Dosen pengampu :
Disusun Oleh :
Saya Diana Anggraini akan menyampaikan pendapat saya tentang Kondisi Bumi
Terkini Pada Saat Terjadi Pandemi Global Covid-19. Di seluruh dunia di kejutkan
oleh adanya virus corona yang sangat mematikan, hingga menyebar ke berbagai
negara berawal dari kota wuhan virus ini muncul hingga menyebabkan banyak
orang terserang virus ini mulai dari anak-anak bahkan sampai lunsia karena
dengan cepat nya virus ini menular. Virus ini diperkirakan berasal dari hewan
seperti kelelawar dan unta dan bisa menular dari hewan ke manusia serta dari
manusia ke manusia, infeksi virus ini disebut dengan Covid-19 karena di temukan
pada desember tahun 2019, hingga saat ini belum ada pengobatan yang
menyembuhkan virus corona. Oleh karena itu organisasi kesehatan dunia
mengimbau agar masyarakat tidak memandang sepele penyakit ini dan senantiasa
melakukan tindakan pencegahan.
Dua bulan terakhir telah terlihat peningkatan besar dalam kualitas udara, terutama
di daerah-daerah yang terkena dampak parah seperti Wuhan dan Italia Utara serta
sejumlah daerah metropolitan di seluruh Amerika serikat. Sementara itu wabah
virus corona mungkin akan menjadi kemunduran bagi prioritas perubahan iklim
global dan investasi secara keseluruhan, pengurangan sementara ini dalam emisi
karbon patut dicatat. Menurut perkiraan konservatif, udara yang lebih bersih telah
menyelamatkan sekitar 50.000 jiwa di China saja selama beberapa bulan.
Sementara itu tingkat populasi udara dan gas yang memanas di beberapa kota dan
wilayah menunjukan penurunan yang signifikan karena dampak virus corona.
Emisi CO2 turun drastis dengan penurunan aktivitas ekonomi global sebagai
akibat pandemi virus corona, tidak mengherankan bahwa emisi berbagai gas yang
terkait dengan energi dan transportasi akan berkurang. Para ilmuwan mengatakan
bahwa pada bulan mei ketika emisi CO2 mencapai puncaknya berkat dekomposisi
daun, level yang tercatat mungkin terendah sejak krisis keuangan lebih dari satu
dekade lalu. Data yang dikumpulkan di New york minggu ini menunjukan bahwa
intruksi untuk mengekang perjalanan yang tidak perlu memiliki dampak
signifikan. Tingkat lalu lintas di kota itu diperkirakan turun 35% dibanding
dengan tahun lalu. Emisi karbon monoksida, terutama karena mobil dan truk,
telah turun sekitar 50% selama beberapa minggu ini menurut para peneliti di
Universitas Columbia.
Dalam penurunan emisi CO2 itu bergantung pada berapa lama pandemi
berlangsung, dan seberapa luas perlambatan ekonomi khususnya di Amerika
serikat. Jika itu berlangsung tiga atau empat bulan lagi, tentu kita bisa melihat
pengurangannya. Yang membuat perbedaan besar pada skala emisi karbon dan
polusi udara adalah bagaimana pemerintah memutuskan untuk merangsang
kembali ekonomi mereka begitu pandemi mereda.
Mereka harus memfokuskan hal-hal yang siap berjalan yang akan menurunkan
emisi seperti merenovasi bangunan, memasang pompa panas dan pengisi daya
listrik. Namun, beberapa pendapat bahwa jika pandemi berlangsung lama, setiap
stimulus akan lebih cenderung berfokus pada mempromosikan pertumbuhan
ekonomi apapun yang terlepas dari dampaknya terhadap lingkunan. Menurut prof.
Glen peters dari pusat penelitian iklim internasional tentu saja berfikir bahwa
iklim dapat menjadi pemicu utama dan dalam hal ini saya tidak berfikir ada
banyak harapan bahwa stimulus masuk ke energi bersih. Setiap stimulus akan
membantu mereka yang kehilangan pekerjaan seperti pariwisata dan jasa. Saya
pikir ini sangat berbeda dengan krisis keuangan global. Satu-satunya lapisan perak
adalah mempelajari praktik-praktik baru untuk bekerja dari jarak jauh.
Virus corona ini berdampak pada perubahan iklim secara keseluruhan tanpa
disadari dampak perubahan iklim bakal berpengaruh bagi kehidupan seluruh umat
manusia di bumi. Beragam kejadian bencana alam yang sudah merusak dan
menyebabkan kematian, belum membuat manusia tersadar, padahal dampak
perubahan iklim merupakan ancaman bagi kemanusiaan yang sama-sama
memiliki bunuh dengan virus corona. Para pemimpin dunia maupun elit politik
global hingga elit politik lokal masih terjebak pada populisme yang menunjukan
wajah asli untuk menyelematkan kepentingannya. Di sisi lain, kaum tidak punya
hanya bergantung pada sumber daya alam dan tidak paham perubahan iklim,
tetapi mereka menjadi pihak yang paling merasakan dan paling menderita akibat
perubahan iklim, akibat variabilitas iklim yang menunjukan anomali.
Virus corona muncul disaat perubahan iklim terjadi semakin ekstrem, solusi untuk
mengurangi laju perubahan iklim belum optimal dan kemudian di tambah dengan
permasalahan lainnya yang membutuhkan daya dukung ekologis dan sosial. Lalu
bentuk reaksi sosial seperti apa yang sekarang dapat kita lihat dari kasus corona?
Saat wabah terjadi, perilaku memborong barang untuk memenuhi kebutuhan diri
atau perilaku pedagang untuk menjual barang dengan harga berkali-kali lipat
kemudian terjadi. Hal tersebut menunjukan empati yang minim, maka
pertanyaanya adalah apabila kepedulian kepada sesama manusia saja minim,
bagaimana dengan kepedulian terhadap linkungan hidup? Salah satu titik yang
dapat dilakukan oleh komunitas lokal dan global menghadapi wabah corona dan
bersamaan tengah menghadapi perubahan iklim adalah mempererat kaloborasi
dan solidaritas sosial. Jika pembuat kebijakan sudah tidak dapat lagi bekerja,
maka perlu berkaloborasi. Selain itu, bagi pembuat kebijakan perlu kembali
mengkaji produk kebijakan yang tidak lagi melakukan ekploitas lingkungan hidup
dan menyebabkan kerentanan sosial bagi masyarakat kecil. Solidaritas sosial pun
perlu dibangun dengan kesadaran kemanusiaan tanpa memandang perbedaan
pilihan politik, agama, kepercayaan, hingga etnis dan negara turut hadir bersama
masyarakat dalam membangun penanganan krisis secara terukur.