Anda di halaman 1dari 8

Kapitalisme Penyebab Krisis Lingkungan dan Solusinya dalam Islam

COP26 (Conference of the Parties)


Pada tanggal 31 oktober sampai 12 November 2021, para menteri dan diplomat dari seluruh dunia
akan berkumpul di Glasgow, Inggris untuk menghadiri konferensi internasional PBB ke-26 tentang
Perubahan Iklim atau disingkat 'COP26', yang ditujukan untuk mengatasi apa yang sering digambarkan
sebagai 'Darurat Iklim' atas planet ini.
KTT ini mempertemukan hampir 200 pemimpin dunia yang diminta untuk mempresentasikan
rencana mereka untuk mengurangi emisi pada tahun 2030. Pertemuan ini membahas urgensi yang
berkembang tentang keadaan dunia, dari polusi hingga limbah, kekeringan hingga pencemaran perairan
dunia, dan tentang hal yang harus kita lakukan megingat kita menghancurkan planet ini. Tetapi setelah
beberapa dekade pertemuan antara negara-negera pencemar terbesar di dunia, kepentingan geopolitik lebih
mendominasi hasil pertemuan tersebut daripada aksi untuk menyelamatkan planet.
Solusi untuk bencana lingkungan ini dipimpin oleh kelompok kiri dan berfokus pada pengurangan
emisi secara bertahap dengan beralih dari bahan bakar fosil ke sumber-sumber energi hijau. KTT G20
sebelum pertemuan COP26 menjadi tempat bagi sejumlah negara mengusulkan rencana mereka untuk
mengurangi penggunaan energi fosil dan beralih ke sumber energi terbarukan yang ramah lingkungan.
Terdapat banyak tantangan yang harus dihadapi untuk dapat mencapai rencana ini, di samping sebagian
besar negara yang tidak berpegang teguh pada komitmen pengurangan emisi mereka. Seluruh industri telah
dibangun menggunakan energi fosil, mulai dari industri mobil, petrokimia, pertanian, plastik, semen, baja,
elektronik, dan banyak lainnya. Keajaiban ekonomi China dibangun di atas penggunaan cadangan batu bara
yang sangat besar, bahkan hingga saat ini batu bara masih menjadi sumber bagi 60% kebutuhan listriknya.

Negara-negara Pencemar Lingkungan Terbesar di Dunia


Sejumlah negara menjadi biang kerok pemanasan global yang semakin lama semakin merusak bumi.
Salah satu penyebabnya adalah produksi emisi karbon sejumlah negara yang semakin mengkhawatirkan.
Penyumbang emisi terbesar di dunia berasal dari China dan Amerika Serikat. Menurut World Health
Organisation (WHO), telah dilakukan pengukuran polusi udara di seluruh dunia, dan hasilnya ditemukan
partikel halus yang bisa menyebabkan stroke, penyakit jantung, dan kanker paru-paru.
Menurut data tahun 2018 dari Global Carbon Project, China adalah penghasil emisi karbon dioksida
terbesar di dunia. China memancarkan sekitar 10.357 juta metrik ton per tahunnya. Menurut Departemen
Kesehatan China, polusi udara menyebabkan kanker sebagai penyebab utama kematian di China. Dan hanya
1 persen dari 560 juta penduduk kota yang bisa menghirup udara bersih dan dianggap aman, karena semua
kota-kota besarnya terus tertutup abu-abu beracun.
Lalu pada 2019, tahun terakhir sebelum pandemi melanda, emisi gas rumah kaca China hampir 2,5
kali lipat dari AS. Angka itu lebih dari gabungan semua negara maju di dunia, menurut analisis dari
Rhodium Group sebagaimana dikutip oleh CNN.com
Amerika Serikat menjadi negara kedua, dengan sekitar 5.414 juta metrik ton emisi karbon dioksida
per tahun. Menurut laporan "Keadaan Udara" American Lung Association 2018, lebih dari 133,9 juta orang
AS tinggal di daerah dengan tingkat pencemaran udara yang tidak sehat. Polusi menyebabkan berbagai
penyakit, termasuk asma, kanker paru-paru, dan rentang hidup yang singkat.
Meski China adalah penghasil emisi terbesar di dunia saat ini, tetapi AS memimpin setiap negara
hingga saat ini. Secara kumulatif, AS telah mengeluarkan CO2 hampir dua kali lipat dari China sejak 1850.
Artinya tidak ada negara di dunia yang memasukkan lebih banyak gas rumah kaca ke atmosfer selain
Amerika Serikat.

Indonesia Masuk Sepuluh Besar Negara Pencemar Lingkungan Terbesar di Dunia


Indonesia di urutan ke-10 negara yang menyumbang emisi gas rumah kaca terbesar di dunia.
Menurut data World Resources Institute (WRI) RI menyumbang 2,03 persen emisi gas yang mengotori
udara dunia. Sektor terbesar penghasil emisi gas rumah kaca di negara ini adalah listrik, kemudian disusul
agrikultur dan transportasi.
Menurut Kementerian Perindustrian, industri otomotif hanya salah satu bagian dari banyaknya sektor
yang menyumbang emisi karbon. Menurutnya, banyak sektor lain menyumbang lebih besar, diantaranya:
"(Industri Otomotif) Menyumbang 21 % saja, sementara 47 % justru energi (penyumbang emisi karbon),"
ungkap Direktur Industri Maritim, Alat Transportasi dan Alat Pertahanan, Kementerian Perindustrian, Sony
Sulaksono dalam webinar Quo Vadis Industri Otomotif Indonesia di Era Elektrifikasi, Jumat (15/10).
Dia bahkan menyebut bahwa sektor energi lebih 'rakus' dalam menyumbang emisi karbon. Selain
sektor energi, Sony melihat penyumbang emisi karbon lainnya adalah sampah rumah tangga.
Indonesia menaruh target penurunan emisi karbon atau gas rumah kaca yang berbahaya bagi lingkungan
sebesar 29 persen pada 2030 mendatang. Salah satu sektor yang digenjot pemerintah adalah industri
otomotif dan transportasi.
Selain itu, Diakui atau tidak, arus deforestasi dan alih fungsi lahan akibat pembangunan yang jor-
joran di Indonesia terutama kawasan penyangga air terbilang sangat tinggi. Forest Watch Indonesia (FWI)
menyebutkan deforestasi di Indonesia mengalami peningkatan dari sebelumnya 1,1 juta hektare (ha) per
tahun pada periode 2009—2013 menjadi 1,47 juta ha per tahun periode 2013—2017.
Sementara itu, Greenpeace Indonesia menyebut angka yang jauh lebih besar. Selama periode 2003—
2011 hutan yang hilang mencapai 2,45 juta ha. Selanjutnya angka ini naik menjadi 4,8 juta ha selama
2011—2019, termasuk dalam periode pertama kepemimpinan Jokowi dari 2014—2019.
Ironisnya, Presiden Jokowi dalam pidatonya di hadapan peserta COPS 26 di Glasgow Skotlandia
(1/11) justru menyebut laju deforestasi menurun pada 2017 hingga sekarang. Jika pun pernyataan itu benar,
tentu tetap tidak bisa menutup fakta bahwa deforestasi dan alih fungsi lahan tetap saja angkanya terbilang
tinggi. Terlebih penurunan tren itu bukan karena upaya Pemerintah, melainkan karena faktanya sumber daya
hutan di Jawa dan Sumatra nyaris habis. Sementara di wilayah Kalimantan, Sulawesi, dan Papua, trennya
tetap saja naik.
Di luar itu, alih fungsi terjadi juga di lahan-lahan lain. Betapa banyak lahan persawahan dan kawasan
pantai yang berubah fungsi dan menjadi penyebab banjir, bahkan di tempat-tempat yang sebelumnya tidak
pernah banjir.
Pada 2019 lalu saja, tercatat lahan pertanian yang berubah menjadi industri dan jalan mencapai 150
ribu ha. Padahal 10 tahun sebelumnya alih fungsi hanya sekitar 30 ribu ha. Ini menunjukkan peningkatan
kasus alih fungsi lahan kian masif terjadi.
Begitu pula perubahan yang terjadi di lingkungan pantai. Reklamasi besar-besaran seperti yang
terjadi di Jakarta ataupun penambangan pasir yang sering terjadi di beberapa tempat, terbukti telah
menyebabkan banjir rob menjadi sering terjadi.

AS Mencuci Dosanya atas Krisis Iklim dengan Menyuap Negeri-negeri Muslim di Asia Tenggara
Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi mengatakan Amerika Serikat berkomitmen memberikan
bantuan senilai US$102 juta (Rp1,44 triliun) untuk negara ASEAN dalam menangani perubahan iklim.
Pernyataan itu disampaikan Retno usai menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN dan AS
secara virtual pada Rabu (27/10). "Perluasan kerja sama dengan ASEAN, khususnya isu perubahan iklim
dan mengumumkan dukungan senilai USD102 juta (setara Rp1,44 triliun) untuk inisiatif baru," kata Retno
dalam jumpa pers virtual melalui YouTube.
Bantuan penanganan perubahan iklim itu digelontorkan AS menjelang konferensi perubahan iklim
COP26 di Glasgow, Inggris, pada 31 Oktober sampai 12 November mendatang. Amerika Serikat merupakan
salah satu dari 35 negara kaya yang menjanjikan pemberian dana senilai US$100 miliar (Rp1.432 triliun)
kepada negara berkembang.

Dampak Perubahan Iklim di Asia Tenggara


Lembaga riset dan konsultan bisnis ekonomi McKinsey menyebutkan kawasan Asia Tenggara
berpotensi mengalami dampak perubahan iklim paling parah di dunia dalam 30 tahun ke depan. Dampaknya
akan menimbulkan kemerosotan kehidupan dan menurunkan pertumbuhan ekonomi suatu negara. Beberapa
ancaman akibat perubahan iklim di kawasan Asia Tenggara, seperti banjir, kekeringan, angin topan, hingga
meningkatnya panas maupun kelembapan.
Negara yang pendapatan per kapitanya rendah cenderung mengandalkan iklim dibanding negara
kaya. Sebagian besar negara dengan pendapatan per kapita lebih rendah masih mengandalkan pekerjaan di
luar lapangan serta berbasis sumber daya alam.
Negara-negara di kawasan ini akan mengalami peningkatan panas dan kelembapan. Misalnya pada
2050, kemungkinan curah hujan ekstrim dapat meningkat tiga atau empat kali lipat di Indonesia.
Perubahan iklim akan mengurangi 8% hingga 13% Produk Domestik Bruto di kawasan tersebut.
Bahkan, pada 2050 diperkirakan PDB di Asia akan berkurang mulai dari US$ 2,8 triliun hingga US$ 4,7
triliun. Negara dengan pendapatan per kapita rendah bakal lebih rentan mengalami kemerosotan ekonomi.
Sebuah survei baru tentang sikap dan persepsi orang di Asia Tenggara tentang perubahan iklim
mengungkapkan kekhawatiran para respondennya. Mereka juga pesimistis terkait langkah pemerintah di
negara masing-masing untuk mengatasi perubahan iklim tersebut. Hasil survei memperlihatkan responden
dari Indonesia menyebut banjir merupakan ancaman paling serius dari perubahan iklim. Survei ini dilakukan
secara online oleh ISEAS-Yusof Ishak Institute (ISEAS) dengan menanyakan ke-610 orang dari 10 negara
anggota Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) di berbagai sektor.
70% dari mereka yang disurvei mengatakan, mereka percaya perubahan iklim adalah ancaman serius
dan langsung bagi kesejahteraan negara mereka. Tetapi hanya 15,7 persen percaya bahwa pemerintah
mereka menganggap perubahan iklim sebagai prioritas nasional yang mendesak dan telah mengalokasikan
sumber daya yang cukup untuk mengatasi ancaman ini.
Di Vietnam, Filipina, Myanmar, Malaysia, Laos, Indonesia dan Brunei, responden mengatakan
banjir adalah dampak perubahan iklim paling serius bagi negara mereka. Warga Singapura paling khawatir
tentang kenaikan permukaan laut, yang secara regional dialami lebih cepat daripada rata-rata global dan
akan terus berlanjut di Asia selama beberapa dekade mendatang.
Penelitian menunjukkan ada manfaat untuk kekhawatiran seperti itu, dengan kota-kota di kawasan
itu termasuk yang paling rentan di dunia dan proyeksi bahwa peristiwa banjir sekali dalam 100 tahun dapat
terjadi setiap tahun pada tahun 2100.

Kapitalisme Biang Kerok Krisis Lingkungan: Produksi Industri Berlebihan


Negara didorong untuk fokus pada peningkatan produksi untuk mencapai tingkat pendapatan
nasional setinggi mungkin demi menggenjot pertumbuhan ekonomi tanpa memperhatikan lingkungan.
Industri-industri besar dan perusahaan-perusahaan manufaktur mengeksploitasi sumber daya alam dengan
bengis, membangun pabrik-pabrik yang sangat mencemari dan mengejar keuntungan secara serakah tanpa
batas, tanpa mempedulikan apapun selain keuntungan materi.
Industri-industri ini, seperti perusahaan bahan bakar fosil, atau perusahaan pertanian multinasional
yang besar, atau bisnis penerbangan, kayu, dan makanan cepat saji memberikan pengaruh yang cukup besar
pada perundang-undangan negara, dan mengarahkannya ke kepentingan finansial mereka sendiri. Semua ini
dilakukan tanpa memperhatikan konsekuensi berbahaya yang berdampak pada manusia, hewan, atau
lingkungan.
Dalam negara-negara demokrasi kapitalis, hubungan simbiosis yang erat di antara industri-industri
ini, partai-partai politik, dan undang-undang yang disahkan untuk mendapatkan keuntungan politik telah
terjalin dengan baik.

COP26 Adalah Aksi Cop-Out (Mangkir), Bukan Upaya Tulus untuk Menolong Umat Manusia
Kapitalisme telah membawa planet ini menuju jurang kehancuran, dan menempatkan masa depan
umat manusia ke dalam bahaya, namun para kapitalis sendiri enggan membuat perubahan yang serius untuk
menyelamatkan kita semua. Inilah kenyataan menyedihkan dari ideologi yang mengutamakan keuntungan
dan nafsu materialistik di atas segalanya. Terlepas dari retorika palsu yang dihembuskan dari mesin media-
media kapitalis, perubahan iklim yang merusak hanyalah satu konsekuensi negatif lain yang ditimbulkan
oleh ideologi ini, setelah sebelumnya mendatangkan dua perang dunia ke dalam hidup kita, menggunakan
senjata-senjata pemusnah massal untuk membunuh jutaan manusia, menanamkan rezim-rezim diktator yang
menjijikkan untuk memperbudak dan memiskinkan seluruh bangsa dunia demi keuntungan jahatnya sendiri,
dan menggunakan kolonialisme untuk membinasakan jutaan nyawa lebih dari yang disebabkan oleh
peperangan yang mereka kobarkan. Maka tidak mengherankan bahwa sifat kapitalis yang selalu kompetitif
ini akan terus mengeksploitasi dan menggagalkan setiap upaya untuk menyelamatkan planet ini.
Konferensi COP26 di Glasgow minggu ini akan memperlihatkan banyak janji palsu dan air mata
buaya, tetapi pada akhirnya akan gagal menyelesaikan krisis iklim secara serius, karena penyebab yang
mendasarinya tidak akan pernah ditangani. Ketidakhadiran China dan Rusia serta kemunafikan kapitalis
Barat mengungkapkan fakta bahwa konferensi ini sebenarnya lebih merupakan perjuangan geopolitik
daripada membantu memecahkan masalah manusia.
Masalah mendasarnya bukanlah iklim itu sendiri, atau bahkan industri, melainkan Kapitalisme dan
nafsunya yang tak pernah terpuaskan untuk mengeksploitasi manusia dan lingkungan secara besar-besaran
tanpa memperhatikan konsekuensi jangka panjangnya. Dorongan untuk pertumbuhan yang tak ada akhirnya;
perburuan lebih banyak keuntungan yang terus menerus; kekuatan berbagai kepentingan khusus yang
mencemari politik yang memungkinkan pencemaran lingkungan yang berlebihan; dorongan utang
berlebihan yang didorong oleh konsumerisme yang berlebihan; semuanya mengarah pada lebih banyak
pertumbuhan industri, lebih banyak penggunaan energi, lebih banyak limbah, lebih banyak polusi, dan pada
akhirnya lebih banyak emisi gas CO2.
Negara-negara yang hadir pada intinya memperhatikan kepentingan nasional mereka masing-masing.
AS ingin membatasi pertumbuhan China – dan ini adalah salah satu caranya. Inggris berusaha
memposisikan dirinya sebagai pemimpin global dalam teknologi hijau dan ingin mempromosikan agenda ini
demi mempromosikan berbagai peluang bisnis. Australia dan India dipandang sebagai pencemar bersih,
sehingga akan berusaha memoderasi target dan rentang waktu demi kepentingan mereka sendiri. Oleh
karena itu, COP26 harus dilihat sebagai kumpulan negara-negara yang mencoba untuk mengalihkan
kesalahan kepada pihak lain dan membenarkan aksi mereka yang melakukan sesedikit mungkin, seraya tetap
mempromosikan citra bahwa mereka peduli pada planet ini dan penduduknya. Namun kenyataannya, itu
semua hanyalah pepesan kosong.
Tidak ada usulan serius di media massa yang menentang gagasan bahwa manusia harus bebas
mengejar keinginan dan kesenangan pribadi mereka; atau bahwa masyarakat manusia pada dasarnya adalah
masyarakat 'konsumen'; atau bahwa pertumbuhan ekonomi adalah tujuan ekonomi yang paling penting
bagaimanapun caranya. Tidak ada usulan serius yang tidak dibangun di atas model negara-bangsa yang
bersaing dalam hal pertumbuhan ekonomi.
Selain itu, banyak yang menyadari bahwa berbagai upaya internasional untuk mengurangi emisi gas
CO2 akan merugikan negara-negara berkembang secara tidak proporsional – sementara negara-negara maju
telah menikmati kemajuan dalam pertumbuhan ekonomi dan industri sambil mengeluarkan emisi hingga saat
ini. Dengan demikian, konferensi-konferensi global menjadi ajang kompetisi untuk menentukan kerangka
kerja yang akan menguntungkan masing-masing negara, bukan kemanusiaan secara keseluruhan.

Pendekatan Islam untuk Melindungi dan Melestarikan Lingkungan


Islam didasarkan pada kepercayaan bahwa manusia, kehidupan, dan alam semesta diciptakan oleh
Pencipta, Allah SWT., Dzat yang Maha Mengetahui bagaimana mengatur urusan manusia, termasuk
melindungi dan melestarikan lingkungan agar bermanfaat bagi umat manusia dan tidak berbahaya.
Peran manusia adalah untuk memenuhi perintah-perintah-Nya dan hidup dengan sistem peraturan
dan hukum-Nya yang komprehensif, yang akan menyadarkan kita bahwa inilah yang terbaik untuk
kemanusiaan dan planet ini, bukan mengikuti perintah hawa nafsu manusia, kepentingan yang berubah-ubah
atau pikiran yang cacat. Lebih jauh lagi, Islam menyatakan bahwa Sang Pencipta menempatkan dunia dan
segala isinya sebagai amanah di tangan umat manusia, yang wajib untuk dijaga, dilindungi, dan dirawat,
bukan dieksploitasi, dilukai, dan dihancurkan. Allah SWT berfirman:
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan
seorang khalifah di muka bumi". Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi
itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa
bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku
mengetahui apa yang tidak kamu ketahui". [Al-Baqarah: 30]

Tujuan Hidup Islam Mencegah Terbentuknya Masyarakat yang Konsumeristik


Islam juga mendefinisikan tujuan hidup untuk menyembah Allah SWT, bukan mencari kesenangan
sensual, memperoleh kekayaan, harta, atau kekuasaan. Pandangannya tentang kesuksesan dan kebahagiaan
adalah mencapai ridha Allah SWT. dan mendapatkan balasan di akhirat, bukan keuntungan materi dunia ini.
Islam, tentu saja, memungkinkan individu untuk mendapatkan kekayaan dan kemewahan, tetapi tidak
mendefinisikan nilai atau status seseorang berdasarkan ini, melainkan berdasarkan karakter dan tindakannya
yang benar.
Semua ini membantu mencegah berkembangnya pola pikir materialistis pada individu dan
masyarakat, mencegah terciptanya masyarakat konsumeristik, yang sebagaimana dibahas, mengarah pada
konsumsi dan produksi yang tinggi di banyak negara yang akhirnya membahayakan lingkungan. Hal ini juga
membantu mencegah terbangunnya mentalitas yang memandang mengejar profit, pendapatan pemerintah
atau kepentingan materi lainnya sebagai prioritas yang lebih besar daripada menjaga lingkungan dan
kehidupan masyarakat. Selain itu, kriteria perbuatan dalam Islam tidak berorientasi pada keuntungan;
melainkan, didasarkan pada perintah dan larangan Allah SWT. yang harus dipatuhi, baik oleh individu
Muslim maupun negara Khilafah, tanpa mempedulikan kerugian materi. Inilah faktor lain yang mencegah
tindakan-tindakan yang dapat merusak lingkungan.
Syariah Islam Mewujudkan Keseimbangan Alam, Manusia dan Kehidupan
Berbeda dengan kapitalisme dan sosialisme, ajaran Islam memperhatikan nilai-nilai spiritual,
kemanusiaan, moral dan materi ketika mengatur masyarakat. Ini memastikan bahwa semua nilai-nilai ini
diatur dalam cara yang sesuai agar keempat nilai tersebut terwujud untuk mencapai harmoni dalam
masyarakat.
Keseimbangan empat nilai (nilai spiritual, kemanusiaan, moral, dan materi) tersebut tidak akan
pernah tercapai jika legislasi atau pembuatan hukum diserahkan kepada manusia. Berdasarkan kenyataan
bahwa manusia tidak mampu untuk bebas dari pengaruh kepentingan dan kecenderungan sendiri dalam
membuat legislasi. Hal ini disebabkan oleh fakta bahwa pemahaman manusia tentang pengorganisasian
tunduk pada perbedaan, ketidaksesuaian, kontradiksi, dan pengaruh dari lingkungan tempat ia tinggal, yang
akan menghasilkan sistem yang tidak konsisten dan kontradiktif dan mengarah pada kesengsaraan manusia.
Keadaan dunia saat ini, yang dirusak oleh korupsi, ketidakadilan, dan kerusakan pada manusia dan
alam, adalah bukti nyata dari ketidakmampuan manusia untuk merancang sistem yang dijadikan sebagai
sandaran baik dan buruk nya sesuatu. Allah SWT. Berfirman: “Kemudian Kami jadikan kamu berada di
atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama itu), maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti
hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.” [Al-Jatsiyah: 18]

Sistem Ekonomi Islam Mendukung Pelestarian Lingkungan


Islam memandang masalah ekonomi terletak pada distribusi kekayaan dan bukan kelangkaannya.
Oleh karena itu, perhatian Islam tidak ditujukan pada peningkatan produksi, melainkan didedikasikan untuk
memberantas kemiskinan, dan memastikan keseimbangan dalam menjaga kepentingan dan kebutuhan
masyarakat dan individu.
Islam tidak membiarkan karunia Allah SWT dikejar dengan cara yang menghancurkan planet ini.
Oleh karena itu, Islam memandang masalah ekonomi sebagai salah satu cara memastikan distribusi
kekayaan yang benar, bukan kelangkaan barang dan jasa. Allah SWT berfirman: “Apa saja harta rampasan
(fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota
maka adalah untuk Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-
orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara
kamu.” [Al-Hashr: 7]
Karena itu, perhatian Islam tidak didedikasikan untuk peningkatan produksi, melainkan untuk
pemberantasan kemiskinan dan memastikan keseimbangan dalam menjaga kepentingan dan kebutuhan
masyarakat dan individu. Pasal 124 Rancangan Undang-Undang Dasar Khilafah Hizbut Tahrir menyatakan:
"Masalah ekonomi terletak pada distribusi harta dan manfaat/jasa kepada seluruh warga negara."
Politik Perindustrian Islam yang Komprehensif
Islam mengatur seluruh aspek kehidupan. Namun bicara tentang perindustrian dalam Islam, orang
sering hanya terfokus pada cabang industri yang mendukung aspek ruhiyah Islam, seperti industri penerbitan
Islam, industri busana dan asesori muslim, atau industri yang mendukung ibadah haji.
Padahal seharusnya seluruh cabang perindustrian diwajibkan untuk tunduk kepada syariat Islam.
Seluruh cabang industri, baik yang menghasilkan produk untuk konsumen akhir maupun yang menghasilkan
alat-alat berat atau bahan baku industri yang lain, seharusnya dibangun dan diatur dalam satu kerangka
berpikir dan paradigma yang dilandasi oleh aqidah Islam.
Perindustrian diarahkan untuk mampu mengatasi seluruh kebutuhan dari rakyat negara Islam, baik
muslim maupun non Muslim. Ini artinya sejalan dengan filosofi politik dalam Islam yaitu mengatur,
memelihara urusan umat, baik yang ada di dalam atau luar negeri dengan aturan-aturan Islam (riayah asy-
syuun al-ummah dakhiliyyan wa kharijiyan bi al-ahkam al-Islamiyyah) [Syeikh Taqiyuddin an-Nabhani,
Muqaddimah ad-Dustur]. Tidak ada artinya industri terus berproduksi tapi berorientasi ekspor, jika pada saat
yang sama untuk berbagai kebutuhan yang mendasar harus mengimpor, bila itu sudah bisa dipenuhi
kemampuan industri dalam negeri.

Penutup
Sungguh hanya aturan Islam yang telah memberi aturan komprehensif agar segala bencana tidak
kerap terjadi. Penerapan aturan Islam secara kafah yang didorong spirit ketakwaan dipastikan akan
mendatangkan kehidupan penuh berkah.
Dan hal ini pernah mewujud dalam sebuah peradaban cemerlang kehidupan Islam di bawah naungan
Khilafah belasan abad lamanya. Di masa itu Allah ‫س ْب َحانَهُ َو تَعَالَى‬
ُ benar-benar memenuhi janji-Nya,
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan
melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu,
maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS Al-A’raaf: 96).
Oleh karenanya, inilah waktu kita kembali ke jalan Allah, sebelum datang isyarat langit yang lebih
dahsyat dari bencana banjir dan sejenisnya. Yakni dengan segera menerapkan syariat Islam kafah dalam
naungan Khilafah yang akan menjauhkan manusia dari bencana di dunia dan di akhirat.

Sumber :
https://web.facebook.com/MuslimahTimurJauh,
https://www.muslimahnews.com/2021/11/09/editorial-banjir-jangan-salahkan-la-nina/

Anda mungkin juga menyukai