Anda di halaman 1dari 8

Perubahan Iklim dan Lingkungan Hidup1

Oleh : Khalid Saifullah2

A. Latar Belakang

Sebagai ilustrasi, pernahkah anda mendengar tentang rumah kaca? Rumah yang atap dan
dindingnya terbuat dari kaca. Rumah ini biasa digunakan untuk pembibitan pada kegiatan
perkebunan dan berfungsi untuk menghangatkan tanaman yang berada di dalamnya. kemudian
pernahkah anda berada di dalam sebuah mobil yang tertutup, di bawah panas terik matahari?
Bagaimana rasanya? Panas bukan? Hal ini disebabkan oleh sinar matahari yang masuk
menembus kaca mobil membuat seisi mobil menjadi panas. Panas matahari tersebut
terperangkap di dalam mobil, tidak dapat menembus ke luar kaca mobil.

Hal di atas juga terjadi pada bumi, di mana radiasi yang dipancarkan oleh matahari, menembus
lapisan atmosfer dan masuk ke bumi. Radiasi matahari yang masuk ke bumi dalam bentuk
gelombang pendek menembus atmosfer bumi dan berubah menjadi gelombang panjang ketika
mencapai permukaan bumi.

Setelah mencapai permukaan bumi, sebagian gelombang dipantulkan kembali ke atmosfer.


Namun sayangnya, tak semua gelombang panjang yang dipantulkan kembali oleh bumi dapat
menembus atmosfer menuju angkasa luar karena sebagian dihadang dan diserap oleh gas-gas
yang berada di atmosfer disebut gas rumah kaca (GRK). Akibatnya radiasi matahari tersebut
terperangkap di atmosfer bumi. Karena peristiwa ini berlangsung berulang kali, maka kemudian
terjadi akumulasi radiasi matahari di atmosfer bumi yang menyebabkan suhu di bumi menjadi
semakin hangat.

Peristiwa ini dikenal dengan efek rumah kaca (ERK), karena peristiwanya serupa dengan
proses yang terjadi di dalam rumah kaca. Peristiwa ERK menyebabkan bumi menjadi hangat dan
layak untuk ditempati manusia. Jika tidak ada ERK, maka suhu permukaan bumi akan 33°C
lebih dingin dibanding suhu saat ini. Namun berbagai aktivitas manusia, terutama proses industri
dan transportasi, menyebabkan GRK yang diemisikan ke atmosfer terus meningkat.

Alhasil, terjadilah perubahan komposisi GRK di atmosfer. Hal ini kemudian menyebabkan
radiasi yang dipantulkan kembali oleh permukaan bumi ke luar angkasa terhambat sehingga
menyebabkan terjadinya akumulasi panas di atmosfer.

Singkat kata, meningkatnya konsentrasi GRK di atmosfer akibat aktivitas manusia di berbagai
belahan dunia, menyebabkan meningkatnya radiasi yang terperangkap di atmosfer. Akibatnya,
suhu rata-rata di seluruh permukaan bumi meningkat. Peristiwa ini disebut Pemanasan Global.

Meningkatnya suhu rata-rata permukaan bumi menyebabkan terjadinya perubahan pada unsur-
unsur iklim lainnya, seperti naiknya suhu air laut, meningkatnya penguapan di udara, serta
berubahnya pola curah hujan dan tekanan udara yang pada akhirnya merubah pola iklim dunia.
Peristiwa ini kemudian dikenal dengan Perubahan Iklim.

Perubahan iklim sendiri merupakan sebuah fenomena global karena penyebabnya bersifat global,
disebabkan oleh aktivitas manusia di seluruh dunia. Selain itu, dampaknya juga bersifat global,
dirasakan oleh seluruh mahluk hidup di berbagai belahan dunia. Oleh karena itu solusinya pun
harus bersifat global, namun dalam bentuk aksi lokal di seluruh dunia. Perubahan iklim itu
sendiri terjadi secara perlahan dalam jangka waktu yang cukup panjang, antara 50-100 tahun.
1
Disajikan dalam Seminar Nasional Peduli Lingkungan Hidup di Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
2
Direktur Eksekutif WALHI Sumatra Barat
1
Walaupun terjadi secara perlahan, perubahan iklim memberikan dampak yang sangat besar pada
kehidupan umat manusia.

B. Perubahan Iklim dan Lingkungan Hidup

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa aktivitas manusia merupakan penyebab utama
terjadinya perubahan iklim. Selain itu pertambahan populasi penduduk dan pesatnya
pertumbuhan teknologi dan industri ternyata juga memberikan kontribusi besar pada
pertambahan GRK.

Akibat jenis aktivitas yang berbeda beda, maka GRK yang dikontribusikan oleh setiap negara ke
atmosfer pun porsinya berbeda beda. Di Indonesia sendiri GRK yang berasal dari aktivitas
manusia dapat dibedakan atas beberapa hal, yaitu (1) kerusakan hutan termasuk perubahan tata
guna lahan, (2) pemanfaatan energi fosil, (3) pertanian dan peternakan, serta (4) sampah.

Pemanfaatan energi secara berlebihan, terutama energi fosil, merupakan penyebab utama
terjadinya perubahan iklim secara global. Hutan yang semakin rusak, karena dieksploitasi secara
masif, alih fungsi, pembalakan liar maupun karena kejadian alam, juga menambah jumlah GRK
yang dilepaskan ke atmosfer secara signifikan serta menurunya fungsi hutan sebagai penyerap
emisi GRK.

Selain itu sektor pertanian dan peternakan serta sampah juga berkontribusi sebagai penyumbang
GRK berupa gas metana (CH4) yang ternyata memiliki potensi pemanasan global 21 kali lebih
besar daripada gas karbondioksida (CO2)

1. Deforestasi, Degradasi dan Tata Guna Lahan/kawasan


Di Indonesia Sumber utama GRK ternyata berasal dari kegiatan perubahan tata guna lahan
dan kehutanan, yaitu sekitar 63%. Sementara sektor energi menempati urutan kedua, yaitu
sekitar 25% dari total emisi.

Sejak tahun 1970-an, penebangan kayu di kawasan hutan alam secara komersial mulai
dibuka secara besar-besaran. Menurut data Forest Watch Indonesia, laju kerusakan hutan
pada tahun 1985-1997 telah mencapai sebesar 2,2 juta per tahun (FWI, 2001). Sementara
data WALHI tahun 2008 laju kerusakan hutan mencapai 2,3 juta ha per tahun.

Kerusakan hutan terutama disebabkan oleh pembalakan liar, pembakaran hutan, perkebunan
skala besar (Sawit dan HTI) mayoritas di kawasan Gambut dan Kawasan hutan Produksi
serta aktifitas HPH (Hak Pengusahaan Hutan).

Salah satu fungsi hutan sendiri adalah sebagai penyerap emisi GRK (biasa juga disebut emisi
karbon). Hutan dapat menyerap dan mengubah karbondioksida (CO2), salah satu jenis GRK,
menjadi oksigen (O2) yang merupakan kebutuhan utama bagi mahluk hidup. Ini berarti
dengan luasan hutan Indonesia yang cukup luas, sekitar 144 juta ha (tahun 2002), sudah tentu
emisi karbon yang dapat diserap jumlahnya tak sedikit, sehingga laju terjadinya pemanasan
global dan perubahan iklim dapat dihambat.

Kegiatan pengrusakan kawasan hutan akan menyebabkan lepasnya sejumlah emisi GRK,
yang sebelumnya disimpan di dalam pohon, ke atmosfer. Berarti jika laju kerusakan hutan
semakin tinggi, maka emisi GRK yang lepas ke atmosfer pun akan semakin besar jumlahnya.
Dengan laju kerusakan hutan sekitar 2,3 juta ha per tahun, tak heran jika sector kehutanan
merupakan penyumbang emisi GRK terbesar di Indonesia.

Disamping itu semenjak tahun 80-an mulai masuk perkebunan kelapa sawit secara besar-
besaran. Yang menarik juga adalah karateristik tumbuhan kelapa sawit yang sangat
2
membutuhkan air yang banyak, sehingga hampir 100 % areal perkebunan ini berada di
kawasan gambut mulai dengan ketebalan 50 cm – 4 meter lebih. Sementara kawasan rawa
gambut merupakan daerah yang penyimpan karbon terbesar, sehingga pemanfaatan kawasan
ini menjadi perkebunan kelapa sawit membuat rawa gambut mengeluarkan simpanannya
berupa CO2 ke atmosfer.

2. Penggunaan Energi Fosil


Penggunaan bahan bakar fosil seperti minyak bumi, batubara dan gas alam dalam berbagai
kegiatan, seperti pada pembangkit listrik, transportasi dan industri, akan memicu
bertambahnya jumlah emisi GRK di atmosfer. Walaupun sama-sama menghasilkan emisi
GRK, namun emisi yang dihasilkan dari penggunaan ketiga jenis bahan bakar fosil tersebut
berbeda-beda.

Untuk menghasilkan energi sebesar 1 kWh, pembangkit listrik yang menggunakan batubara
mengemisikan sekitar 940 gram CO2. Sementara pembangkit listrik yang menggunakan
minyak bumi dan gas alam, menghasilkan emisi sekitar 798 dan 581 gram CO2.3

Dari ketiga jenis bahan bakar fosil tersebut batubara merupakan penghasil emisi CO2 paling
tinggi daripada minyak bumi dan gas alam cair. Sementara hingga kini Indonesia masih
belum menerapkan teknologi pemanfaatan batubara yang ramah lingkungan, dan masih
memprioritaskan membangun pembangkit listrik dengan bahan bakar batu bara untuk
mengatasi krisis energi.

3. Pertanian dan Peternakan


Sektor pertanian juga memberikan kontribusi terhadap meningkatnya emisi GRK, khususnya
gas metana (CH4) yang dihasilkan dari sawah tergenang. Sektor pertanian menghasilkan
emisi gas metana tertinggi dibanding sektor-sektor lainnya. Selain metana, GRK lain yang
dikontribusikan dari sektor pertanian adalah dinitro oksida (N2O) yang dihasilkan dari
pemanfaatan pupuk serta praktek pertanian. Pembakaran padang sabana dan sisa-sisa
pertanian yang membusuk juga merupakan sumber emisi GRK.

Sektor peternakan juga tak kalah dalam mengemisikan GRK, karena ternyata kotoran ternak
yang membusuk akan melepaskan gas metana (CH4) ke atmosfer. Sebagai ilustrasi, setiap 1
kg kotoran ternak melepaskan sekitar 230 liter gas metana ke atmosfer (S.V. Srinivasan).
Padahal, kalau saja kita mau sedikit berupaya untuk mengolahnya, kotoran ternak bisa
mendatangkan keuntungan. Salah satunya bisa diolah menjadi biogas, bahan bakar yang
murah dan ramah lingkungan4.

4. Sampah
Sampah merupakan masalah yang dihadapi tidak hanya oleh kota-kota besar bahkan sampai
ke perkampungan. Data dari Kementerian Lingkungan Hidup mengatakan bahwa pada tahun
1995 rata-rata orang di perkotaan di Indonesia menghasilkan sampah 0,8 kg per hari dan
terus meningkat hingga 1 kg per orang per hari pada tahun 2000. Diperkirakan timbunan
sampah pada tahun 2020 untuk tiap orang per hari adalah sebesar 2,1 kg. Sampah
menghasilkan emisi GRK berupa gas metana, walaupun dalam jumlah yang cukup kecil
dibandingkan emisi GRK yang dihasilkan dari sektor kehutanan dan energi. Diperkirakan 1
ton sampah padat menghasilkan sekitar 50 kg gas metana.

Jika sampah tidak dikelola secara benar, maka laju pemanasan global dan perubahan iklim
akan semakin cepat, mengingat potensi pemanasan global CH4 yang besarnya 21 kali potensi
pemanasan global CO2 .
May Antoinette Ajero, Estimating CO2 Emissions Reduction by Example, 2003 .
3
4
MenKLH : Bumi Makin Panas, Ancaman Perubahan Iklim di Indonesia 2004.
3
C. Dampak Perubahan Iklim dan Menurunya Kualitas Lingkungan Hidup
Dalam prosesnya perubahan iklim terjadi sangat lamban, sehingga dampaknya tak langsung
dirasakan saat ini, namun akan sangat terasa bagi generasi mendatang. Dan ketika perubahan
iklim telah terjadi, maka tak satu upaya pun yang dapat dilakukan untuk mengembalikan kondisi
ke keadaan semula.

Besar kecilnya dampak perubahan iklim pada suatu sistem akan bergantung pada sensitivitas,
kemampuan adaptif dan kerentanan sistem tersebut terhadap perubahan iklim. IPCC (2001)
mendefiniskan ke tiga istilah tersebut sebagai berikut:
1. Sensitivitas (sensitivity) merujuk kepada tingkat yang mengambarkan sejauh mana sistem
tersebut dipengaruhi oleh berbagai sifat iklim (rata-rata dan keragaman iklim serta frekuensi
dan intensitas kejadian iklim ekstrim), apakah bersifat positif atau negatif (sangat merusak).
Dampak tersebut dapat bersifat langsung (misalnya berubahnya hasil tanaman sebagai
respon terhadap perubahan kondisi iklim rata-rata, selang dan keragaman suhu) atau tidak
langsung (misalnya kerusakan yang diakibatkan oleh meningkatnya frekuensi kejadian banjir
pada daerah pantai akibat meningkatnya muka air laut).
2. Kemampuan adaptif (adaptive capacity) merupakan kemampuan dari sistem tersebut
menyesuaikan diri atau beradaptasi terhadap perubahan iklim (termasuk keragaman iklim
dan kejadian iklim ekstrim) sehingga potensi kerusakan akibat perubahan iklim berkurang,
peluang yang ditimbulkan oleh perubahan iklim dapat dimanfaatkan dan konsekuensi yang
timbul akibat perubahan iklim dapat diatasi.
3. Kerentanan (vulnerability) menunjukkan tingkat kerentanan sistem terhadap atau ketidak
mampuan sistem mengatasi dampak merusak dari perubahan iklim termasuk keragaman dan
kejadian iklim ekstrim. Kerentanan merupakan resultan dari sensitifitas dan kemampuan
adaptif sistem.

Sistem alam (natural system) bersifat rentan terhadap perubahan iklim karena terbatasnya
kemampuan adaptif dan sebagian dari sistem alam tersebut tidak memiliki kemampuan untuk
pulih dari kerusakan. Sistem alam yang termasuk rentan terhadap perubahan iklim diantaranya
batuan es (glaciers), karang laut (coral reefs), mangrove, hutan tropis dan boreal, ekosistem
kutub dan alpine, ekosistem rawa dan padang rumput alami.

Tingkat kesensitifan sistem kehidupan manusia (human system) terhadap perubahan iklim akan
beragam menurut lokasi, waktu dan kondisi sosial-eknomi dan lingkungannya. Sistem dimaksud
meliputi pertanian (khususnya keamanan dan ketahanan pangan), kehutanan, kawasan pantai,
laut dan perikanan, pemukiman, energi dan industri, kesehatan manusia dan pelayanan keuangan
dan asuransi lainnya5.

Dari uraian diatas menjadi jelas bahwa pengabaian dalam pengelolaan lingkungan sehingga
menurunya kualitas lingkungan yang salah satu muaranya kemudian semakin memcepatnya laju
perubahan iklim yang berdampak yang luas dan kompleks seperti :
 Kenaikan temperatur dan berubahnya musim
Pemanasan global diperkirakan menyebabkan terjadinya kenaikan suhu bumi rata-rata
sebesar 1°C pada tahun 2025 dibanding suhu saat ini, atau 2°C lebih tinggi dari jaman pra
industri, tahun 1750-1800 (IPCC, 2001). Ini berakibat pada mencairnya es di kutub, yang
kemudian akan sangat berdampak buruk bagi negara-negara kepulauan dan wilayah pesisir.
Selain itu, perubahan iklim juga menyebabkan terjadinya pergeseran musim, di mana musim
kemarau akan berlangsung lama, Sementara musim hujan akan berlangsung singkat dengan
kecenderungan intensitas curah hujan yang lebih tinggi dari curah hujan normal.
 Kejadian banjir, kekeringan, kebakaran hutan dan siklon tropis akan meningkat.
5
Rizaldi Boer : Dampak Perubahan Iklim Global di Indonesia dan Langkah-langkah Mintigasi dan Adaptasi
4
 Produktifitas pertanian dan perikanan menurun. Akibat dari meningkatnya kejadian banjir,
kemarau panjang, siklon tropis, naiknya suhu, perubahan musim, dan tinggi muka air laut.
 Aliran permukaan dan ketersediaan air menurun pada beberapa daerah.
 Kesehatan manusia akan terancam karena meningkatnya penyakit menular lewat vektor
(malaria) dan air (kholera) dan deraan panas.
 Keanekaragaman hayati pada ekosistem mangrove dan hutan akan semakin terancam.
 Meningkatnya angka kemiskinan terutama daerah yang memiliki kerentanan yang tinggi
seperti wilayah pesisir dan negara-negara berkembang karena rendahnya kemampuan
adaptasi.

4. Bagaimana menghadapi perubahan iklim ke depan?


Perubahan iklim tidak dapat diingkari lagi. Sudah terlalu banyak bukti yang mengarah bahwa
perubahan iklim akan terus terjadi. Anomali iklim dan kejadian cuaca ekstrem semakin sering
terjadi. Namun, patut diingat perubahan iklim merupakan hasil persamaan yang kompleks dari
gagalnya model pembangunan skala global.

Karena itu setiap upaya untuk menghindari pemanasan global dan perubahan iklim serta upaya-
upaya beradaptasi pada kondisi atmosferik yang berubah juga tidak sederhana. Melihat kembali
persoalan hubungan antar bangsa, negara, dan individu yang terjadi selama berabad-abad dan
tidak kunjung berubah, tidaklah layak menafikan kondisi ketidak adilan yang masih terus
menerus terjadi.

Perubahan iklim sudah dirasakan dampaknya oleh umat manusia. Oleh karena itu diperlukan
beberapa upaya untuk mengurangi laju perubahan iklim. Upaya-upaya ini tidak dapat dilakukan
oleh satu pihak saja. Perlu integrasi dari berbagai pihak yang terkait seperti pihak pemerintah
dengan pihak industri dan masyarakat, baik itu dalam hal sosialisasi agar para pihak dapat paham
akan isu perubahan iklim, maupun program aksi nyata untuk memperlambat laju perubahan
iklim.

Tidak bisa dipungkiri, meski dalam kondisi krisis iklim, banyak pihak terutama mereka yang
menikmati pertumbuhan dan gaya hidup dari ekstraksi atas sumber daya dan kemanusiaan tidak
bersedia bahkan menurunkan batas keuntungannya. Hampir setiap upaya mengatasi perubahan
iklim yang berada di dalam kerangka Protokol Kyoto maupun inisiatif di luar Protokol Kyoto
tidak secara signifikan mengatasi penyebab utama meningkatnya gas rumah kaca di atmosfer.

Dua agenda pokok yang selalu dibicarakan adalah upaya-upaya penyelesaian lewat teknologi dan
pengaturan kembali lahan-lahan (terutama wilayah hutan) agar terus dapat menjaga stabilitas
atmosfer pada tingkat yang tidak membahayakan bagi kehidupan manusia. Namun upaya-upaya
untuk mengatasi perubahan iklim terkesan lebih dibebankan kepada negara berkembang,
terutama pada negara-negara yang masih memiliki kawasan hutan relatif baik. Namun negara-
negara Anex I selalu mengelak untuk melakukan penurunan buangan GRK nya.

Sudah terlihat semakin jelas bahwa target penurunan emisi kali ini, akan menyerang negara-
negara tropik yang dituduh sebagai penyumbang emisi karena proses deforestrasi dan kebakaran
hutan. Sementara itu, upaya penurunan dengan target tertentu di negara selatan yang dijanjikan
sejumlah dana memiliki implikasi-implikasi serius bagi warga setempat karena proses
demokratik di dalam negeri yang belum matang dan dewasa.

Pada banyak kasus di Indonesia, upaya-upaya mengejar target pembangunan mulai dari industri
ekstraktif hingga perluasan kawasan konservasi memiliki nuansa pelanggaran pengorbanan
kehidupan warga setempat. Bahkan upaya-upaya penyelesaian teknologik pun dapat
menghasilkan pelanggaran hak atas warga untuk hidup selamat dalam satu wilayah.
5
Untuk itu menjadi penting menempatkan prinsip-prinsip dan kriteria utama dalam setiap upaya
menghadapi perubahan iklim agar penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak asasi
manusia tetap terjaga dan terpelihara. Kemudian yang tak kalah penting adalah upaya
menghadapi perubahan iklim harus dijadikan upaya menggeser paradigma pembangunan yang
berlaku saat ini ke arah yang lebih adil, manusiawi, dan menyelematkan manusia pada generasi
ini dan generasi mendatang. Prinsip-prinsip tersebut adalah6 :

Prinsip-prinsip Keselamatan Rakyat


1. Seluruh upaya mengatasi perubahan iklim harus menjamin keselamatan manusia untuk
hidup secara layak tanpa menafikan hak asasi manusia yang melekat dalam individu dan
dijamin dalam deklarasi universal hak asasi manusia. Hak sebagai individu maupun
komunitas yang utuh dan bermartabat bebas dari kekerasan, paksaan, penyingkiran,
penyiksaan, dan kematian harus dijamin dijadikan prinsip utama yang wajib ditegakkan
dalam setiap upaya mengatasi pemanasan global dan perubahan iklim.
2. Hak warga atas pembangunan, kehidupan yang layak, lingkungan yang sehat tidak bisa
dinafikan atas nama penyelamatan lingkungan global. Komunitas global dan negara wajib
menghormati, melindungi, dan memenuhi hak-hak ini tanpa kecuali meskipun dalam kondisi
krisis.
3. Penghormatan terhadap hak-hak warga lokal, minoritas, untuk menentukan nasib sendiri.
Pelibatan warga lokal secara penuh lewat proses yang tidak dibatasi waktu yang ditetapkan
ketentuan-ketentuan global adalah prinsip utama dalam partisipasi. Proses perbaikan
lingkungan yang menghormati, melindungi, dan memenuhi hak asasi warga adalah prinsip
yang patut dipenuhi.
4. Proses belajar kolektif oleh warga, pengurus negara, maupun entitas lain dalam upaya
perbaikan lingkungan demi mengatasi dan menghadapi perubahan iklim tidak boleh dibatasi
oleh siklus tahun anggaran yang berorientasi pada target-target belanja (spending target)
anggaran.
5. Ukuran pokok dalam setiap proses belajar memperbaiki lingkungan harus berorientasi
pada penurunan krisis yang menjadi pendorong perubahan iklim, dampak perubahan iklim,
maupun pengurangan kerentanan sosio-ekologik warga dengan sepenuhnya menghormati,
melindungi, dan memenuhi hak asasi warga.
Prinsip-prinsip Pemulihan Keberlanjutan Layanan Alam
1. Penurunan emisi yang lebih besar di negara-negara utara. Pencegahan deforestrasi
dan degradasi bukan satu-satunya jalan bagi pencegahan perubahan iklim. Degradasi,
deforestrasi, dan kebakaran hutan sebagai penyumbang emisi karbon bisa lebih mudah
dilakukan dibandingkan penurunan emisi gas rumah kaca di sektor lain seperti industri dan
transportasi. Transportasi, industri, dan pembangkit listrik adalah sektor yang terus menerus
mengemisi gas rumah kaca.
2. Keadilan derajat pembangunan antar bangsa dan individu termasuk penggunaan
energi adalah kunci utama. Saat ini negara-negara emisi gas rumah kaca negara non-annex,
seiring dengan pertumbuhan ekonominya, mulai naik secara perlahan. Sementara fakta juga
menunjukkan bahwa negara-negara non-annex berpenduduk lebih besar dibanding negara-
negara annex 1 yang masih menggunakan energi konvensional dengan intenstitas
penggunaan energi yang jauh dibawah negara-negara annex 1. Penurunan emisi harus seiring
dengan upaya-upaya mencapai keadilan penggunaan energi sesuai dengan konteks kebutuhan
6
WALHI : Kriteria pemulihan sosio-ekologis dalam kerangka iklim yang sedang berubah tahun 2007

6
optimum setempat tanpa mengabaikan derajat pembangunan yang manusia dan menjunjung
tinggi prinsip-prinsip hak asasi manusia.

3. Upaya pencegahan perombakan kemampuan lingkungan (fragmentasi, penyusutan,


hilang) dalam melayani kehidupan harus dicegah. Kawasan ekosistem penting harus
dicegah dari upaya ekstraksi yang mengubah fungsi layanannya. Perkebunan monokultur,
pertambangan, tidak dibenarkan untuk memasuki kawasan ekosistem penting yang
mengubah seluruh layanannya.

Penghutanan kembali tanpa upaya kuat pada pengurangan emisi gas rumah kaca dari sektor
lain tidak akan bermanfaat bahkan menimbulkan bencana di masa datang. IPCC laporan
assessment ke 3 menyebutkan jika suhu bumi tidak bisa dipertahankan di bawah 2 0 C, maka
hutan akan 100% menjadi sumber emisi gas rumah kaca.
4. Pencegahan deforestrasi dan pemulihan fungsi ekosistem hutan diprioritaskan bagi
keberlanjutan pelayanan ekologik setempat sesuai dengan fungsi/karakter ekosistem
alaminya. Dalam hal ini, fungsi hutan sebagai kawasan tangkapan air, pencegah banjir dan
longsor, stabilisator iklim setempat, sumber keanekaragaman hayati yang bermanfaat bagi
penduduk sekitar. Sementara kemampuan hutan untuk menyerap karbon tidak perlu
diperhitungkan sebagai layanan ekosistem yang utama.
5. Upaya pencegahan deforestrasi dan pemulihan fungsi ekosistem hutan yang telah
rusak seiring dengan upaya menjawab faktor-fakor pendorong terjadinya alih fungsi
lahan secara besar-besaran. Kawasan ekosistem penting harus dicegah dari upaya
ekstraksi yang mengubah fungsi layanannya. Perkebunan monokultur, pertambangan, tidak
dibenarkan untuk memasuki kawasan ekosistem penting yang mengubah seluruh fungsi
layanannya.
6. Pencegahan emisi dari penggunaan lahan seperti pencegahan deforestrasi, dan
penghutanan kembali, tidak dibenarkan untuk off-set. Penggunaan dana-dana bagi
pencegahan deforestrasi dan pemulihan ekosistem tidak dapat dibenarkan hanya untuk
memulihkan fungsi layanan ekosistem hutan demi mestabilkan atmosfer dijadikan sarana off-
set (tukar guling) emisi karbon dari bagian dunia manapun atau kebolehan atas konversi
lahan ekosistem yang sensitif.
7. Pemenuhan hak warga setempat. upaya-upaya pencegahan deforestrasi dan pemulihan
fungsi ekosistem hutan wajib menghormati dan memenuhi hak-hak penduduk setempat untuk
mengakses sumber daya hutan secara bermartabat, berkelanjutan, serta meningkatkan
produktifitasnya dengan tidak mengurangi fungsi layanan ekosistem hutan pada kawasan
yang lebih luas. Sengketa atas lahan hutan maupun lahan lain baik untuk kepentingan
konservasi dan industri ekstraktif belum dapat diselesaikan. Menurut catatan WALHI, dalam
1 tahun saja 350 sengketa antara warga setempat dengan kepentingan hutan lainnya seperti
konservasi, HPH, Pertambangan dan perkebunan masih mencuat. Pencegahan deforestrasi
dan pemulihan fungsi ekosistem wajib memandatkan penyelesaian sengketa yang adil dan
memenuhi hak-hak warga setempat untuk hidup lebih baik dan berkelanjutan.
Prinsip-prinsip perlindungan Produktifitas Rakyat
1. Peningkatan kemampuan warga untuk menjamin keselamatan, produktifitas dalam
memenuhi kebutuhan dasar minimum, dan memelihara jasa layanan alam adalah
mutlak. Pencegahan deforestrasi dan pemulihan fungsi ekosistem hutan harus seiring
dengan penguatan warga di sekitar hutan agar dapat memenuhi keselamatannya,
produktifitas untuk memenuhi syarat keselamatan minimum dan pelayanan alam, serta
menjaga keberlanjutan pelayanan alam. Pengentasan krisis warga mesti diupayakan tanpa
menjadikannya sebagai penjaga ekosistem semata, melainkan tetap memberikan pilihan-
pilihan positif untuk penghidupan.
7
2. Sektor energi harus dikembalikan sebagai derivatif dari sektor kehidupan lainnya.
Pemborosan energi di dunia adalah akibat dari perlakuan sektor energi sebagai sektor utama
sekaligus barang dagangan. Padahal kebutuhan atas energi selayaknya tumbuh mengikuti
kebutuhan peradaban yang didorong oleh sektor lainnya. Tanpa upaya-upaya mengubah
modal produksi dan konsumsi di dunia penyelesaian pada sektor energi saja akan
menghasilkan masalah terus menerus di kemudian hari.
3. Penurunan emisi harus dilakukan dengan mengubah penggunaan ruang. Saat ini dunia
dianggap sebagai satu ruang sempit dimana transfer sumber daya dari belahan dunia
manapun dapat dipindah begitu saja. Secara nasional maupun regional, penataan dan
penggunaan ruang harus semakin kompak dan berupaya mencegah transfer barang, energi
dan sumber energi, maupun bahan mentah jarak jauh.
4. Setiap unit ruang hidup manusia yang merupakan komposit dari satuan-satuan ekosistem-
sosiosistem ingenious harus diurus agar mampu menjaga ketersediaan energi, pangan, dan
air secara mandiri. Setiap pertukaran dihitung secara setara tanpa mencoba menghasilkan
keuntungan lebih pada wilayah lain.
5. Pengurangan emisi dari sektor energi harus dilakukan lewat pengaturan konsumsi dan
kebutuhan. Tanpa mengelola konsumsi secara ketat, mengurangi konsumsi kelompok
berlebih dan meningkatkan konsumsi dasar kelompok-kelompok lemah menuju kesetaraan
yang sesuai dengan kondisi klimatik dan geografik setempat.
6. Pilihan-pilihan pemenuhan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir adalah solusi yang salah
untuk mencegah perubahan iklim. PLTN tidak bisa dimasukkan sebagai salah satu alternatif
mitigasi sektor energi. Pengembangan energi terbarukan yang terdesentralisasi adalah
jawaban bagi pengurangan emisi gas rumah kaca. (bukan persoalan energi nil emisi, bukan
persoalan emisi yang masif, yang seharusnya tata kelola demand). Pemenuhan energi
berbasis wilayah non import dan pulau-pulau.
7. Pemulihan dan penyiapan lahan pertanian yang ditetapkan sebagai lahan permanen
untuk menyediakan pangan. Dalam upaya itu seluruh syarat keberlanjutan pelayanan alam
yang diperlukan dalam menjaga ketersediaan pangan di masing-masing wilayah adalah
syarat utama dalam bertahan dan berkembang pada iklim yang berubah.
8. Tata niaga pangan yang melindungi petani dari krisis penghidupan. Saat ini petani di
Indonesia maupun di negara selatan lainnya diperlakukan sebagai mesin produksi pangan
yang harus terus menerus memenuhi kebutuhan warga perkotaan. Derajat penghidupan
petani terus menerus menurun seiring dengan kebijakan pangan murah yang disubsidi oleh
petani pedesaan. Demi melindungi ketersediaan pangan dalam satu wilayah, perlu
dikembangkan tata niaga baru yang memberikan petani peluang lebih besar meningkatkan
kualitas hidupnya.
9. Larangan atas penggunaan GMO dalam upaya adaptasi, demi menjaga biodiversitas
ekosistem setempat yang bermanfaat dalam stabilitas pelayanan jasa alam. Kapasitas warga
untuk memenuhi jenis pangan pokok yang beragam wajib dipulihkan lewat berbagai
upaya meningkatkan populasi pangan lokal yang tahan terhadap perubahan iklim.

Anda mungkin juga menyukai