Anda di halaman 1dari 4

Nama: Boy Jufier Nov Simatupang

NIM: CCA 118 030

Kelas: B

UTS PEMANENAN HUTAN

HUBUNGAN COVID-19 DENGAN PERUBAHAN IKLIM DUNIA

Menurut organisasi kesehatan dunia (WHO) penyakit Covid 19


disebabkan oleh Coronavirus dan merupakan suatu kelompok virus yang dapat
menyebabkan penyakit pada hewan atau manusia. Beberapa jenis coronavirus
diketahui menyebabkan infeksi saluran nafas pada manusia mulai dari batuk pilek
hingga yang lebih serius seperti Middle East Respiratory Syndrome (MERS) dan
Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS). Coronavirus jenis baru yang
ditemukan menyebabkan penyakit COVID-19 yang kita ketahui telah menjadi
pandemic global.
Seperti yang sudah kita lihat sekarang COVID-19 telah menyebabkan
permasalahan global, tidak hanya di sektor kesehatan namun telah berpengaruh
pada semua sektor yang menyebabkan kurangnya keefektivan sektor-sektor itu
pada masa penyebaran COVID-19 ini. Namun kita semua juga menyadari ketika
virus ini penyebarannya mulai marak dimana-mana banyak instansi, perusahaan
atau lembaga-lembaga yang mulai mengurangi atau bahkan memberhentikan
semua aktivitasnya dimasa penyebaran virus ini, contohnya yang sederhana dapat
kita lihat pada pabrik yang memberhentikan banyak aktivitasnya dan
menyebabkan berkurangnya polusi udara yang biasanya setiap hari selalu
dikeluarkan oleh pabrik itu sendiri. Hal sederhana seperti ini juga berpengaruh
pada iklim, karena banyak pabrik di berbagai negara yang mulai memberhentikan
seluruh agendanya. Contoh lain adalah pada masyarakat yang terpaksa tidak
banyak melakukan aktivitas diluar rumah akibat penyebaran virus ini, yang
biasanya melakukan berbagai kegiatan luar rumah misalnya dengan menggunakan
kendaraan atau transportasi yang lain. Hal ini sederhana sama artinya dengan
pabrik tadi.
Iklim dunia seperti yang kita ketahui sudah berubah dari masa ke masa,
namun saat banyak negara yang melakukan lockdown pada masyarakat
menyebabkan banyak industri, perusahaan dunia dan jejaring transportasi yang
diberhentikan dan menyebabkan emisi karbon diudara berkurang secara drastis.
Dibandingkan dengan kurun waktu yang sama pada tahun ini di New York,
tingkat polusi udara berkurang nyaris sebanyak 50%.
Di China kita lihat tingkat emisi berkurang 25% di awal tahun, ketika
orang-orang diperintahkan untuk tinggal di rumah. Pabrik-pabrik tutup dan
penggunaan batu bara di enam pembangkit listrik terbesar China merosot hingga
40%. Proporsi hari-hari dengan "kualitas udara baik" naik 11,4% dibandingkan
waktu yang sama pada tahun lalu di 337 kota di seluruh China, menurut
Kementerian Ekologi dan Lingkungan. Di eropa, pencitraan satelit menunjukkan
emisi nitrogen dioksida (NO2) memudar di atas Italia utara. Fenomena sama
terjadi di Spanyol dan Inggris. Ternyata, hanya ancaman mendadak dan
eksistensial seperti Covid-19 yang bisa membuat perubahan yang begitu besar dan
begitu cepat pada iklim di dunia ini. Pandemi ini juga mengakibatkan jutaan orang
kehilangan pekerjaan dan terancam keberlangsungan hidupnya. Kegiatan ekonomi
terhenti dan pasar saham anjlok, ketika tingkat emisi karbon juga turun. Ini adalah
kebalikan dari kampanye ekonomi berkelanjutan tanpa karbon yang banyak orang
inginkan selama puluhan tahun. Pandemi global yang merenggut nyawa manusia
memang tak seharusnya dilihat sebagai cara untuk memperbaiki lingkungan.
Namun hal itu telah kita lihat terjadi sekarang dan kita bisa mengambil hal-hal
yang positif untuk kedepannya. Satu yang pasti, tidak jelas sampai kapan
penurunan emisi ini akan berlangsung. Saat nanti keparahan pandemi berkurang,
akankan emisi karbon dan polutan "melambung kembali"? Atau perubahan yang
kita rasakan sekarang dapat bertahan?
Hal pertama yang dapat kita pertimbangkan, kata adalah ada beberapa
alasan berbeda mengapa tingkat emisi turun. Transportasi, misalnya,
menyumbang 23% dari total emisi karbon global. Angka emisi karbon karena
transportasi terlihat turun di negara-negara yang membatasi pergerakan warganya
sebagai kebijakan. Berkendara dan penerbangan adalah penyumbang utama emisi
dari transportasi, yakni 72% dan 11% dari gas rumah kaca dan gas emisi. Selama
masa pandemi dan pengurangan perjalanan masih terjadi, angka emisi ini
dipastikan tetap rendah. Tapi apa yang terjadi setelah pembatasan ini diangkat?
Untuk perjalanan rutin, seperti dari rumah ke tempat kerja, tentu angka ini tidak
akan terganti. Namun bagaimana dengan jenis perjalanan lain, mungkinkah rasa
bosan dari isolasi diri memicu orang-orang untuk melakukan lebih banyak
perjalanan, ketika opsi itu muncul kembali?
Sekarang yang sering kita pertanyakan adalah, apakah efek Coronavirus
terhadap lingkungan hidup ini akan meredam kenaikan suhu global? Sayangnya
terlalu dini untuk menyimpulkan itu. Kita tidak tahu sampai kapan wabah ini
berakhir. Efek COVID-19 ini belum dapat dikatakan bakal mendorong emisi CO2
global ke jalur menurun seperti yang diperlukan jika dunia ingin memiliki harapan
untuk menjaga pemanasan global ke tingkat yang relatif aman di atas tingkat pra-
industri. Menurut saya pribadi COVID-19 ini hanya akan memperlambat
pemanasan global bukan membalikkannya. Adapun, selama 10 tahun terakhir,
dapat kita ketahui bahwa emisi telah tumbuh pada tingkat tahunan sekitar 317
megaton, sehingga kita membutuhkan pengurangan yang sangat besar untuk
melihat penurunan tahun ini. Selain itu, ini bukan pertama kalinya akibat wabah
virus membawa dampak pada tingkat karbon dioksida di atmosfer. Sepanjang
sejarah, penyebaran wabah selalu membuat emisi yang lebih rendah, seperti yang
pernah terjadi jauh sebelum zaman industri.
Akan tetapi, wabah COVID-19 ini tentu bukan sesuatu cara yang
diharapkan untuk meredam emisi. Sebab dampak pandemi ini telah menyebabkan
kehilangan pekerjaan massal dan mengancam mata pencarian jutaan orang.
Aktivitas ekonomi tersendat dan pasar saham pun jatuh. Agenda perubahan iklim
sebenarnya masih menghendaki pertumbuhan ekonomi dengan memperhatikan
kelestarian lingkungan, maka itu dikenal ekonomi berkelanjutan. Pembangunan
ekonomi harus diiringi dengan tindakan dekarbonisasi. Hal tersebut telah
diupayakan formulasi dan penerapannya oleh banyak aktivis, ilmuwan, dan para
pemimpin dunia selama beberapa dekade ini. Penurunan emisi selama penyebaran
COVID-19 ini hanya efek jeda dan tak terencana, yang belum tentu bermakna
pada perubahan perilaku jangka panjang. Orang-orang berhenti membuat emisi
karena ada virus yang membahayakannya di luar.
Kita memang tidak tahu kapan pandemic ini akan berakhir, akan tetapi
bagaimana setelah pandemic ini berakhir, maka kehidupan akan kembali seperti
semula, banyak industry, perusahaan dan transportasi yang melakukan pekerjaan
secara besar-besaran akibat telah lama terhenti. Dan seperti yang awal emisi akan
kembali meningkat karena semua negara akan berlomba untuk kembali
membangun ekonomi yang telah krisis dan seperti semula lingkungan kembali
terabaikan dan iklim global tetap mengarah pada hal yang sama pada awalnya.
Jadi menurut saya pribadi penyebaran COVID-19 pada saat ini memang
sekarang kita lihat memang berpengaruh pada iklim dunia yaitu seperti
berkurangnya penyebaran polusi udara secara besar-besaran diseluruh dunia yang
baik pada iklim global ini, namun apa yang akan terjadi setelah wabah ini
berakhir? Tetap saja iklim dunia ini akan kembali seperti semula karena industri
dan perusahaan mulai bekerja kembali. Jadi kesimpulan yang saya dapat dari
penyebaran COVID-19 ini adalah virus ini hanya akan memperlambat perubahan
iklim dunia bukan mengubahnya atau membalikkannya.

Anda mungkin juga menyukai