Anda di halaman 1dari 14

INDONESIA DALAM PERDAGANGAN KARBON DI DUNIA

Vidtra Cholastica Lamban / 13031107001

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pembangunan global telah menimbulkan permasalahan lingkungan yang


dampaknya sudah dirasakan oleh masyarakat secara langsung, bukan hanya satu
negara yang merasakannya tetapi negara-negara lain juga turut merasakan dampak
dari permasalahan lingkungan ini. Pemanasan global adalah salah satu permasalahan
lingkungan yang menjadi permasalahan bersama negara-negara di dunia ini sehingga
telah menjadi isu global dan merupakan tantangan yang paling serius yang dihadapi
dunia di abad 21 (Naibaho, 2011).

Tingginya tingkat polusi akibat meningkatnya kegiatan perindustrian


mengakibatkan terjadinya pemanasan global. Hal ini terjadi karena sebagian besar
kegiatan industri menggunakan bahan bakar fosil yang emisinya (gas buang)
berbahaya bagi lingkungan. Bahan bakar fosil menghasilkan emisi karbondioksida
(CO2) yang merupakan salah satu komponen gas rumah kaca (GRK) sebagai
penyebab pemanasan global. Komponen GRK terdiri atas karbondioksida (CO 2),
metana (CH4), nitrat oksida (N2O), hidroflurokarbon (HFC), perflukarbon (PFC), dan
sulfur heksafluorida (SF6). Menurut Junaedi (2007), gas CO 2 seringkali dijadikan
patokan utama karena komponen CO2 yang paling padat konsentrasinya di atmosfer
dan yang memberikan kontribusi paling besar dalam GRK. Semakin tinggi
kandungan gas CO2 , maka semakin tinggi tingkat GRK di atmosfer yang
mengakibatkan naiknya suhu permukaan bumi karena sifat GRK adalah menghalangi
pantulan panas matahari dari bumi sehingga panas itu akan terjebak di dalam

*)Materi ini dibawakan dalam forum Seminar 1 Program Studi Ilmu Kehutanan Fakultas Pertanian
Universitas Sam Ratulangi pada hari Jumat, 28 Oktober 2016

**) Mahasiswa Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sam Ratulangi dengan dosen pembimbing
Ir. Maria Y.M.A. Sumakud, MSc
atmosfer. Inilah yang disebut dengan pemanasan global dimana suhu permukaan
bumi meningkat di seluruh dunia (Fadli, 2010).

Menurut Santosa (2002), Pemanasan global menyebabkan banyak kerugian,


diantaranya: (1) naiknya permukaan air laut yang dapat mengakibatkan penurunan
luasan daratan dan kepunahan beberapa pulau, (2) adanya perubahan iklim yang
berefek pada tidak teraturnya pola musim yang menyebabkan menurunnya
produktivitas pertanian sehingga dapat terjadi rawan pangan akibat kekeringan dan
gagal panen, (3) semakin tingginya frekuensi serta intensitas badai dan El Nino, (4)
adanya ancaman kepunahan keanekaragaman hayati karena tingginya suhu bumi, (5)
intrusi air laut yang menyebabkan krisis air bersih dan lain sebagainya. Hal ini tentu
sangat mengancam kehidupan makhluk hidup di dunia, dan perlu untuk segera
ditanggulangi.

Sebagian besar negara-negara di dunia bersatu, untuk menciptakan sebuah


solusi bersama dalam mengatasi masalah ini. Hingga akhirnya tercapailah
kesepakatan bersama di Kyoto pada bulan Desember 1997 yang lebih dikenal dengan
Protokol Kyoto. "Kyoto Protokol 1997" dengan United Nation Framework
Convention on Climate Change membuat suatu mekanisme baru dimana negara-
negara industri dan negara penghasil polutan terbesar diberi kesempatan untuk
melakukan kompensasi dengan cara membayar negara-negara berkembang untuk
mencadangkan hutan tropis yang mereka miliki sehingga terjadi "sequestration" atau
penyimpanan sejumlah besar karbon (Prijadikusuma, 2012).

Dengan meratifikasi Protokol Kyoto tersebut maka Indonesia akan memiliki


komitmen terhadap negara-negara lain yang lebih dahulu meratifikasi perjanjian
tersebut. Ratifikasi Protokol Kyoto merupakan sebuah kesepakatan internasional yang
menunjukkan upaya yang serius dalam menghadapi perubahan iklim akibat
pemanasan global. Secara hukum Protokol Kyoto mewajibkan seluruh negara Annex
I untuk secara bersama-sama menurunkan emisi gas rumah kaca rata-rata sebesar 5 %
dari tingkat emisi tahun 1990 pada periode tahun 2008-2012. Indonesia akan
mendapatkan keuntungan melalui mekanisme perdagangan karbon yang terdapat

2
pada perjanjian tersebut. Perdagangan karbon di kehutanan ini lahir dari tuntutan
terhadap fungsi dan peran hutan tropis yang tersisa dianggap sebagai "paru-paru
dunia", maka negara-negara pemilik hutan ini harus diberikan kompensasi untuk
sumbangannya dalam menyediakan paru-paru dunia tersebut (Kartika, 2014).
Menurut Fathoni (2010), hutan Indonesia merupakan kawasan hutan tropis terbesar
ketiga di dunia. Dengan demikian hutan Indonesia dapat dikatakan mampu untuk
menyalurkan kebutuhan oksigen dunia yang cukup besar dan cukup berperan dalam
mencegah terjadinya perubahan iklim akibat pemanasan global.

Menurut Fadli (2010), konsekuensi dari perdagangan karbon ini adalah,


negara yang memiliki hutan-hutan tersebut harus bisa menjaga kualitas hutannya
sebaik mungkin dan menghindari penebangan hutan dalam jumlah besar. Selain itu
negara-negara maju juga diharuskan membayar sejumlah uang kepada negara
berkembang untuk proyek ini sesuai peraturan harga yang telah ditentukan. Selain
dapat menyelamatkan lingkungan hidup, negara berkembang juga dapat mendapatkan
keuntungan finansial dengan cara membisniskan hutan tanpa merusaknya.
Mekanisme ini dianggap akan menguntungkan kedua belah pihak (negara maju dan
negara berkembang), dan diharapkan bisa membantu mengurangi jumlah emisi
karbon untuk mengatasi masalah pemanasan global. Dengan segala macam
konsekuensi yang ditimbulkan serta pro dan kontra yang mengikutinya, skema
perdagangan karbon pada akhirnya disepakati oleh negara maju dan negara
berkembang sebagai upaya untuk mengurangi pemanasan global. Hal inilah yang
membuat penulis tertarik untuk mengkaji tentang perdagangan karbon di Indonesia.

1.2. Tujuan Penulisan

Penulisan ini bertujuan untuk:

1. Mengetahui keterlibatan Indonesia dalam perdagangan karbon di dunia.


2. Makalah ini ditujukan untuk dibawakan dalam forum seminar 1 sebagai syarat
kelulusan mata kuliah seminar 1.

3
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Karbon dan Pemanasan Global

Sebagai salah satu gas rumah kaca (GRK), karakteristik khas CO 2 adalah tidak
mampu ditembus oleh gelombang terestrial/gelombang panjang/long wave radiation
(LWR) yang berasal dari permukaan bumi (Junaedi, 2007). Bersama uap air CO 2
menyerap lebih dari 90% LWR dari bumi. Namun, CO 2 masih bisa dilalui radiasi
gelombang pendek (spektum panjang gelombang 0,3-4 m) dari matahari.
Gelombang panjang merupakan gelombang yang diradiasikan oleh benda hitam
(benda dengan suhu di atas 273 K) dengan kisaran spektrum panjang gelombang 4-
120. CO2 di atmosfer seolah-olah berperan sebagai perangkap LWR. Semakin besar
jumlah CO2 (karbon atmosfer) maka akan semakin banyak LWR yang terperangkap.
Fenomena ini akan diikuti oleh peningkatan proporsi gelombang termal (energi
panas) yang dapat diserap oleh partikel-partikel atmosfer. Peningkatan tersebut
selanjutnya akan meningkatkan suhu (derajat panas) yang merupakan ekspresi dari
energi kinetik (gerak) partikel-partikel atmosfer. Selain CO2 ada beberapa jenis gas
lainnya yang merupakan GRK yaitu metana (CH4), nitrat oksida (N2O),
hidroflurokarbon (HFC), perflukarbon (PFC), dan sulfur heksafluorida (SF6). Masing-
masing dari gas tersebut akan turut menentukan perilaku pemanasan udara, akan
tetapi CO2 dianggap sebagai GRK utama dan sebagai GRK yang paling berperan
dalam meningkatkan suhu udara. Menurut Junaedi (2007), hal ini disebabkan karena
beberapa pertimbangan, antara lain adalah :

CO2 yang dapat tinggal di atmosfer pada kisaran waktu relatif lebih
lama yaitu sekitar 5-200 tahun. Akibatnya, akan terjadi akumulasi CO 2
dalam jumlah yang besar. Sementara dampak pemanasan udaranya pun
akan tetap dirasakan dalam jangka waktu puluhan bahkan ratusan
tahun meskipun telah ada upaya untuk menghentikan emisinya

4
Dibandingkan dengan sumber emisi GRK lainnya, sumber emisi CO 2
berasal dari sektor-sektor yang sulit dibendung laju pertumbuhan emisi
karbonnya. CO2 yang berasal dari pembakaran biomassa sebagian
besar dihasilkan dari sektor kehutanan melalui kegiatan alih fungsi tata
guna lahan untuk berbagai keperluan.

2.2. Hutan dan Karbon

Hutan merupakan masyarakat tumbuhan yang dianggap paling besar sampai


saat ini. Adanya kemampuan alami tumbuhan untuk menyerap (rosot) karbondioksida
melalui proses fotosintesis menyebabkan hutan memiliki peran yang sangat vital
dalam menyerap karbondioksida pada skala jumlah yang besar (CIFOR,2003). Hal ini
terjadi karena di dalam hutan terjadi proses akumulasi penyerapan CO 2 secara
kolektif oleh tumbuhan. Interaksi penting antara hutan dengan CO2 adalah melalui
fotosintesis yang dilakukan oleh tumbuhan yang ada di dalamnya. Melalui proses ini,
secara alami hutan akan mengkonsumsi CO2 yang selanjutnya dengan pasokan energi
photosynthetic atmospheric radiation (PAR) dari matahari akan dikonversi menjadi
gugus gula dan oksigen (O2). Salah satu dari gugus gula tersebut adalah karbohidrat
yang proporsinya banyak disimpan dan diakumulasikan oleh tumbuhan sebagai
biomassa. Dengan persentase karbon sekitar 50% biomassa tumbuhan adalah karbon
yang tersimpan merupakan salah satu jenis karbon terrestrial (Junaedi, 2007) . Selain
itu oksigen pun menjadi produk penting dari fotosintesis karena merupakan gas
sangat esensial yang dibutuhkan bagi respirasi makhluk hidup. Dalam hal luasnya,
hutan tropis Indonesia menempati urutan ketiga setelah Brasil dan Republik
Demokrasi Kongo (dulunya Zaire) dan hutan-hutan ini memiliki kekayaan hayati
yang unik (FWI/GFW, 2001). Hutan yang luas dengan jumlah vegetasi yang
melimpah akan menyebabkan akumulasi penyerapan karbon yang sangat besar.
Meicer (2000) dalam Ginoga, Luciana, Mega, Deden, dan Nunung (2004),
menyatakan bahwa dari total emisi 7,2 giga ton CO 2/ tahun, jumlah CO2 yang dapat
diserap hutan adalah sekitar 2 giga ton CO2/tahun.

5
Menurut Fathoni (2010), dampak langsung ketika terjadi konversi hutan
adalah terlepasnya cadangan karbon dalam biomassa tumbuhan dan memicu
terjadinya degradasi tanah yang menyebabkan terlepasnya karbon dari bahan organik
tanah. Perubahan vegetasi penutup lahan juga menyebabkan tidak terjadinya proses
penyerapan karbon sehingga yang terjadi bukan hanya pelepasan cadangan karbon di
hutan namun juga hilangnya fungsi penyerapan karbon oleh hutan Dibawah ini adalah
tabel cadangan karbon pada berbagai tipe hutan tingkat nasional (Tabel 1)

Sumber: Fathoni, 2010

Dengan adanya kemampuan menyerap dan menyimpan karbon, hutan


memiliki peran penting untuk menjaga kestabilan konsentrasi CO2 di atmosfer. Hal
ini berarti hutan mampu menjaga kondisi iklim bumi ada pada level yang nyaman
bagi kehidupan. Sebagian dari hutan tropis terbesar di dunia terdapat di Indonesia.
Dengan demikian maka adanya luasan hutan yang terjaga akan mampu mencegah
berbagai kerusakan alam yang sering dihubungkan dengan fenomena green house
effect dan climate change (Sutaryo, 2009).

2.3. Protokol Kyoto

Conference of the Parties (COP) III yang diselenggarakan di Kyoto pada


bulan Desember tahun 1997 menghasilkan kesepakatan Protokol Kyoto yang
mengatur dan mengikat Para Pihak negara industri secara hukum untuk melaksanakan
upaya penurunan emisi GRK yang dapat dilakukan secara individu atau bersama-

6
sama. Protokol Kyoto bertujuan menjaga konsentrasi GRK di atmosfer agar berada
pada tingkat yang tidak membahayakan sistem iklim bumi. Untuk mencapai tujuan
itu, Protokol mengatur pelaksanaan penurunan emisi oleh negara industri sebesar 5%
di bawah tingkat emisi tahun 1990 dalam periode 2008-2012 melalui mekanisme
Implementasi Bersama (Joint Implementation), Perdagangan Emisi (Emission
Trading), dan Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Development Mechanism).
Mekanisme penurunan JI dan ET hanya bisa dilakukan diantara negara Annex I,
sedang CDM merupakan satu-satunya mekanisme yang dapat dilakukan oleh negara
Annex I dan negara Non Annex I (Kusnandar, 2012).

Indonesia meratifikasi Konvensi Perubahan Iklim melalui UU No. 6 tahun


1994. Ratifikasi Protokol Kyoto disetujui oleh DPR Tanggal 28 Juni 2004 dan
melalui UU No. 17 Tahun 2004 Indonesia meratifikasi Protokol Kyoto, dan
disampaikan ke Sekretariat Konvensi Perubahan Iklim Tanggal 3 Desember 2004
melalui Departemen Luar Negeri. Indonesia sebagai Negara berkembang tentunya
juga ikut melaksanakan prinsip dan implementasi yang telah disepakati dalam
Protokol Kyoto. Dalam mendukung implementasi Protokol Kyoto, Pemerintah
Indonesia telah membuat berbagai kebijakan yang berkaitan dan mendukung proses
pelaksanaan Protokol Kyoto. Menurut Diana (2011), dengan adanya target penurunan
emisi di negara maju yang diakui bahwa tidak mungkin dapat dipenuhi dari upaya
domestik saja namun memerlukan bantuan dari negara lain terutama negara
berkembang, maka peluang pasar akan terjadi dan lebih populer dengan istilah
Perdagangan Karbon.

2.4. Perdagangan Karbon

Menurut Purnomo (2013), berdasarkan cara perdagangannya, secara umum


pasar karbon dibagi menjadi dua jenis, yakni: (a) trading ; dan (b) crediting.

2.4. 1 Trading

Sistem ini bernama lengkap emission trading system atau sistem perdagangan
emisi. Nama lainnya adalah cap-and-trade atau batasi-dan-dagangkan. Sistem ini

7
umumnya diterapkan dalam pasar karbon wajib karena untuk sistem ini diperlukan
pembatasan emisi gas rumah kaca pada pihak-pihak peserta pasar, bisa di tingkat
instalasi ataupun organisasi, yang sulit dipertahankan bila pasar bersifat sukarela.

Dalam sistem ini, setiap peserta pasar yang dapat berupa organisasi,
perusahaan bahkan negara, diberi kewajiban dalam pengurangan/pembatasan emisi
karbon yang disebut cap (Inggris: sumbat; topi; tutup ). Umumnya cap diterapkan
dalam bentuk pengalokasian jatah/kuota (allowance) emisi bagi para peserta pasar
yang dilakukan di awal periode. Di akhir p eriode, para peserta harus menyetorkan
(surrender) unit kuota kepada lembaga yang ditentukan sejumlah emisi aktual yang
telah mereka lepaskan. Peserta yang melewati cap -nya dapat membeli tambahan unit
kuota dari mereka yang kuotanya tidak terpakai sehingga terjadilah perdagangan
Gambar 1. Ilustrasi system trading
Sumber: Purnomo, 2013

karbon (lihat ilustrasi berikut).

Dalam sistem ini, setiap pihak yang terkena pembatasan emisi harus
melaporkan emisi gas rumah kacanya secara periodik (biasanya tahunan) kepada
lembaga yang ditentukan. Dari data tersebut dapat diketahui apakah emisi pihak
tersebut melebihi batas yang ditentukan atau tidak. Untuk pembuat kebijakan, data ini
juga digunakan sebagai dasar menentukan batas emisi di tahun berikutnya.

8
Umumnya, kebijakan pembatasan emisi dan sistem perdagangan emisi
diterapkan pada sektor yang emisinya tinggi, misalnya industri. Dengan demikian
diharapkan diperoleh sejumlah besar penurunan emisi dengan biaya relatif rendah.

Pada prakteknya, penerapan perdagangan emisi membutuhkan persiapan yang


cukup lama, khususnya terkait pengumpulan data, namun pengelolaannya relatif
sederhana karena yang menjadi fokus adalah data emisi organisasi bukan hasil
kegiatan-kegiatan penurunan emisi. Dengan demikian tidak diperlukan perhitungan
penurunan emisi dengan berbagai metodologi ilmiah yang rumit.

Sistem perdagangan emisi yang terbesar saat ini adalah European Union
Emissions Trading System (EU ETS) yang praktis menjadi acuan bagi pasar karbon
di seluruh dunia.

2.4. 2 Crediting

Sistem ini bernama lengkap baseline-and-crediting . Di Indonesia, sistem


inilah yang umumnya diasosiasikan dengan pasar karbon, semata karena Indonesia
sudah mulai akrab dengan Mekanisme Pembangunan Bersih atau Clean
Development Mechanism (CDM) yang termasuk dalam pasar karbon jenis ini.

Dalam sistem ini, komoditi yang diperdagangkan adalah penurunan emisi


yang telah disertifikasi berdasarkan persyaratan dan ketentuan yang berlaku di pasar
tersebut. Gambar 2. Ilustrasi system crediting
Sumber: Purnomo, 2013
Komoditi ini
disebut juga sebagai kredit karbon. Satu
unit kredit karbon biasanya setara
dengan penurunan emisi satu ton
karbondioksida.

Pada jenis pasar ini, penurunan


emisi adalah selisih dari skenario emisi
tanpa adanya kegiatan/proyek penurunan
emisi (baseline) dengan emisi aktual setelah adanya proyek (lihat ilustrasi).

9
Sistem ini berfokus pada emisi di tingkat proyek/kegiatan sehingga untuk
memulainya tidak diperlukan persiapan dan pengumpulan data emisi di tingkat
instalasi/organisasi. Namun demikian, untuk mengetahui emisi baseline dan emisi
aktual diperlukan metode perhitungan dan pemantauan yang sesuai dengan jenis
kegiatan yang dilakukan. Oleh karena itu, semakin banyak jenis kegiatan maka
semakin banyak pula metodologi yang harus dipersiapkan. Contohnya, metodologi
perhitungan dan pemantauan emisi untuk pemanfaatan energi matahari sebagai
sumber listrik, pembuatan kompos dari limbah padat perkotaan, dan lain sebagainya.

Pasar karbon jenis ini biasa disebut juga sebagai pasar carbon offset. Nama ini
diambil dari tujuan pembeli kredit karbon (individu atau organisasi) yaitu untuk
menggantikan (offsetting) emisi gas rumah kaca yang dilepaskan akibat kegiatannya.
Dengan membeli dan
menggunakan kredit karbon,
pembeli kredit karbon dapat
menetralkan/menggantikan
emisi gas rumah kacanya .
Bahkan bila jumlah kredit karbon
yang digunakan untuk offset sama
dengan jumlah Gambar 3. Ilustrasi pemakaian kredit karbon untuk offsetting emisi
Sumber: Purnomo, 2013
emisi yang
dilepaskan, maka emisi si pengguna kredit karbon dapat dibilang nol/netral.

2.4. 3 Indonesia dalam Mekanisme Pembangunan Bersih (CDM)


Sebagai salah satu negara peserta dalam protocol Kyoto, Indonesia
tegolong dalam negara non annex 1 yang berarti Indonesia dapat berpartisiasi dalam
mekanisme CDM. CDM memungkinkan negara-negara majumenanamkan
modalnya, secara langsung ataupun tidak langsung, pada proyek-proyek yang
menghasilkan penurunan tingkat emisi gas rumah kaca di negara-negara berkembang.
Pengurangan emis gas rumah kaca yang sudah diverifikasi dari proyek-proyek CDM

10
akan mendapat imbalan berupa CER (Certified Emission Reduction) yang
berdasarkan ketentuan dalam Protokol Kyoto dapat diperhitungkan sebagai bagian
dari upaya pemenuhan kewajiban penurunan emisi gas rumah kaca oleh pemiliknya.
Setiap CER adalah sama dengan penurunan emisi gas rumah kaca setara satu ton
karbondioksida dan dapat diperjualbelikan sebagai kredit karbon.

Menurut Prijadikusuma (2012) sektor kehutanan Indonesia tidak


disertakan dalam proyek CDM karena dianggap kurang menguntungkan secara
ekonomis sehingga sampai saat ini belum ada karbon yang diperdagangkan. Menurut
Gunardi (2014), Indonesia menghadapi beberapa hambatan sebagai berikut:

Ketidakstabilan harga CER. (Jatuhnya harga karbon dikarenakan krisis


berkepanjangan yang melanda Eropa sejak 2011. Pada tahun 2008, harga karbon
berada di level 8 9/ t-CO2. Harga karbon kemudian meningkat sampai dengan
13/t-CO2 di tahun 2010, akan tetapi sekarang hanya berharga kurang dari 1/t-
CO2.)
Pengurangan permintaan untuk CER karena perubahan kebijakan iklim di negara-
negara maju (Uni Eropa sebagai pasar utama perdagangan karbon pada
komitmen ke-2 (paska-2012) hanya akan membelisertifikatpengurang emisi
(CER) dari proyekproyek yang teregistrasi setelah 31 Desember 2012 dari
negara kurang berkembang. Berkurangnya permintaan akan CER masih ditambah
dengan keluarnya Jepang dari komitmen ke-2.
Ketidakpastian rezim kebijakan iklim termasuk CDM, dan ketidakpastian pasar
karbon oleh karenanya.
Ketidakmampuan untuk memberikan kontribusi terhadap pembangunan
berkelanjutan karena jatuhnya harga CER dan penurunan keuntungan (para
pengembang proyek yang tidak mempunyai perjanjian jangka panjang untuk jual
beli CER kesulitan untuk mendapatkan pembeli. Bahkan ada kecenderungan
untuk menahan proses verifikasi sampai dipandang harga CER cukup untuk
menutup biaya verifikasi).

11
BAB III

PENUTUP

Dalam Protokol Kyoto terdapat suatu mekanisme baru dimana negara-negara


industri dan negara penghasil polutan terbesar diberi kesempatan untuk melakukan
kompensasi dengan cara membayar negara-negara berkembang untuk mencadangkan
hutan tropis yang mereka miliki sehingga terjadi "sequestration" atau penyimpanan
sejumlah besar karbon (perdagangan karbon). Sebagai salah satu negara peserta
dalam protocol Kyoto, Indonesia tegolong dalam negara non annex 1 sehingga
Indonesia dapat berpartisiasi dalam mekanisme CDM. Sayangnya sektor kehutanan
Indonesia tidak disertakan dalam proyek CDM karena dianggap kurang
menguntungkan secara ekonomis sehingga sampai saat ini belum ada karbon yang
diperdagangkan.

12
DAFTAR PUSTAKA

CIFOR. 2003. Perdagangan Karbon. Warta Kebijakan, No 8.


Diana, Nurita E.. 2011. Ketidakefektivan Implementasi Protokol Kyoto di Indonesia
(Tinjauan Dari Sektor Kehutanan) (Skripsi). Fakultas Ilmu Sosial dan
Politik, Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Pembangunan
Nasional Veteran. Yogyakarta.
Fadli, Suhud E.. 2010. Skema Perdagangan Karbon dalam Protokol Kyoto sebagai
Upaya Mengurangi Pemanasan Global (Skripsi). Jurusan Ilmu Hubungan
Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Jember.
Jember.
Fathoni, Tachrir. 2010. Cadangan Karbon Pada Berbagai Tipe Hutan dan Jenis
Tanaman di Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan
Iklim dan Kebijakan. Bogor, Indonesia.
FWI/GFW. 2001. Keadaan Hutan Indonesia. Bogor. Indonesia: Forest Watch
Indonesia dan Washinton D. C.: Global Forest Watch
Ginoga, K., Luliana C.W., Mega L., Deden D., dan Nunung P.. 2004. Kajian
Kebijakan Mekanisme Pembangunan Bersih di Indonesia. Jurnal Sosial
Ekonomi Kehutanan 1 (1): 1-17. Pusat Litbang Sosial Budaya dan
Ekonomi Kehutanan. Bogor.
Gunardi. 2014. Bunga Rampai Mekanisme Pembangunan Bersih (CDM) Di
Indonesia. Dewan Nasional Perubahan Iklim. Jakarta.
Junaedi, Ahmad. 2007. Kontribusi Hutan Sebagai Rosot Karbondioksida. Info Hutan,
5(1):1-7.
Kartika, Laurentia A.. 2014. Tinjuauan Yuridis Terhadap Konsep Perdagangan Karbon
Sebagai Internasional Collaborative Dalam Upaya Penyelamatan Dunia
dari Pemanasan Global (Skripsi). Fakultas Hukum, Universitas Sumatera
Utara. Medan.
Naibaho, Erna M.. 2011. Tinjauan Hukum Dalam Perdagangan Karbon Kredit
(Skripsi). Fakultas Hukum, Program Studi Pascasarjana Kekhususan
Hukum Bisnis, Universitas Indonesia. Jakarta.
Prijadikusuma, Kusnandar. 2012. Posisi Indonesia Dalam Perdagangan Karbon
Internasional (Mekanisme Pembangunan Bersih) (Skripsi). Fakultas Ilmu
Sosial dan Politik, Program Studi Magister Ilmu Hubungan Internasional,
Universitas Indonesia. Jakarta.

13
Purnomo, A.. 2013. Mari Berdagang Karbon! Pengantar Pasar Karbon untuk
Pengendalian Perubahan Iklim. Dewan Nasional Perubahan Iklim (DPNI).
Jakarta.
Santosa, I.. 2002. Gas Rumah Kaca : Perilaku, Dampak dan Pengendaliannya. Bahan
Mata Kuliah Iklim dan Lingkungan. Jurusan Geofisika dan Meteorologi,
FMIPA-IPB. Bogor.
Sutaryo, D.. 2009. Perhitungan Karbon. Wetlands Internasional Indonesia
Programme. Bogor.

14

Anda mungkin juga menyukai