Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

EMISI KARBON PADA PEMANASAN GLOBAL

Oleh
HELEN OETAMA
XI KBC

SMAN 1 PRINGSEWU
2022/2023
Emisi berhubungan dengan proses perpindahan suatu benda. Menurut Cambridge
Dictionary, emisi adalah sejumlah gas, panas, cahaya, dan lain-lain yang dikirimkan keluar.
Kata ini sering digunakan untuk menyebut emisi panas, emisi cahaya, hingga emisi karbon.
Emisi karbon adalah gas yang dikeluarkan dari hasil pembakaran senyawa yang mengandung
karbon, seperti CO2, solar, LPJ, dan bahan bakar lainnya. Dalam arti sederhana, emisi karbon
adalah pelepasan karbon ke atmosfer.
Emisi karbon menjadi kontributor perubahan iklim bersama dengan emisi gas rumah kaca.
Emisi gas yang berlebihan dapat menyebabkan pemanasan global atau efek rumah kaca. Hal
ini mengakibatkan peningkatan suhu di bumi secara signifikan.
Emisi karbon disebabkan oleh aktivitas pembakaran senyawa-senyawa yang mengandung
karbon. Untuk mengetahui besaran emisi, maka dilakukan pengukuran jejak karbon. Melansir
Ensiklopedia Britannica, jejak karbon merupakan jumlah emisi karbon dioksida (CO2) yang
berkaitan dengan segala aktivitas seseorang atau entitas lain seperti bangunan, perusahaan,
negara, dan lain-lain.
Jejak karbon berasal dari jejak ekologis yang merupakan ukuran dampak terhadap lingkungan
yang dinyatakan sebagai jumlah lahan yang dibutuhkan untuk mempertahankan sumber daya
alam. Konsep jejak karbon juga sering mencakup emisi gas rumah kaca lainnya, seperti metana,
nitrous oxide, atau chlorofluorocarbons (CFC).Emisi karbon juga disebabkan karena
pembakaran bahan bakar fosil di bidang manufaktur, pemanasan, dan transportasi, serta emisi
yang diperlukan untuk menghasilkan listrik untuk keperluan barang dan jasa yang dikonsumsi.
Sebuah studi global tentang emisi karbon yang diterbitkan dalam Jurnal Sustainability
mengungkapkan, peningkatan emisi karbon telah menyebabkan kekhawatiran yang signifikan
di antara negara-negara seperti China, Amerika Serikat, Rusia, India, Uni Eropa, dan Jepang
sebagai penghasil emisi karbon terkemuka dunia.
Emisi karbon berdampak terhadap perubahan iklim global. Beberapa studi penelitian emisi
karbon telah menarik perhatian para peneliti karena iklim global yang berubah dengan cepat.
Para peneliti berhasil mengungkap bahwa emisi antropogenik dari satu triliun ton karbon
cenderung menyebabkan peningkatan suhu global sebesar dua derajat Celcius.
Jejak karbon dapat dikurangi melalui melalui peningkatan efisiensi energi dan perubahan gaya
hidup dan kebiasaan membeli. Pengalihan penggunaan energi dan transportasi seseorang dapat
berdampak pada jejak karbon primer.

1
Isu mengenai pemanasan global atau yang sering disebut sebagai global warming sedang
gencar-gencarnya diperbincangkan di kalangan global. Sebagaimana yang sudah dijelaskan
oleh Badan Klimatologi dan Geofisika (2019), bahwa pemanasansan global mengalami
kenaikan yang cukup tinggi yang sudah dinyatakan dalam bentuk grafik. Kenaikan temperatur
bumi ini tentu saja akan membawa dampak bagi kehidupan mahluk hidup khususnya
kehidupan manusia di bumi, seperti hasil pertanian yang cenderung menurun dari tahun ke
tahun karena perubahan suhu yang cukup serius, suhu yang meningkat juga menyebabkan es
mencair di kutub utara dan selatan bumi yang kemudian menyebabkan air laut naik ke
permukaan dan daratan yang semakin tenggelam, pergantian iklim dan cuaca yang tidak
menentu sepanjang tahun, semakin banyak hewan dan tumbuhan yang mengalami kepunahan
tidak pada waktunya, serta menipisnya lapisan ozon yang menyebabkan sinar ultraviolet masuk
ke bumi sehingga dapat mengancam kehidupan manusia.
Menurut Natural Resources Defense C ouncil (2016), Pemanasan global atau global
warming adalah suatu gejala atau proses temperatur udara yang cenderung meningkat akibat
dari terperangkapnya panas pada atmosfer bumi yang disebabkan oleh gas berbahaya yang
dinamakan karbon dioksida sehingga perubahan iklim dan cuaca yang disebabkan dapat
mengakibatkan sesuatu terjadi di permukaan bumi atau mengakibatkan bencana di permukaan
bumi.
Pemanasan global atau global warming dapat terjadi karena beberapa faktor, salah satunya
yaitu karena timbulnya efek gas karbon, dimana gas tersebut timbul karena adanya emisi gas
yang cenderung mengalami kenaikan seperti karbon dioksida (CO2), metana (CH4),
chlorofluorocarbons (CFC), dan dinitro oksida (N2O), dimana gas – gas tersebut lebih dikenal
dengan sebutan gas karbon yang menyebabkan terperangkapnya sinar matahari pada lapisan
atmosfer bumi. Penyebab utama terjadinya pemanasan global atau global warming diyakini
adalah manusia itu sendiri. Seperti yang telah diungkapkan oleh Intergovernmental Panel on
Climate Change yang meyakini bahkan penyebab utama terjadinya pemanasan global sebanyak
95% adalah manusia yang hidup di bumi ini. Salah satu hal yang menyebabkan meningkatnya
emisi gas karbon dan pemanasan global adalah semakin banyaknya aktivitas ekonomi
khususnya pada bidang industri yang dilakukan oleh manusia itu sendiri. Jadi semakin banyak
aktivitas industri yang dilakukan, maka kegiatan tersebut dapat menyumbangkan emisi gas
karbon dan pemanasan global yang semakin meningkat.
Meningkatnya emisi gas karbon yang disebabkan oleh kegiatan industri manusia inilah
yang bisa memperburuk keadaan di bumi dan dapat meningkatkan pemanasan global.
Mendukung peraturan pemerintah tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup,
seperti yang sudah diatur pada Undang-undang No. 32 Tahun 2009 tentang lingkungan hidup,
dimana di dalam undang-undang tersebut sudah dinyatakan dengan jelas, bilamana terdapat
perusahaan yang dalam melakukan kegiatan opersionalnya tidak memperhatikan keadaan
lingkungan dan dapat membahayakan lingkungan serta mahluk hidup lainnya, maka
pemerintah berhak memberikan sanksi tegas terkait hal tersebut.

2
Meningkatnya emisi gas karbon yang disebabkan oleh kegiatan industri manusia inilah yang
bisa memperburuk keadaan di bumi dan dapat meningkatkan pemanasan global. Mendukung
peraturan pemerintah tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, seperti yang
sudah diatur pada Undang-undang No. 32 Tahun 2009 tentang lingkungan hidup, dimana di
dalam undang-undang tersebut sudah dinyatakan dengan jelas, bilamana terdapat perusahaan
yang dalam melakukan kegiatan opersionalnya tidak memperhatikan keadaan lingkungan dan
dapat membahayakan lingkungan serta mahluk hidup lainnya, maka pemerintah berhak
memberikan sanksi tegas terkait hal tersebut.
Pernyataan pengurangan emisi karbon menjadi semakin gencar diserukan oleh negara-
negara didunia, hal ini mulai dilakukan sejak adanya United Nations Framework Convention
on Climate Change (UNFCCC), pertemuan ini bertujuan untuk membahas mengenai peraturan
pengurangan emisi karbon. Kegiatan ini menghasilkan salah satunya perangkat peraturan yang
bernama Protokol Kyoto, berisi upaya global menurunkan emisi gas antara 0,02 hingga 0,28
derajat celcius di tahun 2050. Protokol Kyoto sendiri telah disahkan di Indonesia melalui UU
No. 17 Tahun 2004, dan di tahun 2011 pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden No. 61
dan No. 71 Tahun 2011 yang pada intinya berisi upaya pemerintah dalam mengurangi emisi
karbon. Peraturan-peraturan tersebut semakin membuktikan bahwa Indonesia juga turut
berpartisipasi dalam upaya pengurangan emisi karbon dunia. Yang terbaru adalah
ditandatanganinya Perjanjian Paris tahun 2015 oleh 195 negara pada Konferensi Perubahan
Iklim PBB ke-21 di Paris, Perancis. Perjanjian tersebut mengajak negara-negara untuk
menahan kenaikan temperatur dunia hingga dibawah 2 derajat celcius atau idealnya adalah 1,5
derajat celcius sama seperti kondisi sebelum era revolusi industri berlangsung.
Menurut Najah (2012) didalam pengungkapan emisi karbon terdapat informasi kualitatif dan
kuantitatif mengenai derajat emisi karbon perusahaan dimasa lalu dan prediksi masa depan
serta bagaimana perusahaan mengelola keuangannya untuk mengatasi permasalahan
perubahan iklim. Pengungkapan emisi gas rumah kaca sendiri masih bersifat sukarela
(voluntary) di Indonesia, perusahaan belum diwajibkan untuk menyampaikan informasi ini
kepada stakeholder. Perusahaan dapat meningkatkan posisi kompetitifnya di pasar dengan
memaparkan informasi mengenai tanggung jawab lingkungan perusahaan khususnya mengenai
emisi karbon (Liao et al., 2015). Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Anggraeni (2015),
Matsumura et al., (2014), dan Rahman et al., (2018) menyatakan bahwa dengan
mengungkapkan emisi karbon nilai perusahaan akan semakin bertambah, yang berarti juga
bahwa pasar merespon dengan baik informasi emisi karbon yang disampaikan perusahaan
sebagai upaya mereka mengurangi emisi karbon.

3
Saat ini informasi mengenai pengelolaan lingkungan perusahaan termasuk pengelolaan
emisi karbon telah mendapat perhatian tersendiri dikalangan para investor. Di tahun 2017 para
investor berinisiatif meluncurkan Climate Action 6 100+ sebagai bentuk kepedulian mereka
terhadap perubahan iklim, mereka berusaha memastikan perusahaan-perusahaan penghasil
emisi rumah kaca telah mengambil tindakan untuk mengatasi perubahan iklim ini
(climateaction100.wordpress.com). Bagi para investor, informasi mengenai emisi karbon
perusahaan menjadi hal yang penting dan menarik karena dapat membantu mereka untuk
merasionalisasikan pandangan mereka terhadap prospek ke depan perusahaan, bagaimana
keberlanjutan perusahaan di masa yang akan datang.
Pengungkapan emisi karbon ini menjadi good news bagi para investor karena perusahaan
berusaha untuk menjaga kepercayaan para stakeholder dengan terus menjaga kelangsungan
hidup alam dan juga keberlanjutan perusahaan (Kelvin et al., 2019). Pengungkapan emisi
karbon dikatakan mengandung informasi apabila saat informasi tersebut dipublikasikan
didalam laporan tahunan akan menyebabkan reaksi dari para investor untuk melakukan jual
beli saham, dan reaksi tersebut tampak dari return saham disekitar tanggal penerbitan informasi
(Hartono, 2017).
Pemanasan global dan perubahan iklim saat ini menjadi menjadi topik global yang sedang
hangat dibicarakan bahkan diakui sebagai isu dengan skala prioritas tinggi di seluruh dunia
(Saka & Oshika, 2014). Pemanasan global dan perubahan iklim tersebut salah satunya
disebabkan oleh kegiatan operasional pabrik yang melepaskan banyak emisi gas karbon ke
udara. Menurut REDD (Reduction Emissions from Deforestation and Forest Degradation),
Indonesia menempati urutan ketiga sebagai negara penyumbang emisi karbon terbesar di dunia
dengan 2,05 giga ton emisi gas rumah kaca setelah Amerika Serikat dengan 5,95 giga ton dan
Cina dengan 5,06 giga ton.
Untuk menanggulangi pemanasan global yang semakin parah, beberapa negara di dunia
membuat perjanjian yang bertujuan untuk mengurangi pemanasan global tersebut. Salah
satunya dalah Carbon Emission Project (CDP) yang berbasis di United Kingdom pada tahun
2000. CDP worldwide pada tahun 2016 melakukan survei terhadap Carbon Emission
Disclosure (CED) terhadap perusahaan-perusahaan dalam menilai risiko investasi yang terkait
dengan perubahan iklim dan menggunakannya sebagai kerangka kerja. CDP meyakini bahwa
dengan perhitungan karbon dan pengungkapannya oleh perusahaan akan berdampak efisien
terhadap manajemen karbon dan risiko perubahan cuaca. Akuntansi karbon berkaitan dengan
efisiensi emisi karbon pada penggunaan bahan baku, biaya tenaga kerja, biaya overhead pabrik,
biaya overhead lingkungan dan biaya terkait dengan manajemen standar karbon (Ratnatunga
& Balachandran, 2009).

Penerapan CED memiliki banyak manfaat tidak hanya bagi perusahaan tetapi juga
lingkungan dan sosial, namun penerapan CED di Indonesia masih minim dilakukan
mengingat pelaporannya yang bersifat voluntary. Menurut Suwardjono (2014:583)
Manajemen akan selalu berusaha untuk mengungkapkan informasi privat yang menurut
pertimbangannya sangat diminati oleh investor dan pemegang saham khususnya kalau
informasi tersebut adalah berita baik (good news). Manajemen juga berminat menyampaikan
informasi yang dapat meningkatkan kredibilitasnya dan kesuksesan perusahaan meskipun
informasi tersebut tidak diwajibkan.
Penerapan CED ini juga dapat menjadi berita baik bagi investor sehingga menarik minat
mereka untuk menanamkan modalnya. Perusahaan yang masuk dalam industri yang intensif
menghasilkan karbon akan lebih mengungkapkan informasi karbon untuk menunjukkan
bahwa mereka bertanggung jawab dan untuk mengurangi ancaman pada legitimasi mereka
(Borghei, Leung, & Guthrie, 2016). Menurut Zulaikha (2016), perusahaan yang bersedia
mengungkapkan carbon emission disclosure akan memiliki nilai tambah di mata investor baik
asing maupun lokal. Perusahaan melakukan pengungkapan emisi karbon dengan beberapa
maksud atau tujuan diantaranya untuk mendapatkan legitimasi dari para stakeholder,
menghindari risiko-risiko yang timbul bagi perusahaan-perusahaan yang menghasilkan gas
rumah kaca yang tinggi, seperti peningkatan operating costs, pengurangan permintaan
(reduced demand), risiko reputasi 3 (reputational risk), proses hukum (legal proceedings),
serta denda dan pinalti (Berthelot & Robert, 2011).
Pemanasan global oleh Riebeek (2010) didefinisikan sebagai fenomena kenaikan suhu
bumi secara berlebihan dari masa ke masa karena adanya efek rumah kaca yang disebabkan
oleh emisi gas diantaranya karbondioksida, dinitrooksida, chlorofluorocarbons, dan metana
yang terus meningkat sehingga panas matahari terkurung didalam atmosfer bumi.
Berdasarkan laporan PBB (cnnindonesia.com), kondisi suhu dunia saat ini meningkat
sekitar 2,9 hingga 3,4 derajat celcius dan diperkirakan masih akan terus mengalami
peningkatan bahkan hingga 2 kali lipat. Karbondioksida juga mengalami pertumbuhan yang
pesat yakni 2% di tahun 2018, mencapai rekor 2 tertingginya 37 miliar ton dan belum ada
pertanda bahwa emisi karbon akan mengalami penurunan (cnnindonesia.com). Sementara itu,
pemanasan global di Indonesia sendiri saat ini juga menjadi semakin parah. Tercatat di tahun
2015 Indonesia menduduki peringkat ke empat se-dunia sebagai kontributor terbesar emisi
gas rumah kaca. Penyumbang terbesar emisi karbon berasal dari pembakaran hutan gambut
untuk pembukaan lahan kelapa sawit dan dilanjutkan dengan pembakaran bahan bakar fosil,
serta aktivitas industri (carbonbrief.org)

Semakin meningkatnya fokus dunia pada permasalahan pemanasan global dan berbagai
kerusakan lingkungan yang terjadi di dunia ini mendorong berbagai negara untuk mencari
cara agar dapat mengatasi permasalahan lingkungan tersebut, yang nantinya akan berdampak
pada keberlanjutan kehidupan. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya perubahan arah
pertumbuhan ekonomi, dimana saat ini banyak negara yang mengarahkan pertumbuhan
ekonominya menuju pertumbuhan ekonomi hijau (Green Growth). Pertumbuhan ekonomi
hijau ini selain berfokus pada kesejahteraan rakyat, juga memiliki fokus utama pada
permasalahan sosial dan lingkungan yang secara kritis memengaruhi pembangunan
berkelanjutan jangka panjang sebuah negara. Fokus utama dalam pertumbuhan ekonomi hijau
ini salah satunya adalah mengenai bagaimana negaranegara berusaha untuk menekan emisi
gas rumah kaca. Indonesia juga tengah mengarahkan pertumbuhan ekonominya menuju
pertumbuhan ekonomi hijau.
Pernyataan pengurangan emisi karbon menjadi semakin gencar diserukan oleh negara-
negara didunia, hal ini mulai dilakukan sejak adanya United Nations Framework Convention
on Climate Change (UNFCCC), pertemuan ini bertujuan untuk membahas mengenai
peraturan pengurangan emisi karbon. Kegiatan ini menghasilkan salah satunya perangkat
peraturan yang bernama Protokol Kyoto, 4 berisi upaya global menurunkan emisi gas antara
0,02 hingga 0,28 derajat celcius di tahun 2050. Protokol Kyoto sendiri telah disahkan di
Indonesia melalui UU No. 17 Tahun 2004, dan di tahun 2011 pemerintah mengeluarkan
Peraturan Presiden No. 61 dan No. 71 Tahun 2011 yang pada intinya berisi upaya pemerintah
dalam mengurangi emisi karbon. Peraturan-peraturan tersebut semakin membuktikan bahwa
Indonesia juga turut berpartisipasi dalam upaya pengurangan emisi karbon dunia. Yang
terbaru adalah ditandatanganinya Perjanjian Paris tahun 2015 oleh 195 negara pada
Konferensi Perubahan Iklim PBB ke-21 di Paris, Perancis. Perjanjian tersebut mengajak
negara-negara untuk menahan kenaikan temperatur dunia hingga dibawah 2 derajat celcius
atau idealnya adalah 1,5 derajat celcius sama seperti kondisi sebelum era revolusi industri
berlangsung. Di Indonesia, Perjanjian Paris baru disahkan pada tahun 2016 melalui UU No.
16 Tahun 2016 dan kadar karbon yang diratifikasi adalah sebesar 1,49%.
Berdasarkan fenomena diatas, sebagai salah satu sumber polusi udara terbanyak yang
dikeluarkan melalui aktivitas operasionalnya, perusahaanperusahaan juga harus bertanggung
jawab untuk mengurangi dampak kerusakan lingkungan tersebut, selain untuk melestarikan
lingkungan dan sebagai upaya perusahaan untuk membantu pemerintah dalam menekan emisi
karbon, perusahaan juga perlu untuk mempertahankan keberlangsungan usahanya.
Perusahaan harus berusaha untuk memanfaatkan sumber daya seefektif dan seefisien
mungkin dan berusaha untuk mengurangi polusi udara sehingga siklus hidup perusahaan juga
dapat bertahan lebih lama (Anggraeni, 2015). Upaya pengurangan emisi karbon tersebut
dapat disampaikan perusahaan melalui keterbukaan dalam laporan keuangan, sehingga dapat
memberikan informasi bagi para stakeholder untuk membantu mereka dalam menilai
keberlanjutan perusahaan. Melalui pengungkapan emisi karbon, perusahaan dapat
mengomunikasikan kepada para stakeholder mengenai tindaklanjut yang telah perusahaan
lakukan dalam rangka mengurangi efek gas rumah kaca (Kelvin et al., 2019).

Menurut Najah (2012) didalam pengungkapan emisi karbon terdapat informasi kualitatif
dan kuantitatif mengenai derajat emisi karbon perusahaan dimasa lalu dan prediksi masa
depan serta bagaimana perusahaan mengelola keuangannya untuk mengatasi permasalahan
perubahan iklim. Pengungkapan emisi gas rumah kaca sendiri masih bersifat sukarela
(voluntary) di Indonesia, perusahaan belum diwajibkan untuk menyampaikan informasi ini
kepada stakeholder. Perusahaan dapat meningkatkan posisi kompetitifnya di pasar dengan
memaparkan informasi mengenai tanggung jawab lingkungan perusahaan khususnya
mengenai emisi karbon (Liao et al., 2015). Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh
Anggraeni (2015), Matsumura et al., (2014), dan Rahman et al., (2018) menyatakan bahwa
dengan mengungkapkan emisi karbon nilai perusahaan akan semakin bertambah, yang berarti
juga bahwa pasar merespon dengan baik informasi emisi karbon yang disampaikan
perusahaan sebagai upaya mereka mengurangi emisi karbon.
Saat ini informasi mengenai pengelolaan lingkungan perusahaan termasuk pengelolaan
emisi karbon telah mendapat perhatian tersendiri dikalangan para investor. Di tahun 2017
para investor berinisiatif meluncurkan Climate Action 6 100+ sebagai bentuk kepedulian
mereka terhadap perubahan iklim, mereka berusaha memastikan perusahaan-perusahaan
penghasil emisi rumah kaca telah mengambil tindakan untuk mengatasi perubahan iklim ini
(climateaction100.wordpress.com). Bagi para investor, informasi mengenai emisi karbon
perusahaan menjadi hal yang penting dan menarik karena dapat membantu mereka untuk
merasionalisasikan pandangan mereka terhadap prospek ke depan perusahaan, bagaimana
keberlanjutan perusahaan di masa yang akan datang.
Pengungkapan emisi karbon ini menjadi good news bagi para investor karena perusahaan
berusaha untuk menjaga kepercayaan para stakeholder dengan terus menjaga kelangsungan
hidup alam dan juga keberlanjutan perusahaan (Kelvin et al., 2019). Pengungkapan emisi
karbon dikatakan mengandung informasi apabila saat informasi tersebut dipublikasikan
didalam laporan tahunan akan menyebabkan reaksi dari para investor untuk melakukan jual
beli saham, dan reaksi tersebut tampak dari return saham disekitar tanggal penerbitan
informasi (Hartono, 2017).
Keyakinan para investor dapat berubah sehubungan dengan adanya informasi yang
diterbitkan oleh perusahaan. Hal tersebut dapat dilihat dari bagaimana pasar bereaksi dan
return yang dihasilkan. Apabila investor mempertimbangkan informasi emisi karbon yang
terdapat didalam laporan tahunan maka akan terjadi reaksi di pasar, hal ini terlihat dari
adanya aktivitas jual beli saham yang menyebabkan harga saham berubah. Harga saham yang
mengalami perubahan dapat menimbulkan adanya abnormal return. Abnormal return
didefinisikan oleh Hartono (2017) sebagai selisih dari return yang diekspektasikan dengan
return yang sesungguhnya. Abnormal return dapat terjadi pada saat adanya pengumuman
suatu peristiwa.

Berdasarkan penelitian Bimha dan Nhamo (2017) mengenai pengaruh carbon disclosure
terhadap harga saham, membuktikan bahwa return lebih banyak dihasilkan pada perusahaan
yang informasi emisi karbonnya diungkapkan secara rutin. Selanjutnya penelitian Lee et al.,
(2013) mengenai respon pasar terhadap pengungkapan informasi perubahan iklim secara
sukarela menunjukkan hasil yang negatif, perusahaan merespon informasi sebagai kabar
buruk. Asmaranti et al., (2018) membuktikan bahwa investor akan bereaksi pada saat
perusahaan mempublikasikan informasi emisi karbon. Kelvin et al. (2019) dalam
penelitiannya menunjukkan hasil yang berbeda dimana abnormal return tidak dihasilkan pada
saat perusahaan menerbitkan pengungkapan emisi karbon, dengan kata lain pasar tidak
bereaksi atas informasi tersebut, hal ini terjadi karena reaksi investor lebih dipengaruhi oleh
perhitungan secara teknikal.
Peneliti memilih carbon-intensive industry sebagai objek dalam penelitian ini. Carbon-
intensive industry dipilih karena perusahaan yang tergolong sebagai carbon-intensive
industry merupakan perusahaan yang paling banyak berkontribusi terhadap perubahan iklim
dan berdasarkan penelitian Pratiwi dan Sari (2016) serta Suhardi dan Purwanto (2015),
industri yang intensif dalam menghasilkan emisi karbon akan lebih mengungkapkan
informasi emisi karbon untuk melegitimasi aktivitasnya. Penelitian mengenai pengaruh
pengungkapan emisi karbon terhadap reaksi pasar pada carbon-intensive industry belum
pernah dilakukan di Indonesia. Selain itu, referensi penelitan ini juga masih sangat jarang di
Indonesia. Hasil penelitian yang tidak konsisten dan belum banyak diteliti membuat topik ini
menarik untuk diteliti.
Peneliti memilih periode 2016-2018 karena ditahun 2016 Indonesia meratifikasi Perjanjian
Paris yang akan memotivasi perusahaan untuk membantu pemerintah menekan emisi karbon
serta mengungkapkan informasi pengelolaan emisi karbon ke publik. Melihat fakta tersebut,
peneliti termotivasi untuk meneliti mengenai pengaruh pengungkapan emisi karbon terhadap
reaksi investor pada perusahaan yang tergolong carbon-intensive industry yang terdaftar di
Bursa Efek Indonesia pada tahun 2016 sampai 2018.
Persoalan pemanasan global semakin meningkat belakangan ini, hal tersebut disebabkan
karena peningkatan emisi karbon yang salah satu penyebabnya adalah aktivitas industri.
Perusahaan – perusahaan harus melakukan tindakan khusus sebagai bentuk tanggung
jawabnya atas kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh aktivitas operasionalnya tersebut,
terkhusus dalam hal emisi karbon. Tanggung jawab tersebut dilakukan perusahaan selain
untuk menjaga lingkungan dan membantu pemerintah dalam menekan emisi karbon, juga
merupakan cara perusahaan untuk mempertahankan keberlanjutan usahanya. Perusahaan
dapat mengungkapkan informasi mengenai bagaimana pengelolaan emisi karbon perusahaan
yang tertuang dalam carbon disclosure sebagai langkah untuk menunjukkan bahwa
perusahaan sungguh-sungguh berupaya menjaga lingkungan.

Pengungkapan emisi karbon menambah nilai tersendiri bagi perusahaan. Bagi para
investor, informasi emisi karbon membantu mereka menentukan 9 prospek keberlanjutan
perusahaan dan menunjukkan bahwa perusahaan mampu meningkatkan kepercayaannya
kepada para stakeholder tentang keberlanjutan usahanya. Dengan dipublikasikannya
informasi dapat mendorong terjadinya reaksi dari investor yang tercermin dalam naik
turunnya harga saham perusahaan dan pada akhirnya menyebabkan return lebih dari yang di
harapkan atau abnormal return (Hartono, 2017). Peneliti ingin mengetahui reaksi investor
saat informasi emisi karbon diungkapkan dan diterbitkan dalam laporan tahunan pada
carbonintensive industry.
Indonesia berkomitmen untuk mengurangi emisi karbon yang dapat dilihat pada Peraturan
Presiden Nomor 61 Tahun 2011 mengenai Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas
Rumah Kaca dan Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2011 mengenai Penyelenggaraan
Inventarisasi Gas Rumah Kaca Nasional. Pada Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2011
Pasal 4, disebutkan bahwa pelaku usaha juga ikut andil dalam upaya penurunan emisi GRK.
Upaya pengurangan emisi GRK (termasuk emisi karbon) yang dilakukan dapat diketahui dari
pengungkapan emisi karbon (carbon emission disclosure). Sedangkan, carbon emission
disclosure di Indonesia masih bersifat sukarela (voluntary disclosure), sehingga tidak semua
perusahaan mengungkapkan informasi tersebut pada laporan tahunan perusahaan.
Pengungkapan emisi karbon yang dilakukan perusahaan dapat dinilai oleh pembaca laporan
tahunan perusahaan sebagai usaha perusahaan dalam menangani masalah pemanasan global
karena efek gas rumah kaca.
Penelitian ini, menggunakan kerangka pemikiran yang didasari oleh teori stakeholder dan
teori legitimasi bertujuan untuk menguji faktor – faktor yang mempengaruhi pengungkapan
emisi karbon pada perusahaan manufaktur di Indonesia. Faktor – faktor yang mempengaruhi
Carbon Emission Disclosure terdiri dari Profitabilitas, Solvabilitas, Ukuran Perusahaan, Tipe
Industri dan Good Corporate Governance. Faktor pertama Profitabilitas, yang
menggambarkan kinerja suatu perusahaan dari aspek keuangan. Semakin baik kinerja
keuangan suatu perusahaan, maka perusahaan mempunyai kemampuan secara finansial dalam
memasukkan strategi pengurangan emisi karbon ke dalam strategi bisnisnya. Faktor kedua
solvabilitas, yang merupakan perbandingan antara total utang terhadap total aset perusahaan.
Apabila semakin besar solvabilitas suatu perusahaan, maka semakin besar pula kekuatan
kreditor dalam menekan perusahaan. Faktor ketiga Ukuran Perusahaan, semakin besar
perusahaan maka akan lebih terlihat oleh pembuat kebijakan, media, organisasi non
pemerintah, dan masyarakat sehingga tekanan yang didapat akan lebih besar daripada
perusahaan kecil. Pengungkapan emisi karbon dapat dijadikan perusahaan sebagai jawaban
atas tekanan yang diberikan sehingga perusahaan masih mendapatkan legitimasi dari pihak-
pihak tersebut. Faktor keempat Tipe Industri, Tipe industri membagi industri menjadi dua
kategori yaitu perusahaan yang intensif karbon dan perusahaan non intensif karbon. Teori
legitimasi menyatakan bahwa semakin intensif industri tersebut dalam menghasilkan karbon
maka tekanan yang akan didapatkan akan semakin besar.
9

Faktor kelima Good Corporate Governance, Good Corporate Governance adalah prinsip yang
mengarahkan dan mengendalikan perusahaan agar mencapai keseimbangan antara kekuatan
serta kewenangan perusahaan dalam memberikan pertanggungjawabannya kepada
stakeholder dan shareholder pada umumnya. Perusahaan yang memiliki akuntabilitas harus
mempunyai laporan dampak perusahaan terhadap masyarakat. Informasi tersebut merupakan
salah satu wujud komitmen perusahaan salah satunya terhadap lingkungan. Maka
pengungkapan lingkungan seperti pengungkapan emisi karbon seharusnya menjadi salah satu
faktor yang harus diterapkan dalam GCG.
Berdasarkan hasil penelitian Pradini (2013) menemukan bahwa luas pengungkapan emisi
gas rumah kaca dipengaruhi secara signifikan oleh ranking Program Penilaian Peringkat
Kinerja Perusahaan (PROPER) dan ukuran perusahaan, sedangkan profitabilitas dan leverage
tidak memiliki pengaruh 5 signifikan. Jannah (2014), menunjukkan hasil bahwa Media
Exposure, Tipe Industri, Profitabilitas, Ukuran Perusahaan dan Leverage berpengaruh
terhadap pengungkapan emisi karbon perusahaan di Indonesia. Sedangkan kinerja lingkungan
tidak berpengaruh terhadap pengungkapan emisi karbon perusahaan di Indonesia. Dalam
mengukur luas pengungkapan emisi gas rumah kaca, peneliti terdahulu sama-sama
menggunakan content analysis, walaupun instrumen pengukuran yang digunakan berbeda.
Pradini (2013) menggunakan indeks yang dikembangkan berdasarkan ISO 14064-1
sedangkan Jannah (2014) menggunakan indeks yang dikembangkan berdasarkan Carbon
Disclosure Project (CDP).
Pengungkapan emisi karbon (Carbon Emission Disclosure) merupakan isu yang mulai
berkembang di berbagai negara terkait dampak dari perubahan iklim terhadap kelangsungan
organisasi tidak terkecuali di Indonesia. Indonesia sendiri merupakan salah satu penyumbang
emisi gas rumah kaca terbesar di Dunia. Hal ini dikarenakan banyaknya perusahaan yang
beroperasi di bidang pertambangan, pertanian maupun industri. Sedangkan pengungkapan
atas emisi gas rumah kaca tersebut dilakukan secara sukarela atau voluntary disclosure.

10
SOAL DAN PEMBAHASAN
EMISI KARBON PADA PEMANASAN GLOBAL

SOAL
1. Apa itu emisi karbon?
2. Mengapa karbon dioksida yang tersimpan di atmosfer bisa berbahaya?
3. Sebutkan berapa banyak emisi karbon yang dihasilkan oleh batu bara!
4. Sebutkan berapa banyak emisi karbon yang dihasilkan oleh minyak bumi!
5. Mengapa reboisasi hutan begitu penting untuk mencegah dampak emisi karbon berupa pemanasan
global?
6. Apa yang menyebabkan terjadinya perubahan iklim di sebuah lingkungan?
7. Apakah perubahan iklim mengakibatkan dampak buruk bagi kesehatan manusia?
8. Sebutkan dampak buruk perubahan iklim bagi lingkungan!
9. Apa perbedaan perubahan iklim dengan pemanasan global?
10. Apakah perubahan iklim dapat dicegah? Jika bisa, bagaimana caranya?

PEMBAHASAN
1. Emisi karbon adalah gas yang dikeluarkan dari hasil pembakaran senyawa yang mengandung
karbon, seperti bahan bakar fosil. Ketika bahan bakar fosil ini dibakar, mereka melepaskan gas karbon
dioksida dan gas rumah kaca lainnya. Kemudian, gas-gas tersebut akan memerangkap panas di
atmosfer, dan menjadi penyebab utama perubahan iklim dan pemanasan global. Emisi korban akan
membahayakan lingkungan dan kehidupan di Bumi, karena mengakibatkan adanya peningkatan suhu
di atmosfer. Kadar karbon dioksida di atmosfer juga bisa merusak zinc, zat besi, dan protein yang
menjadi nutrisi manusia dari tumbuhan. Penelitian ini disampaikan National Center for Biotechnology
Information Amerika Serikat.
2. Kadar karbon dioksida (CO2) di dalam bumi adalah 0,034 persen.Karbon dioksida dapat dihasilkan
dari pembakaran lahan, pernapasan manusia dan hewan, serta energi yang dibutuhkan tanaman.
Karbon dioksida juga dapat menyebabkan pemanasan global, karena menghalangi pemancaran panas
dari bumi sehingga panas dipantulkan kembali ke bumi.Dampak dari pemanasan global antara lain
badai cenderung menjadi lebih sering terjadi, jumlah sambaran petir juga meningkat hingga 50 persen,
dan banyak penyakit mudah menular.

3. Emisi karbon dioksida dari pembakaran batu bara mencapai 44 persen dari total dunia, ini
menunjukkan batu bara sebagai satu-satunya sumber terbesar dari kenaikan suhu Bumi. Meskipun
banyak orang sudah tahu kalau emisi karbon dari batu bara ini berbahaya bagi lingkungan, sayangnya
permintaan batu bara meningkat di India hingga tahun 2023.

4. Dilansir dari National Geographic, emisi karbon yang dihasilkan dari penggunaan minyak bumi
mencapai sepertiga dari total emisi global.Meskipun kita semua tahu penggunaan minyak bumi yang
berlebihan ini membahayakan, namun permintaan terhadap minyak bumi juga terus meningkat.
Mengingat teknologi kendaraan yang semakin banyak menyebabkan permintaan bahan bakar juga
meningkat.

5. pohon membutuhkan bahan baku untuk melakukan proses fotosintesis. Bahan baku tersebut adalah
air dan karbon dioksida dari atmosfer, selain itu pohon-pohon juga dapat memerangkap karbon. Tom
Crowther, seorang peneliti dari ETH Zurich, menyatakan bahwa penanaman pohon adalah solusi
terbaik dari masalah pemanasan global saat ini. Kata Crowther, jika dari sekarang banyak orang
menanam pohon, maka karbon dioksida di atmosfer akan berkurang hingga 25 persen dari tingkat
karbon dioksida seabad lalu.

6. Perubahan iklim merupakan perubahan yang terjadi pada iklim, curah hujan, dan suhu udara karena
meningkatnya gas karbon dioksida dan gas-gas lain. Gas karbon dioksida yang meningkat di atmosfer
ini tidak lepas kaitannya dengan dampak pembakaran bahan bakar fosil. Adanya gas-gas hasil
pembakaran bahan bakar fosil tidak lepas dari tanggung jawab dan aktivitas manusia di Bumi. Inilah
mengapa perilaku, aktivitas, dan tidak sikap bertanggung jawab manusia menjadi salah satu faktor
penyebab pemanasan global dan perubahan iklim. Dengan cara penyulingan, minyak bumi mentah
diubah menjadi bensin, solar, dan minyak pemanas. Kemudian, bensin dan solar akan dimanfaatkan
manusia sebagai bahan bakar kendaraan bermotor. Hasil pembakaran bahan bakar ini disebut emisi
karbon.Emisi karbon yang dihasilkan dari penggunaan minyak bumi mencapai sepertiga dari total
emisi global.Sehingga, penggunaan kendaraan bermotor yang berlebihan termasuk faktor penyebab
meningkatnya suhu permukaan Bumi.
7. Udara yang kita hirup memiliki kandungan beberapa zat seperti nitrogen, oksigen, uap air, dan gas
inert. Sedangkan zat kimia yang menimbulkan polusi udara adalah uap kimia, sulfur dioksida, karbon
monoksida, dan nitrogen oksida.Polusi udara biasanya disebabkan oleh adanya asap dari pabrik, asap
dari kendaraan bermotor, hingga pembakaran sampah. Menurut Jurnal of Stroke pada 2018, polusi
udara yang mengandung partikel dari emisi bahan bakar fosil, ternyata dapat menyebabkan serangan
jantung.Selain itu, polusi udara ini berbahaya untuk kesehatan manusia karena akan menimbulkan
iritasi pada hidung, mata, dan tenggorokan. Serta menimbulkan penyakit yang berhubungan dengan
saluran pernapasan seperti ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut), asma, dan lain-lain.
8. Perubahan iklim biasanya membutuhkan waktu hingga satu dekade lebih, tidak seperti perubahan
cuaca yang bisa berubah dalam hitungan minggu bahkan hari.Misalnya terdapat berita terjadi lonjakan
badai hujan di Eropa Utara selama beberapa dekade terakhir.Jumlah ikan yang berada di laut tropis
mulai berkurang karena ikan berpindah ke perairan yang lebih dingin. Kadar karbon dioksida di
atmosfer juga bisa merusak zinc, zat besi, dan protein yang menjadi nutrisi manusia dari
tumbuhan.Penelitian ini disampaikan National Center for Biotechnology Information Amerika
Serikat. Perubahan iklim juga menyebabkan terganggunya pertumbuhan tanaman dan pertanian.
9. Sebelum kita mengetahui perbedaan antara global warming (pemanasan global) dan perubahan
iklim, kita harus bisa membedakan iklim dan cuaca terlebih dahulu. Dilansir dari Science Alert, cuaca
adalah keadaan atmosfer dalam jangka waktu pendek di sudut tertentu dunia. Adapun faktor yang
dapat memengaruhi cuaca yaitu kelembapan, suhu, kecepatan angin, keadaan atmosfer, dan
sebagainya. Secara lebih ringkas, cuaca tidak bertahan dalam waktu lama, dan cepat mengalami
perubahan. Sedangkan iklim menjelaskan keadaan atau tren cuaca dalam jangka waktu yang lebih
panjang. Jadi, perubahan iklim di suatu wilayah bergerak lebih lambat daripada perubahan cuaca.
10. Cara yang bisa dilakukan untuk mencegah perubahan iklim adalah menggunakan sumber daya
alam perubahan yang ramah lingkungan. Penggunaan energi alternatif merupakan salah satu cara
menghemat penggunaan bakar bakar fosil sehingga dapat mengurangi dampak emisi karbon.

Anda mungkin juga menyukai