Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Ketika manusia modern meletakkan parameter pertumbuhan ekonomi
dalam paradigma developmentalisme untuk mengukur standar kualitas hidup dan
kelayakan hidup, sejak itulah sebetulnya lingkungan hidup dan kondisi sosial
budaya masyarakat telah dikorbankan dan mengalamai degradasi yang sangat
hebat. Pada sisi lingkungan hidup dan sumber daya alam degradasi itu telah
menghadirkan krisis lingkungan hidup yang berkepanjangan dan penurunan
kualitas lingkungan hidup yang tajam dari waktu ke waktu. Ini adalah bayaran yang
paling mahal dari kehidupan modernitas industrial yang dianut oleh hampir seluruh
umat manusia di dunia pada saat ini. Degradasi lingkungan hidup dapat dikatakan
membuat sejenis “ancaman” khusus yang bukan ancaman bagi negara tetapi pada
masyarakat secar keseluruhan. Degradasi lingkungan merupkan ancaman terhadap
lingkungan global, yaitu samudera, laut, lapisan ozon, dan sistem iklim yang
merupakan sistem pendukung kehidupan bagi masyarakat secara keseluruhan
(Hartati, A.Y, 2012)
Kepedulian terhadap lingkungan hidup menjadi isu global karena beberapa
faktor, yaitu; 1) pertama, permasalahan lingkungan hidup ini selalu mempunyai
efek global. Misalnya, permasalahan yang menyangkut CFCs
(Chlorofluorocarbons) yang berefak pada pemanasan global (Global warming) dan
meningkatkan jenis dan kualitas penyakit akibat berlubangnya lapisan ozon yang
dirasakan di seluruh dunia; 2) isu lingkungan hidup juga menyangkut eksploitasi
terhadap sumber daya global seperti lautan dan atmosfer; 3) permasalahan
lingkungan hidup selalu bersifat transnasional, sehingga kerusakan lingkungan di
suatu negara akan berdampak pula bagi wilayah di sekitarnya (misalnya kebakaran
hutan di kalimantan, menyebabkan penerbangan ke Singapura batal) dalam hal ini
otonomi dan rasionalitas individu serta kedaulatan negara bisa menjadi tidak
bermakna ketika ekosistem tersebut mengklaim kedaulatannya; 4) banyak kegiatan
eksploitasi atau degradasi lingkungan memiliki skala lokal atau nasional, dan
dilakukan di banyak tempat di seluruh dunia sehingga dapat dianggap sebagai

1
masalah global, misalnya erosi dan degradasi tanah, penebangan hutan, polusi air
dan sebagainya; 5) proses yang menyebabkan terjadinya eksploitas yang berlebihan
dan degradasi lingkungan berhubungan dengan proses-proses politik dan sosial-
ekonomi yang lebih luas dimana proses-proses tersebut merupakan bagian dari
ekonomi politik global (Baylis, J. et al, 1999).
Berikut dalam makalah ini akan dibahas mengenai isu lingkungan kaitannya
dengan etika yang dibuat oleh manusia dalam mengantisipasi permasalahan
lingkungan.
1.2 Rumusan masalah
Rumusan masalah yang akan dibahas adalah Bagaimana Keberadaan Isu
Permasalahan Lingkungan di Dunia dan Tindakan yang diambil sebagai
Pencegahan?
1.3 Tujuan
Adapun tujuan atas makalah ini adalah untuk mengetahui sejauh mana dunia
menyikapi isu permasalahan lingkungan.

2
BAB II
PEMBAHASAN
1.1 Isu permasalahan lingkungan
Isu lingkungan hidup pertama kali diangkat sebagai agenda dalam
hubungan internasional pada tahun 1970-an. Hal ini ditandai dengan
diselenggarakannya Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang
Lingkungan hidup pada tahun 1972 di Stockholm, Swedia. Dua dasawarsa
kemudian isu lingkungan hidup diangkat kembali dalam konferensi PBB tentang
lingkungan hidup di Rio De Janeiro, Brazil tahun 1992, yang sebelumnya diawali
dengan konferensi PBB mengenai perubahan iklim dunia di Montreal, Kanada
tahun 1990 (Mansbach, W.R, 1997). Kerusakan lingkungan hidup menjadi
perhatian di lingkungan global, dimana aktor-aktor non negara memainkan peranan
penting dalam merespon permasalahan lingkungan hidup internasional. Respon
terhadap permasalahan lingkungan global berfokus pada perkembangan dan
implementasi dari rezim lingkungan hidup internasional (Greene, O., 1996)
Laporan IPCC (Intergovermental Panel on Climate Change) menguraikan
bukti-bukti bahwa perubahan iklim memang sudah terjadi. Suhu bumi meningkat
sekitar 0,8°C selama satu abad terakhir. Tiga dekade terakhir ini secara berturut-
turut kondisinya lebih hangat daripada dekade sebelumnya. Berdasarkan skenario
pemodelan, diperkirakan pada akhir 2100, suhu global akan lebih hangat 1.8-4°C
dibandingkan rata-rata suhu pada 1980-1999. Jika dibandingkan periode pra-
industri (1750), kenaikan suhu global ini setara dengan 2.5-4.7°C. Proses
pemanasan global terutama disebabkan oleh masuknya energi panas ke lautan
(kurang lebih 90% dari total pemanasan), dan terdapat bukti bahwa laut terus
menghangat selama periode ini.
Namun perang terhadap pemanasan global menuai tantangan. Sejumlah
negara berbasis manufaktur dan industri berat enggan untuk terlibat dalam usaha
menekan laju pemanasan global. Tindakan untuk menekan pemanasan global
dianggap merugikan sektor industri berat dan manufaktur yang selama ini menjadi
urat nadi perekonomian suatu negara. Jika industri dan manufaktur tertekan, maka
perekonomian suatu negara menjadi taruhannya. Banyak pihak, ternasuk

3
pemerintah Amerika Serikat yang sangsi bahwa perubahan iklim disebabkan oleh
perbuatan manusia. Mereka ini mengacu pada pendapat bahwa perkembangan
lingkungan alam lah yang terutama berpengaruh mengubah iklim (Arisanti, D.,
2017)
Tabel 1.1 Negara dengan karbon tertinggi di Dunia
No. Negara Jumlah karbon Jumlah karbon
yang dihasilkan perkapita
1. China 10.684,29 MtCO2e 6,68 tCO2

2. Amerika Serikat 5.822,87 MtCO2e 14,98 tCO2

3. Uni Eropa 4.122,64 MtCO2e 6,65 tCO2

4. India 2.887,08 MtCO2e 1,57 tCO2

5. Rusia 2.254,47 MtCO2e 11,17 tCO2

6. Indonesia 1.981 MtCO2e 6,76 tCO2

Sumber : World Resource Institute (WRI)


1. Pemanasan global (Global warming)
Pemanasan global (global warming) diduga mulai terjadi semenjak awal
revolusi industri yaitu sekitar akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19. Setelah James
Watt menemukan mesin uap pada 1769, terjadi peningkatan jumlah emisi gas
rumah kaca (greenhouse gases) di atmosfer yang mengakibatkan peningkatan suhu
udara di permukaan bumi. Pemanasan global yang terjadi akan diikuti oleh
perubahan iklim (climat change), seperti meningkatnya curah hujan di beberapa
belahan dunia sehingga menimbulkan banjir dan erosi. Sedangkan di belahan bumi
lain akan mengalami musim kering yang berkepanjangan akibat dari meningkatnya
suhu udara. Anomali suhu udara global pada permukaan Bumi telah meningkat 0,74
± 0,18 °C (1,33 ± 0,32 °F) selama seratus tahun terakhir (IPCC WG1 Report, 2007).
Bahkan ada yang menyatakan peningkatan suhu udara akan mencapai 1,5-4,5

4
derajat Celsius pada akhir abad 21. Intergovernmental Panel on Climate Change
(IPCC) menyimpulkan bahwa, "sebagian besar peningkatan suhu udara rata-rata
global sejak pertengahan abad ke-20 kemungkinan besar disebabkan oleh
meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca akibat aktivitas manusia
(anthropogenic)” melalui efek rumah kaca (Febrianti, N., 2009).
Laporan perubahan cuaca dan pemanasan global PBB mengungkap 2019
menjadi tahun 'terpanas' dalam periode lima tahun terakhir. Laporan PBB tersebut
menuliskan rata-rata suhu global pada 2015-2019 berada dalam jalur 'terpanas'.
Dikutip dari AFP, iklim periode ini diperkirakan naik 1,1 derajat Celcius di atas era
pra-industri (1850-1900) dan 0,2 derajat Celcius lebih hangat sejak 2011-2015.
Empat tahun terakhir ini sudah menjadi terpanas sejak pencatatan iklim dan cuaca
dimulai pada 1850. Alih-alih berkurang, karbon dioksida tumbuh dua persen pada
2018, mencapai rekor tertinggi 37 miliar ton. AFP menuliskan saat ini belum ada
tanda untuk mencapai 'emisi puncak', yakni titik di mana level emisi karbon akan
mulai turun. Perjanjian Paris 2015 mencatat negara-negara yang menetapkan target
nasional agar mengurangi emisi agar membatasi kenaikan suhu jangka panjang di
bawah dua derajat celcius atau idealnya 1,5 derajat celcius di atas tingkat pra-
industri. Perjanjian tersebut menjadi tolak ukur yang akan membatasi dan
mengatasi dampak pemanasan pada sistem cuaca dunia. Pada 2018, karbon
dioksida global adalah 407,8 bagian per juta (ppm), 2,2 ppm lebih tinggi dari 2017
dan ditetapkan untuk mencapai atau melebihi 410 ppm pada 2019
(www.cnnindonesia.com)
Pemanasan global telah memicu terjadinya sejumlah konsekuensi yang
merugikan baik terhadap lingkungan maupun setiap aspek kehidupan manusia.
Beberapa di antaranya adalah Mencairnya lapisan es di kutub Utara dan Selatan.
Peristiwa ini mengakibatkan naiknya permukaan air laut secara global, hal ini dapat
mengakibatkan sejumlah pulau-pulau kecil tenggelam. Kehidupan masyarakat yang
hidup di daerah pesisir terancam. Permukiman penduduk dilanda banjir rob akibat
air pasang yang tinggi, dan ini berakibat kerusakan fasilitas sosial dan ekonomi.
Jika ini terjadi terus menerus maka akibatnya dapat mengancam sendi kehidupan
masyarakat. Punahnya berbagai jenis fauna. Flora dan fauna memiliki batas

5
toleransi terhadap suhu, kelembaban, kadar air dan sumber makanan. Kenaikan
suhu global menyebabkan terganggunya siklus air, kelembaban udara dan
berdampak pada pertumbuhan tumbuhan sehingga menghambat laju produktivitas
primer. Kondisi ini pun memberikan pengaruh habitat dan kehidupan fauna. Dan
Peningkatan muka air laut, air pasang dan musim hujan yang tidak menentu
menyebabkan meningkatnya frekuensi dan intensitas banjir.
Beberapa hal-hal yang masih diragukan para ilmuan adalah mengenai
jumlah pemanasan yang diperkirakan akan terjadi di masa depan, dan bagaimana
pemanasan serta perubahan-perubahan yang terjadi tersebut akan bervariasi dari
satu daerah ke daerah yang lain. Hingga saat ini masih terjadi perdebatan politik
dan publik di dunia mengenai apa, jika ada, tindakan yang harus dilakukan untuk
mengurangi atau membalikkan pemanasan lebih lanjut atau untuk beradaptasi
terhadap konsekuensi yang ada. Sebagian besar pemerintahan negara-negara di
dunia telah menandatangani dan meratifikasi Protokol Kyoto, yang mengarah pada
pengurangan emisi gas-gas rumah kaca.
Protokol ini mengharuskan negara-negara industri untuk menurunkan
emisinya sebesar 5,2 persen di bawah tingkat emisi tahun 1990 dengan target waktu
hingga 2012 dan baru memperoleh kekuatan hukumnya secara internasional pada
tanggal 16 Februari 2005. Hingga 23 Oktober 2007 sudah 179 negara yang
meratifikasi Protokol Kyoto tersebut. Kemudian pada tanggal 3-14 Desember 2007
di Bali diselenggarakanlah Konvensi Tingkat Tinggi yang digelar oleh UNFCCC
(United Nations Framework Convention on Climate Change) dan dihadiri hampir
10 ribu orang dari 185 negara. Melalui pertemuan tersebut diharapkan dapat
mengevaluasi hasil kinerja dari Protokol Kyoto yang dibuat sebagai bukti
komitmen negara-negara sedunia dalam mengurangi emisi Gas Rumah Kaca demi
menanggulangi permasalahan yang terjadi saat ini.
Kisah lama berulang kembali di penghujung Konferensi Perubahan Iklim
ke-18 di Doha, Qatar yang berakhir hari Sabtu 8 Desember 2012. Alih-alih
membaik, komitmen negara-negara maju sebagai salah satu emiter karbon terbesar
dunia justru semakin melorot. Dua negara maju, sebagai salah satu penyumbang
emisi karbon terbesar di dunia, Kanada dan Amerika Serikat keluar dari Protokol

6
Kyoto, seperti dilansir rilis resmi delegasi RI. Sementara tiga negara maju lainnya,
Rusia, Jepang dan Selandia Baru memutuskan tetap menjadi anggota Protokol
Kyoto namun tidak berkomitmen untuk menurunkan emisi. Selebihnya, 37 negara
maju dan Uni Eropa menyepakati pelaksanaan periode kedua selama 8 tahun
pelaksanaan Protokol Kyoto, terhitung mulai 1 Januari 2013. Keseluruhan nilai
emisi karbon negara-negara ini adalah sekitar 20% atau kurang dari seluruh emisi
karbon dunia. Hingga masa berakhirnya Protokol Kyoto, nampaknya tak pernah
ada komitmen serius yang ditunjukkan lewat konvensi legal oleh negara-negara
maju untuk menekan tingkat emisi. Apalagi fakta terbaru mengungkapkan, bahwa
emisi karbon tahun ini meningkat 2,6% tahun ini, atau sekitar 58% jauh lebih tinggi
dibandingkan emisi karbon dunia tahun 1990 (www.mongabay.co.id)
Berdasarkan isu tersebut, ternyata masih banyak negara-negara besar
dunia yang enggan berpartisipasi dalam penurunan emisi gas penyebab pemanasan
global. Hal ini dilandasi atas terganggunya perekonomian yang akan berdampak
pada stabilitas negara. Oleh karena itu beberapa negara termasuk Amerika tidak
sepakat atas kebijakan ini. Kasus isu lingkungan khususnya pemanasan global
harusnya menjadi tanggung jawab bersama sebab impact atas rusaknya lingkungan
berpengaruh besar bagi bumi tempat berpijaknya manusia, Kasus ini tentu saja
melanggar prinsip-prinsp etika lingkungan terutama prinsip respect terhadap alam
dan sikap tanggung jawab atas rusaknya lingkunga. Kita tidak bias pungkiri
rusaknya alam sebagian besar disebabkan oleh ketamakan manusia pasca revolusi
industri. Alih-alih memajukan peradaban, nyatanya upaya tersebut menjadikan
naiknya suhu bumi yang berdampak pada mencairnya es dan ketidakstabilan cuaca.
2. Perpindahan B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun) melintasi batas negara
(Pollution Across Nation)
Indonesia merupakan salah satu dari seratus empat puluh enam negara
berkembang peratifikasi Konvensi Basel 1989 yang mengatur perpindahan limbah
bahan berbahaya dan beracun yang selanjutnya disebut limbah B-3, namun
Indonesia masih menjadi sasaran pembuangan limbah B-3 secara ilegal. Menurut
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), sejak larangan impor
dikeluarkan, lebih dari 5000 ton sampah plastik yang masuk ke Indonesia dari

7
amerika Serikat, Jepang, dan Australia telah disita. Tingginya intensitas impor
limbah ke Indonesia dari tahun ke tahun makin terbuka lebar dengan adanya
desentralisasi pemerintahan.
Dengan adanya desentralisasi, sebagian besar urusan pemerintah saat ini
telah dialihkan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Hal ini mendorong
banyak eksportir melirik kabupaten terutama daerah terpencil untuk menerima
limbah B-3 dengan iming-iming kompensasi yang besar untuk meningkatkan
Pendapatan Asli Daerah (PAD). Eksportir negara maju membuang limbah B-3 ke
negara berkembang termasuk ke Indonesia dengan memberi imbalan yang
menggiurkan. Namun, nilai itu lebih murah dibanding mengolah di negaranya
karena harus memenuhi standar lingkungan yang tinggi.
Negara-negara penghasil limbah B-3 lantas mencari jalan termudah dan
termurah untuk membuang limbahnya. Negara-negara miskin yang sedang
berkembang yang menjadi sasaran karena peraturan lingkungannnya masih lemah.
Keberadaan ekspor impor limbah B-3 antara negara maju dengan negara
berkembang boleh dikatakan sudah berlangsung cukup lama sampai munculnya
kembali kesadaran masyarakat internasional terhadap bahaya dari pencemaran
limbah industri tersebut (Abddurahman, 2001).
Kasus pengiriman limbah plastic bercampur B-3 dilansir oleh media
Internasional.republika.co.id bahwa beberapa negara ASEAN menerima kiriman
kontainer yang berisi limbah, antara lain limbah B3. Jumlah limbah yang dikirim
ke Indonesia sampai Oktober 2019 sebanyak 2.194 kontainer. Sebelumnya, Bea
Cukai mencatat masih ada 210 kontainer lain berisi bahan baku kertas dan plastik
daur ulang bercampur limbah B3 yang sedang dalam proses pengiriman kembali ke
berbagai negara seperti Prancis, Belanda, Slovenia, Belgia, Inggris, Selandia Baru,
Australia, Spanyol, Kanada, Hong Kong, dan Jepang. Dirjen Bea dan Cukai
Kementerian Keuangan Heru Pambudi menambahkan, kontainer terkontaminasi
tersebut terbanyak berasal dari Amerika Serikat dan Jerman.
Indonesia menjadi salah satu negara buangan sampah daur ulang dari
Eropa dan Amerika. Peristiwa ini terjadi sejak China menutup keran impor limbah
tersebut mulai 2017. Sampah impor tersebut mengandung bahan berbahaya, tak

8
sedikit material yang didatangkan bercampur dengan bahan berbahaya dan beracun
(B3). Misalnya, isi lima kontainer yang diimpor PT AS di Jawa Timur. Berdasarkan
Pemberitahuan Impor Barang (PIB) dan izin dari Kementerian Perdagangan,lima
kontainer itu seharusnya hanya boleh memuat scrap kertas dengan kondisi bersih
tidak terkontaminasi limbah B3 dan tidak tercampur sampah. Namun, apa yang
tertera di dokumen tak sama kenyataan. Isi peti kemas itu campur aduk tak karuan.
Ada kemasan minyak goreng, botol bekas infus, sepatu jebol, wadah oli, popok
bekas, botol minum plastik, hingga keran air. Kasus ini merupakan pelanggaran
fatal atas lingkungan. Sebagaimana kita ketahui bahwa dunia internasional dan
nasional telah memberikan aturan atas pemindahan sampah-sampah berbahaya
tersebut.
Masuknya sampah ke wilayah NKRI tentu saja telah diatur melalui
Undang-Undang No 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Sedangkan
pengaturan pelarangan masuknya limbah B3 diatur melalui Undang-Undang No 32
Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Adapun
pengaturan perpindahan lintas batas limbah secara Internasional juga telah diatur
melalui Konvensi Basel yang telah diratifikasi oleh Indonesia melalui Keputusan
Presiden No 61 Tahun 1993, di mana vokal poin dari konvensi Basel tersebut adalah
Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah, dan Bahan Beracun Berbahaya,
KLHK. Faktanya kasus ini melanggar berbagai peraturan dan juga praktik etika
lingkungan secara global. Jika hal ini terus dibiarkan dan tidak diolah, konsekuensi
besar bagi manusia adalah rusaknya lingkungan hidup (www.liputan6.com).
Mengingat masalah B-3 tidak saja berskala nasional, tetapi juga
internasional dan menyangkut berbagai aspek kehidupam manusia seperti
teknologi, perdagangan, kesehatan, kebijaksanaan pemerinyah dan hukum, maka
diperlukan kerjasama diantara negara-negara untuk mengatasinya. Pada mulanya
limbah B-3 lebih dianggap sebagai masalah negara-negara maju. Akan tetapi dalam
perkembangannya, ketika limbah B-3 menjadi salah satu objek atau komoditi yang
dapat diperjualbelikan, banyak negara maju menjadikan negara berkembang yang
miskin sabagi sasaran tempat pembuangan limbah B-3 baik secara sah (legal) dan

9
tidak sah (illegal). Dengan demikian limbah B-3 tidak lagi dianggap sebagai
masalah nasional dan regional, tetapi menjadi masalah global.
Untuk mengatasi akibat yang ditimbulkan oleh pengangkutan limbah B-3
ini, maka perlu peraturan hukum yang jelas sebagai antisipasi untuk menghadapi
dampak yang buruk terhadap lingkungan. Dalam mewujudkan tekad untuk
menanggulangi masalah-masalah lingkungan, negara-negara telah mengikatkan
diri pada perangkat hukum lingkungan internasional, baik yang berlaku secara
global maupun yang bersifat regional. Kemudian negara-negara juga
menindaklanjuti dengan peraturan hukum nasional untuk kepentingan perlindungan
terhadap lingkungannya.
Adanya konvensi basel oleh dunia, tidak dapat menjadi dinding
penghalang atas perdagangan limbah. Oleh karena itu, semua pihak yang
berkontribusi dalam menghasilkan sampah mampu bekerja sama untuk mengatasi
isu permasalahan ini.
3. Penipisan lapisan Ozon
Penipisan lapisan ozon merupakan salah satu akibat kerusakan lingkungan
yang sangat memberikan efek paling merugikan bagi umat manusia. Penggunaan
bahan zat kimia berbahaya merupakan salah satu faktor utama dari penipisan
lapisan ozon ini. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya penelitian mengenai
bahan-bahan kimia perusak lapisan ozon, para ilmuan telah berteori sejak 1970-an
tentang bahan kimia yang dapat menyebabkan penipisan ozon. Pada Mei 1985
ilmuwan beserta British Antarctic Survey mengejutkan dunia ketika mereka
mengumumkan penemuan lubang besar di lapisan ozon di atas Antartika. Menurut
Data mereka yang dikumpulkan di Stasiun Penelitian Halley di Antartika,
menyatakan penggunaan bahan kimia CFC yang harus disalahkan, CFC atau
Cloroflurocarbon sendiri merupakan bahan kimia senyawa organik yang
mengandung karbon, klorin, dan fluorin. CFC merupakan bagian dari senyawa
kimia dikembangkan kembali di tahun 1930-an sebagai bahan yang aman, tidak
beracun dan tidak mudah terbakar. CFC melepaskan senyawa klorin kedalam
lapisan ozon dan akan menumpuk dilapisan stratosfer, senyawa ini secara signifikan
bisa menguras lapisan ozon stratosfer. Dengan jumlah pemakaian yang semakin

10
banyak, akan mengarah pada peningkatan lapisan UV-B yang berbahaya (Perwita
dan Yani, 2011)
CFC sendiri digunakan pada alat pendingin ruangan yang lebih dikenal
sebagai freon, media pendingin dilemari es, bahan pelarut yang banyak digunakan
pada kilang-kilang elektronik, bahan pendorong atau penyembur (aerosol)
diantaranya pada kaleng penyemprot seperti penyemprot ruangan, penyemprot
rambut dan minyak wangi, serta sebagai bahan pada proses pembuatan plastik.
Dapat dipahami bahwa penggunaan CFC ini cukup mempengaruhi dan
menguntungkan bagi kehidupan manusia jika dilihat dari segi kegunaanya, namun
penggunaan bahan kimia berbahaya ini tidak ramah lingkungan dan akan tetap
menghasilkan emisi gas rumah kaca yang terdiri dari polusi dan terurai bebas
diudara hingga mencapai lapisan ozon.
Menanggapi isu ini, dunia Internasional membuktikan respon mereka
mengenai penipisan lapisan ozon, UNEP atau United Nations Environment
programme pada tahun 1981 mengembangkan sebuah konvensi global untuk
perlindungan lapisan ozon, kemudian dilanjutkan dengan diselenggarakannya
konvensi wina pada tahun 1985 di Austria. Kurangnya pemahaman tentang sejauh
mana sebenarnya resiko lingkungan dari penipisan lapisan ozon membuat konvensi
ini mengalami negosiasi yang sulit untuk diterima oleh masyarakat internasional,
adupun pertanyaan validitas ilmu pengetahuan, dan keraguan terhadap teknologi
dalam penanganan isu ini (International –vienna convention and the Montreal
Protocol).
Selanjutnya, langkah dunia internasional dalam penanggulangan penipisan
ozon bergerak hingga membentuk Protokol Montreal. Protokol Montreal
merupakan perpanjangan dari konvensi wina 1985 yang berbentuk sebuah
perjanjian. Perjanjian ini mengatur mengenai pemakaian bahan kimia yang merusak
Lapisan Ozon dan disepakati pada 16 September 1987 di Markas Besar Organisasi
Penerbangan Sipil Internasional di Montreal. Protokol Montreal menyatakan bahwa
produksi dan konsumsi senyawa yang menguras ozon di stratosfer -
chlorofluorocarbons atau CFC harus dihapuskan. Perjanjian ini merupakan salah
satu perjanjian lingkungan internasional pertama yang mencakup sanksi

11
perdagangan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dari perjanjian.
Perjanjian inipun menawarkan insentif besar bagi negara-negara yang masuk dalam
perjanjian yaitu sejumlah bantuan untuk meningkatkan produksi hingga pencarian
alternatif CFC yang tidak merusak (The vienna convention for the protection of the
ozone layer).
Salah satu negara yang dituduh sebagai sumber sebagian besar
peningkatan emisi penyebab penipisan lapisan ozon (ODS) sejak tahun 2013 adalah
Cina. Hasil studi ini dirilis oleh jurnal Nature yang menyebutkan Sekitar 40-60%
peningkatan global zat pendingin perusak ozon, trichlorofluoromethane (CFC-11)
sejak 2013 dapat dikaitkan dengan industri di provinsi Shandong dan Hebei di utara
China. Hal ini di ungkap oleh para peneliti dari Organisasi Riset Sains dan Industri
Persemakmuran Australia dan Universitas Bristol Inggris. Setelah mempelajari data
atmosfer dari Korea Selatan (Korsel) dan Jepang, mereka memperkirakan emisi
CFC-11 dari wilayah timur China selama 2014-2017 sekitar 7 juta kilogram per
tahun lebih tinggi dibandingkan selama 2008-2012. Gas itu merupakan salah satu
bahan kimia yang dilarang berdasarkan Protokol Montreal, traktat untuk
melindungi lapisan ozon bumi dengan menghentikan semua produksi global CFC
pada 2010. CFC-11 di atmosfer turun drastis hingga 2012, tapi kembali meningkat
sejak tahun itu. China meratifikasi traktat itu pada 1991 dan menyatakan tahun lalu
telah memangkas se banyak 280.000 ton kapasitas produksi ODS tahunan dan
mempercepat upaya melarang bahan kimia perusak ozon lainnya. Namun, laporan
tahun lalu oleh Badan Investigasi Lingkungan (EIA) yang berbasis di London
mengklaim puluhan perusahaan China masih menggunakan CFC-11 yang dilarang
dalam produksi busa poliuretan (economy.okezone.com).
4. Banjir
Banjir merupakan fenomena alam ketika sungai tidak dapat menampung
limpahan air hujan karena proses influasi mengalami penurunan. Banjir dapat
berupa genangan pada lahan yang biasanya kering seperti pada lahan pertanian,
permukiman, pusat kota. Banjir dapat juga terjadi karena debit/volume air yang
mengalir pada suatu sungai atau saluran drainase melebihi atau diatas kapasitas
pengalirannya. Luapan air biasanya tidak menjadi persoalan bila tidak

12
menimbulkan kerugian, korban meninggal atau luka, tidak merendam permukiman
dalam waktu lama, tidak menimbulkan persoalan lain bagi kehidupan sehari-hari.
Bila genangan air terjadi cukup tinggi, dalam waktu lama, dan sering maka hal
tersebut akan mengganggu kegiatan manusia. Dalam sepuluh tahun terakhir ini,
luas area dan frekuensi banjir semakin bertambah dengan kerugian yang makin
besar (BNPB, 2013).
Di Indonesia banjir sudah lama terjadi. Di Jakarta, misalnya, banjir sudah
terjadi sejak 1959, ketika jumlah penduduk masih relative sedikit. Banjir Jakarta
terjadi sejak 1621, kemudian disusul banjir 1878, 1918, 1909, 1918, 1923, 1932
yang menggenangi permukiman warga karena meluapnya air dari sungai Ciliwung,
Cisadane, Angke. Setelah Indonesia merdeka, banjir masih terus terjadi di Jakarta
a.l pada 1979, 1996, 1999, 2002, 2007 (Fitriindrawardhono, 2012). Isu lingkungan
mengenai banjir biasa disebabkan atas dua perkara yaitu factor manusia dana lam.
Banjir oleh factor alam tidak banyak berdampak bagi manusia dan lingkungan.
Sementara banjir yang disebabkan oleh manusia biasanya mendatangkan bencana.
Salah satunya adalah banjir besar di Konawe utara tahun 2019.
Banjir konawe terjadi diduga karena rusaknya lingkungan akibat
penyalahgunaan lahan sehingga merendam sejumlah titik pemukiman warga.
Konawe Utara, yang berjarak lebih kurang 1.700 kilometer dari Jakarta, berstatus
daerah langganan banjir di Sultra. Namun bencana kali ini jadi yang terparah,
mengalahkan petaka serupa pada 1997. Badan Penanggulangan Bencana Daerah
(BPBD) Konawe Utara menyebut bahwa banjir dipicu meluapnya Sungai Lalindu,
Sungai Walasolo, dan Sungai Wadambali. Ketiganya bermuara di Daerah Aliran
Sungai (DAS) Lasolo. Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
(KLHK) jadi pijakannya. Ruksamin menyebut bahwa curah hujan nan tinggi bikin
debit air mencapai 8.500 meter kubik per detik. Padahal kapasitas DAS Lasolo
hanya 5.000 meter kubik per detik. Penyebab lain adalah drainase yang buruk,
pendangkalan sungai, dan perambahan hutan sehingga daerah konawe tidak mampu
membendung curah hujan.
Pandangan berbeda datang dari Lukman Abunawas, Wakil Gubernur
Sultra sekaligus mantan Bupati Konawe--meliputi Konawe Utara sebelum mekar

13
(2007). Lukman menyebut bahwa alih fungsi lahan jadi pemicu banjir. Berdasarkan
peryataan tersebut WALHI Sultra mencatat terdapat 81 izin usaha pertambangan
(IUP) yang beroperasi di Konawe Utara --berburu nikel, emas, kromit, dan batu
kapur. Adapun Dinas Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Sultra mencatat hanya
ada 57 IUP CnC (Clean and Clear) di Konawe Utara. Di sektor perkebunan sawit,
paling tidak ada empat perusahaan yang beroperasi di sekitar DAS Lasolo, yakni:
PT Damai Jaya Lestari (DJL), Sultra Prima Lestari, PT Mulya Tani, dan PTPN
XXIII. Aktivitas pertambangan dan perkebunan sawit itu diduga mengakibatkan
perubahan area hutan di Konawe Utara. Aktivitas pertambangan dan perkebunan
sawit itu diduga mengakibatkan perubahan area hutan di Konawe Utara. Perubahan
area hutan bisa dilihat lewat data Global Forest Watch. Salah satu indikator adalah
hilangnya 38.400 hektare tutupan pohon di Konawe Utara, antara 2001-2017.
Statistik olahan WALHI Sultra menyebut ada 458 hektare hutan primer di Konawe
Utara yang beralih fungsi jadi area tambang dan sawit. Alih fungsi serupa juga
terjadi pada 3.777 hektare hutan sekunder. Deforestisasi itu terjadi sepanjang 2000-
2016. Perubahan area hutan itu, menurut WALHI Sultra, tak bisa dilepaskan dari
maraknya Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) yang dikeluarkan KLHK.
Perihal banjir Konawe, Dinas Kehutanan Sultra, menyampaikansaat ini ada 50
IPPKH di Bumi Anoa. Konawe Utara tercatat sebagai kabupaten dengan IPPKH
paling banyak (23 izin, mencakup 10.158 hektare). Semua izin itu diberikan untuk
usaha pertambangan. Pun, sebanyak 12 izin berada di DAS Molore dan Morombo.
Keduanya bermuara ke DAS Lasolo yang meluap kala banjir.
Hasil analisis menyebutkan bahwa terdapat sangkut paut antara
pemerintah Konawe dalam memberikan izin usaha di daerah tersebut. diduga
Pemrintah mencabut sepihak kuasa pertambangan yang sebagian besar dikuasai PT.
Antam. Namun, malah menerima permohonan izin eksplorasi dari delapan
perusahaan tambang lewat 30 surat keputusan kuasa permohonan eksplorasi. Izin-
izin tersebut dijadikan landasan perusahaan tambang beroperasi. Aktivitas itu
diduga merusak lingkungan dan memicu banjir. Hal ini dipicu karenaa perusahaan
jarang mereklamasi lubang bekas tambang galian (Beritagar.id)

14
Permasalahan lingkungan sebagaian besar tidak lepas dari tangan manusia
sebagai makhluk yang bertugas dalam pengelolaan. Aturan serta prinsip etika yang
disepakati secara bersama sama sekali tidak menghentikan tindakan brutal terhadap
lingkungan hidup. Sebagaian besar adalah negara maju yang enggan berkontribusi
atas penyelesaian lingkungan dikarenakan entitasnya bersinggungan dengan
perekonomian negara. Dalam pengelolaan alam, manusia diberikan hak untuk
mengambil dan memanfaatkan alam sesuai dengan kebutuhannya dengan berpijak
pada tidak adanya pengrusakan dan penajajalan secara besar-besaran. Pada
dasarnya manusia memiliki kebutuhan yang sama. Namun, naluri kapitalistiklah
yang menjadikan manusia, masyarakat bahkan negara berlomba mengeksploitasi
alam untuk memenuhi kebutuhan hidup yang sebenarnya tidak sebanyak itu. Tidak
akan berguna berbagai aturan dan prinsip etika jika tidak di indahkan oleh manusia
sebagai pengelola.

Negara sebagai pelaksana periayahan ummat harus tegas atas aturan yang
ada dengan kata lain aturan dijalankan bukan untuk kepuasan dan kepentingan
individual melainkan untuk kepentingan rakyat dan juga alam. Menjaga alam sama
saja dengan menjaga kelangsungan hidup manusia. Oleh karena itu diperlukan
sinergi antara, negara, masyarakat dan juga individu dalam menjaga lingkungan.

15
BAB III
PENUTUP
1.1 Kesimpulan
Etika lingkungan merupakan refleksi kritis tentang apa yang harus
dilakukan manusia dalam menghadapi pilihan-pilihan moral yang terkait dengan
isu lingkungan hidup, termasuk pilihan moral dalam memenuhi kebutuhan
hidupnya yang memberi dampak pada lingkungan. Perilaku manusia dalam
memanfaatkan lingkungan tidak bisa dipungkiri memberikan dampak berupa
kerusakan. Isu permasalahan global seperti global warming, penipisan ozon dan
sampah tentu saja perlu ditindaki oleh manusia sebagai bagian dari alam. Oleh
karena itu penerapa etika lingkungan sangat diperlukan dalam menjaga kelestarian
lingkungan sekitar baik secara nasional maupun global. Secara menyeluruh perlu
adanya pembiasaan kepada masyarakat terkait etika lingkungan. Keberadaannya
bisa dicapai dengan edukasi dini dari keluarga, lingkungan sekolah dan
masyarakat secara umum.
1.2 Saran
Permasalahan lingkungan perlu mendapat perhatian dari semua pihak baik
individu, masyarakat maupun negara sebagai pemegang kekuasaan tertinggi. Etika
lingkungan diperlukan untuk diedukasi pada semua elemen masayarakat sehingga
bersama-sama dalam menjaga kelestarian lingkungan.

16
Daftar pustaka
Abdurrahman. 2001. Pengantar Hukum Lingkungan Indonesia. Bandung: PT. Citra
Aditya Bhakti
Arisanti, D. 2017. Politik Indonesia dalam Isu Lingkungan : Studi Kasus
Kepentingan Indonesia dalam KTT Perubahan Iklim di Paris Tahun 2015.
The Six University Research Colloquium 2017. Universitas
Muhammadiyah Magelang.
Baylis John dan Smith Steve. 1999. The Globalization of World Politics: An
Introduction to Internasional Relations. UK: Oxford University Press.
Bintarto. 1997. Ekologi Manusia. Hand Out Kuliah Ekologi Manusia Program S2
Filsafat UGM.
Febriyani, N. 2009. Hubungan pemanasan global dengan kondisi suhu udara dan
curah hujan di Indonesia. Peneliti Bidang Aplikasi Klimatologi dan
Lingkungan. Pusfatsatklim, Lapan bandung.
Greene, O. 1996. “Environmental Regimes : Effectiveness and Implementation
Review” dalam John Vogler dan Mark F Imber, The Environment and
International Relations, Routledge. New York.
Hardjasoemantri, Koesnadi. 2002. Hukum Tata Lingkungan. Yogyakarta: Gadja
Mada University Press.
Hartati, A.Y. 2012. Global Environmental Regime: Di tengah perdebatan paham
Antroposentris versus Ekosentris. Jurnal Ilmu Politik Hubungan
Internasional. Vol. 12, No.12, Juli 2012.
IPCC WG1 Report. 2007. Climate Change 2007 The Physical Science Basin. IPCC.
Diakses 2019.
Lakitan B. 2002. Dasar-Dasar Klimatologi. Cetakan Ke-dua. Jakarta: Raja
Grafindo Persada.
Mansbach Richard W. 1997. Global Puzzle: Issues and Actors in Global Politics.
Boston: Houghton Mofflin Company.
Rusdiana, A. 2012. Ilmu Sosial dan Budaya dasar. Bandung:Pustaka Tresna Bhakti.
Rusdina, A. 2015. Membumikan Etika Lingkungan Bagi Upaya Membudayakan
Pengelolaan Lingkungan Yang Bertanggung Jawab. Edisi Juli 2015
Volume IX No. 2 .
https://www.mongabay.co.id/2012/12/10/cop-18-doha-negara-negara-maju-lepas-
tangan-dari-protokol-kyoto/
https://economy.okezone.com/read/2019/05/24/470/2059824/china-dituduh-
sebagai-penyebab-penipisan-ozon
https://internasional.republika.co.id/berita/q0g874366/jokowi-angkat-isu-kiriman-
limbah-b3-di-ktt-asean
https://www.liputan6.com/news/read/3994567/headline-tendang-balik-5-
kontainer-ke-as-ri-nyatakan-perang-ke-sampah-impor

17
18

Anda mungkin juga menyukai