BAB I
PENDAHULUAN
*)Materi ini dibawakan dalam forum Seminar 1 Program Studi Ilmu Kehutanan Fakultas Pertanian
Universitas Sam Ratulangi pada hari Jumat, 28 Oktober 2016
**) Mahasiswa Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sam Ratulangi dengan dosen pembimbing
Ir. Maria Y.M.A. Sumakud, MSc
atmosfer. Inilah yang disebut dengan pemanasan global dimana suhu permukaan
bumi meningkat di seluruh dunia (Fadli, 2010).
2
pada perjanjian tersebut. Perdagangan karbon di kehutanan ini lahir dari tuntutan
terhadap fungsi dan peran hutan tropis yang tersisa dianggap sebagai "paru-paru
dunia", maka negara-negara pemilik hutan ini harus diberikan kompensasi untuk
sumbangannya dalam menyediakan paru-paru dunia tersebut (Kartika, 2014).
Menurut Fathoni (2010), hutan Indonesia merupakan kawasan hutan tropis terbesar
ketiga di dunia. Dengan demikian hutan Indonesia dapat dikatakan mampu untuk
menyalurkan kebutuhan oksigen dunia yang cukup besar dan cukup berperan dalam
mencegah terjadinya perubahan iklim akibat pemanasan global.
3
BAB II
PEMBAHASAN
Sebagai salah satu gas rumah kaca (GRK), karakteristik khas CO 2 adalah tidak
mampu ditembus oleh gelombang terestrial/gelombang panjang/long wave radiation
(LWR) yang berasal dari permukaan bumi (Junaedi, 2007). Bersama uap air CO 2
menyerap lebih dari 90% LWR dari bumi. Namun, CO 2 masih bisa dilalui radiasi
gelombang pendek (spektum panjang gelombang 0,3-4 m) dari matahari.
Gelombang panjang merupakan gelombang yang diradiasikan oleh benda hitam
(benda dengan suhu di atas 273 K) dengan kisaran spektrum panjang gelombang 4-
120. CO2 di atmosfer seolah-olah berperan sebagai perangkap LWR. Semakin besar
jumlah CO2 (karbon atmosfer) maka akan semakin banyak LWR yang terperangkap.
Fenomena ini akan diikuti oleh peningkatan proporsi gelombang termal (energi
panas) yang dapat diserap oleh partikel-partikel atmosfer. Peningkatan tersebut
selanjutnya akan meningkatkan suhu (derajat panas) yang merupakan ekspresi dari
energi kinetik (gerak) partikel-partikel atmosfer. Selain CO2 ada beberapa jenis gas
lainnya yang merupakan GRK yaitu metana (CH4), nitrat oksida (N2O),
hidroflurokarbon (HFC), perflukarbon (PFC), dan sulfur heksafluorida (SF6). Masing-
masing dari gas tersebut akan turut menentukan perilaku pemanasan udara, akan
tetapi CO2 dianggap sebagai GRK utama dan sebagai GRK yang paling berperan
dalam meningkatkan suhu udara. Menurut Junaedi (2007), hal ini disebabkan karena
beberapa pertimbangan, antara lain adalah :
CO2 yang dapat tinggal di atmosfer pada kisaran waktu relatif lebih
lama yaitu sekitar 5-200 tahun. Akibatnya, akan terjadi akumulasi CO 2
dalam jumlah yang besar. Sementara dampak pemanasan udaranya pun
akan tetap dirasakan dalam jangka waktu puluhan bahkan ratusan
tahun meskipun telah ada upaya untuk menghentikan emisinya
4
Dibandingkan dengan sumber emisi GRK lainnya, sumber emisi CO 2
berasal dari sektor-sektor yang sulit dibendung laju pertumbuhan emisi
karbonnya. CO2 yang berasal dari pembakaran biomassa sebagian
besar dihasilkan dari sektor kehutanan melalui kegiatan alih fungsi tata
guna lahan untuk berbagai keperluan.
5
Menurut Fathoni (2010), dampak langsung ketika terjadi konversi hutan
adalah terlepasnya cadangan karbon dalam biomassa tumbuhan dan memicu
terjadinya degradasi tanah yang menyebabkan terlepasnya karbon dari bahan organik
tanah. Perubahan vegetasi penutup lahan juga menyebabkan tidak terjadinya proses
penyerapan karbon sehingga yang terjadi bukan hanya pelepasan cadangan karbon di
hutan namun juga hilangnya fungsi penyerapan karbon oleh hutan Dibawah ini adalah
tabel cadangan karbon pada berbagai tipe hutan tingkat nasional (Tabel 1)
6
sama. Protokol Kyoto bertujuan menjaga konsentrasi GRK di atmosfer agar berada
pada tingkat yang tidak membahayakan sistem iklim bumi. Untuk mencapai tujuan
itu, Protokol mengatur pelaksanaan penurunan emisi oleh negara industri sebesar 5%
di bawah tingkat emisi tahun 1990 dalam periode 2008-2012 melalui mekanisme
Implementasi Bersama (Joint Implementation), Perdagangan Emisi (Emission
Trading), dan Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Development Mechanism).
Mekanisme penurunan JI dan ET hanya bisa dilakukan diantara negara Annex I,
sedang CDM merupakan satu-satunya mekanisme yang dapat dilakukan oleh negara
Annex I dan negara Non Annex I (Kusnandar, 2012).
2.4. 1 Trading
Sistem ini bernama lengkap emission trading system atau sistem perdagangan
emisi. Nama lainnya adalah cap-and-trade atau batasi-dan-dagangkan. Sistem ini
7
umumnya diterapkan dalam pasar karbon wajib karena untuk sistem ini diperlukan
pembatasan emisi gas rumah kaca pada pihak-pihak peserta pasar, bisa di tingkat
instalasi ataupun organisasi, yang sulit dipertahankan bila pasar bersifat sukarela.
Dalam sistem ini, setiap peserta pasar yang dapat berupa organisasi,
perusahaan bahkan negara, diberi kewajiban dalam pengurangan/pembatasan emisi
karbon yang disebut cap (Inggris: sumbat; topi; tutup ). Umumnya cap diterapkan
dalam bentuk pengalokasian jatah/kuota (allowance) emisi bagi para peserta pasar
yang dilakukan di awal periode. Di akhir p eriode, para peserta harus menyetorkan
(surrender) unit kuota kepada lembaga yang ditentukan sejumlah emisi aktual yang
telah mereka lepaskan. Peserta yang melewati cap -nya dapat membeli tambahan unit
kuota dari mereka yang kuotanya tidak terpakai sehingga terjadilah perdagangan
Gambar 1. Ilustrasi system trading
Sumber: Purnomo, 2013
Dalam sistem ini, setiap pihak yang terkena pembatasan emisi harus
melaporkan emisi gas rumah kacanya secara periodik (biasanya tahunan) kepada
lembaga yang ditentukan. Dari data tersebut dapat diketahui apakah emisi pihak
tersebut melebihi batas yang ditentukan atau tidak. Untuk pembuat kebijakan, data ini
juga digunakan sebagai dasar menentukan batas emisi di tahun berikutnya.
8
Umumnya, kebijakan pembatasan emisi dan sistem perdagangan emisi
diterapkan pada sektor yang emisinya tinggi, misalnya industri. Dengan demikian
diharapkan diperoleh sejumlah besar penurunan emisi dengan biaya relatif rendah.
Sistem perdagangan emisi yang terbesar saat ini adalah European Union
Emissions Trading System (EU ETS) yang praktis menjadi acuan bagi pasar karbon
di seluruh dunia.
2.4. 2 Crediting
9
Sistem ini berfokus pada emisi di tingkat proyek/kegiatan sehingga untuk
memulainya tidak diperlukan persiapan dan pengumpulan data emisi di tingkat
instalasi/organisasi. Namun demikian, untuk mengetahui emisi baseline dan emisi
aktual diperlukan metode perhitungan dan pemantauan yang sesuai dengan jenis
kegiatan yang dilakukan. Oleh karena itu, semakin banyak jenis kegiatan maka
semakin banyak pula metodologi yang harus dipersiapkan. Contohnya, metodologi
perhitungan dan pemantauan emisi untuk pemanfaatan energi matahari sebagai
sumber listrik, pembuatan kompos dari limbah padat perkotaan, dan lain sebagainya.
Pasar karbon jenis ini biasa disebut juga sebagai pasar carbon offset. Nama ini
diambil dari tujuan pembeli kredit karbon (individu atau organisasi) yaitu untuk
menggantikan (offsetting) emisi gas rumah kaca yang dilepaskan akibat kegiatannya.
Dengan membeli dan
menggunakan kredit karbon,
pembeli kredit karbon dapat
menetralkan/menggantikan
emisi gas rumah kacanya .
Bahkan bila jumlah kredit karbon
yang digunakan untuk offset sama
dengan jumlah Gambar 3. Ilustrasi pemakaian kredit karbon untuk offsetting emisi
Sumber: Purnomo, 2013
emisi yang
dilepaskan, maka emisi si pengguna kredit karbon dapat dibilang nol/netral.
10
akan mendapat imbalan berupa CER (Certified Emission Reduction) yang
berdasarkan ketentuan dalam Protokol Kyoto dapat diperhitungkan sebagai bagian
dari upaya pemenuhan kewajiban penurunan emisi gas rumah kaca oleh pemiliknya.
Setiap CER adalah sama dengan penurunan emisi gas rumah kaca setara satu ton
karbondioksida dan dapat diperjualbelikan sebagai kredit karbon.
11
BAB III
PENUTUP
12
DAFTAR PUSTAKA
13
Purnomo, A.. 2013. Mari Berdagang Karbon! Pengantar Pasar Karbon untuk
Pengendalian Perubahan Iklim. Dewan Nasional Perubahan Iklim (DPNI).
Jakarta.
Santosa, I.. 2002. Gas Rumah Kaca : Perilaku, Dampak dan Pengendaliannya. Bahan
Mata Kuliah Iklim dan Lingkungan. Jurusan Geofisika dan Meteorologi,
FMIPA-IPB. Bogor.
Sutaryo, D.. 2009. Perhitungan Karbon. Wetlands Internasional Indonesia
Programme. Bogor.
14