Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH LINGKUNGAN

PERDAGANGAN EMISI KARBON

Disusun Oleh:
Nama: Gelora Fikri Sinaga
NIM: 1708101010022

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM


UNIVERSITAS SYIAH KUALA
BANDA ACEH
2018
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Perubahan iklim merupakan sebuah fenomena global yang ditandai dengan


perubahan suhu udara dan distribusi hujan. Dalam keadaan iklim yang berubah semua
tempat dibumi akan mengalami peningkatan suhu udara dan perubahan curah hujan baik
dari segi jumlah maupun waktunya. Perubahan iklim tidak terjadi secara seketika,
melainkan melalui proses yang berlangsung dalam jangka yang panjang dan terjadi secara
berangsur-angsur.
Penyebab utama terjadinya perubahan iklim adalah meningkatnya konsentrasi gas
rumah kaca sejak 150 tahun yang lalu, ketika negara-negara industri atau negara maju di
benua Amerika dan Uni Eropa mulai melakuakan alih guna lahan untuk membangun
ekonominya. Untuk menstabilkan emisi GRK diperlukan penangan secara global melalui
sebuah perjanjian internasional.
Perjanjian nasional itu adalah munculnya Protocol Kyoto. Protokol kyoto
adalah sebuah perjanjian internasional yang mengatur tatacara penggunaan emisi gas rumah
kaca sehingga tidak mengganggu sistem iklim bumi. Protokol Kyoto ini menargetkan
penurunan emisi GRK paling sedikit 5% dari tingkat emisi tahun 1990 pada periode
komitmen 2008-2012. negara-negara maju haru mampu menurunkan emisi (Sada, R. 2007).
Berdasarkan kewajiban yang sebesar itu negara maju berusah mencari cara agar
terjadi pembagian beban yang adil, dengan menggunakan mekanisme pasar. Mekanisme
pasar ini adalah dimana negara maju akan berusaha menurunkan emisi sebanyak-banyaknya
dengan biaya yang serendah-rendah mungkin. Untuk menurunkan hal ini maka negara-negara
maju tersebut menggandeng negara-negara lain dengan berbagai mekanisme. Salah satu
mekanisme yang ditawarkan adalah perdagangan emisi, joint implimintion, dan clear
devolepment mechanism.
Clean devolopment mecahanism (CMD) adalah negara maju ikut berinvestasi di
negara berkembang untuk mencapai target penurunan emisi. Dengan demikian maka akan
diperoleh hasil yang saling menguntungkan dimana untuk negara yang berkembang dapat
meningkatkan pembangunan berkelanjutan, sedangkan untuk negara maju sebagai wujud dari
konvensi yakni menstabilkan gas rumah kaca sehingga tidak membahayakan sistem iklim
bumi. Mekanisme ini juga telah akan membawa kepada pemenuhan untuk dunia internasional
untuk mencaga bumi.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa yang mendasari terbentuknya protokol kyoto?


2. Bagaimana mekanisme perdagangan karbon di dunia internasional berdasarkan Protokol
Kyoto?
3. Apa dampak yang mungkin dari perdagangan karbon?

1.3 Tujuan Penulisan


Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah:
1. Mengetahui awal mula penyebab adanya perdagangan karbon(carbon trading)
2. Mengetahui bagaiman mekanisme perdagangan karbon sesuai dengan Protokol Kyoto
3 .Realita yang mungkin terjadi pada perdagangan karbon
BAB II
PEMBAHASAN

Perdagangan Karbon
Perdagangan karbon adalah mekanisme berbasis pasar untuk membantu membatasi
peningkatan CO2 di atmosfer. Pemilik industri yang menghasilkan CO2 ke atmosfer
memiliki kewajiban oleh hukum untuk menyeimbangkan emisi yang mereka keluarkan
melalui mekanisme sekuestrasi karbon (penyimpanan karbon). Pemilik yang mengelola hutan
atau lahan pertanian bisa menjual kredit karbon berdasarkan akumulasi karbon yang
terkandung dalam pepohonan di hutan mereka.. Perdagangan karbon yang memiliki makna
yaitu melindungi karbon dan menjualnya kepada negara-negara emisi.
Negara-negara emisi memberikan kompensasi dana untuk pembangunan bagi negara-
negara yang telah mempertahankan karbon mereka. Namun perlu juga dicermati apakah
nilai tukar yang ditawarkan oleh negara-negara emisi sudah pantas terhadap negara yang
telah mempertahankan karbon mereka. Dan pertanyaan mendasar bahwa mampukan program
perdagangan karbon ini mengurangi perubahan iklim global, sehingga terjadi keseimbangan
antara negara penghasil emisi dengan negara nonpenghasil emisi.
Ada lima proyek yang dikembangkan berkaitan dengan pengurangan CO 2 ini yang
diperkirakan akan berpotensi menurunkan CO2 sebesar 763.000 ton yang senilai dengan 3 – 4
juta USD, dengan asumsi 4 – 6 USD untuk setiap ton karbon. Sebagai wacana bahwa
aktivitas perdagangan karbon telah dilakukan di Wana Riset Semboja (kalimantan),
kerjasama Gibon Indonesia dan BOS (Balikpapan Orang Utan Surfife Foundation), dimana
terdapat areal hutan seluas 100 ha, yang telah disertifikasi dan di jual ke Jerman dengan harga
USD 5 /ton. Jumlah karbon per hektar adalah 25 ton. Kompensasi yang dihasilkan pertahun
adalah kurang lebih Rp. 125.000.000,-/tahun. Jika dikaji secara ekonomis, maka ini cukup
besar, apalagi dengan luasan hutan Indonesia yang 91 juta hektar, bisa dibayangkan berapa
pendapatan yang dihasilkan dari penjualan karbon ini (Razak, A, 2008)
Protokol Kyoto
Protocol Kyoto adalah sebuah perjanjian internasional yang mengatur tatacara
penggunaan emisi gas rumah kaca sehingga tidak mengganggu kondisi iklim bumi. Protokol
Kyoto ini menargetkan penurunan emisi GRK paling sedikit 5% dari tingkat emisi tahun
1990 pada periode komitmen 2008-2012. Negara-negara maju harus mampu menurunkan
emisi (Sada, R. 2007).
Karbon dioksida (CO2) terus meningkat dengan campuran pencemar lama dan baru.
Emisi CO2 di seluruh dunia kini telah melampaui 24 milyar metrik ton, meningkat 16 persen
dibandingkan dengan tingkat tahun 1990 (Bank Dunia, 2006). Ekonomi berkembang pesat
Cina dan Amerika Serikat menunjukkan peningkatan yang cepat dalam emisi CO 2. Cina,
yang telah menjadi pencemar terbesar kedua, telah meningkatkan emisi sebesar 33 persen
antara 1992 dan 2002, sedangkan emisi CO 2berasal terutama dari negara-negara kaya,
dengan Amerika Serikat menyumbang 24 persen dari total emisi dan negara-negara Uni
Moneter Eropa menyumbang 10 persen. Tapi saham negara berkembang berkontribusi
terhadap emisi CO2 meningkat yang pesat. Dari tahun 2000 sampai 2002, emisi CO 2 global
meningkat sebesar 2,5 persen per tahun, dan sekitar dua pertiga dari kenaikan ini berasal dari
negara berpendapatan rendah (World Bank, 2006) .
Semua negara yang rentan terhadap perubahan iklim," (Warren Evans, Direktur
Lingkungan Hidup, Bank Dunia), "tetapi negara-negara miskin yang paling terkena, dan
memiliki sarana minimal untuk beradaptasi. Perubahan iklim dapat menghambat upaya
mengurangi kemiskinan di negara-negara pertanian yang tergantung di Afrika dan dataran
rendah pantai. Inisiatif pengembangan pemeriksaan Iklim merupakan kebutuhan mendesak
untuk menghindari bencana manusia.
Emisi CO2 berasal terutama dari pembakaran bahan bakar fosil *. Sektor energi bagi
sekitar 80 persen emisi gas rumah kaca dan sektor pertanian untuk sebagian besar 20 persen
sisanya (Bersih Energi dan Pembangunan: Menuju Kerangka Investasi, Bank Dunia, April
23, 2006). Penyusunan Protocol Kyoto ini dilandasi dengan semakin meningkatnya emisi
karbon yang dihasilkan oleh Negara-negara maju seperti Amerika, Cina, dan India
Negara yang paling banyak menghasilkan emisi karbon yang paling tinggi adalah
Negara Amerika Serikat. Hal ini didasarkan karena pada Negara amerika ini merupakan
Negara industri sehingga produksi karbon akan terus meningkat. Selain itu hutan sebagai
penangkap dan penyimapan karbon (CCS) kurang tersedia akibat alih fungsi hutan menjadi
industri. Untuk Negara penghasil emisi terbesar kedua adalah Negara Cina. Hal tersebut
berbanding lurus dengan kemajuan teknologi di Negara Cina, dimana sektor industri
perdangangan Negara ini tergolong sebagai Negara yang sangat besar sumbangsihnya
terhadap pasar dunia. Maka adanya hal tersebut emisi karbon yang dihasilkan sangat besar.
Untuk Negara-nagara lain juga mengalami peningkatan, namun tidak sesignifikan
pertambahannya jika dibandingkan dengan Negara Amerika Serikat dan Cina.
Pengamatan yang dilakukan di stasiun-stasiun dalam jangka yang sangat panjang
oleh para ilmuwan. Dari studi ini mereka menemukan bahwa pertama, karakteristik inti atom
karbon yang berasal dari pembakaran BBF (bahan bakar fosil) berbeda dengan inti karbon
dari emisi alam. Karena fosil telah terpendam di lapisan dalam, sejak puluhan juta tahun
yang lalu maka sifat radioaktif inti karbon nya sudah hilang sementara karbon alami yang
berasal dari permukaan atau dekat permukaan bumi intinya memiliki porsi radioaktif yang
cukup besar.
Meningkatnya konsentrasi karbon radioaktif rendah telah menyebabkan
"pengenceran" kadar radioaktif karbon atmosfer secara keseluruhan. Kedua, dari hasil
rekaman yang terdapat pada lingkar pohon (tree rings) ditunjukkan bahwa fraksi karbon
radioaktif makin mengecil dalam kurun waktu antara tahun 1850 hingga 1950. Ketiga,
pengamatan jangka panjang di puncak Gunung Mauna Loa di Hawaii yang berada di tengah-
tengah Samudera Pasifik dan di Kutub Selatan. Data konsentrasi CO2 di atmosfer dan di
dalam contoh es yang diambil dari dua tempat yang tidak mengalami gangguan berupa
lonjakan, GRK antropogenik tersebut direkonstruksi dalam kurun waktu 1850 hingga 2000
menunjukkan peningkatan konsentrasi CO2 yang cukup berarti dari 290 hingga 360 ppm.
Protokol Kyoto membuat terobosan baru dengan mendefinisikan tiga "mekanisme
fleksibilitas" inovatif untuk menurunkan biaya keseluruhan dalam mencapai target emisi.
Mekanisme ini memungkinkan pihak untuk mengakses peluang biaya-efektif untuk
mengurangi emisi, atau untuk menghilangkan karbon dari atmosfer, di negara lain.
Sedangkan biaya untuk membatasi emisi bervariasi dari daerah ke daerah, efek untuk
suasana membatasi emisi adalah sama, terlepas dari di mana tindakan tersebut diambil.
Semua tiga mekanisme di bawah Protokol Kyoto didasarkan pada sistem Protokol
untuk akuntansi sasaran. Di bawah sistem ini, jumlah yang suatu Lampiran I Partai (dengan
komitmen tertulis dalam Lampiran B Protokol Kyoto) harus mengurangi emisi selama
periode komitmen lima tahun (dikenal sebagai "jumlah yang ditetapkan" nya) dibagi menjadi
unit masing sebesar untuk satu ton ekuivalen karbon dioksida. Unit ini jumlah yang
ditetapkan (AAU) *, dan unit lainnya yang ditentukan oleh Protokol, kontribusi dasar bagi
mekanisme Kyoto dengan menyediakan untuk suatu Pihak untuk mendapatkan kredit dari
tindakan yang diambil pada Pihak lainnya yang mungkin dihitung ke arah itu target emisi
sendiri.
Dalam Prokol Kyoto tersusun atas tiga mekanisme dalam mengatasi pemanasan
global yakni dengan cara
1. Joint Implementation (JI),
Dalam mekanisme implementasi bersama ini pengurangan emisi karbon didasarkan pada
cara pngurangan karbon daerah tersebut. Dalam mekanisme ini digunakan untuk Negara-
negara yang maju saja.
2. Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Development Mechanism, CDM)
CDM adalah salah satu mekanisme Kyoto yang memungkinkan Negara maju
melakukan investasi di negara berkembang untuk mencapai target penurunan emisinya.
Sementara itu negara berkembang berkepentingan dalam mencapai tujuan pembangunan
berkelanjutan, dan tujuan utama Konvensi yaitu menstabilkan emisi GRK sehingga tidak
membahayakan sistem iklim bumi. Melalui investasi proyek CDM negara maju akan
memperoleh kredit penurunan emisi dalam bentuk sertifikat penurunan emisi (Certified
Emission Reduction, CER) yang akan diterbitkan oleh Badan Pelaksana CDM pada tingkat
global setelah diverifikasi oleh entitas operasional yang ditunjuk.
Negara-negara berkembang akan memperoleh tambahan dana (financial additionality)
dari investor untuk mengimplementasikan proyek yang mengurangi emisi GRK. Disamping
itu pihak tuan rumah juga dapat menilai seberapa jauh tujuan pembangunan
berkelanjutannya telah dicapai berdasarkan kriteria dan indikator yang telah disepakati
bersama investor. Dengan mengadopsi criteria internasional, otoritas nasional perlu menilai
dampak proyek CDM terhadapaspek-aspek lingkungan, sosial dan ekonomi. Kriterianya
adalah agenda tuan rumah yang harus disusun oleh otoritas nasional melalui proses konsultasi
publik yang luas.
3. Perdagangan emisi (Emission Trading, ET) yang mengatur partisipasi negara berkembang.
Perdagangan Emisi adalah salah satu mekanisme fleksibilitas yang diperbolehkan di
bawah Protokol Kyoto yang memungkinkan negara untuk memenuhi target pengurangan
emisi mereka. Negara / perusahaan dengan tingginya biaya pengurangan emisi internal akan
diharapkan untuk membeli sertifikat dari negara / perusahaan dengan biaya rendah
pengurangan emisi internal. Entitas yang terakhir juga akan diharapkan untuk
memaksimalkan produksi pengurangan emisi biaya rendah sehingga dapat memaksimalkan
kemampuan mereka untuk menjual sertifikat kepada badan usaha biaya tinggi. Hasil
keseluruhan adalah bahwa target pengurangan emisi terpenuhi, tetapi dengan biaya yang jauh
lebih rendah daripada yang dikeluarkan dengan mengharuskan setiap entitas untuk mencapai
target pengurangan emisi mereka sendiri.
Secara sederhana, perdagangan karbon adalah suatu mekanisme perdagangan dimana
negara yang menghasilkan emisi karbon dari kuota yang ditentukan diharuskan untuk
memberikan sejumlah insentif kepada negara yang bisa menyerap karbon melalui proyek
penanaman hutannya. Setiap negara/industri mempunyai kuota karbon yang ‘boleh’
diemisikannya. Mekanisme ini juga memperbolehkan industri yang berhasil mengurangi
emisinya untuk menjual kredit karbon yang tersisa ke industri lain. Di sini,
penyerapan/pengurangan gas karbon menjadi semacam jasa yang bisa diperjualbelikan.
Negara atau industri yang menggunakan bahan bakar minyak secara berlebihan
menyebabkan kapasitas pohon yang bisa menyerap karbon sangat terbatas baik di negaranya
sendiri maupun di negara lain. Karena karbon dari satu negara bisa menyebar ke negara lain
maka akibatnya dirasakan di negara lain juga. Orang, industri atau negara yang menghasilkan
emisi karbon yang jauh lebih tinggi daripada jatah penyerapan di negaranya sendiri disebut
debitur karbon yang berutang karbon kepada kreditur karbon, yaitu negara miskin yang
mempunyai lebih banyak hutan atau pohon namun lebih sedikit memanfaatkan jatah
penyerapan karbon karena industri atau penggunaan bahan bakar minyak lebih sedikit.
Perdagangan karbon selain memerlukan kesepakatan internasional juga memerlukan
adanya persetujuan dan partisipasi berbagai pihak dari pemerintah pusat suatu negara sampai
kepada pemerintah daerah dan masyarakat. Suatu lembaga yang memerlukan kredit untuk
membiaya proyek penanaman pohon untuk penyerapan karbon harus mendapat persetujuan
dan kerjasama dengan masyarakat. Dengan demikian keterlibatan masyarakat menjadi salah
satu prasyarat dalam kegiatan ini.
Masih banyak negara yang maju tidak sepakat akan diadakankanya perdagangan
karbon melalui perjanjian kyoto. Mereka melakukan Mekanisme perdagangan karbon melalui
jalur non Kyoto.
Tanpa kredit emisi (Non-Kyoto)
Sebagai negara yang memiliki lahan hutan yang sangat luas dan sebagian besar
mengalami kerusakan yang parah, Indonesia perlu berupaya secara kreatif agar lahan-lahan
tersebut dapat direhabilitasi dan dikembalikan fungsinya. Untuk tujuan pembangunan
berkelanjutan kebijakan tersebut sangat tepat karena akan memperkokoh pilar-pilar ekonomi,
ekologi dan sosial. Tetapi berdasarkan ketentuan yang ada dan berlaku sekarang, jelas bahwa
mekanisme Kyoto tidak mungkin dimanfaatkan. Pembeli di pasar tidak selamanya hanya
tertarik pada kredit karbon yang mengikuti mekanisme (Kyoto Hairiah, K dan Mudiarso, D.
2007).
Pasar non-Kyoto banyak terdapat di negara maju berupa dana perorangan, yayasan,
dan utilitas publik sering diinvestasikan kembali untuk membangun citra publik (public
image) lembaga-lembaga tersebut melalui kegiatan-kegiatan konservasi alam. Dana semacam
ini biasanya sudah dibebaskan dari pajak sehingga nilai nominalnya makin besar. Lembaga
keuangan seperti Bank Dunia pun berupaya mencari investor yang tertarik melakukan
kegiatan konservasi di negara berkembang. Sebagian dari porsi biocarbon Fund (BCF)
bahkan akan dirancang untuk proyek-proyek yang memiliki potensi menyerap karbon sambil
melakukan konservasi terhadap keanekaragaman hayati dan mencegah degradasi lahan.
Kegiatan yang lebih sarat dengan muatan ekologis tersebut meliputi:
Rehabilitasi dan pengelolaan hutan
Banyaknya hutan yang mengalami degradasi memerlukan rehabilitasi dan
pengelolaan yang meningkatkan fungsi rosot karbon, fungsi hidrologis dan fungsi ekologis
hutan. Peningkatan cadangan tetap akan dapat dipertahankan jika disertai sistem
pengelolaan yang baik. Melalui kegiatan ini konservasi keanekaragaman hayati dan
konservasi lahan dapat langsung diintegrasikan.
Pencegahan deforestasi
Kegiatan ini samasekali ditolak untuk diimplementasikan melalui CDM dengan
alasan justru akan mempercepat deforestasi demi perolehan karbon yang besar. Konservasi
hutan lindung, cagar alam dan taman nasional dapat menghasilkan dan mempertahankan
cadangan tetap yang tinggi dalam jangka yang panjang. Konservasi terhadap
keanekaragaman hayati pada kegiatan ini juga sangat signifikan.
Revegetasi
Dapat dilakukan pada lahan kritis dan tidak produktif yang diinvasi alangalang
sehingga dapat memberikan perolehan karbon dengan cadangan tetap yang tinggi. Aspek
pencegahan degradasi lahan pun terlihat akan sangat signifikan jika kegiatan ini
diimplementasikan, karena kegiatan revegetasi akan memperbaiki keseimbangan hara tanah
dan produktivitas lahan. Lahan semacam ini meliputi areal yang luasnya puluhan juta
hektar.
Menekankan adaptasi
Implikasi dari pembatasan jenis kegiatan CDM pada aforestasi dan reforestasi adalah
bahwa kegiatan konservasi dan rehabilitasi hutan tidak dapat dikategorikan sebagai kegiatan
mitigasi yang absah di bawah prosedur CDM. Kegiatan konservasi dan rehabilitasi dapat
dikategorikan sebagai kegiatan yang berhubungan dengan perubahan iklim dengan
mekanisme yang tidak diatur oleh Protokol Kyoto atau CDM, tetapi oleh Konvensi
Perubahan Iklim. Dana yang dikelola Global Environmental Facilities (GEF) seperti dana
adaptasi dan Dana Khusus Perubahan Iklim (Special Climate Change Fund) harus diakses
untuk kepentingan ini (Hairiah, K dan Mudiarso, D. 2007).
Dampak yang memungkinkan dari perdagangan karbon
Perdagangan karbon sejatinya suatu misi suci untuk kelestarian bumi, menunda
kerusakan atmosfer, mengurangi global warming. Perdagangan karbon yang dipelopori oleh
protokol kyoto ini memiliki banyak dampak yang mungkin muncul. Dampak-dampak itu
mungkin saja tidak terkhusus pada konteks negatif. Dampak tersebut antara lain
1.Perdagangan tidak diemban secara baik oleh masing-masing negara baik negara maju
sebagai produsen emisi maupun negar berkembang sebagai penyerap emisi. Hal ini dapat
menyebabkan kerusakan tujuan dari perdagangan itu sendiri. Masing-masing negara yang
bekerjasama bisa saja melakukan manipulasi data karbon dengan mengurangi biaya yang
harusnya dikeluarkan dalam perdagangan ini. Hanya catatan data yang sebenarnya tidak
faktual yang menunjukkan pengurangan emisi ini namun secara fakta lapangan data tersebut
tidak terbukti.
2. Perdagang karbon menjadi bisnis baru di dunia internasional. Para pebisnis akan mengmbil
bagian dalam perdagangan ini. Dampak baiknya para pebisnis mengeksploitasi kemampuan
hutan secara positif. Dengan adanya pihak swasta yang turut andil dalam perdagangan karbon
ini usaha pelestarian hutan dengan vegetasi yang berpotensi menyerap karbon lebih banyak
akan menjadi lebih berkualitas. Namun dampak buruknya dibalik pelestarian tersebut pihak
swasta bisa melakukan manipulasi kepemilikan hutan yang berakibat buruk pada sosial-
ekonomi masyarakat sekitar.
3.Perdagangan karbon masih asing di masyarakat yang sejatinya dekat dengan hutan.
Masyarakat masih banyak yang tidak mengetahui tentang perdagangan karbon ini yang akan
mengakibatkan ketidakpedulian terhadap kelestarian hutan padahal hanya dengan
membiarkan hutan lestari akan menambah keuntungan finansial bagi masyarakat sekitar
hutan. Masyarkat cenderung tidak akan menyetujui apabila pihak asing atau pihak swasta
menawarkan pembelian hutan baik hutan produksi maupun hutan non-produksi kemudian
memilikinya baik secara HGU maupun pindah kepemilikan dengan cara menyodorkan
kerjasama dengan pribumi. Hal ini akan mengurangi keuntungan secara finansial maupun
keuntungan secara pembangunan berkelanjutan karena setelah memiliki hutan pihak
swsatalah yang akan mendapat keuntungan secara rutin ataupun negara maju sendiri yang
akan memiliki hutan dan mengurangi emisinya tanpa harus berurusan panjang dengan CDM
atau pihak pemerintahan pusat.
5.Harga karbon yang tidak sesuai akan merugikan negara berkembang yang berposisi
sebagai pelestari hutan. Pihak negara berkembang dilarang melakukan industri yang hasilnya
secara fianasial akan lebih menguntungkan dibanding harus menerima bayaran atas menunda
kerusakan hutan oleh pelaksanaan industri baru di dalam negara itu sendiri. Bisa dikatakan
Perdagangan dengan harga yang tidak tepat justru bukan malah mendongkrak perkembangan
negara berkembang namun malah memelihara status negara berkembang untuk tetap menjadi
negara berkembang. Maka diperlukan persetujuan harga karbon yang sesuai.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang dapat diambil dari uraian di atas antara lain sebagai berikut:
1. Pelestarian hutan adalah hal yang semakin menguntungkan secara finansial dengan
adanya perdagangan karbon
2. Protokol kyoto menjadi pelopor penting dalam penggagasan ide yang menjadi hal
baru dalam perdagangan dunia untuk tujuan umat manusia.
3. Dengan adanya perdagangan karbon negara berkembang tidak haru menimbangi
negara maju dalam perindustrian yang justru merusak bumi.
4. Perdagangn karbon sejatinya bertujuan kepada kelestarian lingkungan namun tetap
saja masih akan menimbulkan banyak hal baru yang berdampak baik ataupun buruk
dalam pelaksanaannya.
3.2 Saran
Adapun saran untuk perdagangan karbon antara lain sebagai berikut:
1. Peran serta masyarakat harus ditingkatkan baik pengetahuan maupun pelaksanaaan.
2. Pemantaun pelaksanaan harus dilkukan secara cermat agar tidak terdapat manipulasi
data apapun yang akan berakibat pada tidak tercapainya tujuan dari perdagangan
karbon.
3. Harga yang harus diterima para negara berkembang yang memiliki hutan harus
disesuaikan agar negara berkembang tidak harus berkembang juga dalam merusak
bumi.
4. Walaupun perdagangan karbon akan menjadi bisnis baru namun harus diperhatikan
dalam perilakunya.
DAFTAR PUSTAKA

Boer, R. 2005. Penamatan karbon Pada Berbagai Bentuk Sistem


Usaha Tani Sebagai Salaha Satu Bentuk Multifungsi. Jurnal
Penalitian. Jurusan Geofisika dan Meteorologi. FMIPA IPB.
Bogor.

CIFOR, 2003. Warta Kebijakan CIFOR (Center For international Forestry


Research).Desa Long Loreh, Kabupaten Malinau, Kalimantan
Timur. Kalimantan.

Gumay, D. 2007. Perdagangan Carbon, Mitos Negara Maju.


http://www.dewagumay.blogspot.com. Diposakan pada 5 Oktober 2007.

Hairiah, K dan Mudiarso, D. 2007. Bahan Ajar Alih Guna Lahan dan
Neraca Karbon Terestrial. Fakultas Pertanian Universitas
Brawijaya. © copyright World Agroforestry Centre (ICRAF)
Southeast Asia.

IETA, 2005. State and Trends of Carbon market, Washington DC.

Razak, A. Kelayakan Kompensasi Yang Ditawarkan Dalam


Perdagangan Karbon. Makalah Manajemen Hutan Lanjutan
(KTMK 612). Program Pasca Sarjana / S2 - Program Studi
Manajemen Konservasi Sumber Daya Aalam dan Lingkungan
Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Sada, R. 2007. CarbonTrading. Dolphin (P.G) Institute of Bio-Medical


and Natural Sciences, Dehradun H.N.B. Garhwal University.
India.

Saghir, J. Carbon Trading. http://rainforests.mongabay.com. Di poskan


pada juli 2004.

Uliyah, L dan Cahyadi, F,. 2011. Question and Answer tentang Keadilan
Iklim
Edisi I Tahun 2011. Knowledge Management Yayasan
Satudunia. Yayasan Satudunia One World Indonesia.
.
World Bank, 2006. China and India show rapid increase in global
warming emissions. (www.mongabay.com)
REFERENSI

Toer,Pramoedya ,Toer. Mekanisme Carbon Tranding dalam Protokol Kyoto dan Manfaatnya
Bagi Indonesia.https://legal1o1.wordpress.com/2011/05/21/mekanismecarbontrading.
Diakses pada 15 mei 2018 Pukul 21.00.

Mekanisme Perdagangan Karbon Melalui Perjanjian Internasional Sebagai Dampak Dari


Meningkatnya Emisi Gas Rumah Kaca. (GRK).http://andikaseptaa .blogspot.co.id/2012
/10/v-behaviorurldefaultvmlo.html. . Diakses pada 15 mei 2018 Pukul 23.00.

Anda mungkin juga menyukai