AS Mencuci Dosanya atas Krisis Iklim dengan Menyuap Negeri-negeri Muslim di Asia Tenggara
Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi mengatakan Amerika Serikat berkomitmen memberikan
bantuan senilai US$102 juta (Rp1,44 triliun) untuk negara ASEAN dalam menangani perubahan iklim.
Pernyataan itu disampaikan Retno usai menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN dan AS
secara virtual pada Rabu (27/10). "Perluasan kerja sama dengan ASEAN, khususnya isu perubahan iklim
dan mengumumkan dukungan senilai USD102 juta (setara Rp1,44 triliun) untuk inisiatif baru," kata Retno
dalam jumpa pers virtual melalui YouTube.
Bantuan penanganan perubahan iklim itu digelontorkan AS menjelang konferensi perubahan iklim
COP26 di Glasgow, Inggris, pada 31 Oktober sampai 12 November mendatang. Amerika Serikat merupakan
salah satu dari 35 negara kaya yang menjanjikan pemberian dana senilai US$100 miliar (Rp1.432 triliun)
kepada negara berkembang.
COP26 Adalah Aksi Cop-Out (Mangkir), Bukan Upaya Tulus untuk Menolong Umat Manusia
Kapitalisme telah membawa planet ini menuju jurang kehancuran, dan menempatkan masa depan
umat manusia ke dalam bahaya, namun para kapitalis sendiri enggan membuat perubahan yang serius untuk
menyelamatkan kita semua. Inilah kenyataan menyedihkan dari ideologi yang mengutamakan keuntungan
dan nafsu materialistik di atas segalanya. Terlepas dari retorika palsu yang dihembuskan dari mesin media-
media kapitalis, perubahan iklim yang merusak hanyalah satu konsekuensi negatif lain yang ditimbulkan
oleh ideologi ini, setelah sebelumnya mendatangkan dua perang dunia ke dalam hidup kita, menggunakan
senjata-senjata pemusnah massal untuk membunuh jutaan manusia, menanamkan rezim-rezim diktator yang
menjijikkan untuk memperbudak dan memiskinkan seluruh bangsa dunia demi keuntungan jahatnya sendiri,
dan menggunakan kolonialisme untuk membinasakan jutaan nyawa lebih dari yang disebabkan oleh
peperangan yang mereka kobarkan. Maka tidak mengherankan bahwa sifat kapitalis yang selalu kompetitif
ini akan terus mengeksploitasi dan menggagalkan setiap upaya untuk menyelamatkan planet ini.
Konferensi COP26 di Glasgow minggu ini akan memperlihatkan banyak janji palsu dan air mata
buaya, tetapi pada akhirnya akan gagal menyelesaikan krisis iklim secara serius, karena penyebab yang
mendasarinya tidak akan pernah ditangani. Ketidakhadiran China dan Rusia serta kemunafikan kapitalis
Barat mengungkapkan fakta bahwa konferensi ini sebenarnya lebih merupakan perjuangan geopolitik
daripada membantu memecahkan masalah manusia.
Masalah mendasarnya bukanlah iklim itu sendiri, atau bahkan industri, melainkan Kapitalisme dan
nafsunya yang tak pernah terpuaskan untuk mengeksploitasi manusia dan lingkungan secara besar-besaran
tanpa memperhatikan konsekuensi jangka panjangnya. Dorongan untuk pertumbuhan yang tak ada akhirnya;
perburuan lebih banyak keuntungan yang terus menerus; kekuatan berbagai kepentingan khusus yang
mencemari politik yang memungkinkan pencemaran lingkungan yang berlebihan; dorongan utang
berlebihan yang didorong oleh konsumerisme yang berlebihan; semuanya mengarah pada lebih banyak
pertumbuhan industri, lebih banyak penggunaan energi, lebih banyak limbah, lebih banyak polusi, dan pada
akhirnya lebih banyak emisi gas CO2.
Negara-negara yang hadir pada intinya memperhatikan kepentingan nasional mereka masing-masing.
AS ingin membatasi pertumbuhan China – dan ini adalah salah satu caranya. Inggris berusaha
memposisikan dirinya sebagai pemimpin global dalam teknologi hijau dan ingin mempromosikan agenda ini
demi mempromosikan berbagai peluang bisnis. Australia dan India dipandang sebagai pencemar bersih,
sehingga akan berusaha memoderasi target dan rentang waktu demi kepentingan mereka sendiri. Oleh
karena itu, COP26 harus dilihat sebagai kumpulan negara-negara yang mencoba untuk mengalihkan
kesalahan kepada pihak lain dan membenarkan aksi mereka yang melakukan sesedikit mungkin, seraya tetap
mempromosikan citra bahwa mereka peduli pada planet ini dan penduduknya. Namun kenyataannya, itu
semua hanyalah pepesan kosong.
Tidak ada usulan serius di media massa yang menentang gagasan bahwa manusia harus bebas
mengejar keinginan dan kesenangan pribadi mereka; atau bahwa masyarakat manusia pada dasarnya adalah
masyarakat 'konsumen'; atau bahwa pertumbuhan ekonomi adalah tujuan ekonomi yang paling penting
bagaimanapun caranya. Tidak ada usulan serius yang tidak dibangun di atas model negara-bangsa yang
bersaing dalam hal pertumbuhan ekonomi.
Selain itu, banyak yang menyadari bahwa berbagai upaya internasional untuk mengurangi emisi gas
CO2 akan merugikan negara-negara berkembang secara tidak proporsional – sementara negara-negara maju
telah menikmati kemajuan dalam pertumbuhan ekonomi dan industri sambil mengeluarkan emisi hingga saat
ini. Dengan demikian, konferensi-konferensi global menjadi ajang kompetisi untuk menentukan kerangka
kerja yang akan menguntungkan masing-masing negara, bukan kemanusiaan secara keseluruhan.
Penutup
Sungguh hanya aturan Islam yang telah memberi aturan komprehensif agar segala bencana tidak
kerap terjadi. Penerapan aturan Islam secara kafah yang didorong spirit ketakwaan dipastikan akan
mendatangkan kehidupan penuh berkah.
Dan hal ini pernah mewujud dalam sebuah peradaban cemerlang kehidupan Islam di bawah naungan
Khilafah belasan abad lamanya. Di masa itu Allah س ْب َحانَهُ َو تَعَالَى
ُ benar-benar memenuhi janji-Nya,
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan
melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu,
maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS Al-A’raaf: 96).
Oleh karenanya, inilah waktu kita kembali ke jalan Allah, sebelum datang isyarat langit yang lebih
dahsyat dari bencana banjir dan sejenisnya. Yakni dengan segera menerapkan syariat Islam kafah dalam
naungan Khilafah yang akan menjauhkan manusia dari bencana di dunia dan di akhirat.
Sumber :
https://web.facebook.com/MuslimahTimurJauh,
https://www.muslimahnews.com/2021/11/09/editorial-banjir-jangan-salahkan-la-nina/