listrik
11. Menghapus email yang sudah tidak diperlukan
12. Menanam pohon
13. Memisahkan sampah organik dan anorganik
14. Melakukan daur ulang

7. Intisari video mengenai jejak karbon

Sumber: Narasi Newsroom

“Jejak Karbon dalam Secangkir Kopi”

Jejak karbon adalah jumlah karbon atau gas emisi yang dihasilkan dari berbagai
aktivitas manusia termasuk saat sedang minum kopi. Karena sebelum dikonsumsi, kopi
perlu ditanam yang artinya dibutuhkan lahan. Setelah dipanen, kopi perlu diantar yang
tentunya menggunakan kendaraan yang juga mengeluarkan gas emisi.

Konsumsi kopi di Indonesia pada tahun 2020 lebih dari 27.000 kg. Sedangkan 10
tahun lalu (2010) konsumsi kopi baru sebesar 120.000 kg. Menurut Studi Peneliti Poorce
& Namecek (2018) kopi menghasilkan 26,27 kg CO2eq/1kg kopi yang setara dengan
seperempat jejak karbon daging sapi yang menempati peringkat satu penghasil emisi
karbon terbesar di dunia dengan jumlah 99,48 kg CO2eq.

Bisakah jejak karbon kopi dikurangi?

Rantai produksi kopikurang lebih terdiri atas tiga bagian yakni penanaman,
penggilingan, dan ekspor. Pada tiga tahapan tersebut, kita bisa memangkas jejak karbon
yang dihasilkan dengan opsi-opsi yang lebih ramah lingkungan.

1. Penanaman
Permintaan kopi yang terus naik mendorong pembukaan lahan monokultur untuk
kebun kopi. Lahan monokultur dapat menambahkan kualitas panen kopi sehingga
praktik wanatani (menanam kopi dengan tanaman berkaayu) mulai ditinggalkan.
Padahal pembukaan lahan monokultur sangat tidak menguntungkan lingkungan
karena menyimpan karbon lebih sedikit.
Pupuk kimia yang digunakan berlebihan juga menjadi sumber jejak karbon.
Pupuk yang tidak terserap tanaman dapat mencemar permukaan air terdekat dan
meningkatkan emisi nitrogen. Dengan mengganti pupuk kimia menjadi sampah
organic bisa memangkas 0,95 kg CO2eq atau sebanyak 12% dan menabung 17
Poundsterling/Ha karena tidak membeli pupuk kimia.

2. Penggilingan
Dengan mengganti bahan bakar fosil menjadi energi terbarukan untu alat
pertanian dan menghemat air dapat mengurangi jejak karbon pertanian hingga 70%
atau setara dengan 0,11 kg CO2eq.

3. Ekspor
Ekspor kopi berkontribusi dari 70% pada total emisi karbon kopi. Faktor
utamanya adalah mengantar biji kopi mentah dengan pesawa. Namun, jika pesawat
diganti dengan kapal kargo, emisi karbon dapat terpangkas hingga 11,3 kg CO2.
Kapal kargo dapat lebih banyak dalam sekali angkut daripada pesawat walaupun
menambah lama transportasi hingga 48 kali lebih lama tergantung jarak perairan
negara.

Apa hanya itu saja jejak karbon kopi?

Tidak, dengan minum kopi di café juga meninggalkan jejak karbon sebesar 60,27
gr CO2eq/gelas. Mesin kopi otomatis di café memakan enam kali lebih besar dan
menghasilkan 60,27 gr CO2eq/gelas daripada Teknik tradisional filter drif dan franchise
yang hanya menghasilkan 10,04 gr CO2eq/gelas. Selain itu, penggunaan kemasan kertas
plastic dan keramik juga berperan menambahkan jejak karbon.
 Kemasan kertas: 0,52 kg CO2eq
 Plastik: 0,22 kg CO2eq
 Jejak karbon: 0,18 kg CO2eq

Untuk lebih mengurangi jejak karbon lagi kita dapat membuat kopi sendiri di
rumah atau mengganti kemasan frozen plastic menjadi plastic hasil daur ulang. Cara-cara
produksi kopi berkelanjutan ini dapat menurunkan emisi karbon sampai ke angka 3,64 kg
CO2eq, bahkan dengan mengganti susu sapi dengan susu kedelai sudah berperan dalam
mengurangi jejak karbon secangkir kopi.

8. Intisari video mengenai perubahan iklim

Sumber: Narasi Newsroom

“Menanam Banyak Pohon Tak Cukup Atasi Krisis Iklim”

Sebuah studi J.F Bastin, et al. “The global tree restoration potential” (2019)
menyebutkan satu triliun pohon dapat menangkal perubahan iklim. Ia dinilai bisa
menghilangkan seperempat karbondioksida/CO2 di udara yang menjadi penyebab
terjadinya pemanasan global. Namun, studi ini baru-baru ini dikritik dan disanggah oleh
ilmuwan lainnya.

Pohon memang disepakati dapat membantu bumi untuk mengurangi emisi karbon
atau CO2. Caranya dengan menyerap karbon lewat daun, batang, akkar, hingga ke tanah.
Namun, emisi karbon yang beredar sekarang tak bisa diimbangi dengan menanam pohon.
Itu karena pohon memiliki Batasan soal kemampuan mereka menyimpan CO2. Sama
seperti manusia, pohon juga berkembang dan memiliki metabolismenya sendiri. Semakin
lama usianya, jumlah karbon yang diserap akan sama banyaknya dengan yang
dikeluarkan.

Hal lain yang perlu dipertimbangkan adalah lokasi penanaman. Karena pohon
dan hutan yang cenderung gelap. Tanah yang tertutupi pohon akan menyerap matahari
lebih. Akibatnya, mereka punya potensi untuk merangkap panas tambahan dan dengan
demikian menciptakan pemanasan.

Lalu, bisakah pohon menyelamatkan dunia?

Pohon tidak bisa menghentikan perubahan iklim, tapi bisa membantu


memperlambat lajunya. Dalam 200 tahun emisi gas rumah kaca yang disebabkan oleh
manusia termasuk CO2 dan metana, meningkatkan suhu rata-rata bumi sekitar 1 derajat
Celcius.

Perubahan iklim ini telah menyebabkan lapisan es mencair, naiknya permukaan


air laut, serta cuaca ekstrim seperti angin topan dan kekeringan parah. Namun, saat hutan
bisa jadi penyelamat, ia justru dilaporkan mengalami deforestasi atau penebangan. Hutan
di Asia Tenggara sekarang mengeluarkan lebih banyak karbon yang diserap karena
pembukaan lahan untuk perkebunan kebakaran yang tak terkendali. Tak hanya itu, Hutan
Amazon juga diprediksi akan menjadi sumber karbon pada 2020 (Caralyn Gramling,
2020).

Jadi, hal apa yang lebih signifikan dan bisa kita lakukan?

Untuk membantu mengatasi krisis iklim, kita dapat:

1. Melindungi dan menjaga pohon yang sudah ada


Tidak melakukan penebangan pohon dan hutan secara liar, tidak membakar hutan
dan membuka lahan perkebunan besar-besaran.

2. Mengurangi emisi gas rumah kaca


Mengganti bahan bakar fosil dengan sumber energi terbarukan seperti tenaga
surya.

3. Menjalankan praktik hemat energi


Menggunakan listrik seperlunya, membeli produk ata peralatan rumah tangga
yang berlabelkan ramah lingkungan

9. Menghitung jumlah jejak karbon pribadi

Penggunaan sehari-hari yang menghasilkan jejak karbon:

1. Penggunaan kipas angin ➔ Saat tidur ± 8 jam semalam


2. Penggunaan air ➔ Untuk mandi ± 10 menit (2x sehari), untuk berwudhu ± 3 menit,
untuk cuci piring ± 5 menit
3. Penggunaan kendaraan ➔ Untuk berangkat dan pulang sekolah ± 1 jam
4. Penggunaan listrik untuk charger Handphone dan laptop ➔ ± 3-4 jam
5. Penggunaan lampu (di kamar pribadi) ➔ Mulai dari jam 4 sore – jam 10 malam, lalu
dari jam 5 pagi – jam 6 pagi (total 8 jam)
6. Konsumsi makanan dan minuman (nasi, sayuran, buah-buahan, daging ayam, ikan,
susu kemasan, dua botol air mineral/hari, junk food, telur, kacang-kacangan, dan
makanan ringan.

10. Poster Jejak Karbon

Membuat poster jejak karbon yang memuat pengertian, fakor penyebab, dan cara
menguranginya oleh Kelompok 1 yang terdiri dari:

1. Salsabilla Tri Cahyani


2. Wa Ode Rizki Amaliah
3. Steven Dwi Andika
4. Sheilan Naomi
5. Waode Imna Ramnahyanti
6. Nurwahidah

SCAN HERE!

11. Jejak karbon di sekolah dan cara mengantisipasinya

Membuat poster dengan menganalisis jejak karbon yang ada di lingkungan


sekolah beserta cara mengantisipasinya oleh Kelompok 1 yang terdiri dari:

1. Salsabilla Tri Cahyani


2. Sheilan Naomi
3. Steven Dwi Andika
4. Waode Imna Ramnahyanti
5. Wa Ode Rizki Amaliah
12. Mewawancarai kelas-kelas terkait jejak karbon

Mewawancarai kelas X.B dan kelas X.C terkait jejak karbon oleh Kelompok 1
yang diwakili dengan:

1. Salsabilla Tri Cahyani


2. Sheilan Naomi

SCAN HERE!
13. Pengurangan jumlah karbon yang telah dilakukan

Memanfaatkan koran bekas untuk dijadikan tas oleh Kelompok 1 yang terdiri
dari:

1. Salsabilla Tri Cahyani


2. Sheilan Naomi
3. Waode Imna Ramnahyanti
4. Steven Dwi Andika
5. Waode Rizki Amaliah
6. Nurwahidah

SCAN HERE!

Anda mungkin juga menyukai