Anda di halaman 1dari 9

Tugas Mata Kuliah Kapita Selekta Energi

CARBON TRADE

Oleh: Eka Puji Kurniawan 2408 100 042

JURUSAN TEKNIK FISIKA FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER SURABYA 2012

SAATNYA INDONESIA BERPERAN DALAM CARBON TRADE

PENDAHULUAN Menurut Carbon trade Watch (CTW), yang merupakan bagian dari Amsterdam based Transnational Institute menyebutkan bahwa, Carbon Trade tidak lebih dari mekanisme penebus dosa negara-negara barat yang sudah mengotori udara dunia dengan CO2 (WRM, issues 117 April 2007). Maka, ketika mekanisme carbon trade dipopulerkan, ia tidak lebih dari sebuah mekanisme imprealis atau penjajahan yang memaksa negara-negara berkembang untuk menjaga hutannya. Sementara, kebijakan ini di sorot banyak pihak membuka ruang bagi Multi National Cooperation (MNC) tanpa terikat dengan aturan mekanisme karbon. Sebagai contoh, Negara Amerika Serikat yang menolak menandatangani protokol kyoto untuk mengurangi pembuangan karbonnya. Carbon Trade Watch (CTW) merupakan salah satu dari kelompok yang menolak mekanisme perdagangan karbon. Selain CTW sebagai kelompok yang menolak mekanisme perdagangan karbon, ada juga kelompok pendukungnya. Kelompok-kelompok organisasi international sebagian besar masuk kedalamnya, argumentasinya sederhana, perdagangan karbon (carbon trade) adalah instrumen untuk mengurangi emisi karbon dioksida (CO2) melalui mekanisme pasar. Contohnya, negara atau daerah yang mempunyai hak untuk konversi hutan, tapi bila tidak melakukan konversi hutan maka negara industri siap untuk mengganti rugi nilai emisi karbon yang dihindari tersebut. Jadi hutan tetap terlindungi dan nilai karbon yang ada di situ bisa dijual di pasar karbon internasional dengan harga cukup bernilai. Jika dikaji kembali kedua argumentasi tersebut, mempunyai perbedaan mendasar dalam melihat perdagangan karbon. Kelompok kontra melihat perdagangan karbon melalui teori konspirasi yang diyakininya benar, dengan menggunakan basis analisa attitude atau sikap politik negara-negara maju yang cenderung menerapkan standart ganda dalam implementasi politik luar negerinya dengan kebijakan di dalam negerinya sendiri. Selain itu, ada kecenderungan terlibatnya lembaga-lembaga keuangan dunia yang membonceng kebijakan ini, termasuk persoalan intervensi lembaga keuangan dunia dalam menyetir kebijakan lingkungan yang menguntungkan mekanisme pasar bebas. Sementara, kelompok pendukung perdagangan karbon cenderung berpandangan taktis, bahwa ada atau tidaknya mekanisme perdagangan karbon hutan tetaplah harus di lestarikan. Jika

kemudian ada sebuah mekanisme pendanaan yang bisa dimanfaatkan untuk menjaga kelestarian hutan, mengapa tidak dimanfaatkan. Tentunya perdebatan pro dan kontra kebijakan perdagangan karbon tidak tepat berada pada level elite pengambil kebijakan, ataupun pada kelas menengah atas, dan para pekerja, serta pegiat lingkungan, karena mereka bukanlah pelaku dan pemilik tenurial hutan.

DEFINISI CARBON TRADE ? Carbon trade adalah mekanisme berbasis pasar untuk membantu membatasi peningkatan CO2 di atmosfer. Pasar perdagangan karbon terdiri dari para penjual dan pembeli yang mempunyai posisi sejajar dalam peraturan perdagangan yang sudah distandarisasi. Pembeli adalah pemilik industri yang menghasilkan CO2 ke atmosfer dan memiliki ketertarikan atau diwajibkan oleh hukum untuk menyeimbangkan emisi yang mereka keluarkan melalui mekanisme karbon, sedangkan penjual adalah pemilik yang mengelola hutan atau lahan pertanian bisa melakukan penjualan karbonnya berdasarkan akumulasi karbon yang terkandung dalam pepohonan di hutan mereka. Atau bisa juga pengelola industri yang mengurangi emisi karbon mereka dengan menjualnya kepada emitor. Perdagangan karbon adalah mekanisme pendanaan yang di berikan oleh negara-negara maju kepada negara yang melestarikan hutannya atau negara yang memberikan jasa lingkungan dengan menjaga hutannya melalui sebuah mekanisme yang telah di atur. Dalam kesepakatan Protokol Kyoto yang dimaksud dengan negara-negara pembeli karbon adalah negara-negara yang masuk kedalam Annex 1 atau negara maju yang memiliki industri besar yang menghasilkan emisi dalam skala besar, sementara hutannya telah habis. Sedangkan yang dimaksud penjual karbon adalah negara-negara yang masih memiliki tutupan hutan atau negara ketiga yang berkomitmen untuk mempertahankan tutupan hutannya dari ancaman konversi. Saat ini mekanisme yang digunakan adalah mekanisme CDM (Clean Development Mecanism) atau Mekanisme Pembangunan Bersih yang merupakan product dari kesepakatan Kyoto tahun 1997. Sedangkan untuk mekanisme Non-Kyoto antara lain; Bio-Carbon Fund, Community Development Carbon Fund, Special Climate Change Fund, Adaptation Fund, Prototype Carbon Fund, CERUPT, GEF, Private Carbon Fund. Secara prinsip program-program tersebut digunakan untuk mencegah deforestrasi lahan yang menyebabkan lepasnya carbon di atmosfer.

Untuk mekanisme non-kyoto atau dikenal dengan pasar sukarela carbon baru dapat diakses pasca berakhirnya kesepakatan Protokol Kyoto atau setelah tahun 2012, sehingga dapat disimpulkan bahwa, masuknya berbagai dana karbon non-kyoto kepada negara ketiga atau negara berkembang, termasuk Indonesia merupakan sebatas isu dan wacana. Sedangkan mekanisme CDM hanya dapat diakses oleh corporasi atau industri yang bersedia menurunkan emisinya.

ADA APA DENGAN CARBON TRADE? Penjual karbon adalah pemilik yang mengelola hutan atau lahan pertanian yang bisa menjual kredit karbon berdasarkan akumulasi karbon yang terkandung dalam pepohonan di hutan mereka atau bisa juga pengelola industri yang mengurangi emisi karbon mereka dan menjual emisi yang telah dikurangi kepada emitor (industri) lain. Mekanisme perdagangan karbon dapat dijelaskan sebagai berikut: negara (yang telah meratifikasi Protokol Kyoto) yang menghasilkan emisi karbon dari kuota yang ditentukan diharuskan untuk memberikan sejumlah insentif kepada negara yang bisa menyerap karbon melalui proyek penanaman hutannya. Setiap negara/ industri mempunyai kuota karbon yang boleh diemisikannya dan memperbolehkan industri yang berhasil mengurangi emisinya untuk menjual kredit karbon yang tersisa ke industri lain.

MENGAPA HARUS CARBON TRADE? Pemanasan Global atau Global Warming yang merupakan proses peningkatan suhu ratarata atmosfer, laut dan daratan bumi sejak pertengahan abad 20 ditengarai sebagai akibat dari meningkatnya konsentrasi gas-gas rumah kaca akibat aktivitas manusia. Sebagai dampak dari meningkatnya suhu global ini di antaranya dapat kita saksikan melalui pemberitaan media tentang mencairnya salju abadi di kedua kutub bumi. Kita juga dapat merasakan peralihan cuaca dan musim yang tidak menentu, peningkatan tinggi muka air laut (mengakibatkan tenggelamnya pulau-pulau kecil) dan peningkatan suhu air laut (ekosistem laut terganggu), bertambahnya frekuensi badai dan banjir, timbulnya berbagai macam penyakit, punahnya beberapa tumbuhan dan satwa yang tidak mampu beradaptasi dengan perubahan cuaca yang ekstrim, serta terpengaruhinya hasil pertanian yang tentu berpengaruh terhadap stok bahan pangan dan

kebutuhan pokok lainnya. Akibat selanjutnya adalah malapetaka dan kemiskinan, penyakit dan tindak kejahatan, bahkan jutaan orang akan bermigrasi. Hingga saat ini masih terjadi berbagai perdebatan mengenai apa yang harus dilakukan untuk mengurangi pemanasan global dan bagaimana cara beradaptasi terhadap kondisi ini. Sebagian besar pemerintah negara-negara maju di dunia telah meratifikasi Protokol Kyoto yang mengarah pada pengurangan emisi gas-gas rumah kaca. Memang penerapan teknologi rendah emisi untuk industri merupakan solusi yang cukup ideal untuk masalah ini.Namun tentu biayanya sangat mahal dan menyulitkan bagi negara-negara berkembang dengan industrinya yang minim modal. Oleh karena itu, maka muncullah gagasan mengurangi emisi gas yang menyebabkan pemanasan global dengan mekanisme perdagangan karbon.National Air Pollution Control Administration (United States Environtmental Protection Agencys Office of Air and Radiation) dengan model matematika berusaha membandingkan mana yang lebih efektif: industri berubah ke teknologi rendah karbon atau mengatasi problem emisi lewat jual beli di pasar karbon. Dan dalam perhitungan tersebut disimpulkan: reduksi dengan perdagangan karbon lebih efektif dan murah.

PENERAPANCARBON TRADEDI INDONESIA Dengan mekanisme perdagangan karbon, peluang Indonesia untuk menjadi negara penjual karbon sangat besar. Potensi hutan Indonesia yang sangat luas dapat mendatangkan manfaat ekologi dan ekonomi sekaligus bagi masyarakat, khususnya yang tinggal di sekitar hutan. Sesuai kesepakatan awal bahwa perdagangan karbon hanya bisa melibatkan pohon yang bukan dari hutan alam dan bukan hutan/pohon yang dikembangkan sebelum tahun 1990, justru dapat memotivasi masyarakat Indonesia untuk lebih banyak menanam pohon dengan asumsi bahwa: dengan menanam pohon akan mendatangkan uang. Dengan tumbuhnya kesadaran tersebut akan diperoleh keuntungan secara ekologis di antaranya kelestarian hutan khususnya dan lingkungan hidup pada umumnya akan dapat terjaga dengan baik, program penghijauan hutan dan lahan akan berjalan lancar, kerusakan hutan akibat penebangan liar akan dapat ditekan dengan tumbuhnya kesadaran masyarakat untuk menjaga tanamannya. Keuntungan dari sisi ekonomi diantaranya adalah peningkatan pendapatan masyarakat yang ikut berpartisipasi dalam kegiatan penanaman dan pemeliharaan serta

peningkatan pendapatan melalui pemanfaatan jasa lingkungan kawasan hutan sebagai kawasan wisata alam. Penerapan Carbon Trade di Indonesia Smits memberitahukan bahwa Yayasan Gibbon dan The Balikpapan Orangutan Survival Foundation telah memulai bermain dalam perdagangan karbon di Kalimantan. Dengan kemampuan teknologi citra radar yang dimiliki, lembaga tersebut bisa meyakinkan kepada pihak pembeli, sehingga mendapatkan pembiayaan untuk membangun hutannya bersama dengan masyarakat setempat. Dengan perdagangan karbon ini hutan yang dibangun dapat mempekerjakan lebih dari 650 kepalakeluarga. Harga jual karbon yang saat ini berlaku adalah US $ 2-7 setiap ton karbon per tahun. Kunci keberhasilannya adalah kemajuan informasi yang dimiliki baik dalam citra radar untuk pemantauan kegiatan lapangan yang setiap saat dengan mudah diakses dan dilakukan penilaian total karbon yang dihasilkan. Pekerjaan ini berarti sudah bersifat resource and community based management (Marsono, 2004). Indonesia perlu menjamin tidak akan terjadi kebocoran dan yang lebih penting lagi, bahwa tingkatpengurangan deforestasi akan berlangsung secara permanen, dan tidak hanya bersifat sementara. Masalah seberapa lama bertahan sebuah hutan adalah salah satu bentuk keprihatinan tentang penggunaan konservasi hutan untuk mengurangi emisi karbon. Jika negara yang memiliki kesulitan keuangan, menerima dana karbon untuk melindungi hutan tetapi kemudian kemungkinan terjadi peningkatan laju deforestasi atau laju penurunan hutan menjadi peyebab utama terjadinya perubahan iklim, sehingga dikhawatirkan bahwa mekanisme penurunan emisi tidak bersifat permanen. Meskipun terjadi kekhawatiran seperti itu, umumnya kesepakatan bahwa mekanisme praktis dapat dikembangkan, untuk memastikan bahwa pengurangan deforestasi benar-benar berada dalam jangka waktu yang panjang. Indonesia dengan luasan hutan yang cukup besar, dengan adanya kompensasi perdagangan karbon, tentunya merupakan peluang besar untuk menambah pemasukan, guna kegiatan pembangunan, yang tentunya tidak terlepas dari persyaratan-persyaratan yang ditetapkan oleh negara-negara yang membeli sertifikat perdagangan karbon dari Indonesia. Pertanyaan berikutnya adalah layakkah nilai yang di tawarkan dari kompensasi perdagangan karbon tersebut dengan nillai kemanfaatan yang diperoleh Indonesia atas kompensasi tersebut. Di Indonesia sendiri banyak hal yang perlu dipersiapkan antara lain pembenahan aturan-aturan yang baku terhadap perdagangan karbon.

PERMASALAHAN YANG DIHADAPI Para pakar lingkungan mengkritisi praktek perdagangan karbon yang menurut mereka hanya merupakan pengembangbiakan sistem pasar bebas ke ranah kebijakan lingkungan.

Perhitungan dan dasar ilmiah pengurangan emisi dinilai sangat rumit dan tidak jelas.Seperti bagaimana menghitung kapasitas karbon yang diserap oleh sejumlah pohon dan berapa harga per satuan berat karbon yang harus dibayar. Biasanya dalam praktek perdagangan, soal harga ditentukan oleh pemain terbesar yang bisa mengutak-atik harga sesuai keinginannya sendiri. Bahkan lebih dari itu, negara-negara industri maju yang telah mengeluarkan dana untuk kompensasi emisi yang mereka keluarkan, otomatis akan menaikkan harga jual dari produk yang mereka hasilkan. Tentu saja negara-negara berkembang sebagai konsumen dari produk teknologi tinggi yang dihasilkan negara-negara maju akan terkena imbas dari kenaikan harga tersebut. Dengan demikian, dana yang didapatkan justru untuk membayar kenaikan harga tersebut dan bukan untuk kegiatan-kegiatan mengurangi emisi karbon.

HAMBATAN DAN TANTANGAN Perdagangan karbon belum terlalu dikenal dimasyarakat, walaupun rancangannya telah dibuat sejak tahun 1997, pada saat diadakannya protokol Kyoto, namun perdagangan karbon dan bagaimana mekanismenya, masih perlu dilakukan pemahaman lebih lanjut. Konsep perdagangan karbon dapat dianalogikan dengan praktek pengampunan dosa yang berkembang lima abad yang lalu dimana seseorang dapat memperoleh keampunan atas dosa yang dilakukannya dimasa lalu hanya dengan membayar sejumlah uang. Sehingga melalui perdagangan karbon sebuah negara industri yang menjadi salah satu penyebab terjadinya pemanasan global dapat dengan mudah membayar sebuahnegara berkemabang yang mampu mengupayakan pengurangan emisi karbon, sehingga kesalahannya dapat dianggap tidak ada. Tingkat kepentingan posisi negara berkembang dalam hal mereduksi karbon membuat beberapa pihak menuntut agar pemerintah menaikkan posisi tawar untuk menekan negara maju agar dapat mengurangi emisinya sendiri. Bukan justru negosiasi untukmemperoleh bantuan dana . Hambatan lain yang terjadi adalah permasalahan mekanisme perdagangan di bidang kehutanan, dimana pembeli menginginkan kepastian hukum dan produk jangka panjang sesuai dengan alam dariobjek yang diperdagangkan, yakni sebuah proses penyerapan karbon di atmosfer menjadi produkbahan organik. Prosedur semakin rumit karena dikaitkan dengan pembangunan berkelanjutan darinegara peserta proyek khususnya aspek sosial ekonomi masyarakat setempat dan aspek lingkungan. Pada tahun 2005, COP 11 membetuk kelompok kerja yang bertujuan untuk mengurangi laju deforestasi pada hutan tropis, yang akan dilaporkan kembali pada tahun 2007. Terdapat peningkatan konsensus yang harus dikontrol dengan maksud untuk mengurangi secara total jumlah gas emisi dari

gas rumah kaca, dan biaya untuk pelaksanaannya harus dibagi merata antara negara dan tidak harus ditanggung oleh negara yang miskin hutan hujan tropis. Diskusi UNFCC ini diajukanoleh proposal yang disampaikan di Costarika dan Papua New Guinea dan disahkan oleh banyak negara dan institusi yang disebut koalisis negara hutan hujan. Proposal ini didasarkan pada pembayaran Costa Rika untuk jasa lingkungan, dengan melibatkan pembayaran pada jasa yang menyediakan hutan dan menanam hutan untuk melindungi lingkungan. Hal ini ditujukan kepada reduksi emisi dari deforestasi pada negara berkembang (REDD). Proposal untuk mereduksi laju deforestasi akan didebatkan pada konfrensi UNFCC pada desember 2007, tetapi tidak sama dengan amademen untuk protokol kyoto, yang masih akan berlangsung hingga tahun 2012. Sumber dana baru ini diharapkan dapat dibayarkan kepada pemerintah untuk tidak merubah bagian dari hutan hujan mereka kepada jenis perkebunan. Hal ini akan terfokus pada lima negara, termasuk Brazil dan Indonesia.

LANGKAH YANG LAYAK DITEMPUH Dengan berbagai pertimbangan akan kendala berlakunya perdagangan karbon tersebut, bukan berarti bahwa ide tentang perdagangan karbon tidak layak untuk dibahas lagi. Justru pembahasan lebih lanjut mengenai format dan mekanisme yang paling sesuai serta payung hukum yang menjadi dasar pelaksanaan carbon trade harus segera kita temukan. Pengurangan emisi haruslah dituangkan dalam bentuk kesepakatan/tuntutan bersama dan bukan diserahkan pada mekanisme pasar bebas. Oleh karena itu, diperlukan antara lain: standarisasi nilai pertukaran karbon, sosialisasi kepada masyarakat, penguatan kelembagaan misalnya melalui pembentukan Kawasan Pengelolaan Hutan, penguatan posisi tawar secara politik negara-negara penjual karbon yang pada umumnya adalah negara-negara berkembang, kesiapan sarana dan prasarana serta sumber daya manusia yang dapat diandalkan untuk penilaian total karbon dan adanya lembaga pengawas yang dapat menjamin perdagangan karbon berlangsung secara adil dan dapat menyelesaikan masalah jika muncul persengketaan. Sebagai contoh Yayasan Gibon dan The Balikpapan Orangutan Survival Foundation di Kalimantan dengan kemampuan teknologi citra radar yang dimiliki bisa meyakinkan kepada pihak pembeli sehingga mendapat pembiayaan untuk membangun hutannya bersama masyarakat setempat. Dengan perdagangan karbon ini hutan yang dibangun dapat mempekerjakan lebih dari 650 kepala keluarga. Harga jual karbon yang berlaku saat itu adalah US $ 2-7 setiap ton karbon per tahun (Marsono,2004).Kuncinya adalah kemajuan informasi yang dimiliki baik dalam citra

radar untuk pemantauan kegiatan lapangan yang setiap saat dapat dengan mudah diakses dan dilakukan penilaian total karbon yang dihasilkan.

DAFTAR PUSTAKA Gilbertson T, and Reyes O, Carbon Trading-How it works and why it fails, Journal Carbon Trade Watch/Transnational Institute William Razak A. Makalah Etika dan kebijakan perundangan lingkungan.Thesis. UGM, Yogyakarta

Anda mungkin juga menyukai