Efek Rumah Kaca atau Greenhouse Effect berasal dari istilah bagaimana petani di
iklim sedang bertani dalam rumah kaca. Pengalaman mereka menunjukkan bahwa
pada siang hari waktu cuaca cerah, meskipun tanpa alat pemanas suhu dalam ruangan
rumah kaca lebih tinggi daripada suhu di luarnya. Hal tersebut dikarenakan sinar
matahari yang menembus kaca dipantulkan kembali oleh benda-benda di dalam
ruangan rumah kaca sebagai gelombang panas yang berupa sinar inframerah .
Akibatnya, suhu di dalam ruangan rumah kaca lebih tinggi daripada suhu di luarnya.
Sama halnya dengan bumi, dari pancaran sinar matahari yang sampai ke bumi ,
sebagian radiasi tersebut dipantulkan dan sebagian diserap oleh bumi. Sinar tersebut
di atmosfer akan diserap oleh gas-gas rumah kaca seperti uap air H 2O dan karbon
dioksida CO2 sehingga tidak terlepas keluar angkasa dan menyebabkan panas
terperangkap di troposfer dan akhirnya menyebabkan peningkatan suhu di bumi
maupun di lapisan troposfer (lapisan atmosfer terendah). CO2 adalah penyumbang
terbesar GRK dimana sekitar 50% , disusul oleh gas-gas CFC, CHt, O3, dan NOx
masing-masing lebih kurang 20%, 15%, 8% dan 7%.
Sejak revolusi industri, konsentrasi gas-gas rumah kaca telah meningkat, terutama
dalam kaitanya dengan aktivitas manusia. Sepanjang 50 tahun terakhir penetrasi gas-
gas rumah kaca (GRK) ke atmosfer, seperti misalnya sampah yang menghasilkan
gas metana (CH4), diperkirakan 1 ton sampah padat menghasilkan 50 kg gas metana.
Sampah perkotaan merupakan sektor yang sangat cepat potensial mempercepat proses
terjadinya pemanasan global.
Faktor lain yang menyebabkan terjadinya pemanasan global adalah adanya kerusakan
hutan. Salah satu manfaat tumbuhan yaitu menyerap karbondioksida (CO2) dan
mengubahnya menjadi oksigen (O2). Kerusakan hutan disebabkan oleh kebakaran
hutan, dan perubahan hutan menjadi perkebunan dengan tanaman tunggal secara
besar-besaran. Menurut laporan Bank Dunia, tiap tahun 10 sampai 20 juta hektar
hutan tropis musnah. Hal tersebut sangat mengkhawatirkan, mengingat hutan tropis
dianggap paru-paru yang mampu mensirukulasi dan mentransformasi karbon dioksida
menjadi oksigen, dan tentunya akan mempercepat terjadinya pemanasan global.
Sedangkan dari industrialisasi untuk menahan laju perubahan iklim, perlu segera
dilakukan usaha-usaha mengurangi emisi gas rumah kaca hasil aktivitas manusia. Dua
cara yang bisa dilakukan adalah dengan beralih ke energi yang memiliki emisi yang
lebih rendah seperti penggunaan gas dan energi dari sumber terbarukan, atau
melakukan program efisiensi energi. Hal ini bisa saja efektif dilakukan di sektor
industri dan pembangkit listrik. Kedua sektor ini termasuk penghasil emisi GRK
utama di Indonesia, dan memiliki konsumsi energi perkapita yang tinggi.
Dengan melihat kondisi seperti telah diuraikan di atas, maka tidak bijak kalau masing-
masing pihak masih mempermasalahkan siapa yang menjadi penyebab ini semua
(global warming). Perlu upaya bersama termasuk generasi muda untuk
mengkampanyekan dan ikut mengendalikan pemanasan global. Kita yang generasi
muda ini bisa berkontribusi dalam pengendalian pemanasan global. Sebagai individu,
bisa berkontribusi hampir di semua sektor meski dalam porsi kecil namun bila
diakumulasi dapat berdampak terhadap pengendalian pemanasan global. Namun
belum semua orang punya kesadaran yang sama untuk mengatasi hal tersebut, karena
dampak dialami tidak akan langsung dirasakan, hanya terjadi begitu perlahan tanpa
diketahui bahwa ada sesuatu yang buruk akan terjadi. Maka untuk
mengkomunikasikan krisis iklim harus disesuaikan dengan audiens terutama generasi
muda yang tidak bisa disamakan dengan generasi sebelumnya sehingga perlu
perlakuan khusus.
Apabila dampak sebagai akibat dari adanya pemanasan global tidak mendapatkan
penanganan secara serius dan berkelanjutan, maka akan dapat berakibat fatal bagi
keberadaan kualitas hidup manusia Indonesia baik untuk masa kini maupun masa
mendatang.
Referensi :