Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH PAJAK EMISI KARBON

DANAR ARIO PAMBUDI

S352302018

MAGISTER KENOTARIATAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET


Latar Belakang Masalah

Pada dasarnya, Bumi telah memiliki gas rumah kaca secara alamiah di lapisan
atmosfer (Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim, 2017). Gas rumah
kaca ini memiliki fungsi yang sangat penting, yakni untuk menyerap sebagian
energi panas matahari dan menyalurkannya ke permukaan bumi, serta
memantulkan sebagian lainnya dari energi panas matahari ke luar permukaan
bumi sehingga suhu di permukaan bumi tidak terlalu panas dan tidak terlalu
dingin. Dengan demikian, semakin banyak gas rumah kaca yang dilepas ke
atmosfer artinya akan membuat semakin besar penyerapan energi panas
matahari yang disalurkan ke permukaan bumi sehingga mengakibatkan terjadi
kenaikan suhu di permukaan bumi secara global. Berdasarkan laporan yang
dikeluarkan oleh World Bank pada tahun 2012, diketahui bahwa suhu di bumi
diperkirakan dapat meningkat hingga 4°C lebih tinggi di akhir abad ke-21.
Fenomena dimana suhu di bumi mengalami peningkatan secara drastis inilah yang
kemudian dikenal dengan istilah “pemanasan global” (Houghton, 2005). Hasil
penelitian dari World Bank pada tahun 2012 tersebut sudah mulai dibuktikan
dengan beberapa penelitian lainnya. Berdasarkan Laporan terbaru yang
dikeluarkan oleh Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) tahun 2021
yang dilansir dari BBC News Indonesia, diketahui bahwa suhu di bumi telah
mengalami peningkatan sebesar 1,09°C hanya dalam waktu sepuluh tahun yakni
antara tahun 2011 hingga 2020 (Matt McGrath, 2021). Selain itu, IPCC juga
menemukan bahwa ketinggian permukaan air laut pada akhir tahun 2020 telah
meningkat 3 (tiga) kali lipat jika dibandingkan dengan tahun 1901-1971 (Matt
McGrath, 2021). Hal yang lebih mengejutkan lagi adalah IPCC menemukan bahwa
kenaikan suhu di bumi terjadi akibat perbuatan manusia sendiri.

Perubahan iklim yang terjadi akan memberikan dampak buruk terhadap


ekosistem kehidupan, keragaman hayati (biodiversity) hingga keberlangsungan
hidup manusia dan produksi makanan (Organisation for Economic Co-operation
and Development, 2020). Kenaikan suhu di permukaan bumi akan menimbulkan
berbagai bencana seperti kebakaran lahan, kekeringan, hingga mencairnya es di
kutub. Bencana alam ini dapat terjadi karena dipengaruhi oleh pemanasan global.
Jika bencana alam ini terus terjadi, keberlangsungan kehidupan seluruh makhluk
hidup di bumi akan terancam. Untuk itu, Perserikatan Bangsa-Bangsa atau United
Nations melalui United Nations Framework Conventions of Climate Change telah
menyeragamkan aksi dari seluruh negara di dunia dengan membuat sebuah
perjanjian untuk menekan produksi emisi karbon. Perjanjian ini ditandatangani
oleh 195 negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), termasuk Indonesia,
di Kota Paris, Perancis pada tanggal 23 April Tahun 2016 lalu. Perjanjian inilah yang
kemudian dikenal dengan istilah Paris Agreement. Perjanjian ini meminta agar
setiap negara anggota PBB untuk mengurangi produksi emisi gas rumah kaca.
Definisi Pajak

Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terhutang
oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak
mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya
adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubungan dengan
tugas negara yang menyelenggarakan pemerintahan (Adriani 1987:2 dalam
Verawati, 2007). Menurut Prof. DR. Rachmat Sumitro, SH tahun 1990, pajak adalah
iuran rakyat kepada kas negara (peralihan kekayaan dari kas rakyat ke sektor
pemerintah) berdasarkan Undang-Undang untuk membiayai pengeluaran rutin
dan surplusnya digunakan untuk public saving yang merupakan sumber utama
untuk membiayai public investment.

Definisi Emisi Karbon

Pemanasan global yang terkait dengan EGRK dan kendala energi adalah dua
ancaman utama bagi ekonomi global. Emisi karbon yang paling signifikan adalah
emisi CO2, yang menyumbang sekitar 72 persen dari EGRK (IPCC, 2007;
Sanglimsuwan, 2011) . The Climate Resilience Handbook (2018) melaporkan bahwa
2017 merupakan tahun rekor bencana alam, termasuk angin topan, kebakaran
hutan, gelombang panas, dan kekeringan, yang menyebabkan kerugian sebesar 31
miliar dolar secara global. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) (2014)
memperkirakan bahwa sekitar tujuh juta orang meninggal setiap tahun akibat
polusi udara dalam ruangan. Mayoritas kematian ini terjadi di LDCs Least
Developing Countries (Collier, 2008).

Pemanasan global adalah salah satu tantangan utama zaman kita sekaligus
ancaman terbesar bagi kehidupan alam, kemakmuran, dan keamanan (Mundial,
2018). Emisi karbon dioksida adalah komponen utama gas rumah kaca (GRK),
terhitung hampir dua pertiga dari keseluruhan emisi GRK. Laporan tahunan
kesepuluh dari " Carbon Emissions Gap Report 2019" yang dikeluarkan oleh
Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP) menunjukkan bahwa
untuk mencapai tujuan Perjanjian Paris untuk membatasi suhu dalam 1,5 ° C di atas
tingkat pra-industri, karbon global emisi perlu dikurangi sebesar 7,6% setiap tahun
antara tahun 2020 dan 2030 (Christiansen et al., 2018). Ada kebutuhan mendesak
akan perumusan kebijakan yang efektif untuk memitigasi pertumbuhan emisi
karbon. Mengurangi penggunaan energi fosil tradisional sekaligus meningkatkan
pemanfaatan energi terbarukan telah menjadi langkah penting bagi banyak
negara untuk menghadapi perubahan iklim, seperti Uni Eropa dan India (Bridge et
al., 2013; Ortega-Ruiz et al., 2020).

Polusi udara akibat emisi CO2 memiliki banyak eksternalitas negatif (Gans et
al., 2017). Pertama, kesehatan masyarakat terpengaruh akibat pencemaran udara
menurunkan kualitas udara secara bertahap melalui reaksi kimiawi di atmosfer.
Karbon monoksida, karbondioksida, sulfur dan polutan lainnya sangat berbahaya
bagi sistem pernafasan manusia.

Konsekuensinya, belanja kesehatan akan meningkat baik untuk mencegah


dampak negatif maupun untuk menyembuhkan penyakit pernafasan akibat
pencemaran udara. Kedua, masalah lingkungan yang disebabkan oleh reaksi kimia
di atmosfer tidak hanya merusak pernafasan manusia tetapi juga sistem ozon.
Salah satu masalah yang paling kritis adalah pemanasan global. Ketiga, biaya
ekonomi untuk menetralkan dampak negatif pencemaran udara, tidak hanya oleh
pengeluaran pemerintah tetapi juga pengeluaran masyarakat untuk mengatasi
dampak negatif tersebut. Keempat, kebijakan pemerintah dalam penggunaan
anggaran mendapatkan beban berat. Pemerintah harus memberikan perhatian
khusus untuk memberikan pengaruh yang signifikan dalam mengurangi
pemanasan global di bumi.

Definisi Pajak Karbon

Pajak karbon adalah salah satu bentuk pigouvian tax untuk mengkompensasi
eksternalitas negatif yang dihasilkan aktivitas emisi karbon.

Adapun yang dimaksud dengan pigouvian tax atau Pajak Pigovian adalah
suatu pungutan pajak atas setiap unit keluaran (output) dari sumber pencemar ke
dalam jumlah yang sebanding dengan efek kerusakan marginal yang ditimbulkan.
Pajak Pigovian atau disebut juga sebagai Pajak Pigou akan dikenakan
terhadap transaksi yang menimbulkan adanya biaya atau kerugian yang harus
ditanggung oleh pihak ketiga yang sebenarnya tidak terlibat dalam transaksi
tersebut. Fenomena inilah yang dikenal dengan eksternalitas negatif.

Dapat diartikan pula bahwa pajak karbon adalah pajak yang dikenakan atas
setiap produk yang menghasilkan emisi karbon, seperti bahan bakar fosil. Adapun,
emisi karbon dalam hal ini tidak hanya terbatas pada gas karbon dioksida (CO2),
melainkan termasuk juga gas metana (CH), dinitro dioksida (N2O), dan serta gas
lain yang mengandung unsur fluor (F).

Peraturan pajak karbon di Indonesia pada tingkat undang-undang diatur di


dalam UU 7/2021. Dalam undang-undang tersebut dijelaskan bahwa pajak karbon
dikenakan atas emisi karbon yang memberikan dampak negatif bagi lingkungan
hidup.

Adapun emisi karbon adalah penyebab terbesar dari perubahan iklim dunia.
Emisi karbon disebut juga sebagai gas rumah kaca, yaitu keluaran (output) dari
tindakan keseharian manusia. Emisi karbon yang dimaksud tersebut merupakan
emisi karbon dioksida ekuivalen, yaitu representasi emisi gas rumah kaca antara
lain senyawa karbon dioksida (CO2), dinitro oksida (N2O), dan metana (CH4).

Tujuan Pajak Karbon

Pajak karbon merupakan salah satu instrumen untuk mewujudkan target


emisi karbon sebagaimana tercantum dalam Persetujuan Paris atas Konvensi
Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perubahan Iklim.

Dalam Pasal 2 angka 1 Persetujuan Paris ditegaskan bahwa tujuan dari


konvensi tersebut adalah memperkuat penanganan global terhadap ancaman
perubahan iklim, dalam konteks pembangunan berkelanjutan dan upaya
pengentasan kemiskinan, termasuk melalui:
1.menahan laju kenaikan suhu rata-rata global di bawah 2 derajat Celcius di
atas suhu di masa pra-industrialisasi dan melanjutkan upaya untuk
membatasi kenaikan suhu hingga 1,5 derajat Celcius di atas suhu di masa
pra-industrialisasi, mengakui bahwa upaya ini akan secara signifikan
mengurangi risiko dan dampak perubahan iklim;
2. meningkatkan kemampuan adaptasi terhadap dampak perubahan iklim
dan mendorong ketahanan iklim dan melakukan pembangunan yang
rendah emisi gas rumah kaca, tanpa mengurangi produksi pangan; dan
3. membuat aliran dana yang konsisten dengan arah pembangunan yang
rendah emisi gas rumah kaca dan berketahanan iklim.

Selanjutnya, tujuan pajak karbon adalah untuk mengubah perilaku pelaku


usaha menuju ekonomi hijau yaitu upaya mengurangi emisi karbon sekaligus
menciptakan sumber pembiayaan baru bagi pemerintah.

Kemudian, dalam UU 7/2021 dijelaskan bahwa tujuan dikenakannya pajak


karbon yaitu dalam rangka mengendalikan emisi gas rumah kaca untuk
mendukung pencapaian Nationally Determined Contribution (“NDC”) atau
kontribusi yang ditetapkan secara nasional, yaitu komitmen nasional bagi
penanganan perubahan iklim global dalam rangka mencapai tujuan Persetujuan
Paris.

Menurut, Prof. Memed (Guru Besar bidang Ilmu Pajak dan Akuntansi Sosial)
mengurangi jejak karbon tidak dapat dilakukan seorang diri. Setiap masyarakat
diharapkan bekerja sama dalam upaya mengurangi emisi karbon. Ada beberapa
cara untuk mengatasi terjadi emisi karbon yaitu menanam pohon, menghidari
terjadi kebakaran hutan, penggunaan teknologi ramah lingkungan, dan
pengenaan pajak. Prof. Memed menjelaskan ada sejumlah fungsi dari pajak
karbon. Selain sebagai bentuk punishment, pajak karbon juga dapat digunakan
untuk menambah dana, adaptasi dan mitigasi perubahan iklim, investasi ramah
lingkungan, dan dukungan kepada masyarakat berpenghasilan rendah dalam
bentuk bantuan sosial.
Dilihat dari pengalaman sejumlah negara, Prof. Memed mengatakan bahwa
penerapan pajak karbon ini dinilai berhasil menurunkan emisi karbon, seperti
Finlandia dan Polandia. “Negara-negara tersebut ternyata berhasil menurunkan
emisi karbonnya walaupun tentunya penerimaan pajak dari karbonnya akan
menurun.”

Penerapan Pajak Karbon di Luar Negeri

Berdasarkan penelitian Anderson dan Ekins (2010) serta penelitian Ekins dan
Speck (2011) menjelaskan bahwa penerapan pajak karbon dapat menurunkan
emisi karbon dan sekaligus dapat meningkatkan Produk Domestik Bruto (PDB)
suatu negara jika tarif pajak lingkungan yang diterapkan sudah tepat. Hal serupa
juga dikemukakan oleh Lee et.al (2012). Pajak karbon yang diterapkan di Jepang
dinilai tidak akan memberikan pengaruh yang cukup signifikan terhadap
penurunan emisi karbon sekaligus terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Jepang
karena tarif pajak karbon yang diterapkan cukup rendah (Lee et al., 2012).

Fenomena ini dijelaskan dalam penelitian Sumner et.al (2011) dimana tarif
pajak karbon yang tinggi akan memberikan dorongan yang kuat kepada
konsumen untuk mengubah perilaku konsumsinya yakni untuk beralih
menggunakan energi yang lebih ramah lingkungan, sedangkan tarif pajak karbon
yang rendah hanya akan memberikan dorongan yang lemah pula kepada
konsumen untuk mengubah perilaku konsumsinya.

Adapun penelitian pertama oleh Elbaum (2021) dari University of Neuchatel.


Penelitian tersebut dilakukan dengan tujuan untuk menjelaskan pengaruh pajak
karbon terhadap emisi karbon dioksida dari sektor transportasi yang ada di
Finlandia sejak tahun 1990 hingga tahun 2005 dengan menggunakan Synthetic
Control Method. Berdasarkan hasil penelitiannya, diketahui bahwa 1 (satu) tahun
setelah penerapan pajak karbon, yakni di tahun 1991, tingkat emisi karbon dari
sektor transportasi di Finlandia berhasil ditekan hingga 10%, dan 5 (lima) tahun
setelah penerapan pajak karbon disana, emisi dari sektor transportasi sudah
berkurang hingga 20%. Lebih jauh dari itu Elbaum (2021) juga menjelaskan bahwa
di tahun 2005 atau tahun terakhir dari ruang lingkup penelitiannya, diketahui
bahwa emisi karbon dari sektor transportasi di Finlandia berhasil diturunkan
hingga 48%.

Hasil yang berbeda justru ditunjukkan di negara Norwegia, dimana


penerapan pajak karbon disana justru tidak memberikan pengaruh sama sekali
terhadap penurunan emisi, bahkan jumlah emisi karbon di Norwegia mengalami
peningkatan setelah diterapkannya pajak karbon (Lin & Li, 2011).

Hasil penelitian ini sekaligus membuktikan pernyataan Khastar et.al (2020)


dalam penelitiannya, yang menyatakan bahwa pajak karbon bisa saja memiliki
pengaruh yang berbeda- beda untuk setiap negara. Lebih jauh dari itu, Lin dan Li
(2011) menyebutkan bahwa adanya perbedaan pengaruh dari penerapan pajak
karbon di masing-masing negara umumnya disebabkan oleh beberapa faktor
diantaranya adalah karena adanya perbedaan tarif yang diterapkan, adanya
perbedaan sektor yang dikenakan dan yang dikecualikan dari pajak karbon, serta
adanya perbedaan kebijakan penggunaan penerimaan (earmarking) pajak karbon
oleh masing-masing pemerintah.

Penelitian selanjutnya oleh Andersson (2019) dengan tujuan untuk melihat


pengaruh penerapan Pajak Karbon dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas bahan
bakar fosil di Swedia terhadap emisi karbon dari sektor transportasi, dengan
menggunakan Synthetic Control Method. Berdasarkan hasil penelitiannya
diketahui bahwa dengan mengenakan pajak karbon dan PPN atas bahan bakar
mampu menekan emisi karbon dari sektor transportasi Swedia hingga 11%. Dari
angka tersebut, Andersson (2019) menyebutkan bahwa kontribusi terbesar tetap
disumbangkan dari pajak karbon itu sendiri, dimana jika hanya pajak karbon yang
diterapkan maka penurunan emisi akan mencapai 6%, dan jika PPN juga sekaligus
dikenakan atas bahan bakar maka penurunan emisi dari sektor transportasi di
Swedia akan mencapai 11%.

Penerapan Pajak Karbon di Indonesia

Landasan hukum Pajak karbon telah ditetapkan, sedangkan aturan-aturan


turunan sedang disusun.
UU 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan - Pasal 13 Pokok-Pokok
Pengaturan:

• Pengenaan: dikenakan atas emisi karbon yang memberikan dampak


negatif bagi lingkungan hidup.

• Arah pengenaan pajak karbon: memperhatikan peta jalan pasar karbon


dan/atau peta jalan pajak karbon yang memuat strategi penurunan emisi
karbon, sasaran sektor prioritas,

keselarasan dengan pembangunan energi baru dan terbarukan serta


keselarasan antar berbagai kebijakan lainnya.

• Prinsip pajak karbon: prinsip keadilan (just) dan keterjangkauan


(affordable) dengan memperhatikan iklim berusaha, dan masyarakat
kecil.

• Tarif pajak karbon ditetapkan lebih tinggi atau sama dengan harga karbon
di pasar karbon dengan tarif paling rendah Rp30,00 per kilogram karbon
dioksida ekuivalen (CO2e).

• Pemanfaatan penerimaan negara dari Pajak Karbon dilakukan melalui


mekanisme APBN. Dapat digunakan antara lain untuk pengendalian
perubahan iklim, memberikan bantuan sosial kepada rumah tangga
miskin yang terdampak pajak karbon, mensubsidi energi terbarukan, dan
lain-lain.

• Wajib Pajak yang berpartisipasi dalam perdagangan emisi karbon dapat


diberikan pengurangan pajak karbon.

• Pemberlakuan Pajak karbon: berlaku pada 1 April 2022, yang pertama kali
dikenakan terhadap badan yang bergerak di bidang pembangkit listrik
tenaga uap batubara dengan skema cap and tax yang searah dengan
implementasi pasar karbon yang sudah mulai berjalan di sektor PLTU
batubara.

Perpres 98/2021 tentang Penyelenggaraan NEK - Pasal 58


Pokok-Pokok Pengaturan:

• Pungutan Atas Karbon didefinisikan sebagai pungutan negara baik di


pusat maupun daerah, berdasarkan kandungan karbon dan/atau potensi
emisi karbon dan/atau jumlah emisi karbon dan/atau kinerja Aksi Mitigasi.

• Selanjutnya, pengaturan atas pelaksanaanya dilakukan sesuai dengan


ketentuan peraturan perundang-undangan.

• Dengan demikian, Pungutan Atas Karbon dapat berupa pungutan negara


yang sudah ada (misalnya Pajak Kendaraan Bermotor, Pajak Bahan Bakar,
PPnBM), maupun pungutan lain yang akan diterapkan (misalnya
pengenaan Pajak Karbon).

Lantas, kapan pajak karbon berlaku di Indonesia? Alur penerapan pajak


karbon di Indonesia adalah sebagai berikut:

1.tahun 2021, dilakukan pengembangan mekanisme perdagangan karbon;


2. tahun 2022 sampai dengan 2024, diterapkan mekanisme pajak yang
mendasarkan pada batas emisi (cap and tax) untuk sektor pembangkit
listrik terbatas pada pembangkit listrik tenaga uap batubara;
3. tahun 2025 dan seterusnya, implementasi perdagangan karbon secara
penuh dan perluasan sektor pemajakan pajak karbon dengan tahapan
sesuai kesiapan sektor terkait dengan memperhatikan antara lain
kondisi ekonomi, kesiapan pelaku, dampak, dan/atau skala.

Dengan demikian, pengenaan pajak karbon mulai berlaku pada tahun 2025
dan seterusnya. Selain itu, sepanjang penelusuran kami terkait dengan penetapan
tarif dan perhitungan pajak karbon, hingga artikel ini ditayangkan, peraturan
menteri keuangan tentang pajak karbon belum diterbitkan.
Kesimpulan

Pengenaan pajak emisi karbon pada dasarnya tidak terlepas dari dampak
pemanasan global yang terjadi dalam dekade terakhir. Pajak emisi karbon memiliki
tujuan utama untuk dan khususnya mengurangi jumlah karbon yang dihasilkan
oleh baik itu industri ataupun otomotif yang tersebar di Bumi, selain dalam hal
menjaga lingkungan, pajak yang diterapkan juga dapat menjadi salah satu
pemasukan bruto bagi negara.

Namun sampai saat ini masih simpang siur terhadap efektabilitas dari
penerapan pajak emisi karbon tersebut, beberapa negara mengungkapkan bahwa
hal tersebut tidaklah begitu efektif sementara negara lain dapat mengambil
kesimpulan bahwa peraturan pajak emisi karbon berjalan dengan baik. Sedangkan
Indonesia akan memberlakukan pajak emisi karbon setidaknya tahun 2025
mendatang.

Anda mungkin juga menyukai